Anda di halaman 1dari 128

BAB 1

PERSAMAAN KEADAAN GAS

Keadaan setiap gas ditentukan oleh sejumlah parameter, biasanya Volume (V), Tekanan
(P), Suhu (T), dan jumlah mol (n). Keempat parameter memiliki hubungan tertentu, yang biasa
dinyatakan sebagai fungsi Volum, yaitu :

V = V (T, P, n) (1.1)

Fungsi ini menunjukkan ketergantungan volum suatu gas terhadap parameter suhu, tekanan, dan
jumlah mol gas nya.

Besarnya perubahan volum yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan parameter secara


matematik dituliskan sebagai berikut:

dV = (V/T)p,n dT + (V/P)T,n dP + (V/n)T,P dn (1.2)

Persamaan (1.2) memiliki tiga kuosien, yaitu kuosien pertama, (V/T)p,n, menyatakan perubahan
volum yang diakibatkan oleh berubahnya suhu pada tekanan dan jumlah mol yang tetap, dan
seterusnya. Dengan demikian perubahan total gas yang diakibatkan oleh perubahan suhu, tekanan,
dan jumlah mol zat dapat diketahui jika semua kuosiennya juga diketahui.

Hubungan antara parameter-parameter gas seperti diuraikan di atas, membentuk suatu


persamaan yang disebut persamaan keadaan gas. Untuk Gas ideal disebut persamaan keadaan gas
ideal, sedangkan untuk gas nyata, dikenal persamaan van der Waals, persamaan virial, dan
sebagainya.

1.1. PERSAMAAN KEADAAN GAS IDEAL

Gas ideal bukan gas yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan gas nyata
adalah gas yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Gas ideal diasumsikan mempunyai sifat :

a. molekul-molekul gas tidak mempunyai volume, dan


b. antara sesama molekul gas tidak ada interaksi, baik tarik menarik maupun tolak menolak.
Gas ideal dapat diserupai gas nyata bila gas nyata berada pada suhu yang tinggi dan tekanan yang
rendah. Persamaan keadaan gas ideal dapat diturunkan dari berbagai pendekatan, diantaranya
adalah dengan menggunakan pendekatan hokum-hukum gas yang telah dikenal.

1.1.1. Hukum Gay-Lussac dan Charles

Menurut hukum Gay-Lussac dan Charles, pada tekanan tetap volum sejumlah tertentu gas
berbanding lurus dengan suhu termodinamik (sering juga disebut suhu mutlak, suhu Kelvin).
Secara matematika, hokum tersebut dinyatakan dengan persamaan berikut :
V≈T atau V = kT (1.3)

Persamaan (1.3) berarti bahwa: apabila sejumlah tertentu gas pada tekanan tetap suhunya
berubah dari keadaan 1 ke keadaan 2, maka volumnya juga berubah dengan perbandingan
V/T yang selalu tetap (=k)

V2/T2 = V1/T1 = k (1.4)

Untuk mendapatkan kuosien pertama, maka persamaan (1.3) diturunkan terhadap T, pada
tekanan dan jumlah mol tetap, dan diperoleh persamaan :

(V/T)p,n, = k (1.5)

Berdasarkan persamaan (1.3) juga diketahui :

V = kT → k = V/T (1.6)

Sehingga dengan menggantikan k pada persamaan (1.5) dengan persamaan (1.6) didapat

(V/T)p,n, = V/T (1.7)

persaman (1.7) ini merupakan kuosien turunan pertama pada ruas kanan persamaan (1.2).

1.1.2. Hukum Boyle

Menurut hokum Boyle, pada suhu tetap, volum sejumlahtertentu gas berbanding terbalik
dengan tekanannya. Secara matematika dirumuskan dengan persamaan :

V≈1/P atau V=k/P (1.8)

Persamaan (1.8) tersebut berarti V P = k atau V1P1 = V2P2 = k (1.9)


Jika persamaan (1.8) diturunkan terhadap P pada suhu dan jumlah mol tetap, maka diperoleh
persamaan

(V/P)T,n = - (k / P2) (1.10)

apabila persamaan (1.9) dimasukkan ke persamaan (1.10) maka didapat

(V/P)T,n = - (V P / P2) = - (V / P) (1.11)

persamaan (1.11) merupakan nilai kuosien turunan suku kedua dari persamaan (1.2).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hokum boyle berlaku untuk gas nyata hanya jika
tekanan yang dimiliki mendekati nol (dan juga pada suhu yang sangat tinggi). Hukum boyle dapat
dipahami sebagai gambaran dari gas yang terdiri atas sejumlah besar molekul yang bergerak
bebas, tidak ada antaraksi antar molekul-molekulnya. Tekanan yang ditimbulkan oleh hanya gas
disebabkan oleh tumbukan dari molekul gas terhadap dinding. Penurunan volum mengakibatkan
tumbukan molekul terhadap dinding menjadi semakin sering, sehingga meningkatkan tekanan.
1.1.3. Hukum Avogadro
Menurut hokum Avogadro, pada suhu dan tekanan tetap, sejumlah tertentu gas berbanding
lurus dengan jumlah molnya.

V≈n V = k n atau V/n = k (1.12)

Persamaan (1.12) berarti bahwa pada suhu dan tekanan yang tetap, jika jumlah mol berubah
dari keadaan 1 ke keadaan 2 maka volumnya akan berubah dengan perbandingan V/n yang selalu
tetap.

V 2 / n2 = V 1 / n1 = k (1.13)

Turunan persamaan (1.12 a) terhadap n, dan disubstitusikan dengan persamaan (1.12b) maka
akan diperoleh persamaan

(V/n)T,P = k = V/n (1.14)

Persamaan (1.14) merupakan kuosien suku ketiga dari persamaan (1.2)

1.1.4. Penurunan Persamaan Gas Ideal.

Dengan mensubstitusikan persamaan (1.7), (1.11), dan (1.14) ke dalam persamaan (1.2),
akan dihasilkan persamaan

dV = (V/T) dT + {-(V/P)} dP + (V/n) dn (1.15)

apabila dikalikan dengan 1/V, maka persamaan (1.15) menjadi

dV/V = dT/T -dP/P + dn/n (1.16)


kemudian persamaan (1.16) diintegrasikan sehingga menjadi

ln V = ln T – ln P + ln n + ln R (1.17)
ln R adalah tetapan integrasi. Persamaan (1.17) di antilog kan, sehingga diperoleh

PV = nRT (1.18)
Persamaan (1.18) disebut persamaan keadaan gas ideal. Gas hipotetis yang memenuhi
persamaan (1.18) tersebut disebut gas ideal. Untuk perhitungan yang tidak terlalu kuantitatif, maka
persamaan gas ideal dapat digunakan sebagai suatu pendekatan yang cukup memadai.
Jika suatu gas bersifat ideal maka perbandingan (PV/T) akan selalu memiliki nilai yang
tetap, meskipun variabelnya berubah. Dengan ungkapan lain,

PV/T = R (1.19)
Tetapan gas R dapat diketahui secara eksperimen dengan menggunakan gas yang diketahui
jumlah molnya pada suhu tertentu dan dilakukan sederet pengukuran tekanan-volum berturut-turut
pada tekanan yang semakin rendah. Evaluasi dari PV/(nT) pada limit tekanan menuju nol
menghasilkan R :
PV
Lim ── = R (1.20)
P→0 nT

Hasil eksperimen diperoleh harga tetapan ( R ) sebesar 0,08205 L atm mol-1 K-1 .
Dalam satuan internasional (SI) tetapan R adalah 8,314 m3 Pa mol-1 K-1 .

1.1.5. Hukum Dalton

Untuk gas yang terdiri dari campuran gas ideal, maka persamaan gas ideal menjadi

PV = nt RT (1.21)

Dengan nt adalah jumlah total mol semua gas dalam volum V. Misalkan terdiri dari tiga gas
dengan jumlah mol masing-masing n1, n2, dan n3, maka persamaan gas menjadi

PV = (n1+ n2+ n3) RT atau

P =(n1+ n2+ n3) RT/ V (1.22)

Tekanan P adalah tekanan total dari ketiga gas tersebut, sehingga tekanan masing-masing gas
dapat dinyatakan sebagai berikut

P1 =n1 RT/ V (1.23 a)

P2 =n2 RT/ V (1.23 b)

P3 =n3 RT/ V (1.23 c)

Dengan menjumlahkan persamaan (1.23a; 1.23b; dan 1.23c) akan didapat hasil

P1 + P2 + P3 = (n1 + n2 + n3 ) RT/ V = nt RT/ V (1.24)

Jadi tekanan total adalah jumlah tekanan parsial semua komponen gas-gas yang terdapat di
dalam campuran gas, yang disebut sebagai hukum Dalton.

P = P1 + P2 + P3 (1.25)

Pi/P = (ni RT/ V) / (nt RT/ V) = ni / nt = xi

Pi = xi P dengan Xi fraksi mol gas i


1. 2. ISOTERM, ISOBAR, DAN ISOMETRIK GAS IDEAL
Untuk memudahkan pembahasan, persamaan keadaan gas ideal yang telah diuraikan
diatas, variabel volumnya (yang semula variabel ekstensif, V) diubah menjadi variabel intensif
(dengan memperkenalkan volum molar, V, yakni volum untuk setiap mol zat, sehingga bentuk
persamaannya menjadi sebagai berikut.

PV = RT (1.26)
Jika sembarang nilai diberikan terhadap setiap dua variabel dari tiga variabel P, V, dan T,
maka nilai variabel ketiga dapat dihitung dari persamaan gas ideal. Oleh karena itu, dua
variabel tersebut merupakan variabel bebas, sedangkan variabel ketiga merupakan variabel
terikat. Kurva pada Gambar (1.1) memperlihatkan bahwa P dan V dapat berupa sebagai
variabel bebas atau terikat, sementara itu suhu besarnya tertentu ( merupakan variabel terikat).
Setiap titik yang terdapat pada kurva itu menentukan pasangan nilai P dan V, sehingga satu
titik dengan titik lainnya dalam kurva tersebut menggambarkan keadaan gas yang berbeda-
beda.

5
P/ (101.325 kPa)

4
T3 = 487 K

3
T2 = 312 K
2 T1 = 122 K

0 10 20 30 40 50
3
V /(dm /mol)

Gambar 1.1. Isoterm gas ideal

Pada Gambar (1.1), kurva yang diberi label T1, T2, dan T3, adalah kumpulan titik-titik yang
menyatakan keadaan-keadaan gas ideal pada suhu T1, T2, dan T3. Kurva-kurva tersebut disebut
kurva isoterm. Isoterm gas ideal berupa hiperbola yang ditentukan oleh hubungan
P = (RT) 1/V (1.27)
Persamaan tersebut mengisyaratkan bahwa pada suhu yang sama, tekanan gas berbanding
terbalik dengan volumnya. Artinya semakin besar tekanan, maka volum gas akan menjadi semakin
kecil, demikian pula sebaliknya.
Bentuk grafik lain yang dapat digambarkan untuk persamaan keadaan gas ideal dapat
dilihat pada gambar (1.2) dan (1.3).
Pada gambar (1.2) setiap titik menghubungkan himpunan nilai-nilai untuk koordinat V dan
T. Titik-titik yang terdapat dalam satu garis menyatakan keadaan-keadaan gas ideal pada tekanan
yang sama, dan disebut isobar. Keadaan gas ideal ini dijelaskan oleh persamaan (1.28)
R
V= ─ T (1.28)
P

1 atm

V /(dm3/mol) 2 atm

3 atm

100 200 300 400 500 T/K

Gambar 1.2. Isobar gas ideal


Persamaan (1.28) menyatakan bahwa pada tekanan tetap volum gas berbanding lurus
dengan suhunya. Artinya, semakin besar suhu gas tersebut, semakin besar pula volum
molarnya. Gambar (1.2) di atas menunjukkan hubungan volum molar dengan Suhu sebagai
garis lurus.
Hubungan Tekanan dengan Suhu dari gas ideal dinyatakan oleh rumus berikut :
R
P= ─ T (1.29)
V

Persamaan (1.29) menyatakan pada volum molar yang tetap semakin tinggi suhu, semakin besar
tekanan yang ditimbulkan gas ideal. Keadaan ini disebut isometrik ( isokhor). Gambar (1.3)
menunjukkan hubungan tekanan dan suhu gas ideal sebagai garis lurus.
P / 101,325 kPa
10 dm3/mol

20 dm3/mol

30 dm3/mol

0 100 200 300 400 T/K

Gambar. 1.3. Isometrik gas ideal


1.3 PERSAMAAN KEADAAN GAS NYATA
Untuk perhitungan yang tidak terlalu kuantitatif, maka persamaan gas ideal dapat
digunakan sebagai suatu pendekatan. Pemakaian persamaan gas ideal akan lebih akurat bila data
yang diterapkan adalah pada suhu tinggi dan tekanan yang sangat rendah. Untuk suhu rendah dan
tekanan tinggi, penggunaan persamaan gas ideal tidak sesuai dengan hasil eksperimen. Untuk
mengatasinya diperlukan persamaan gas yang sesuai dengan gas nyata yang disebut persamaan gas
nyata.
Dalam menurunkan persamaan gas ideal, beberapa postulat telah digunakan, yaitu tidak
ada antaraksi sesama molekul, dan volum molekul diabaikan. Untuk menurunkan persamaan gas
nyata, maka postulat tersebut tidak digunakan, karena untuk gas nyata selalu memungkinkan
terjadinya antaraksi sesama molekul gas, dan volume molekul gas tidak dapat diabaikan.
Untuk menggambarkan penyimpangan volum, dinyatakan perbandingan volum molarnya,
V, terhadap volume molar gas ideal Vid = RT/P dengan faktor kompresibilitas, Z, yaitu :
Z ≡ (V / Vid ) = PV / RT (1.30)
H2
1,5
N2
Gas ideal
1,0
CH4
Z
CO2
0,5

0 100 200 300


P /(101,325 kPa)

Gambar 2.1. Aluran nilai Z terhadap P untuk beberapa gas pada suhu 0 0C

Faktor kompresibilitas gas ideal, Z, adalah 1 dan tidak bergantung pada suhu serta
tekanan, sedangkan untuk gas nyata nilai Z belum tentu 1, karena dipengaruhi oleh suhu dan
tekanan ; Z = Z (T,P). Gambar (2.1) memperlihatkan aluran nilai Z sebagai fungsi tekanan pada
suhu O oC untuk beberapa gas. Dari gambar terlihat bahwa untuk gas hydrogen, nilai Z ternyata
lebih besar daripada zat lain pada semua rentang tekanan. Untuk gas nitrogen, nilai Z lebih kecil
dari pada satu pada tekanan rendah, tetapi lebih besar daripada satu pada tekanan tinggi. Gas
Metana dan karbondioksida penyimpangan nilai Z dari satu lebih besar lagi. Disamping itu dari
gambar terlihat pada tekanan mendekati nol nilai Z untuk semua gas nyata akan sama dengan gas
ideal. Secara matematik dinyatakan dengan persamaan berikut :

PV
Z = ── =1 (1.31)
RT P→ O

Dengan naiknya tekanan, beberapa gas mempunyai Z<1, artinya PV<RT. Gas yang seperti
ini lebih mudah dikompresi daripada gas ideal. Pada kenaikan tekanan selanjutnya, semua gas
mempunyai Z>1, yakni PV>RT. Pada keadaan ini gas lebih sulit untuk dikompresi daripada gas
ideal. Sifat ini berhubungan dan sesuai dengan gaya antarmolekul. Pada tekanan rendah, molekul-
molekul gas terpisah jauh, sehingga gaya antar molekul yang dominant adalah gaya tarik menarik.
Pada tekanan yang lebih tinggi, jarak rata-rata antar molekul berkurang, sehingga gaya tolak antar
molekul menjadi dominan.
Pengaruh suhu terhadap nilai Z dengan variasi tekanan, P, dari gas metana digambarkan
pada gambar 2.2. Terlihat bahwa pada suhu rendah (200 oC) gas metana memiliki sifat yang jauh
dari gas ideal, tetapi pada yang tinggi mendekati sifat gas ideal (Z=1).
Pada suhu yang sangat tinggi, sejumlah tertentu gas, volum gas menuju tak hingga,
kerapatannya mendekati nol. Penyimpangan dari keadaan ideal disebabkan oleh gaya antar
molekul dan volum molekulnya sendiri yang tidak nol. Pada kerapatan menuju nol, molekul yang
satu dengan molekul yang lainnya terpisah jauh, sehingga gaya antar molekul menjadi nol. Pada
volum yang sangat besar (tak terhingga), volum molekulnya sendiri dapat diabaikan dibandingkan
dengan volum (tak hingga) yang ditempai oleh gas tersebut. Oleh karena itu persamaan keadaan
gas ideal dapat dipenuhi oleh gas nyata pada kerapatan gas mendekati nol.

200 K
3 500 K

1000 K
Z 2

1 Gas ideal

0 300 600 900


P /(101,325 kPa)
Gambar 2.2. Aluran nilai Z terhadap P untuk gas metana pada berbagai suhu
1.3.1. Persamaan Van der Waals
Gas nyata menyimpang dari gas ideal disebabkan karena volume molekul dan antar aksi
molekul, sehingga volum dan tekanan gas untuk gas nyata perlu dikoreksi dari gas ideal.
Volum wadah, V, harus terdiri atas volum gas dan volum bebas untuk gerak molekul.
nRT
V = nb + ─── (1.32)
Pideal

Dengan b adalah suatu tetapan sebagai korreksi terhadap volum, yang nilainya tergantung
pada jenis gas. Penyusunan ulang persamaan (1.32) menghasilkan
nRT
Pideal = ─── (1.33)
V-nb

Tekanan gas nyata dikoreksi terhadap gas ideal. Tekanan gas nyata lebih rendah dari tekanan
gas ideal.

n2
P = P ideal - a ── (1.34)
V

dengan a adalah suatu tetapan yang nilainya tergantung pada jenis gas, sehingga persamaan
(1.34) menjadi
nRT an2
P = ─── ─ ── (1.35)
V– nb V2

Dengan menyusun ulang persamaan (1.35) menjadi

n2a
P + ── (V– nb) = nRT (1.36)
V2

Persamaan (2.7) ini adalah persamaan gas nyata yang dikenal sebagai Persamaan Keadaan
Gas Van der Waals. Tetapan a dan b bergantung pada jenis gas. Beberapa nilai a dan b untuk
gas-gas tertentu ditunjukkan dalam dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Konstanta van der Waals beberapa gas
Nama Gas a/(Pa m6mol-2) b/(10-6m3mol-1)
He 0,0035 23,70
H2 0,0247 26,61
N2 0,1408 39,13
O2 0,1378 31,83
Cl2 0,6579 56,22
NO 0,1358 27,89
H2O 0,5536 30,49
CO2 0,3640 42,67
CH4 0,2283 42,78
1.3. 2. Persamaan Virial
Walaupun perhitungan pada gas nyata dengan persamaan van der Waals lebih teliti
dibandingkan dengan persamaan gas ideal, namun pada tekanan tinggi persamaan van der Waals
tidak memuaskan, terutama jika digunakan suhu kritis yang tinggi. Untuk keadaan yang
demikian, Kammerlingh Onnes mengajukan suatu persamaan keadaan yang disebut persamaan
keadaan gas virial, dengan bentuk umum adalah sebagai berikut,
B C D E
PV = RT 1 + ── + ── + ── + ── + …… (1.37)
V V2 V3 V4
dengan B, C, D dan seterusnya adalah koefisien virial kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya.
Koefisien ini merupakan fungsi suhu dan bergantung pada jenis gas. Dalam bentuk lain
persamaan tersebut dinyatakan dengan

PV = RT (1 + B’P + C’P2 + D’P3 + ……) (1.38)


dengan B’, C’ D’, dan seterusnya merupakan fungsi suhu.
Nilai-nilai koefisien virial untuk gas van der Waals dapat ditentukan dengan cara
membandingkan persamaan (1.37) terhadap persamaan gas van der Waals, yang keduanya
dinyatakan dalam bentuk fungsi Z terhadap volum. Oleh karena itu, dengan mengabaikan
bentuk suku yang lebih tinggi, bentuk persamaan (1.37) dapat diubah menjadi
PV B C
Z = ─── = 1 + ── + ── (1.39)
RT V V2
Kemudian persamaan van der Waals untuk 1 mol gas dapat dinyatakan dalam bentuk

PV 1 a
Z = ─── = ─── ─ ── (1.40)
RT 1-b/V RTV

Pada tekanan rendah nilai b/ V kecil dibandingkan satu, sehingga suku pertama pada ruas
kanan persamaan (1.40) dapat diselesaikan dengan menggunakan deret. Dalam deret
dinyatakan bahwa bila x lebih kecil daripada satu, maka hasilnya sebagai berikut :

1
─── = 1 + x + x2 + x3 + …
1- x

dan persamaan (2.11) menjadi

b b 2 a
Z = 1 + ── + ─ + ……. ─ ─── (1.41)
V V RTV
Atau
a 1 b 2
Z = 1 + b ─ ── ─ + ─ + ………………….. (1.42)
RT V V

Dengan membandingkan persamaan (1.39) dengan (1.42) maka didapat

B = b – (a/RT) dan C = b2

1.3.3. Persamaan Beatle-Bridgeman


Persamaan keadaan gas nyata lain yang cukup teliti adalah persamaan keadaan Baetle-
Bridgeman yang dirumuskan dalam bentuk persamaan virial sebagai berikut:

β γ δ
PV = RT + ── + ── + ── (1.43)
V V2 V3

Dengan β, γ, dan δ masing-masing adalah


Ao c
β = RT Bo ─ ── ─ ── (1.44)
RT T3
Aoa Boc
γ = RT ─ Bob + ── ─ ──
RT T 3

Bobc
δ = RT ───
T3
Persamaan keadaan Beatle-Bridgeman memiliki 5 tetapan selain R, yakni Ao, a, Bo, b, dan c

1.3.4. Persamaan Berthelot


Persamaan yang teliti untuk digunakan pada tekanan rendah (sekitar 1 atm atau lebih
rendah) adalah persamaan Berthelot yang sudah dimodifikasi dinyatakan sebagai berikut:

RT 9PTc 6Tc2
P = ── 1 + ──── 1 ─ ─── (1.45)
V 128PcT T2

Dengan Pc dan Tc berturut-turut adalah tekanan kritis dan suhu kritis gas. Persamaan ini sering
digunakan untuk menghitung volum dan massa relatif gas.

1.4. ISOTERM GAS NYATA


Hubungan Tekanan dan volum untuk gas nyata tidak berbentuk asimtot, seperti gas ideal,
tetapi dapat berupa kurva yang memiliki nilai minimum, maksimum, atau titik belok. Gambar 3.1.
di bawah menunjukkan hubungan antara tekanan dengan volum gas nyata pada berbagai suhu.
Misalkan suatu gas berada dalam tabung berpiston pada keadaan yang ditandai dengan titik A,
suhunya dipertahankan tetap pada T1, secara perlahan piston ditekan sehingga volumnya berubah
dari V1 menjadi V2. Sesuai dengan berkurangnya volum, tekanan meningkat secara perlahan
sampai V2 tercapai. Pengurangan volum sepanjang V2 sampai V3 ternyata tidak mengubah tekanan,
sementara itu pengurangan sedikit saja V3 menjadi V4 mampu meningkatkan tekanan yang sangat
besar, dari Pe ke P’.
Ts
P’
• T3
P
Tc

Pe T2
• T1

V4 V3 V2 V1
V

Gambar 3.1. Isoterm gas nyata

Bagaimana hal tersebut dapat dijelaskan? Pada V2 tetesan cairan mulai muncul. Proses
kondensasi terjadi sepanjang perubahan volum dari V2 sampai V3. Selama perubahan volum dari V2
ke V3 cairan yang terbentuk makin banyak. Sementara tekanannya tetap Pe, yakni tekanan uap saat
kesetimbangan antara cairan dan uapnya pada suhu T1. Pada V3 jejak terakhir gas menghilang pada
tekanan uap kesetimbangan (Pe) cairan. Selanjutnya pengurangan volum sedikit saja akan
meningkatkan tekanan secara tajam dari Pe ke P’, karena cairan hampir tidak dapat ditekan.
Garis kesetimbangan (V2 menuju V3) akan semakin pendek pada isoterm yang lebih tinggi,
yang pada akhirnya pada suhu kritis (biasa disebut isoterm kritis) garis tersebut menjadi sebuah
titik. Selanjutnya jika suhunya pada isoterm yang lebih tinggi lagi bentuk kurva berubah menjadi
mirip dengan bentuk kurva gas ideal.
Salah satu contoh isoterm yang memperlihatkan kemiripan dengan isoterm gas nyata
adalah isoterm gas CO2. Pada suhu 13,1 oC gas CO2 memperlihatkan tekanan kesetimbangan yang
cukup panjang. Makin tinggi suhunya, garis kesetimbangan tersebut semakin pendek. Pada suhu
31,1 oC garis kesetimbangan menghilang. Suhu ini merupakan isoterm kritis untuk gas CO 2. Di
atas suhu ini isoterm menjadi mirip dengan isoterm gas ideal. Gas hanya dapat dicairkan
(dikondensasi) di bawah suhu kritisnya. Di atas suhu kritis gas tak mungkin dicairkan (bersifat
seperti gas ideal).

1.4.1. Isoterm van der Waals


Gambar (3.2) memperlihatkan bentuk isoterm untuk gas nyata, dengan anggapan bahwa
gas ini mengikuti persamaan gas van der Waals.

P E
Pc • T3

C
A D Tc
Pe • • •
T2
B
V ′
V" V‫׳״‬
V
Gambar 3.2. Isoterm gas van der Waals

Jelas terlihat kemiripan isoterm ini dengan isoterm pada gambar (3.1). Perbedaannya
terletak pada bagian datar kurva. Menurut isoterm van der Waals, pada bagian ini, untuk setiap
tekanan tertentu terdapat tiga nilai volum. Pada suhu kritis, ketiga nilai volum tersebut berimpit
menjadi satu titik, dan merupakan titik belok.
Perhatikan kembali persamaan van der Waals yang dinyatakan dalam persamaan tekanan
sebagai fungsi volum molar:

RT a
P = ─── ─ ── (1.46)
2
V– b V
Pada saat V sangat besar persamaan (1.46) mendekati persamaan gas ideal, karena jika V
sangat besar maka a / V2 sangat kecil dibandingkan dengan RT / (V - b), dan juga b « V. Hal ini
berlaku pada suhu tinggi, yaitu T3.
Pada suhu rendah dan volum kecil, suku-suku dalam persamaan (1.46) tidak dapat
diabaikan. Misalnya mulai pada suhu kritis (Tc) dan tekanan kritis (Pc) kurva membentuk titik
belok, yaitu pada titik E. Titik ini biasa disebut titik kritis. Pada suhu yang lebih rendah dari suhu
kritis (T2), kurva membentuk nilai maksimum dan minimum, yaitu C dan B, dan memiliki tiga
macam nilai volum pada tekanan tertentu. Hal ini tidak mengherankan, karena persamaan van der
Waals merupakan suatu persamaan pangkat tiga.
Kurva bagian DC dan AB pada kurva suhu T2 dapat dihasilkan secara eksperimen. Jika
volum suatu gas pada suhu T2 diturunkan secara bertahap, tekanan akan meningkat sampai tercapai
titik D. Pada titik ini kondensasi mulai terjadi, namun demikian dapat pula terjadi bahwa cairan
tidak terbentuk, sehingga pengurangan volum selanjutnya mengakibatkan peningkatan tekanan
sepanjang garis DC. Pada bagian ini tekanan gas melampaui tekanan uap kesetimbangan, Pc. Oleh
karena itu, titik-titik tersebut menyatakan terjadinya supersaturated (atau supercooled) uap.
Dengan cara yang sama, jika volum suatu cairan pada suhu T2 ditingkatkan, tekanan akan turun
secara drastic sampai titik tekanan kesetimbangan. Pada titik ini uap akan terbentuk, akan tetapi,
dapat juga terjadi bahwa uap tidak terbentuk, sehingga peningkatan volum selanjutnya
menghasilkan pengurangan tekanan sepanjang garis AB. Titik-titik yang terdapat dalam garis AB
menyatakan keadaan superheated liquid. Keadaan supersaturated dan superheated uap adalah
keadaan metastabil.
Garis BC yang terdapat dalam kurva van der Waals secara eksperimen tidak dapat
diperoleh. Pada bagian ini lereng kurva memiliki nilai positip. Peningkatan volum sistem akan
mengakibatkan peningkatan tekanan dan penurunan volum akan mengakibatkan penurunan
tekanan. Keadaan pada bagian BC adalah keadaan unstabel.

1.4.2. Keadaan Kritis Gas van der Waals


Perhatikan kembali persamaan keadaan gas van der Waals dalam bentuk

a
P + ── ( V– b) = RT (1.47)
V2

Dengan menggunakan sifat distribusi, kemudian hasilnya dikalikan dengan V2/P,


persamaan van der Waals dapat diubah menjadi

RT a ab
V 3 ─ b + ── V 2 + ─ V – ─ = 0 (1.48)
P P P

Persamaan (1.48) adalah persamaan volum pangkat tiga, yang berarti bahwa untuk P dan T
tertentu ada tiga nilai volum, misalnya pada Pc dan T2 dalam gambar (3.2). Pada ketiga volum
tersebut ada kesetimbangan antara fasa cair dan uap. Daerah kesetimbangan 2 fasa tersebut makin
menyempit dengan naiknya suhu, sehingga akhirnya tercapai suhu dan tekanan kritis, yakni T dan
P di atas mana gas tak mungkin dikondensasi. Volum pada keadaan ini disebut volum kritis, diberi
simbol Vc.
Nilai volum kritis dapat diperoleh dengan cara menggunakan sifat turunan pertama dan
kedua dari persamaan vander Waals yang dinyatakan dalam keadaan kritis, sehingga persamaan
(1.46) menjadi
RTc a
Pc = ─── ─ ── (1.49)
Vc– b Vc2
Pada titik belok berlaku

P  2P
── = 0 dan ── = 0 (1.50)
V Tc V 2 Tc

Oleh karena itu, jika persamaan (1.49) diturunkan terhadap volum akan diperoleh

Pc RTc 2a
── = ─ ──── + ── = 0 (1.51)
Vc Tc (Vc– b)2 Vc3
 2Pc 2RTc 6a
── = ──── ─ ── = 0 (1.52)
Vc 2 Tc (Vc– b)3 Vc4

dari persamaan (1.50), (1.51) dan (1.52) dapat diperoleh nilai tetapan van der Waals, yang
dinyatakan dalam besaran-besaran kritis, yaitu :
a = 3 Vc2Pc dan b = ⅓ Vc (1.53)
Dengan menggunakan persamaan (1.53) dapat diketahui nilai-nilai tekanan dan volume pada
keadaan kritis, dan diperoleh hasil
3RTc
Pc = ─── (1.54)
8Vc

3RTc
Vc = ─── (1.55)
8Pc

8PcVc
R = ──── (1.56)
3Tc
Nilai tetapan kritis untuk beberapa gas tertera pada tabel 3.1.

Tabel 3.1. Keadaan kritis beberapa gas


Gas Pc/(M Pa) Vc / (10-6 m3) Tc / K
He 0,229 62 5,25
H2 1,30 65 33,2
N2 3,40 90 126
O2 5,10 75 154
CO2 7,40 95 304
SO2 7,80 123 430
H 2O 22,10 57 647
Hg 360,00 40 1900

1.4.3. Hukum Keadaan Sehubungan


Substitusi nilai-nilai a,b, dan R (persamaan 1.53 dan 1.56) ke dalam persamaan van der
Waals menghasilkan persamaan
8PcVc T 3 Pc Vc2
P = ──────── ─ ──── (1.57)
3Tc (V– Vc /3) V2
Persamaan ini dapat disusun ulang menjadi

P 8 ( T / Tc ) 3
── = ──────── ─ ──── (1.58)
2
Pc 3( V / Vc ) ─ 1 ( V/ Vc )
Persamaan 3.13 ternyata hanya mengandung hubungan P/Pc, T/Tc dan V/Vc. Besaran-
besaran tersebut dikenal sebagai variabel tereduksi, yakni: tekanan tereduksi, diberi simbol π atau
Pr; suhu tereduksi, diberi simbol τ atau Tr ; dan volum tereduksi, diberi simbol ф atau Vr .

π = P/Pc τ = T/Tc ф = V/Vc


Dengan demikian persamaan van der Waals dapat dinyatakan dalam variabel tereduksinya
8τ 3
π = ─── ─ ── (1.59)
3ф -1 ф2
Persamaan (1.59) menyatakan hubungan antara satu variabel tereduksi dengan dua
variabel tereduksi lainnya. Persamaan ini merupakan pernyataan matematis dari hukum keadaan
sehubungan, yang menyatakan bahwa: “jika dua atau lebih zat mempunyai tekanan tereduksi dan
suhu tereduksi yang sama, maka volum tereduksinya akan sama pula”.
1.4.4. Faktor kompresibilitas sebagai fungsi tekanan tereduksi
Faktor kompresibilitas atau faktor daya mampat (Z) merupakan ukuran keidealan suatu
gas. Bagi gas ideal, Z = 1, sedangkan bagi gas nyata Z ≠ 1. Makin menyimpang Z dari nilai satu,
makin tidak ideal gas yang bersangkutan. Jika suatu gas diketahui faktor daya mampatnya, maka
perhitungan yang teliti dari volum dapat dilakukan melalui persamaan (1.60).
PV
Z = ─── (1.60)
nRT
Faktor kompresibilitas bergantung pada jenis gas, suhu, serta tekanan. Para ahli telah
mengembangkan suatu metoda untuk menentukan Z yang berlaku untuk sebuah gas. Metoda ini
didasarkan atas kenyataan bahwa factor kompresibilitas merupakan fungsi universal dari tekanan
tereduksi dan suhu tereduksi.
Diagram alir Z yang dialurkan terhadap tekanan tereduksi, Pr, pada berbagai suhu
tereduksi, Tr, dapat dilihat pada gambar 3.3. Grafik ini berlaku umum, dan dapat digunakan untuk
menghitung berbagai data mengenai gas nyata.
Gambar 3.3. Faktor kompresibilitas, Z, terhadap tekanan tereduksi, Pr,
pada berbagai suhu tereduksi
1.5. SUHU BOYLE
Suhu Boyle didefinisikan sebagai suhu dimana plot nilai Z terhadap tekanan, P, mendekati
garis Z =1 secara asimtot apabila P mendekati nol adalah
Z
── =0 (1.61)
P→ 0 P T

Untuk gas van der Waals, suhu Boyle dapat ditentukan sebagai berikut. Pertama persamaan van
der Waals diubah dalam bentuk nilai Z sebagai fungsi P. Kemudian persamaan tersebut diturunkan
terhadap P pada suhu tetap dengan catatan V sangat besar. Akhirnya diterapkan aturan suhu Boyle
pada hasil turunannya.
a P b 2
Z = 1 + b ─ ── ─ + ─ P2 (1.62)
RT RT RT

Z a 1 b 2
── = b ─ ── ─ + 2 ─ P =0 (1.63)
P T RT RT RT

karena

Z
── =0
P→ 0 P T

maka
a 1
b ─ ── ── = 0 (1.64)
RTB RTB

karena
1 a
── ≠ 0 maka b = ── (1.65)
RTB RTB

Sehingga Tb = a/Rb (1.66)

1.6. PENENTUAN MASSA MOLEKUL GAS NYATA


Pada tekanan rendah, gas nyata cenderung bersifat seperti gas ideal. Sifat ini dapat
dimanfaatkan untuk menentukan massa molekul relatif suatu gas nyata, dengan menggunakan
pendekatan  /P terhadap tekanan, P.
Pada tekanan rendah, untuk gas van der Waals, persamaan dapat dinyatakan sebagai
P(V-nb) = nRT (1.67)
Atau PV = n(RT + bP)
RT + bP
P =  ─────
M

 M / RT
─ = ────── (1.68)
P 1 + bP/RT
Pada tekanan rendah persamaan (1.68) dapat diperluas menjadi
 M Mb
─ = ── ─ ─── P (1.69)
P RT (RT) 2
Plot  /P terhadap P merupakan garis lurus, dengan kemiringan –Mb/(RT)2 dan intersep
M/RT. Massa molekul relatif gas dapat diperoleh hanya dari intersep.

1.7. KOEFISIEN EKSPANSI TERMAL DAN KOMPRESIBILITAS


Gay Lussac melakukan pengukuran volum sejumlah tertentu gas pada tekanan tetap dan
ditemukan bahwa volum gas merupakan fungsi linear dan suhu. Ini dinyatakan dengan persamaan.
V = a + bt (1.70)
dengan t adalah suhu, a dan b adalah suatu tetapan. Aluran volum sebagai fungsi suhu ditunjukkan
dalam gambar (4.1). Perpotongan garis pada sumbu tegak adalah a = Vo, volum pada suhu O oC,
sedangkan kemiringan kurva adalah b = (V/t)P,n. Jadi persamaan (1.70) dapat ditulis ulang

V
V = Vo + ── (1.71)
t P,n
V/dm3

30

20

Vo 10

-40 -20 0 20 40 60 80 100


t / oC
Gambar 4.1. Volum sebagai fungsi suhu
Dengan demikian untuk suatu gas dengan massa tertentu pada tekanan tetap peningkatan
volum per derajat adalah ( V/ t)P,n, sehingga peningkatan volum relatif per derajat pada suhu 0 oC
adalah (1/Vo) ( V/ t)P,n. Besaran ini disebut koefisien ekspansi termal pada 0 oC, dan diberi
simbol 0.
1 V
 0 = ─ ── (1.72)
Vo  t P,n

Dari persamaan (1.70) dan (1.72) dapat dihasilkan bentuk persamaan lain, yaitu

1
V = Vo o ─ + t (1.73)
o

Dari persamaan (1.73) lahir transformasi koordinat, yakni dari skala temperature Celsius
ke skala temperature baru, Kelvin.

1
K= ─ + t (1.74)
o

dengan 1/o = 273,15 oC dan T adalah suhu mutlak, dalam satuan Kelvin, t adalah suhu dalam
satuan derajat Celsius.
Eksperimen Charles menunjukkan bahwa harga o sama untuk gas apapun dan tak
bergantung tekanan. Koefisien ekspansi termal secara umum dinyatakan dengan

1 V
 = ─ ── (1.75)
V T P,n

Jika koefisien ekspansi termal merupakan ukuran sampai sejauh mana perubahan volum
relatif suatu zat untuk setiap derajat perubahan suhu pada tekanan tetap, maka koefisien
kompressibilitas, merupakan ukuran sampai sejauh mana perubahan volum relatif suatu zat untuk
setiap satuan perubahan tekanan pada suhu tetap. Koefisien kompressibilitas, , dapat kita
nyatakan sebagai

-1  V
 = ─ ── (1.76)
Vo  P T,n
BAB 2
HUKUM PERTAMA TERMODINAMIKA

2.1 BEBERAPA PENGERTIAN DASAR


Beberapa pengertian dasar yang banyak berkaitan dengan termodinamika adalah: sistem dan
lingkungan, keadaan sistem dan persamaan keadaan, fungsi keadaan, perubahan keadaan, kalor
dan kerja.

2.1.1 Sistem dan lingkungan


Yang dimaksud dengan sistem adalah sistem kimia, yaitu sesuatu atau sejumlah zat atau
campuran zat-zat yang dibatasi oleh sifat-sifat fisik atau konseptual yang sifat-sifatnya dapat
dipelajari atau menjadi pusat perhatian. Diluar atau selain sistem tersebut dinamakan lingkungan.
Antara sistem dan lingkungan dapat terjadi interaksi, yaitu berupa pertukaran energi dan atau
materi. Berdasarkan interaksi, sistem dapat dibedakan atas tiga sistem seperti ditunjukkan pada
tabel berikut :
Tabel 5.1. Sifat-sifat sistem dan perbedaannya
No Nama system Pertukaran
Energi Materi
1 Sistem tersekat Tidak terjadi Tidak terjadi
2 Sistem tertutup terjadi Tidak terjadi
3 Sistem terbuka terjadi terjadi

Untuk menghasilkan sistem tersekat, dapat dilakukan dengan menggunakan termos hampa
udara, atau busa plastik (stereofoam). Sistem yang memungkinkan terjadi pertukaran energi dapat
dibuat dengan menggunakan bahan gelas atau logam. Sistem terbuka banyak sekali ditemukan
dalam percobaan-percobaan di laboratorium, seperti percobaan yang dilakukan dengan
menggunakan tempat terbuka, misalnya gelas piala, tabung reaksi dan sebagainya.

2.1.2 Keadaan Sistem dan Persamaan Keadaan


Keadaan sistem dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat yang mempunyai nilai tertentu apabila
sistem ada dalam kesetimbangan pada kondisi tertentu. Keadaan sistem ditentukan oleh beberapa
variabel sistem, yaitu pertama, variabel yang nilainya tidak bergantung pada besar dan ukuran
sistem. Variabel ini disebut variabel intensif, yakni suhu (T), tekanan (P), massa jenis (), volum
spesifik (v), volum molar (V), dan sebagainya. Kedua, variabel yang nilainya bergantung pada
besar dan ukuran sistem, variable ini biasa disebut variable ekstensif, yakni: Volum total (V),
massa (m), jumlah mol (n), dan sebagainya.
Hubungan antara variabel-variabel sistem dinyatakan dalam persamaan keadaan. Misalnya
persamaan keadaan gas ideal, PV = nRT, persamaan van der Waals, (P+an2/V2) (V-nb) = nRT , dan
sebagainya.
2.1.3 Fungsi Keadaan
Fungsi keadaan merupakan sifat setiap sistem yang hanya tergantung pada keadaan awal dan
keadaan akhir. Di dalam termodinamika dikenal beberapa fungsi keadaan, yaitu: Energi dalam (u;
U) entalpi (h; H), entropi (s; S), energi bebas Gibbs (g; G), dan energi bebas Helmholtz (a; A).
Salah satu sifat penting dari fungsi keadaan diferensialnya merupakan differensial total
(diferensial eksak). Beberapa sifat deferensial total ialah sebagai berikut:
2
1. Jika ∫ dz = z2 – z1, maka dz adalah diferensial total
1
2. Jika o∫ dz = 0, maka dz adalah diferensial total
3. Berlaku formula Euler: jika dz = M(x,y) dx + N(x,y) dy maka

M N
── = ── (2.1)
y x x y

2.1.4 Perubahan Keadaan


Cara suatu sistem mengalami perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain biasa
dikenal dengan proses. Proses yang terjadi pada suatu sistem dapat dikelompokkan menjadi dua
macam, yaitu: pertama proses reversibel, proses yang berlangsung tak terhingga lambatnya,
sehingga setiap saat sistem selalu berada dalam keadaan kesetimbangan (quasy-static = seolah-
olah static). Salah satu contoh proses reversibel adalah proses perubahan fasa pada titik transisi air.

H2O (l, 100 oC, 1 atm)  H2O (g, 100 oC, 1 atm) (2.2)

Perhatikan tanda fasa untuk kedua H 2O pada persamaan reaksi di atas. Sebelah kiri
persamaan reaksi, air berfasa cair (l) pada suhu 100 oC; 1 atm, berkesetimbangan dengan air
berfasa gas, pada suhu dan tekanan yang sama. Sebaliknya perubahan terjadi juga dari fasa gas
menjadi fasa cair. Proses reversibel dapat berlangsung pada suhu tetap (isothermal), tekanan tetap
(isobar), volume tetap (isokhor), entropi tetap (isentrop), dan secara adiabat (tak ada perpindahan
kalor antara sistem dengan lingkungannya). Semua proses yang tidak memenuhi proses reversibel
disebut irreversibel, dan proses ini banyak terjadi di alam sekitar kita.

2.1.5 Kalor
Kalor biasanya dilambangkan dengan q atau Q, merupakan salah satu bentuk energi yang
dapat dipertukarkan oleh sistem dan lingkungan karena adanya perbedaan suhu. Untuk
memudahkan pemahaman, Q bernilai positip apabila sistem menerima kalor dari lingkungan.
Pertukaran kalor ini digambarkan dengan gambar 5.1.

Q (+) Sistem Q (-)

Lingkungan

Gambar 5.1. Pertukaran kalor antara sistem dengan lingkungan

Kalor yang diserap sistem untuk menaikkan suhunya sebesar satu derajat disebut kapasitas
kalor, biasanya dinyatakan dengan simbol C, secara matematika dirumuskan dengan persamaan
(2.2).
Q
C = ── (2.3)
ΔT
Kapasitas kalor untuk setiap satu mol zat biasa disebut kapasitas kalor molar, C. Sedangkan
kapasiatas kalor untuk setiap gram atau setiap kilogram biasa disebut kalor spesifik, c (JK-1g-1).
Hubungan antara ketiganya dinyatakan dengan persamaan (2.3).
C = nC = mc (2.4)
dengan n adalah jumlah mol zat, dan m adalah jumlah massa zat

2.1.6 Kerja
Setiap bentuk energi yang bukan kalor yang dipertukarkan antara sistem dan lingkungan
disebut kerja (w, W). Nilai kerja, W, diberi tanda negatif apabila sistem melakukan kerja, apabila
sistem menerima kerja,W diberi tanda positip. Secara sederhana diperlihatkan seperti pada gambar
5.2.

W (-)
W (+) Sistem

Lingkungan
Gambar 5.2. Pertukaran kerja antara sistem dengan lingkungannya

Telah dikenal bahwa terdapat berbagai macam bentuk kerja; ada kerja listrik, kerja
mekanik, kerja magnetic, kerja volum, dan sebagainya. Kerja yang dibahas adalah kerja volum,
yaitu kerja yang menyertai perubahan keadaan (volum) sistem akibat ekspansi atau kompresi suatu
zat (pada umumnya terjadi pada gas).

Kerja ekspansi satu langkah


Kerja ekspansi adalah kerja yang terjadi apabila volum sistem membesar melawan tekanan
lingkungannya. Untuk menggambarkan keadaan suatu sistem yang mengalami ekspansi diperlukan
dua keadaan, yaitu keadaan volum awal dan volum akhir, dikatakan sistem melakukan kerja
ekspansi satu langkah. Kita tinjau suatu gas yang terdapat di dalam tabung yang dilengkapi dengan
piston yang diasumsikan tidak bermassa dan dapat bergerak tanpa gesekan. Tabung direndam
dalam thermostat sehingga suhunya tetap selama perubahan keadaan. Mula-mula piston ditahan di
S. Di atas piston diletakkan benda bermassa m. Tentu saja massanya harus cukup kecil sehingga
ketika penahan S dibuka gas mengalami ekspansi, piston akan bergerak naik sampai di penahan S’.
Keadaan ini digambarkan pada gambar 5.3.
Kerja yang dilakukan sistem sebesar W = mgh, dengan m adalah massa benda, g adalah
gravitasi, dan h adalah jarak perpindahan benda. Dengan menggunakan hubungan mg = P lA, dapat
dinyatakan hubungan antara kerja yang dilakukan sistem dengan perubahan volumnya, secara
matematika dinyatakan dalam persamaan 5.5.
M
S’ S’

M
h
S S
T,P2,V2
T,P1,V1

(a) keadaan awal (a) keadaan akhir

Gambar 5.3. Ekspansi satu langkah

W = - P1 Δ V
W = - P1 ( V2 – V1) (2.5)
W adalah kerja total yang menyertai perubahan keadaan sistem; Pl adalah tekanan luar
(lingkungan) yang disebabkan oleh massa m; V2 adalah volum sistem pada keadaan akhir; dan V1
adalah volum sistem pada keadaan awal. Tanda negatip diberikan untuk menyesuaikan karena
sistem melakukan kerja. Kerja yang dilakukan sistem tersebut dapat digambarkan pada gambar
5.4.
Dari gambar (5.4) terlihat bahwa rentang Pl ada diantara 0 dan P2, karena proses ekspansi,
Pl tidak mungkin lebih besar dari pada P2. Perlu diketahui pula bahwa persamaan (2.5) berlaku
bukan hanya untuk kerja ekspansi melainkan juga kerja kompresi. Jika terjadi kompresi, sistem
menerima kerja, dan W akan bertanda positip. Pada kompresi, V2 < V1, dan adanya tanda negatif
pada persamaan (2.5) secara otomatis akan menghasilkan W bertanda positip.

• P1,V1

P2,V2
Pl •
Rentang
P1
V1 V2 V

Gambar 5.4. Jumlah kerja yang dihasilkan pada ekspansi satu langkah

Kerja ekspansi dua langkah


Penentuan keadaan sistem dapat juga dilakukan lebih dari dua keadaan. Apabila keadaan
sistem ditentukan pada tiga keadaan maka kerjanya dinamakan kerja ekspansi dua langkah (2 tak)
Perubahan keadaan sistemnya dapat digambarkan seperti pada gambar (5.5)

Pl

Pl

Pl V2

V♥
V1
awal tengah akhir

Gambar 5.5. Perubahan keadaan pada ekspansi dua langkah

Kerja total yang dilakukan sistem diperoleh dengan menjumlahkan kerja pada langkah
pertama dan langkah kedua. Secara matematika hal ini dirumuskan seperti pada persamaan (2.6).
W = W langkah pertama + W langkah kedua (2.6)

Secara grafik, kerja yang dihasilkan pada sistem dua langkah dapat digambarkan seperti
pada gambar 5.6. Daerah yang diarsir menyatakan jumlah kerja yang terjadi pada ekspansi dua
langkah. Untuk sistem yang sama, jumlah kerja yang terjadi dapat berbeda apabila sistem tersebut
bekerja dengan langkah berbeda. Sistem dengan perubahan keadan pada langkah yang lebih
banyak akan disertai dengan kerja yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari luas daerah yang
diarsir. Daerah yang diarsir pada sistem yang bekerja dua langkah lebih besar daripada yang
bekerja satu langkah. Dengan demikian semakin banyak langkah yang dilakukan maka kerjanya
akan semakin besar pula.

• P1,V1
P

P’

P2,V2
P” •

V1 V’ V2 V

Gambar 5.6. Kerja yang dihasilkan pada ekspansi dua langkah

Ekspansi Reversibel
Sistem yang melakukan langkah sangat banyak memiliki perubahan volum sangat kecil
untuk setiap langkahnya. Untuk menyatakan volum yang sangat kecil itu dinyatakan dengan dV,
sedangkan kerja yang dihasilkan untuk setiap perubahan volumnya dinyatakan dengan dW, tanda d
digunakan untuk menyatakan bahwa kerja bukan merupakan fungsi keadaan. Hubungan antara
kerja dan perubahan volumnya dinyatakan secara matematika sebagai persamaan (2.6).
dW = -Pl dV (2.6)
dengan Pl adalah tekanan lingkungan. Apabila dV sedemikian kecilnya sehingga tekanan sistem
senantiasa berkesetimbangan dengan tekanan lingkungannya maka sistem ini bekerja secara
reversibel. Pada sistem ini tekanan luar dapat dianggap sama dengan tekanan sistem (P), Pl = P,
sehingga persamaan (2.6) menjadi
dW = -P dV (2.7)
Karena P pada persamaan (2.7) merupakan tekanan sistem maka dapat digunakan
persamaan keadaan sistem. Apabila sistem tersebut merupakan gas ideal maka P dapat dinyatakan
dengan persamaan gas ideal. Demikian pula, apabila sistem tersebut mengikuti sifat gas van der
Waals maka P dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan keadaan gas van der Waals, dan
sebagainya. Jumlah total kerja yang dihasilkan pada ekspansi reversibel dapat diperoleh dengan
jalan mengintegrasikan persamaan (2.7)
V2
W= ∫ -P dV (2.8)
V1

Jika digambarkan, kerja yang dilakukan pada proses reversibel diperlihatkan pada gambar
(5.7). Daerah yang diarsir menyatakan jumlah total kerja yang dihasilkan pada proses reversibel
yang dibatasi dari keadaan awal (1) sampai keadaan akhir (2). Dari grafik ini, jika dibandingkan
dengan grafik-grafik sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa pada proses reversibel kerja yang
dilakukan oleh sistem merupakan kerja maksimum.

P
• P1,V1

P2,V2

V1 V2 V

Gambar 5.7. Kerja yang dihasilkan pada ekspansi reversibel

2.1.7 Kerja Kompresi


Kerja kompresi merupakan kebalikan dari kerja ekspansi. Persamaan yang digunakan
untuk menentukan kerja kompresi sama dengan persamaan yang digunakan untuk menyatakan
kerja ekspansi. Namun demikian karena di dalam kompresi volum akhir lebih kecil daripada
volum awal, dalam setiap tahap ΔV bernilai negatif, sehingga kerja total sistem adalah positip. Ini
dapat berarti bahwa pada kompresi, sistem menerima kerja dari lingkungannya sehingga energinya
bertambah. Jika proses ekspansi reversibel diperoleh kerja maksimum, maka pada proses kompresi
reversibel, kerja yang diterima oleh sistem merupakan kerja minimum.
2.2 ENERGI DALAM DAN PERUBAHANNYA
Energi didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk melakukan kerja. Keseluruhan energi yang
dimiliki suatu sistem dalam keadaan tertentu disebut energi dalam, yang dilambangkan dengan U.
Energi dalam merupakan suatu fungsi keadaan, hanya bergantung pada keadaan sistem, tidak
bergantung pada jalan yang dilalui sistem. Misalnya, jika suatu sistem mengalami perubahan dari
keadaan awal (yang memiliki U1) ke keadaan akhir (yang memiliki U2) maka energi dalam sistem
akan berubah sebanyak Δ U = U akhir – U awal = U2 – U1.

2.2.1 Perumusan Hukum Pertama Termodinamika


Jumlah maupun macam perubahan yang dialami oleh sistem tidak akan mempengaruhi
nilai perubahan energinya, ia hanya ditentukan oleh keadaan awal dan akhir sistem. Hubungan
antara perubahan energi dalam dengan bentuk energi lain dapat dirumuskan sebagai berikut:
ΔU=Q+W (2.9)
Persamaan ini merupakan suatu bentuk rumusan matematis dari Hukum Pertama
Termodinamika, yang merupakan bentuk lain dari hukum kekekalan energi. Dalam bentuk
perubahannya yang sangat kecil biasanya dirumuskan dengan persamaan (2.10)
d U = dQ + dW (2.10)
Persamaan (2.10) mempunyai arti bahwa energi dalam sistem berubah sebesar d U jika
sistem menyerap atau mengeluarkan sejumlah kecil kalor (dQ) dan melakukan atau menerima
sejumlah kecil kerja (dW).
Hukum pertama Termodinamika merupakan konsep empiris. Dalam persamaan ini tersirat
bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dihilangkan, energi hanya dapat diubah menjadi bentuk
lain, yaitu kalor dan kerja. Seperti yang telah disinggung pada bagian sebelumnya, kalor dan kerja
bukan fungsi keadaan, sementara U suatu fungsi keadaan. Telah diperlihatkan pula di bagian lain
bahwa kerja bergantung pada jalan atau cara perubahan. Kerja yang dihasilkan pada perubahan
sistem dari keadaan awal ke keadaan akhir proses ekspansi satu langkah berbeda dengan kerja
pada ekspansi dua langkah, demikian pula dengan kerja pada ekspansi reversibel.
Jika kerja yang dilakukan sistem dibatasi hanya pada kerja volum melawan tekanan
lingkungan yang tetap, maka persamaan (2.6) dapat disubstitusikan ke dalam persamaan (2.10),
sehingga menjadi persamaan (2.11)
d U = dQ – Pl dV (2.11)
Dengan menggunakan persamaan (2.11) kita dapat menjelaskan sifat-sifat sistem yang
bekerja berdasarkan perubahan volum, diantaranya:
1. Jika proses berlangsung isokhor, dV = 0, maka perubahan energi dalam sistem sama dengan
jumlah kalor yang diterima sistem, dU = dQ atau ΔU = Q. Dapat juga dikatakan bahwa pada
volum tetap, semua kalor yang diterima sistem digunakan untuk meningkatkan energi
dalamnya.
2. Jika sistem disekat sempurna (adiabat), dQ = 0, maka energi dalam sistem akan berkurang
pada saat sistem melakukan kerja terhadap lingkungan, atau sebaliknya energi sistem akan
bertambah jika sistem menerima kerja dari lingkungan.

2.2.2 Energi Dalam Sebagai Fungsi Suhu dan Volum


Untuk suatu sistem tertutup (jumlah dan macam zat tidak mengalami perubahan), besarnya
energi dalam sistem dipengaruhi oleh suhu dan volum. Dengan ungkapan lain, energi dalam
sebagai fungsi suhu dan volum. Secara matematika ungkapan tersebut dapat dituliskan sebagai
berikut.
U = U (T,V)
Pengaruh perubahan kedua variabel tersebut terhadap perubahan energi dalam dirumuskan seperti
persamaan (2.12)

U U
dU = ── dT + ── dV (2.12)
T V V T
Perubahan energi dalam sistem merupakan penjumlahan dari perubahan energi dalam yang
disebabkan karena perubahan suhu pada volum tetap dan perubahan energi dalam yang disebabkan
perubahan volum pada suhu tetap. Jumlah total perubahan energi dalam dapat ditentukan apabila
kuosien-kusien suku pertama dan kedua dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.
Untuk mendapatkan kuosien diferensial suku pertama dapat dilakukan dengan cara
substitusi persamaan (2.11) ke dalam persamaan (2.12).

U U
dQ – Pl dV = ── dT + ── dV (2.13)
T V V T
jika proses berlangsung pada volum tetap, dV = 0, persamaan (2.13) menjadi
U
dQ V = ── dT (2.14)
T V
atau
U dQ V
── = ── = CV (2.15)
T V dT
Dari persamaan (2.15) diperoleh bahwa perubahan energi dalam pada volum tetap,
kuosien pertama tidak lain merupakan kapasistas kalor sistem pada volum tetap (CV), dan besaran
ini dapat diukur secara eksperimen. Dengan demikian pada volum tetap berlaku persamaan (2.16).
dU = CVdT (2.16)
Nilai kuosien (U/V)T dapat ditentukan melalui percobaan yang dilakukan oleh Joule.
Dalam percobaannya, Joule menggunakan set alat seperti yang digambarkan pada gambar (6.1)

Thermometer Pengaduk

A B •

Penangas

Gambar 6.1. Gambaran percobaan Joule


Dua labu A dan B dihubungkan oleh pipa yang dilengkapi kran dimasukkan ke dalam
bejana berisi air yang dilengkapi dengan pengaduk dan thermometer. Semula labu A diisi dengan
gas yang bersifat ideal, dengan tekanan P, sedangkan labu B dihampakan. Alat ini kemudian
direndam dalam bejana. Setelah suhunya berkesetimbangan dengan air yang dapat dilihat melalui
thermometer kran dibuka dan gas memuai hingga mengisi labu A dan B secara merata. Setelah
menunggu beberapa lama, hingga sistem berkesetimbangan lagi dengan air, suhu air dibaca lagi.
Joule mengamati ternyata tidak ada perbedaan suhu air sebelum dan sesudah kran dibuka.
Interpretasi terhadap percobaan tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut: Gas memuasi
terhadap tekanan hampa, Pl = 0, berarti tidak ada kerja yang dilakukan sistem, sehingga dW= 0,
sehingga dU = dQ. Oleh karena suhu tidak berubah, dT = 0, maka dQ = 0 sehingga dU = 0.
Apabila data eksperimen ini diterapkan pada persamaan 2.12 maka diperoleh persamaan (2.17).

U
dU = ── dV = 0 (2.17)
V T
Dalam percobaan tersebut volum berubah, yang berarti dV ≠ 0, sehingga yang paling
mungkin adalah nilai kuosiennya yang nol

U
── = 0 (2.18)
V T
Berdasarkan percobaan Joule, untuk gas ideal, kuosien perubahan energi dalam yang
disebabkan oleh berubahnya volum pada suhu tetap mempunyai nilai nol. Atau energi dalam
bukan fungsi volum.
Percobaan lebih lanjut, yang dilakukan oleh Joule-Thomson, memperlihatkan bahwa
persamaan (2.18) tidak berlaku untuk gas nyata. Untuk gas nyata kuosien tersebut mempunyai
nilai, meskipun sangat kecil. Dengan demikian, perubahan energi dalam untuk gas nyata dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan (2.19).

U
dU = CV dT + ── dV (2.19)
V T

2.3 ENTALPI DAN PERUBAHANNYA


Percobaan di laboratorium lebih banyak dilakukan pada tekanan tetap daripada volum tetap.
Perubahan keadaan sistem yang berlangsung pada tekanan tetap dapat digambarkan oleh gambar
(7.1)
M

M
P2 =P
P1 =P
T2,P1,V2
T1, ,V1

(a) keadaan awal (a) keadaan akhir

Gambar 7.1. Perubahan keadaan pada tekanan tetap

Sebuah silinder yang bebas bergerak diberi beban dengan massa m, sehingga tekanannya P.
Mula-mula sistem berada pada keadaan P1 = P, V1, dan T1. Kemudian sistem mengalami pemuaian
sehingga keadaannya berubah menjadi P2 = P, V2, dan T2. Berdasarkan Hukum pertama
termodinamika,
d U = dQP – PdV
Oleh karena tekanan tetap, integrasi persamaan ini dengan mengambil batas-batas dari
keadaan 1 sampai 2 diperoleh persamaan (2.20).
U2 – U1 = QP – P(V2 – V1) (2.20)
Penyusunan ulang persamaan tersebut menghasilkan persamaan (2.21).
QP = (U2 + PV2) – (U1 + PV1) (2.21)
Oleh karena P1 = P2 = P, maka persamaan (2.21) dapat diubah menjadi persamaan (2.22)
QP = (U2 + P2V2) – (U1 + P1V1) (2.23)
P dan V merupakan fungsi keadaan sistem, perkaliannya merupakan fungsi keadaan sistem,
dan jumlah dari perkaliannya dengan energi dalam U menyatakan fungsi keadaan baru, yang
disebut dengan entalpi, dan diberi simbol H. Dengan demikian diperoleh rumusan baru, yakni :
H = U + PV (2.24)
Dengan menggunakan persamaan (2.24) maka persamaan (2.23) menjadi
QP = H2 – H1 = Δ H atau dQP = dH (2.25)
Persamaan (2.25) menyatakan bahwa kalor yang diserap sistem dari lingkungannya yang
berlangsung pada tekanan tetap, sama dengan peningkatan entalpi sistem.

2.3.1 Entalpi sebagai fungsi suhu dan tekanan


Oleh karena entalpi merupakan fungsi keadaan maka perubahannya merupakan diferensial
eksak. Variabel-variabel yang yang dipilih untuk entalpi adalah suhu dan tekanan. Dengan
demikian entalpi merupakan fungsi suhu dan tekanan yang secara matematis dituliskan sebagai
berikut.
H = H(T,P) (2.26)
Bentuk diferensial totalnya adalah

H H
dH = ── dT + ── dP (2.27)
T P P T
Untuk menentukan nilai perubahan entalpi totalnya harus diketahui nilai-nilai kuosien
suku pertama dan kedua. Nilai kuosien tersebut besarnya dapat diukur secara eksperimen dengan
cara mengatur variable-variabelnya.
Untuk suatu proses yang berlangsung pada tekanan tetap, dP = 0, maka persamaan (2.27)
berubah menjadi

H
dH = ── dT (2.28)
T P
Telah dibahas dimuka bahwa pada tekanan tetap dH = dQP, maka substitusinya terhadap
persamaan (2.28) menghasilkan

H
dQP = ── dT (2.29)
T P
Penyusunan ulang persamaan (2.29) menghasilkan persamaan (2.30) berubah menjadi

H dQP
── = ── (2.30)
T P dT
Nilai dQP/dT tidak lain merupakan kapasitas kalor pada tekanan tetap, CP, sehingga
persamaan (2.30) menjadi

H
── = CP (2.31)
T P
Dengan demikian, pada tekanan tetap berlaku persamaan (2.31) yang dapat diungkapkan
dalam bentuk lain menjadi
dH = CP dT (2.32)
Persamaan (2.31) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.27) sehingga menghasilkan
persamaan (2.33)

H
dH = CP dT + ── dP (2.33)
P T
Persamaan (2.33) memperlihatkan bahwa untuk menentukan perubahan entalpi sistem
masih diperlukan nilai kuosien ( H / P)T, yaitu yang menyatakan perubahan entalpi sistem yang
disebabkan oleh perubahan tekanan pada suhu tetap. Untuk mengetahui nilai kuosien ini Joule-
Thomson melakukan percobaan seperti yang digambarkan pada gambar (7.2).

M t t‘
P1 P2 M’

T1,P1, V1 T2,P2, V2
A

Gambar 7.2. Skema percobaan Joule-Thomson


Gambar (7.2) menunjukkan suatu gas yang mengalir dengan stabil melewati sebatang
pipa, yang terisolasi secara baik, sesuai dengan arah panah. Pada Posisi A terdapat penghalang
yang terbuat dari cakram berpori. Oleh karena ada penghalang, maka terdapat penurunan tekanan
gas (setelah melewati A) yang dapat diukur oleh pengukur tekanan M dan M’. Data yang terukur
pada percobaan ini adalah perubahan suhu yang diakibatkan oleh perubahan tekanan.
Batas sistem bergeser sesuai dengan gas yang disertai dengan massa yang sama.
Anggaplah satu mol gas melewati penghalang. Volum pada sisi kiri pembatas berkurang sebesar
V1. Jika gas ditekan sebesar P1 oleh gas dibelakangnya, kerja sistem sebesar
0
Wkiri = -∫ P1 dV (2.34)
V1

Sementara itu, volum di sebelah kanan meningkat sebesar V 2 yang menyebabkan tekanan sebesar
P2, kerja sistem sebesar
V2
Wkanan = -∫ P2 dV (2.35)
0

Jumlah kerja sistem adalah sebesar


W = Wkiri + Wkanan

W =-
∫ 0
P1 dV -
∫ VP dV
2

2 (2.36)
V1 0

= - P1(-V1) – P2V2
= P1V1 – P2V2
Karena diisolasi, sistem tidak mengalami perubahan kalor, persamaan hukum pertama
termodinamika menjadi ΔU = W total. Substitusi kerja total tersebut ke dalam persamaan diperoleh.
ΔU = P1V1 – P2V2
U2 – U1 = P1V1 – P2V2
(U2 + P1V1 ) – (U1 + P2V2) = 0
ΔH = 0
Nilai ini menunjukkan bahwa percobaan yang dilakukan tersebut berlangsung pada entalpi
sistem yang tetap, sehingga persamaan (7.13) berubah menjadi

H
── dP = - CP dT
P T

H T
── = - CP ── (2.37)
P T P H

Penyusunan persamaan (2.37) menghasilkan besaran baru yaitu ( T/P)H,. Besaran ini
disebut koefisien Joule Thomson, μJT. Nilai koefisien Joule-Thomson ini dapat diperoleh secara
eksperimen, dan untuk gas ideal nilainya nol.
Dari uraian di atas maka perubahan entalpi sistem sebagai fungsi suhu dan tekanan dapat
dinyatakan dalam persamaan (2.38)
dH = CP dT - CP μJT dP (2.38)

2.3.2 Hubungan CP dengan CV


Telah dibahas bahwa kalor merupakan besaran yang bergantung pada jalannya proses.
Oleh karena itu terdapat bermacam-macam kapasitas kalor. Dari sejumlah besar kapasitas yang
ada, hanya dua yang sangat penting, yakni CP dengan CV. Kedua kapasitas ini dapat dicari
hubungannya. Perhatikan dua persamaan berikut.
dU = dQ - PldV
U
dU = Cv dT + ── dV (2.19)
V T
Bila digabung maka menjadi
U
dQ = Cv dT + ── dV + PldV (2.39)
V T

Untuk perubahan pada tekanan tetap dengan Pl = P, maka persamaan (2.39) menjadi
U
dQ = Cv dT + ── + P dV (2.40)
V T
Jika persamaan (2.40) dibagi dengan dT, dan karena CP = dQP/dT, maka didapat
persamaan yang menunjukkan hubungan Cp dan Cv, yaitu:

U V
Cp - Cv = ── + P ── (2.41)
V T T P
Untuk gas ideal, berdasarkan percobaan Joule diketahui nilai
(U/V)T = 0, dan ( V/ T)P = nR/P,
sehingga persamaan (2.41) menjadi
Cp - Cv = nR (2.42)

2.4. HUKUM PERTAMA TERMODINAMIKA PADA PROSES ADIABAT DAN


REVERSIBEL

Sistem yang sedang dipelajari disini dianggap tidak mengalami perubahan jumlah
molekulnya, sehingga n merupakan suatu tetapan. Sementara itu, pada proses adiabat tidak terjadi
pertukaran kalor antara sistem dan lingkungannya, sehingga dQ = 0; sedangkan pada proses
reversible berlaku Pl = P. Dengan menggunakan nilai-nilai ini menurut Hukum Pertama
Termodinamika, untuk gas ideal berlaku
Cv dT = - P dV (2.43)
Dengan mengubah nilai P sesuai dengan persamaan keadaan gas ideal, maka akan
diperoleh persamaan (2.44)

Cv nR
── dT = - ── dV (2.44)
T V
Integrasi persamaan (2.44) dengan batas T 1 sampai T2 dan V1 sampai V2 dan dengan
menggunakan hubungan Cp dan Cv diperoleh persamaan (2.45)

T2 V1
Cv ln ── = (Cp – Cv) ln ── (2.45)
T1 V2
Penyusunan ulang persamaan tersebut diperoleh

T2 Cp V1
ln ── = ── – 1 ln ── (2.46)
T1 Cv V2
Dengan Cp/Cv = , maka persamaannya menjadi

T2 V1
ln ── =  – 1 ln ─ (2.47)
T1 V2
Akhirnya diperoleh hubungan
( – 1)
T2 V1
─ = ─ (a) (2.48)
T1 V2
Berdasarkan persamaan (2.48) dapat diturunkan hubungan variabel-variabel sistem
lainnya, seperti: tekanan dengan suhu, dan tekanan dengan volum, yang menghasilkan
persamaan
P1 V1 γ
= P2 V2 ( ) (b) (2.49)
dan
y ( – 1)
T2 P2
─ = ─ (c) (2.50)
T1 P1

BAB 3
TERMOKIMIA
3.1. PERSAMAAN TERMOKIMIA
Termokimia adalah salah satu penerapan hukum pertama termodinamika. Termokimia
adalah ilmu yang mempelajari kalor yang menyertai perubahan fisik atau reaksi kimia. Kalor yang
menyertai proses pada volum tetap merupakan perubahan energi dalam, sedangkan kalor yang
menyertai proses yang berlangsung pada tekanan tetap adalah perubahan entalpi. Persamaan
termokimia secara lengkap dituliskan sebagai berikut

 A( ) →  B () Δ H = QP (3.1)


 dan  adalah koefisien pereaksi dan produk, A dan B .  adalah wujud untuk masing-masing
pereaksi dan produk. QP adalah kalor reaksi.

Misal untuk reaksi pembentukan air,  Hf


H2 (g) + ½ O2(g)  H2O (l)
Jika  Hf dinyatakan dalam entalpi molar zat, diperoleh
 Hf (H2O, l) = H (H2O, l) - H (H2, g) - ½ H (O2, g) (3.2)
Penyusunan ulang persamaan tersebut diperoleh
H (H2O, l) =  Hf (H2O, l) + H (H2, g) - ½ H (O2, g) (3.3)
Atau secara umum
H senyawa =  Hf (senyawa) +  H (unsur) (3.4)
Persamaan ini memperlihatkan bahwa entalpi molar suatu senyawa adalah sama dengan
total entalpi unsure-unsur yang menyusun senyawa tersebut ditambah dengan entalpi
pembentukan senyawanya.
Berdasarkan pada persamaan tersebut, dapat ditentukan besarnya perubahan
entalpi reaksi,  Hr , suatu reaksi kimia, yaitu

 Hr , suatu =  Hfo (produk) -  Hfo (pereaksi) (3.5)


3.2. ENTALPI PELARUTAN
Perubahan entalpi pelarutan adalah kalor yang menyertai proses penambahan sejumlah
tertentu zat terlarut ke dalam sejumlah tertentu zat pelarut pada suhu dan tekanan tetap. Terdapat
dua macam entalpi pelarutan, yaitu entalpi pelarutan integral dan entalpi pelarutan differensial.
Entalpi pelarutan integral adalah sejumlah entalpi jika satu mol zat terlarut dilarutkan ke
dalam n mol pelarut. Jika pelarut yang digunakan adalah air, maka persamaan reaksi pelarutannya
ditulis sebagai berikut:
X + n H2O  X. n H2O HS = …..kJ (3.6)
Persamaan tersebut menyatakan bahwa satu mol zat X dilarutkan ke dalam n mol air. Sebagai
contoh beberapa entalpi pelarutan integral diberikan berikut ini.
HCl (g) + 10 H2O  HCl.10H2O HS = - 69,01 kJ mol-1
HCl (g) + 25 H2O  HCl.25H2O HS = - 72,03 kJ mol-1
HCl (g) + 40 H2O  HCl.40H2O HS = - 72,79 kJ mol-1
Entalpi pelarutan integral pada pengenceran tak hingga adalah
HCl (g) +  H2O  HCl. H2O HS = - 74,85 kJ mol-1
Jika sejumlah dn padatan murni i, dengan perubahan entalpi Hio, ditambahkan pada T dan
P tetap ke dalam suatu larutan yang memiliki perubahan entalpi Hio, maka kalor yang diserapnya
adalah :
dQ = (Hi - Hio) dn atau
dQ/dn = Hi - Hio (3.7)
dQ/dn disebut sebagai kalor (entalpi) pelarutan differensial.

3.3. ENTALPI REAKSI


Setiap reaksi kimia selalu disertai perubahan energi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
umumnya reaksi kimia berlangsung pada tekanan tetap, sehingga perubahan energi (kalor) yang
menyertainya disebut entalpi.
Dibedakan oleh jenis-jenis reaksi yang berlangsung, maka dikenal beberapa entalpi reaksi,
yaitu entalpi pembentukan, entalpi pembakaran, entalpi netralisasi, dan sebagainya.
3.3.1. Entalpi Pembentukan
Entalpi pembakaran suatu senyawa ialah perubahan entalpi yang menyertai pembentukan
satu mol senyawa dari unsur-unsurnya, Hf . Disepakati bahwa perubahan entalpi semua zat yang
diukur pada suhu 298,15 K (untuk mempersingkat selanjutnya ditulis 298 K) dan tekanan 1 atm
dinyatakan sebagai perubahan entalpi standar, Hof . Berdasarkan perjanjian, entalpi standar unsur
dalam bentuknya yang paling stabil pada 298 K dan 1 atm sama dengan nol. Misalnya unsur gas
mulia, S rombik , P putih , C grafit , dan banyak kristal logam memiliki perubahan entalpi standar nol.
Selain itu, senyawa-senyawa dwi atom seperti O 2, H2, Cl2, dan sebagainya, umumnya juga
memiliki perubahan entalpi standar nol.
Contoh reaksi pembentukan :

C (g) + 2 H2(g)  CH4(g) Hof = - 74,81 kJ mol-1


2C (g) + 3 H2(g)  C2H6(g) Hof = - 84,68 kJ mol-1

3.3.2. Entalpi Pembakaran


Kalor yang timbul dari reaksi pembakaran / oksidasi sempurna satu mol zat pada suhu dan
tekanan standar disebut perubahan entalpi pembakaran. Contoh persamaan termokimia reaksi
pembakaran alkohol,
C2H5OH (l) + 3 O2 (g)  2 CO2 (g) + 3 H2O (l) Hoc = - 1365,75 kJ mol-1

3.4. HUKUM HESS


Hukum Hess menyatakan bahwa, entalpi reaksi adalah jumlah total perubahan entalpi
untuk setiap tahapnya. Dengan kata lain: Untuk suatu reaksi keseluruhan tertentu, perubahan
entalpi selalu sama, tak peduli apakah reaksi itu dilaksanakan secara langsung ataukah secara
tidak langsung dan lewat tahap-tahap reaksi yang berlainan. Hukum Hess sangat bermanfaat
untuk menentukan entalpi reaksi yang sulit ditentukan secara eksperimen.
Contoh, reaksi yang sulit ditentukan secara eksperimen adalah,
C (s) + ½ O2(g)  CO(g)
2C(s) + 2 H2(g) + O2(g)  CH3COOH(g)
3.5. HUBUNGAN ENERGI DALAM DAN ENTALPI
Entalpi reaksi dapat juga ditentukan dari data energi dalam. Data perubahan energi dalam
didapatkan dari hasil eksperimen pada volum tetap. Dengan menggunakan pendekatan bahwa
reaksi berlangsung pada suhu yang sama, sementara tekanannya berubah, maka penentuan
perubahan entalpi sistem adalah sebagai berikut.
Reaktan (T, V, P)  Produk (T, V, P) (3.8)
H = U + PV (3.9)
 H =  U +  PV =  U + (P’ –P)V (3.10)
Perubahan tekanan sebelum dan sesudah reaksi untuk zat padat dan cair sangat kecil,
pengaruhnya terhadap harga entalpi sistem sangat kecil, sehingga dapat diabaikan, maka
H=U (3.11)
Perubahan tekanan antara sebelum dan sesudah reaksi untuk sistem yang melibatkan gas
tidak dapat diabaikan begitu saja. Perubahan tekanan, sebagai akibat terjadinya perubahan wujud
gas, harus diperhitungkan . Jika gas yang dihasilkan dapat dianggap ideal, didapat hubungan antara
perubahan entalpi dengan perubahan energi dalam reak si sebagai berikut.
 H =  U + (P’ –P)V =  U + (n’ – n) RT =  U +  n RT (3.12)
dengan n’ dan n adalah jumlah mol produk dan pereaksi.
3.6. ENTALPI IKATAN DAN ENERGI IKATAN
Entalpi ikatan didefinisikan sebagai kalor yang menyertai disosiasi ikatan dari suatu ikatan
pada molekul gas menjadi unsur-unsurnya. Misalkan, gas oksigen terdisosiasi menjadi atom-atom
oksigen.
O2 (g)  2 O (g) Ho298 = 498,34 kJ mol-1 (3.13)
Nilai 498,43 kJ disebut entalpi ikatan molekul oksigen. Berdasarkan data entalpi ikatan
dapat ditentukan energi ikatan antar atom-atom dalam molekul. Untuk menyelesaikan masalah ini,
semua spesies dianggap sebagai gas ideal, sehingga dapat digunakan hubungan
 U =  H -  n RT (3.14)
untuk reaksi disosiasi oksigen di atas,  n = 1, sehingga
U = 498,34 kJ – (1 mol)(8,314 JK-1mol-1)(298,15 K)(10 -3kJ/J)
= 495,86 kJ
Perubahan energi dalam ini adalah besarnya energi rata-rata yang harus diberikan untuk
memutuskan ikatan satu mol dari molekul oksigen pada suhu 25 oC. Pada suhu ini molekul oksigen
berada dalam keadaan bervibrasi dan berotasi. Molekul dalam keadaan ini memerlukan energi
lebih kecil untuk memutuskan ikatannya daripada dalam keadaan dasar. Pada nol K, semua
molekul berada dalam keadaan dasar. Jika  U dikoreksi terhadap nol K, maka didapat energi
ikatan.
298

U298 = U0 +  CV dT (3.15) 0

Berdasarkan data CV (0, g) = 3/2 R dan CV (O2, g) 5/2 R, sehingga CV = 2 (3/2R) – 5/2 R = ½ R
298

U0 = 495,86 kJ - 0,5 R  dT


0

U0 = 495,86 kJ - (1/2 mol) (8,314 J K-1mol-1)(298,15 K)(10-3 KJ/J)


= 495,86 kJ – 1,24 KJ
= 494,62 kJ

Energi ini adalah energi ikatan oksigen-oksigen ikatan rangkap, biasa disebut energi
ikatan.

3.7. MENENTUKAN ENTALPI REAKSI PADA BERBAGAI SUHU

Entalpi reaksi dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu berubah maka entalpi reaksinya juga
berubah. Harga entalpi reaksi pada berbagai suhu dapat ditentukan dari data entalpi yang sudah
ada. Pada penentuan entalpi reaksi di atas digunakan nilai Cp. Nilai Cp dianggap merupakan suatu
tetapan, tidak terpengaruh oleh perubahan suhu. Sedangkan Cp merupakan fungsi suhu. Dari data
ini kita dapat menentukan nilai entalpi pada berbagai suhu.
Misalnya untuk reaksi berikut:
aA+ b B  c C + d D (3.16)
entalpi reaksinya diberikan oleh
Hr = (c Hf.,c + d Hf,d) – (a Hf,a + b Hf. b) (3.17)
jika persamaan ini diturunkan terhadap suhu pada tekanan tetap diperoleh
H Hf.,C Hf,D Hf,A  Hf. B
 = c  + d  - a  - b  (3.18)
T P T P T P T P T P

= c Cp.C + d Cp.D - a Cp.A - b Cp.B (3.19)


=  Cp (3.20)
atau dapat juga dinyatakan dalam bentuk
d (Hr ) =  Cp dT (3.21)
Persamaan (3.21) dikenal sebagai persamaan Kirchoff, dan dapat digunakan untuk
menentukan perubahan entalpi reaksi pada sembarang suhu dengan jalan mengintegrasikannya
HUKUM KEDUA TERMODINAMIKA KIMIA

A. PROSES LINGKAR
Jika suatu system yang berubah dari satu keadaan menuju ke keadaan lain, dan
kemudian kembali ke keadaan semula maka proses tersebut dikatakan mengalami
proses lingkar.

1. Proses Lingkar Carnot


Pada tahun 1824 seorang insinyur teknik Perancis, Sadi Carnot, secara teori
berhasil menemukan suatu cara untuk menghitung kerja maksimum yang dapat
diperoleh suatu mesin yang bekerja secara reversible antara dua, suhu tinggi (Tt) dan
suhu rendah(Tr).
Proses tersebut terdiri atas empat tahap reversible, yakni :
1. Pemuaian secara isotherm pada suhu tinggi (Tt),
2. Pemuaian secara adiabat, sehingga suhu turun dari Tt ke Tr,
3. Pemampatan secara isotherm pada suhu Tr,
4. Pemampatan secara adiabat sehingga system kembali kekeadaan semula.
Berdasarkan pada Hukum Pertama Termodinamika, dapat dihitung jumlah kerja ,
kalor dan perubahan energy dalam untuk setiap langkahnya, yaitu :
Langkah 1 :
Proses yang berlangsung adalah pemuaian isotherm pada Tt dan reversible,
sehingga
∆U1 = 0

W1

Karena V2 >V1 maka Q1 bernilai positif, yang berarti bahwa ada sejumlah kalor
yang masuk ke dalam system.

Langkah 2 :
Proses yang berlangsung adalah pemuaian adiabat dan reversible , sehingga
Q2

∆U1 ∆U2

W2 =

Langkah 3 :
Proses yang berlangsung adalah pemampatan isotherm pada Tr dan reversible,
sehingga
∆U3 = 0

W3

Q3 = W3

Q3

Oleh karena V4 < V3 maka Q bernilai negatif, yang berarti bahwa ada sejumlah
kalor yang dilepaskan dari system.
Langkah 4 :
Proses yang berlangsung adalah pemampatan adiabat dan reversibal sehingga
Q4 = 0
W4 = ∆U4

W4 =

Dari keempat langkah tersebut , kerja total merupakan jumlah kerja untuk proses
lingkar diberikan lambing Wlkr.
Wlkr = W1 + W2 + W3 + W4

=-

Wlkr = nR(Tr – Tt) ln

2. Efisiensi Mesin Kalor Carnot


Untuk mesin kalor carnot, transformasinya dapat dinyatakan pada gambar dibawah ini
: Waduk dengan suhu tinggi

Q1

Wlkr
Mesin
Kalor

Q3
Waduk dengan suhu rendah

Gambar. Skema mesin kalor Carnot

Perbandingan jumlah total kerja yang dihasilkan oleh system terhadap jumlah total
kalor yang diserapnya dari sumber bersuhu tinggi disebut efisiensi mesin kalor.

E=- =

Tanda negative diperlukan karena Wlkr bernilai negative, sehingga dengan sendirinya
efisiensi menjadi positif

3. Mesin Pendingin dan Pompa Kalor Carnot

Sumber dengan suhu tinggi Tt)

Q1

Wlkr
Mesin
Pendingin

Q3

Sumber dengan suhu rendah (Tr)

Gambar . Mesin Pendingin Karnot


Perbandingan antara kalor yang dilepaskan dari sumber bersuhu rendah terhadap kerja
yang masuk ke dalam system biasa disebut dengan koefisien penampilan, diberi
symbol η.

η= =

Perumusan Konsep Entropi


Melalui persamaan efisiensi mesin kalor dapat dinyatakan sebagai perbandingan
kalor, yakni

E=

Oleh karena semua proses merupakan proses reversible , maka persamaannya ditulis
sebagai

E=

Sementara itu , efisiensi dapat juga dinyatakan dalam perbadingan suhu, yakni

E=

Subtitusi persamaan 1 ke dalam persamaan 2 menghasilkan

= -

= -

+ =0

Secara umum dapat ditulis:


=0

Atau,

=0

Berdasarkan uraian di atas , maka perubahan entropi akan didefinisikan sebagai

dS =

Jika keadaan system berubah dari keadaan 1 ke keadaan 2 , maka perubahan


entropinya adalah sebesar

∆S =

4.2 ENTROPI SEBAGAI FUNGSI VARIABEL SISTEM


Telah dikemukakan bahwa entropi merupakan suatu fungsi keadaan. Oleh karena
itu, nilainya bergantung pada variabel-variabel keadaan seperti suhu, volum, dan tekanan.
Pada bagian ini akan dipaparkan tentang entropi sebagai fungsi suhu dan volum, serta
entropi sebagai fungsi suhu dan tekanan.
4.21 Entropi sebagai fungsi suhu dan volum
Apabila entropi merupakan fungsi suhu dan volum, secara matematika dituliskan
sebagai berikut.
S = S(T,V) (4.13)
Diferensial totalnya dinyatakan dalam bentuk persamaan
 S   S 
dS    dT    dV (4.14)
 T V  V  T

Persamaan (4.14) menyatakan perubahan entropi jika suhu dan volum berubah,
masing-masing sebesar dT dan dV. Evaluasi terhadap kedua kuosien pada persamaan
(4.13) sangat diperlukan untuk menghiitung nilai perubahan entropi secara keseluruhan,
sebagai akibat dari perubahan kedua variabel tersebut.
Untuk mengevaluasi kedua kuosien tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
bantuan rumusan Hukum Pertama Termodinamika, yakni
dU=dQrev+dWrev
Jika prosesnya reversibel dan kerja yang dilakukan hanya merupakan kerja volum,
maka
dQrev = dU + PdV (4.15)
Untuk memperoleh perubahan entropi, persamaan (4.15) dibagi dengan suhu, sehingga
dihasilkan
1 P
dS  dU  dV (4.16)
T T
dU sebagai fungsiTdan V dinyatakan dengan
 U 
dU = CvdT +   dV
 V  T

subtitusi persamaan ini untuk dU ke dalam persamaan (4.16) menghasilkan persamaan


Cv 1  U  P
dS = dT    dV  dV
T T  V  T T

Cv 1  U  
= dT   P     dV (4.17)
T T  V  T 

Berdasarkan persamaan (4.14) dan persamaan (4.17) diperoleh hubungan-


hubungan kedua kuosien yang sedang dicari, yaitu :
 S  C
   v (4.18)
 T  v T

 S  1  U  
  = P     (4.19)
 V  T T   V  T 

Evaluasi lebih lanjut terhadap kuosien tersebut masih diperlukan, terutama untuk
Persamaan (4.19), agar dapat menghitung perubahan entropinya secara keseluruhan.
Jika proses berlangsung pada volume tetap, maka persamaan (4.17) menjadi
Cv
dS = dT (4.20)
T
Persamaan (4.20) digunakan untuk menghitung perubahan entropi sistem pada volume
tetap.
Jika proses berlangsung pada suhu tetap, maka persamaan (4.17) menjadi
1   U  
dS = P     dV (4.21)
T   V  T 
Berbeda dengan persamaan (4.20), Persamaan (4.21) masih harus dievaluasi,
karena masih memiliki kuosien lain yang sulit ditentukan secara eksperimen. Untuk
mengevaluasinya ditempuh dengan jalan mengambil turunan dari Persamaan (4.18) dan
Persamaan (4.19).
Jika persamaan (4.18) diturunkan terhadap volum, maka diperoleh persamaan
sebagai berikut :
 S  C
   v
 T  v T

2S 1 C v
 (4.22)
VT T V
Dengan menggunakan hubungan dU = CvdT, atau Cv = (U / T ) v diperoleh persamaan
2S 1  2U
 (4.23)
VT T VT
Jika persamaan (4.19) diturunkan terhadap suhu, maka diperoleh persamaan
sebagai berikut.
 S  1  U  
   P    
 V  T T   V  T 

2S 1  P   2U  1   U  
      P   (4.24)
TV T  T  v TV  T 2   V  T 

Karena S merupakan fungsi keadaan maka dS merupakan diferensial eksak,


sehingga turunan S terhadap T dan V memiliki nilai yang sama dengan turunan S terhadap
V dan T.
2S 2S
 (4.25)
TV VT
Dengan menggunakan Persamaan (4.25), subtitusi Persamaan (4.23) ke dalam Persamaan
(4.24) menghasilkan

1  P   2U  1   U   1  U
2

     2 
P     
T  T V TV  T   V  T  T VT

 P  1  U  
   P     (4.26)
 T  v T   V  T 

Dengan membandingkan Persamaan (4.19) dan Persamaan (4.26) diperoleh


hubungan sebagai berikut
 P   S 
    (4.27)
 T  V  V  T
Dengan bantuan aturan siklik, yang diterapkan pada variabel-variabel V, P, dan T
didapat hubungan
 P   T   V 
       1
 T V  V  P  P  T

 P  1
  ( V )  1
 T  V V

Dengan menggunakan hubungan


1  V 
  
V  T  P

1  V 
Dan      diperoleh hubungan
V  P  T

 P  
   (4.28)
 T V 

Dengan  dan  masing – masing adalah koefisien ekspansi termal dan koefisien

kompresibilitas, yang nilainya masing-masing dapat ditentukan dari eksperimen.


Melalui subtitusi Persamaan (4.27) dan ke dalam persamaan (4.28) ternyata
didapat bahwa kuosien ( S / V ) T tidak lain adalah perbandingan nilai koefisien
ekspansi termal terhadap koefisien kompresibilitas.
Dari paparan diatas, diferensial total untuk entropi sebagai fungsi suhu dan volum,
dengan subtitusi persamaan (4.18) dan Persamaan (4.28) ke dalam persamaan (4.14)
adalah
CV 
dS = dT  dV (4.29)
T 
Untuk mengetahui perubahan entropi sistem sebagai akibat dari perubahan suhu dan
volum dapat dilakukan dengan cara integrasi Persamaan (4.29).

4.2.2 Entropi sebagai fungsi suhu dan tekanan


Dengan cara yang sama, apabila entropi dinyatakan sebagai fungsi suhu dan
tekanan, secara matematika dirumuskan sebagai berikut,
S = S(T, P)
Diferensial totalnya dinyatakan dalam bentuk Persamaan (4.30)
 S   S 
dS =   dT    dP (4.30)
 T  P  P  T
Persamaan (4.30) menyatakan perubahan entropi jika suhu dan tekanan berubah, masing-
masing sebesar dT dan dP. Evaluasi terhadap kedua kuosien pada persamaan tersebut
sangat diperlukan untuk menghitung nilai perubahan entropi secara keseluruhan, sebagai
akibat perubahan kedua variabel tersebut.
Untuk menyelesaikan Persamaan (4.30) dapat dilakukan dengan menggunakan
hubungan energi dalam dan entalpi, H = U + PV, dalam bentuk diferensial totalnya sebagai
berikut
dH = dU + PdV + VdP (4.31)
Subtitusi rumusan Hukum Pertama Termodinamika ke dalam Persamaan (4.31),
dengan anggapan sistem berlangsung reversibel didapatkan Persamaan (4.32).
dH = dQrev + VdP (4.32)
Untuk mendapatkan rumusan mengenai dS, sesuai dengan Persamaan (4.10), Persamaan
(4.32) dibagi oleh suhu, kemudian disusun ulang, sehingga diperoleh bentuk Persamaan
(4.33).
1 V
dS = dH  dP (4.33)
T T
Persamaan (4.33) merupakan bentuk lain dari Persamaan dasar (4.15), tetapi
menyatakan hubungan perubahan entropi terhadap perubahan entalpi dan tekanan. Jika dH
dinyatakan dengan dT dan dP, seperti telah dibahas di muka, yakni :
 H 
dH  C P dT    dP
 P  T

kemudian subtitusikan Persamaan ini ke dalam Persamaan (4.33) di dapat Persamaan


CP 1  H  
dS  dT     V  dP (4.34)
T T  P  T 
Perhatikan bentuk Persamaan (4.30) dan (4.34), keduanya menyatakan perubahan
entropi dalam bentuk dT dan dP, keduanya identik. Dari kedua persamaan tersebut
diperoleh hubungan sebagai berikut.
 S  C
   P (4.35)
 T  P T

dan
 S  1  H  
     V  (4.36)
 P  T T  P  T 
Persamaan (4.35) sudah dapat diperoleh dari data eksperimen secara langsung,
sedangkan Persamaan (4.36) masih perlu dievaluasi.
Evaluasi lebih lanjut terhadap Persamaan (4.36), dapat diperoleh dengan
menurunkan Persamaan (4.35) terhadap tekanan dan Persamaan (4.35) terhadap suhu.
Turunan Persamaan (4.35) terhadap tekanan adalah sebagai berikut.
2S 1 C P
 (4.37)
PT T P
 H 
Dengan menggunakan persamaan    C P diperoleh persamaan
 T  P

2S 1 2H
 (4.38)
PT T PT
Sementara itu jika Persamaan (4.36) diturunkan terhadap suhu, maka akan diperoleh
Persamaan (4.39).
2S 1   2 H  V   1  H  
     2   V  (4.39)
TP T  TP  T  P  T  P  T 
Oleh karena S merupakan fungsi dari keadaan, maka turunan S terhadap T dan P memiliki
nilai yang sama dengan turunan S terhadap P dan T, sehingga diperoleh hubungan sebagai
berikut
2S 2S
 (4.40)
TP PT
Subtitusi Persamaan (4.38) dan Persamaan (4.39) ke dalam Persamaan (4.40) diperoleh
1   2 H  V   1  H   1 2H
    2    V 
T  TP  T  P  T  P  T  T PT

1  H    V 
   V     (4.41)
T  P  T   T  P

Dengan membandingkan Persamaan (4.36) dan (4.41) diperoleh hubungan sebagai


berikut
 S   V 
      V (4.42)
 P  T  T  P

dengan  adalah koefisien ekspansi termal, yang nilainya secara mudah dapat diperoleh
dari eksperimen.
Dari paparan di atas, diferensial total untuk entropi sebagai fungsi suhu dan
tekanan dinyatakan dengan Persamamaan (4.43).
CP
dS = dT  V dP (4.43)
T
Untuk mengetahui perubahan entropi sistem sebagai akibat dari perubahan suhu
dan tekanan dapat ditempuh dengan cara mengintegrasikan Persamaan (4.43).

4.3 Entropi pada berbagai proses reversibel


Proses-proses transisi yang berlangsung pada suhu dan tekanan tetap seperti
perubahan wujud (penyubliman,penguapan dan pelelehan) atau perubahan bentuk kristal
(transformasi) pada umumya berlangsung secara reversibel.Perubahan entropi untuk
sistem-sistem tersebut dapat ditentukan yaitu :

2 dQrev
S  
1 T
Karena proses berlangsung isoterm,T merupakan suatu tetapan sehingga dapat dikeluarkan
dari integralnya maka diperoleh :
Qrev
S 
T
Karena Qrev tidak lain adalah kalor yang menyertai proses transisi pada tekanan
tetap,maka dapat ditulis menjadi :
H
S 
Tc
Dengan Tc adalah suhu transisi.
Soal latihan 4.4
Pada tekanan tertentu dan suhu 95,4oC belerang dapat berubah dari rombik menjadi
monoklin. Kalor yang diperlukan untuk perubahan bentuk kristal tersebut 380
J/mol.Berapa perubahan entropi molarnya ?
Jawaban soal latihan 4.4
Analisis soal :
Diketahui : Srombik Smonoklin
T = 95,4OC = 368,4 K
Q = 380 J/mol
Dicari : perubahan entropi, ∆S = ? J/K
Rencana penyelesaian ;
H
S 
T
Pada P tetap  H = Q

Penyelesaian :
H Qrev
S  
Tc T
Perhitungan :
Qrev
S 
T
380 J / mol
= 368,4 K

= 1,03 J/K mol


Kesimpulan : Perubahan entropi molar untuk perubahan bentuk belerang rombik menjadi
monoklin adalah 103 J/K mol.

4.4 Perubahan Entropi pada Proses Irreversibel


Perubahan entropi untuk proses irreversibel dapat ditentukan dengan cara
memecah proses tersebut menjadi beberapa tahap yang reversibel. Oleh karena entropi
merupakan fungsi keadaan, jalan yang ditempuh oleh sistem tidak penting. Perubahan
entropi hanya ditentukan oleh keadaan awal dan akhir. Besarnya perubahan tersebut dapat
dihitung dengan menggunakan hukum Hess.
Soal latihan 4.5
Pembekuan satu mol air lewat dingin (supercooled) pada suhu - 10 oC adalah
proses irreversibel. Diketahui perubahan entalpi kristalisasi air cair pada 0 oC,  H
= - 6004 J/mol. Kapasitas kalor air 75,3 J/K mol dan untuk air padat (es) 36,8
J/Kmol pada rentang suhu tersebut. Tentukan perubahan entropi ketika satu mol air
cair pada – 10oC berubah menjadi es pada – 10oC pada tekanan tetap ?
Jawaban soal latihan 4.5
Analisis soal :
Diketahui :n = 1 mol
H2O(l) Pembentukan H2O(s)
T1 = - 10oC = 263 K Pada supercooled T1 = - 10oC = 263 K
Ccair = 75,3 J/K mol H = - 6004 J/mol C padat = 36,8 J/K mol
Dicari : perubahan entropi pembekuan air pada – 10oC, ∆S = ? J/K
Rencana penyelesaian :

H2O (l ,273 K) ∆S2 H2O (s ,273 K)

∆S1 ∆S3

H2O (l ,263 K) ∆S = ? H2O (s ,263 K)

Menurut hukum Hess ,∆S = ∆S1 + ∆S2 + ∆S3


Cp
dS = dT  VdP
T
Cp
Pada P tetap,dP = 0 sehingga dS = dT
T

273 Ccair
∆S3 =
 263 T
dT
H
∆S2 =
T

263 Ces
∆S =
3
 273 T dT
Penyelesaian :
∆S = ∆S1 + ∆S2 + ∆S3

273 Ccair 263 Ces


=
 263 T
dT +
H
T
+
 273 T dT
273 H 263
= Ccair ln + + Ces ln
263 T 273
273 H
= (Ccair  Ces ) ln +
263 T
273 n H
= (Ccair  Ces) n ln +
263 T

Perhitungan ;
273 n H
∆S = (Ccair  Ces)n ln +
263 T
1mol (6,004) J / mol
= ( 75,3 – 36,8 ) J/K mol . 1 mol (0,0373) +
273K
= ( 1,446 – 22,0) J/K
= - 20,6 J/K
Kesimpulan : Entropi sistem dalam proses pembekuan satu mol air pada suhu – 10 oC
menurun sebesar 20,6 J/K.

4.5 Entropi Pencampuran Gas Ideal


Apabila dua gas ideal, n1 mol gas 1 pada T dan P tertentu dan n2 mol gas 2 pada T
dan P yang sama dicampurkan maka masing-masing akan saling berdifusi pada suhu dan
tekanan yang tetap. Proses ini merupakan proses irireversibel. Untuk menentukan
perubahan entropi yang terjadi dalam proses irireversibel ini, harus ditentukan proses
reversibelnya. Tahap pertama adalah memandang pemuaian gas secara isothermal dan
reversible terhadap volum akhir V = V 1 + V2. Perubahan entropinya dihitung dari
persamaan (4.28), yang pada suhu tetap dirumuskan sebagai

dS = dV = vdV (4.46)

Dengan menggunakan persamaan gas ideal, P = nRT / V, yang diturunkan terhadap suhu
diperoleh

v = (4.47)

Substitusi persamaan (4.47) kedalam persamaan (4.46) didapatkan persamaan

dS = dV (4.48)

Berdasarkan persamaan (4.48) nilai perubahan entropi pada tahap ini dapat
ditentukan dari integrasinya.
Untuk gas 1

∆S1 = dV

= n1 R ln

= - n1 R ln

= - n1 R ln = - n1 R ln X1

Dngan cara yang sama, untuk gas 2 diperoleh


∆S2 = - n2 R ln X2
Dengan X1 dan X2 masing-masing adalah fraksi mol untuk gas 1 dan gas 2. Perubahan
entropi untuk tahap pertama adalah jumlah total perubahan entropi setiap gas.
∆S = - n1 R ln X1 – n2R ln X2
(4.49)
Pada tahap kedua, dipandang bahwa gas-gas yang telah berekspansi bercampur
secara reversible pada suhu tetap dan volum yang tetap V. Pada tahap ini, karena gasnya
ideal, maka energy dalam kedua gas hanya merupakan fungsi suhu, sehingga ∆U = 0.
Demikian pula dengan W karena volumenya tetap, maka W = 0. Oleh karena itu
berdasarkan pada hukum pertama termodinamika tidak ada kalor yang diserap oleh gas.
Akibatnya, pada tahap ini entropi sistem tidak berubah. Dengan demikian entropi
pencampuran ∆Smix, sama dengan persamaan (4.49) dan dengan mengubah n1 menjadi X
diperoleh :
∆Smix = - nR(X1 ln X1 + X2 ln X2)
Jika terdapat N gas ideal yang dicampurkan, entropi pencampurannya dinyatakan sebagai
berikut.

∆Smix = - nR ln X1

4.6 Entropi Pada Reaksi Kimia


Berbeda dengan besaran-besaran termodinamika yang telah dibahas di muka,
seperti energy dalam dan entalpi, entropi mutlak suatu zat dapat ditentukan. Data entropi
untuk suatu zat atau unsure yang terdapat dalam tabel biasanya diukur pada 298,15 K.
berdasarkan data dari tabel tersebut, perubahan entropi suatu reaksi kimia dapat
ditentukan.
Misalnya untuk reaksi, yang digambarkan secar umum,
αA + βb → γC + δD
perubahan entropinya diberikan persamaan
∆So = Soproduk – Sopereaksi (4.51)
= (γSºC + δSºD) – (αSºA + βSºB)
Ketergantungan entropi reaksi terhadap suhu dapat diperoleh dengan
mendiferensialkan persamaan (4.51) terhadap suhu. Jika diferensial dilakukan pada
tekanan tetap, diperoleh hasil

P = P - P

(4.52)
Integrasi persamaan (4.52) pada suhu To dan T didapatkan

∆ =∆ + dT (4.53)

Dengan menggunakan persamaan (4.53) perubahan entropi reaksi kimia pada berbagai
suhu dapat ditentukan.
4.7 Perumusan Hukum Kedua Termodinamika
Hukum kedua Termodinamika dapat dirumuskan dalam berbagai cara. Clausius
menyatakan hukum kedua termodinamika sebagai berikut : “Adalah tidak mungkin
memindahkan kalor dari benda yang bersuhu dingin ke benda yang bersuhu lebih panas
tanpa melakukan suatu kerja terhadapnya”. Bentuk lainnya adalah berdasarkan besaran
entropi, dipaparkan berikut ini.
Telah dibahas terdahulu bahwa pada proses reversible selalu menghasilkan kerja
maksimal, sehingga menghasilkan efisiensi maksimal. Berbeda dengan proses sebaliknya,
efisiensi untuk proses irreversible adalah lebih kecil daripada proses reversible,
єirr < єrev
dengan єirr dan єrev adalah efisiensi pada proses irreversible dan efisiensi pada proses
reversible. Jika kalor yang diserap pada suhu T dan T’ masing-masing adalah Q dan Q’,
maka berdasrkan persamaan (4.3) dan (4.4) dapat diperoleh

<
<

+ < 0

Atau secara umum, dapat ditulis dalam bentuk

< 0

Perhatikan sekarang untuk proses lingkar irreversible ABA, yang terdiri atas
langkah irreversibel AB, dan satu langkah reversible BA. Untuk proses lingkar tersebut
berlaku

+ <0

+ < 0

+ ( - ) < 0

( - ) >

∆S >

Dengan ∆S adalah perubahan entropi untuk proses irreversible AB, Q adalah kalor yang
diserap sistem, dan T adalah suhu. Apabila proses tersebut berlangsung dalam sistem
tersekat, maka đQ = 0 sehingga ∆S > 0.
Proses-proses spontan yang terjadi dialam semesta bersifat irreversible. Sementara
itu, ditinjau dari pertukaran kalornya, alam semesta merupakan sistem tersekat. Oleh
karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa: “Semua proses yang terjadi di alam semesta
selalu berlangsung kearah peningkatan entropi”. Pernyataan ini merupakan rumusan
Hukum Kedua Termodinamika.

4. 8 Hukum Ketiga Termodinamika


Kita tinjau transformasi suatu padatan dari suhu 0 absolut ke suhu T di bawah titik
lelehnya, yang terjadi pada tekanan tetap.

Padatan (0,P) → Padatan (T,P)

Perubahan entropinya, pada P tetap sesuai dengan yang dinyatakan oleh


persamaan (4.43), yakni
T C
S  S  S   P dT
T 0 0 T
Atau
T C
S  S   P dT (4.58)
r 0 0 T
Oleh karena Cp positif, integral persamaan (4.58) akan bernilai positif, sehingga
entropinya dapat meningkat karena suhu. Pada nol Kelvin, entropi memiliki nilai S0 yang
paling kecil. Pada tahun 1913, M. Plank mengusulkan bahwa nilai S0 adalah nol untuk
setiap kristal murni dan kristal sempurna. Pernyataan ini kemudian dikenal sebagai
Hukum Ketiga Termodinamika : Entropi kristal murni yang sempurna adalah nol pada
suhu nol absolut.
Jika hukum ketiga termodinamika diterapkan terhadap persamaan (4.58), diperoleh
persamaan :

T CP
Sr   dT (4.59)
0 T
ST disebut entropi (mutlak) padatan pada suhu T dan tekanan P. Jika tekanannya 1 atm,

maka entropi itu disebut entropi standar, S T0 , sehingga dapat ditulis menjadi
T C
ST0   P dT
0 T
I. Entropi Standar Zat Padat pada Titik Lelehnya
Jika suatu perubahan yang terjadi pada proses pelelehan menyangkut peningkatan
entropi, konstribusi perubahannya harus disertakan dalam perhitungan entropinya cairan.
Misalnya suatu padatan meleleh pada keadaan standar (tekanan 1 atm), kemudian setelah
semua meleleh (mencair) suhunya meningkat terus. Entropi standar pada proses ini
dinyatakan dengan persamaan,

Tm
C PO  s  H Fusi
0 T
C P0  l 
S T0  0 T dT 
Tm
  T dT
Tm
(4.60)
Untuk mengevaluasi S T0 berdasarkan persamaan (4.60), diperlukan data mengenai ∆Hof,
Tf, Cp (s), dan Cop (l) pada rentang suhu yang diinginkan. Data ini dapat diperoleh melalui
percobaan. Akan tetapi pada suhu yang sangat rendah, pengukuran sangat sulit dilakukan.
Pengukuran kapasitas panas seringkali hanya dapat dilakukan samapai suhu sekitar 10-15
K. Pada suhu ini kapasitas panas padatan memenuhi hokum Debye “T pangkat tiga”
secara akurat.

CV  aT 3 (4.61)

Dengan a suatu tetapan yang khas untuk suatu zat. Pada suhu ini Cp ≈ Cv. Oleh karena itu
hukum Debye tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi integral Cp/T pada rentang
suhu 0 K sampai suhu pengukuran terendah T’. Dengan demikian integral pertama pada
persamaan (4.60) dapat ditulis

Tm
C P0  s  T'
C P0  s  Tm
C P0  s 
0 T dT  0 T dT   T dT
T
(4.62)

Integral suku pertama ruas kanan pada persamaan (4.62) dapat dievaluasi dengan cara :

C P0  s 
T' T'
aT 3 1 1 0
0 T dT  0 T dT  3 aT  3 CP
3

Untuk mengevaluasi integral suku kedua ruas kanan pada persamaan (4.62) dapat

C Po
dilakukan dengan memasukkan data C P0 , hasil pengukuran dan mengintegralkan dT
T
pada rentang suhu T’ sampai Tm. Cara lain yang dapat dilakukan adalah cara grafik. Pada

C Po
cara ini, hasil pengukuran dialurkan terhadap T atau C P0 terhadap In T. Luas di
T
bawah kurva adalah nilai integralnya.
II. Entropi Standar Zat Padat pada Titik Didihnya
Entropi suatu zat padat pada titik didihnya dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut
C PO  s  H 0fusi T C l H Uap T C  g
O 0 O
T
S TO   dT   dT  
P P
dT (4.64)
0 T Tm Tm T Tb Tb T

Perubahan yang dialami oleh zat padat menjadi gas adalah sebagai berikut : semula
padatan berubah menjadi cair, kemudian menjadi gas.
4.9 Entropi Sebagai Kriteria Kespontanan Proses

Hukum kedua termodinamika dapat digunakan untuk meramalkan arah suatu


proses apakah pada kondisi tertentu proses tersebut dapat terjadi atau tidak. Menurut
hukum kedua termodinamika, proses berlangsung pada system tersekat ( di alam semesta )
dapat terjadi apabila disertai dengan peningkatan entropi.
Menurut hukum konsentrasi energi, energi alam semesta adalah tetap, maka
pertukaran kalor sistem dan lingkungannya bersama-sama bersama-sama dalam satu
sistem tersekat, sehingga entropi sistem dan lingkungannya bersama-sama berada dalam
sistem tersekat pula. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan bahwa kedua nilai entropi ini
berperan sebagai kriteria kespontanan proses. Berdasarkan pada persyaratan tersebut maka
arah proses dapat diramalkan sebagai berikut :
1. Jika ∆Ssistem + ∆Slingkungan > 0 proses akan berlangsung
2. Jika ∆Ssistem + ∆Slingkungan < 0 proses tidak akan berlangsung
3. Jika ∆Ssistem+ ∆Slingkungan = 0 proses berlangsung seimbang.

4.10 FUNGSI ENERGI BEBAS


Perhatikan kembali hokum kedua termodinamika, setiap proses yang berlangsung
dalam system tersekat ΔS ≥ 0. Hukum ini tidak berlaku bagi reaksi kimia, jika reaksi
kimia dilangsungkan dalam system tidak tersekat. Pada umumnya reaksi kimia
berlangsung pada suhu dan volum atau tekanan tetap. Oleh karena itu perlu dicari fungsi
lain untuk menentukan berlangsung tidaknya suatu reaksi.
Berdasarkan persamaan (4.10), untuk proses reversible berlaku hubungan
TdS = đQrev (4.65)
Persamaan (4.65) menyatakan kondisi kesetimbangan. Untuk perubahan keadaan yang
berlangsung irreversible, persamaan tersebut menjadi
TdS >đQ (4.66)
Kedua hubungan itu dapat digabung menjadi satu, yakni
TdS ≥ đQ
Atau
đQ – TdS ≤0 (4.67)
Dengan menggunakan hokum pertama termodinamika, untuk system yang hanya
melangsungkan kerja volum, persamaan (4.67) menjadi
dU + PdV – TdS ≤ 0 (4.68)
Tanda lebih kecil (<) digunakan untuk proses irreversible, sedangkan tanda sama dengan
(=) untuk proses reversible.

4.10.1 Fungsi Energi Bebas Helmholtz


Pada volum tetap, dV = 0, Persamaan (4.68) menjadi
dU – TdS ≤ 0
Apabila suhu tetap, TdS = d (TS), sehingga persamaan menjadi
dU – d (TS) ≤ 0
atau
d (U – TS) T.V ≤ 0 (4.69)
Fungsi U – TS merupakan keadaan fungsi baru, yang disebut energi bebas Helmholtz, dan
diberi symbol A.
A = U – TS (4.70)
Sehingga
(dA)T.V ≤ 0 (4.71)
Jadi bagi sistem yang hanya melakukan kerja volum pada T.V tetap, perubahan yang
spontan akan dasertai dengan penurunan energi bebas Helmholtz, A. A akan turun sampai
dicapai keadaan minimum, yakni keadaan kesetimbangan dengan dA = 0.
Arti fisik dari fungsi energi bebas Helmholtzdapat diperoleh dari fungsi
turunannya, yaitu:
dA = dU –TdS – SdT (4.72)
Untuk proses yang berlangsung secara reversibel
dU = đQrev + đWrev = TdS + đWrev, dan dT = 0, sehingga
dA = đWmaks
atau nilai integrasinya
ΔA = Wrev (4.73)
Jadi, berdasarkan persamaan (4.73), perubahan energi bebas Helmholtz adalah
kerja volum maksimum yang dihasilkan oleh suatu proses reversible yang berlangsung
pada suhu tetap.

4.10.2 Fungsi energi bebas Gibbs


Untuk sistem yang berlangsung reversible, Pl ≈ P (tekanan sistem), persamaan
(4.68) menjadi
dU + PdV – TdS ≥ 0 (4.74)
Jika sistem berlangsung pada tekanan tetap, maka PdV = d (PV) dan pada T tetap TdS = d
(ST), sehingga
d (U + PV – TS)T.P ≤ 0
d (H – TS)T.P ≤ 0 (4.75)
dengan H – TS merupakan fungsi keadaan baru yang disebut energi bebas Gibbs, dan
diberi symbol G.
G = H – TS
Atau
G = U + PV – TS
Sehingga
(dG)T.V ≤ 0 (4.76)
Pada T dan P tetap, perubahan yang spontan disertai dengan penurunan energi bebas Gibbs
sampai tercapai keadaan minimum pada kesetimbangan. Dengan kata lain syarat
kesetimbangan bagi sistem yang hanya melakukan kerja volum pada T dan P tetap adalah
dG = 0.
Arti fisik dari energi bebas Gibbs dapat diperoleh dari fungsi turunannya, yaitu
dG = dU + PdV + VdP – TdS – SdT (4.77)
Pada T dan P tetap, dG = dU + PdV – TdS dan dengan menerapkan hokum pertama
termodinamika untuk proses yang reversible: dU = dQ rev + dWrev, dan dQrev = TdS,
persamaan (4.77) menjadi
dG = đWrev + PdV (4.78)
Jika kerja diuraikan ke dalam kerja volum dan kerja lain yang bukan kerja volum maka
đWrev = - PdV + đWrev lain (4.79)
đWrev + PdV = đWrev lain
sehingga
dG = đWrev lain (4.80.a)
atau dalam bentuk integrasinya
ΔG = Wrev lain (4.80.b)
Jadi berdasarkan parsamaan (4.80) penurunan energi bebas Gibbs merupakan kerja
maksimum selain kerja volum yang dapat dilakukan oleh sistem dalam proses yang
reversible pada suhu dan tekanan tetap. Sebagai contoh, sel aki yang digunakan pada T, P
tetap ( ada dalam kontak terbuka dengan lingkungannya) jika dapat diupayakan pengaliran
arus listriknya reversible, maka tensgs listrik yang dikeluarkannya sama dengan
penurunan energi bebas Gibbs dari sel aki tersebut.

4.10.3 Energi bebas sebagai fungsi variable-variabel sistem


Perhatikan kembali persamaan (4.72)
dA = dU – TdS – SdT
subsitusikan hukum pertama termodinamika, untuk proses reversible, akan didapat
persamaan baru, yakni
dA = - SdT – PdV (4.81)
Jadi, energi bebas Helmholtz merupakan fungsi dari variable suhu dan volum. Hubungan
lain untuk energi bebas ini dapat diperoleh dari turunan total A = A (T,V) sebagai berikut
 A   A 
dA    dT    dV
 T V  V  T

berdasarkan persamaan (4.81) dan (4.82) didapat hubungan-hubungan:


 A 
   S (4.83)
 T V

 A 
   P (4.84)
 V T

Untuk energi bebas Gibbs, dari persamaan (4.77) dapat juga diturunkan hubungan-
hubungan lain. Perhatikan kembali persamaan (4.77)
dG = dU + PdV +VdP – TdS – SdT
Dengan menggunakan hokum pertama termodinamika, untuk proses reversible dU = TdS
– PdV, akan didapat persamaan baru, yakni
dG = -SdT + VdP (4.85)
Berdasarkan persamaan (4.85), energi bebas Gibbs merupakan fungsi dari variable suhu
dan tekanan. Secara matematik hal tersebut dituliskan G = G (T,P) dan turunan totalnya
adalah
 G   G 
dG    dT    dP (4.86)
 T  P  P  T

Berdasarkan persamaan (4.85) dan (4.86) didapat hubungan-hubungan


 G 
   S (4.87)
 T  P
 G 
  V (4.88)
 P  T

4.10.4 Persamaan Gibbs-Helmholtz


Apabila perbandingan energi bebas Gibbs dengan suhu, G/T, diturunkan terhadap
suhu (pada tekanan tetap) akan diperoleh hubungan sebagai berikut
 G 1  G  G
      2 (4.89)
T T
 P T  T P T

Substitusikan persamaan (4.87) ke dalam (4.89) didapat persamaan


 G S G  TS  G    H
    2  (4.90)
T  T P T T T2 T2

Persamaan (4.90) dikenal dengan persamaan Gibbs-Helmholtz, dan sangat berguna untuk
menentukan energi bebas pada berbagai suhu.
Analog dengan persamaan (4.90), untuk perubahan energi bebas Gibbs yang
diakibatkan oleh suhu dapat ditentukan sebagai berikut
  G  H
   2 (4.91)
T  T  P T

Dengan menggunakan persamaan (4.91), nilai perubahan energi bebas Gibbs pada
berbagai suhu dapat ditentukan.

4.10.5 Perhitungan energi bebas reaksi kimia


Perhitungan nilai energi bebas untuk reaksi kimia dapat ditentukan dengan
beberapa cara diantaranya adalah: pertama dengan menggunakan persamaan (4.74).
Karena umumnya reaksi kimia berlangsung pada suhu dan tekanan tetap, maka berlaku
ΔG = ΔH – TΔS (4.92)
Cara yang kedua adalah dengan menggunakan energi Gibbs pembentukan standar ΔGof
untuk zat murni. Misalnya untuk reaksi kimia, secara umum sebagai berikut
αA + βB γC + δD
Perubahan energi bebas Gibbs ditentukan dengan persamaan (4.93)
ΔGo = Σ ΔGof. produk – Σ ΔGof.pereaksi

4.10.6 Energi Bebas Sebagai Kriteria Kespontanan Proses


Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan bahwa criteria kespontanan suatu proses
untuk sistem tersekat dilihat berdasarkan nilai perubahan entropinya. Untuk sistem yang
tidak tersekat, tidak berlaku ΔS > 0 pada proses yang spontan. Akan tetapi jika sistem tak
tersekat tersebut dipandang bersama-sama dengan lingkungannya maka dapat dianggap
sebagai sistem tersekat. Oleh karena itu untuk sistem seperti ini yang mengalami
perubahan yang spontan, selalu ditandai dengan ΔSsistem + ΔSlingkungan > 0. hal ini merupakan
salah satu kelemahan cara penentuan arah proses berdasarkan perubahan entropi, karena
harus ditentukan nilai ΔS lingkungannya.
Jika kita ingin menentukan spontan tidaknyasuatu proses berdasarkan sifat atau
variable sistem maka dapat digunakan persamaan (4.71) untuk proses pada T, P tetap atau
persamaan (4.76) untuk proses pada T, P tetap. Menurut persamaan yang terakhir ini arah
proses dapat ditentukan, yakni:
1. Jika ΔG < 0: proses berlangsung secara spontan.
2. Jika ΔG = 0: proses berada dalam kesetimbangan.
3. Jika ΔG > 0: proses berlangsung tidak spontan.

4.11 PERSAMAAN DASAR DAN HUBUNGAN MAXWELL


Selain sifat-sifat mekanik seperti, P dan V, sistem memiliki tiga sifat-sifat dasar
penting yaitu T, U, dan S, dan tiga sifat gabungan yakni H, A, dan G.
Dengan membatasi kerja yang dilakukan hanya kerja volum, kombinasi hukum
termodinamika pertama dan kedua untuk proses reversible dinyatakan dalam persamaan
berikut
dU = TdS – PdV (4.94)
Persamaan (4.94) merupakan persamaan dasar.
Dengan menggunakan definisi fungsi-fungsi gabungan, yaitu H = U + PV, A = U –
TS, dan G = U + PV – TS, kemudian setiap fungsi ini diturunkan, maka akan diperoleh
persamaan-persamaan sebagai berikut.
dH = TdS + VdP
dA = -SdT – PdV
dG = -SdT + VdP
Keempat persamaan ini dikenal dengan persamaan dasar termodinamika, meskipun
sebetulnya persamaan (4.94) yang berupa persamaan dasar. Oleh karena kesederhanaan
persamaan-persamaan tersebut maka S dan V merupakan variable alamiah untuk energi
bebas Helmholtz; serta T dan P merupakan variable alamiah untuk energi bebas Gibbs.
Berdasarkan persamaan dasar tersebut, dengan menggunakan sifat diferensial total,
dapat diperoleh empat hubungan Maxwell, yaitu:
 T   P 
    
 V  S  S V
 T   V 
   
 P  S  S  P
 S   P 
   
 V  T  T V
 S   V 
    
 P T  T  P

Dari keempat persamaan diatas yang paling bermanfaat adalah persamaan (4.97)
dan persamaan (4.98), karena persamaan tersebut kuosiennya memiliki besaran-besaran
yang dapat diukur secara eksperimen, yakni:
 P   V 
  dan  
 T V  T  P

Persamaan (4.95) menyatakan bahwa pada entropi tetap, perubahan suhu yang
diakibatkan oleh berubahnya volum sama dengan berkurangnya tekanan yang diakibatkan
oleh perubahan entropi pada volum tetap, sedangkan persamaan (4.96) menyatakan bahwa
perubahan suhu yang disebabkan oleh berubahnya tekanan pada entropi tetap sama dengan
perubahan volum yang disebabkan karena berubahnya entropi pada tekanan tetap. Arti
fisik dari hubungan lain, yaitu persamaan (4.97) dan (4.98) dapat anda rumuskan sendiri.
KESETIMBANGAN KIMIA
Sampai sejauh ini persamaan-persamaan dasar termodinamika yang telah
diturunkan hanya berlaku untuk sistem dengan komposisi tetap, artinya tidak terjadi
transfer materi dengan lingkungannya(sistem tertutup). Meskipun banyak reaksi kimia
dilakukan dalam ruang tertutup, namun reaksi yng sedang berlangsung dapat dipadang
sebagai suatusistem terbuka. Pada sistem ini zat pereaksi dianggap keluar dari sistem dan
dianggap keluar dari sistem dan zat hasil reaksi masuk ke dalam sistem.
Untuk sistemsemacam ini, yakni sistem dengan komposisi yang berubah-ubah,
perlu dicari pengaruh perubahan komposisi tersebut terhadap persamaan-persamaan
termodinamika. Hasil dari persamaan-persamaan tersebut digunakan untuk menurunkan
syarat-syarat tercapainya kesetimbangan kimia.
Dari persamaan dasar untuk sistem dengan komposisi yang berubah, sistem
terbuka, energi bebas Gibs juga merupakan fungsi dari jumlah mol zat yang keluar da
masuk ke dalam sistem, 1, n2, n3, .. ni. Dengan ni adalah jumlah zat yang terlibat dalam
sistem.
Secara matematika didefinisian seperti persamaan (5.1)

G = G(T, P, n1, n2, .. ni) (5.1)

Diferensial totalnya adalah :


 G   G  N
 G 
dG =  T 
  P , nn
dT +  P  dP +
  T , ni
  n
i 1 
 dni (5.2)
i  T , P ,n

Suku ni pada persamaan tersebut menyatakan bahwa semua zat dibuat tetap pada
diferensial dan nj menyatakan bahwa semua zat tetap kecuali dalam turunannya. Dalam

 G 
hal ini j  i. Misalkan  P  berarti bahwa T, P dan semua zat kecuali n 1 adalah
  T , P , nj 1

tetap pada diferensiasi.

Jika komposisi sistem tidak berubah (tetap), yakni dn1=0, d2=0 dan seterusnya,
maka persamaan (5.1) berubah menjadi :

 G   G 
dG =  T  dT +  P  dP (5.3)
  P , ni   T , ni

Jika persamaan (5.3) dibandingkan dengan persamaan dasar termodinamika, dG=


-SdT + VdP, maka dapat dinyatakn bahwa :

 G 
  = -S (5.4)
 T  P , ni

Dan

 G 
  =V (5.5)
 P  T , ni

Sehingga persamaan (5.2) berubah menjadi :

N
dG = -SdT + VdP +   dn
i 1
i i (5.6)
Dari persamaan (5.6) didefinisikan besaran baru yaitu potensial kimia, yang diberi
simbol µ, secara matematika dituliskan persamaan sebagai berikut.


G 
µ =  n  (5.7)
 i  T , P , nj  i

dengan µi adala potensial kimia komponen i. Dengan menggunakan persamaan (5.7)


tersebut, maka persamaan (5.6) dapat dinyatakan sebagai berikut.

N
dG = -SdT + VdP +   dn
i 1
i i

Persamaan (5.8) merupakan salah satu persamaan dasar bagi sistem terbuka yang
menghubungkan perubahan energi Gibbs dengan perubahan suhu, tekanan, dan umlah mol
zat.
Berdasarkan persamaan (5.8) dapat dicari besaran termodinamika yang lainnya.
Misalkan untuk perubahan energi dalam, dU. Dari persamaan G=U+PV-TS didapatkan

dG=dU + PdV + VdP – TdS – SdT

persaman ini disusun ulang menjadi

dU = dG – PdV –VdP + TdS + SdT (5.9)

substitusi persamaan 5.8 dengan 5.9 diperoeh


N
dU = TdS –PdV +   dn
i 1
i i

Dengan menggunakan persamaan dasar termodinamika untuk besaran energi


dalam, dU=TdS-PdV, yang diterapkan pada sistem dengan komposisi tetap dan dari
persamaan (5.10) diperoleh ernyataan lain untuk potensial kimia, yaitu :
U 
µ =  n 
 i  S ,V , nj  i

Perlu diperhatikan, perbedaan potensial kimia yang dinyakan dengan energi bebas
Gibbs dan dengan energi dalam adalah variabel yang dibuat tetapnya. Untuk kasus
pertama, ariabelyang dibuat tetap adalah suhu dan tekanan,sedankan pada kasus kedua
adalah entropi dan volume.
Dengan bantuan persamaa dasar ermodinamika yang lainnya dapat diturunkan persamaan
dasar sistem terbuka lainnya, yaitu :

N
dH = TdS + VdP +   dn
i 1
i i

N
dA = -SdT –PdV +   dn
i 1
i i

Dengan potensial kimianya didefinisikan sebagai berikut.

H 
µ =  n 
 i  S , P , nj  i

Dan
A 
µ =  n 
 i  T ,V , nj  i

Sekarang mari kta tnjau salah satu persamaan dasar untuk sisem dengan komposisi
yang berubah-ubah (sistem terbuka) yang sangat berguna untuk menjelaskan perubahan
energi pada sistem reaksi kimia. Tinjaulah persamaan (5.8) yang diterapkan pada suhu dan
tekanan tetap, maka akan diperoleh persamaan
N
dG =   dn
i 1
i i

Jika sistemnya hana terdiri atas satu zat maka persamaan (5.16) berubah menjadi

dG = µdn
Susun ulang persamaan tersebut

dG G
µ= = =G
dn n

Persamaan (5.18) menyatakan bahwa potensial kimia zat murni merupakan energi
bebas Gibss molar. Di dalam campran, potensial kimia masing-masing suku, µi,
merupakan energi bebas Gibss parsial molar dari zat i, dan energinya dinyatakan dengan

G= n 
i
i i

5.2 KRITERIA KESETIMBANGAN KIMIA


Mari kita tinjau suatu sistem yang berisi campuran dari beberapa zat kimia yang
dapat bereaksi menurut persamaan :

v1A1 + v2A2 v3A3 + v4A4

Dengan prinsip kesetimbangan muatan, untuk persamaan reaksi diatas dapat


dituliskansebagai berikut :

0 = v3A3 + v4A4 – v1A1 – v2A2 (5.20)

Dengan menggunakan suatu perjanjian bahwa koefisien stoikiometri, vi (dibaca nu i),


bertanda negatif untuk pereaksi dan bertanda positif untuk hasil reaksi, maka persamaan
(5.21) dapat dinyatakan dengan

0 =∑ viAi (5.22)
Untuk menyatakan apakah suatu reaksi berlangsung atau tidak dalam arah yang
dituliskan maka harus dinjau apakah energi Gibbs dari campuran akan naik atau turun.
Jika energi Gibbs-nya turun dengan berlangsung reaksi, maka reaksi akan berjalan spontan
dalam arah yang dituliskan. Reaksi akan terus berlangsung disertai dengan penurunan
energi Gibbs sampai mencapai nilai minimum, yakni saat tercapainya keadaan
kesetimbangan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada T dan P tetap, perubahan energi
Gibbs dari sistem seperti yang dinyatakan pada persamaan (5.8) berubah menjadi

dG = μi dni (5.23)

dni merupakan perubahan mol zat yang disebabkan oleh reaksi. Perubahan ini tidak
independen, melainkan bergantung satu sama lain karena zat-zat bereaksi dalam
perbandingan stoikiometris.
Jika kita mulai pada sistem reaksi dari keadaan tidak setimbang dengan jumlah zat
A1 = n1.0 dan A2 = n2.0, dengan subskrip nol menunjukkan komposisis awal. Pada saat
tertentu ada sejumlah A1 dan A2 telah bereaksi. Untuk menyatakan sampai sejauhmana
reaksi berlangsung digunakan istilah cakupan reaksi (extent of reaction), dan diberi simbol
ξ (dibaca ksi). Jika v1 mol zat A1 telah bereaksi dengan v2 mol zat A2 menghasilkan v3 mol
zat A3 dan v4 mol zat A4, maka dikatakan bahwa telah terjadi 1 mol reaksi, atau sama
dengan 1 mol. Jika 0,3v3 mol zat A3 dan 0,3v4 mol zat A4, maka telah mencapai 0,3 mol.
Selama reaksi berlangsung, jumlah mol untuk pereaksi dan hasil reaksi akan
mengalami perubahan sesuai dengan jumlah cakupan reaksinya. Untuk hasil reaksi
jumlahn ya akan bertambah sebanyak

n3 = n3.0 + v3 ξ dan n4 = n4.0 + v4 ξ

Sedangkan untuk pereaksi, jumlahnya berkurang sebanyak


n1 = n1.0 + v1 ξ dan n2 = n2.0 + v2 ξ

Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap saat reaksi, jumlah masing-masing zat yang
ada dinyatakan melalui persamaan
ni = ni.0 + vi ξ (5.24)

Karena ni.0 dan vi bernilai tetap, maka turun an dari persamaan (5.24) menghasilkan

dni = vi dξ (5.25)

Subsitusi Persamaan (5.25) dengan Persamaan (5.17) menghasilkan

dG = dξ vi μi (5.26)

susun ulkang persamaan tersebut, dengan menambahkan variabel-variabelnya yang tetap,


didapat persamaan

= vi μi (5.27)

Persamaan (5.27) menyatakan perubahan energi Gibbs sistem karena perubahan


cakupan reaksi. Jika nilainya negatif, energi Gibbs sistem turun dan reaksi berjalan
spontan dalam arah yang dituliskan. Sebaliknya, jika nilkainya positif, keberlangsungan
reaksi dalam arah yang dituliskan akan meningkatkan energi Gibbs sistem, yang berarti
bahwa reaksi berjalan tidak spontan. Sedangkan jika nilainya sama dengan nol, energi
bebas Gibbs mencapai nilai minimum dan sistem berada dalam keadaan
kesetimbangan.perhatikan gambar 5.1
Gambar 5.1 Energi Gibbs sebagai fungsi cakupan reaksi
ξl menyatakan nilai cakupan reaksi yang paling kecil, sedangkan ξg adalah cakupan reaksi
yang paling besar, dan ξe menyatakan cakupan reaksi pada saat kesetimbangan.
Jadi kriteria kesetimbangan bagi reaksi kimia adalah

= 0 (5.28)

Atau

Vi μi = 0 (5.29)

Ruas kiri Persamaan (5.29) merupakan bentuk dari perubahan energi bebas Gibbs, yakni
penjumlahan energi bebas hasil reaksi dikurangi dengan penjumlahan energi bebas
pereaksi

ΔG = vi μi (5.30)

Ingat bahwa i bagi zat dalam campuran merupakan energi bebas Gibbs molar parsial zat i
tersebut, μi = i . Oleh karena itu, sesuai dengan persamaan (5.27) maka

ΔG = = vi μ i (5.31)

Dan pada keadaan kesetimbangan nilainya sama dengan nol.

ΔG = vi μi = 0 (5.32)
Contohn ya untuk reaksi pembakaran nitrogen menghasilkan nitrogen monoksida

N2(g) + O2(g) 2NO(g)

Akan tercapai kesetimbangan jika perubahanan energi bebasnya sama dengan nol

G=2 NO - N2 - O2 = 0

5.3 POTENSIAL KIMIA DALAM CAMPURAN

Dari Persamaan (5.29) terlihat bahwa keadaan kesetimbangan reaksi ditentukan


oleh nilai potensial kimianya. Potensial kimia setiap komponen d dalam sistem reaksi
memiliki nilai tertentu. Oleh karena itu perlu dicari bentuk rumusan potensial kimia
komponen i, i, dalam campuran.
Banyak sistem reaksi kimia yang melibatkan gas. Oleh karena itu, pada bagian ini
dibahas bagaimana potensial kimia campuran dalam campuran gas ideal dan dalam gas
nyata.

5.3.1 Potensial kimia dalam campuran gas ideal


Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa perubahan energi bebas Gibbs
untuk setiap zat dinyatakan dalam persamaan dasar G = - SdT + VdP. Jika persamaan

5.2 KRITERIA KESETIMBANGAN KIMIA


Mari kita tinjau suatu sistem yang berisi campuran dari beberapa zat kimia yang
dapat bereaksi menurut persamaan :

v1A1 + v2A2 v3A3 + v4A4

Dengan prinsip kesetimbangan muatan, untuk persamaan reaksi diatas dapat


dituliskansebagai berikut :

0 = v3A3 + v4A4 – v1A1 – v2A2 (5.20)


Dengan menggunakan suatu perjanjian bahwa koefisien stoikiometri, vi (dibaca nu i),
bertanda negatif untuk pereaksi dan bertanda positif untuk hasil reaksi, maka persamaan
(5.21) dapat dinyatakan dengan

0 =∑ viAi (5.22)

Untuk menyatakan apakah suatu reaksi berlangsung atau tidak dalam arah yang
dituliskan maka harus dinjau apakah energi Gibbs dari campuran akan naik atau turun.
Jika energi Gibbs-nya turun dengan berlangsung reaksi, maka reaksi akan berjalan spontan
dalam arah yang dituliskan. Reaksi akan terus berlangsung disertai dengan penurunan
energi Gibbs sampai mencapai nilai minimum, yakni saat tercapainya keadaan
kesetimbangan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada T dan P tetap, perubahan energi
Gibbs dari sistem seperti yang dinyatakan pada persamaan (5.8) berubah menjadi

dG = μi dni (5.23)

dni merupakan perubahan mol zat yang disebabkan oleh reaksi. Perubahan ini tidak
independen, melainkan bergantung satu sama lain karena zat-zat bereaksi dalam
perbandingan stoikiometris.
Jika kita mulai pada sistem reaksi dari keadaan tidak setimbang dengan jumlah zat
A1 = n1.0 dan A2 = n2.0, dengan subskrip nol menunjukkan komposisis awal. Pada saat
tertentu ada sejumlah A1 dan A2 telah bereaksi. Untuk menyatakan sampai sejauhmana
reaksi berlangsung digunakan istilah cakupan reaksi (extent of reaction), dan diberi simbol
ξ (dibaca ksi). Jika v1 mol zat A1 telah bereaksi dengan v2 mol zat A2 menghasilkan v3 mol
zat A3 dan v4 mol zat A4, maka dikatakan bahwa telah terjadi 1 mol reaksi, atau sama
dengan 1 mol. Jika 0,3v3 mol zat A3 dan 0,3v4 mol zat A4, maka telah mencapai 0,3 mol.
Selama reaksi berlangsung, jumlah mol untuk pereaksi dan hasil reaksi akan
mengalami perubahan sesuai dengan jumlah cakupan reaksinya. Untuk hasil reaksi
jumlahn ya akan bertambah sebanyak

n3 = n3.0 + v3 ξ dan n4 = n4.0 + v4 ξ


Sedangkan untuk pereaksi, jumlahnya berkurang sebanyak
n1 = n1.0 + v1 ξ dan n2 = n2.0 + v2 ξ

Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap saat reaksi, jumlah masing-masing zat yang
ada dinyatakan melalui persamaan

ni = ni.0 + vi ξ (5.24)

Karena ni.0 dan vi bernilai tetap, maka turun an dari persamaan (5.24) menghasilkan

dni = vi dξ (5.25)

Subsitusi Persamaan (5.25) dengan Persamaan (5.17) menghasilkan

dG = dξ vi μi (5.26)

susun ulkang persamaan tersebut, dengan menambahkan variabel-variabelnya yang tetap,


didapat persamaan

= vi μi (5.27)

Persamaan (5.27) menyatakan perubahan energi Gibbs sistem karena perubahan


cakupan reaksi. Jika nilainya negatif, energi Gibbs sistem turun dan reaksi berjalan
spontan dalam arah yang dituliskan. Sebaliknya, jika nilkainya positif, keberlangsungan
reaksi dalam arah yang dituliskan akan meningkatkan energi Gibbs sistem, yang berarti
bahwa reaksi berjalan tidak spontan. Sedangkan jika nilainya sama dengan nol, energi
bebas Gibbs mencapai nilai minimum dan sistem berada dalam keadaan
kesetimbangan.perhatikan gambar 5.1
Gambar 5.1 Energi Gibbs sebagai fungsi cakupan reaksi
ξl menyatakan nilai cakupan reaksi yang paling kecil, sedangkan ξg adalah cakupan reaksi
yang paling besar, dan ξe menyatakan cakupan reaksi pada saat kesetimbangan.
Jadi kriteria kesetimbangan bagi reaksi kimia adalah

= 0 (5.28)

Atau

Vi μi = 0 (5.29)

Ruas kiri Persamaan (5.29) merupakan bentuk dari perubahan energi bebas Gibbs, yakni
penjumlahan energi bebas hasil reaksi dikurangi dengan penjumlahan energi bebas
pereaksi

ΔG = vi μi (5.30)

Ingat bahwa i bagi zat dalam campuran merupakan energi bebas Gibbs molar parsial zat i
tersebut, μi = i . Oleh karena itu, sesuai dengan persamaan (5.27) maka

ΔG = = vi μ i (5.31)

Dan pada keadaan kesetimbangan nilainya sama dengan nol.


ΔG = vi μi = 0 (5.32)

Contohn ya untuk reaksi pembakaran nitrogen menghasilkan nitrogen monoksida

N2(g) + O2(g) 2NO(g)

Akan tercapai kesetimbangan jika perubahanan energi bebasnya sama dengan nol

G=2 NO - N2 - O2 = 0

5.3 POTENSIAL KIMIA DALAM CAMPURAN

Dari Persamaan (5.29) terlihat bahwa keadaan kesetimbangan reaksi ditentukan


oleh nilai potensial kimianya. Potensial kimia setiap komponen d dalam sistem reaksi
memiliki nilai tertentu. Oleh karena itu perlu dicari bentuk rumusan potensial kimia
komponen i, i, dalam campuran.
Banyak sistem reaksi kimia yang melibatkan gas. Oleh karena itu, pada bagian ini
dibahas bagaimana potensial kimia campuran dalam campuran gas ideal dan dalam gas
nyata.
ss5.3.1 Potensial kimia dalam campuran gas ideal
Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa perubahan energi bebas Gibbs
untuk setiap zat dinyatakan dalam persamaan dasar G = - SdT + VdP. Jika persamaan ini
diterapkan pada sistem gas ideal dan reaksi berlangsung pad suhu tetap, maka, akan
diperoleh persamaan

dG = VdP (5,33)
Integarsi Persamaan (5.33) pada batas awal Po = 1 atm dan batas akhir P diperoleh
p

G–G = o
 VdP
po

atau
p

G=G + o
 VdP
po
(5.34)

Substitusi persamaan gasideal terhadap Persamaan (5.34) didapat persamaan


p
nRT
G=G + o

po
P
dP

G Go Patm
  RT ln
n n 1atm
µ = µ o + RT ln P (5.35)

dengan P merupakan bilangan murni, tidak lagi bersatuan.


Jadi, pada suhu tertentu, tekanan menggambarkan energi Gibbs per mol suatu gas
ideal. Semakin tinggi tekanan semakin besar energi Gibbs-nya.
Untuk campuran gas-gas ideal, energi bebes Gibbs per mol setiap komponen
dinyatakan dengan
µi =µi o
+ RT ln P i (5.36)
dengan µ i o
adalah potensial kimia komponen i pada tekana parsial 1 atm, dan P
merupakan tekanan parsial komponen i dalam campuran.

5.3.2 Potrensial kimia dalam campuaran gas nyata


Gas nyata tidak mengikuti persamaan PV = nRT, sehingga persamaan (5.35) tidak
dapat digunakan untyuk menyatakan potensial kimia gas nyata. Potensial kimia untuk gas
nyata dapat saja diturunkan dari persamaan serupa, misalnya dengan menggunakan
persamaan gas van der Waaals, akan tetapi cara ini cukup rumit. Untuk memudahkan G.N
Lewis mengunakan sautu cara yang disebut fugasitas, f. Definisi ini digunakan untuk gas
ideal sebagai sebagai pengganti tekanan. Jadi untuk gas nyata persamaannya dinyatakan
sebagai
µ = µ o + RT ln f (5.37)
dan untuk komponen I dalam campuran dinyatakan dengan
µi =µi o
+ RT ln f i (5.38)
Fungsi fugasitas seperti ini akan bermanfaat kalau dapat dihubungkan dengan sifat-sifat
gas yang dapat diukur.
Tinjaulah suatu sistem yang berlangsung pada suhu tetap, sehingga energi bebas
Gibbs-nya seperti dinyatakan dengan persamaan (5.33). Bagilah persamaan tersebut

dengan jumlah mol (n), maka didapat persamaan dµ = V dP, sedangkan untuk gas ideal


ditulis dµ ideal = V ideal
dP. Pengurangan kedua persamaan tersebut akan menghasilakan

d( µ - µ ideal ) = ( V - V ideal
)dP (5.39)

integrasi Persamaan (5.39) pada batas bawah Po dan batas atas P menghasilkan
p



d( µ - µ ideal
)= (V- V ideal
)dP
po

jika Po  0, maka µ  µ ideal , akibatnya persamaan menjadi


p



(µ-µ ideal
)= (V- V ideal
)dP (5.40)
po

Substitusi Persamaan (5.35) dan (5.37) pada Persamaan (5.40) menghasilkan persamaan
sebagai berikut.
p


__ 
RT(ln f – ln P) = (V -V ideal
)dP
0

p
 f 

__ 
RT  ln  = (V -V ideal
)dP
 P 0

p  __ 
 f   RT 
RT  ln  =
 P
 

V 
P 
dP (5.41)
0  

Nilai integral Persamaan (5.41) dapat dihitung jika volume gas dapat dinyatakan
sebagai fungsi tekanan (dari persamaan keadaan), atau dapat pula ditentukan secara grafik.
__ __
Dengan mengetahui V sebagai fungsi tekanan, dapat dialurkan ( V - RT / P ) terhadap P.

Luas daerah dibawah kurva antara P = 0 dan P merupakan nilai dari ruas kanan pada
Persamaan (5.41)
f
Besaran pada Persamaan (5.41) disebut koefisien fugasitas, .
P
f
= (5.42)
P
Untuk Gas ideal f = P, sehingga nilai  = 1. Sedangkan untuk gas nyata  1, oleh karena
itu, koefisien fugasitas dapat dijadikan ukuran ketidakidealan suatu gas. Semakin besar
penyimpangan koefisien fugasitas dari nilai 1, maka semakin besar penyimpangan dari gas
ideal.
Fugasitas identik dengan tekanan. Jika tekanan semkin rendah, maka sifat gas
nyata akan semakin mendekati ideal, atau secara matemetika dinyatakan dengan
lim f = P (5.43)
p 0
dan
lim  = 1 (5.44)
p 0

Suatu gas yang mengalami kompresi, tekanan yang diamati semakin jauh dari nilai
fugasitasnya, sifat keidealannya akan semakin rendah.
Sistem kimia yang kita pelajari tidak sekedar dalam fasa gas, tetapi dapat juga
dalam bentuk cair. Untuk menggantikan fugasitas, dapat digunakan fungsi lain yaitu
aktivitas, biasa dinyatakan dengan a. Hubungannya dengan fugasitas dinyatakan melalui
persamaan
f
a= f0 (5.45)

dengan f o adalah tekanan gas pada keadaan standar seperti gas ideal, f o = 1 atm.
o
Karena f = 1 atm, maka a = f. Harus diperhatikan bahwa dalam bilangan,
aktivitas sama dengan fugasitas tetapi aktivitas tidak memiliki dimensi. Dengan
menggunakan aktivitas ini Persamaan (5.37) dapat dituliskan menjadi
µ = µ o + RT ln a (5.46)
Untuk komponen i dalam campuaran persamaannya mempunyai bentuk
µi =µi o
+ RT ln a i (5.47)
Hubungan antara aktivitas dengan konsentrasi ( molaritas, molalitas dan faraksi
mol ) dinyatakan dalam persamaan
ac =  c C (5.48)
ac =  m m (5.49)
ac =  x X (5.50)
dengan c, m, dan x masing-masing hádala koefisien aktivitas yang mengubah molaritas,
molalitas dan fraksi mol kedalam aktivitas.
Perlu dicatat bahwa yang didasarkan pada konsentrasi, molalitas, dan fraksi mol
satu sama lain memiliki nilai yang berbeda. Tetapi jika konteksnya sudah jelas aktivitas
mana yang digunakan superskripnya dapat dihilangkan.
5.4 KONSEP TETAPAN KESETIMBANGAN

Perhatikan kembali Persamaan (5.47), substitusi persamaan ini ke dalam


persamaan (5.30) didapatkan
G   vi (  i0  RT ln ai )
i
  vi  i0  RT  vi ln ai (5.51)
i i

Dengan G   vi  i , maka persamaan (5.51) menjadi


0 0

G  G 0  RT  ln aivi
(5.52)

Atau dapat juga dituliskan dengan


G  G 0  RT ln  aivi (5.53)

Tinjaulah suatu reaksi umum


aA + bB = cC + dD
dengan a,b,c, dan d masing-masing menyatakan koefisien zat A,B,C, dan D. Potensial
masing-masing komponen dinyatakan dengan
 A   A0  RT ln a A (5.54)

 B   B0  RT ln a B (5.55)
 C   C0  RT ln aC (5.56)

 D   D0  RT ln a D (5.57)
Dengan mensubstitusikan Persamaan (5.54) s.d (5.57) ke dalam persamaan (5.30)
diperoleh persamaan
G  c C  d D  a A  b B

 c C0  cRT ln aC  d D0  dRT ln a D  a A0  aRT ln a A b B0  bRT ln a B

 c C0  d D0  (a A0  b B0 )  RT  c ln aC  d ln a D   a ln a A  b ln a B  

aCc a Dd
 G  RT ln a b
0
(5.58)
a AaB
Perbadingan aktivitas masing-masing pereaksi di dalam Persamaan (5.58) disebut
kuosien reaksi, diberi symbol Q.
aCc a Dd
Q (5.59)
a Aa a Bb
Substitusi Persamaan (5.58) ke dalam Persamaan (5.59) didapat
G  G 0  RT ln Q (5.60)
Persamaan (5.60) identik dengan Persamaan (5.53). selama proses reaksi kimia
berlangsung nilai Q mengalami perubahan sampai suatu saat, pada keadaan
kesetimbangan tercapai, nilainya tetap. Telah dibahas pada bagian terdahulu bahwa pada
kesetimbangan nilai G  0 . Sehingga Persamaan (5.58) berubah menjadi
 aCc a Dd 
0  G 0
 RT ln  a b 
 a AaB  stb
Atau
 ac ad 
G 0   RT ln Ca Db  (5.61)
 a AaB  stb
Pada suhu tetap, kuosien pada persamaan (5.61) bernilai tetap. Besaran ini disebut
tetapan kesetimbangan termodinamika, K. dengan demikian kita mendapatkan persamaan
 a Cc a Dd 
K   a b 
 (5.62)
 a AaB  stb
Dengan menggunakan Persamaan (5.62) maka Persamaan (5.61) dapat dituliskan menjadi
G 0   RT ln K (5.63)

5.5 TETAPAN KESETIMBANGAN Kp, Kx, dan Kc.


Untuk reaksi antara gas-gas ideal, ai  Pi , sehingga Persamaan (5.61) menjadi
 Pc Pd 
G 0   RT ln Ca Db 
 (5.64)
 PA PB  stb

PCc PDd
Kuosien pada keadaan setimbang dinyatakan dengan Kp. Sehinggga untuk gas
PAa PBb
ideal
G 0   RT ln K P (5.65)
Untuk mengungkapkan tetapan kesetimbangan dalam bentuk fraksi mol, kita
gunakan hukum Dalton untuk gas, yakni
Pi  X iP

Dengan Pi : tekanan parsial komponen i


Xi : fraksi mol komponen i
P : tekanan total
Jika hubungan ini disubstitusikan ke dalam rumusan Kp maka diperoleh

 X C P c  X D P d
KP 
 X A P a  X B P b
X Cc X Dd c  d  a b
 X Aa X Bb
P

K P  K X P
i

Atau

KX  KPP  i
 
(5.66)

 i adalah jumlah koefisien stoikimetris ruas kanan dikurangi dengan jumlah koefisien
ruas kiri.
Untuk gas ideal, KP tak bergantung pada tekanan. Berapapun tekanannya, KP akan
berharga tetap, tetapi KX bergantung pada tekanan, kecuali  i  0.
Hubungan antara KP dan KC dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan gas ideal :
Pi = ni RT / V
Pi = CiRT (5.67)
Dengan demikian maka

 CC RT  c  C D RT  d
KP 
 C A RT  a  C B RT  b
C Cc C Dd
= a b
( RT ) c  d  a b
C AC B

K P  K C  RT  
i
(5.68)

Dengan KC tetapan kesetimbangan dinyatakan dalam Konsentrasi molar. Dari persamaan

(5.68) KP akan sama dengan KC jika  i  0.

5.6 PERHITUNGAN TETAPAN KESETIMBANGAN


Tetapan kesetimbangan, K, dapat ditentukan melalui persamaan (5.54) jika G o
diketahui. Karena pentingnya G o pada penentuan K, maka pada bagian ini akan dibahas
terlebih dahulu mengenai G o .
G o reaksi biasanya dihitung dari energi Gibbs pembentukan standar, mengenai

G of , yaitu perubahan energi bebas Gibbs pada reaksi pembentukan 1 mol senyawa dari

unsure-unsurnya dengan semua pereaksi dan hasil reaksi pada keadaan standar.
Seperti halnya pada entalpi standar zat, energi Gibbs unsure-unsur pada
keadaannya yang paling stabil pada 25 oC dan 1 atm diberi harga nol.
Misalnya
  O2 , g   0,   Br2 , l   0,   C , grafit   0,   H 2 , g   0
Untuk reaksi pembentukan CH4, dengan menggunakan persamaan reaksi
C (grafit) + 2H2 (g) → CH4 (g)
G of  CH 4 , g    (CH 4 , g )    C , grafit   2   H 2 , g 

G of (CH 4 , g )   (CH 4 , g )

Jadi energi Gibbs pembentukan standar untuk setiap senyawa sama dengan energi Gibbs
molar standar senyawa tersebut.
Untuk reaksi umum
1 A1   2 A2   3 A3   4 A4

Greaksi
o
  3  Ao3   4  Ao4  1  Ao1   2  Ao2

Karena  i  G f .i , maka
o o

G   3 G of . A3   4 G of . A4  1 G of . A1   2 G of . A2

G    i G of .i (5.69)
i

Harga G f senyawa dapat dilihat pada table besaran-besaran termodinamika.


o
Harga G f yang umum terdapat pada table besaran-besaran termodinamika
o

dinyatakan pada 25oC. jika ingin menghitung K dari G o pada suhu yang lain, maka
G o harus diketahui dan dinyatakan sebagai fungsi suhu :
G   RT ln K

GTo ditentukan dari persamaan Gibbs-Helmholtz, dan ∆HTo (pada persamaan Gibbs-
Helmholtz) ditentukan dari persamaan Kirchoff. Untuk lebih jelasnya kita tinjau kembali
reaksi umum berikut
1 A1   2 A2   3 A3   4 A4

Pada umumnya, kapasitas kalor pada tekanan tetap, Cp, untuk setiap zat dinyatakan dengan
C p.i  ai  bi T  ci T 2

Perbedaan kapasitas kalor antara hasil reaksi dengan pereaksi dapat dinyatakan dengan :
C p.i  ai  bi T  ci T 2

Dengan ai    i ai bi   b i i c i   i ci


  (H o

 
  C P  ai  (bi T )  (ci )T
o 2
(5.70)
 T P
Integral dari Persamaan (5.66) menghasilkan bentuk:

 dH   a  ( bi )T  ( ci )T 2 dT 


o
i

H To  H Io  (ai )T  12 (bi )T 2  13 (ci )T 3

H Io : tetapan integrasi, yang nilainya dapat dievaluasi dari entalpi pembentukan standar,

H of , biasanya pada 25oC.

H To   vi H of i.298  (ai )298  12 (bi )(298) 2  13 (ci )(298) 3

Harga H f I .298 diperoleh dari table.


o

Dari persamaan Gibbs-Helmholtz


  G  H o
    2T
T  T  P T
 G 
  H Io  ai T   bi T 2  ci T 3
 T    
 T  T2 T2
1
2
T 2
1
3
T2
(5.71)
 
 P

Integrasi persamaan (5.67) menghasilkan


GTo H Io
  (ai ) ln T  12 (bi )T  16 (ci )T 2  G Io
T T
GTo  H Io  (ai )T ln T  12 (bi )T 2  16 (ci )T 3  G IoT (5.72)

G Io dapat dievaluasi dari G f , pada 25oC.


o

G Io 
1
T

GTo  H Io  (a i )T ln T  12 (bi )T 2  16 (ci )T 3 

G Io 
1
298
 Gi
o
f .298  H Io  ( ai )(298) ln 298  12 (bi ) 298  16 ( ci )( 298) 3
2

Nilai G Io yang sudah diperoleh dimasukkan ke persamaan (5.68) untuk memperoleh

GTo . Persamaan ini dapat digunakan untuk menentukan G o pada suhu berapapun,
tergantung yang diinginkan.
Cara yang lebih mudah untuk menentukan G o adalah dengan menggunakan
Persamaan (4.92). pada T tertentu (tetap)
GT  H T  TS T

H pada T tersebut dapat ditentukan melalui persamaan Kirchoff, yaitu


T
C P
H T  H 298  
298
T
dT

S T dapat ditentukan melalui persamaan


T
C P
S T  S 298  
298
T
dT

Dengan demikian GTo pada satu suhu tertetnu, T, dapat ditentukan.


Jika ∆G°T sudah diketahui, maka dapat dihitung K pada suhu yang dinyatakan.

5.7 PENGARUH SUHU TERHADAP TETAPAN KESETIMBANGAN


Sebenarnya pengaruh suhu terhadap tetapan kesetimbangan secara tidak langsung
sudah dibahas di bagaian sebelumnya. Untuk melihat secara langsung pengaruh susu
terhadap tetapan kesetimbangan, kita mulai dari persamaan (5.63)
∆Go = - RT ln K
Disusun ulang menjadi
G o
ln K   (5.73)
RT
Untuk mengetahui kebergantungan K terhadap T, maka persamaan (5.69) diturunkan
terhadap T pada tekanan tetap.
 G o 

d ln K 1  T

   (5.74)
dT R  T 

 
P

Dari persamaan Gibbs-Helmholtz :


 G o 
  H O
 T  
 T  T2
  P

Subtitusi persamaan terakhir ke dalam persamaan (5.70) menghasilkan :


d ln K H o
 (5.75)
dT RT 2
Jika ∆Ho dianggap tetap (tak bergantung suhu), misalnya pada selang T yang kecil. Maka
integrasi dari persamaan (5.71) menghasilkan :
H o
ln K   I
RT
1 H o
Jika kita alurkan ln K terhadap akan diperoleh garis lurus dengan kemiringan 
T R
. Dengan demikian kita dapat menentukan kalor reaksi melalui pengukuran tetapan
kesetimbanagn pada rentang suhu tertentu. Jika persamaan (5.75) diintegrasikan anatara
dua suhu, T1 dan T2 dan dengan pengandaian ∆Ho bukan fungsi suhu menghasilkan :
H o  1 1
ln K 2  ln K 1     
R  T2 T1 

Atau
K 2 H o  T2  T1 
ln    (5.77)
K1 R  T1T2 

Analisa persamaan (5.77) menunjukan bahwa untuk reaksi yang berlangsung


secara endoterm (∆Ho > 0), jika T nya dinaikan, maka harga K akan semakin besar, dan
jika T diturunkan maka harga K akan turun pula. Untuk reaksi eksoterm jika T dinaikan
harga K akan mengecil dan jika T diturunkan, harga K akan semakin besar. Dalam bentuk
lain kita nyatakan bahwa kenaikan suhu akan mengeser kesetimbangan ke arah zat dengan
entalpi tinggi dan penurunan suhu akan menggeser kesetimbangan ke arah entalpi rendah.
Pergeseran kesetimbangan secara lebih luas akan dibahas di bagian akhir bab ini.
5.8 KESETIMBANGAN HETEROGEN
Kesetimbangan heterogen terjadi jika zat – zat yang terlibat dalam kesetimbangan
lebih dari satu fasa. Sampai sejauh ini kita baru membicarakan kesetimbanga homogen
dalam fasa gas. Reaksi kimia yang melibatkan lebih dari satu fasa, rumusan untuk tetapan
kesetimbangnya sama saja, hanya saja perlu pengetahuan tambahan mengenai aktivitas zat
padat dan zat cair murni.
Kita tinjau penguraian termal kalsium karbonat dalam suatu tempat tertutup.
CaCO3( S )  CaO( s )  CO2 ( g )

Tetapan kesetimbangan termodinamikanya adalah


aCaO .aCO2
K (5.78)
aCaCO3

Berdasarkan konsensus, aktivitas padatan murni (dan cairan murni) pada keadaan

standarnya (yakni pada 1 atm) adalah sama dengan satu, jadi aCaO = 1 dan a CaCO =1.
3

Dengan demikian persamaan (5.74) menjadi K = f CO2 Jika diasumsikan gas bersifat ideal

maka : Kp = pCO 2

5.9 PERGESERAN KESETIMBANGAN


Pada bagian ini pembahasan akan dibatasi pada pengaruh perubahan dari beberapa
variabel keadaan terhadap posisi kesetimbangan dari reaksi gas-ideal. Kita akan meninjau
dampak pengaruh perubahan satu variabel termodinamika terhadap system yang telah
mencapai kesetimbangan.

Perubahan Suhu secara Isobar


Pengaruh perubahan suhu terhadap kesetimbangan dapat dilihat dari persamaan

d ln K P H O

dT RT 2

1
Karena d ln y = y dy, maka persamaan di atas dapat ditulis

1 dK P H O

K P dT RT 2
dK P H O
 KP
dT RT 2

Karena KP dan RT2 bertanda positif, maka tanda dKP/dT tergantung pada tanda ΔHo.
Jika ΔHo positif, reaksi endoterm, maka dKP/dT positif. Kenaikan suhu (dT>0) akan
meningkatkan KP (dKP>0). Pada rumusan KP, tekanan parsial produk sebagai pembilang,
sehingga jika KP naik artinya terjadi peningkatan tekanan parsial produk dan penurunan
tekanan parsial reaktan. Karena Pi = XiP, dan P dibuat tetap, maka perubahan fraksi mol
sebanding dengan perubahan tekanan parsial. Jadi untuk reaksi endoterm, peningkatan
suhu pada tekanan tetap akan menggeser kesetimbangan ke arah kanan (produk).
Sebaliknya (masih untuk reaksi endoterm), jika terjadi penurunan suhu (dT<0) maka akan
terjadi pula penurunan KP berarti terjadi penurunan tekanan parsial produk pada keadaan
kesetimbangan yang baru. Artinya penurunan suhu pada reaksi endoterm akan menggeser
kesetimbangan ke arah kiri, pereaksi.
Untuk reaksi eksoterm, ΔHo negatif, sehingga (dKP/dT) negatif dan kenaikan suhu
(dT>0) menyebabkan penurunan KP (dKP<0). Jadi pada reaksi eksoterm kenaikan suhu
akan menggeser kesetimbangan ke arah kiri (reaktan), sementara itu penurunan suhu akan
menggeser kesetimbangan ke arah produk (kanan). Dapat disimpulkan bahwa pengaruh
perubahan suhu (pada tekanan tetap) akan menyebabkan pergeseran kesetimbangan yang
cenderung untuk menetralkan/meniadakan/mengurangi dampak dari pengaruh perubahan
suhu tersebut. Misalnya untuk reaksi eksoterm, jika T dinaikkan pada P tetap
kesetimbangan akan bergeser sedemikian rupa untuk mengurangi dampak dari kenaikan
suhu tersebut, yakni ke arah sistem yang membutuhkan kalor. Untuk reaksi maju yang
bersifat eksoterm, maka kenaikan suhu mengakibatkan pergeseran ke arah kiri yang akan
mendinginkan sistem.

Perubahan Tekanan secara Isotermal


Jika volume pada sistem diubah secara isotermal, maka tekanan totalnya, P, dan
tekanan parsial masing-masing gas, Pi, juga berubah. Tetapi karena KP tak tergantung pada
P (KP merupakan fungsi dari T), maka perubahan ini tidak mempengaruhi nilai KP. Nilai
Kx, bergantung pada P (kecuali Συi = 0) melalui persamaan
KP = KxPΣυi

KP
KX = KPP-Συi atau K X 
P  i
Jadi untuk reaksi Συi > 0, kenaikan P secara isotermal atau akan menurunkan KX dan
menggeser kesetimbangan ke arah kiri, dan penurunan P secara isotermal akan menaikkan
KX dan menggeser kesetimbangan ke arah kanan. Untuk reaksi dengan Συi < 0, kenaikan P
secara isotermal akan menaikkan harga KX dan menggeser kesetimbangan ke arah kanan,
dan penurunan P secara isotermal akan menggeser kesetimbangan ke arah kiri. Jika Συi =
0, perubahan tekanan secara isotermal tidak mempengaruhi keadaan kesetimbangan.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa perubahan tekanan secara isotermal akan
mengakibatkan pergeseran kesetimbangan yang cenderung untuk meniadakan/mengurangi
dampak dari perubahan tekanan tersebut. Jadi kenaikan tekanan akan menyebabkan sistem
kesetimbangan bergeser ke arah jumlah mol yang lebih kecil (yang mengakibatkan
terjadinya penurunan tekanan). Jika Συi > 0, jumlah mol reaktan lebih kecil daripada
produk, maka kenaikan tekanan akan menggeser kesetimbangan ke arah kiri, dan jika Συi
< 0, (jumlah mol produk lebih kecil daripada reaktan), maka kenaikan tekanan akan
menggeser kesetimbangan ke arah kanan.
Alternatif lain untuk melihat pengaruh perubahan tekanan terhadap keadaan
kesetimbangan adalah sebagai berikut. Kita tinjau reaksi dengan Συ positif, contohnya, A

PB2
2B. Kita definisikan QP sebagai: QP  , dengan PA dan PB adalah tekanan
PA

parsial gas A dan B. jika system ada dalam kesetimbangan, QP = KP, dan jika sistem tak
setimbang QP ≠ KP. Jika kesetimbangan telah tercapai, kemudian kita naikkan tekanannya
dua kali dari semula pada T tetap (secara isotermal dengan mengkompressi campuran).
Nilai KP tak berubah (karena T tak berubah). Karena P = Xi P, kenaikan tekanan P, dua
kali dari semula akan menaikkan PA dan PB menjadi dua kali dari nilai semula. Kenaikan
ini menyebabkan pembilang naik menjadi empat kali semula dan penyebut dua kali
semula. Dengan demikian QP naik menjadi dua kali semula. Sebelum tekanannya
dinaikkan QP = KP (karena sistem ada dalam ksesetimbangan). Tetapi setelah tekanan
dinaikkan, QP juga naik dan melampaui nilai KP. Sistem tak lagi ada dalam keadaan
setimbang. Untuk mencapai keadaan kesetimbangan lagi QP harus turun. QP turun jika
kesetimbangan bergeser ke arah kiri, yang mengakibatkan PB turun dan PA naik. Jadi
kenaikan tekanan akan menggeser reaksi kesetimbangan A 2B ke arah kiri, ke
arah jumlah mol yang lebih kecil.

Penambahan Gas Inert secara Isokhor


Misalkan kita menambahkan gas inert pada campuran kesetimbangan pada T, V tetap.
Karena Pi = niRT/V, tekanan parsial masing-masing gas dalam reaksi tak dipengaruhi oleh
adanya penambahan gas inert. Akibatnya:
i
QP = ∏ Pi
(5.79)
tak terpengaruh dan tetap sama dengan KP. Jadi penambahan gas inert pada T, V tetap
tidak menggeser kesetimbangan.
Penambahan gas Inert secara Isobar
Misalkan kita menambahkan gas inert pada campuran kesetimbangan, dengan P dan T
tetap. Untuk menjaga P tetap pada saat penambahan gas inert, maka V harus naik. Karena
Pi = niRT/V, maka kenaikan V akan menurunkan tekanan parsial masing-masing gas
dalam sistem kesetimbangan, Pi. Jika Συi ≠ 0 maka kuosien Persamaan (5.75) akan
dipengaruhi dan tidak lagi sama dengan KP dan kesetimbangan akan bergeser. Jika Συ
positif, kenaikan volum akan menurunkan pembilang dari QP lebih daripada (melampaui)
penurunan penyebut, sehingga kesetimbangan akan bergeser ke arah kanan sampai QP
sama lagi dengan KP. Jika Συi negatif, kesetimbangan akan bergeser ke kiri.

Penambahan Gas Reaktan


Pada reaksi A + B 2C + D, misalnya kita tambahkan A pada campuran
kesetimbangan A, B, C, dan D menjaga T dan V tetap. Karena Pi = niRT/V, penambahan
A ini akan meningkatkan PA tetapi tak mengubah tekanan parsial gas lain. Karena PA
muncul dalam penyebut dari kuosien (5.75) (ingat υA negatif), penambahan A pada T, V
tetap akan menyebabkan QP lebih kecil daripada KP. Dengan demikian kesetimbangan
akan bergeser ke arah kanan, untuk meningkatkan QP sampai sama kembali dengan KP.
Jadi penambahan A pada T, V tetap menggeser kesetimbangan ke arah kanan, yakni
dengan mengurangi A yang ditambahkan melalui reaksi A dengan B membentuk C dan D.
Sama halnya jika kita menambahkan produk pada T, V tetap akan menggeser
kesetimbangan ke kiri, dengan mengkonsumsi zat yang ditambahkan.
Kesimpulan yang sama mungkin terpikirkan jika kita menambahkan reaktan pada T
dan P tetap. Hasil yang mengejutkan akan diperoleh untuk keadaan tertentu di mana
penambahan reaktan pada T , P tetap akan menggeser kesetimbangan ke arah zat yang
ditambahkan. Contohnya pada kesetimbangan gas N2 + 3H2 = 2 NH3. Misalkan
kesetimbangan tercapai pada suhu dan tekanan tertentu dengan KX = 8,33.
2
X NH 3
KX = 8,33 = . Jika jumlah n (N2) = 3,00 mol, dan n (NH3) = 1 mol ada pada T
X N 2 X H3 2

dan P tersebut, maka QX = ∏i(Xi)υi, akan dapat dihitung.

 15  2

 35  15 
Q =
X
3
= 8,33. Karena QX = KX, sistem ada dalam kesetimbangan. Apa yang

terjadi jika kemudian ke dalam sistem tersebut pada T , P tetap kita tambahkan 0,1 mol
N2? Penambahan menyebabkan harga QX berubah.
2
 1 
 5,1
QX = 3 = 8,39
 3,1  1 
 5,1 5,1
harga QX sekarang melampaui harga KX , dengan demikian kesetimbangan akan bergeser
ke kiri untuk mengurangi QX sampai menjadi 8,33. pergeseran ini akan meningkatkan N 2.
Jadi penambahan N2 pada kondisi ini akan menggeser kesetimbangan ke arah peningkatan
N2. hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Meskipun peningkatan N 2 akan meningkatkan
X N 2 , tapi hal ini juga akan menurunkan X H 2 (dan X NH 3 ). Dan fakta menunjukkan

bahwa X H 2 berpangkat tiga pada penyebut dari QX, sehingga penurunannya lebih besar

daripada kenaikan X N dan penurunan X NH . Sebagai akibatnya, QX meningkat. Jadi


2 3

dalam hal ini penambahan N2 pada T , P tetap mengakibatkan kesetimbangan bergeser ke


arah pembentukan N2.

BAB 6
KESETIMBANGAN FASA

6.1 PENGERTIAN DASAR TENTANG FASA


Dalam membicarakan aturan fasa, terlebih dahulu harus dipahami pengertian –
pengertian dari istilah – istilah yang digunakan yang berhubungan dengan hal tersebut.
Istilah – istilah tersebut adalah fasa, komponen dan derajat kebebasan.
6.1.1 Fasa
Fasa adalah bagian yang serba sama dari suatu sistem, yang dapat dipisahkan
secara mekanik; serba sama dalam hal komposisi kimia dan sifat – sifat fisika. Jadi suatu
system yang mengandung cairan dan uap masing – masing mempunyai bagian daerah
yang serbasama. Dalam fasa uap kerapatannya serba sama di semua bagian pada uap
tersebut. tetapi nilai kerapatannya berbeda dengan di fasa uap. Contoh lainnya adalah air
yang berisi pecahan – pecahan esmerupakan suatu system yang terdiri atas dua fasa, yaitu
fasa yang berwujud padat (es) dan fasa yang berwujud cair (air).
Sistem yang hanya terdiri atas campuran yang berwujud gas saja hanya ada satu
fasa pada kesetimbangan sebab gas selalu bercampur secara homogen. Dalam system yang
hanya terdiri atas wujud cairan – cairan pada kesetimbangan bias terdapat satu fasa atau
lebih, tergantung pada kelarutannya. Padatan – padatan biasanya mempunyai kelarutan
yang lebih terbatasdan pada suatu system padat yang setimbang biasa terdapat beberapa
fasa padat yang berbeda.

6.1.2 Komponen
Jumlah komponen dalam suatu system merupakan jumlah minimum dari spesi
yang secara kimia independent yang diperlukan untuk menyatakan komposisi setiap fasa
dalam system tersebut.
Cara praktis untuk menentukan jumlah komponen adalah dengan menentukan
jumlah total spesi kimia dalam system dikurangi dengan jumlah reaksi – reaksi
kesetimbangan yang berbeda yang dapat terjadi antara zat – zat yang ada dalam sistem
tersebut. Sebagai contoh kita tinjau system yang terdiri ats tiga spesi yakni PCl5, PCl3 dan
Cl2. Sistem memang terdiri dari tiga spesi, tetapi hanya ada dua komponen karena adanya
kesetimbangan yang terjadi pada system tersebut :
PCl5  PCl3 + Cl2
Dari dua spesi di atas dapat dipilih dan ditentukan jumlah molnya masing – masing,
sedangkan jumlah mol spesi ketiga dapat ditentukan melalui keadaan kesetimbangan,
X PbCl 3 X Cl 2
Kx = X PCL 5

Sebagai akibatnya, hanya dua spesi yang secara kimia independent, spesi ketiga tidak
independent. Jadi hanya ada dua komponen untuk system di atas . Pada sistem lain yaitu
air- etanol, ada dua spesi. Jumlah komponenya juga ada karena tidak dikenal
kesetimbangan yang menghubungkan keduanya pada suhu biasa.

6.1.3 Derajat kebebasan


Untuk menguraikan keadaan kesetimbangan dari suatu system yang terdiri atas
beberapa fase dengan beberapa spesi kimia, kita dapat menentukan mol masing – masing
spesi dalam setiap fasa serta shu (T) dan tekanan (P). Akan tetapi penentuan mol tidak
akan tidak dilakukan karena massa setiap fasa dalam system tidak menjadi perhatian kita.
Massa atau ukuran dari setiap fasa mempengaruhi pada kesetimbangan fasa, karena
kesetimbangan fasa ditentukan oleh kesamaan dalam potensial kimia (akan dijelaskan
secara rinci pada bagian lain), yang merupakan variable intensif. Sebagai contoh, dalam
sistem dua fasa yang terdiri atas larutan AgBr dengan padatan AgBr pada T dan P tertentu,
kosentrasi kesetimbangan dari AgBr yang larut ( dalam larutan jenuh) tidak bergantung
pada massa dari masing – masing fasa, jadi tidak penting apakah terdapat sedikit atau
banyak padatan AgBr atau sevolume besar larutan, asal kedua fasa ada dalam keadaan
kesetimbangan, kosentrasi kesetimbangan dalam larutan tersebut mempunyai nilai tertentu
pada T dan P tertentu. Oleh karena itu dalam membicarakan kesetimbangan fasa, kita tidak
akan meninjau variabel – variable …. intensif seperti suhu, tekanan, dan komposisi
(fraksi mol). Jumlah variabel intensif independent yang diperlukan untuk menyatakan
keadaan suatu sistem disebut derajat kebebasan dari system tersebut. Kita akan lihat nanti
bahwa tak semua variabel – variabel intensif independent.

6.2 KRITERIA KESETIMBANGAN FASA


Telah diuraikan di bagian kesetimbangan kimia (5.9), perubahan energi Gibbs yang
disebabkan oleh perubahan suhu, tekanan, dan mol zat dinyatakan melalui persamaan

dG = -SdT + VdP + 
i
ii dni (6.1)

ii potensial kimia, didefenisikan sebagai

 G 
 ii =  

 ni T , P , n i

merupakan besaran intensif karena merupakan turunan dari sifat ekstensif terhadap sifat
ekstensif lainnya. Oleh karena itu nilainya harus sama di semua tempat dalam satu system
pada keadaan kesetimbangan.
Kita tinjau suatu system di dua tempat bagian / bagian α dan β dengan potensial

kimia zat i masing – masing i dani . Andaikan terjadi pemindahan d dni mol zat I

dari fasa α ke fasa β pada suhu, tekanan, dan jumlah mol zat lainnya tetap, perubahan
energi Gibbs di kedua fasa tersebut dinyatakan dengan dGα = μiα dniα dan dGβ = μiβ dniβ.
Perubahan energi Gibbs total dari system adalah
dG = dGα + dGβ (6.3)
dG = μiα dniα + μiβ dniβ+ (6.4)
Berdasarkan konversi materi : dniβ = - dniα, oleh karena itu persamaan (6.4) menjadi
dG = (μiα - μiβ) dniα (6.5)
Jika pemindahan suatu zat tersebut berlangsung spontan harus disertai dengan penurunan
energi Gibbs
dG = (μiα - μiβ) dniα < 0 (6.6)
karena aliran/pemindahan I terjadi dari fasa α ke fasa β maka dn iα bernilai
negative.Dengan demikian , dari persamaan (6.6) diperoleh
μiα - μiβ > 0 atau μiα > μiβ (6.7)
Dengan kata lain, perpindahan I yang spontan akan terjadi dari fasa α ke fasa β, ataudari
fasa dengan potensial kimia besar ke fasa lain yang potensial kimianya lebih rendah.
Aliran atau perpindahan ini akan terus berlangsung sampai potensial kimia nya lebih
rendah. Aliran atau perpindahan ini akan terus berlangsung sampai potensial zat kimia i di
semua fasa dalam system menjadi sama. Secara matematis hal ini dapat dilihat dari
persamaan (6.5). Jika system telah mencapai kesetimbangan , maka persamaan (6.5)
menjadi
dG = (μiα - μiβ) dniα = 0 (6.8)
karena dniα ≠ 0, maka
μiα = μiβ (6.9)
Persamaan ini merupakan syarat kesetimbangan antara dua fasa untuk zat murni
pada suhu dan tekanan tertentu. Jadi pada kesetimbangan potensial kimia zat I di fasa α
sama dengan potensial kimia I di fasa β atau secara umum dapat dinyatakan bahwa pada
keadaan keseimbangan, potensial kimia setiap zat i harus sama di semua fasa.
Pada dasarnya, suatu system disebut setimbang secara termodinamika jika di[enuhi
kriteria kesetimbangan termal, kesetimbangan mekanik, dan kesetimbangan material. Jika
Tα > Tβ , panas akan mengalir spontan dari fasa α ke fasa β sampai
Tα = Tβ . Jika Pα > Pβ kerja akan “mengalir” spontan dari fasa α ke fasa β sampai Pα =
Pβ . Jika μiα > μiβ maka zat I akan mengalir spontan dari fasa α ke fasa β sampai μiα
= μiβ.
Fumgsi keadaan T menentukan ada tidaknya kesetimbangan termal antara fasa.
Fungsi keadaan P menentukan ada tidaknya kesetimbangan mekanik antar fasa. Fungsi
keadaan μ menentukan ada tidaknya kesetimbangan material antar fasa.

6.3 ATURAN FASA GIBBS


Jika suatu system mengandung satu atau lebih ko mponen dalam satu atau lebih
fasa pada keadaan kesetimbangan, ada satu hubungan umum yang penting yang dipenuhi
antara jumlah fasa (p), komponen (c), dan derajat kebebasan (ƒ).
Kita tinjau system dengan c komponen dan p fasa. Pada setiap fasa. Pada setiap
fasa, fraksi mol setiap komponen harus ditentukan. Jadi untuk fasa diperlukan c fraksi mol
dan untuk menguraikan p fasa diperlukan pc fraksi mol.Varial pc ini tak semuanya
independent, karena ada hubungan tertentu di antara variable tersebut. Yang pertama
adalah jumlah fraksi mol dalam setiap fasa harus sama dengan satu.
X 1 + X 2 + ……..+ X c = 1 (6.10)
Untuk setiap fasa, ada persamaan seperti pada persamaan (6.10). Jadi untuk p fasa ada
sejumlah p persamaan seperti itu. Yang kedua adalah karena system ada dalam
kesetimbangan seperti yang dinyatakan pada persamaa (6.9). Untuk setiap komponen ada
satu persamaan :
μiα = μiβ = μ 1  ..........  1p (6.11)
Karena persamaan (6.11) maka untuk system pada p fasa hanya mengandung p – 1
persamaaan, ada (p – 1) tanda sama dengan (=) untuk setiap komponen pada fasa p fasa.
Jadi untuk c komponen ada c( p – 1) persamaan. Oleh karena itu jumlah total variable
kosentrasi dikurangi jumlah syarat – syarat persamaan (6.10) dan (6.11) menghasilkan
pc – p – c(p-1) = c – p
Dengan menambahkan 2 untuk T dan P, kita peroleh derajat kebebasan system
ƒ = c- p+2 (6.12)
Persamaan 6.12 biasa dikenal dengan aturan fasa, dikemukan oleh J. Wilard Gibbs. Untuk
memudahkan mengingatnya, harus disadari, semakinb banyak komponen, semakin banyak
variable, oleh karena itu c bertanda positif. Semakin banyak jumlah fasa , semakin banyak
pula syarat kesetimbangan dan jumlah persamaannya, sehingga mengurangi beberapa
variable, jadi p bertanda negatif.

6.4 PERSAMAAN CLAPEYRON


Berdasarkan persamaan (6.9) dapat dilihat bahwa syarat kesetimbangan antara dua
fasa untuk Zat murni pada T dan P tertentu adalah
    (6.13)
Subskrip i dihilangkan karena system hanya terdiri dari atas satu komponen, zat murni.
Jika tekana diubah menjadi P+dP , suhu kesetimbangan akan berubah menjadi T+dT dan
nilai dari masing-masing µ akan berubah menjadi µ+dµ . Jadi pada T+dT dan p+dP syarat
kesetimbangannya adalah
   d      d  (6.14)
Dengan mengurangkan persamaan (6.13) terhadap Persamaan (6.14) akan diperoleh
d   d  (6.15)
Berdasarkan persamaan Termodinamika fundamental, kita peroleh dµ secara eksplisit
dalam bentuk dP dan dT adalah sebagai berikut
 
d    S dT  V dP

dan
 
d    S dT  V dP

Substitusi keduanya pada persamaan (6.15) menghasilkan


   
 S dT  V dP   S dT  V dP

Penyusunan ulang persamaan tersebut menjadi


   
(S  S )dT  (V  V )dP (6.16)
Jika terjadi perubahan dari α à β maka
   
S  S S dan V  V V

Dengan demikian, dari persamaan (6.16) diperoleh


dP S
 (6.17)
dT V

Untuk perubahan fasa pada kesetimbangan (bersifat reversibel),


H
S  , sehingga Persamaan (6.17) menjadi
T
dP H
 (6.18)
dT TV

Persamaan (6.18) disebut dengan Persamaan Clapeyron.

6.5 PERSAMAAN CLAUSIUS-CLAPEYRON


Untuk kesetimbangan padat cair, Persamaan (6.18) mempunyai bentuk
H fus
dP  dT (6.19)
TV fus

Sehingga
P2 Tm`
 H fus dT

P1
dP 
Tm
 V fus T
(6.20)

Jika  H fus dan V fus tidak bergantung pada T dan P , Persamaan (6.20) menjadi

 H fus Tm`
P2  P1  ln (6.21)
V fus Tm

Dengan Tm adalah titik leleh pada tekanan P1 dan T`m titik leleh pada tekanan P2 . Karena

T`m – Tm biasanya sangat kecil, maka logaritmanya dapat diperluas menjadi

Tm`  Tm  Tm`  Tm   Tm`  Tm  Tm`  Tm


ln  ln   ln1 
 


Tm  Tm   Tm  Tm

1 2 1 2 1 4
Untuk x << 1, ln(1  x)  x  x  x  x  .........
2 3 4
Dengan demikian Persamaan (6.12) menjadi
H fus T
P  (6.22)
V fus Tm

Untuk sesetimbangan fasa terkondensasi, baik padat ataupun cair dengan uapnya
kita mempunyai
dp S H
  (6.23)
dT V T (V g  V c )

Dengan  H merupakan kalor penguapan molar cairan atau kalor sublimasi molar dari
padatan dan V c adalah volum molar padatan atau cairan. Pada umumnya V g  V c  V g

RT
dan dengan mengasumsikan gas sebagai gas ideal , V g  p , maka Persamaan (6.23)

menjadi
dp HP

dT RT 2
Atau
d ln p H
 (6.24)
dT RT 2
Persamaan (6.24) dikenal sebagai persamaan Clausius-Clapeyron. Jika  H tidak
bergantung pada suhu, maka integrasi persamaan tersebut menghasilkan
P2 T
H
 d ln P   RT 2
dT
P1 To

P H 1 1  H H
ln        (6.25)
Po R  T To  RT RTo

Dengan Po adalah tekanan uap pada To dan P tekanan uap pada T. Jika Po = 1 atm, maka
To adalah titik didih normal cairan ( titik sublimasi normal dari padatan ), dengan demikian
H H
ln p   (6,26)
RTo RT

1
Dari Persamaan (6.26) dapat dilihat bahwa jika ln P dialurkan terhadap akan
T

H
diperoleh kurva linier dengan kemiringan sama dengan  . Perpotongan terhadap
R

1 H
sumbu tegak pada = 0 menghasilkan . Jadi kemiringan dan perpotongan tadi
T R

dapat ditentukan baik  H maupun To . Kalor penguapan dan sublimasi seringkali


ditentukan melalui pengukuran tekanan uap zat tersebut sebagai fungsi suhu.

6.7.SISTEM DUA KOMPONEN


System dua komponen, biasa disebut system biner, memiliki jumlah komponen
dua (c=2), sehingga aturan fasanya (=c-p+2) menjadi =4-p. Untuk system satu fasa
(p=1) derajat kebebasanya () sama dengan tiga. Jadi ada tiga variabel intensif independen
yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem tersebut, yakni T, P, dan fraksi mol.
Biasanya, satu dari ketiga variabel tersebut dibuat tetap, sehingga dua variabel
sisanya dapat digambarkan dalam diagram fasa dua dimensi. Variabel yang biasa dipilih
tetap adalah P atau T.

6.7.1 Sistem Dua Komponen Cair-Uap Ideal


Pada bagian ini akan dibahas system dua komponen yang membentuk larutan
ideal, dan diagram fasa yang ditinjau hanya bagian cair-uapnya saja.
Larutan ideal adalah larutan yang memenuhi Hukum Roult pada semua rentang
konsentrasi. Menurut hokum Roult, tekanan uap jenuh berbanding lurus dengan fraksi
molnya.
Pi = Xi Pio
6.28
Dengan Pi menyatakan tekanan uap (jenuh) I diatas larutan pada suhu T, Xi menyatakan
fraksi mol i dalam larutan ideal, dan Pto menyatakan tekanan uap (jenuh) pelarut murni i
pada suhu T.
Pada suhu tertentu (tetap) kita dapat menggambarkan diagram fasa tekanan, P,
terhadap fraksi mol, X. Untuk itu marilah kita tinjau suatu larutan ideal yang terdiri atas
cairan A dan B dengan komposisi tertentu yang ada dalam suatu silinder yang dilengkapi
piston dan dimasukkan dalam suatu penangas bersuhu tetap . mula-mula kita atur tekanan
luar pada piston cukup tinggi sehingga system seluruhnya ada dalam keadaan cair (titik C
pada gambar 6.4)

Setelah itu tekananya diturunkan dibawah titik C. Pada suatu ketika akan dicapai
suatu tekanan yang menyebabkan cairan tepat mulai menguap (titik D). Dititik D, cairan
mempunyai komposisi yang sama dengan komposisi cairan semula, karena cairan yang
menguap masih sangat sedikit sekali (tak hingga kecilnya). Komposisi uapnya dapat
dinyatakan dengan
PA
X A.V 
P

(6.29a)
PB
X B.V 
P
(6.29b)
Dengan mensubstitusikan persamaan (6.28) kepersamaan (6.29) diperoleh hubungan
antara fraksi mol uapnya dengan komposisi larutanya.
Po A
X A.V  X A.
P
(6.30a)
Po B
X B.V  X B .
P
(6.30b)
Dengan P = PA + PB, tekanan system.
Dari perbandingan persamaan (6.30) kita peroleh
o
X A.V X P
 A. A o
X B.V X B. PB
(6.31)
Jika A lebih mudah menguap, maka PAo>PBo. Dengan demikian maka
X A.V X
 A. 
X B .V X B .

Jadi uap diatas larutan lebih kaya akan zat A, yang lebih mudah menguap, dibandingkan
dengan cairanya.
Jika tekanan diturunkan lagi (secara isotermal) dibawah titik D, maka cairan yang
menguap akan lebih banyak lagi dan akhirnya cairan tepat habis menguap dititik F.
Dibawah F hanya terdapat uap saja. Setiap titik antara D dan F menyatakan adanya cairan
dan uapnya bersama-sama dalam kesetimbangan.
Eksperimen yang sama dapat diulang-ulang dengan komposisi awal yang berbeda-
beda. Hasil kurvanya seperti terlihat pada gambar (6.4). untuk setiap titik di garis  ,
cairan dengan komposisi X  tepat mulai menguap. Tekanan uap dari cairan ini adalah
P  PA  PB  X A. P o A  X B. P o B  X A. P o A  (1  X A. ) P o B
o o
Atau P  PB  ( P o A  PB ) X A.
(6.32)
Persamaan (6.32) merupakan persamaan garis lurus tekanan uap total, P, terhadap X A.
yang dimulai dari PBo untuk X A.  0 dan berakhir di PAo untuk X A.  1 . Karena

sepanjang garis  tersebut cairan baru mulai menguap, maka fraksi molnya sama dengan
fraksi mol dalam cairanya. Kurva sepanjang garis v menunjukkan zat cair tepat habis
menguap, sehingga X keseluruhan sama dengan fraksi mol dalam fasa uapnya, X v. Jadi
garis v merupakan aluran P terhadap Xv. Untuk memperoleh P sebagai fungsi Xv, kita
dapat menyatakan dalam bentuk XA,V. Untuk itu X A. pada persamaan (6.32) diubah

menjadi XA,V. Dari persamaan (6.31) diperoleh


o
X A,V X A, PA

1  X A,V (1  X A, ) PB
o

(6.33)
Penyelesaian untuk XA,  menghasilkan
o
AA,V PB
X A, o o o
X A,V ( PB  PA )  PA
(6.34)
Substitusi persamaan (6.34) kepersamaan (6.32) menghasilkan
o
PA P o B
P o o o
X A,V ( PB  PA )  PA
(6.35)
Persamaan (6.35) menyatakan hubungan antara P dan XA,V. Kurva yang dihasilkan
dari persamaan ini akan sesuai dengan garis v.
Perubahan keadaan sistem sekarang dikaji dengan penurunan tekanan secara
isotermal. Oleh karena sistemnya sistem tertutup, maka komposisi sistem secara
keseluruhan tetap pada fraksi mol A sama dengan X A pada (gambar 6.5), proses ini
dinyatakan oleh garis vertikal, dari titik C ke K. Dititik C sistem ada dalam keadaan cair,
dan tetap cair ketika tekanan diturunkan sampai dicapai titik D. Dititik D mulai muncul
uap dengan komposisi XA,1. uap yang muncul pertama kali ini lebih kaya dengan zat A
(yang lebih mudah menguap), dibandingkan dengan cairanya. Penurunan tekanan
selanjutnya akan mencapai titik E. Selama penurunan tekanan ini(dari P D ke PE) komposisi
cair bergerak sepanjanggaris G-1. Dititik E, cairan mempunyai komposisi X A,3 dan uapnya
mempunyai komposisi XA,2. Kita lihat bahwa cairan terakhir yang tersisa lebih kaya
dengan zat yang lebih sukar menguap (zat B). Penurunan tekanan selanjutnya akan masuk
kedaerah uap.
Dari titik F ke titik K, praktis hanya terjadi ekspansi dari uap, dengan komposisi
uap yang sudah pasti sama dengan komposisi cairan semula, XA. Uap yang terbentuk
diatas cairan saat tekanan diturunkan, lebih kaya dengan zat yang lebih mudah menguap.
Ini merupakan dasar dari salah satu metoda pemisahan, yaitu destilasi secara isotermal.

Cara ini sangat bermanfaat untuk memisahkan campuran yang mudah terurai jika
didestilasi dengan cara biasa. Cara ini tidak bisa digunakan, kecuali jika cara-cara lain
tidak cocok.
Diagram fasa P-X cair-uap pada suhu tetap dari dua cairan yang membentuk
larutan ideal terdiri dari atas tiga daerah. Setiap titik yang ada diatas kurva atas (kurva
cairan) ada dalam keadaan cair dan titik yang ada didalam kurva bawah (kurva uap) ada
dalam keadaan uap. Setiap titik yang ada diantara kedua kurva menyatakan keadaan
sistem dimana cairan dan uapnya terdapat bersama-sama dalam keadaan kesetimbangan.
Daerah ini disebut sebagai daerah cair-uap. Jadi titik E pada gambar (6.5) yang ada dalam
daerah ini, terdapat didaerah dua fasa yakni fasa cairan dengan komposisi H dan fasa
uapnya dengan komposisi I, sementara komposisi keseluruhan dititik E adalah X A. Garis
horizontal HEI disebut dengan garis dasi. Didaerah antara kurva cair dan kurva uap tidak
dapat diperoleh fasa tunggal (homogen), melainkan selalu berada dalam dua fasa, cair dan
uapnya. Satu titik yang ada dalam daerah dua fasa dengan komposisi keseluruhan tertentu
mempunyai komposisi uap dan cair yang ada diujung garis dasinya.
Daidaerah dua fasa, sistem mempunyai drajat kebebasan =2-2+2=2. Karena T nya
tetap, maka  menjadi 1. Jadi pada suhu tertentu, cukup satu variabel dari P, X V, X, yang
diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Sampai sejauh ini kita sudah menggunakan
XA,  atau XA,V untuk menyatakan keadaan sistem. Sebenarnya bisa saja kita
menggunakan XB,V atau XB,  untuk menyatakan keadaan sistem, karena kita mempunyai
hubungan XA,  +XB,  =1 dan XA,V dan XB,V =1. Jika kita pilih tekanan untuk
menyatakan keadaan sistem didaerah dua fasa, maka perpotongan garis horizontal dikurva
cair dan uapnya menghasilkan X  dan XV nya langsung. Jika XA  yang dipilih untuk
menyatakan keadaan sistem, maka perpotongan garis vertikal (pada X A,  ) dengan kurva
cair akan menghasilkan nilai P. Dari nilai P ini maka nilai XA,V dapat segera diketahui.

Aturan Lever
Didaerah dua fasa, daerah (  +v) pada gambar (6.5), komposisi sistem secara
keseluruhan dapat bervariasi antara batas-batas XV dan Xl tergantung pada jumlah relatif
cairan dan uap yang ada. Jumlah relatif uap dan uap yang ada dapat dihitung dengan
aturan lever (lever-rule). Panjang segmen garis antara titik E dan H dalam gambar (6.5)
kita nyatakan dengan EH dan antara E dan I dinyatakan dengan EI ; nA,  dan nA,V
merupakan jumlah mol komponen A, masing-masing dalam fasa cair dan uapnya; maka
nA=nA,  +nA,V. Jika n  dan nV merupakan jumlah mol total cairan dan uap yang ada, n=n
 +nV maka dari gambar (6.5) diperoleh
EH= X A  X A,3 dan EI = X A, 2  X A
n A n A, n A,V nA
EH =  EI = 
n n nV n

Kalikan EH dengan n  dan EI dengan nV lalu dikurangkan


nA
( EH )n  ( E I )nV  (n  nV )  (n A,  n A,V )
n
( E H )n  ( E I )nV  (n A  n A  0

Jadi
n (E I )
( E H ) n  ( E I ) nV atau 
nV (E H )

(6.36)
Persamaan (6.36) disebut dengan aturan lever. Jika titik E lebih dekat kegaris cair(titik H),
sistem mengandung cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah uapnya. Jika
titik E lebih dekat kegaris uap (ketitik I), jumlah cairan yang ada relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah uap yang ada. Dan jika titik E berimpit dengan titik H, maka
EH nol dan nV harus sama dengan nol, jadi hanya terdapat cairan saja. Penurunan aturan
lever diatas dapat diterapkan untuk setiap sistem dua komponen dua fasa, tidak hanya
kesetimbangan uap-cair saja. Jadi jika ada dua fasa  dan , n dan n adalah jumlah total
mol dalam fasa  dan  dan   dan   merupakan panjang garis dari suatu titik (didaerah
dua fasa)ke garis fasa  dan fasa , maka analog dengan persamaan (6.36) kita peroleh
n   = n  
(6.37)
Kadang-kadang, dalam diagram fasa digunakan (sebagai absis) fraksi berat atau persen
berat (bukan XA). Dalam keadaan seperti ini, aturan lever menjadi
m   = m  
(6.38)
dengan m dan m masing-masing adalah masssa dari fasa  dan .

Diagram suhu-komposisi
Diagram fasa yang diuraikan pada bagian sebelumnya, gambar (6.5) merupakan
diagram tekanan –komposisi pada suhu tetap. Kita dapat pula menggambarkan diagram
fasa pada tekanan tetap dengan mengalurkan T terhadap X. Diagram T-X pada P tetap
untuk larutan ideal yang bersesuaian dengan gambar (6.5) diperlihatkan pada gambar (6.6)
TB0 dan TA0 masing-masing adalah titik didih zat B murni dan A murni. Perhatikan
bahwa daerah cair uap pada gambar (6.6) mempunyai kemiringan yang terbalik dengan
dearah cair-uap gambar (6.5). Hal ini sesuai dengan fakta bahwa cairan A mempunyai
tekanan uap yang lebih tinggi, artinya zat tersebut mempunyai titik didih yang lebih
rendah (lebih mudah mendidih) dibandingkan dengan B. Juga perlu diperhatikan bahwa
daerah cair pada gambar (6.6) ada di bagian bawah diagram (berbeda dengan gambar (6.5)
dimana daerah cair ada di bagian atas diagram).
Hal ini disebabkan oleh karena pada tekanan tetap, cairan lebih stabil pada suhu rendah
dan pada suhu tinggi, uapnya yang lebih stabil. Kurva yang lebih bawah pada Gambar
(6.6) menyatakan komposisi cairan sedangkan kurva yang lebih atas menyatakan
komposisi uapnya. Sebetulnya daerah cair atau uap dalam diagram fasa tidak perlu
dihafalkan. Kita hanya perlu sedikit berpikir untuk menyatakan lokasi daerah cair atau uap
tersebut. Cairan lebih stabil pada suhu rendah, artinya ada di bagian bawah diagram T-X,
dan juga cairan lebih stabil pada tekanan tinggi, bagian atas diagram P-X. Hal yang sejalan
dapat diterapkan untuk menentukan daerah bagi fasa uap pada diagram T-X maupun P-X.
Bagaimanakah cara menggambarkan kedua kurva pada gambar (6.6)? Kita dapat
mulai dari PA0 (T) dan PB0 (T), tekanan uap dari A dan B murni sebagai fungsi dari suhu.
Hal ini bisa diperoleh melalui percobaan langsung atau dari persamaan Clausius-
Clapeyron. Jika tekanan tetap pada P, maka P=PA + PB, dengan PA dan PB masing-masing
adalah tekanan parsial A dan B dalam uapnya. Dari hukum Raoult diperoleh :

P  X A l P 0 A (T )  (1  X A.l ) P 0 B (T )
Atau

P  P 0 B (T )
X A.t 
P 0 A (T )  P 0 B (T )
Karena PA0 dan PB0 diketahui sebagai fungsi suhu, maka kita dapat menggunakan
persamaan (6.39) untuk mendapatkan XA.l pada berbagai T. Dengan demikian dapat kita
peroleh kurva cairan (kurva bawah). Untuk mendapatkan kurva uap, kita gunakan
hubungan :

PA X A.l P 0 A
X Ay  
P P
Substitusi persamaan (6.39) kedalam persamaan (6.40) menghasilkan :

P 0 A ( T ) ( P  P 0 B (T ) )
X Ay 
P P 0 A (T )  P 0 B (T )

Persamaan (6.41) merupakan persama XA,V sebagai fungsi dari T. Dengan demikian dapat
diperoleh kurva uap (kurva atas).
Prinsip-prinsip yang digunakan ketika membahas diagram P-X dapat diterapkan
dengan cara yang sama untuk diagram T-X. Pada P tetap untuk sistem dua komponen, dari
aturan fasa diperoleh derajat kebebasan, f=3-p. Di daerah satu fasa, f=2, ada dua variabel
yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Sementara di daerah dua fasa, f=1,
hanya satu variabel saja yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Setiap titik
dalam diagram T-X menggambarkan satu keadaan sistem. Titik yang ada di bagian paling
atas dari diagram T-X adalah keadaan gas dan titik yang terletak di bagian paling bawah
adalah keadaan cair. Titik diantara kurva cair dan uap (daerah tengah) menggambarkan
keadaan dimana cairan dan uapnya terdapat bersama-sama dalam kesetimbangan. Garis
dasi di darah cair-uap menghubungkan komposisi cair dan uap yang ada bersama-sama
pada suhu tertentu. Aturan level juga dapat digunakan pada diagram T-X.
Jika kita panaskan sistem dengan komposisi XA secara isobar, uap mulai muncul di
titik L. Peningkatan suhu selanjutnya akan menghasilkan uap yang lebih banyak. Cairan
akan semakin kaya dengan zat yang lebih sukar menguap, Zat B dengan titik didih yang
lebih tinggi. Ketika titik M dicapai, tepat semua cairan berubah menjadi uapnya.
Uap pertama yang muncul ketika larutan dengan komposisi X A dididihkan terdapat
pada titik Q. Komposisi dari uap ini adalah X A,1. Jika uap ini dikeluarkan dari sistem dan
didinginkan, akan diperoleh cairan dengan komposisi XA,1. Pemanasan cairan ini sampai
mendidih akan menghasilkan uap awal dengan komposisi XA,2 (titik R). Pengulangan
proses ini secara berkelanjutan pada akhirnya akan menghasilkan distilat yang semakin
kaya dengan komponen cairan yang lebih mudah menguap sementara residunya semakin
kaya dengan cairan yang lebih sulit menguap, disamping sederet fraksi dengan komposisi
diantara keduanya.
Pemisahan yang dilaksanakan dengan proses diatas memerlukan waktu dan tenaga yang
tidak sedikit. Untuk mengatasinya maka digunakan metoda kontinu dengan menggunakan
kolom fraksionasi, dan caranya disebut dengan distilasi bertingkat.
6.7.2. Sistem Dua Komponen Cair Uap Tak Ideal
Diagram fasa cair-uap untuk sistem tak ideal diperoleh melalui pengukuran
tekanan dan komposisi uapnya dalam kesetimbangan dengan cairan yang diketahui
komposisinya. Jika larutan sedikit tak ideal, kurvanya mirip dengan larutan ideal dan tidak
ada perubahan yang signifikan. Akan tetapi jika larutan menyimpang cukup besar dari
keadaan ideal, akan diperoleh maksimum atau minimum pada kurva P-Xt.
Untuk larutan yang mengalami deviasi positif dari hukum Raoult akan diperoleh
maksimum pada kurva P-Xl Gambar (6.7).

Campuran yang ideal atau menyimpang sedikit dari keidealan dapat dipisahkan ke
dalam komponen-komponennya melalui distilasi bertingkat. Tetapi jika penyimpangan
besar sampai diperoleh kurva maksimum atau minimum dalam kurva P-X atau kurva
minimum dan maksimum dalam kurva T-X, maka campuran seperti ini tak dapat
dipisahkan kedalam komponen-komponennya melalui distilasi bertingkat.
Campuran dengan komposisi cairan XA pada Gambar (6.7.b) jika didihkan akan
mempunyai komposisi uap yang sama dengan cairannya. Karena penguapan tidak
mengubah komposisi cairannya, keseluruhan sampel cair akan mendidih pada suhu
konstan. Larutan yang mempunyai titik didih konstan seperti ini disebut azeotrop. Titik
didih larutan azeotrop mirip dengan suatu zat murni dan sangat berbeda dengan
kebanyakan larutan dari dua cairan yang mendidih pada rentang suhu tertentu.
Distilasi bertingkat dari larutan yang membentuk azeotrop akan menghasilkan
pemisahan larutan menghasilkan A murni dan azeotrop (jika X A > X’A) atau B murni dan
azeotrop jika XA < X’A.
Azeotrop yang paling dikenal adalah azeotrop yang terbentuk antara air dan etanol.
Pada 1 atm, komposisi azeotrop ini adalah 96% berat etanol, dengan titik didih 78,20C,
dibawah titik didih air dan etanol. Komposisi azeotrop bergantung pada tekanan . Jadi
perubahan tekanan akan menghasilkan perubahan komposisi azeotrop, dan juga titik
didihnya.
Untuk larutan yang tidak membentuk azeotrop (seperti pada Gambar (6.6), uap
yang berada dalam kesetimbangan dengan cairannya selalu lebih kaya dengan komponen
bertitik didih lebih rendah (lebih mudah menguap). Akan tetapi jika terbentuk azeotrop
dengan titik dihi minimum, seperti yang dapat dilihat pada gambar (6.7), untuk cairan
dengan komposisi tetrentu (Xt > X’A), uapnya lebih kaya dengan komponen bertitik didih
lebih tinggi (lebih sukar menguap).
Untuk penyimpangan negatif yang cukup besar dari hukum Raoult akan diperoleh
minimum pada kurva P-XA, dan maksimum pada kurva T-X dengan azeotrop bertitik didih
maksimum (Gambar 6.8 a dan b). Jika penyimpangan positif dari keidealan cukup besar,
kedua cairan satu sama lain dapat saling larut (misibel) sebagian.

6.7.3. Sistem Dua Komponen Cair-Cair


Dua cairan dikatakan misibel sebagian jika A larut dalam B dalam jumlah yang
terbatas, dan demikian pula dengan B, larut dalam A dalam jumlah yang terbatas. Bentuk
yang paling umum dari diagram fasa T-X cair-cair pada tekanan tetap, biasanya 1 atm,
dapat dilihat pada gambar (6.9).
Diagram ini dapat diperoleh secara ekspreimen dengan menambahkan suatu zat
cair kedalam cairan murni lain pada tekanan tertentu dengan variasi suhu. Sebagai contoh
kita mulai dari cairan B murni yang secara bertahap ditambahkan sedikit demi sedikit
cairan A pada suhu tetap. T1. Sistem dimulai dari titik C (murni zat B) dan bergerak kearah
kanan secara horizontal sesuai denan penambahan zat A. Dari titik C ke titik D diperoleh
satu fasa, artinya A yang ditambahkan larut dalam B. Di titik D diperoleh kelarutan
maksimum cairan A dalam cairan B pada suhu T1. Penambahan A selanjutnya akan
menghasilkan sistem dua fasa (dua lapisan), yakni lapisan pertama (L1 larutan jenuh A
dalam B dengan komposisi XA, 1 dan lapisan kedua (L2) larutan jenuh B dalam A dengan
komposisi XA,2. Kedua lapisan ini disebut larutan konyugat, terdapat bersama-sama di
daerah antara D dan F. Komposisi keseluruhan ada diantara titik D dan F. Di titik F
komposisi keseluruhan adalah XA,3. Jumlah relatif kedua fasa dalam kestimbangan
ditentukan dengan aturan lever. Di E, lapisan pertama lebih banyak dari lapisan kedua.
Penambahan A selanjutnya akan mengubah komposisi keseluruhan semakin ke kanan,
sementara komposisi kedua lapisan akan tetap XA,1 dan XA,2. Perbedaan akibat
penambahan A secara terus menerus terletak pada jumlah relatif lapisan pertama dan
kedua. Semakin ke kanan jumlah relatif lapisan pertama akan berkurang sedangkan
lapisan kedua akan bertambah. Di titik F,A yang ditambahkan cukup untuk melarutkan
semua B dalam A membentuk suatu larutan jenuh B dalam A. Dengan demikian sistem di
F menjadi satu fasa. Dari F ke G, penambahan A hanya merupakan pengenceran larutan B
dalam A. Untuk mencapai titik G diperlukan penambahan jumlah A yang tak terhingga
banyaknya, atau bisa saja melakukan percobaan mulai dari A murni pada suhu T1, titik G,
lalu dilakukan penambahan B sedikit sedikit sampai dicapai titik F dan seterusnya.
Jika percobaan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi akan diperoleh batas
kelarutan yang berbeda. Semakin tinggi suhu, kelarutan masing-masing komponen satu
sama lain meningkat, sehingga daerah dua fasa semakin menyempit. Kurva kelarutan pada
akhirnya bertemu di satu titik pada suhu konsolut atas, atau disebut juga suhu kelarutan
kritis, TC. Di atas TC cairan saling melarut sempurna dalam berbagai komposisi. Contoh
sistem yang mengikuti kurva seperti ini adalah sistem air fenol dengan tC = 65,850 C.
Ada juga pasangan cairan yang kelarutannya bertambah dengan turunnnya suhu.
Untuk sistem seperti ini diperoleh suhu konsolut bawah. Contoh sistem seperti ini adalah
air –trietilamina. Diagram fasanya dapat dilihat pada gambar 6.10. Suhu konsolut bawah
air-trietilatina adalah 18,50 C.
Ditemukan juga sistem yang mempunyai suhu kelarutan kritis atas dan bawah
sekaligus, meskipun sangat jarang, contohnya adalah sistem nikotin-air yang diagram
fasanya dapat dilihat pada gambar (6.10 b). Suhu konsolut atasnya sekitar 210 0C dan suhu
konsolut bawahnya sekitar 610C.
Aturan fasa untuk suatu sistem pada tekanan tetap adalah f=c-p+1. Untuk sistem
dua komponen f=3-p. Di daerah dua fas, f=1, hanya diperlukan satu variabel saja yang
diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Jika variabel yang dipilih adalah suhu,
maka titik potong garis dasi dengan kurva menghasilkan komposisi kedua larutan
konyugat. Sama halnya jika variabel yang dipilih adalah komposisi salah satu larutan
konyugat, maka dapat ditentukan suhu dan komposisi larutan konyugat lainnya. Untuk
daerah satu fasa, f=2, ada dua variabel yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem.
Jadi suhu dan komposisi larutan keduanya harus dinyatakan dengan jelas.

6.7.4. Sistem Dua Komponen Padat-Cair


Ada banyak ragam jenis kesetimbangan dua komponen padat-cair. Beberapa
diantaranya akan dibahas dibagian ini.
Kedua komponen misibel dalam fasa cair dan immisibel dalam fasa padat.
Jenis kesetimbangan ini dimiliki oleh dua zat yang dapat saling larut dalam
keadaan cairannya, sementara di fasa padatnya terdapat komponen-komponen murninya
(tidak membentuk larutan padat/tidak saling melarutkan). Jika larutan cair A dan B
diturunkan suhunya, pada suatu saat akan muncul padatan. Suhunya disebut sebagai titik
beku larutan. Pada suhu ini terdapat dua fasa, cair dan padat. Oleh karena itu f = c –
p+2=2-2+2=2, sistem mempunyai dua derajat kebebasan. Biasanya proses dilakukan pada
tekanan tetap, sehingga sistem menjadi univarian, jadi cukup suhu saja atau komposisi saja
yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem (misalnya : dipilih variabel komposisi
saja mata titik bekunya sudah tertentu); setiap larutan mempunyai titik beku tertentu. Jika
titik beku sederet larutan cair dengan berbagai komposisi ditentukan lalu dialurkan
terhadap komposisi cairannya akan diperoleh kurva CE dan DE seperti yang terlihat pada
Gambar (6.12).

Titik C dan D merupakan titik beku A murni dan B murni. Penambahan B terhadap
A akan menurunkan titik bekunya sepanjang garis CE, begitu pula penambahan A terhadap
B akan menurunkan titik beku sepanjang garis DE. Jika larutan yang kaya akan A, yakni
larutan engan komposisi antara A dan Xe, digunakan, maka akan terpisah zat padat A,
sementara larutan yang kaya akan B yakni larutan dengan kom,posisi antara Xe dan B,
didinginkan akan terbentuk zat pada B. Jadi kurva CE dan DE dapat dipandang sebagai
kondisi suhu dimana larutan (cair) pada berbagai komposisi ada dalam keadaan
kesetimbangan dengan padatan A (untuk kurva CE) dan dengan padatan B (untuk kurva
DE). Di titik E kedua kurva bertemu, sehingga baik padatan A maupun B keduanya ada
dalam kesetimbangan dengan larutannya. Titik E merupakan suhu beku terendah dari
setiap campuran cair A dan B, yang juga merupakan titik leleh terendah dari setiap
campuran cair A dan B. Oleh karena itu titik E disebut titik eutetic (Yunani : mudah
meleleh), dan merupakan suhu terendah bagi keberadaan fasa cair.
Dari uraian diatas dapat kita nyatakan bahwa daerah diatas kurva CED merupakan
daerah cair, hanya fasa cair yang ada, karena suhunya diatas titik leleh setiap campuran.
Derajat kebebasan di daerah ini, f = c – p+2=2-1+2=3, tapi karena tekannya sudah tertentu
maka f = 2, jadi perlu dinyatakan suhu dan komposisi larutannya untuk menyatakan
keadaan sistem. Dibawah ini kurva FEG, hanya terdapat fasa padat. Didaerah ini dua fasa
padat, yakni A murni dan B murni. Menurut aturan fasa, sistemnya pada tekanan tetap
adalah sistem univarian. Karena komposisi setiap fasa sudah tertentu, yakni zat murni
masing – masing, maka variabelnya hanya suhu. Daerah CEF merupakan daerah dua fasa,
yakni fasa padat A murni, dan fasa cair. Daerah DEG juga dua fasa, fasa padat B dan fasa
cair.
Sekarang kita secara lebih terinci apa yang terjadi pada proses pendinginan secara
isobar dari larutan A dan B dengan komposisi XA. Kita mulai dari titik H lalu turun secara
vertical sampai di titik S. Garis HIJKS disebut garis isopleth, yakni garis dengan
komposisi tetap. Di titik H, campuran (larutan) A dan b ada dalam keadaan cair. ketika
suhu mencapai T1, padatan B mulai membeku. Ketika B membeku, nilai XAdalam larutan
(cair) akan meningkat, dan titik bekunya akan terus diturunkan. Pada suhu T2, terdapat
kesetimbangan antara padatan B (XB =1) dan larutan dengan komposisi yang dinyatakan
titik M, yakni X’’ A. Seperti telah dibahas dibagian sebelumnya, garis MJN merupakan
garis dasi. Berdasarkan aturan lever maka nB, S (nA,l + nBl) = MJ / JN,dengan nB, S jumlah
mol padatan B yang berkesetimbangan dengan larutan (cair) yang terdiri atas nA,l mol A
dan nB, l mol B. Di titik I, nB,S=0. Penurunan suhu sepanjang garis IJK mengakibatkan jarak
horizontal terhadap IME meningkat, artinya terjadi peningkatan padatan B dengan
berkurangnya suhu. Pada suhu T3, suhu eutectic, diperoleh titik K. Di titik K, larutan
mempunyai komposisi Xe (titik E), dan A maupun B keduanya membeku. Jumlah relatif A
dan B yang membku bergantung pada komposisi eutectic dari larutan X e. Keseluruhan
larutan yang ada akan membeku pada suhu T 3 tanpa mengalami perubahan komposisi lagi.
DI titik K ada tiga fasa dalam kesetimbangan, yakni padatan A, padatan B dan larutan.
Derajat kebebasan untuk tiga fasa : f=2-3+2=1, karena tekanan sudah tertentu makah tak
ada derajat kebebasan sistem invarian suhu harus tetap konstan di T 3 sampai semua
larutan membeku dan jumlah fasa berkurang menjadi 2. Di bawah T3 penurunan suhu
hanya mendinginkan campuran padatan A dan padatan B.
Jika prosesnya dibalik dan dimulai dari titik S (padatan A dan padatan B), cairan
pertama yang terbentuk akan mempunyai komposisi X e. Campuran padatan tersebut akan
meleleh pada rentang suhu T3 sampai T1. Titik leleh yang tajam merupakan salah satu tes
yang biasa digunakan orang kimia organik untuk menguji kemurnian suatu senyawa. Jika
titik lelehnya ada dalam rentang suhu tertentu, artinya zat yang diuji merupakan campuran,
bukan merupakan senyawa murni. Campuran padat dengan komposisi eutiktik akan
meleleh seluruhnya pada satu suhu (T 3). Demikian pula larutan A dan B dengan komposisi
eutiktik akan membeku seluruhnya pada suhu T3 menghasilkan campuran eutiktik padatan
A dan B. Oleh karena itu dulu pernah muncul anggapan yang salah yang menduga bahwa
sistem eutiktik adalah suatu senyawa, padahal bukan. Pengujian miskroskopis
memperlihatkan bahwa padatan eutiktik terdiri atas campuran kristal A dan kristal B.
Sekarang kita tinjau proses isotermal pada suatu suhu tertentu, T4 yakni sepanjang
garis horizontal RUVWXY. Titik R menyatakan zat padat A murni pada suhu T 4. Sejumlah
zat B ditambahkan pada A hingga komposisinya sampai di titik U. Titik U ini terletak di
daerah 2 fasa, yakni fasa padat A murni dan larutan (cair) dengan komposisi V. Semua B
yang ditambahkan akan meleleh jauh di bawah titik lelehnya dan lelehan B akan
melarutkan sebagian A sampai komposisi cairannya ada di V. Dari aturan lever dapat
diperoleh jumlah relatif cairan yang ada di titik U cukup kecil. Pada penambahan B
selanjutnya B akan terus meleleh dan melarutkan lebih banyak bagi A, untuk membentuk
larutan V, jadi titik bergerak dari U ke V. Ketika titik V dicapai, B yang telah ditambahkan
cukup untuk melarutkan semua padatan A semula membentuk larutan jenuh A dalam B.
Penambahan B selanjutnya hanya akan mengencerkan larutan dan titik keadaan bergerak
melalui daerah cair dan V ke W. Di W larutannya jenuh dengan B. Penambahan B
selanjutnya tidak mengubah komposisi larutannya, zat padatan B yang ditambahkan tetap
sebagai padatannya.
Sistem dengan diagram fasa seperti yang terlihat pada Gambar (6.12) disebut
sistem eutiktik sederhana. Contoh sistem seperti ini adalah Sn-Pb, Si-Al, KCl-AgCl,
benzena-naftalena, Bi-Cd dan sebagainya.

Metoda Percobaan
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menentukan diagram fasemelalui
percobaan adalah dengan analisa termal,melalui cara ini suatu campuran dengan
komposisi yang diketahui dipanaskan sampai pada suhu yang cukup tinggi sehingga
terbentuk cairan yang homogen .Lalu campuran cairan tersebut didinginkan dengan
kecepatan yang tertur dan suhu sistem diukur sebagai fungsi dari waktu.Percobaan yang
sama di ulang untuk beberapa cairan dengan komposisi yang berbeda –beda untuk
memperoleh satu set kurva pendinginan.Variabel waktu,t,kira – kira sebanding dengan
jumlah kalor Q yang dikeluarkan sistem,sehingga kemiringan dT/dt dari kurvapendinginan
kira –kira berbanding terbalik dengan kapasitas kalor sistem,Cp = dQ/dT.Kurva
pendinginan untuk sistem eutektik sederhana (Gambar 6.12),diperlihatkan pada gambar
( 6.13 ).
Jika B cair murni didinginkan ( kurva 1 ) ,suhu pada titik beku B,TB o konstan sampai
semua sampel membeku.Kapasitas kalor sistem B (s) + B ( l) pada TB o adalah tak
hingga.Adanya sedikit penurunan dibawah titik beku A disebabkan oleh
“supercooing”.Sesudah semua sampel membeku,suhu turun ketika B didinginkan,kurva 2
adalah untuk campuran cair dengan komposisi H pada gambar ( 6.12 ).

Ketika B mulai membeku di T1,pada kurva pendinginan terlihat adanya penurunan dalam
kemiringannya,perubahan kemiringan ini disebabkan adanya kapasitas kalor sistem B ( s )
+ larutan cair lebih besar daripada sistem yang hanya mengandung larutan cair saja,karena
sebagian kalor dikeluarkan pada perubahan cairan B menjadi padatannya,ketika sistem
emncapai suhu eutektiknya,semua cairan yang tersisa membeku pada suhu konstan dan
kurva kemiringan menjadi horizontal.Dengan mengalurka suhu dimana terjadi perubahan
kemiringanyang diamati pada kurva pendinginan terhadap XA atau XB maka akan kita
peroleh kurva penurunan titik beku CE dan DE.
Cara lain untuk menentukan diagram fase adalah dengan membiarkan sistem yang
diketahui komposisi keseluruhannya pada suhu tertentu dalam waktu yang cukup lama
supaya kesetimbangan tercapai.Fase – fase yang ada kemudian dipisahkan dan dianalisis
secara kimia,hal ini diulangi lagi untuk berbagai komposisi dan suhu yang berbeda – beda
untuk mendapatkan diagram fase.

Kedua komponen membentuk senyawa dengan titik leleh kongruen


Jika komponen A dan B membentuk suatu senyawa padat AB,dengan fase cairnya
misibel,sementara fase padatnya immisibel maka diagram kesetimbangan padat – cairnya
akan mengikuti gambar ( 6.14 ).
Gambar (6.14 )akan lebih mudah dipahami dengan membayangkan bahwa diagram
tersebut terdiri atas dua diagram eutektik sederhana yang berdampingan antara A – AB dan
AB –B

Disebelah kiri garis DD’ merupakan gambaran dari kesetimbangan fase dua komponen A
dan AB,sementara sebelah kana garis DD’ merupakan gambaran kesetimbangan g\fase AB
dan B.
Larutan cair dibagian atas diagram merupakan campuran cair A,B,dan AB,jika larutan ini
didinginkanakan terpisah padatan A,B dan AB tergantung pada komposisi larutannya.Saat
mencapai salah satu dari dua suhu eutektik,barulah akam\n dimulai munculpadatan
kedua.Dititik D,fase cair dan padatannya memiliki komposisi yang sama,sehingga D
dianggap sebagai titik lelehnya senyawa AB.Jadi senyawa AB dikatakan memiliki titik
leleh yang kongruen,tidak ada perubahan komposisi pada dan cairannya.
Jika dua komponen membentuk lebih dari satu senyawa diagram fasenya akan memiliki
kurva yang mirip dengan gambar ( 6.14 ).Jika senyawa yang terbentuk ada n
senyawa,maka diagram fase padat – cairnya dapat dipandang terdiri atas ( n + 1 ) diagram
fase eutektik sederhana yang diletakkan secara berdampingan.Sebagai contoh diagram
fase untuk pembentukan dua macam senyawa A2B dan AB2 dari dua komponen A dan B
diperlihatkan pada gambar ( 6.15 )dan contoh lainnya adalah sistem air – feriklorida
seperti yang terlihat pada gambar.

Kedua komponen membentuk senyawa dengan titik leleh inkongruen


Pada sistem seperti yang terlihat dalam gambar (6.14 ),senyawa yang terbentuk memiliki
titik leleh yang lebih tinggi dari kedua komponennya.Pada situasi seperti ini selalu
diperoleh bentuk diagram fase seperti gambar ( 6.14),ada dua titik eutektik dalam
diagram.Akan tetapi jika titik leleh senyawa ada dibawah salah satu konstituen
penyusunnya muncul dua kemungkinan,kemungkinan yang pertama akan diperoleh
diagram ,fase seperti yang terdapat pada gambar ( 6.16 ).Masing –masing bagian dari
diagram merupakan diagram eutektik sederhana seperti gambar ( 6.14 )kemungkinan yang
kedua digambarkan dengan sistem kalium – natrium seperti yang terlihat pada gambar
( 6.17 ).
Jika senyawa padat murni,Na2K,dinaikkan suhunya,titik keadaan bergerak sepanjang garis
AB,di B terbentuk cairan dengan komposisi C,karena cairan ini akan lebih kaya dengan
kalium dibandingkan senyawa semula,maka terdapat sebagian natrium padat yang tetap
tidak meleleh,jadi pada pelelehan terjadi reaksi disosiasi.
Reaksi ini disebut reaksi peritektik atau reaksi fase,senyawanya Na 2K,dikatakan melelh
secara inkongruen,karena lelehannya memiliki komposisiyang berbeda dengan
senyawanya.Karena dititik B ini terdapat tiga fase ,yakni padatan Na2K,padatan Na dan
cairan,maka derajat kebebasannya ,f = 0.Sistem invarian.Meskipun ada kalor mengalir
kedalam sistem suhunya akan tetap sama,yakni dalam hal ini 7oC,sampai semua senyawa
padat melelh.Lalu suhu akan naik kembali.Titik keadaan akan bergerak sepanjang garis
BEF dan sistem terdiri atas natrium padat dan larutan.Dititik F natrium padat tepat habis
melelh dan diatas F sistem hanya terdiri atas satu fase cair.Penurunan suhu larutan dengan
komposisi G membalik perubahan diatas.Di F mulai muncul natrium padatan,penurunan
lebih lanjut menyebabkan jumlah natrium padat bertambah dan komposisi cairan
bergeraksepanjang FC.Di B terdapat cairan dengan komposisi C bersama –sama dengan
padatan natrium dan padatan Na2K.Reaksi fase yang sebaliknya dari persamaan ( 6.42 )
terjadi sampai cairan dan natrium padat keduanya bereaksi secara simultan,sehingga
ketika titik keadaan bergerak sepanjang BA hanya ada Na2K padat.
Jika cairan dengan komposisi I didinginkan natrium padat mulai muncul di J,dan
komposisi cairan bergerak sepanjang JC ketika kristal natrium terbentuk makin
banyak.Pada titik K terbentuk Na2K padat karena reaksi peritektik.
C(l) + Na (s) ---- Na2K(s)
Jumlah natrium pada komposisi I tidak cukup untuk mengubah semua v\cairan C menjadi
senyawanya.Karena itu kristal natrium yang ada akan bereaksi semuanya akan tetapi C (l)
masih bersisa,setelah natrium padat habis suhu akanturun ,Na2K mengkristal dan
komposisi cairan bergerak sepanjang CM.Di L,garis dasi MLN menunukan bahwa
Na2K,titik N terdapat bersama – sama dengan cairan M,ketika titik 0 dicapai cairan
memiliki komposisi eutektik P.Sistem invarian sampai cairan habis membentuk cairan
kalium padat dan Na2K padat.
Jika sistem dengan komposisi Q didinginkan natrium padat mulai muncul di
R,pendinginan selanjutnya menyebabkan natrium padat tambah banyak dan komposisi
cairan bergerak sepanjang garis RC.Dititik S muncul padatan Na2K hasil reaksi
peritektik.Cairan yang ada bereaksi semua dengan Na padat karena komposisi asal (Q)
lebih kaya akan Na dibandingkan dengan Na2K,maka pada reaksi peritektik berikut
Na(s) + C (l) -------- Na2K(s)
Na padat tidak habis bereaksi,tetapi C (l)habis bereaksi dan titik keadaan turun ketitik T
dengan penurunan suhu sehingga di T terdapat campuran padat Na2Kdan natrium.

Kedua komponen membentuk larutan padat


Ada pasangan zat tertentu yang dapat membentuk larutanpadatan.Dalam larutan padat A
dan B tidak ada kristal A ataupun B .Larutan nikel dan tembaga adalah salah satu
contohnya.Kedua zat yakni nikel dan tembaga dapat saling melarut dalam semua
komposisi difase padatnya.Diagram fase sistem tembaga nikel dapat dilihat pada gambar
( 6.18 ).
Kurva pada gambar ( 6.18.a) merupakan kurva cair dan kurva bawahnya merupakan kurva
padat ,Interpretasi diagram ini sama dengan interpretasi diagram cair – uap.

Selain diagram seperti yang terdapat pada gambar (6.18.a),dikenal pula sistem biner yang
membentuk lerutan padat dengan titik leleh maksimum maupun minimum,lihat gambar
( 6.8.b).Diagram fasenya mirip dengan kurva cair – uap pada sistem yang membentuk
azetrop.Akan tetapi campuran dengan kurva titik leleh maksimum lebih jarang ditemukan.

Kedua komponen misibel dalam fasa cair dan misibel sebagian dalam fasa padat
Seringkali ditemukan dua zat yang dapat saling larut dalam berbagai komposisi pada fase
cair,sementara pada fase padat kedua zat saling melarutkan hanya dalam batas-batas
tertentu saja.Jadi pada batas – batas konsentrasi tertentu dapat diperoleh dua larutan padat
konjugat.Gejala ini mirip dengan larutan cair yang misibel sebagian.Padatan A dapat larut
dalam sejumlah padatan B yang dapat larut dalam sejumlah tertentu padatan A.Tetapi jika
konsentrasi – konsentrasi ini dilampaui akan diperoleh dua fase padat,masing-masing
larutan padatan A dalam B dan larutan padatan B dalam padatan A.Diagram fase yang
paling umum untuk sistem seperti ini dilihat pada gambar ( 6.19).
Jika larutan cair dengan komposisi R didinginkan,dititik S mulai terpisah fase padat,yang
dalam hal ini disebut sebagai fase  ,yakni larutan padatan B dalam A.Komposisi larutan
padata ini dinyatakan dengan X,diujung garis dasi SX.Pendinginan selanjutnya
mengakibatkan jumlah B dalam larutan padat bertambah.Dititik T,larutan cair memiliki
komposisi Z dan larutan padat memiliki komposisi Y.Perbandingan jumlah larutan pdat
dan cair dinyatakan oleh perbandingan garis TZ/TY.

Dititik Y dapat dilihat bahwa jumlah Bdalam larutan padat tersebut lebih banyak
dibandingkan dalam larutan padat dititik X.Dititik U lelehannya memiliki komposisi
eutektik dan kedua fase padat sekarang membeku,yakni fase  ( padatan A yang jenuh
dengan B ) dan fase  ( padatan B yang jenuh dengan A ).Di titik ini terdapat tiga
fase,dua fase padat dan satu fase cair,dengan demikian derajat kebebasan pada P tetap
adalah f = c-p+1 = 2-3+1=0,jadi sistem invarian.Pendinginan lebih lanjut sampai di V
diperoleh dua larutan padat bersama – sama,yakni: padatan  dengan komposisi M dan
padatan  dengan komposisi N.
Suatu kesulitan yang muncul adalah difusi molekul,atom atau ion melalui padatan sangat
rendah,dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai kesetimbangan dalam
fase padat.Dititik T,padatan yang berkestimbangan dengan lelehannya memiliki komposisi
Y,sementara padatan yang pertama muncul memiliki komposisi X.Jadi sistem perlu
dibiarkan dititik T untuk waktu yang lama sebelum fase padat menjadi homogen dengan
komposisi Y semua.Dalam membicarakan diagram – diagram ini kita asumsikan
kesetimbangan telah dicapai dan mengesampingkan kesulitan percobaannya.
Kalau kita bandingkan titik eutektik pada gambar ( 6.19 ) dengan gambar ( 6.12 ) dapat
dilihat bahwa pada titik eutektik gambar ( 6.12 ) cairannya bekesetimbangan dengan fase
padatan murni A dan B,sementara pada gambar (6.19) fase padat yang berkesetimbangan
dengan cairannya bukan zat murninya melainkan larutan padat yang dinyatakan dengan
titik O dan P.Dapat kita lihat bahwa sistem dengan kurva seperti pada gambar (6.19)
sebenarnya merupakan kurva antara gambar (6.12)(fase padatnya immisibel ) dan gambar
6.18.b (larutan padat yang memiliki titik leleh minimum).Jika padatan dalam gambar
(6.19) kita bayangkan menjadi semakin dan semakin misibel,titik O dan Pakan semakin
mendekat dan pada akhirnya akan bertemu disatu titik,dan kurvanya akan sama dengan
gambar (6.18.b).Sebaliknya jika padat semakin kurang misibel,maka titik O dan P akan
semakin menjauh dan pada akhirnya akan berimpit masing-masing dengan A murni dan B
murni seperti yang terlihat pada gambar (6.12 ).
Contoh sistem yang mempunyai karva seperti pada gambar ( 6.19 ) adalah sistem emas-
nikel,bismut-timbal,kadmium-timbal,perak klorida-tembaga ( I ) klorida dan sebagainya.
Ada pula sistem padat-cair yang membentuk larutan padat ,mempunyai kurva yang
berbeda dengan (6.19),seperti yang terlihat pada gambar ( 6.20 )
Kurva ini dapat kita bayangkan terbentuk dari kurva kelarutan padat-padat yang
misibel sebagaian (mirip dengan kurva kelarutan cair-cair pada gambar 6.9 dan kurva
larutan padat kontinu seperti gambar 6.18a).
Jika padatan  dengan komposisi F dipanaskan, maka padatan tersebut akan mulai
meleleh dititik G membentuk campuran dua fasa yakni padatan  dan larutan cair dengan
komposisi awal N. Ketika dicapai titik H, sisa dari fasa  mencair membentuk larutan cair
dengan komposisi M dan padatan fasa  dengan komposisi R.
(s) (s) + larutan cair
Pada transisi ini, fasa yang ada 3, yakni fasa , , dan cairan; dengan derajat
kebebasan  = 2-3+2=1, tapi karena P tetap maka sistem mempunyai derajat kebebasan 0,
dan transisi dari  menjadi  dan cairan harus terjadi pada suhu tertentu(disebut suhu
peritektik atau suhu transisi). Pemanasan selanjutnya sesudah keadaan transisi H
mengakibatkan sistem masuk kearah  dan larutan cair pada ahirnya kedaerah satu fasa,
larutan cair.

6.8 SISTEM TIGA KOMPONEN


Untuk sistem tiga komponen, derajat kebebasan,  = 3-p+2=5-p, ada 4 derajat
kebebasan. Tak mungkin menyatakan sistem seperti ini dalam bentuk grafik yang lengkap
dalam tiga dimensi, apalagi dalam dua dimensi. Oleh karena itu biasanya sistem
dinyatakan pada suhu dan tekanan tetap, dan derajat kebebasanya menjadi=3-p; jadi
derajat kebebasanya paling banyak dua, dan dapat dinyatakan dalam suatu bidang. Pada
suhu dan tekanan tetap, variabel yang dapat digunakan untuk menyatakan keadaan sistem
tunggal, yakni XA, XB, XC yang dihubungkan melalui XA+XB+XC = 1. komposisi salah satu
komponen sudah tertentu jika dua komponen lainya diketahui. Untuk menyatakan dalam
suatu grafik, Gibbs dan Rozenboom menggunakan suatu segitiga samasisi. Titik A, B, dan
C pada setiap sudut segitiga masing-masing menyatakan 100%A, 100%B, dan 100%C
(gambar 6.20). setiap titik dalam segitiga tyersebut jika dihubungkan secara tegak lurus
kesisi-sisinya akan diperoleh penjumlahan ketiga garis ini selalu konstan, sama dengan
tinggi segitiga tersebut, h.
Pada gambar ( 6.21 ),DE+ DF +DG = h dalam hal ini tinggi segitiga dinyatakan dalam 100
satuan ,sehingga panjang garis DE,DF,dan DG masing – masing sama dengan persentase
dari A,B,dan C ( bisa dalam persen mol atau dalam persen berat ),jadi setiap komposisi
dari sistem dapat dinyatakan oleh suatu titik didalam segitiga atau pada segitiga tersebut

Untuk memudahkan pada gambar ( 6.21) digambarkan garis –garis yang sejajar dengan
sisi segitiga dengan rentang jarak yang sama.Pada suatu garis yang sejajar dengan AB
komposisi C tetap.Titik H yang ada pada gambar menyatakan 25%A,50% B,dan
25%C.Sepanjang garis AB persentase C nol,artinya setiap titik pada AB sesuai dengan
sistem biner A dan B.
Untuk sistem tiga komoponen ini,pembahasan dibatasi hanya pada sistem terner cair – cair
saja.Salah satu contoh sisitem ini adalah aseton – air – dietileter (“eter”)pada 1 atm dan
30C.Pada keadaan ini air dan aseton misibel,demikian pula eter dan aseton misibel,akan
tetapi air dan eter misibel sebagian.Diagram fase sistem ini dapat dilihat pada gambar
(6.22).
Daerah diatas kurva CFKHD merupakan daerah satu fase,setiap titik yang ada dibawah
kurva menyatakan adanya dua fase cair dalam kesetimbangan .Garis –garis yang ada
dalam daerah ini merupakan garis dasi yang ujungnya menyatakan komposisi kedua
fase.Berbeda halnya dengan sistem biner yang garis dasinya horizontal ,garis dasi pada
sistem terner ini tidak seperti itu.
Kedudukan garis dasi ditentukan melalui analisis kimia dari setiap fase.Pada gambar
(6.22),sistem dengan komposisi keseluruhan G terdiri atas dua fase,yakni fase  ,eter
yang larut dalam air dengan komposisi F dan fase  ,air yang larut dalam eter dengan
komposisi H.Kemiringan garis dasi FGH menunjukan bahwa aseton dalam fase  lebih
banyak daripada fase .
Titik K adalah titik batas yang didekati oelh garis dasi dimana kedua fase dalam
kesetimbangan menjadi semakin dan semakin mirip.Titik K disebut dengan ‘plait
point”,dan kurva CFKHD disebut dengan kurva “binodal”.
Jika ada dua pasang cairan yang misibel sebagian,misalnya pasangan A – B dan B –
C,maka kurva binodalnya akan muncul seperti pada gambar (6.23.a).Pada suhu yang lebih
rendah ,kedua kurva binodal pada gambar (6.23.a) bisa overlap.Jika overlapnya
sedemikian rupa sehingga plait pointnya saling bergabung satu sama lain,maka daerah dua
fase menjadi berubah seperti pada gambar (6.23.b)
Jika kurva binodal tak bertemu di plait point,diagramnya memiliki bentuk seperti terlihat
pada gambar (6.23.c).Setiap titik dalam segitiga kecil abc menyatakan keadaan sistem
dimana tiga lapisan cair yang memilikikomposisi a,b,dan c terdapat bersama –sama.

Anda mungkin juga menyukai