Anda di halaman 1dari 12

Makalah

STEVEN JOHNSON SYNDROME

Pembimbing :
dr. Syahril Rahmat Lubis, Sp.KK(K)

Oleh :
Mohammad Haekal (140100158)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT PUTRI HIJAU
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Steven Johnson Syndrome”.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing, dr. Syahril Rahmat Lubis, Sp.KK(K) yang telah meluangkan
waktu dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, 28 Januari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
STEVEN JOHNSON SYNDROME ................................................................ 1
I. DEFINISI.................................................................................................. 1
II. PATOFISIOLOGI .................................................................................... 1
III. INSIDENSI ............................................................................................... 2
IV. ETIOLOGI................................................................................................. 2
V. MANIFESTASI KLINIS ........................................................................... 3
VI. DIAGNOSIS BANDING ......................................................................... 4
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................. 4
VIII. TATALAKSANA ..................................................................................... 5
IX. KOMPLIKASI .......................................................................................... 7
X. PROGNOSIS ............................................................................................ 7
KESIMPULAN .................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 9

iii
STEVEN JOHNSON SYNDROME (SJS)

I. DEFINISI

Steven Johnson sindrom merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput


lemdir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan
sampai berat ; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura. Pertama kali dideskrpsikan tahun 1922, SJS merupakan kompleks imun
yang memediasi proses hipersentitifitas , bisa dikatakan SJS merupakan menifestasi
parah dari eritema multiforme. Banyak penelitian meempertimbangakan bahwa
steven Johnson sindrom dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah
penyakit yang sama hanya berbeda manifestasi, daripada itu, banyak dengan
penyebutan SJS-TEN. Pada SJS, pelepasan epidermal terjadi kurang dari 10% total
area tubuh. Pada transisional SJS-TEN, pelepasan epidermis tubuh terjadi antara 10-
30% dari total area tubuh. Pada TEN, pelepasan epidermis terdali pada lebih dari
30% dari total area tubuh.

II. PATOFISIOLOGI

Penyakit ini merupakan suatu proses hipersensitivitas yang dapat disebabkan


oleh berbagai hal, misalnya obat-obatan, infeksi virus, ataupun keganasan (misalnya
kegansan hematologi). Penggunaan kokain akhir2 ini mulai dimasukkan sebagai
salah satu penyebab terjadinya SJS. Sasaran utama SJS dan NET adalah pada kulit
berupa dekstruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktifitass sel T, termasuk
CD4 dan CD8. IL-5 juga meningkat. , juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama
terdapat dalam dermis, sedangkan CD8 pada epidermis.
Faktor resiko yang bisa memperberat SJS antara lain : penyakit HIV atau
autoimun yang lain (missal SLE).

1
2

III. INSIDENSI

Pada SJS, rasio penderita pria;wanita 2;1. Angka kematian pada kasus SJS
didasarkan pada luas tidaknya kulit yang terkena. Jika total luas tubuh yang
mengelupas kurang dari 10%, angka kematian berkisar antar 1-5%. Jika total luas
tubuh yang terkena(mengelupas) lebih dari 30%, angka kematian akan menjadi
sekitar 25-35%. , mungkin bisa bertambah menjadi diatas 50% jika
bakteremia/sepsis ikut menyerang.
Lesi pada kulit akan berkembang menjadi erosi dalam 2-3 minggu. Lesi
pada membrane mukosa mungkin akan berkembang membentuk skar dan
menggangu fungsi organ yang terkena. Striktur esophagus mungkin dapat muncul
jika terdapat perluasan lesi ke esophagus. Gejala sisa yang dapat terjadi pada mata
antara lain ulserasi kornea dan uveitis anterior. Kebutaan dapat terjadi sebagai efek
sekunder dari keratitis berat atau panophthalmitis pada 3-10% pasien.

IV. ETIOLOGI

Obat-obatan dan proses keganasan merupakan penyebab yang paling sering


dilaporkan terjadi pada orang dewasa dan geriatric
Pada kasus SJS anak-anak, lebih sering penyebab dikarenakan infeksi.

Kategori etiologi Steven Johnson syndrome

Infeksi
Infeksi bakteri Fungal Infeksi protozoa Obat-obatan Lain-lain
virus
Herpes Streptococcus Coccidiodomycosis Malaria Antibiotic Keganasan (
virus Diphtheria Dermatophytosis Trichomoniasis (penisilin,sulfa) misalnya
HIV Brucellosis Histoplasmosis Antikonvulsan kegansan
Influenza Mycobacteria (phenitoin, hematologi)
Hepatitis Mycoplasma CBZ)
Mumps pneumonia Digitalis
Rickettsia Typhoid Analgetik
Variola Antipiretik
Epstein-
Barr
3

V. MANIFESTASI KLINIS

Biasanya, proses penyakit dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas


yang tidak spesifik. Hal ini merupakan bagian dari gejala prodormal yang biasanya
berlangsung selama 1-14 hari . Selain itu dapat ditemukan juga gejala lain seperti:
demam, sakit tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan malaise. Dalam sedikit
kasus dapat juga ditemukan mual dan muntah.
Lesi pada kulit muncul dengan tiba-tiba. Kulit akan mengalami keadaan
melepuh selama 2-4 minggu, lesi yang terjadi biasanya non pruritik. Demam
dilaporkan terjadi pada sekitar 85% kasus.
Lesi yang terjadi pada bibir bisa terjadi sangat parah sehingga pasien sampai
kesulitan untuk makan.
Pasien dengan keterlibatan system genourinari bisa mengeluhkan disuria atau
kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih.
Keluhan Fisik :
- Ruam dapat mulai sebagai macula yang berkembang menjadi papul,
vesikel, bula, plak, urtikaria, atau eritma konfluen
- Lesi khas memiliki penampilan target.target dianggap patogmonic.
Berbeda dengan lesi pada eritema multiforme, lesi pada eritema
multiforme hanya memiliki dua zona warna. Inti mungkin vesikuler,
purpura, ataupun nekrotik. Zona tersebut dikelilingi oleh eritema macular.
Beberapa menyebutnya target lesi
- Lesi dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Kulit ini rentan
terhadap infeksi sekunder
- Lesi urtikarial biasanya tidak gatal
- Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan
dengan morbiditas
- Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, akan tetapi bagian telapak tangan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor paling banyak dialporkan
terjadi
4

- Keterlibatan mukosa termasuk adanya eritema, edema, ulserasi, dan


nekrosis

Tanda-tanda berikut mungkin dicatat pada pemeriksaan:

• Demam
• Orthostasis
• Tachycardia
• Hipotensi
• Perubahan tingkat kesadaran
• Epistaksis
• Konjungtivitis
• Ulserasi kornea
• Erosif vulvovaginitis atau balanitis
• Kejang, koma

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Burns
2. Eritema multiforme
3. Toxic Epidermal nekrolisis
4. Stafilococcal Scalded skin syndrome
5. Toxic shock syndrome

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus ( keculai biopsy) yang dapat


menegakkan diagnosis SJS.

- Hitung darah lengkap dapat menunjukkan keadaan leusitosis yang non


spesifik. Hitung jenis leukosis yang sangat tinggi dapat menunjukkan
adanya infeksi bakteri.
5

- Kulit dan kultur darah telah dianjurkan karena kejadian serius infeksi aliran
darah oleh bakteri dan sepsis berkontribusi terhadap morbiditas dan
kematian.
- Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi urin untuk darah
- Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis
dicurigai.
- Biopsi kulit merupakan alat diagnosis pasti terhadap SJS tapi bukan
merupakan prosedur emergency

VIII. PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan pasien SJS sebelum rumah sakit sama dengan


penatalaksanaan pasien luka bakar, dengan pencegahan infeksi. Penatalaksanaan
pasien SJS pada instalasi gawat darurat meliputi menegakkan diagnosis dan
pemberian penatalaksanaan awal yang terfokus pada ABC, perawatan lesi, dan
penanganan nyeri. penatalaksanaan awal bersifat suportif dan simtomatik, antara
lain mengatasi lesi kulit seperti luka bakar, mukosa oral diberi kumur cuci mulut,
kulit mengelupas dikompres dengan salin. Serta anestesi topikal untuk mengurangi
nyeri. Selain itu, agen pencetus atau dicurigai pencetus sesegera mungkin
dihentikan.

Penatalaksaan pasien steven Johnson syndrome dan TEN


- Pengaturan keseimbangan cairan
- Mengontrol temperature lingkungan (sekitar 28-30 derajat celcius)
- Keseimbangan nutrisi, terutama terhadap penderita dengan lesi di mulut
yang sukar menelan. NGT bisa diberikan
- Untuk menurunkan resiko infeksi, teksik aseptic yang baik harus
diperhatikan.
- Kortikosteroid : Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini masih
menjadi kontroversi. Pada beberapa penelitian, penggunaan kortikosteroid
pada fase akut SJS dapat mencegah perburukan penyakit. Penelitian yang
6

lain menyebutkan bahwa pemberian kortikosteroid tidak menghentikan


perjalanan penyakit tetapi justru bisa meningkatkan angka mortalitas,
biasanya karena sepsis.
- Antibiotic tidak mutlak harus digunakan. Antibiotic bisa diberikan untuk
pasien ketika dicurugai adanya infeksi.

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada


fase akut dapat memberikan hasil yang baik pada kasus SJS.
Dosis yang digunakan :
Prednison 60mg selama 4 hari. Setelah itu diturunkan menjadi 40mg/hari.
Setelah satu minggu dosis diturunkan kembali menjadi 20mg/hari. Satu minggu
kemudian dosis diturunkan kembali menjadi 10mg/hari. Dosis ini dipertahankan
selama satu minggu kemudian pengobatan di stop.

SJS merupakan penyakit sistemik bermanifestasi bukan hanya pada kulit,


melainkan juga pada mukosa dan mata untuk itu, kasus SJS perlu di konsultasikan
pada berbagai disiplin ilmu seperti spesialis kulit kelamin untuk perawatan,
spesialis gigi dan mulut, spesialis telinga hidung tenggorok, spesialis penyakit
dalam, spesialis mata, dan jika perlu, spesialis bedah plastic.

Intravena Immunoglobulin

Salah satu teori menyatakan bahwa apoptosis melibatkan interaksi antara


reseptor permukaan sel (seperti Fas) dengan ligand untuk membentuk Fas ligand(
FasL). Secara in vitro, kematian dari sel target dihalangi oleh antibodi yang
memblok FasL dan juga dihalangi oleh antibodi yang ada pada immunoglobulin
intravena manusia. Intinya, obat-obat tertentu dapat mengaktivasi produksi ligand
apoptotik yang berasal dari keratinosit, dikenal sebagai CD95 (fas) ligand. Ligand
ini dapat berikatan dengan reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di
permukaan keratinosit. Hal ini dapat menyebabkan kematian sel yang terprogram.
IVIG dibuktikan memiliki kemampuan memblok ligand apoptotik dari berikatan
dengan reseptor ini. Hal ini mencegah apoptosis dari keratinosit dan pengelupasan
7

epidermis. Penelitian yang dilakukan pada pasein dewasa dan pasien anak-anak
menunjukkan hasil yang baik dengan pemberian IVIG. Akan tetapi penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk lebih mengetahui dosis optimal IVIG yang diperlukan serta
kemanan dan kemanjuran agen ini jika digunakan pada penyakit SJS dan TEN.

IX. KOMPLIKASI
1. Mata : ulserasi kornea, uveitis anterior, panophtalmitis, kebutaan
2. Gastroenterology : striktur esophagus
3. Genitourinary : Renal tubular nekrosis, gagal ginjal
4. Kulit : pembentukan skar, infeksi sekunder

X. PROGNOSIS
- Lesi pada pasien akan mebaik kira-kira 1-2 minggu, kecuali jika
terdapat sekunder infeksi. Sebagian besar pasien membaik tanap
sekuele.
- Lebih dari 15% pasien SJS meninggal. Bakteremia dan sepsis menjadi
pemicu utama tingginya mortalitas
KESIMPULAN

Steven Johnson syndrome merupakan suatu penyakit yang didasari oleh


reaksi hipersensitivitas dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Penyebab terbanyak dari penyakit ini adalah obat-obatan, selain itu masih ada
penyebab lainnya misalnya infeksi, maupun keganasan. Manifestasi dari SJS timbul
di kulit, selaput lendir, dan mata tanpa ada pemeriksaan penunjang yang spesifik
kecuali biopsy kulit. Penatalaksaan SJS termasuk diantaranya Pengaturan
keseimbangan cairan, pengontrolan temperature lingkungan, pengaturan asupan
nutrisi yang baik, dan kortikosteroid pada fase akut SJS. Dengan penanganan yang
baik, SJS bisa sembuh tanpa meninggalkan sequel.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Parrillo, Steven j. 2010. Steven Johnson Syndrome in Emergency medicine.


E-Medicine. URL : http://www.emedicine.medscape.com/article/756523-
overview

2. Roujeau, Jean-Claude, Kelly., Judith P., Naldi, L., Rzany, B., Stern, R.,
Anderson, T., et al. (1995). Medication use and the risk of steven-Johnson
syndrome or toxic epidermal necrolysis. The New England Journal of
Medicine. 1995,1600-7

3. Ghislain, Pierre-Dominique.,(2002). Treatment of svere drug reaction: Steven


Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity
syndrome. Dermatology online journal. , Vol 8 (1):5

4. Metry, Denise w., Jung, Peter., Levy, Moise L. (2002). Use of Intravenous
Immunoglobulin in Children With Steven-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis: Seven case and review of the Literature. Official
journal of the American Academy of Pediatric. 112, 1430-1436

5. Davis, Mark D., Rogers, Roy S., Pittelkow, Mark R. (2002). Recurrent
Erythema Multiforme/Stevens-Johnson Syndrome. Arch Dermatol vol.138

6. Allanore, Valeyrie., Roujeau, Jean-Claude. (2002). Epidermal Necrolysis


(steven Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. In
Wolff,Klaus.,Goldsmith,Lowell A.,Katz,Stephen I., Gilchrest,Barbara A.,
Paller, amy S., Leffell,David J.Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine
(7th ed.)

Anda mungkin juga menyukai