Anda di halaman 1dari 10

Strategi Optimalisasi Modal Sosial Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kawasan RPTRA Amir

Hamzah, Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat


Mulyawan (1606860376), Mohammad Abdul Jabbar (1606967391)
Sekolah Ilmu Lingkungan
Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat

Abstrak
Ketertarikan sebagian orang terhadap usaha bisnis menyebabkan adanya
ketidakseimbangan antara lapangan pekerjaan di dalam sektor formal dan sector
informa,Ini yang menyebabkan adanya kesenjangan sosial di antara masyarakat.
Keberadaan PKL menjadi suatu realita sosial ekonomi yang perlu diperhatikan
Meningkatnya sektor informal di perkotaan tidak lain sebagai akibat adanya ketimpangan
dalam pasar tenaga kerja. Jumlah angkatan kerja yang terus bertambah sebagai akibat
adanya urbanisasi dan ketidakmampuan memenuhi tuntutan pekerjaan sektor formal yang
mengharuskan memiliki kualifikasi pendidikan dan keterampilan memadai, akhirnya
mendorong angkatan kerja harus masuk ke sektor informal untuk bisa terus bertahan hidup
di perkotaan. Sektor informal memiliki berbagai wujud, namun wajah utama sektor
informal perkotaan adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Penelitian ini dilakukan di Sekitar
RTRA Amir hamzah, Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat. Penelitian
bertujuan untuk menganalisis modal social PKL RPTRA Amir Hamzah, serta merumuskan
Strategi penguatan modal social PKL di RPTRA Amir Hamzah. Metodologi yang
digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan modal sosial. Hasil penelitian
menujukkan bahwa, Pertama, seluruh PKL di Kawasan RPTRA Amir Hamzah ini menjual
makanan cepat saji dan minuman ringan mulai pukul 05.30 – 24.00, sedangkan pukul
13.00 – 18.00 penjual pakaian membuka lapaknya. Modal sosial PKL yang diukur dalam
lima variabel yakni jaringan, aksi bersama, solidaritas, kepercayaan dan kerjasama, serta
resolusi konflik; masih tergolong rendah.

1. Pendahuluan
Negara-negara yang sedang berkembang, kota-kota utamanya mengalami peningkatan tenaga
kerja informal merupakan efek dari pertumbuhan penduduk seperti di Indonesia (Lyons and
Snoxell, 2005). Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia
Tenggara, 32 persen orang miskin tinggal di wilayah perkotaan (Morrell et al., 2008). Indonesia
hampir dua per tiga pekerja dari seluruh jumlah pekerja, berada dalam sektor informal (ILO, 2017).
Badan Pusat Statistik (2017) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2017
sebanyak 5,33 juta orang atau turun 0,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya, yaitu sebanyak 5,5 juta orang. Penurunan jumlah pengangguran ini sejalan dengan
peningkatan angkatan kerja di Februari 2017 yang meningkat 4,87 persen menjadi 131,55 juta
orang dari semula 125,44 juta orang pada Agustus 2016. Apabila dibandingkan dengan Februari
2016, jumlah angkatan kerja meningkat 3,04 persen, dari sebelumnya 127,67 juta orang (BPS,
2017). Di Indonesia, sektor informal menjadi katup pengaman dalam menghadapi masalah
angkatan kerja yang tidak terserap dan terlempar dari sektor formal sejak terjadinya krisis ekonomi
(Ari, 2008). Sektor informal merupakan salah satu cara untuk bertahan di tengah sulitnya
mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, maka sektor informal sebagai pedagang kaki
lima (PKL) menjadi pilhan rasional. Bahwa sektor informal sebagai salah satu katup pengaman
ekonomi dan penyerap tenaga kerja terbesar adalah tidak diragukan (Hartati, 2012).
RPTRA Amir hamzah yang terletak di Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat merupakan
salah satu tempat di DKI Jakarta yang laju pertumbuhan PKL nya terbilang begitu cepat. Aktivitas
PKL di wilayah ini di mulai dari pukul 05.30 sampai dengan pukul 24.00. Tingginya aktivitas di
sekitaran RPTRA Amir Hamzah di karenakan letaknya berada di Jakarta pusat, berhadapan dengan
Universitas Nahdatul Ulama Jakarta, kantor Keluarahan Pegangsaan. Keberadaan PKL ini
memerlukan penataan dan pemberdayaan untuk meningkatkan dan mengembangkan usahaanya
sebagaimana amanah dari Perpres No. 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Bagaimana dapat mensinergikan sumber daya stakeholder
yang ada dan modal sosial yang dimiliki oleh para PKL menjadi sebuah tatanan PKL yang banyak
memiliki fungsi, seperti fungsi konsumsi (pemenuhan kebutuhan makan dan minum), fungsi
rekreasi, fungsi hiburan, dan tentunya fungsi pemberdayaan masyarakat. Permasalahan yang
sering muncul dari kegiatan informal kota di sektor perdagangan, yaitu kegiatan PKL. Keberadaan
mereka sangat mudah dijumpai di kota, seperti pada lokasi Alun-alun kota maupun di dekat pusat
keramaian kota yang umumnya berjualan di trotoar trotoar, dan pinggir-pinggir toko. Kompetisi
di kalangan PKL merupakan sebuah aktivitas perdagangan dimana relasi antarmanusia
berlangsung sangat intensif. Tidak jarang pedagang ini disingkirkan dari ruang publik, karena
dianggap mengganggu keamanan, keindahan, kerapian dan ketertiban kota (Handoyo. 2012).
Berbagai permasalahan yang dihadapi PKL tentu membutuhkan adanya hubungan social yang erat
untuk menjaga eksistensi agar tetap bisa bertahan. Hubungan atau proses sosial tersebut
merupakan pelibatan aspek modal sosial (social capital) Syahyuti (2008).
Era modern ini, dimana terjadi perdagagan bebas (free trade) dan migrasi bebas (free migration),
modal sosial justru semakin dibutuhkan kehadirannya (Schiff, 2000). Menurut Coleman, relasi
sosial menggambarkan suatu struktur sosial di mana individu bertindak sebagai sumber bagi
individu lainnya (Castiglione et al., 2008). Coleman meyakini bahwa analisis tentang formasi
modal sosial menyediakan suatu jalan tengah antara perspektif pilihan rasional yang memandang
tindakan sosial sebagai hasil tindakan berbasis kepentingan diri yang bertujuan dari individu dan
perspektif norma sosial yang menjelaskan perilaku sosial sebagai tergantung pada batasan-batasan
eksternal yang dipaksakan oleh norma (Field, 2008). Lebih jauh Brata (2004) mengungkapkan
bahwa belakangan ini modal sosial merupakan isu menarik yang banyak dibicarakan dan dikaji.
Laporan tahunan bank dunia yang berjudul Entering the 21st Century,mengungkapkan bahwa
modal sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap proses-proses pembangunan (World Bank
2000). Kegiatan pembangunan akan lebih mudah dicapai dan biayanya akan lebih kecil jika
terdapat modal sosial yang besar (Grootaert dan Van Bastelaer 2001).

2. Metode Riset
2.1 Pendekatan Riset
Pendekatan dalam riset ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan karena
data nilai dari variabel adalah data yang terukur. Metode yang digunakan dalam riset ini
menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2012), metode kuantitatif
dapat diartikan sebagai metode riset yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk
meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Metode riset kualitatif adalah metode riset yang lebih
menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah dari pada melihat
permasalahan untuk riset generalisasi.

2.2 Populasi dan Sampel


Populasi dalam riset ini adalah Pedagang Kaki Lima (PKL) RPTRA Amir Hamzah dan konsumen
PKL RPTRA Amir Hamzah, Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat. Definisi masing-
masing populasi adalah sebagai berikut:
1. Konsumen adalah orang yang belanja di ke kawasan PKL RPTRA Amir Hamzah
2. PKL adaah Pemilik dagangan di kawasan RPTRA Amir Hamzah

Sampel sesuai dengan definisi populasi ditentukan dengan uraian sebagai berikut:
a. Konsumen
Konsumen adalah orang yang belanja di kawasan PKL RPTRA Amir Hamzah dengan
menggunakan metode accidental sampling. Accidental sampling dalam riset ini dilakukan
dengan mengambil sampel secara sembarang yang memenuhi syarat sebagai sampel dari
populasi. Syaratnya adalah konsumen yang sedang berbelanja di kawasan PKL RPTRA Amir
Hamzah sebanyak 5 orang.

b. Pedagang Kaki Lima (PKL)


PKL adalah Pemilik dagangan di kawasan RPTRA Amir Hamzah, Kelurahan Pegangsaan,
Menteng, Jakarta Pusat sebanyak 5 orang.

2.3 Pengumpulan dan Analisis Data


Data yang dikumpulkan pada riset ini berasal dari data primer dan sekunder. Data yang
dikumpulkan dalam riset ini adalah Modal Sosial meliputi tiga variable: Jaringan dan dukungan
organisasi, aksi bersama, solidaritas, kepercayaan dan kerja sama, resolusi konflik. Data
dikumpulkan dengan observasi lapangan dan wawancara. Analisis data dalam riset ini enggunakan
metode analisis deskriptif kuantitatif. Data ditampilkan dalam bentuk foto dan tabel sehingga hasil
riset akan lebih mudah dibaca.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Gambaran Umum PKL RPTRA Amir Hamzah

3.2 Aktivitas PKL RPTRA Amir Hamzah


Dagangan yang di perjual belikan di RPTRA Amir Hamzah di dominasi penjual makanan, dan
minuman.

Gambar 1. Aktivitas Pedagang Kaki Lima (PKL) RPTRA Amir Hamzah Pukul 05.30
Sumber: Hasil Observasi
Aktivitas Jual beli di sekitar RPTRA Amir Hamzah ini di mulai sejak pukul 05.30 WIB sampai
dengan pukul 24.00 WIB. Adapun jualan yang di sajikan dapat dilihat di table 1:

Tabel 1 Daftar Aktivitas yang di mulai pada pukul 05.30 WIB PKL RPTRA Amir Hamzah
No Jenis Dagangan Kategori Waktu Jualan Jumlah
1 Nasi Uduk Kuliner 05.30 – 10.00 1
2 Bubur Ayam Kuliner 05.30 – 10.00 1
3 Soto Ayam Kuliner 05.30 – 13.00 2
4 Mie Ayam Kuliner 06.00 – 18.00 2
5 Gorengan Kuliner 07.00 – 18.00 1
5 Es kopyor Kuliner 09.00 – 18.00 1
Sumber: Hasil Analisis 2018
PKL yang mulai beraktivitas pukul 05.30 di kawasan RPTA Amir Hamzah ini, di dominasi dengan
penjual kuliner. Sedangkan pada saat pukul 13.00 WIB penambahan jumlah PKL berada di sebelah
kiri RPTRA Amir hamzah. Adapun aktivitas PKL tersebut dapat dilihat pada table 2:
Gambar 2 Aktivitas Pedagang Kaki Lima (PKL) RPTRA Amir Hamzah Pukul 12.30
Sumber: Hasil Observasi

Tabel 2 Aktivitas PKL di mulai pada pukul 13.00 WIB PKL RPTRA Amir Hamzah
No Jenis Dagangan Kategori Waktu Jualan Jumlah
1 Es buah Kuliner 13.00 – 18.00 1
2 Warkop Gerobak Kuliner 12.00 – 18.00 1
3 Jual Campuran Kuliner 12.00 – 18.00 3
4 Kacamata Fashion 12.00 – 18.00 1
5 Penjual Sepatu Fashion 14.00 – 24.00 1
6 Nasi Kucing Kuliner 18.00 – 24.00 1
7 Bakso Kuliner 18.00 – 24.00 1
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Aktivitas yang mereka lakukan adalah bagaimana PKL dapat menyajikan hidangan kepada para
konsumennya. Jenis usaha PKL ditentukan oleh jenis barang dagangan yang dijualbelikan.
Sebagian besar PKL hanya menjual makanan ringan siap saji dan sebagian kecil saja yang menjual
makanan olahan. Menurut permintaan banyak yang membutuhkan makanan olahan misalanya nasi
campur, nasi padang dan lain sebagainya namun belum tersedia di area tersebut. Alasan dari PKL
mengapa menu tersebut belum bisa di adakan adalah kesiapan modal dan makanan tersebut
terbilang cepat basi. Alasan lain adalah kurangnya keterampilan untuk mengolah makanan
tersebut.
Gambar 3. Konsumen PKL RPTRA Amir Hamzah
Sumber: Hasil Observasi 2018

Adapun keuntungan rata-rata perhari yang di peroleh PKL adalah 200-400 ribu rupiah, menurut
pengakuan salah satu informan, bahwa pendapatn perhari tersebut bisa meningkat sesuai dengan
momentum atau ada acara di sekitar RPTRA Amir Hamzah. Tingkat pendapatan yang dihitung
adalah keuntungan rata-rata per hari yang didapat oleh PKL. Keuntungan yang diperoleh PKL
bervariasi tergantung pendapatan masing-masing. Pendapatan PKL erat kaitannya dengan waktu
berjualan, misalnya antara pagi, siang dan malam hari, dan hari berjualan seperti hari kerja dan
libur. Pagi hari biasanya konsumen PKL di dominasi oleh masyarakat yang tinggal di Kelurahan
Pegangsaan yang melakukan aktivitas olah raga. Siang hari konsumen di dominasi oleh mahasiswa
dan karyawan, sore hari biasanya agak ramai jika di RPTRA Amir Hamzah ada aktivitas misalnya
orang main sepak bola, basket dan lari-lari. Sebaliknya jika RPTRA Amir Hamzah tidak ada
aktivitas maka pelanggan PKL juga menjadi berkurang. Malam hari PKL diramaikan dengan
orang-orang yang ingin bersantai dan menikmati waktu malam.
3.3 Modal Sosial PKL
Menakar Modal sosial PKL RPTRA Amir Hamzah adalah dengan menakar 5 (empat) variable
modal sosial itu sendiri yaitu: Jaringan dan dukungan sosial, aksi bersama, solidaritas, kepercayaan
dan kerjasama, resolusi konflik.
3.3.1 Jaringan dan Dukungan Organisasi
Menakar modal sosial adalah salah satunya dengan jaringan dan dukungan organisasi. Variabel ini
diukur dari, pertama, adalah jika PKL sedang meninggalkan tempat untuk beberapa waktu yang
agak lama (misalnya 3 bulan), itu memiliki mekanisme sendiri. Sebab hal tersebut di atur oleh RW
setempat. Jadi jika ada kejadian tersebut, pengganti PKL tidak serta merta bisa mengisi lapak yang
kosong tersebut.
3.3.2 Aksi Bersama
Ukuran lain dari modal sosial adalah aksi atau tindakan bersama (collective actions). Dari hasil
wawancara tersebut bahwa aksi bersama mereka salah satunya adalah menjaga kebersihan di
sekitar area tersebut. Sebelum aktivitas mereka selesai, masing-masing mengumpulkan sampah
dari jualan mereka. Pembahasan hal-hal yang sifatnya bersama, RW setempat akan melakukan
rapat koordinasi dengan PKL tersebut. Hal ini masih terbilang rendah sebab mereka masih perlu
dikoordinir oleh pemerintah setempat, di tambah mereka belum memiliki komitmen bersama
tentang kategori jualan, sebab siappun bisa dating sebagai PKL atas ijin RW setempat.
3.3.3 Solidaritas
Hal lain dari modal sosial yang diukur adalah solidaritas di kalangan PKL. Belum adanya
komunitas sehingga solidaritas membantu PKL yang sedang ditimpa kemalangan yang
membutuhkan bantuan dana itu belum berjalan, sebab tidak adanya komunitas yang mengikat
secara emosional.
3.3.4 Kepercayaan dan Kerja sama
Unsur yang penting lainnya adalah kepercayaan dan kerja sama, hasil wawancara menujukkan
bahwa mereka yang kerja sama dan saling percaya hanya di kalangan PKL yang sudah puluhan
tahun menempati wilayah tersebut. Jika ada PKL yang baru membuka lapak maka tidak ada
kepercayaan dan kerja sama.
3.3.5 Resolusi Konflik
Unsur terakhir yang dapat ditakar adalah resolusi konflik, konflik terkadang muncul dikalangan
PKL, konflik tersebut masih pada tarah yang normal yaitu adu mulut belum pada kondisi sentuhan
fisik.
3.4 Strategi Optimalisasi Modal Sosial
Perencanaan program aksi dilakukan dengan melihat hasil analisa SWOT yang diperoleh dari
wawancara dengan menggunakan 10 orang PKL. SWOT merupakan singkatan dari Strengths
(kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunities (peluang), Threats (ancaman). Identifikasi
SWOT bertujuan untuk mengetahui potensi/kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang
dimiliki oleh PKL. Potensi dan kelemahan merupakan faktor internal, sedangkan peluang dan
ancaman merupakan faktor eksternal. Berdasarkan gambaran faktor internal dan faktor eksternal
tersebut di atas dapat disusun strategi penguatan modal social PKL. Strategi ini dimunculkan
dalam format matriks SWOT dengan formulasi sebagai berikut:
3.4.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
1. Strategi S-O untuk mengoptimalkan kekuatan internal PKL seraya meraih berbagai peluang
yang timbul.

2. Strategi S-T untuk mengoptimalkan kekuatan internal PKL seraya menghadapi berbagai
ancaman yang timbul dari ekternal PKL, serta berupaya agar ancaman tersebut dapat
dikondisikan menjadi peluang baru bagi PKL.

3. Strategi W-O untuk menekan kelemahan agar mampu mencapai, peluang yang timbul dapat di
optimalkan.

4. Strategi W-T untuk menekan kelemahan sehingga upaya dapat difokuskan untuk menangani
berbagai ancaman yang timbul dari luar terhadap PKL.

Berikut Tabel analisis SWOT Pedagang Kaki Lima.


3.4.2 Stategi Alternatif
Strength (S) Weak (W)
1. Lokasi PKL yang strategis 1. Kurangnya sarana dan
yaitu di depan Universitas prasarana (fasilitas
Nahdatul Ulama (UNU) ketertiban dan kebersihan
Jakarta, Kantor Lurah, yang memadai) , misalnya
Permukiman Warga. (S1) : arena parkir yang
2. Adanya koordinasi dari memadai dan
pihak RW setempat (S2) pembuangan limbah /sisa
makanan (sanitasi) (W1)
2. Koordinasi melalui pihak
RW setempat, tidak ada
organisasi yang sifatnya
mengikat untuk
pembagian tanggung
jawab (W2)
3. Kapasitas SDM PKL
(W3)
4. Tingkat kepercayaan dan
solidaritas yang rendah
diantara PKL (W4)
5. Lemahnya pemodalan,
sebab akses ke pemodal
tidak ada (W5)
6. Kurangnya
Pendampingan terhadap
PKL (W6)
Opportunity (O) (SO) (WO)
1. Pertumbuhan penduduk Penyediaan sarana dan 1. Penambahan sarana dan
berpeluang meningkatkan prasarana (Kawasan PKL) prasarana umum untuk
skala usaha namun sarana yang memadai, sehingga pengunjung
yang disediakan masih dapat meningktakan nilai 2. Penguatan kelembagaan
minim (O1) eknomi PKL untuk mendorong modal
2. Kebijakan tentang sosial
penataan PKL (O2) 3. Tenaga pendamping PKL
3. Pendaan dari pihak swasta untuk pengembangan
dan program pemerintah modal sosial
(O3) 4. Garantor untuk lembaga
4. Peluang untuk peminjaman
peningkatan SDM melalui,
institusi pendidikan dan
LSM (O4)
5. Akses terhadap
pemodalaan dari beberapa
lembaga (O5)
Threat (T) (ST) (WT)
1. Pasar di kuasai oleh 1. Fasilitas yang dibangun, 1. Menyajikan jualan
pemodal seperti harus bersaing dengan yang variatif
(Indomart, alfamart) pesaingnya 2. Pelatihan dan
dimana 2. Menumbuhkan nilai-nilai pendidikan tentang
2. Kecendrungan Lembaga kerjasama dan solidaritas, pengelolaan keungan
peminjaman, hadir dengan dengan membuat perlu di dorong
bunga yang relative tinggi mekanisme yang bisa 3. Menumbuhkan
3. Kebijakan yang belum menjawab permasalahan kepedulian pada pihak
berpihak PKL pengambil kebijakan
3. Mendorong kebijakan
yang berpihak

3.4.3 Strategi Prioritas


Strategi penguatan modal sosial PKL adalah strategi prioritas, dimana strategi ini bertujuan sebagai
penguatan modal sosial PKL yang ada pada saat ini melalui beberapa Program/ Kegiatan Meliputi
: Program Pengembangan Kapasitas Modal Sosial PKL dan Pendamping PKL, Program penguatan
Kelembagaan PKL, Program penguatan jaringan kemitraan
4. Kesimpulan
ari hasil kajian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. PKL RPTRA Amir Hamzah masih memiliki bentuk yang sangat sederhana
2. Hasil dari 5 faktor modal sosial yang dikaji boleh dikatakan semua faktor tergolong rendah.
3. Melalui analisis SWOT, strategi penguatan modal sosial PKL perlu diarahkan untuk: (1)
peningkatan kapasitas modal sosial PKL, dan pendamping usaha PKL, (2) pengembangan
kelembagaan PKL, dan (3) penguatan jaringan PKL.
Daftar Pustaka
Ari, B. 2008. “Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung Dengan Perspektif Kebijakan
Publik”. Dalam Jurnal Pendidikan Profesional Volume IV No. 19, November 2008.
Castiglione, D. et.al. (2008). “Social Capital’s Fortune : An Introduction”. In Dario Castiglione,
et.al (ed). The Handbook of Social Capital. New York : Oxford University Press
Grootaert, Christian, Thierry van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital :
Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative, Social
Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network,
Washington: The World Bank.

Hartati Sulistyo Rini, (2012). Dilema Sektor Infromal, Komunitas 4 (2) (2012) : 200-209
Handoyo, E. 2012. “Eksistensi Pedagang Kaki Lima Studi tentang Kontribusi Modal Sosial
terhadap Resistensi PKL di Semarang”. Disertasi Program Doktor Studi Pembangunan Program
Pasca Sarjana UKSW Salatiga.
ILO, (2017). Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017: Memanfaatkan Teknologi untuk
Pertumbuhan dan Penciptaan Lapangan Kerja/Organisasi Perburuhan International, Jakarta, ISBN
978-92-2-830888-4
Lyons, M. & Snoxell, S, (2005). Sustainable Urban Livelihoods and Marketplace Social Capital:
Crisis and Strategy in Petty Trade. Urban Studies, Vol. 42, No. 8.
Morrell, E., dkk. 2008. Tata Kelola Ekonomi Informal Policy Brief 11. Australia : Crawford
School of Economics and Government the Australian National University.
Schiff, Maurice.2000. Love Thy Neighbor: Trade, Migration and Social Capital World Bank
Development Research group (DECRG):Institute for the Study of Labor (IZA). May 8. 2000.
World Bank Working
World Bank. 2000. World Development Report 1999/2000: Entering the 21st Century. New York:
Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai