DEMAM TIFOID
PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH:
(2011730168)
1
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya tugas laporan refreshing mengenai “Demam Tifoid” ini dapat terselesaikan
dengan baik. Tugas laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase
ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
di Rumah Sakit Islam pondok kopi.
Dalam penulisan tugas ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang diberikan
secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada
dr. H. Lukman Ali Husin, Sp.PD yang telah bersedia membimbing kami.
Laporan ini tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat membangun akan sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan tugas laporan ini.
Penyusun
2
BAB I
DEMAM TIFOID
A. DEFINISI
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang ditandai oleh demam dan nyeri
abdomen serta disebabkan oleh bakteri S. typhi atau S. paratyphi.
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis,
sedangkan demam enterik dipakai pada demam tifoid maupun demam paratifoid.
B. EPIDEMILOGI
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas
di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak
memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai
dalam keadaan endemik.
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2017, pada kasus global
terdapat 15 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai
600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Angka kejadian penyakit
demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai
3
1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Sedangkan angka insidensi demam tifoid pada anak –
anak ialah 27 % dari total kasus
Berdasarkan Data Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat DepKes RI, angka
kejadian demam tifoid tahun 2016 berjumlah sangat tinggi menempati urutan ke-3 dari 10
pola penyakit terbanyak pada psien rawat inap di Indonesia yaitu sebesar 41.081 kasus
Demam tifoid erat hubungannya dengan lingkungan, terutama lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan seperti penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Insiden demam tifoid yang tinggi berkaitan
dengan sanitasi yang kurang dan tidak adanya akses ke air minum bersih. Di daerah endemik,
demam enterik lebih sering dijumpai di daerah perkotaan daripada dipedesaan dan pada anak
serta remaja. Faktor risiko mencakup air atau es yang tercemar, banjir, makanan atau
minuman yang dibeli dari pedagang pinggir jalan, buah dan sayuran mentah yang tidak
higienis, orang serumah yang sakit, tidak mencuci tangan dan tidak ada akses ke toilet serta
bukti-bukti riwayat infeksi Helicobacter pylori.
C. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhosa/ Eberthella typhosa/
Salmonella typhi yang merupakan bakteri gram negatif, bergerak dengan rambut getar dan
tidak menghasilkan spora. Bakteri ini dapat tumbuh pada semua media dan pada media yang
selektif, bakteri ini memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi
laktosa. Waktu inkubasi berlangsung antara 10 – 14 hari bahkan bulan.
Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri dan karier yang
dapat mengeluarkan berjuta-juta bakteri S. typhi dalam tinja, dan tinja inilah yang menjadi
sumber penularan. Bakteri ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun yang
sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70o C ataupun oleh antiseptik dan bakteri ini tidak
menghasilkan spora.
4
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah, dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15 – 20
menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi.
1. Antigen O (Antigen Somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella) yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
bakteri. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari bakteri yang dapat melindungi
bakteri terhadap fagositosis (Harahap, 2011). Selain itu, S. typhi juga dapat
menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum. Antigen Vi berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin (Putra, 2012). Ketiga macam
antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Harahap, 2011).
4. Outer Membrane Protein (OMP) merupakan bagian dari dinding sel terluar yang
terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier fisik yang
mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma, selain itu juga
berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar
terdiri dari protein urin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan
antigen yang penting dalam mekanisme responimun penjamu. Sedangkan protein non
purin hingga kini fungsinya belum diketahui pasti.
5
D. CARA PENULARAN
Infeksi dapat ditularkan dengan cara menelan makanan atau minuman yang
terkontaminasi dengan kuman tersebut yang biasanya melalui urine dan tinja. Selain itu,
penularan dapat terjadi juga dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja,
urin, sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi.
Penularan S. typhi juga dapat terjadi melalui transmisi transplasental dari seorang ibu
hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Sebagian besar penularan terjadi
melalui makanan/minuman yang tercemar oleh bakteri di tinja atau urin penderita atau karier.
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan dalam penularan adalah:
Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa.
Higiene makanan dan minuman yang rendah, seperti mencuci makanan dengan air
yang terkontaminasi, makanan yang dihinggapi lalat.
Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran, dan
sampah tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
Penderita demam tifoid merupakan sumber utama infeksi yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang sakit, maupun yang sedang dalam
penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita umumnya masih mengandung bibit
penyakit di dalam kandung empedu dan ginjal. Karier demam tifoid adalah seseorang yang
kotorannya (tinja atau urin) mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid,
tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3
bulan masih dapat ditemukan bakteri S. typhi di tinja atau urin. Penderita ini disebut karier
pasca penyembuhan.
6
E. PATOGENESIS
Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi bakteri. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus, dan selanjuntnya berkembang biak. Di usus
terjadi produksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk
mencegah melekatnya bakteri pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral
sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis bakteri oleh makrofag.
Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh bakteri intraseluler.
Bila respons imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika.
Melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dan disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati,
bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu
diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis
bakteri Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan
koagulasi. Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif;
maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
7
selanjutnya akan menimbulkan gejla areaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
myalgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vascular, mental, dan koagulasi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque peyer (submukusa usus) yang
hiperplasia (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta
bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong
sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan
perforasi.
F. GAMBARAN KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala- gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada orang dewasa, umumnya konstipasi dijumpai pada awal penyakit. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam pada demam tifoid
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan suhu 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan gangguan kesadaran (somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis).
Dalam minggu ke tiga, bila keadaan membaik dapat ditandai dengan suhu menurun,
gejala dan keluhan berkurang. Namun bila keadaan pasien memburuk dapat ditemukan gejala
delirium, stupor, pergerakan involunteer otot – otot tubuh, inkontinensia alvi dan urine,
tekanan abdomen meningkat, meteorismus, dan terjadi nyeri perut. Dapat terjadi miokardial
toksik dan dapat mengakibatkan kematian
8
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu pertama
(suhu berkisar 39-40o C), terutama pada sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu
kedua dan ketiga, demam terus-menerus tinggi dan (febris kontinyu) kemudian turun secara
lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang
disertai epistaksis.
Tanda dan gejala yang tidak spesifik membuat diagnosis klinis demam tifoid menjadi
sulit. Kultur darah adalah metode diagnosis standar yang hasilnya positif 60-80 % pada
pasien tifoid. Sensitivitas dari kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama sakit. Kultur
sumsum tulang lebih sensitif hasilnya 80-95% pada pasien tifoid. Pada kultur feses, hasilnya
positif 30% pada pasien dengan akut demam tifoid.
G. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin akan sangat bermanfaat untuk menentukan terapi
yang tepat dan mencegah komplikasi. Penegetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk mendeteksi secara dini. Walaupun pada waktu tertentu diperlukan pemeriksaan
tambahan untuk membantu penegakan diagnosis, seperti yang dijelaskan di atas.Sindroma
klinis adalah kumpulan gejala-gejala demam tifoid. Diantara gejala klinis yang sering
ditemukan pada tifoid yaitu: demam, sakit kepala, kelemahan, nausea, nyeri abdomen,
anoreksia, muntah, gangguan gastrointestinal, insomnia, hepatomegali, splenomegali,
penurunan kesadaran, bradikardi relative, kesadaran berkabut, dan feses berdarah.
9
diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4, karena bisa
disebabkan oleh perdarahan hebat dalam abdomen.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
10
tes negative palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah
yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat
imunosupresif, penyakit agammaglobuilinemia, leukemia, karsinoma lanjut,
dll. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi,
mengalami infeski sub klinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.
c. Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetik latex. Hasil postif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonella serogroup D walaupun tidak secara spesifik merujuk pada S.typhi. infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif. Sensitivitas uji ini sebesar 75-80%,
dan spesifisitas sebesar 75-90%.
Interpretasi hasil uji Tubex :
Skor Interpretasi Keterangan
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid akut
Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
3 Borderline pengujian, apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil postif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD. Sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas
sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%.
e. Enzim transaminase
Peradangan pada sel-sel hati menyebabkan enzim-enzim transaminase (SGOT, SGPT)
sering ditemukan meningkat. Banyak pendapat bahwa hal ini disebabkan karena
11
banyak faktor, seperti pengaruh endotoksin, mekanisme imun dan obat-obatan. Bila
proses peradangan makin berat maka tes fungsi hati lainnya akan terganggu, seperti
bilirubin akan meningkat, albumin akan menurun, dll. Secara klinis bila tes fungsi hati
terganggu dan disertai ikterus dan hepatomegali disebut hepatitis tifosa atau hepatitis
salmonella.
f. Lipase dan amylase
Basil tahan salmonella sampai menginvasi pancreas, dapat menimbulkan pancreatitis,
maka enzim lipase dna amylase akan meningkat.
H. TATALAKSANA
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total bakteri untuk mencegah
kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Trilogi
penatalaksanaan demam tifoid yang dimaksud, yaitu :
12
b. Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
selulose untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak (tim), dan nasi biasa bila keadaan
penderita membaik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Namun bila
penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang
selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat
kesembuhan penderita.
c. Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum penderita :
- Antipiretik diberikan untuk kenyamanan penderita, terutama untuk anak-
anak
- Antiemetik diperlukan bila penderita muntah-muntah berat
- Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septic dengan deksametason dosis
3x5mg.
3. Pemberian antimikroba
Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan dibagi menjadi lini pertama
dan lini kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin adalah obat
demam tifoid lini pertama. Lini kedua adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak
dibawah 18 tahun), sefiksim, dan ceftriaxone.
13
Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral
maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Kloramfenikol
bekerja dengan mengikat unit ribosom dari bakteri salmonella, menghambat
pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein. Sementara kerugian
penggunaan kloramfenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%),
penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.
14
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti
toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil,
kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus
prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol
tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang
dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxone.
15
minggu Efektif dalam mencegah relaps dan
Ofloksasin: 2 x (200- karier.
400) mg selama satu Pemberian peroral
minggu Anak: tidak dianjurkan karena efek
Pefloksasin: 1 x 400 samping pada pertumbuhan tulang.
mg selama satu
minggu
Fleroksasin: 1 x 400
mg selama satu
minggu
Pada pengobatan untuk wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3
kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus
intrauterine, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan
pada trimester kehamilan pertama karena memungkinkan efek teratogenik terhadap fetus.
Demikian juga dengan golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol. Obat yang
danjurkan adalah ampisilin, amksisilin, dan seftriakson
I. KOMPLIKASI
1. Intestinal
a. Perdarahan intestinal
Pada plague peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/ luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus
dan mengenai pembuluh darah, maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
16
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan
kedua faktor.
b. Perforasi usus
Hal ini biasanya timbul pada minggu ketiga, namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama dengan keluhan nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah dan terkadang pekak hati tidak ditemukan karena ada
udara bebas di abdomen. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah
turun, dan bahkan dapat terjadinya syok.
c. Peritonitis dapat menyertai perforasi atau tanpa perforasi dengan gejala abdomen
akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang dan nyeri pada tekanan.
2. Ekstra-intestinal
Hal ini dapat terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu
meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul
akibat masukan makanan yang kurang (Komplikasi hematologi berupa
trombositopenia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial thromboplastine
time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular
diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid
J. PENCEGAHAN
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. S. typhi akan
mati dalam air yang dipanaskan setinggi 57oC dalam beberapa menit atau dengan prose
iodinasi/ klorinasi. Vaksinasi atau imunisasi memberikan pendidikan kesehatan dan
pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan
maupun restoran dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengkonsumsi makanan sehat, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan budaya cuci
tangan yang benar dan memakai sabun, meningkatkan higiene makanan dan minuman, dan
perbaikan sanitasi lingkungan. Di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin tifoid, yaitu:
17
1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna
2. Vaksin parenteral sel utuh
3. Vaksin polisakarida Typhin Vi Aventis Pasteur Merrieux.
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah sembuh sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat dan pada
penderita carier perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid.
Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup
banyak aspek, mulai dari segi bakteri S. typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host)
serta faktor lingkungan
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier
tifoid. Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi sasaran dan
pasif dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi. Sasaran aktif
lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan/ minuman.
Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, petugas kebersihan, dan lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhi akut maupun
karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap bakteri S. typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi dapat dilakukan dengan cara vaksinasi
tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci, A.S., et al. 2013. Demam Enterik (Tifoid) Dalam Harrison Gastroentero &
Hepatologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
2. Widodo, D. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed 6. Jakarta: Interna
Publishing
3. Astuti, O.R. 2013. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Millenium Development Goals
2015. Jakarta.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2011.
6. Rampengan. 2005. Demam tifoid Dalam: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Ed 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
7. Soedarto,. 2018. Buku Ajar Kedokteran Tropis.Jakarta: Penerbit CV. Sagung Seto.
19