Anda di halaman 1dari 21

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

HIPERBLLIRUBINEMIA

KEPERAWATAN ANAK

Oleh Kelompok 10 :
Qoriq Dwi Vega 162310101158
Moh. Afif Jakaria I 162310101197
Ken Rangga G. A 162310101249

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
Jalan Kalimantan No.37 Kampus Tegal Boto
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hyperbilirubinemia di Indonesa memiliki angka kejadian yang masih cukup
tinggi, beberapa faktor penyebab yang sangat kompleks seperti yang disebutkan
dalam sebuah hasil penelitian yaitu faktor pemberian ASI, ketuban pecah dini, air
ketuban keruh, dan infeksi pada ibu. Dan pada hasilnya menunjukkan bayi laki-laki
terdapat hiperbilirubin sebanyak 11 dari 282 dan perempuan 13 dari 225, dilanjutkan
dengan melihat angka kejadian brdasar golongan darah ibu, namun hasil yang paling
menunjukkan hubungan erat yaitu pada variabel pemberian ASI. ASI merupakan
faktor protektif terjadinya hyperbilirubinemia namun bukan faktor resiko (beberapa
penelitian lain menunjukkan sebagai faktor resiko). Ketuban pecah dini, infeksi pada
ibu dan air ketuban keruh ternyata tidak memiliki hubungan yang bermakna. (Putri
dkk., 2014)
Angka Kematian Bayi menurut WHO (World Health Organization) (2015) pada
negara ASEAN seperti di Singapura 3 per 1000 kelahiran hidup, Malaysia 5,5 per
1000 kelahiran hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1000
kelahiran hidup, dan Indonesia 27 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di
Indonesia masih tinggi dari negara ASEAN lainnya, jika dibandingkan dengan target
dari MDGs (Millenium Development Goals) tahun 2015 yaitu 23 per 1000 kelahiran
hidup. Berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskerdas, 2015) menunjukkan angka
hiperbilirubin pada bayi baru lahir di Indonesia sebesar 51,47%, di Sumatra Barat
47,3% dengan faktor penyebabnya antara lain Asfiksia 51%, BBLR 42,9%, Sectio
Cesaria 18,9%, Prematur 33,3%, kelainan kongenital 2,8%, sepsis 12%.
Merujuk pada hal –hal di atas, dapat dilihat bahwa betapa pentingnya
penanganan dini dan pencegahan faktor resiko atau factor protektif yang dilakukan
segera baik saat masih dalam masa kehamilan, maupun saat masih dalam masa
neonatus.
1.2 Epidemiologi

Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir bayi baru lahir


mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol / L (1,8mg /
dL) selama seminggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit membandingkan
karena banyak peneliti berbeda yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk
hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, indentifikasi
bayi yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning penyedia
layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian
pengamat dan karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan

Di dunia insiden bervariasi dengan intensitas dan geografi. Insiden lebih tinggi
pada orang Asia timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang kulit hitam.
Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi meskipun terakhir tampaknya
hanya berlaku untuk bayi yang lahir di Yunani dengan demikian mungkin lingkungan
bukan etnis asal. Bayi kulit hitam yang terpengaruh lebih sering dari pada bayi kulit
putih. Untuk alasan ini, penyakit kuning yang signifikan dalam manfaat bayi kulit
hitam evaluasi lebih dekat dari kemungkinan penyebab.

Resiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi
laki-laki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip
dengan bayi yang ada di bayi perempuan. Resiko penyakit kuning neonatal signifikan
berbanding terbalik dengan usia kehamilan.
BAB 2. KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 Definisi

Hiperbilirubinemia adalah adalah istilah yang dipakai untuk ikterus


neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar
serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
golongan non patologis sehingga disebut excessive physiological jaundice.
Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus >95% menurut Nonmogram Bhutani. (Surasmi, 2008)

Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar


bilirubin serum total lebih dari 10mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan
ikterus, yang dikenal neonatorum patologis. Hiperbilirubinemia yang merupakan
suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan intravaskular,
sehingga konjungkitva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan ini bisa
berpotensi besar terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin
indirek pada otak bayi. Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia memiliki ciri:
adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin 10mg
atau lebih setiap 24 jam, ikterus disertai dengan proses hemolisis kemudian ikterus
disertai dengan keadaan berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia dan lain-lain. (Surasmi, 2008)

Hiperbilirubinemia adalah suatu masalah paling umum yang dihadapi dalam


jangka bayi baru lahir. Secara historis manajemen berasal ari studi tentang toksisitas
bilirubin dengan penyakit hemolitik. Rekomendasi yang lebih baru mendukung
penggunaan terapi yang kurang intensif dalam jangka bayi yang sehat dan sakit
kuning. (Ely Susan, 2011)
2.2 Etiologi

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.


Penyebab yang sering ditemukan adalah hemolisis yang timbul akibat
inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini
dapat timbul akibat adanya faktor pendarahan tertutup atau inkompatibilitas golongan
darah Rh. Infeksi memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia.
Keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroentritis. Beberapa faktor
lain juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia atau anoreksia,
dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan polisitemia. (Julina, 2017)

Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,


penyebab dari hiperbilirubinemia adalah:

1. Produksi bilirubin yang berlebihan.


Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
emolisis yang meningkat
2. Gangguan pada proses uptake dan konjungasi hepar.
Gangguan ini disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transfase. Penyebab lain adalah defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke hepar.
3. Gangguan transportasi.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya
salsilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya
bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat di sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dala hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.3 Patofisiologi

Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari


katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah
pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan
terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali,
sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut
dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk
isomerik (oleh karena ikatan hidrogen intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang
hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan
pada ikatan bilirubin tidak terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen
maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas dapat melewati
membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah
otak, yang dapat mengarah ke neurotoksisitas. (Stevry Mathindas, Rocky Wilar,
2013)

Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin
terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan
terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah
pada saat lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan.
Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi
sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi,
dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini
berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang terbatas
pada hari-hari pertama kehidupan. (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, 2013)
2.4 Manifestasi Klinis

Sebagian besar kasus hiperbilirubin-emia tidak berbahaya, tetapi kadang-kadang


kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kern icterus)
(Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013. Gejala klinis yang tampak ialah rasa
kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata ter-putar-
putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek jangka
panjang Kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak
dapat digerakkan ke atas (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013).

2.5 Prosedur Diagnostik

a. Visual
Metode visual memiliki angka ke-salahan yang cukup tinggi, namun masih dapat
digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini sulit di-terapkan
pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evident base,
pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun bila ter-dapat
keterbatasan alat masih boleh diguna-kan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining
positif harus segera dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut (Stevry
Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013.

Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai


berikut:

1. Pemeriksaan dilakukan pada pencaha-yaan yang cukup (di siang hari dengan
cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan
pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah
kulit dan jaringan subkutan.

3. Keparahan ikterus ditentukan berdasar-kan usia bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.
b. Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupa-kan baku emas penegakan diagnosis icterus
neonatorum serta untuk menentu-kan perlu-nya intervensi lebih lanjut (Stevry
Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total
perlu dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang dianggap
dapat meningkatkan morbiditas neonates (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W.
2013).

c. Bilirubinometer transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan prinsip kerja
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang gelombang 450 nm).
Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang
diperiksa(Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013)

d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh karena itu,
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah
(Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013).. Beberapa metode digunakan untuk
mencoba mengukur kadar bilirubin bebas, antara lain dengan metode oksidase-
peroksidase. Prinsip cara ini yaitu berdasar-kan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi
terhadap bilirubin dimana bilirubin menjadi substansi tidak berwarna (Stevry
Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013).. Dengan pen-dekatan bilirubin bebas, tata
laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. Pemecahan heme menghasilkan biliru-
bin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka peng-
ukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan seba-
gai indeks produksi bilirubin (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013)..
2.6 Penatalaksanaan Medis

a. Fototerapi

Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi peng-ganti


untuk menurunkan bilirubin (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013).. Bila
neonatus dipapar dengan cahaya ber-intensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan
bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin
indirek 4-5 mg/dl (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013).. Neonatus yang
sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi bila kon-sentrasi
bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk memberikan fototerapi
profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir
rendah(Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013)..

b. Intravena immunoglobulin (IVIG)

Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor


imunolo-gik. Pada hiperbilirubinemia yang disebab-kan oleh inkompatibilitas
golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat menu-runkan kemungkinan
dilakukannya trans-fusi tukar (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013).

c. Transfusi pengganti

Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit yang rentan
terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi;
mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan albumin yang masih bebas
bilirubin dan meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin (Stevry Mathindas,
Rocky Wilar, A. W. 2013)..

d. Terapi medikamentosa

Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang mening-katkan


konjugasi bilirubin dan mengeks-kresikannya (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A.
W. 2013). Obat ini efektif diberikan pa-da ibu hamil selama beberapa hari sampai
beberapa minggu sebelum melahirkan Penggunaan phenobarbital post natal masih
menjadi pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi) (Stevry Mathindas,
Rocky Wilar, A. W. 2013).. Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan
mengeluar-kannya melalui urin sehingga dapat menu-runkan kerja siklus
enterohepatika (Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013).

2.7 Potensial Komplikasi


1. Ikterik fisiologis, nonfisiologis, ASI
2. Kernicterus
3. Depresi : koma, letargi, penurunan/tidak ada refleks Moro, hipotonia, tidak ada
refleks rooting
4. Eksitasi (mengikuti depresi) : kejang umum, mata berputar ke bawah,
opistotonus, hypertonia, menangis nada tinggi, apnea
5. Hipoglikemia
6. Sepsis
7. Distress pernapasan
8. Selama fototerapi : dehidrasi, hipertermia, hipotermia, apnea, konjungtivitis
(Tucker dkk, 1998).
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pathway
Hepar yang belum matang, Eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi
sitomegalik (rubella, toksoplasmosis kongenital)

Hati

Bilirubin direk Bilirubin bebas 



Sistematik

Otak

Letargi, kejang, opistonus, Menetap


tidak mau menghisap 
Resiko tinggi
Ikterus

Resiko defisiensi
volume cairan
Fototerapi
Resiko tinggi Injuri

Potensial Resiko defisiensi Resiko mata Gangguan


perubahan dalam volume cairan kering Integritas
menjadi orang tua Kulit
3.2 Diagnosa

1. Resiko defisien volume cairan b.d Hilangnya air akibat fototerapi dan
ketidakadekuatan menyusui
2. Resiko cedera b.d Letargi dan kejang
3. Resiko kerusakan integritas kulit b.d fototerapi
4. Resiko mata kering b.d fototerapi

3.3 Intervensi

Hari/ Diagnosa NOC NIC


Tanggal
Minggu, 25 Resiko defisien volume Setelah dilakukan Managemen
November cairan b.d Hilangnya air tindakan keperawatan cairan 4120
2018 akibat fototerapi dan selama …x24 jam
ketidakadekuatan diharapkan resiko - Timbang berat
menyusui defisien volume cairan badan pasien
tidak terjadi dengan setiap hari dan
Kriteria Hasil: monitor status
- Turgor kulit pasien
dipertahankan - Monitor TTV
pada skala 5 dari pasien
skala 5 - Berikan cairan
- Intake cairan dengan tepat
ditingkatkan ke - Monitor status
skala 5 dari gizi
skala 4
Minggu, 25 Resiko cedera b.d Letargi Setelah dilakukan Managemen
November dan kejang tindakan keperawatan Energi 0180
2018 selama …x24 jam - Perbaiki defisit
diharapkan resiko status fisiologis
cedera tidak terjadi misalnya,
dengan Kriteria Hasil: fototerapi sebagai
- Penurunan tingkat prioritas utama
kesadaran - Pilih intervensi
dipertahankan pada untuk
skala 5 dari skala 5 mengurangi
kelelahan baik
secara
farmakologis
maupun non
farmakologis
dengan tepat
- Monitor intake
atau asupan
nutrisi untuk
mengetahui
sumber energi
yang adekuat
- Tingkatkan tirah
baring
Minggu, 25 Resiko kerusakan Setelah dilakukan Pengecekan kulit
November integritas kulit b.d tindakan keperawatan 3590
2018 fototerapi selama …x24 jam
diharapkan resiko - Periksa kulit dan
kerusakan integritas selaput lendir
kulit tidak terjadi terkait dengan
dengan Kriteria Hasil: adanya
- Integritas kulit kemerahan,
dipertahankan pada kehangatan,
skala 5 dari skala 5 edema atau
- Hidrasi drainase
dipertahankan pada - Monitor warna
skala 5 dari skala 5 dan suhu kulit
- Monitor kulit
untuk adanya
ruam dan lecet
- Ajarkan anggota
keluarga atau
pemberi asuhan
mengenai tanda-
tanda kerusakan
kulit dengan tepat

Minggu, 25 Resiko mata kering b.d Setelah dilakukan Pencegahan Mata


November fototerapi tindakan keperawatan Kering 1350
2018 selama …x24 jam - Monitor tanda-
diharapkan resiko tanda dan gejala
cedera kornea tidak mata kering,
terjadi dengan Kriteria misalnya
Hasil : kemerahan, rasa
- Kemerahan pada terbakar, gatal,
selaput mata belekan, nyeri
dipertahankan pada disekitar dan
skala 5 dari skala 5. didalam mata
- Mata nyeri - Kenali
diperhatankan pada karakteristik
skala 5 dari skala 5 pribadi (Misalnya
usia, jenis
kelamin) dan
faktor lingkungan
misalnya udara
kering, AC, sinar
matahari
- Berikan
perawatan mata
setidaknya 2 kali
sehari dengan
tepat
- Monitor reflek
kedipan mata
CRITICAL APRAISAL JURNAL “PENGARUH FIELD MASSAGE SEBAGAI
TERAPI ADJUVAN TERHADAP KADAR BILIRUBIN SERUM BAYI
HIPERBILIRUBINEMIA”

AUTHOR (YEAR) Novi Novianti, Henny Suzana Mediani, Ikeu


Nurhidayah (2017)
CONCEPTUAL Hiperbilirubinemia merupakan komplikasi yang sering
FRAMEWORK terjadi pada masa neonatal. Terapi modalitas
dibutuhkan karena fototerapi sebagai prosedur
penatalaksanaan hiperbilirubinemia di rumah sakit
berpotensi menimbulkan efek samping. Field massage
sebagai terapi adjuvan, diduga dapat meningkatkan
ekskresi bilirubin selama bayi mendapat fototerapi.
Design penelitian ini menggunakan quasi eksperimen
dengan pendekatan non equivalent control group
pretest and posttest design. Kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol tidak dipilih secara random, setiap
DESIGN/METHOD kelompok dilakukan pre test dan post test terkait
variabel dependen yang diteliti.
Subyek dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir
hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi di RSUD
Sumedang dengan jumlah populasi Januari-Desember
2016 sebanyak 304 bayi. Berdasarkan standar deviasi
penelitian sebelumnya yaitu penelitian Kianmehr
et.al.,(2014) dengan rerata level bilirubin kelompok
intervensi (9.92+1.3) dan kelompok kontrol
(11.97+1.52) didapatkan nilai Sd 1.409. Sehingga besar
SAMPLE/SETTING sampel didapatkan sebanyak 32 responden. Sampel
diambil secara consecutive sesuai kriteria inklusi yaitu :
1) Bayi baru lahir aterm, berat badan antara 2500 s.d <
4000 gram; 2) Ikterus muncul pada 25–72 jam setelah
kelahiran (ikterus fisiologis); 3) Kadar bilirubin serum
total > 10 mg/dL sebagai level pemberian fototerapi
bagi bayi hiperbilirubinemia di RSUD Sumedang; dan
4) Tidak terdapat kontraindikasi dilakukan field
massage, yaitu demam (suhu tubuh >38 C),
peningkatan tanda-tanda vital, dan lethargik
Kriteria inklusi yang dijadikan sampel dalam penelitian
yaitu : bayi dengan rhesus dan ABO inkompatibilitas,
anomali kongenital, infeksi, obstruksi gastrointestinal,
dan atresia bilier. Sampel kemudian dibagi menjadi dua
kelompok: kelompok intervensi sebanyak 16 responden
dan kelompok kontrol sebanyak 16 responden.
MAJOR VARIABLES Independen : Terapi Field Massage
STUDIED (AND THEIR Dependen : Sebagai adjuvan terhadap kadar bilirubin
DEFINITIONS) serum bayi hiperbilirubinemia yang
mengalami fototerapi.
Setelah bayi teridentifikasi dan sesuai untuk menjadi
subjek penelitian, kemudian dilakukan informed
MEASUREMENT consent kepada orang tua bayi dan menentukan
kelompok kontrol atau kelompok intervensi. Kedua
kelompok dipilih berdasarkan perbedaan waktu
sehingga tidak dilakukan randomisasi.. Kelompok
intervensi adalah bayi hiperbilirubinemia yang
menjalani fototerapi dan diberikan field massage
sebanyak 2x/ hari (pagi dan sore hari) selama 3 hari
dengan durasi 15-20 menit, dilakukan minimal 1 jam
setelah bayi minum. Langkah-langkah pelaksanaan field
massage secara terstruktur meliputi 5 (lima) area yaitu
mulai dari wajah, dada, abdomen, ekstremitas, dan
punggung dengan sentuhan tekanan sedang (moderate
pressure).

DATA ANALYSIS Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dan


multivariat. Uji normalitas data dan uji homogenitas
dilakukan sebagai persyaratan dalam statistik
parametrik. Uji normalitas dengan Shapiro Wilk
didapatkan seluruh data kadar bilirubin serum pada
kedua kelompok memiliki nilai p > 0.05 (0,814; 0,331;
0,759; 0,448; 0,926; dan 0,969), artinya data
berdistribusi normal. Sehingga analisa bivariat dapat
menggunakan Dependen T-Test untuk mengukur
perbedaan rata-rata kadar bilirubin serum pada
kelompok berpasangan. Uji homogenitas data
penurunan kadar bilirubin serum dengan Levene Test
(F) menghasilkan nilai 0,920 dan 0,3454 (p > 0,05),
artinya data memiliki varians yang homogen. Sehingga
perbedaan penurunan rata-rata kadar bilirubin serum
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat
menggunakan uji Independen T-Test (Dahlan, 2009).
Analisis multivariate menggunakan uji ANCOVA
(Analysis of Covariance) dilakukan untuk mengontrol
kontribusi variabel confounding terhadap pengaruh field
massage (Montgomery C.D., 2001; Beck & Polit,
2014;Field, 2009
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang
signifikan pemberian field massage terhadap terapi
FINDINGS adjuvan terhadap penurunan kadar bilirubin serum pada
bayi hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi.
Intervensi field massage dapat menurunkan level
bilirubin serum pada kategori zona high risk dan zona
intermediet (zona membahayakan) menjadi zona resiko
rendah (zona aman) bagi bayi. Sehingga dapat
menghindari resiko terjadi rebound effect. Field
massage dapat menjadi salah satu intervensi
keperawatan yang efektif untuk menyelesaikan masalah
keperawatan yang dialami bayi hiperbilirubinemia.
Field massage merupakan intervensi yang mudah
dilaksanakan, aman, dan tanpa efek samping. Orang tua
bayi dapat dilatih agar dapat melaksanakan massage
secara mandiri. Field massage dapat dilanjurkan di
rumah untuk mendapatkan manfaat lainnya, yaitu
meningkatkan kualitas tidur, kemampuan bayi
mentetek, dan meningkatkan berat badan bayi.
APPRAISAL WORTH Field massage bermanfaat membantu bayi baru lahir
TO PRACTICE mengeluarkan mekonium lebih awal dan lebih baik,
sehingga dapat dilakukan lebih awal setelah bayi lahir.
Pemberian field massage lebih awal dilakukan sebagai
intervensi pencegahan terutama pada bayi yang lahir
dengan faktor resiko hiperbilirubinemia, baik bayi yang
lahir dengan tindakan yang bisa mengakibatkan resiko
infeksi maupun faktor resiko yang lainnya. Dengan
pemberian field massage, diharapkan bayi dapat
mempertahankan kadar bilirubin serum dalam batas
normal meskipun mempunyai resiko mengalami
peningkatan bilirubin serum.
REFERENSI

Bulechek, G. dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 6.


Singapore: CV. Mocomedia.

Herdman, T. Kamitsuru, S. 2014. Nursing Diagnoses: Definitions and Classification


2015-2017. Edisi 10. Oxford: Blackwell.

Moordead, S. dkk. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC)-Pengukuran


Outcome Kesehatan. Edisi 5. Singapore: CV. Macomedia.

Novianti, N., Mediani, H. S., & Nurhidayah, I. 2017. Pengaruh Field Massage
sebagai Terapi Adjuvan terhadap Kadar Bilirubin Serum Bayi
Hiperbilirubinemia. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(3). Available online at:
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/654

Stevry Mathindas, Rocky Wilar, A. W. 2013. Hiperbilirubinemia pada neonatus


ikterus klinis. Jurnal Biomedik. 5(2):S4-10.

Tucker, Susan Martin ,et al. 1998. Standar Perawatan Pasien Proses Keperawatan,
Diagnosis, dan Evaluasi. Edisi V . EGC. Jakarta

Sembiring, Julina. 2017. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah.
Sleman: CV Budi Utama.

Surasmi, A., Handayani, S., & Kusuma, H. N. 2008. Perawatan Bayi Resiko Tinggi.
Jakarta: EGC

Susanty, Elly. 2011. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Nanda Nic Noc. Yogyakarta:
Modya Karya

Anda mungkin juga menyukai