Anda di halaman 1dari 40

CASE REPORT

Acute Kidney Injury

Oleh :

Nahdia Fadhila
NPM. 1718012022

Pembimbing :
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD - FINASIM

Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RSUD DR. H. Abdoel Moeloek
Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
Lampung
2018

2
KATA PENGANTAR

Syukur dan terima kasih saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas kelimpahan berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas
ini dengan sebaik-baiknya.
Tugas ini merupakan salah satu sarana untuk memajukan pendidikan,
khususnya pada bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran. Kami berharap tugas
ini dapat berguna bagi pembaca. Dan secara tidak langsung dapat pengetahuan
dan informasi bagi pembaca.
Kami menyadari tugas ini tidak dapat terselesaikan jika tanpa bimbingan
para dokter, dan kedua orang tua saya yang telah menyediakan sarana dan
prasarana. Juga kepada teman-teman kami yang telah membantu, serta sumber
informasi bagi kami untuk tugas ini.
Karena keterbatasan kami sebagai manusia, tugas ini tidak terlepas dari
kesalahan. Maka kami mohon maaf jika ada salah kata dalam tugas ini. Semoga
tugas ini dapat berguna.

B. Lampung, Juni 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal
akut (GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam
bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan
insidens.

Saat ini, diagnosis AKI ditegakkan dengan menggunakan kriteria RIFLE/


AKIN. Berdasarkan sumber masalahnya, AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama,
yaitu prarenal, renal dan pascarenal. Dalam upaya diagnosis, perlu ditentukan
etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi AKI. Penatalaksanaan AKI harus
dilakukan secara menyeluruh, mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan
menurunnya fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta tata laksana
komplikasi yang dapat dilakukan secara konservatif atau secara bedah yaitu
mengganti ginjal.

Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-


0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga
20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka
kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.

Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan


karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa
insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan
insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain
itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya
populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya
jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan
terapeutik yang lebih agresif

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah wawasan
penulis dan pembaca dalam studi kasus mengenai akut kidney injury serta
meningkatkan kemampuan dalam menganalisa kasus dan permasalahan yang
ditemukan pada kasus tersebut.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 9 Juli 2018 pukul 15.00 WIB, anamnesis dilakukan
pada tanggal 11 Juli 2018 pukul 09.00 wita. Anamnesa yang dilakukan berupa
autoanamnesa dan alloanamnesa.

ANAMNESA UMUM
Identitas
Nama : Ny. ES
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pakuan Aji, Lampung Timur
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

ANAMNESA KHUSUS
Keluhan Utama
Muntah > 10x sehari
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD DR. H. Abdoel Moeloek dengan keluhan muntah
sebanyak lebih dari 10 x dalam sehari. Keluhan disertai dengan BAB cair
sebanyak lebih dari 5x dalam sehari. Keluhan dirasakan sejak 2 hari SMRS. Os
mengatakan muntah yang dialaminya berwarna kuning bercampur sisa makanan,
terdapat lendir, tidak terdapat darah maupun warna kehitaman, pasien mengatakan
muntah yang dialaminya tidak menyemprot. Keluhan BAB cair muncul dengan
konsistensi cair, berampas, warna kunig kecokelatan, bercampur lendir, darah
tidak ditemukan. Kedua keluhan muncul tidak disertai demam tinggi, ini
merupakan keluhan yang dirasakan pertama kali oleh pasien. Os mengatakan tidak
makan makanan pedas atau asam sebelumnya, makanan yang dimakan merupakan
masakan rumahan. Keluhan nyeri saat BAK , BAK berdarah (+), BAK sedikit (+).
Pasien mengatakan adanya penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan,
tetapi tidak terlalu tampak. Pasien mengatakan adanya keluhan nyeri pinggang.
Os mengatakan 3 hari SMRS pasien mengalami keguguran dan dilakukan
kuretase. Keluhan mual muntah belum pernah diobati pasien, karena dirasa
semakin memberat, pasien berobat ke RSUD Lampung Timur lalu di rujuk ke
RSUD DR. H. Abdoel Moeloek.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Belum pernah mengalami keluhan seperti ini.
- Riwayat DM (-)
- Riwayat jantung dan hipertensi disangkal
- Ada riwayat sakit ginjal sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat Asma pada orang tua pasien  ibu pasien
- Riwayat DM pada keluarga tidak ada
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat kelainan ginjal di sangkal

Riwayat Kebiasaan
- Riwayat suka menahan kencing sejak kecil
- Riwayat merokok (-)
- Pasien jarang berolahraga

2.2. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 11 Juli 2018
Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
Keadaan umum : Sakit sedang

7
Status gizi :
Indeks Massa Tubuh (IMT): BB (kg) : TB (m)2
45 kg : (1,56 m)2 = 45 kg : 2,4336 m2 = 18,49 (Normal)
Kategori IMT Pengertian Keterangan
< 18,5 Berat Badan Kurang Kurus
18,5-25 Berat Badan Normal Normal
> 25 Berat Badan Lebih Kegemukan

Tanda Vital
 TD : 120/80 mmHg (lengan kanan, berbaring)
 N : 85 x/menit regular, isi cukup, kuat angkat
 RR : 18 x/menit torakoabdominal
 T : 36,5 0C (axila)

Kepala/leher
 Umum
Ekspresi : sakit sedang
Rambut : tidak ada kelainan
Kulit muka : tidak terlihat kuning dan tidak pucat
 Mata
Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-)
Sclera : ikterus (-)
Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
 Hidung
Septum deviasi (-)
Sekret (-)
Nafas cuping hidung (-)
 Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal, sekret (-)

8
Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
 Mulut
Nafas : fetor hepatikum (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Gusi : perdarahan (-)
Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)
Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-)
Faring : hiperemis (-)
 Leher
Umum : simetris, tumor (-)
Kelenjar limfe : membesar (-)
Trakea : di tengah, deviasi (-)
Tiroid : membesar (-)

Thorax
Umum
Bentuk dan pergerakan dada simetris
Ruang interkostalis (ICS) tampak jelas
Retraksi (-)

Pulmo:
Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor:

9
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Kanan : ICS III parasternal dekstra
Kiri : ICS V midclavicular sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:
Inspeksi : Bentuk cembung, kulit normal
Palpasi : Nyeri tekan (+), massa (-), hepar/lien/ginjal tidak teraba, defans
muscular (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), Asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas:
- Superior
- Ekstremitas hangat
- Edema (-)
- Eritematosa (-)
- Sianosis (-)
- Clubbing finger (-)
- Palmar eritema (-)
- Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)
- Inferior
- Ekstremitas hangat
- Edema tungkai (+)
- Sianosis (-)
- Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)
- Tes nyeri dan sensorik halus (+)

2.3. Pemeriksaan Penunjang


Hasil Lab : 11 Juli 2018
- Leukosit : 24.000
- HB : 12.3
- HT : 33 %

10
- PLT : 256
- GDS : 107
- Ureum : 176 mg/dL
- Creatinin : 4,39 mg/dL
- Natrium : 130
- Kalium : 2,7
- Chlorida : 98

Laju Filtrasi Glomerulus

(140-32) x 45 x 0,85 = 13.06 ml


72 x 4,39

2.4. Diagnosis
Akut Kidney Injury dan Gastroenteritis Akut

2.5. Tatalaksana :
- IVFD Nacl 0,9% 30 tpm

11
- Paracetamol tab 3x 500 mg
- Inf. Ciprofloxacin 2 x 200 mg
- Inj. Ketorolac 3 x 1 IV
- Terapi hiperkalemia: Ca Glukonas 1 amp/jam dan D 40% sebanyak 3x

2.6. Prognosa :
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam
Follow up pasien :
Perawatan S O A P
Hari III Mual (+), muntah Compos mentis AKI+ - IVFD Nacl 0,9% 30 tpm
11 Juli 2018 (-), Nyeri perut TD: 130/80 mmHg Vesikolitiasis - Paracetamol tab 3x 500 mg
- Inf. Ciprofloxacin 2 x 200
sebelah kiri (+), N: 81 x/’
mg
BAK(-) RR: 24 x/’ - Inj. Ketorolac 3 x 1 IV
0
T: 36,4 C stop
Anemis (-/-) - Terapi hiperkalemia:
Ca Glukonas 1 amp/jam
Ikterik (-/-)
dan D 40% sebanyak 3x
Rho (-/-) - USG abdomen
Whe (-/-) - Foto BNO
- Konsul Urologi
Bu (+) N
- Inj. Tramadol 2 x 1
NT (+) - Pasang double lumen
Edema (-) - Pro HD

Urin output 48 jam


0cc
Hari III Mual (+), BAK(-) Compos mentis AKI+ - IVFD Nacl 0,9% 30 tpm
12 juli 2018 TD: 130/80 mmHg Vesikolitiasis - Paracetamol tab 3x 500 mg
- Inf. Ciprofloxacin 2 x 200
N: 64 x/’
mg
RR: 26 x/’ - Inj. Tramadol 2 x 1
T: 36,8 0C - Terapi hiperkalemia:
Ca Glukonas 1 amp/jam
Anemis (-/-)
dan D 40% sebanyak 3x
Ikterik (-/-) - Terapi hiperkalemi lanjut
Rho (-/-) - Konsul Urologi
Whe (-/-)

12
Bu (+) N
NT (+)
Edema (-)
Urin output 72 jam
0cc
Hari IV Mual (+), Muntah CM AKI+ - IVFD Nacl 0,9% 30 tpm
13 Juli 2018 (+), BAK (+) TD: 130/70 mmHg Vesikolitiasis - Paracetamol tab 3x 500 mg
- Inf. Ciprofloxacin 2 x 200
N: 82 x/’
mg
RR: 24 x/’ - Terapi hiperkalemia:
T: 36,1 0C Ca Glukonas 1 amp/jam

Anemis (-/-) dan D 40% sebanyak 3x


- Konsul Urologi
Ikterik (-/-)
Rho (-/-)
Whe (-/-)
Bu (+) N
NT (+)
Edema (-)
Urin 200 cc / 24 jam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 AKUT RENAL INJURY


3.1.1 Definisi
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel,
diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/
tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal
(AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di
atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang
seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang
digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan
permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk
kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang
diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata
mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi
penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang
seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal
berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda
biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di
mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE
yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau
penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan
fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal,
seperti yang terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007

Kategori Peningkatan kadar Cr Penurunan LFG Kriteria UO


serum

Risk ≥ 1,5 kali nilai dasar ≥ 2,5% nilai dasar < 0,5 mL/kg/jam,
≥ 6 jam

Injury ≥ 2,0 kali nilai dasar ≥ 50% nilai dasar < 0,5 mL/kg/jam,
≥ 12 jam

Failure ≥ 3,0 kali nilai dasar atau ≥ 75% nilai dasar < 0,5 mL/kg/jam,
≥ 4 mg/dl dengan ≥ 24 jam atau
kenaikan akut ≥ 0,5 mg/dl anuria ≥ 12 jam

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu

End stage Penurunan Fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan


kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan
perjalanan penyakit dan prediksi mortalitas.

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah


kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas
kriteria RIFLE. AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai
ambang definisi AKI karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan
peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2)
penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut,

15
disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam kriteria
RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar Cr serum;
(3) semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan
dalam AKI tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan
klasifikasi karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam
keadaan kritis. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria
RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3.
Kategori LE pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga
tidak dimasukkan dalam tahapan. Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat
pada tabel 2. Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan
modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal
menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN
dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 2005.

Tahap Peningkatan Kadar Cr Serum Kriteria UO


1 ≥ 1,5 kali nilai dasar atau peningkatan ≥0,3 <0,5 mL/kg/jam, ≥6
mg/dL jam
2 ≥2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12
jam
3 ≥3,0 kali nilai dasar atau ≥4 mg/dL dengan <0,3 mL/kg/jam, ≥24
kenaikan akut ≥0,5 mg/dL atau inisiasi terapi jam atau anuria ≥12 jam
pengganti ginjal

3.1.2 Klasifikasi Etiologi


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis
AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,55%); (2) penyakit
yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
(AKI pascarenal,5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari
tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada
tabel 3.

16
Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI

AKI Prarenal
I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, kerusakan jaringan (pankreatitis),
hipoalbuminemia, obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan keluar tubuh melalui saluran cerna (muntah, diare,
drainase), melalui saluran kemih (diuretic, hipoadrenal, diuresis osmotic),
melalui kulit (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katub jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh:
barbituriat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal local
Stenosis a. renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK
(penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin
(penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen
(sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,
radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol aferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB

17
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Myeloma multiple, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/Intrinsik
I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a. renalis (plak arterosklerosis, thrombosis, emboli, diseksi
aneurisma, vasculitis), obstruksi v. renalis (thrombosis, kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonephritis, vasculitis
III. Nekrosis tubular akut (acute tubular necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prerenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organic,
asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat,
myeloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotic, OAINS, diuretik, Kaptopril), infeksi (bakteri, viral,
jamur), infiltrasi (limfoma, leukemia, sarcoidosis), idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein myeloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfomida
VI. Rejeksi aloraf ginjal
AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papilla ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenic, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan
tahun 2005-2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah
sepsis (42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal
kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroenteritis akut (masing-masing 3%).

3.1.3 Pendekatan Diagnosis


Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang
telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.

18
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis
(anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan
ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan
membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI,
dan penentuan komplikasi.

3.1.4 Gambaran Klinis AKI

Gejala klinis yang terjadi pada penderita AKI, yaitu :


a. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah,
diare, pucat (anemia), dan hipertensi.
b. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
c. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang
menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
d. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
e. Tremor tangan.
f. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
g. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat
dijumpai adanya pneumonia uremik.
h. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
i. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah,
berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
j. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju
endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi
renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan
glomerulus.
k. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih
menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif,

19
edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-
kejang dan kesadaran menurun sampai koma.

3.1.5 Pemeriksaan Klinis


Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO
dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan
hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia
menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki
tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan
zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin,
asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan
tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau
hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut
kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal,
atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal
menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi
maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur
menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih
neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan
disfungsi saraf otonom.

3.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang
transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,
walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau
penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”

20
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada
ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast
leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial.
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel 4).
Tabel 4. Kelainan Analisis Urin

Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal


Urinalisis Silinder hialin Abnormal
Gravitasi spesifik > 1,020 1,010
Osmolaritas urin (mmol/kgH20) > 500 300
Kadar natrium urin (mmol/L) < 10 > 20
Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) < 35 > 35
Rasio Cr urin/ Cr plasma > 40 < 20
Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh


darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus
hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)
terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin
x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang
dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang
yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan
reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama
juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami
adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa
keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi
vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus
ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari
1%.

21
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal
adalah pemeriksaan urin residu pasca berkemih. Jika volume urin residu kurang
dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan
adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah
pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan,
MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi
ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun
penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut
terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN yang memiliki tata laksana
spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.

3.1.7 Tata Laksana


Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal
penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya
ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi
sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran
cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan
dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup
berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara
ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin
dan serum.
Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).

22
Tabel 5 Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI

Variabel Katabolisme
Ringan Sedang Berat
Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis ARDS,
klinis obat infeksi MODS
Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering
Rute pemberian Oral Enteral +/- Enteral +/-
nutrisi parenteral parenteral
Rekomendasi 25 kkal/kg 25- 30 kkal/kg 25- 35 kkal/kg
energi BB/hari BB/hari BB/hari
Sumber energi Glukosa 3-5 g/kg Glukosa 3-5 g/kg Glukosa 3-5 g/kg
BB/hari BB/hari BB/hari
Lemak 0,5-1 Lemak 0,8-1,2
kgBB/hari kgBB/hari
Kebutuhan 0,6-0,8 0,8-1,2 g/kgBB/hari 1,0-1,5 g/kgBB/hari
protein g/kgBB/hari
Pemberian Makanan Formula enteral Formula enteral
nutrisi Glukosa 50-70% Glukosa 50-70%
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien

Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah
digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya
bersifat kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan
dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal
sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai
penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik
dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi
yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai
upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi
kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak
menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas,

23
kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap),
bahkan penggunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas
(RR=3,97; CI: 1,00-15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai
bagian dari tata laksana AKI adalah:
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak
dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau
dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam
15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250
mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler.
Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan
dapat menyebabkan toksisitas.
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun
dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki
prognosis pasien.

24
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan
dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di
ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah
ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh
terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis
yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien
serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis
selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis
multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis
adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.

3.1.8 Tata Laksana Komplikasi


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan
komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang
diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l),
asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru, ensefalopati
uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia

25
berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang
dapat didialisis. Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk
menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika
kondisi yang menjadi indikasi sudah teratasi.

Tabel 6 Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI

Komplikasi Tatalaksana
Kelebihan cairan  Batasi garam (1-2 g/hari)dan air (<1 L/hari)
intravaskular  Penggunaan diuretik
Hiponatremia  Batasi cairan (<1 L/hari)
 Hindari pemberian infus hipotonik
Hiperkalemia  Batasi asupan K (<40 mmol/hari)
 Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
 Beri resin potassium-binding ion exchange
 Beri dekstrosa 50% 50cc + insulin 10 unit
 Beri Natrium bicarbonat 50-100 mmol
 Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg iv
 Kalsium glukonat 10 % (10 cc dalam 2-5 menit
Asidosis metabolik  Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari)
 Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH arteri >7,2)
iperfosfatemia  Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
 Beri pengikat fosfat
Hipokalsemia  Beri kalsium carbonat atau calsium glukonat 10%
(10-20 cc)
Hiperurisemia  Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL

3.2 VESIKOLITHIASIS
3.2.1 Definisi
Vesikolithiasis atau batu buli-buli adalah penyakit dimana didapatkan
masa keras seperti batu yang terbentuk di kandung kemih, yang dapat
menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi. Batu ini
bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu

26
kandung kemih). Batu ini terbentuk dari pengendapan garam kalsium,
magnesium, asam urat, atau sistein.
Batu buli-buli atau vesikolithiasis sering terjadi pada pasien yang
menderita gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi
terjadi pada pasien-pasien hiperplasia prostat, striktura uretra, divertikel buli-buli
atau buli-buli neurogenik. Kateter yang terpasang pada buli-buli pada waktu yang
lama, adanya benda asing lain yang secara tidak sengaja dimasukkan ke dalam
buli-buli seringkali manjadi inti untuk terbentuknya batu buli-buli. Selain itu batu
buli-buli dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang turun ke buli-buli.
Vesikolithiasis dapat berukuran dari sekecil pasir hingga sebesar buah
anggur. Batu yang berukuran kecil biasanya tidak menimbulkan gejala dan
biasanya dapat keluar bersama dengan urine ketika berkemih. Batu berada di
saluran kemih bagian bawah yaitu di kandung kemih dan uretra dapat
menghambat buang air kecil. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun
tubulus renalis dapat menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik
yang hebat di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang yang menjalar ke
perut juga daerah kemaluan dan paha sebelah dalam). Hal ini disebabkan karena
adanya respon ureter terhadap batu tersebut, dimana ureter akan berkontraksi yang
dapat menimbulkan rasa nyeri kram yang hebat.

3.2.2 Epidemiologi
Lokasi batu ginjal dijumpai khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar
dapat terhenti di ureter atau kandung kemih. Batu ginjal sebagian besar
mengandung batu kalsium. Batu oksalat, kalsium oksalat, atau kalsium fosfat,
secara bersama dapat dijumpai sampai 65-85% dari jumlah keseluruhan batu
ginjal.
Di negara-negara berkembang masih sering dijumpai batu endemik pada
buli-buli yang banyak dijumpai pada anak-anak yang menderita kekurangan gizi
atau yang sering menderita dehidrasi atau diare.
Di beberapa rumah sakit di Indonesia dilaporkan ada perubahan proporsi
batu ginjal dibandingkan batu saluran kemih bagian bawah. Hasil analisis jenis

27
batu ginjal di Laboratorium Patologi Klinik Universitas Gadjah Mada sekitar
tahun 1964 dan 1974, menunjukkan kenaikkan proporsi batu ginjal dibanding
proporsi batu kandung kemih. Sekitar tahun 1964-1969 didapatkan proporsi batu
ginjal sebesar 20% dan batu kandung kemih sebesar 80%, tetapi pada tahun 1970-
1974 batu ginjal sebesar 70% (101-144 batu) dan kandung kemih 30% (43/144
batu ).
Pada tahun 1983 di Rumah Sakit DR. Sardjito dilaporkan 64 pasien
dirawat dengan batu saluran kemih, batu ginjal 75% dan batu kandung kemih
25%. Kejadian batu saluran kemih terdapat sebesar 57/10.000 pasien rawat inap.
Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi batu saluran kemih sebesar 80/10.000
pasien rawat inap. Batu ginjal ditemukan 79 dari 89 pasien batu saluran kemih
tersebut. Tampaknya proporsi batu ginjal relatif stabil.

3.2.3 Etiologi
Terbentuknya batu pada saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik, yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu pengaruh
yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.
Faktor intrinsik itu antara lain adalah:
 Herediter(keturunan): penyakit ini diduga diturunkan dari orang
tuanya.
 Umur: penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
 Jenis kelamin: jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan.
Faktor ekstrinsik itu diantaranya adalah:
 Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
saluaran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal

28
sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di
Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
 Iklim dan temperatur
 Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih
 Diet: diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.
 Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaanya
banyak duduk atau kurang aktifitas atau sedentary life.

Klasifikasi Batu Saluran Kemih


Komposisi kimia yang terkandung dalam batu ginjal dan saluran kemih
dapat diketahui dengan menggunakan analisis kimia khusus untuk mengetahui
adanya kalsium, magnesium, amonium, karbonat, fosfat, asam urat oksalat, dan
sistin.
a. Batu kalsium
Kalsium adalah jenis batu yang paling banyak menyebabkan BSK yaitu
sekitar 70%-80% dari seluruh kasus BSK. Batu ini kadang-kadang di jumpai
dalam bentuk murni atau juga bisa dalam bentuk campuran, misalnya dengan batu
kalsium oksalat, batu kalsium fosfat atau campuran dari kedua unsur tersebut.
Terbentuknya batu tersebut diperkirakan terkait dengan kadar kalsium yang tinggi
di dalam urine atau darah dan akibat dari dehidrasi. Batu kalsium terdiri dari dua
tipe yang berbeda, yaitu:
 Whewellite (monohidrat) yaitu , batu berbentuk padat, warna cokat/ hitam
dengan konsentrasi asam oksalat yang tinggi pada air kemih.
 Kombinasi kalsium dan magnesium menjadi weddllite (dehidrat) yaitu
batu berwarna kuning, mudah hancur daripada whewellite.
b. Batu asam urat
Lebih kurang 5-10% penderita BSK dengan komposisi asam urat. Pasien
biasanya berusia > 60 tahun. Batu asam urat dibentuk hanya oleh asam urat.

29
Kegemukan, peminum alkohol, dan diet tinggi protein mempunyai peluang lebih
besar menderita penyakit BSK, karena keadaan tersebut dapat meningkatkan
ekskresi asam urat sehingga pH air kemih menjadi rendah. Ukuran batu asam urat
bervariasi mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar sehingga membentuk
staghorn (tanduk rusa). Batu asam urat ini adalah tipe batu yang dapat dipecah
dengan obat-obatan. Sebanyak 90% akan berhasil dengan terapi kemolisis.
c. Batu struvit (magnesium-amonium fosfat)
Batu struvit disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah
golongan kuman pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim
urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea
menjadi amoniak. Kuman yang termasuk pemecah urea di antaranya adalah :
Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas, dan
Staphiloccocus. Ditemukan sekitar 15-20% pada penderita BSK
Batu struvit lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Infeksi
saluran kemih terjadi karena tingginya konsentrasi ammonium dan pH air kemih
>7. Pada batu struvit volume air kemih yang banyak sangat penting untuk
membilas bakteri dan menurunkan supersaturasi dari fosfat.
d. Batu Sistin
Batu Sistin terjadi pada saat kehamilan, disebabkan karena gangguan
ginjal. Merupakan batu yang paling jarang dijumpai dengan frekuensi kejadian 1-
2%. Reabsorbsi asam amino, sistin, arginin, lysin dan ornithine berkurang,
pembentukan batu terjadi saat bayi. Disebabkan faktor keturunan dan pH urine
yang asam. Selain karena urine yang sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga
terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu sebelumnya atau pada individu
yang statis karena imobilitas. Memerlukan pengobatan seumur hidup, diet
mungkin menyebabkan pembentukan batu, pengenceran air kemih yang rendah
dan asupan protein hewani yang tinggi menaikkan ekskresi sistin dalam air kemih

3.2.4 Gejala – Gejala pada Vesikolithiasis

30
Batu buli-buli atau vesikolithiasis sering terjadi pada pasien yang
menderita gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi
terjadi pada pasien-pasien hiperplasia prostat, striktura uretra, divertikel buli-buli
atau buli-buli neurogenik. Kateter yang terpasang pada buli-buli pada waktu yang
lama, adanya benda asing lain yang secara tidak sengaja dimasukkan ke dalam
buli-buli seringkali manjadi inti untuk terbentuknya batu buli-buli. Selain itu batu
buli-buli dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang turun ke buli-buli.
Gejala khas batu buli-buli adalah berupa gejala berupa gejala iritasi antara
lain: nyeri kencing/disuria hingga stranguri, perasaan tidak enak sewaktu kencing,
dan kencing tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali dengan
perubahan posisi tubuh. Nyeri pada saat miksi seringkali dirasakan (refered pain)
pada ujung penis, skrotum, perineum, pinggang, sampai kaki. Pada anak sering
mengeluh adanya enuresis nokturna, di samping sering menarik-narik penisnya
(pada anak-anak laki-laki) atau menggosok-gosok vulva (pada anak perempuan).
Seringkali komposisi batu buli-buli terdiri atas asam urat atau struvit ( jika
penyebabnya adalah infeksi), sehingga tidak jarang pada pemeriksaan foto polos
abdomen tidak tampak sebagai bayangan opak pada kavum pelvis. Dalam hal ini
pemeriksaan IVU pada fase sistogram memberikan gambaran sebagai bayangan
negatif. USG dapat mendeteksi batu radiolusen pada buli-buli.

3.2.5 Penatalaksanaan
Non Farmakologi
Terapi ditujukan untuk batu yang berukuran lebih kecil yaitu dengan
diameter kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar tanpa intervensi
medis. Dengan cara mempertahankan keenceran urine dan diet makanan tertentu
yang dapat merupakan bahan utama pembentuk batu ( misalnya kalsium) yang
efektif mencegah pembentukan batu atau lebih jauh meningkatkan ukuran batu
yang telah ada. Setiap pasien batu saluran kemih khususnya vesikolithiasis harus
minum paling sedikit 8 gelas air sehari.

Farmakologi

31
Analgesia dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan agar
batu dapat keluar sendiri secara spontan. Opioid seperti injeksi morfin sulfat yaitu
petidin hidroklorida atau obat anti inflamasi nonsteroid seperti ketorolac dan
naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri. Pemberian antibiotik
apabila terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu untuk
mencegah infeksi sekunder. Setelah batu dikeluarkan, vesiokolithiasis dapat
dianalisis untuk mengetahui komposisi dan obat tertentu dapat diresepkan untuk
mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya.

Tindakan Operasi
Penanganan vesikulolithiasis, biasanya terlebih dahulu diusahakan untuk
mengeluarkan batu secara spontan tanpa pembedahan/operasi. Tindakan bedah
dilakukan jika batu tidak merespon terhadap bentuk penanganan lainnya. Batu
buli-buli dapat dipecahkan dengan litotripsi ataupun jika terlalu besar memerlukan
pembedahan terbuka yaitu Vesikolitotomi merupakan operasi terbuka untuk
mengambil batu yang berada di vesica urinaria.

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi
 Dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi batu.
 Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui batu radiolusen dan
dilatasi sistem kolektikus. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah kesulitan
untuk membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen.
b. Pemeriksaan radiografi
Foto abdomen biasa:
 Dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi
 Membedakan batu kalsifikasi
 Densitas tinggi: kalsium oksalat dan kalsium fosfat.
 Densitas rendah: struvite, sistein dan campuran keduanya
 Indikasi dilakukan uji kualitatif sistein pada pasien muda.

32
Keterbatasan pemeriksaaan foto sinar tembus abdomen adalah tidak dapat
untuk menentukan batu radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup bayangan
struktur ttulang. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan batu dalam ginjal
dan batu luar ginjal.
c. Urogram
 Deteksi batu radiolusen sebagai defek pengisian (filling) (batu asam urat,
xantin, 2,8-dihidroksiadenin ammonium urat)
 Menunjukkan lokasi batu dalam sistem kolektikus.
 Menunjukkan kelainan anatomis.
d. Ct-scan helikal dan kontras
e. Investigasi biokimiawi
 Pemeriksaan laboratorium rutin, sampel dan air kemih. Pemeriksaan pH,
berat jenis air kemih, sedimen air kemih untuk menentukkan hematuri,
leukosituria, dan kristaluria. Pemeriksaan kultur kuman penting untuk
adanya infeksi saluran kemih. Apalagi batu keluar, diperlukan pencarian
faktor risiko dan mekanisme timbulnya batu.

33
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, Pasien Ny. EM umur 32
tahun datang ke IGD RSUAM pada tanggal 09 Juli 2018 dengan mual dan sakit
pinggang tembus kebelakang serta tidak bisa BAK sekitar 2 minggu SMRS.
Diagnosa masuk dan diagnosa kerja pasien ini adalah Akut Kidney Injury dengan
vesikolitiasis. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

Anamnesis
Teori Kasus
Akut kidney injury
 Penurunan fungsi ginjal secara
 BAK sedikit
tiba-tiba hitungan hari atau
minggu

Vesikolitiasis
 Usia paling sering didapatkan pada
30-50 tahun.
 laki-laki : perempuan 3:1

 Usia pasien 32 thn


 Asupan air yang kurang dan  Perempuan
tingginya kadar mineral kalsium  Kurang asupan air

pada air yang dikonsumsi


 sering dijumpai pada orang yang
pekerjaanya banyak duduk atau
kurang aktifitas atau sedentary life.

Berdasarkan literatur, Akut kidney injury pada pasien ini didasarkan pada
riwayat buang air kecil yang terganggu. Keadaan ini dialami pasien dalam 2
minggu ini yang mengindikasikan penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat
(akut)
Untuk vesikolitiasis pada pasien ini didasarkan pada jenis kelamin pasien
yang seorang perempuan, usia pasien 32 tahun, tinggal di Indonesia yang
termasuk dalam daerah stone belt, pasien mengaku asupan air yang dia minum
kurang sekali.

Pemeriksaan fisik
Teori Kasus
Akut Kidney Injury
o Penurunan UO o Urin output (-)
o Tanda disesuaikan menurut o Nyeri pinggang sebelah kiri tembus
penyebab akut kidney injury kebelakang
dimana pada pascarenal terjadi
nyeri pinggang yang menandakan
adanya obstruksi
Vesikolitiasis
 Nyeri pada ujung penis, skrotum,  Nyeri pinggang sebelah kiri
perineum, pinggang. tembus kebelakang
Fakta dan teori sesuai

Pemeriksaan fisik pada pasien ini ditemukan tanda-tanda akut kidney


injury pascarenal berupa adanya obstruksi pada saluran kemih yang dilihat dari
produksi urin output yang tidak ada sama sekali serta adanya nyeri pinggang yang
tembus ke belakang. Hasil pemeriksaan yang menandakan adanya obstruksi
tersebut menunjukan bahwa pada pasien ini juga ditemukan tanda-tanda
vesikolitiasis.

Pemeriksaan penunjang
Teori
Kasus

Akut Kidney Injury Kimia Darah (11 Juli 2018)


o Peningkatan ureum dan creatinin
o Ureum 176 mg/dl
plasma

35
o Gangguan keseimbangan cairan dan o Creatinin 4.39 mg/dl
o Natrium 130 mmol/L
elektrolit
o Kalium 2,7 mmol/L
o Chlorida 98mmol/L
Vesikolitiasis
o USG abdomen
 Ditemukan gambaran batu di buli-
buli
Fakta dan teori sesuai

Pemeriksaan penunjang pada pasien ini sesuai dengan literatur.


Berdasarkan literatur, dimana terjadinya peningkatan kadar kreatinin (Cr) serum
atau penurunan LFG atau penurunan urine output (UO) merupakan penanda
sensitif untuk AKI. Selain itu, adanya ketidakseimbangan elektrolit seperti
hiperkalemia merupakan salah satu bentuk dari komplikasi AKI. Pada
veskolitiasis pemeriksaan USG mampu menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi
batu. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mengetahui batu radiolusen dan
dilatasi sistem kolektikus.

Penatalaksanaan
Teori Kasus
Akut Kidney Injury pascarenal
(vesikolitiasis)
o KIE keluarga untuk
o Terapi AKI tergantung pada jenis
Hemodialisa
dari AKI serta tahap AKI yang
o Terapi hiperkalemia: Ca
dialami.
o Pengelolaan AKI postrenal adalah Glukonas 1 amp/jam dan D 40%
sebanyak 3x
tindakan pembedahan untuk dapat
o IVFD Nacl 0,9% 30 tpm
menhilangkan obstruksinya. o Vesikolitotomi
o diperlukan persiapan tindakan
dialisis terlebih dahulu.
o Pencegahan dan koreksi dari
elektrolit darah ketika terjadi
ketidakseimbangan elektrolit
Vesikolitiasis

36
o Analgesik o Paracetamol tab 3x 500 mg
o Operatif o Inj. Tramadol 2 x 1
o Vesikolitotomi
Fakta dan teori sesuai
Penatalaksanaan pada pasein ini adalah untuk menghilangkan obstrusi
yang menyebabkan terjadinya AKI pascarenal yaitu vesikolitiasinya dan
memperbaiki keseimbangan elektrolit serta cairan pasien dan menangani
komplikasi yang terjadi. Batasi makanan yang mengandung kalium dan fosfat
(pisang, jeruk dan kopi).Pemberian garam dibatasi yaitu, 0,5 gram per hari.
Untuk vesikolitiasis pada pasien ini tatalaksana yang dilakukan berupa
terapi penghilang nyeri serta terapi operatif untuk mengangkat batu yang ada.

37
BAB 5

KESIMPULAN

51. Kesimpulan

1. Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
2. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang
selain menggambarkan berat penyakit juga dapat menggambarkan
prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi pengganti ginjal.
3. Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit, dan
komplikasi AKI mutlak diperlukan.
4. Tata laksana AKI mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan
penurunan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta tata
laksana komplikasi.

5.2 Saran
Perlunya untuk dilakukan pemeriksaan secara holistik pada pasien ini agar
tatalaksana pada pasien ini lebih disesuaikan dengan kondisi masing-masing
pasien. Dan mengingat masih banyaknya kekurangan atas penyusunan laporan
kasus ini, diharapkan sekali kepada rekan-rekan sekalian atas kritik dan saran
yang membangun demi bertambahnya khasanah ilmu pengetahuan kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN


criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial
Transplant. 2008;23:1569-74.
2. Basuki B Purnomo, Dasar-dasar Urologi, ( Jakarta:2003)
3. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle
of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi V. Hal: 1025
5. Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk
menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal
Hipertensi. 2007;7(1):18-24.
6. Roesli RMA, Martakusumah AH, Suryanto. Terapi dialisis pada penderita
sakit kritis dengan gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):12-17.
7. Roesli RMA. Pengelolaan konservatif (suportif). Dalam Roesli RMA,
Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan
ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.79-96.
8. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions,
diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest. 2004;114:5-14.
9. Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course
and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.
10. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification:
time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.
11. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.
Acute kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in
acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31.
12. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of
acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:844-861.
13. Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol.
2000;16:175.

40

Anda mungkin juga menyukai