Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Space Occupying Lession (SOL) merupakan lesi yang meluas atau menempati ruang
dalam otak termasuk tumor, hematoma, abses, maupun tuberkuloma. Karena kranium
merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi ini akan
meningkatkan tekanan intrakranial. Suatu lesi yang meluas pertama kali diakomodasi dengan
cara mengeluarkan cairan serebrospinal (CSS) dari rongga kranium. Akhirnya vena
mengalami kompresi dan gangguan sirkulasi darah otak dan cairan serebrospinal mulai
timbul dan tekanan intrakranial mulai meningkat. Kongestivenosa menimbulkan peningkatan
produksi dan penurunan absorpsi cairan serebrospinal dan meningkatkan volume kemudian
terjadi kembali hal-hal seperti diatas.

Arti dari kata vaskulitis sendiri adalah suatu proses inflamasi pembuluh darah.
Disebut vaskulitis primer bila kumpulan gejala (sindrom) yan ditemukan tidak diketahui
penyebabnya dan ini merupakan kelompok terbanyak, sedangkan vaskulitis sekunder
penyebabnya dapat diketahui, misal oleh karena infeksi, virus, tumor, penyakit kolagen dan
kerusakan pembuluh darah akibat obat, bahan kimia atau radiasi. Vaskulitis TB termasuk
vaskulitis sekunder yang berhubungan dengan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Sepertiga dari populasi dunia terinfeksi dengan tuberkulosis
laten, dengan risiko 10% mengalami bentuk aktif dari tuberkulosis sepanjang hidupnya.
Diperkirakan 9,6 juta kasus tuberkulosis terjadi di seluruh dunia sepanjang tahun 2014,
dengan angka kematian mencapai 1,5 juta jiwa. Indonesia merupakan negara dengan jumlah
kasus tuberkulosis tertinggi kedua setelah India dengan jumlah kasus 10% dari total kasus di
seluruh dunia.

Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan angka insidensi


tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 395 kasus per 100.000 jiwa. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 10% kasus merupakan infeksi oportunistik dari infeksi
HIV. Tingkat kematian akibat penyakit ini sekitar 40 dari 100.000 jiwa.

Meningitis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan cairan
serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid di
sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel. Meningitis tuberkulosis merupakan
bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan neurologis yang mencapai 70-80%

1
dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis, 5,2% dari seluruh tuberkulosis ekstrapulmoner
dan 0,7% dari seluruh kasus tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat,
penyakit ini masih memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai
50%, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun.

Pasien dengan meningitis tuberkulosis akan mengalami tanda dan gejala meningitis
yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun tanda rangsang
meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit. Durasi gejala sebelum
ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Namun
pada beberapa kondisi, meningitis tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit
yang berat, dengan penurunan kesadaran, palsi nervus kranial, parese dan kejang. Beratnya
gejala dan risiko kematian yang tinggi akibat meningitis tuberkulosis mendorong perlunya
pengetahuan mengenai tatalaksana yang adekuat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SPACE OCCUPYING LESION (SOL)

2.1.1. DEFINISI

Space Occupying Lession (SOL) merupakan masalah tentang adanya lesi pada
ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat
menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses otak dan
tumor intrakranial.

Space Occupying Lession (SOL) merupakan lesi yang meluas atau mempunyai
ruang dalam otak termasuk tumor, hematoma dan abses. Karena cranium merupakan
tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi ini akan meningkatkan
tekanan intrakranial.

Tekanan intrakranial adalah tekanan dalam ruang tengkorak. Dimana ruang


tengkorak terdiri atas (2-10%), cairan serebrospinal (9-11%) dan jaringan otak (88%).

Peningkatan tekanan intrakranial adalah suatu peningkatan diatas normal dari


tekanan cairan serebrospinal di dalam ruang subaraknoid. Normalnya tekanan
intrakranial adalah 80-180 mm air atau 0-15 mmHg.

2.1.2. ETIOLOGI

Penyebab peningkatan tekanan intrakranial yaitu:

1. Space occupying lession yang meningkatkan volume jaringan:


a. Kontusio serebri
Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami
memar, dengan kemungkinan adanya daerah yang mengalami perdarahan. Pasien
berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul dan lebih khas.
Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernapasan dangkal,
kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien
dapat diusahakan untuk bangun tetapi segera masuk kembali ke dalam keadaan
tidak sadar. Tekanan darah dan suhu subnormal dan gambaran sama dengan syok.
Umumnya, individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik

3
abnormal, gerakan mata abnormal dan peningkatan intrakranial memunyai
prognosis buruk. Sebaliknya, pasien dapat mengalami pemulihan kesadaran
komplet dan mungkin melewati tahap rangsang serebral.
b. Hematoma
Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah kranium adalah
akibat paling serius dari cidera kepala. Hematoma disebut sebagai epidural,
subdural, atau intraserebral, bergantung pada lokasinya. Efek utama adalah
seringkali lambat sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan
distorsi dan herniasi otak serta peningkatan tekanan intrakranial.
c. Infark
Infark serebral adalah iskemik jenis stroke karena gangguan di pembuluh darah
yang menyuplai darah ke otak. Sebuah infark otak terjadi bila pembuluh darah
yang memasok bagian dari otak tersumbat atau kebocoran terjadi di luar dinding
pembuluh.
d. Abses
Abses otak merupakan kumpulan dari unsur-unsur infeksius dalam jaringan otak.
Ini dapat terjadi melalui invasi otak langsung dari trauma intrakranial atau
pembedahan; melalui penyebaran infeksi dari daerah lain seperti sinus, telinga dan
gigi (infeksi sinus paranasal, otitis media); atau melalui penyebaran infeksi
melalui penyebaran infeksi dari organ lain (abses paru-paru, endokarditis infektif);
dan dapat menjadi komplikasi yang berhubungan dengan beberapa bentuk
meningitis. Abses otak merupakan komplikasi yang dikaitkan dengan beberapa
bentuk meningitis. Abses otak adalah komplikasi yang meningkat pada pasien
yang sistem imunnya disupresi baik karena terapi atau penyakit. Untuk mencegah
abses otak maka perlu dilakukan pengobatan yang tepat pada otitis media,
mastoiditis, sinusitis, infeksi gigi dan infeksi sistemik.
e. Tumor Intrakranial
Tumor intrakranial meliputi lesi desak ruang jinak maupun ganas yang tumbuh di
otak, meningen, dan tengkorak. Tumor intrakranial datang dengan berbagai gejala
yang membingungkan, oleh karena itu penegakkan diagnosis menjadi sukar.
Tumor intrakranial dapat terjadi pada semua umur, tidak jarang menyerang anak-
anak dibawah usia 10 tahun, tetapi paling sering terjadi pada orang dewasa usia
50-an dan 60-an.

4
Klasifikasi tumor saraf pusat oleh World Health Organization (WHO), yaitu:
A. Tumor neuroepitelial
 Tumor glial
a. Astrositoma
- Astrositoma pilositik
- Astrositoma difus
- Astrositoma anaplastik
- Glioblastoma
- Xantoastrositoma pleomorfik
- Astrositoma subependimal sel raksasa
b. Tumor oligodendroglial
- Oligodendroglioma
- Oligodendroglioma anaplastik
c. Glioma campuran (mixed glioma)
- Oligoastrositoma
- Oligoastrositoma anaplastik
d. Tumor ependimal
- Ependimoma myxopapilari
- Subependimoma
- Ependimoma
- Ependimoma anaplastik
e. Tumor neuroepitelial lainnya
- Astroblastoma
- Glioma koroid dari ventrikel III
- Gliomatosis serebri
 Tumor neuronal dan campuran neuronal-glial
a. Gangliositoma
b. Ganglioglioma
c. Atrositoma desmoplastik infantil
d. Tumor disembrioplastik neuroepitelial
e. Neurositoma sentral
f. Liponeurositoma serebelar
g. Paraganglioma

5
 Tumor non-glial
a. Tumor embrional
- Ependimoblastoma
- Meduloblastoma
- Tumor neuroektodermal supratentorial
b. Tumor pleksus khoroideus
- Papiloma pleksus khoroideus
- Karsinoma pleksus khoroideus
c. Tumor parenkim pineal
- Pineoblastoma
- Pineositoma
- Tumor parenkim pineal dengan diferensiasi intermediet
B. Tumor meningeal
 Meningioma
 Hemangoperisitoma
 Lesi melanositik
C. Tumor germ cell
 Germinoma
 Karsinoma embrional
 Tumor sinus endodermal (yolk sac)
 Khoriokarsinoma
 Teratoma
 Tumor germ cell campuran
D. Tumor sella
 Adenoma hipofisis
 Karsinoma hipofisis
 Kraniofaringioma
E. Tumor dengan histogenesis yang tidak jelas
 Hemangioblastoma kapiler
F. Limfoma sistem saraf pusat primer
G. Tumor nervus perifer yang mempengaruhi SSP
H. Tumor metastasis

6
2. Masalah serebral:
 Peningkatan produksi cairan serebrospinal
 Bendungan sistem ventrikular
 Menurun absorbsi cairan serebrospinal
3. Edema serebral:
 Penggunaan zat kontras yang merubah homeostatis otak
 Hidrasi yang berlebihan dengan mwnggunakan larutan hipertonik
 Pengaruh trauma kepala

2.1.3. PATOFISIOLOGI

Peningkatan tekanan intrakranial adalah suatu mekanisme yang diakibatkan oleh


beberapa kondisi neurologi. Ini sering terjadi secara tiba-tiba dan memerlukan intervensi
pembedahan.

Isi dari kranium adalah jaringan otak, pembuluh darah dan cairan serebrospinal.
Bila terjadi peningkatan dari isi kranium mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial, sebab ruang kranium keras, tertutup, tidak bisa berkembang.

Peningkatan satu dari beberapa isi kranium biasanya disertai dengan pertukaran
timbal balik dalam satu volume yang satu dengan yang lain. Jaringan otak tidak dapat
berkembang, tanpa berpengaruh serius pada aliran dan jumlah cairan serebrospinal dan
sirkulasi serebral. Space occupying lession (SOL) menggantikan dan merubah jaringan
otak sebagai suatu peningkatan tekanan. Peningkatan tekanan dapat secara lambat
(sehari/minggu) atau secara cepat, hal ini tergantung pada penyebabnya. Pada pertama
kali satu hemisphere dari otak akan dipengaruhi, tetapi pada akhirnya kedua hemisphere
akan dipengaruhi.

Peningkatan tekanan intrakranial dalam ruang kranium pada pertama kali dapat
dikompensasi dengan menekan vena dan pemindahan cairan serebrospinal. Bila tekanan
makin lama makin meningkat, aliran darah ke serebral akan menurun dan perfusi
menjadi tidak adekuat, maka akan meningkatkan PCO2 dan menurunkan PO2 dan pH.
Hal ini akan menyebabkan vasodilatasi dan edema serebri. Edema lebih lanjut akan
meningkatkan tekanan intrakranial yang lebih berat dan akan menyebabkan kompresi
jaringan saraf.

7
Pada saat tekanan melampaui kemampuan otak untuk berkompensasi, maka untuk
meringankan tekanan, otak memindahkan ke bagian kaudal atau herniasi ke bawah.
Sebagian akibat dari herniasi, batang otak akan terkena pada berbagai tingkat, yang mana
penekanannya bisa mengenai pusat vasomotor, arteri serebral posterior, saraf
okulomotorik, traktus kortikospinal dan serabut-serabut saraf ascending reticular
activating system. Akibatnya akan mengganggu mekanisme kesadaran, pengaturan
tekanan darah, denyut nadi, pernafasan dan temperatur tubuh.

2.1.4. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinik umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial, meliputi:

a. Nyeri kepala
Nyeri bersifat dalam, terus menerus, tumpul dan kadang-kadang bersifat hebat
sekali, biasanya paling hebat pada pagi hari dan diperberat saat beraktivitas yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, yaitu batuk, membungkung, dan
mengejan.
b. Nausea atau muntah
Muntah yang memancar (projectil vomiting) biasanya menyertai peningkatan
tekanan intrakranial.
c. Papil edema
Titik buta dari retina merupakan ukuran dan bentuk dari papilla optik atau diskus
optik. Karena tekanan intrakranial meningkat, tekanan ditransmisi ke mata melalui
cairan serebrospinal sampai ke diskus optik. Karena meningens memberi refleks
kepada seputar bola mata, memungkinkan transmisi tekanan melalui ruang-ruang
oleh cairan serebrospinal. Karena diskus mata membengkak retina menjadi tertekan
juga. Retina yang rusak tidak dapat mendeteksi sinar.
d. False localizing signs dan tanda lateralisasi
False localizing signs ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi tumor yang
sebenarnya. Sering disebabkan karena peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran
dan struktur-struktur intrakranial atau iskemik. Lesi pada salah satu kompartemen
otak dapat menginduksi pergeseran dan kompresi di bagian otak yang jauh dari lesi
primer. Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai
dengan fungsi area yang ditempatinya. Tanda-tanda tersebut adalah:

8
- Kelumpuhan saraf otak. Karena desakan tumor, saraf dapat tertarik atau tertekan.
Desakan itu tidak harus langsung terhadap saraf otak. Saraf yang terkena tidak
langsung adalah saraf III dan IV.
- Refleks patologis yang positif pada kedua sisi, dapat ditemukan pada tumor yang
terdapat di dalam salah satu hemisferium saja.
- Gangguan mental.
- Gangguan endokrin dapat juga timbul SOL di daerah hipofise
Manifestasi lokal terjadi pada tumor yang menyebabkan destruksi parenkim,
infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor
(contohnya: peroksidase, ion hidrogen, enzim proteolitik dan sitokin), semuanya
dapat menyebabkan disfungsi fokal yang reversibel.
a). Tumor Lobus Frontal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti
paralisis.
b). Tumor Lobus Temporalis
Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial
kompleks.
c) Lobus Parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori, kortikal hemianoksi homonim.
d). Tumor Lobus Oksipital
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonim yang
kongruen
e). Tumor pada ventrikel III
Tumor didalam atau yang dekat dengan ventrikel III menghambat ventrikel
atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus
f). Tumor batang otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang,
nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas
g). Tumor serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala dibagian oksiput merupakan gejala yang
sering ditemukan pada tumor serebellar

9
h). Tumor hipotalamus
Gangguan perkembangan seksual pada anak-anak, gangguan cairan
serebrospinal.
i). Tumor fosa posterior
Gangguan berjalan, nyeri kepala dan muntah disertai dengan nistagmus

2.1.5. DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan


fisik neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis kita dapat
mengetahui gejala-gejala yang dirasakan seperti ada tidaknya nyeri kepala, muntah, dan
kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik ditemukan adanya gejala seperti
edema papil dan defisit lapangan pandang.

Perubahan tanda vital pada kasus SOL intrakranial meliputi:

a). Denyut nadi

Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan TIK. Bradikardi
merupakan mekanisme yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan
mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada mekanisme refleks vagal yang terdapat di
medulla.

b). Pernapasan

Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada batang otak
pada pasien dewasa, perubahan pernapasan ini normalnya akan diikuti dengan
penurunan level dari kesadaran. Perubahan pola pernapasan adalah hasil dari tekanan
langsung pada batang otak

c). Tekanan darah

Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan
tekanan intrakranial. Dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, tekanan
darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi, sehingga terjadi penurunan
dari denyut nadi disertai dengan perubahan pola pernapasan. Apabila kondisi ini terus
berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun.

10
d). Suhu tubuh

Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan TIK, suhu tubuh akan tetap stabil.
Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningkatan suhu tubuh akan muncul
akibat dari disfungsi hipotalamus atau edema pada traktus yang menghubungkannya.

e). Reaksi pupil

Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil yang lebih
lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan penekanan
pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau lesi pada otak.

Nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap sebagai karakteristik
peningkatan TIK. Demikian juga, dua pertiga pasien SOL memiliki semua gambaran
tersebut. Walau demikian, tidak satupun dari ketiganya khas untuk peningkatan tekanan,
kecuali edema papil, banyak penyebab lain yang menyebabkan masing-masing berdiri
sendiri dan bila mereka timbul bersama akan memperkuat dugaan adanya peningkatan
TIK.

2.1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1). CT-Scan Kepala

CT-Scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien yang
diduga menderita tumor otak. CT-Scan merupakan pemeriksaan paling mudah,
sederhana, non invasif, dan waktu pemeriksaan lebih singkat. Ketika kita
menggunakan CT-Scan dengan kontras, kita dapat mendeteksi tumor yang ada. CT-
Scan tidak hanya dapat mendeteksi tumor, tetapi dapat menunjukkan jenis tumor apa,
karena setiap tumor intrakranial menunjukkan gambar yang berbeda pada CT-Scan.

a. Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal
berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor otak
dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah.
Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan
sekitarnya karena sifatnya hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih
nyata bila pada waktu pemeriksaan CT-Scan disertai dengan pemberian zat
kontras. Kekurangan CT-Scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa tumor

11
yang kecil, massa yang berdekatan dengan stuktur tulang kranium, maupun massa
di batang otak
b. Pada subdural akut CT-Scan kepala (non-kontras) tampak sebagai suatu massa
hiperdens (putih) ekstra-aksial benbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam
(inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak didaerah
parietal.terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit didaerah bagian atas tentorium
serebeli. Perdarahan subdural yang sedikit (smal SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT
window width. Pergeseran garis tengah (middle shift) akan tampak pada perdarahan
subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada middle shift harus
dicurigai adanya massa kontralateral dan bila middle shift hebat harus dicurigai
adanya edema serebral yang mendasarinya.
c. Pada fase akut subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit
dinilai pada gambaran CT-Scan, oleh karena itu pemeriksaan CT-Scan dengan
kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam
waktu 48-72 jam setelah trauma. Pada pemeriksaan CT-Scan dengan kontras,vena-
vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural
hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural akut sering juga berbentuk lensa
(bikonveks) sehingga dalam membedakannya dengan epidural hematoma.
d. Pada fase kronik lesi subdural pada gambaran CT-Scan tanpa kontras menjadi
hipodens dan snagat mudah dilihat. Bila pada CT-Scan kepala telah ditemukan
perdarahan subdural, sangat penting untuk memeriksa kemungkinan adanya lesi
lain yang berhubungan seperti fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan
perdarahan subarakhnoid.
e. Pada abses, CT-Scan dapat digunakan sebagai pemandu untuk dilakukannya
biopsi. Biopsi aspirasi abses ini dilakukan untuk keperluan diagnostik maupun
terapi.
2). MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik terutama untuk mendeteksi tumor
yang berukura kecil maupun tumor yang berada di basis kranium, batang otak dan di
fossa posterior. MRI juga lebih baik dalam memberikan gambaran lesi perdarahan,
kistik, atau massa padat tumor intrakranial.

12
3). Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk menemukan
kelainan dalam tubuh. Kelainan sistemik biasanya jarang terjadi, walaupun terkadang
pada abses otak sedikit peningkatan leukosit.
4). Foto Thoraks
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor dibagian tubuh lain, terutam paru
yang merupakan tempat tersering untuk terjadinya metastasis primer paru.
5). Analisa Gas Darah
Untuk mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
6). Angiography
Angiography tidak selalu dilakukan, tetapi pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk
beberapa jenis tumor. Pemeriksaan ini membantu ahli bedah untuk mengetahui
pembuluh darah mana saja yang mensuplai area tumor, terutama apabila terlibat
pembuluh darah besar. Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama untuk tumor yang
tumbuh ke bagian sangat dalam dari otak.

2.1.7. PENATALAKSANAAN

1. Pembedahan

Jika hasil CT-Scan didapati adanya tumor, dapat dilakukan pembedahan. Adanya
pembedahan total dan parsial, hal ini tergantung jenis tumornya. Pada subdura
hematoma, operasi dekompresi harus segera dilakukan jika terdapat subdural
hematoma akut dengan middle shift > 5 mm. Operasi ini juga direkomendasikan pada
subdural hematoma akut dengan ketebalan > 1 cm.

2. Radioterapi

Ada beberapa jenis tumor yang sensitif terhadap radioterapi, seperti low grade glioma.
Selain itu radioterapi juga digunakan sebagai lanjutan terapidari pembedahan parsial.

3. Kemoterapi
Terapi utama jenis limpoma adalah kemoterapi. Tetapi untuk oligodendroglioma dan
beberapa astroeytoma yang berat, kemoterapi hanya digunakan sebagai terapi
tambahan.

13
4. Antikolvusan
Mengontrol kejang merupakan bagian terapi yang penting pada pasien dengan gejala
klinis kejang. Pasien SOL sering mengalami peningkatan tekanan intrakranial, yang
salah satu gejala klinis yang sering terjadi adalah kejang. Phenytoin adalah yang
paling umum digunakan. Selain itu dapat juga digunakan Carbamazepine,
Phenobarbital, dan Asam Valproat.
5. Antibiotik
Jika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka antibiotik merupakan salah
satu terapi yanag harus diberikan. Berikan antibiotik intravena, sesuai kultur ataupun
sesuai data empiris yang ada. Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau lebih, hal ini
disesuaikan dengan hasil pencitraan, apakah ukuran abses sudah berkurang atau
belum. Carbapenem, Fluorokuinolon, Aztreonam memilikipenetrasi yang bagus ke
sistem saraf pusat, tetapi harus memperhatikan dosis yang diberikan (tergantung berat
badan dan fungsi ginjal) untuk mencegah toksisitas.
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangi tekanan intrakranial.
Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone adalah kortikosteroid
yang dipilih karena aktivitas mineralkortikoid yang minimal. Dosisnya dapat diberkan
mulai dari dosis minimal, tetapi dosisnya dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk
mencapai dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol gejala neurologik.
7. Head up 30-45o
Berfungsi untuk mengoptimalkan venous return dari kepala, sehingga akan membantu
mengurangi TIK.
8. Menghindari terjadinya hiperkapnia
PaCO2 harus dipertahankan dibawah 40 mmHg, karena hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otak sehingga terjadi
peningkatan TIK, dengan cara hiperventilasi ringan disertai dengan analisa gas darah
untuk menghindari global iskemia pada otak.
9. Diuretika Osmosis
Manitol 20% diberikan cepat dalam 30-60 menit untuk membantu mengurangi
peningkatan tekanan intrakranial dan dapat mencegah edema serebri.

14
2.1.8. KOMPLIKASI

1. Gangguan fungsi neurologis


2. Gangguan kognitif
3. Gangguan tidur dan mood

2.1.9. PROGNOSIS

SOL intrakranial tergantung pada penyebabnya. Berdasarkan data di negara-negara


maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan
dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahan hidup 5 tahun berkisra 50-60% dan angka
ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40%. Terapi SOL yang disebabkan oleh tumor
intrakranial di Indonesia secara umum prognosisnya masih buruk, berdasarkan tindakan
operatif yang dilakukan pada beberapa rumah sakit di Jakarta.

2.2 VASKULITIS TUBERKULOSIS (TB)

2.2.1 DEFINISI

Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang ditandai adanya
proses inflamasi dan nekrosis dinding pembuluh darah. Pembuluh darah yang terkena
dapat arteri atau vena dengan berbagai ukuran.

2.1.2. ETIOLOGI

Vaskulitis TB termasuk vaskulitis sekunder yang berhubungan dengan penyakit


infeksi yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis.

2.1.3. PATOFISIOLOGI

Pada tahap awal, bakteremia membawa basil tuberkulosis ke sirkulasi serebral dan
menyebabkan terbentuknya lesi primer tuberkulosis di otak yang dapat mengalami
dorman dalam waktu lama. Pada tahap kedua, meningitis tuberkulosis terjadi akibat
pelepasan basil Mycobacterium tuberculosis ke dalam ruang meningen dari lesi
subependimal atau subpial (terutama di fisura Sylvii). Proses patologi yang
menyebabkan defisit neurologis pada meningitis tuberkulosis adalah (1) eksudat dapat
menyebabkan obstruksi aliran CSS sehingga terjadi hidrosefalus, (2) granuloma dapat
bergabung membentuk tuberkuloma atau abses sehingga terjadi defisit neurologis fokal,
dan (3) vaskulitis obliteratif yang dapat menyebabkan infark dan sindrom stroke.

15
2.1.4. MANIFESTASI KLINIS

Sebagian besar pasien meningitis tuberkulosis memiliki riwayat sakit kepala


dengan keluhan tidak khas selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala iritasi
meningeal. Gejala nonspesifik ini meliputi malaise, anoreksia, rasa lelah, demam,
mialgia dan sakit kepala. Pada dewasa biasanya terdapat gejala klasik meningitis, yaitu
demam, sakit kepala dan kaku kuduk yang disertai defisit neurologis fokal, perubahan
perilaku dan penurunan kesadaran.

2.1.5. DIAGNOSIS

Diagnosis pasti meningitis ditegakkan melalui analisis, pewarnaan dan kultur


cairan serebrospinal (CSS). Pada prinsipnya, prosedur pengambilan sampel cairan
serebrospinal melalui pungsi lumbal sebaiknya dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis. Kelainan CSS klasik pada meningitis tuberkulosis adalah
sebagai berikut: (1) peningkatan tekanan lumbal; (2) peningkatan jumlah hitung leukosit
antara 10-500 sel/mm3 dengan dominan limfosit; (3) peningkatan konsentrasi protein
berkisar 100-500 mg/dl; (4) penurunan konsentrasi glukosa (konsentrasi glukosa rata-rata
sekitar 40 mg/dl); dan (5) kultur positif Mycobacterium tuberculosis pada 75% pasien
setelah 3-6 minggu biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
dengan teknik PCR dan diagnostik molekular lainnya. Sensitivitas teknik PCR untuk
deteksi DNA Mycobacterium tuberculosis dalam CSS sekitar 54%, namun hasil positif-
palsu juga dapat terjadi sekitar 3-20% kasus.

2.1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto toraks yang menunjukkan tuberkulosis paru ditemukan pada 30-50% dari
seluruh pasien. Pemeriksaan rontgen juga mendukung kecurigaan ini dengan kesan
tuberkulosis paru lesi luas. Oleh karena itu, pasien dalam kasus ini diduga mengalami
tuberkulosis ekstrapulmoner yaitu meningitis tuberkulosis derajat 3 sebagai penyebaran
dari tuberkulosis paru primer (yang telah didiagnosis berdasarkan klinis). Definisi kasus
tuberkulosis diagnosis klinis adalah kasus tuberkulosis yang tidak dapat memenuhi
kriteria konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan maksimal tetapi ditegakkan
diagnosis tuberkulosis aktif oleh klinisi yang memutuskan untuk memberikan
pengobatan tuberkulosis berdasarkan foto toraks abnormal, histologi sugestif dan kasus
ekstra paru.

16
Pemeriksaan radiologi berupa CT-Scan tidak selalu spesifik menggambarkan
adanya kelainan pada meningitis tuberkulosis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh
eksudat isodens atau hiperdens ringan sebagai temuan yang paling umum ditemukan.
Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI, khususnya MRI
dengan kontras yang menunjukkan penebalan leptomeningeal dan eksudat sisterna.
Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi meningitis
tuberkulosis adalah komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu hidrosefalus, vaskulitis,
infark dan neuropati kranial.

2.1.7. PENATALAKSANAAN

Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan basil tahan asam melalui
apusan atau kultur, baik dari sputum, darah maupun CSS. Hal ini karena bahkan
pemeriksaan terbaik sekalipun mungkin tidak dapat menemukan basil tuberkulosis pada
pasien meningitis tuberkulosis, infeksi HIV dan anak kecil. Oleh karena itu, pada kondisi
seperti ini atau pada pasien dengan sakit berat dimana dicurigai tuberkulosis, maka
penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian terapi empiris sembari
menunggu hasil akhir pemeriksaan seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau
bahkan ketika hasil pemeriksaan negatif.

Tuberkulosis paru dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis


yang sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase
intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis
selama minimal 9 hingga 12 bulan. WHO dan PDPI mengklasifikasikan meningitis
tuberkulosis (tuberkulosis ekstraparu, kasus berat) ke dalam kategori I terapi
tuberkulosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus
meningitis tuberkulosis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada
pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan streptomisin
merupakan tatalaksana tepat karena tuberkulosis dengan kondisi berat atau
mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin. Pada dewasa, dosis obat harian OAT
adalah isoniazid 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari; rifampisin 10 mg/kgBB,
maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 25 mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol
15 mg/kgBB, maksimum 1.600 mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB. Dosis
kortikosteroid antara lain deksametason 0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB.

17
Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 mg/kgBB, maksimum
300 mg/hari; rifampisin 15 mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid
35 mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 20 mg/kgBB, maksimum
1.000 mg/hari. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,6 mg/kgBB atau
prednison 2-4 mg/kgBB. Pemberian deksametason intravena (kortikosteroid) pada pasien
ini terbukti memperbaiki klinis pasien. Hal ini terlihat pada peningkatan kesadaran
pasien setiap harinya. Peran kortikosteroid pada terapi meningitis tuberkulosis telah
dilaporkan bermanfaat dalam sejumlah penelitian. Angka mortalitas menurun dengan
pemberian kortikosteroid intravena. Terapi dengan deksametason atau prednisolon yang
di tappering off selama 6-8 minggu direkomendasikan pada pasien meningitis
tuberkulosis. Kortikosteroid sebaiknya diberikan intravena pada awalnya dan dilanjutkan
dengan pemberian per oral sesuai klinis pasien. Respon jaringan terhadap inflamasi
pada meningitis tuberkulosis adalah eksudat inflamasi mendorong struktur pada bagian
dasar otak, nervus dan pembuluh darah di daerah ini. Vaskulopati mempengaruhi
sirkulus Willisi, sistem vertebrobasiler, dan cabang kecil dari arteri serebri media
menyebabkan infark. Selanjutnya, eksudat di basal menghambat aliran cairan
serebrospinal setinggi tentorium menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan
hidrosefalus.
Proses patofisiologi pada meningitis tuberkulosis ini yang mendorong penggunaan
antiinflamasi kortikosteroid untuk memodifikasi kerusakan jaringan yang terjadi.
Pemberian kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi dalam ruang subaraknoid
sehingga mengurangi risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan
aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Selain itu, pemberian kortikosteroid
terbukti memperbaiki outcome dengan penurunan tingkat mortalitas dan keparahan
dari komplikasi neurologis. Deksametason dengan dosis 0,6 mg/kg/hari (anak) dan 0,4
mg/kg/hari (dewasa) ekuivalen dengan prednisolon dosis 2-4 mg/kg/hari (anak) dan 2,5
mg/kg/hari (dewasa). Keduanya merupakan kortikosteroid injeksi pilihan untuk
diberikan pada kasus meningitis tuberkulosis. Durasi pemberian selama 4 minggu
dengan tapering 2-4 minggu setelahnya.

18
2.1.9. PROGNOSIS

Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh British Medical


Research Council. Meningitis tuberkulosis derajat 1 ditandai dengan GCS 15 tanpa
kelainan neurologis fokal, derajat 2 ditandai dengan GCS 15 dengan defisit neurologis
fokal, atau GCS 11-14, dan derajat 3 ditandai dengan GCS ≤10. Sistem klasifikasi ini
digunakan untuk memisahkan pasien dan juga untuk menentukan prognosis. Prognosis
pada kasus ini adalah ad malam. Prognosis berdasarkan diagnosis pasien saat ini yaitu
meningitis tuberkulosis derajat 3 dengan GCS 8 memiliki risiko kematian yang tinggi.
Mortalitas pada pasien meningitis tuberkulosis terkait dengan hidrosefalus, resistensi
obat, gagal terapi, lanjut usia, kejang, penurunan kesadaran, derajat 3 saat masuk rumah
sakit dan infeksi HIV.

19
BAB III

KESIMPULAN

Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstraparu neurologis


tersering yang mengancam jiwa. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan adanya
trias meningitis dan kecurigaan tuberkulosis secara klinis. Pemberian terapi harus segera
dan tepat untuk mengurangi tingkat mortalitas. Terapi berupa obat anti tuberkulosis, dan
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dalam subaraknoid.

20
DAFTAR PUSTAKA

Chin JH. Tuberculous Meningitis:Diagnostic and theurapeutic challenges.Neurol Clin Prac.


2014; 4(3):199-205.

Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R.Diagnosis dan tatalaksana meningitis bakterialis.


CDK. 2015; 42(1):15-9.

Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan tuberkulosis di


Indonesia. Jakarta: PDPI;2006.

Swartz MN, Nath A. Meningitis: bacterial,viral and other. Dalam: Goldman L, Schafer
AI, editor. Goldman’s-Cecil Medicine. Edisike-25. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders;
2016. hlm. 2480.

Taheri MS, Mohammad AK, Hamidreza H,Ramin P, Mohammad S, Hosein Delavar K.


Central nervous system tuberculosis: animaging-focused review of a reemerging
disease. Radiology Research and Practice;2015. hlm. 1-8.

World Health Organization. Globaltuberculosis report 2016. USA: World


Health Organization; 2016 [disitasi tanggal 21 Oktober 2016]. Tersedia dari:
http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/index.html.

Zumla A, Raviglione M, Hafner R, von Reyn CF. Current concepts: tuberculosis. N Engl
J Med. 2013; 368:745-55.

21

Anda mungkin juga menyukai