Anda di halaman 1dari 14

OJK Beberkan Awal Perjalanan Kasus SNP Finance

Jakarta - Nama PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) belakangan menjadi


perbincangan yang hangat. Perusahaan pembiayaan tersebut merupakan bagian dari usaha
Columbia, toko yang menyediakan pembelian barang secara kredit.

Dalam kegiatannya SNP Finance mendukung pembiayaan pembelian barang yang dilakukan
oleh Columbia tersebut, yang bersumber dari kredit perbankan.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy
Purnomo menjelaskan bahwa anomali pada SNP Finance sudah tercium sejak Juli 2017 lalu.

"Yang bongkar ini awalnya pengawas di 2017 tertangkap angka beda antara CAPS itu suatu
aplikasi connecting SNP," katanya di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (26/9/2018).

OJK kemudian melakukan pemeriksaan kepada Bank Mandiri yang menyalurkan kredit terbesar
ke SNP Finance. SNP Finance tercatat memiliki kredit macet di Bank Mandiri sebesar Rp 1,4
triliun.

Pihaknya menambahkan, pemberian pinjaman ke SNP Finance dilakukan dengan


sistem executing atau memberikan langsung pembiayaan ke perusahaan pembiayaan
tersebut.

"Ini mekanisme executing, bank berikan joint financing ke lembaga pembiayaan," ujarnya.

Dalam perjalanannya, Kantor Akuntan Publik (KAP) Deloitte menjadi auditor dan memeriksa
laporan keuangan perusahaan. Deloitte merilis laporan keuangan SNP Finance terbilang apik.

"Itu terus dilakukan dan selama laporan keuangan bagus, bank kan kaya berikan modal kerja,"
tuturnya.

Baca juga: Cegah Kasus SNP Finance Terulang, OJK Kaji Penerbitan MTN Lewat Bursa

Seiring dengan turunnya bisnis toko Columbia, kredit perbankan tersebut mengalami
permasalahan dan menjadi kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Salah satu tindakan
yang dilakukan oleh SNP Finance untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut adalah melalui
penerbitan MTN.

Penerbitan MTN memerlukan rating dalam hal ini dilakukan oleh Pefindo berdasarkan laporan
keuangan yang diaudit oleh KAP Deloitte. Penerbitan MTN tersebut tidak melalui proses di
OJK, mengingat MTN adalah perjanjian yang bersifat privat, namun memerlukan pemeringkatan
karena dapat diperjualbelikan.

"MTN muncul manakala kredit disetop oleh Bank Mandiri," ujarnya.

SNP Finance mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap

1
kewajibannya sebesar ± Rp 4,07 triliun, yang terdiri dari kredit perbankan sebesar ± Rp 2,22
triliun dan MTN sebesar ± Rp 1,85 triliun.

Sebelumnya diketahui peringkat efek SNP Finance periode Desember 2015-2017 idA-/stable,
kemudian Maret 2018 rating SNP Finance naik menjadi idA/stable. Lalu Pefindo menurunkan
rating sebanyak 2 kali, yakni bulan Mei 2018 diturunkan menjadi idCCC/credit watch negative
dan pada bulan yang sama menurunkan lagi ke peringkat idSD/selective default.

Saat ini, SNP Finance dalam status dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh OJK
sejak bulan Mei 2018. Hal ini dilakukan karena perusahaan pembiayaan tersebut belum
menyampaikan keterbukaan informasi kepada seluruh kreditur dan pemegang MTN sampai
batas waktu sanksi peringatan ketiga, sesuai pasal 53 POJK nomor 29/2014.

Dengan dibekukannya kegiatan usaha, maka SNP Finance dilarang melakukan kegiatan usaha
pembiayaan. Apabila SNP finance tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, maka OJK
dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.

https://finance.detik.com/moneter/d-4230267/ojk-beberkan-awal-perjalanan-kasus-snp-finance

2
Belajar dari Kasus SNP Finance
TANPA diduga, Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) mengalami gagal bayar untuk
memenuhi kewajiban membayar bunga surat utang jangka menengah atau medium term
notes(MTN). Ada dua seri MTN yang bunganya belum dibayar: Rp5,25 miliar pada 9 Mei 2018
dan Rp1,5 miliar pada 14 Mei 2018 sehingga total Rp6,75 miliar. Pelajaran berharga (lesson
learned) apa saja yang dapat dipetik dari kasus itu?

Kasus tersebut telah menambah jumlah perusahaan pembiayaan (multifinance) yang izinnya
dicabut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2017-2018 yang menimpa
delapan multifinance yakni PT Patra Multifinance, PT Rukun Rahardjo Sedaya, PT Arjuna
Finance, PT Maestro Prima Finance, PT JA Mitsui Leasing Indonesia, PT Magna Finance, PT
Surya Nordfinans dan PT Arthabuana Margausaha Finance. Pun lima multifinance yang
usahanya dibekukan OJK pada 2018 yakni PT Asia Multidana, PT Capital Link Finance, PT
PANN Pembiayaan Maritim, PT Kembang 88 Multifinance dan PT SNP Finance.

Bagaimana kinerja multifinance? Data OJK menunjukkan, total pembiayaan hanya tumbuh
6,08% dari Rp395,19 triliun per Maret 2017 menjadi Rp419,20 triliun per Maret 2018.
Pertumbuhan itu menipis dari 6,39% pada bulan sebelumnya. Inilah perinciannya. Pembiayaan
investasi naik paling tinggi 12,66% dari Rp110,11 triliun menjadi Rp124,05 triliun dengan
kontribusi 29,59% dari total pembiayaan Rp419,20 triliun.

Pembiayaan multiguna juga naik 7,24% dari Rp229,30 triliun menjadi Rp245,90 triliun dengan
kontribusi tertinggi 58,66%. Sayangnya, pertumbuhan pembiayaan modal kerja justru turun
2,14% dari Rp23,35 triliun menjadi Rp22,85 triliun dengan kontribusi 5,45%.

Pembiayaan lainnya berdasarkan perizinan OJK terbang tinggi 114,29% dari Rp63 miliar
menjadi Rp135 miliar dengan kontribusi 0,03%. Sebaliknya, pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah turun tipis 2,51% dari Rp32,37 triliun menjadi Rp26,27 triliun dengan kontribusi 6,27%.
Itulah rapor multifinance yang kurang menggembirakan sampai dengan kuartal (triwulan)
pertama 2018.

Lantas, pelajaran berharga apa saja dari kasus itu? Pertama, pastilah investor merasa kaget,
heran, sekaligus kecewa karena SNP Finance pada awalnya mempunyai peringkat
idA/stable dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). Peringkat itu naik pada Maret 2018
dari sebelumnya peringkat idA-/stable pada Desember 2015-November 2017.

Namun, pada Mei 2018 peringkat SNP Finance dipangkas dua kali menjadi idCCC/credit watch
negative, kemudian menjadi idSD/selective default. Penurunan peringkat itu sejalan dengan
ketidakmampuan SNP Finance dalam membayar bunga MTNtersebut (Koran Kontan, 17 Mei
2018).

Lebih kecewa lagi ternyata laporan keuangan SNP Finance sudah diaudit oleh akuntan publik
terkemuka, Deloitte Indonesia. Akhirnya, Kementerian Keuangan melalui Pusat Pembinaan
Profesi Keuangan (PPPK) memeriksa akuntan publik tersebut.

Sungguh, hal itu menjadi pelajaran berharga bagi investor untuk lebih bertindak hati-hati ke
depan. Ekonomi yang sedang lesu saat ini pasti akan memengaruhi kinerja multifinance.
Mengapa? Kondisi demikian juga menekan daya beli masyarakat sehingga akan mengganggu
kelancaran angsuran konsumen kepada multifinance.

3
Oleh karena itu, investor suka tak suka wajib belajar membaca laporan keuangan multifinance,
paling tidak periode 31 Desember 2017. Sudah semestinya laporan keuangan itu terbit paling
lambat tiga bulan setelah periode pelaporan, yakni akhir Maret 2018. Dengan demikian,
investor dapat mengetahui kondisi keuangan SNP Finance lebih awal, jauh sebelum gagal bayar
terjadi.

Kedua, untunglah, kasus tersebut tidak memiliki potensi risiko sistemik sehingga tidak
mengganggu industri multifinancenasional. Hal itu dapat dimengerti karena memang SNP
Finance tidak termasuk multifinance sistemik. Selama ini OJK belum pernah mengumumkan
daftar multifinance sistemik. Namun, kasus itu juga menjadi pelajaran berharga bagi OJK untuk
lebih selektif dalam memberikan izin bagi multifinance dalam menerbitkan surat utang.

Ketiga, meski kasus SNP Finance tidak membawa potensi risiko sistemik bagi
industri multifinance nasional, ternyata membawa potensi risiko bagi beberapa bank sebagai
kreditur. Inilah 14 bank yang merupakan kreditur SNP Finance, yakni Bank Mandiri, Bank
Central Asia (BCA), Bank Panin, Bank Resona Perdania, Bank J-Trust, Bank Nusantara
Parahyangan, Bank Victoria, Bank China Trust, Bank Internasional Nobu, Bank Woori Saudara,
Bank BJB, Bank Sinarmas, Bank Capital, dan Bank Ganesha.

Kemungkinan besar kredit yang telah terkucurkan ke SNP Finance itu terancam menjadi kredit
bermasalah (non performing loan atau NPL) bagi bank tersebut. Padahal, total kredit itu
mencapai Rp2,22 triliun, dan Bank Mandiri menjadi bank penyalur kredit paling tinggi, yakni
Rp1,4 triliun. Apa akibatnya? NPL akan merangkak naik. Jangan lupa, NPL tinggi akan
menaikkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang akan menggerus modal. Ujung-
ujungnya, itu semua akan menekan laba tahun berjalan.

Dengan demikian, kasus itu akan membuat bank makin selektif dalam menyalurkan kredit
kepada multifinance. Padahal, menjelang dan saat Idulfitri, industri pembiayaan nasional
membutuhkan tambahan modal, mengingat penjualan mobil atau sepeda motor akan
meningkat signifikan.

Namun, ingat pula bahwa pasca-Lebaran kemungkinan besar NPLmultifinance akan makin
mekar. Mengapa? Angsuran bulanan akan tertekan habis oleh biaya merayakan Lebaran yang
bisa menabrak pos-pos anggaran rumah tangga konsumen. Ketika kewajiban itu tidak
terpenuhi, maka potensi risiko kenaikan NPLakan menjadi kenyataan. Tegasnya, hal ini
merupakan peringatan dini bagi mutifinance untuk makin hati-hati dalam menyalurkan
pembiayaan multiguna, khususnya mobil dan sepeda motor.

Keempat, untuk itu, mau tak mau multifinance wajib menaikkan tingkat efisiensi. Adapun,
sampai dengan kuartal pertama 2018, tingkat efisiensi yang tersurat pada rasio beban (biaya)
operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) mengalami kenaikan dari 90,48% per
Maret 2017 menjadi 92,34% per Maret 2018. Angka itu jauh di atas ambang batas 70%-80%,
yang mengandung arti multifinance belum efisien. Padahal, efisiensi yang tinggi akan menjadi
senjata ampuh dalam menghadapi persaingan yang makin sengit saat ini. Bahkan, hal itu
menjadi kunci utama dalam menghimpun laba tinggi.

Kelima, untuk mengatasi gagal bayar SNP Finance, ada beberapa opsi. Opsi pertama, amat
diharapkan grupnya Columbia mampu menyuntikkan dana segar ke SNP Finance. Namun, hal
itu kemungkinan besar sulit dilakukan. Opsi kedua, bank papan atas, seperti empat bank
pemerintah (Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), dan
Bank Tabungan Negara (BTN) serta BCA, sangat diharapkan dapat melakukan akuisisi terhadap
SNP Finance. Namun, hal ini membutuhkan waktu cukup lama.

4
Opsi ketiga, seperti kredit perbankan yang macet, surat utang itu sejatinya dapat dilakukan
restrukturisasi dengan memperpanjang tenor pembayaran bunga. Nah, opsi inilah yang paling
strategis untuk dilaksanakan.

Sesungguhnya, kasus itu juga menjadi peringatan bagi OJK untuk segera
mendorong multifinance agar melakukan merger atau akuisisi. Hal itu penting dan mendesak
untuk dilakukan demi mengurangi jumlah multifinance sekaligus mempermudah pengawasan.
Makin sedikit multifinance, makin efektif bagi OJK untuk mengawasi multifinance.

Selain itu, OJK dituntut untuk melakukan sosialisasi dan edukasi tentang investasi, baik dari
sisi madu (manfaat) maupun racun (potensi kerugian). Hal ini bertujuan menaikkan tingkat
literasi keuangan (financial literacy) dan inklusi keuangan (financial inclusion). Tingkat melek
keuangan mencapai 29,66% pada 2016, meningkat dari 21,84% pada 2013. Artinya, dari 100
orang di Indonesia, baru sekitar 30 orang yang telah memiliki literasi keuangan. Sementara itu,
tingkat inklusi keuangan mencapai 67,82% pada 2016, naik dari 59,74% pada 2013.

Literasi keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap
dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan
untuk mencapai kesejahteraan. Inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai
lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Keenam, kini saatnya bagi pemerintah untuk membentuk lembaga perlindungan investor di
pasar modal seperti halnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin simpanan di
industri perbankan nasional. Mengapa? Karena, selama ini investasi di pasar modal tidak ada
lembaga pemerintah yang menjamin. Padahal, sudah seharusnya kepentingan investor
terlindungi. Perlindungan itu akan membuat pasar modal lebih bergairah lagi ke depan.(*)

http://infobanknews.com/belajar-dari-kasus-snp-finance/

5
Asal Muasal OJK Temukan Kasus Penipuan SNP
Finance

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) Financekini


memasuki babak baru. Kasus ini sudah masuk ke ranah pidana dan ditangani Bareskrim
Polri.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Slamet Edy
Purnomo mengatakan kejanggalan di SNP Finance pertama ditemukan oleh OJK pada
2017 dalam laporan keuangan Bank Mandiri Juli 2017.

"Ada selisih saldo di sana. Kami minta Bank Mandiri melakukan pemeriksaan dan
pembenahan," ujar Slamet di Jakarta, Rabu (26/9/2018).

Pada 2018, OJK melakukan evaluasi atas langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank
Mandiri. Dari sana ditemukan ada tunggakan dalam jumlah besar. Pengawas bank
kemudian bertindak.

"Dari sana diberikan informasi ke pengawas IKNB dari sana muncullah masalah SNP
Finance. Jadi sinyalnya dari pengawas bank dan ini bukti pengawasan terintegrasi
berjalan," jelas Slamet.

PILIHAN REDAKSI Slamet menambahkan kredit yang diberikan oleh Bank


Mandiri ke SNP Finance merupakan join financing (kredit
 Kasus SNP Finance Berujung bersama). Kredit diberikan pada SNP Finance dan SNP
Pidana, Ini Langkah OJK
Finance yang menyalurkannya ke pengguna.
 Kasus SNP Finance Berujung
Pidana, Ini Tanggapan Bank
Permata Sebagai bentuk mitigasi risiko, kedua belah pihak sepakat
untuk menunjuk akuntan publik untuk melakukan audit
kondisi perusahaan. Dalam hasil audit, SNP mendapat penilaian wajar tanpa pengecualian.

Berdasarkan audit tersebut dianggap SNP Finance sehat dan layak diberikan pinjaman.
"Selama laporan keuangan bagus bank lanjutkan. Ke sananya nggak tau. Jadi titiknya
laporan kinerja SNP itu," jelas Slamet.

6
"Ditemukan beberapa ada yang mungkin sudah lunas diberi pinjaman lagi. Mereka (Bank
Mandiri) memang mengakui ada kelemahannya dan sudah dibenahi." (dru)

https://www.cnbcindonesia.com/market/20180926151300-17-34853/asal-muasal-ojk-temukan-kasus-
penipuan-snp-finance

7
Ini Daftar Tagihan 14 Bank Dalam PKPU SNP Finance

Jakarta, Baranews.co – Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Sunprima


Nusantara Pembiayaan telah masuk agenda pencocokan utang alias verifikasi.

Dari rapat kreditur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (30/5) diketahui, hanya ada 28 kreditur
yang mendaftarkan tagihannya, di mana 19 kreditur merupakan pemegang jaminan (separatis).

“Dari total tagihan yang masuk ada 28 kreditur, kreditur separatisnya ada 19, sisanya konkuren.
Tapi untuk tagihannya kita belum bisa sebut, karena ini sifatnya masih sementara,” kata salah
satu pengurus PKPU Sunprima Irfan Aghasar seusai rapat.

Dari penelusuran total tagihan separatis PKPU Sunprima mencpaai nilai Rp 2,4 triliun.
Sementara dari 19 kreditur separatis tadi, tercatat ada 14 bank yang memasukan tagihannya.

Mereka adalah Bank Mandiri dengan tagihan Rp 1,4 triliun, Bank Woori Saudara Rp 16 miliar,
Bank Capital Rp 30 miliar, Bank Sinarmas Rp 9 miliar, Bank J-Trust Rp 55 miliar, Bank
Internasional Nobu Rp 33 miliar, Bank BJB Rp 25 miliar, Bank Nusa Parahyangan Rp 46 miliar,
Bank China Trust Rp 50 miliar, Bank Ganesha Rp 77 miliar, Bank Resona Perdania Rp 74
miliar, Bank Victoria Rp 55 miliar, Bank BCA Rp 210 miliar, dan Bank Panin 141 miliar.

Selain perbankan ada pula kreditur separatis lainnya adalah Samuel Aset Management dengan
tagihan Rp 80 miliar, Reliance Capital Management Rp 30 miliar, dan tiga kreditur lainnya
dengan tagihan Rp 155 miliar.

Nilai tagihan tersebut sejatinya bisa melonjak tinggi, sebab belim menghitung tagihan dari
kreditur separatis. Pun dalam PKPU ini, para pemegang MTN Sunprima belum terdaftar
menjadi kreditur lantaran alasan formalitas.

Seorang kuasa hukum pemegang MTN yang enggan disebutkan namanya bilang, ia
memegang sekitar 800 klien dengan tagihan lebih dari Rp 800 miliar.

“Kalau kemudian seluruh pemegang MTN resmi memberikan kuasa ke kantor, ada sekitar 800
kreditur nilai tagihannya juga lebih dari Rp 800 miliar, karena nilai paling kecil itu Rp 1 miliar,”
katanya kepada KONTAN dalam kesempatan yang sama.

Sumber KONTAN tersebut juga bilang selain dia, ada beberapa kuasa hukum lain yang
bernasib serupa. Oleh karenanya nilai tagihan kepada Sunprima bisa melonjak tinggi.

“Sunprima itu kan kalau tak salah menerbitkan delapan seri MTN, kalau saya megang yang dari
ritel saja, kalau yamg company ada lagi kuasa hukumnya,” sambungnya.

Asal tahu, Sunprima masuk proses PKPU sejak 8 Mei 2018 lalu, yang bermula dari
permohonan pailit dua mantan karyawannya Herlina Rahardjo dan Fredi Imam Santoso dengan
nomor perkara 10/Pdt.Sus-Pailit/2018/PN Niaga Jkt.Pst pada 18 April 2018. Sementara nilai
tagihannya berkisar Rp 900 juta.

8
Namun pada 2 Mei, Sunprima mengajukan agar permohonan pailit tersebut jadi PKPU sukarela
dengan nomor perkara 52/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst.

Kondisi Sunprima sendiri memang sedang bermasalah. Sunprima diketahui kembai gagal
membayar bunga utang Medium Term Notes (MTN) III SNP Tahun 2017 Seri B. Sebelumnya,
Sunprima juga gagal membayar bunga pertama MTN V SNP Tahap II.

Pembayaran bunga MTN III SNP 2017 Seri B yang diterbitkan pada November lalu, seharusnya
dilaksanakan pada 14 Mei 2018. Pun surat utang dengan jumlah pokok Rp 50 miliar itu akan
jatuh tempo pada 13 November 2019 mendatang.

Surat ini dijanjikan Sunprima dapat kupon tetap sebesar 12,125% per tahun, di mana
pembayaran bunga dilakukan setiap tiga bulan sekali.

Kegagalan pembayaran ini sendiri kemudian membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah
membekukan operasi Sunprima. Pun Sunprima diduga memberikan informasi yang tidak benar
sehingga merugikan kepentingan debitur, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya,
termasuk OJK. (Anggar Septiadi/kontan.co.id/bh).

http://baranews.co/2018/05/30/ini-daftar-tagihan-14-bank-dalam-pkpu-snp-finance/

9
Begini Awal Mula Kasus SNP Finance yang Rugikan 14 Bank
Liputan6.com, Jakarta Satu lagi kasus di sektor keuangan yang menyedot perhatian masyarakat.
Perusahaan multifinance PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) diketahui merugikan 14
bank di Indonesia hingga triliunan rupiah.

SNP Finance merupakan bagian dari Columbia, toko yang menyediakan pembelian barang secara kredit.
Dalam kegiatannya SNP Finance mendapatkan dukungan pembiayaan pembelian barang yang
bersumber dari kredit perbankan.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy Purnomo
mengungkapkan jika permasalahan pada SNP Finance sudah tercium sejak Juli 2017.

"Jadi yang membongkar awal adalah pengawas. Jadi di 2017 sudah tertangkap ada angka CAPS itu
suatu aplikasi connecting antara SNP sebagai multifinance dengan bank seperti Bank Mandiri yang
paling besar. Jadi ada beda itu (angka)," jelas dia di Jakarta, Rabu (26/9/2018).

BACA JUGA

 Nilai Pembobolan Dana 14 Bank oleh SNP Senilai Rp 2,4 Triliun versi OJK
 OJK Pastikan Terus Monitor Kasus Sunprima Nusantara Pembiayaan
 Terkuak, SNP Finance Rekayasa Laporan Keuangan Buat Bobol 14 Bank

OJK kemudian meminta dilakukan pemeriksaan kepada pihak perbankan secara internal dan oleh
pengawas.

Pada 2018, OJK kembali melakukan evaluasi. Lembaga ini dikatakan terlebih dulu memberi kesempatan
kepada internal perbankan untuk menyelesaikan saat diketahui terjadi masalah.

"Jadi dilakukan oleh investigator internal Bank Mandiri dan ditemukan memang terrnyata tidak pernah
dilakukan reconcile antara banking dan dari situ kita dalami lagi prosesnya dan ternyata ada kesalahan di
sistem yang tidak sempurna," jelas dia.

Slamet Edy menuturkan, terlepas dari kesalahan sistem yang bisa diperbaiki, tim kemudian berkoordinasi
dengan pengawas SNP di Industri Keuangan Non Bank (IKNB).

"Lalu muncul akhirnya hasil seperti itu dan akhirnya ketemu lagi sampai masalah MTN. Semua dipanggil
Pefindo, semuanya dipanggil. Dan dari hasil pemeriksaan saya lihat semua pengawasan jalan baik dari
Bank Mandiri," tegas dia.

Dia menuturkan, jika permasalahan ada terkait data yang diberikan SNP. Adapun mekanisme pemberian
pinjaman kepada SNP Finance yang dilakukan dengan sistem executing.

10
Bank memberikan kredit berupa joint financing atau memberikan langsung ke perusahaan pembiayaan
tersebut. Kemudian SNP Finance yang meneruskannya kepada pengguna.

Untuk mendapatkan kredit ini, terlebih dulu ditunjuk auditor publik yang bertugas memeriksa laporan
keuangan. Auditor yang ditunjuk adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) Deloitte yang menilai kondisi
keuangan SNP Finance.

"Kalau laporan keuangan dia bagus harus diaudit eksternal dan biasanya menunjuk standar
internasional," tutur Slamet Edy.

Kemudian seiring dengan turunnya bisnis toko Columbia, kredit perbankan tersebut mengalami
permasalahan menjadi Non Performing Loan (NPL).

Kondisi tersebut telah diantisipasi perbankan dengan melakukan pencadangan (PPAP) pada tahun yang
sudah lewat, sehingga perbankan dapat meng-absorb risiko gagal bayar.

Salah satu tindakan yang dilakukan oleh SNP Finance untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut
adalah melalui penerbitan Medium Term Note (MTN), yang diperingkat oleh Pefindo berdasarkan laporan
keuangan SNP yang diaudit DeLoitte.

Slamet Edy mengatakan jika penerbitan MTN tidak melalui proses di OJK. Ini mengingat MTN adalah
perjanjian yang bersifat private, namun memerlukan pemeringkatan karena dapat diperjualbelikan.

Sebelumnya diketahui jika SNP Finance mendapatkan peringkat efek periode Desember 2015-2017 idA-
/stable dari Pefindo. Kemudian pada Maret 2018, rating SNP Finance naik menjadi idA/stable.

Namun Pefindo kembali menurunkan rating SNP Finance sebanyak 2 kali. Pertama pada bulan Mei
2018, diturunkan menjadi idCCC/credit watch negative dan pada bulan yang sama menurunkan lagi ke
peringkat idSD/selective default.

Akhirnya, saat terjadi permasalahan, SNP Finance mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU) terhadap kewajibannya sebesar kurang lebih Rp 4,07 triliun, yang terdiri dari kredit perbankan Rp
2,22 triliun dan MTN sebesar Rp 1,85 triliun.

2 dari 2 halaman

11
SNP Finance Rekayasa Laporan Keuangan Buat Bobol 14
Bank
PT Bank Mandiri Tbk angkat bicara mengenai kasus pembobolan dana di 14 bank oleh Lembaga
pembiayaan PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) yang merupakan anak usaha
Columbia. Bank Mandiri termasuk salah satu bank tersebut.

Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas menjelaskan, SNP Finance adalah perusahaan
pembiayaan yang menjadi debitur Bank Mandiri sejak 2004. Selama belasan tahun menjadi debitur Bank
Mandiri, SNP Finance memiliki catatan yang baik dengan kualitas kredit yang lancar. Hal ini juga yang
membuat banyak bank kemudian ikut memberikan pembiayaan kepada SNP Finance.

Atas hal tersebut, Bank Mandiri melihat permasalahan di SNP Finance saat ini bukan semata-mata
disebabkan oleh ketidak hati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit. Apalagi saat ini regulator telah
menetapkan rambu-rambu yang sangat ketat bagi perbankan.

"Kekisruhan di SNP Finance justru disebabkan itikad tidak baik pengurus perseroan untuk menghindari
kewajiban mereka," jelas Rohan seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (26/9/2018).

Buktinya, SNP Finance langsung mengajukan PKPU Sukarela, setelah kualitas kredit turun menjadi kol.
2. Modus ini sering dilakukan dengan memanfaatkan celah dari ketentuan hukum terkait Kepailitan.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3653257/begini-awal-mula-kasus-snp-finance-yang-rugikan-14-
bank

12
13
http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/09/28/kasus-snp-finance-mencoreng-integritas-perbankan

14

Anda mungkin juga menyukai