Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geopolimer
Geopolimer merupakan sintesis bahan produk samping dari suatu proses
seperti fly ash dan bahan-bahan yang banyak mengandung silika dan alumina
yang membentuk sebuah senyawa silikat alumina anorganik. Geopolimer juga
sering disebut beton geopolimer. Beton geopolimer merupakan beton yang
material utamanya mengandung banyak silika dan alumina tinggi yang
direaksikan dengan alkali aktifator (Lloyd dan Ranga, 2010). Proses pembentukan
beton geopolimer terbentuk melalui proses polimerisasi bahan yang mengandung
silikat dan alumina tinggi yang direaksikan dengan menggunakan alkali aktifator
(polysilicate) menghasilkan ikatan polimer Si-O-Al. Ikatan polimer ini akan
membentuk padatan berupa amorf sampai semi kristal (Pujianto dkk, 2013).

Tekin (2016) mengatakan bahwa geopolimerisasi adalah pengerasan


alumina silikat yang berasal dari polimerisasi kimia reaksi. Reaktivitas silikat
alumina bergantung pada bahan kimia, struktur mineral, morfologi, kehalusan dan
kuantitas struktur amorf. Geopolimer pada saat ini menjadi pusat perhatian, hal ini
karena kekuatan tekan yang tinggi, permeabilitas rendah, dan daya tahan api yang
lebih baik.

Yousef dkk (2008) menjelaskan mengenai mekanisme reaksi yang terjadi


selama proses geopolimerisasi. Ion Na+ dari alkali NaOH akan menggantikan ion
hidrogen dan merubah rantai cabang dari bahan yang telah dicampur (berbentuk
seperti clay). Gaya tolak antara ion Na+ akan menyebabkan terjadinya
perombakan beberapa partikel clay dan terjadinya pengikatan antara partikel. Ion
Na+ sangat penting dalam menjaga kestabilan pada matriks geopolimer
(hidroksisodalit). Hal ini dikarenakan ketika Alumina (Al) berikatan dengan
Oksigen (O2), muatan negatif yang ada pada Al2O3 dinetralisasi oleh Na+. Ion
positif (Na+, K+, Li+, Ca2+, Ba2+, NH4+, dan H3O+) harus ada di bagian kerangka
pembentukan reaksi agar dapat menyeimbangkan muatan negatif Al. Hal ini dapat
5
6

dilakukan dengan pencampuran yang merata antara larutan dengan (fly Ash dan
agregat).

Bahan geopolimerik memiliki berbagai aplikasi di bidang industri seperti


mobil, pembangunan, peleburan, industri yang berhubungan dengan geopolimer.
Jenis aplikasi bahan geopolimer ditentukan oleh struktur kimia dalam hal rasio
atom Si : Al dalam polysialate. Davidovits (1994) mengklasifikasikan jenis
aplikasi sesuai dengan rasio Si : Al seperti yang disajikan pada Tabel 2.1. Rasio
rendah Si : Al dari 1, 2, atau 3 membentuk jaringan yang sangat kaku, sementara
Si : Al Rasio yang lebih tinggi dari 15 memberikan karakter polimerik pada bahan
geopolimer. Untuk banyak aplikasi di bidang teknik sipil, rasio Si: Al rendah
sesuai Tabel 2.1

Tabel 2.1 Aplikasi Bahan Geopolimer Berdasarkan Rasio Silika-ke-Alumina


Si: Al Ratio Applications
 Batu bata
1  Keramik
 Proteksi Kebakaran
 Semen dan beton dengan CO2
rendah
2
 Enkapsulasi limbah radioaktif dan
beracun
 Komposit serat pelindung kaca
komposit
 peralatan pengecoran
3  Komposit tahan panas, sampai
1000oC
 Perkakas untuk proses titanium
aeronautika
 Sealants untuk industri, 200 oC
sampai 600 oC
>3
 Alat untuk aeronautika SPF
aluminium
 Komposit serat tahan api dan tahan
20-35
panas
(Sumber : Davidovits, 1994)

2.1.1 Teknologi Geopolimer


Teknologi geopolimer membahas tentang peningkatan kuat tekan
geopolimer. Peningkatan ini berkaitan dengan penambahan filler yang
mempunyai sifat kimia dan fisika yang unik sehingga dapat mempengaruhi kuat
7

tekan geopolimer menjadi meningkat. Ranjhbar dkk (2015) membahas tentang


kuat tekan yang dihasilkan geopolimer yang menggunakan grafena nanoplatelet
sebagai filler. Pasta geopolimer adalah bahan seperti keramik yang mengandung
celah yang berbeda dengan berbagai ukuran (Wang dan Shrive, 1995). Keretakan
vertikal terlihat pada permukaan yang disebabkan pemutusan ikatan interatomik
melalui tegangan tarik. Keretakan yang terbentuk mempengaruhi kuat tekan dari
geopolimer yang dihasilkan.

Putri dkk (2012) menyatakan bahwa kuat tekan geopolimer dipengaruhi


oleh temperatur perawatan setelah pencampuran. Geopolimer perlu diberikan
perlakuan untuk mendapatkan peningkatan kuat tekan. Maka dari itu perlu
diberikan perlakuan dengan pemberian temperatur tinggi di atas temperatur ruang
untuk mempercepat reaksi kimia dalam campuran. Semakin tinggi temperatur
perawatan umumnya semakin baik dan tinggi kuat tekan yang diperoleh.

2.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Geopolimer


Menurut Wang (1994) dosis dan modulus aktivator memiliki pengaruh
yang sangat penting pada kekuatan beton. Modulus aktivator (Ms) merupakan
perbandingan massa SiO2 dan Na2O pada larutan aktivator alkali, sedangkan dosis
aktivator (% Na2O) merupakan perbandingan kandungan Na2O larutan aktivator
dengan massa binder. Sodium silikat memiliki fungsi merekatkan partikel abu
terbang/abu sawit yang telah dilarutkan oleh KOH dengan agregat, sehingga
jumlah sodium silikat dalam campuran membantu menambah kekuatan beton,
tetapi hal ini harus tetap mempertimbangkan aplikasi yang diinginkan yang
terdapat pada Tabel 2.1.

Perbaikan kuat tekan komposit geopolimer dilakukan dengan menambahkan


(Grafena nanoplatelet) GNP. Modulus elastisitas GNP yang tinggi mengurangi
konsentrasi tegangan pada matriks dan mengalihkan tegangan secara seragam ke
bagian matriks lainnya. Mekanisme ini akan meningkatkan kapasitas kompresi
komposit dengan melibatkan lebih banyak area dalam menerima tekanan dan
8

untuk mengatasi keretakan geopolimer. Peningkatan relatif kelenturan dan


modulus young geopolimer pada penambahan GNP ditunjukan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Relatif Kelenturan dan Modulus Young Komposit Geopolimer


GNP (Ranjhbar dkk, 2015)
Zhang dkk (2017) melakukan penelitian terhadap geopolimer compisite
berbasis fly ash. Dari hasil penelitian, diperoleh data bahwa penambahan grafena
dapat mempengaruhi nilai degradasi dari material geopolimer. Hasil analisa yang
dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan Tabel 2.2 sebagai berikut :

Gambar 2.2 Pengaruh Penambahan Grafena Terhadap Nilai Degradasi dan


Perubahan Waktu (Zang, 2017).
9

Tabel 2.2 Pegaruh Penambahan Grafena Terhadap Electroconducbility


Geopolimer (Zang, 2017)

2.1.3 Komponen Dalam Pembentukan Geopolimer


Material penyusun geopolimer ada beberapa jenis yaitu: agregat ,
prekursor dan aktivator alkali. Setiap komponen memiliki fungsi masing –
masing dalam pembentukan matriks geopolimer. Berikut pemaparannya terkait
material penyusun geopolimer

2.1.3.1 Prekursor
Prekursor merupakan bahan utama penyusun geopolimer yang kaya akan
silika dan alumina sebagai pengganti dari bahan utama pembuatan cement
portland pada umumnya. Pada penelitian ini prekursor yang diggunakan adalah
fly ash dari pabrik kelapa sawit. Fly ash yang digunakan pada penelitian ini hasil
dari pembakaran tandan kosong pada boiler di PT. Bangun Tenera Riau,
Perhentian Raja, Riau. Menurut ASTM C618-9a, kadar minimum silika (SiO2)
ditambah (Al2O3) dan (Fe2O3) untuk bisa dijadikan sebagai pozzolan alami
campuran beton adalah sebesar 70% untuk kelas C, N dan F.

Chandara dkk (2010) melakukan penelitian mengenai geopolimer dari fly


ash. Hasil dari pembahasannya menyatakan bahwa fly ash kelapa sawit memiliki
partikel kurang reaktif sehingga memerlukan pengolahan terlebih dahulu terhadap
fly ash kelapa sawit seperti dibakar ulang maupun dihaluskan kembali untuk
mendapatkan karakteristik geopolimer yang lebih baik. Kandungan karbon yang
10

tidak terbakar cukup tinggi dalam abu menjadikan geopolimer abu sawit yang
dihasilkan menjadi material yang memiliki kuat tekan rendah.

2.1.3.2 Aktivator Alkali


Aktivator Alkali merupakan bahan kimia yang digunakan untuk
mengaktifkan prekursor sehingga dapat menghasilkan ikatan polimerisasi yang
kuat. Alkali mengaktifkan prekursor dengan mendisolusikan SiO2 dan Al2O3 ke
dalam monomer Si(OH)4 dan Al(OH)4. Selama proses curing, monomer
monomer tersebut terkondensasi dan membentuk jaringan polimer tiga dimensi
dan berikatan silang (Septia, 2011). Kalium hidroksida (KOH) merupakan
senyawa alkali yang sangat reaktif apabila direaksikan dengan air. KOH
berbentuk padat seperti serbuk, berat molekul 56,11 g/mol, titik didih pada
1384°C, titik leleh 380°C, dan larut dalam air (Material Safety Data Sheet ,
2017).

Gambar 2.3 Kalium Hidroksida (KOH)

Fungsi dari kalium hidroksida yaitu mereaksikan Si dan Al sehingga


menghasilkan ikatan polimerisasi yang kuat. Sodium silikat merupakan salah satu
senyawa yang berperan dalam pembuatan beton geopolimer yang berwarna putih
berbentuk gel dan apabila dilarutkan dalam air menghasilkan larutan alkali.
Sodium silikat berperan penting untuk mempercepat reaksi polimerisasi (Pujianto
dkk, 2013). Jenis aktivator yang digunakan dalam campuran mortar
11

geopolimer akan menghasilkan kuat tekan dan pengaruh yang berbeda.


Menurut Fan (2017), penggunaan aktivator KOH dapat memberikan nilai kuat
tekan lebih dari 100 Mpa.

Konsentrasi aktivator berperan penting dalam peningkatan kekuatan


mortar geopolimer. Semakin tinggi konsentrasi aktivator maka kekuatan
tekan mortar geopolimer yang dapat dicapai umumnya juga semakin meningkat.
Aktivator yang digunakan pada penelitian ini adalah KOH, dimana konsentrasi
KOH dijadikan variabel tetap.

2.1.3.3 Aditive
Penambahan aditive superplasticizer dapat menghasilkan beton mutu
tinggi dengan mengurangi air sehingga faktor air semen yang merupakan faktor
utama penentu mutu beton dapat diminimalkan sekecil mungkin, sehingga hanya
air yang diperlukan untuk reaksi hidrasi semen saja yang diperlukan. Beton
dengan permeabilitas yang lebih rendah (lebih kedap air) dapat diperloleh dengan
pengurangan pemakaian air dan penyebaran partikel semen dalam adukan beton.
Kemampuan superplasticizer untuk meningkatkan kualitas beton tergantung
pada jenis, takaran dan waktu penambahan superpasticizer serta faktor air semen
dan jumlah semen yang digunakan dalam adukan beton. superplasticizer dapat
digunakan untuk hampir semua jenis semen (Maivaganam dan Rixom, 2003).

2.1.3.4 Agregat
Agregat halus sering disebut dengan pasir, baik berupa pasir alami
langsung dari sungai atau tanah galian maupun hasil pemecahan. Pada umumnya
yang dimaksudkan dengan agregat halus adalah agregat dengan besar butir kurang
dari 4,75 mm. Agregat halus mempunyai peran penting sebagai pembentuk beton
dalam pengendalian workability, kekuatan (strength), dan keawetan beton
(durability) dari mortar yang dihasilkan. Pasir sebagai agregat halus harus
memenuhi gradasi dan persyaratan yang telah ditentukan (Primasasti, 2010).

Syarat – syarat agregat halus (pasir) sebagai bahan material pembuatan


beton sesuai dengan ASTM C 33 adalah :
12

1) Material dari bahan alami dengan kekasaran permukaan yang optimal


sehingga kuat tekan beton besar
2) Butiran tajam, keras, kekal (durable) dan tidak bereaksi dengan
material beton lainnya
3) Berat jenis agregat tinggi yang berarti agregat padat sehingga beton
yang dihasilkan padat dan awet
4) Bentuk yang baik adalah bulat, karena akan saling mengisi rongga dan
jika ada bentuk yang pipih dan lonjong dibatasi maksimal 15% berat
total agregat.
5) Kadar lumpur agregat tidak lebih dari 5% terhadap berat kering karena
akan berpengaruh pada kuat tekan beton atau mortar.
2.1.4 Parameter – Parameter Uji Geopolimer
Pengujian terhadap geopolimer sangat diperlukan untuk menentukan
kelayakan dari geopolimer yang dibentuk terhadap standar yang telah ditentukan.
Parameter – parameter yang digunakan sebagai tolak ukur pengujian geopolimer
antara lain sebagai berikut :
2.1.4.1 Kuat Tekan
Menurut arifin dkk (2011), kuat tekan beton geopolimer campuran fly ash
menunjukkan kinerja terbaik dengan rata – rata penurunan kekuatan 7,3% pada
minggu pertama terpapar asam dan 1.6% penurunan pada minggu sesudahnya.
Moura dkk (2011) meneliti pengaruh penggantian metakaolin dengan CaO2 untuk
geopolimer berbasis fly ash dengan penambahan sebesar 0%, 5%, dan 10% CaO2.
Dari hasil analisa, diperoleh kuat tekan tertinggi ada pada penambahan CaO2
10%. Shuguang dkk (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh dari
penggantian granulated blast furnace slag (GBFS) dengan geopolimer mortars
(GPM) dengan 0% dan 20% grafena. Kuat tekan pada 8 jam, 1 hari, 3 hari, 7 hari
dan 28 hari dengan variasi material. Data dari hasil penelitian dapat dilihat pada
Tabel 2.3
13

Tabel 2.3 Kuat Tekan Pada Variasi Material (Shuguang dkk, 2008)

2.1.4.2 Porositas
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui nilai porositas yaitu
ukuran dari ruang kosong diantara material dan merupakan fraksi dari volume
ruang kosong terhadap total suatu mortar. Kuat tekan akan menjadi kurang baik
apabila terdapat rongga pori yang tidak terisi oleh butiran pasir maupun pasta.
Rongga pori tersebut berisi udara (air voids) dan air (water filled space), apabila
mortar mengering akan dapat membentuk kapiler yang mengakibatkan mortar
bersifat temus air (porous) (Yudhi Salman, 2015).
Tekin (2016) melakukan penelitian propertis dari NaOH sebagai aktivator
alkali geopolimer. Menurut hasil uji penyerapan yang dilakukan, porositas dan
absorbsi air pada geopolimer mengalami peningkatan. Pori yang dihasilkan dari
setiap geopolimer berbeda – beda. Persentasi penyerapan air pada geopolimer
yang diproduksi dengan perbandingan rasio antara fly ash dan NaOH (0,2, 0,4,
0,6, dan 0,8) adalah 16,81%, 18,35%, 20,96%, dan 27,23%. Persentasi
penyerapan air pada geopolimer yang diproduksi dengan perbandingan rasio
antara limbah marmer dan NaOH (0,2, 0,4, 0,6, 0,8) adalah 15,46%, 17,12%,
19,63%, 25,78%. Selama uji absorpsi air, porositas tidak bisa diuji pada
konsentrasi NaOH 1 M dan 5 M, hal ini dikarenakan adanya keretakan pada
sampel secara bertahap oleh meregangnya spesimen pada geopolimer. Nilai
porositas tertinggi yang dapat diukur pada konsentrasi NaOH 10M adalah sebesar
28%.
14

Gambar 2.4 Keretakan Geopolmer pada konsentrasi NaOH 1 M dan 5 M


(Tekin, 2016)
2.1.4.3 Kuat Lentur
Septia (2016) melakukan penelitian mengenai karakterisasi mortar
geopolimer dengan perawatan oven pada berbagai variasi waktu curing. Dari hasil
diperoleh bahwa nilai kuat lentur yang didapat dari variasi waktu perawatan oven
secara umum mengalami kenaikan. Tetapi pada 15 jam mengalami penurunan
yang disebabkan oleh benda uji kurang pemadatan dalam penumbukan, kemudian
mengalami keropos dan nilai kuat lenturnya kecil, yaitu 2,093 Mpa.
Primasasti (2010) melakukan penelitian mengenai kuat lentur yang
diperoleh dari mortar dengan pasir dibandingkan dengan adanya penambahan
polimer. Dari hasil analisa diperoleh bahwa pengaruh penambahan kadar polymer
pada mortar dengan rasio penambahan polimer 0%, 2%, 4%, 6% terhadap kuat
lentur cenderung mengalami penurunan. Nilai kuat lentur terbesar ada pada
komposisi mortar dengan PO 0% pada 28 hari sebesar 5,29 Mpa.
2.1.4.4 Daya Tahan Asam
Penurunan kuat tekan yang besar pada mortar geopolimer disebabkan
terganggunya beberapa komponen pembentuk geopolimerisasi yang diakibatkan
proses migrasi larutan alkali dari benda uji kedalam larutan perendaman yang
diperburuk oleh larutan asam tersebut. Kerusakan bahan geopolimer dilarutan
15

asam berkaitan dengan proses depolimerisasi dari aluminosilikat polimer dan


pembebasan asam silikat, penggantian kation Na dan K oleh hidrogen atau ion
hidronium dan dealuminasi dari struktur geopolimer itu sendiri (Bakharev T,
2005).
Hutapea dkk (2014) melakukan pengujian ketahanan mortar dilingkungan
asam dengan berbagai tipe semen. Porositas mortar portland composite cement
(PCC) lebih rendah dari mortar ordinary portland cement (OPC) dan mortar OPC
dengan penambahan 10% palm oil fuel ash (POFA). Hal ini dikarenakan
terdapatnya bahan organik lebih dari satu jenis yang menambah kekedapan semen
yang menyebabkan porositas meningkat dan mortar akan lebih mudah hancur.
Nilai porositas yang diperoleh pada penelitian Hutapea dkk dapat dilihat pada
Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Hasil Pengujian Porositas Pada Berbagai Kondisi (Hutapea, 2014)

2.1.4.5 Karakteristik Agregat Halus


Material yang digunakan adalah agregat agregat halus asal sungai kampar,
Riau. Karakterisasi tersebut meliputi berat jenis, kadar air (%), modulus
kehalusan, dan berat volume (gr/cm3). Setiap pengujian yang dilakukan
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditampilkan pada Tabel 2.4
dibawah ini :
16

Tabel 2.4 Standar Pengujian dan Spesifikasi yang Digunakan


No Pengujian dan Spesifikasi Standar
1 Kuat Tekan SNI 6882-2014
2 Spesifikasi Agregat Halus Untuk Mortar SNI 6882-2014
3 Spesifikasi Mortar untuk Pekerjaan Pasangan SNI 6882-2014
4 Spesifikasi Standar untuk Pozzolan Alam
ASTM C 618-03
untuk digunakan Sebagai Bahan Campuran
5 Porositas ASTM C 642-90
6 Spesifikasi Kandungan Fly Ash SNI 15-2049-2004
SNI 2803:2010
ASTM C1301-95 (2001)

2.2 Mekanisme Reaksi Pembentukan Geopolimer


Penggunaan larutan natrium hidroksida (NaOH) atau pottasium hidroksida
(KOH) dan larutan natrium silikat (Na2SiO3) dapat menghasilkan kekuatan tekan
yang tinggi. Pada saat proses polimerisasi berlangsung, terjadi reaksi endotermis.
Panas yang diserap berasal dari temperatur curing, dimana semakin tinggi
temperatur curing, maka proses aktivasi prekursor akan meningkat. Selain
temperatur curing, waktu curing juga berpengaruh. Natrium silikat akan larut
dalam air dan selanjutnya akan menghasilkan kation Na+ yang berperan sebagai
penyeimbang muatan (charge balance) dalam struktur cross-link aluminasilikat.
Penambahan NaOH atau KOH bertujuan untuk menambah kation Na+ atau K+ saat
proses polimerisasi, serta berperan dalam memutuskan ikatan pada silika dan
alumina pada prekursor untuk membentuk [SiO4] dan [AlO4]- atau disebut
sebagai proses disolusi. Semakin tinggi kadar NaOH atau KOH yang digunakan
akan menghasilkan kuat tekan geopolimer yang lebih tinggi. Kadar aktivator
alkali harus optimum untuk menyediakan kebutuhan kation monovalen
penyeimbang muatan Na+ atau K+ saat proses polimerisasi.
Unsur – unsur kimia didalam prekursor bila dicampur dengan larutan
alkali sebagai aktivator akan menghasilkan material pasta geopolimer dengan
17

kekutatan mengikat seperti pasta semen. Reaksi kimia yang terjadi pada proses
polimerisasi terbagi dalam 3 tahapan, yaitu :

1) Disolusi atom Si dan Al dari sumber material prekursor disebabkan


oleh ion hidroksida
2) Penguraian ion prekursor menjadi monomer (NaOH atau KOH)
seperti pada Gambar 2.6

n(Si2O5.Al2O2)+2nSiO2 + 4nH2O + KOH  K+ + n(OH)3 –Si-O-Al-O-Si-(OH)3

(OH)2
Gambar 2.6 Reaksi Penguraian Ion Prekursor menjadi Monomer (Umar
Sidik, 2012)

3) Polimerisasi (polikondensasi) monomer – monomer menjadi struktur


polimer seperti pada Gambar 2.7

n(OH)3-Si-O-Al-O-Si-(OH)3 + KOH  K+ -(-Si-O-Al-O-Si-O-) + 4nH2O

O O O

Gambar 2.7 Polimerisasi Monomer – Monomer Menjadi Struktur Polimer


(Umar Sidik, 2012)

4) Konsep model untuk proses aktivasi alkali dapat dilihat pada Gambar
2.8
18

Gambar 2.8 Konsep Model Proses Aktivasi Alkali (Palomo A dan Ana
Fernandez, 2011).

2.3 Jenis Filler Pada Geopolimer


Ada beberapa jenis filler untuk geopolimer, yaitu: serbuk besi, polimer,
allotrop carbon. Berikut pemaparannya terkait jenis-jenis filler :
2.3.1 Serbuk Besi
Menurut Bahri (2010), serbuk besi adalah bagian dari hasil sisa potongan
atau sisa pembubutan besi tuang yang merupakan hasil pemakaian di industri. Ada
tiga jenis besi tuang yang banyak digunakan, yaitu besi tuang kelabu (grey cast
iron), besi tuang ulet atau besi tuang nodular (nodular cast iron) dan besi tuang
putih (white cast iron). Ketiga jenis besi tulang ini mempunyai komposisi kimia
yang hampir sama. Pemakaian besi pada industri menghasilkan limbah buangan
berupa serbuk besi yang merupakan hasil langsung dari sisa pembubutan dan
pemotongan besi. Penggunaan serbuk besi sebagai filler dapat menyebabkan
kenaikan nilai stabilitas. Hal ini menyebabkan meningkatnya kemampuan lapisan
19

perkerasan dalam menahan beban. Hal ini juga dapat menyebabkan lapisan
menjadi lebih kaku (getas) dan cepat mengalami keretakan. Secara umum
kandungan kimia serbuk besi terdapat seperti pada Tabel 2.5

Tabel 2.5 Kandungan Kimia Serbuk Besi (Bahri, 2010)


Kandungan Kimia Persentase (%)
Silikon (Si) 1-3
Carbon (C) 2-4
Mangan (Mn) 0,8
Fospor (P) 0,1
Sulfur (S) 0,05
Besi (Fe) sisa

2.3.2 Polimer
Polimer adalah jenis bahan tambahan baru yang dapat menghasilkan beton
dengan kuat tekan yang sangat tinggi. Beton dengan kuat tekan tinggi ini biasanya
diproduksi dengan menggunakan bahan polimer dengan cara memodifikasi sifat
beton dengan mengurangi air, dienuhkan dan dioperasikan pada temperatur yang
tinggi. Penggunaan polimer dalam campuran geopolimer dapat meningkatkan
kekuatan tarik dan lentur pada komposit beton normal dengan mortar serta dapat
mengurangi sifat rapuh. Selain variabel yang mempengaruhi sifat – sifat adukan,
rasio antara polimer dengan semen, rasio air dengan semen, kandungan air dengan
kondisi perawatan. Penggunaan polimer banyak digunakan pada reprair mortar.
Pada penambahan polimer, tidak ada interaksi antara polimer dengan beton,
selama hidrasi bagian hidrofilik dari polimer diorientasikan terhadap fase air
sedangkan bagian hidrofibik mengarah kepada fase udara (Primasasti, 2010).

2.3.3 Allotrop Carbon


Allotrop carbon merupakan senyawa yang terbentuk dari atom unsur
karbon dengan struktur yang berbeda. Grafit, Grafena, Grafena Oksida, Amorf
Carbon, adalah contoh dari allotrop carbon. Grafit merupakan jenis allotrop
carbon yang dapat diperoleh dari penambangan bahan alam mineral yang banyak
20

digunakan sebagai bahan pada pembuatan pensil. Grafena, Grafena Oksida


merupakan hasil pemecahan lapisan grafit menjadi 1 hingga 6 layer yang
memiliki sifat lebih unggul dari grafit.

2.3.3.1 Grafit
Grafit merupakan allotrop carbon yang dapat menghantarkan arus listrik
dan panas dengan baik. Dalam struktur grafit setiap atom karbon membentuk
ikatan kovalen dengan tiga atom karbon lainnya membentuk susunan heksagonal
dengan struktur berlapis seperti tumpukan kartu. Sifat daya hantar listrik yang
dimiliki grafit dipengaruhi oleh elektron – elektron yang tidak digunakan untuk
membentuk ikatan kovalen. Ikatan kovalen antar lapisan pada grafit relatif lebih
lemah bila dibandingkan ikatan kovalen antar atom dalam satu lapisan. Dengan
adanya hal ini, menyebabkan grafit bersifat licin. Struktur grafit dapat dilihat pada
Gambar 2.9 dibawah ini ;

Gambar 2.9 Gambar Struktur Grafit (Chu dkk, 2017)

Zhang dkk (2016) melakukan penelitian mengenai efek penambahan grafit


pada geopolimer. Rasio grafit dan fly ash mempengaruhi kekuatan lentur dan
kekuatan patahan dari geopolimer. Pada rasio grafit dan fly ash (0:1; 9:1; 12:1)
mengalami peningkatan, tetapi pada perbandingan rasio 15:1 dan 18:1 cenderung
mengalami penurunan. Kekuatan lentur tertinggi ada pada rasio 12:1 dengan nilai
kekuatan lentur 17,4 MPa, nilai ini meningkat 41,5% dari geopolimer tanpa grafit.
Penurunan kekuatan lentur komposit grafit dikarenakan pengaruh lembaran grafit.
Hal ini dapat menghasilkan kecacatan pada geopolimer dan menyebabkan
21

keheterogenan mikrostruktur geopolimer. Hasil pengujian yang dilakukan Zhang


dkk dapat dilihat pada Gambar 2.10

Gambar 2.10 Kekuatan Lentur dan Kekuatan Patahan Pada Penambahan Grafit
Pada Geopolimer (Zhang dkk, 2016)
2.3.3.2 Reduce Grafena Oksida (rGO) dan Grafena Oksida (GO)
Grafena oksida merupakan senyawa turunan grafena yang terbentuk dari
grafit yang teroksidasi. Grafena oksida merupakan salah satu material yang
banyak dikembangkan saat ini (Suwandana dan Susanti, 2013). Saat ini grafena
oksida banyak diinvestigasi oleh para peneliti dari berbagai bidang karena tertarik
dengan keunggulan dan sifat unik yang dimilikinya. Dengan ketebalan sekitar satu
atom karbon, grafena memiliki transparansi optik hingga 97,7%. Meskipun sangat
tipis, kekuatan grafena melebihi baja. Ikatan kovalen antar karbon yang kuat
menyebabkan grafena sulit untuk diregangkan, sehingga memiliki modulus
Young hingga 1,1 Tpa. Struktur yang terdiri dari lapisan-lapisan membuat grafena
sangat konduktif dengan mobilitas pembawa muatan hingga 200.000 cm2/(V.s)
dan konduktivitas termal hingga 5.300 W/(m.K) (Syakir dkk, 2015). Grafena
oksida menunjukkan banyak kegunaan di bidang elektrokimia dan aplikasi
elektroanalitik.

Sun Yan dkk (2015) melakukan penelitian mengenai pengaruh


penambahan rGO pada geopolimer dengan penambahan 1wt%. Hasil yang
diperoleh pada penambahan 1wt% rGO meningkatkan kekuatan lentur sebesar
22

17% dan kekuatan patahan sebesar 5%. Efek dari penambahan rGO pada
geopolimer secara struktur tidak ada, hal ini dikarenakan lembaran rGO
terdispersi secara homogen dalam matriks geopolimer. Peningkatan nilai kekuatan
lentur dan kekuatan patahan dapat dilihat pada Gambar 2.11

Gambar 2.11 Pengaruh Penambahan rGO pada Geopolimer (Sun Yan dkk,
2015)
2.3.3.3 Carbon Nanotube (CNT)
Pada skala nano, van der Waals forces between MWCNTs relatif tinggi,
dan karena luas permukaannya yang besar terhadap rasio volume, MWCNT
cenderung saling menarik dan terjadi penggumpalan, hal ini menyebabkan
semakin sulitnya partikel partikel pada geopolimer saling berdispersi. Larutan
alkali digunakan untuk proses geopolimer menjadi potensial untuk memperbaiki
interaksi MWCNTs dengan matriks geopolimer (Abbasi dkk, 2016).

Penggunaan filler pada geopolimer dapat memperbaiki sifat geopolimer


yang dihasilkan. Abbasi dkk (2016) melakukan penelitian dengan menggunakan
filler Carbon Nanotube untuk meningkatkan nilai kuat tekan dari geopolimer yang
dihasilkan. Penambahan CNT yang dilakukan adalah 0,5 wt% dan 1 wt%. Nilai
kuat tekan dan kuat lentur yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2.12 dan
Gambar 2.13 dibawah ini.
23

Gambar 2.12 Kuat Tekan Pada Penambahan CNT 0,5 wt% dan 1 wt%
(Abbasi dkk, 2016)

Gambar 2.13 Kuat Lentur Pada Penambahan CNT


(Abbasi dkk, 2016)
24

2.3.3.4 Grafena
Grafena merupakan material baru berukuran nano dan kuat. Grafena
terbentuk dari susunan atom-atom karbon monolayer dua dimensi yang
membentuk struktur kristal heksagonal menyerupai sarang lebah seperti terlihat di
Gambar 2.14. Grafena memiliki sifat unik dan unggul dibandingkan dengan
material lain. Grafena mempunyai ketebalan satu atom dan bersifat semi logam.
mobilitas elektron graphene multilayer sekitar 15000 cm2V-1s-1 pada suhu 300 K
dan sekitar 60000 cm2V-1s-1 pada suhu 4 K, sedangkan untuk graphene few layer
antara 3000-10000 cm2V-1s-1 (Novoselov dkk., 2004). Kecepatan transfer elektron
yang tinggi pada suhu ruang sebesar 200.000 cm2V-1s-1, konduktivitas listrik yang
tinggi (0,96 × 106 Ω-1cm-1), nilai konduktifitas termal 5000 Wm-1K, transparansi
optikal 97,7%, modulus young 1.0 Tpa, dan kekakuan 130 GPa (Casero dkk.,
2012). Grafena juga memiliki luas permukaan yang spesifik (2630 m2g-1), Pada
daerah energi 0,1 eV sampai dengan 0,6 eV grafena monolayer memiliki
konduktansi universal 6,08 x 10-5 Ω-1 (Kuzmenko dkk., 2008) dan memiliki nilai
regangan yang bersifat reversible serta memiliki kekuatan tekanan terhadap
pseudo-medan magnet masing-masing sebesar 20% dan 300 Tesla (Peres, 2010).
Sifat-sifat unik yang dimiliki membuat grafena menjadi salah satu material ideal
yang bisa diaplikasikan keberbagai bidang teknologi. Struktur dari grafena dapat
dilihat pada Gambar 2.14 dibawah ini :

Gambar 2.14 Struktur dari Grafena (Zhen dan Zhu, 2018)

Ranjbar N dkk (2015) menggunakan grafena nanoplatelet (GNP) sebagai


filler pada geopolimer berbasis fly ash. GNP yang ditambahkan sebesar 0,1%,
25

0,5% dan 1%. Nilai kuat lentur tanpa menggunakan GNP adalah sebesar 2,8 MPa,
dan pada penambahan 0,1%, 0,5%, 1% GNP adalah sebesar 4,2 MPa, 5,1 MPa,
dan 6,8 MPa. Peningkatan nilai kuat lentur pada penambahan 1% GNP adalah
sebesar 74,24%. Peningkatan nilai kuat lentur dapat dilihat pada Gambar 2.15
dibawah ini :

Gambar 2.15 Kuat Lentur Geopolimer dengan filler GNP (Ranjbar N dkk,
2015)

2.4 Grafena
2.4.1 Definisi Grafena
Grafena dengan satu lapisan atom karbon hibrid sp2 dan sangat baik
mobilitas elektron dalam sistem konjugasi nilai p dan memungkinkan adanya
transmisi elektron dalam komposit grafena. Grafena mampu meningkatkan
efisiensi pemisahan lubang elektron photogenerated dari semikonduktor sehingga
dapat meningkatkan aktivitasi fotokatalitik (Zhang, 2017).

Grafena dapat digunakan sebagai bahan untuk perakitan nanomaterial


karbon. Grafena merupakan lapisan tunggal yang baik untuk memperkuat
material komposit. Meski bersifat nanomaterial, grafena bisa diamati langsung
dalam mikroskop optik karena satu lapisan atom menyerap sekitar 2,3% dari
cahaya tampak. Hal ini memungkinkan untuk membedakan serpihan grafena.
Ketebalan yang dimiliki oleh grafena monolayer berkisar 0,4 nm. Raman
spektroskopi saat ini banyak digunakan dalam menganalisa grafena, hal ini
dikarenakan keakuratan yang dihasilkan lebih baik. Ada tiga sifat dasar yang
26

mengklasifikasikan grafena, yaitu jumlah lapisan grafena, dimensi rata – rata, dan
perbandingan karbon : oksigen (C/O) (Dimitros dkk, 2015). Hal tersebut dapat
dilihat pada Gambar 2.16 dibawah ini :

Gambar 2.16 Klasifikasi Jenis Grafena (Dimitros dkk, 2015)

Dari basis tersebut, setiap sumber grafena akan memberikan perbedaan


karakter grafena yang dibentuk. Grafena dengan beberapa lapisan (few layer)
terdiri dari 2 sampai 5 lapisan. Grafena monolayer memiliki modulus elastisitas
sama hingga 100 GPa, nilai tersebut sangat menjanjikan dari GNP dan sangat baik
digunakan pada geopolimer. Penentuan nilai modulus elastisitas dilakukan dengan
identifikasi pada serpihan monolayer. Konduktivitas termal yang dimiliki grafena
monolayer dapat mencapai 3000 W mK-1 pada suhu kamar. Dari hasil analisa
Raman, konduktivitas termal dari grafena menurun seiring semakin banyaknya
lapisan, jika lapisan lebih dari 6 layer, maka nilai konduktivitas termal mendekati
grafit (Dimitros dkk, 2015).

Frasca dkk (2015) menyatakan bahwa grafena monolayer harus memiliki


luas area hingga 2600 m2/g dan layer-nya kurang dari 7, sedangkan grafena
multilayer dapat terdiri dari 7 sampai 15 layer dan yang lebih dari 15 layer dapat
digolongkan kepada grafit. Pada penelitian ini, akan digunakan grafena dengan
27

fewlayer atau monolayer dan akan diamati pengaruh penambahan grafena


terhadap kuat tekan, kuat lentur, porositas, daya tahan asam dari geopolimer yang
dihasilkan.

2.4.2 Metode Pembuatan Grafena


Sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian tentang sintesis
graphene untuk menghasilkan graphene satu lapis (single-layer) dan beberapa
lapis (few-layer) dari material dasar karbon diantaranya adalah (a) Mechanical
exfoliation graphene menggunakan metode peel-of dengan Scotch-tape, (b)
Chemical Vapor Decomposition (CVD) lapisan graphene, (c) Metode Hummer,
(d) Sintesis graphene dengan metode Reduksi Grafit Oksida (GO) (Junaidi dan
Susanti, 2013).

Mechanical exfoliation graphene merupakan metode yang mudah


digunakan akan tetapi hanya dapat menghasilkan graphene dalam jumlah sedikit
dan tidak efisien, karena metodenya menggunakan pengelupasan secara mekanik
pada grafit (Rafitasari, 2016). Metode CVD merupakan metode sintesis graphene
dengan menggunakan substrat SiO2 sebagai media pertumbuhan graphene.
Metode ini menggunakan peralatan penunjang dengan teknologi tinggi sehingga
membutuhkan biaya relatif mahal. Namun metode ini dapat menghasilkan lebih
banyak graphene dibandingkan menggunakan metode mechanical exfoliation
(Rafitasari, 2016).

Metode Hummer untuk mensintesis graphene dengan melakukan variasi


waktu ultrasonikasi dan waktu tahan proses hydrothermal dengan diperolehnya
hasil graphene yang memiliki konduktivitas listrik terbaik sebesar 0,0002 S/cm
dengan waktu ultrasonikasi 120 menit dan waktu tahan hydrothermal 12 jam
(Pradesar and Susanti, 2013). Metode ini dikenal dengan cara kotor untuk
memperoleh graphene, karena hasil sintesisnya masih mengandung atom-atom
pengotor yang berikatan pada struktur karbon penyusun graphene.

Metode Reduksi Graphite Oksida (GO) inti metode ini adalah


mengoksidasi graphite sehingga menjadi grafit oksida. Metode yang digunakan
untuk mensintesis graphite oksida adalah metode hummer yang dimodifikasi
28

menjadi metode yang lebih aman oleh Marcano dkk., (2010) yakni metode sintesis
yang tidak mengeluarkan gas beracun seperti NO2 dan N2O4 dengan struktur yang
lebih teratur. Akan tetapi metode yang dilaporkan Marcano dkk, menggunakan
asam pekat yang sangat banyak, sehingga menghasilkan limbah asam yang
banyak dan berbahaya, waktu sintesis yang lama, serta konduktivitas listrik yang
masih rendah yaitu 0,1 s/cm.

Pada penelitian ini pembuatan graphene digunakan metode


Electrochemical and Mechanical Liquid Exfoliation (EMLE). Metode ini
merupakan perpaduan dari metode Mechanical Exfoliation (ME) dan Liquid
Exfoliation (LE) dan serpihan graphite yang dihasilkan berasal dari proses
Elektrochemical Exfoliation. Dinamakan metode Electrochemical and
Mechanical Liquid Exfoliation (EMLE) karena sampel yang dibuat pada fase cair
dan dihancurkan atau dihaluskan secara mekanik menggunakan blender. Metode
ini sangat menjanjikan untuk produksi graphene karena sederhana, biaya rendah,
tidak menggunakan bahan kimia beracun, kemudahan dalam produksi skala besar,
dan menghasilkan graphene dengan kualitas yang baik. Prinsip dari metode ini
yaitu terjadinya pengelupasan graphene dari graphite didalam pelarutnya yaitu
berupa larutan surfaktan dan dihaluskan secara mekanik menggunakan blender.
Surfaktan berfungsi untuk melemahkan ikatan van der waals antar lembaran
graphene pada material graphite. Pelemahan ini kemudian dapat menyebabkan
lembaran-lembaran pada graphite saling mengelupas menjadi graphene
(Eswaraiah dkk., 2014).

Anda mungkin juga menyukai