Anda di halaman 1dari 8

1.

2 Teori
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya
bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang
harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet
atau salep (Ansel, 1985).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral
dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat
larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal
dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium
basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus
halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker glass
yang berisi air atau dimasukan ke dalam saluran cerna (saluran gastrointestinal),
obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padanya. Kalau tablet
tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi
granul-granul, dan granul-granul mengalami pemecahan menjadi partikel halus.
Disintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat di tempat obat tersebut diberikan (Martin, 2008).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in
vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung. Uji hancur pada suatu tablet
didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel- partikel kecil,
sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji
hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah
kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel
itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya.
Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh
produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan
mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam
tablet (Martin, 2008).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat
dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavailabilitas
dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu
tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna,
menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin, 2008).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral
dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel- partikel obat
larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal
dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium
basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus
halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna,
obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet
tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi
granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-
partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara
serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan
(Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas
partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua langkah
berturut-turut (Gennaro, 1990):
a. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang
tetap atau film disekitar partikel
b. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair
Langkah pertama, larutan berlangsung sangat singkat. Langkah kedua,
difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.
Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat
pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan
jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan
larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul
obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane
biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan
larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari
permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut (Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika
obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat
yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus
menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat
lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang
diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju
dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi
pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau
dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian ora, karena
batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus
halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan
bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan
tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu
yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya
partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel
tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya.
Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir
seluruh produk tablet (Martin, 1993).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet
diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasanmengapa
penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan
untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang
diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang rendah serta besarnya
penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian manusia
sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan menganggap
adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang
digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan
dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur
bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor
formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi
bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan
uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro (Ansel, 1989).
Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukkan (Ansel, 1989):
1. Pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju pelepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan
laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan
efektif secara klinis.
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat
aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin
cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul,
serbuk, seppositoria), sediaan sistem terdispersi (suspensi dan emulsi), atau
sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi
sistemik.
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan
kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran
cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif
tersebut, yaitu (Martin, 2008):
1. Zat aktif mula-mula harus larut
2. Zat aktif harus dapat melewati membran saluran cerna
Faktor yang mempengaruhi disolusi (Martin, 2008):
1. Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh
lima persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2. Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam
beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang
dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah
kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi “sink” sehinggan
kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu
dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan “sink” maka
perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada
kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu
larutan jenuh. Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas
dari medium sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam
medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat
menaikkan kecepatan melarut.
3. Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya
kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100
rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-
bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan
pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah
medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih
diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.
4. Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang,
tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak
yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini
akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.
5. Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena
dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium.
Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama
bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros
yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir
semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air
atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat
membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan
harus dicek.
7. Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi
dapat mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil
cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama percobaan
berlangsung dapat merupakan penyebabnya.
8. Posisi pengambil cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara
bagian puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan medium
(code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana
disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling
baik pengadukannya.
9. Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh
tidaklah selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa
mungkin juga disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya
sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran partikel
dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan,
penyalutan terutama dengan shellak dan tidak memadainya zat
penghancur.
10. Kalibrasi alat disolusi
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal
ini merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa
melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk
mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet
prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan
pada kecepatan dayung atau keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus
dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan sekali.

Obat generik dengan obat innovator sebagai referensi. Kemiripan antar obat
dihitung secara statistik dengan faktor similaritas berikut :

F2 = 50 log {[ 1+(1/n)∑𝑡−𝑛
𝑡−𝑙 ( 𝑅𝑡 − 𝑇𝑡)²]¯⁰’⁵. 100

Dengan Rt= presentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling
dari produk pembanding (R= reference ), dan Tt= presentase kumulatif obat yang
larut pada setiap waktu sampling dari produk uji ( T=test ). Nilai f2=50 atau lebih
besar (50-100) menunjukan kesamaan atau ekivalensi kedua kurva yang berarti
kemiripan profil disolusi kedua produk.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Gennaro, A. R., et all. 1990. Remingto’s Pharmaceutical Sciensces , Edisi 18th.


Marck Publishing Company. Easton. Pensylvania.

Martin, A., et.all. 1993. Farmasi Fisika. Edisi Ketiga. Jilid Kedua. Jakarta:
UI Press.

Martin, A., et all., 2008. Farmasi Fisika Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu
Farmasetik. Edisi Ketiga. Jilid Kedua. Jakarta: UI Press.

Anda mungkin juga menyukai