Anda di halaman 1dari 11

1.

PATTIMURA

Thomas Matulessy Pattimura


Julukan Pattimura

Lahir 08 Juni 1783


Haria, Saparua,Maluku, Hindia Belanda

Meninggal 16 Desember 1817(umur 34)


New Victoria,Ambon, Maluku,Hindia
Belanda

Pengabdian Maluku Britiania

Dinas/cabang Angkatan Darat Kerajaan


Pangkat Sersan Mayor

Perang Perang Pattimura


Penghargaan Pahlawan Nasional
Indonesia (diterima 6 November 1973)

Pattimura (atau Thomas Matulessy) (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8


Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun),
juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura. Menurut buku biografi Pattimura versi
pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura
tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya yang
bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang
terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang
terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan
dalam bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut
Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukanSaparua seperti yang dikenal dalam
sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang
saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan
Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Pada tahun 1817 muncul perlawanan rakyat Maluku yang dipimpin oleh
Pattimura, perlawanan bermula Sapura. Kemudian berkobar di pulau-pulau lainnya.
Perlawanan disebabkan oleh tindak sewenang-wenang yang dilakukan Belanda. Pada
tanggal 16 Mei 1817 benteng Belanda Duurstede berhasil direbut oleh rakyat Maluku.
Kekalahan tersebut memaksa pihak Belanda mengirim pasukan yang lebih banyak,
sehingga kekuatan menjadi tidak seimbang. Pada akhirnya Belanda mampu mendesak
pasukan Pattimura. Pattimura dan pasuikan lainnya ditangkap, Pattimura dijatuhi
hukuman gantung pada tanggal 16 Mei 1817.
2. PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari

Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin Pangeran


Antassarie
Gusti Inu Kartapati

Masa kekuasaan 14 Maret 1862 - 11 Oktober 1862

Pendahulu Sultan Hidayatullah Khalilullah

Pengganti Sultan Muhammad Seman

Pasangan Ratu Antasari


Nyai Fatimah

Wangsa Dinasti Banjarmasin

Ayah Pangeran Masud bin Pangeran Amir

Ibu Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman

Pangeran Antasari lahir di Kayu Tangi,Kesultanan Banjar,1797 atau 1809


meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober1862 pada umur 53
tahun adalah seorangPahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan
pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan
adipati (gubernur) penguasa wilayahDusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu
Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Perlawanan Pangeran Antasari meletus pada tahun 1859. Perang ini disebut
Perang Banjar. Pecahnya perang Banjar berhubungan dengan masalah pergantian
sultan di Kasultanan Banjar. Setelah Sultan Adam Wafat pada tahun 1857, Belanda ikut
campur dalam urusan pergantian tahta. Belanda secara sepihak melantik Pangeran
Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Perang Banjar berlangsung di Barito dan dipimpin
oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Hidayatullah.
3. TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol

Pemimpin Padri
Masa jabatan k.1821 – k.1837
Penguasa monarki Pagaruyung
Informasi pribadi
Lahir 1772
Bonjol
Meninggal 6 November 1864
Minahasa
Kebangsaan Minangkabau
Agama Islam

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol,Pasaman, Sumatera


Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak,
Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorangulama, pemimpin dan
pejuang yang berperang melawan Belandadalam peperangan yang dikenal dengan
namaPerang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagaiPahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun
1973, tanggal 6 November 1973.
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir
di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan
Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang
berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin
masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto
Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agamsebagai
salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya
sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan
sebutan Tuanku Imam Bonjol.
4. CUT NYAK DHIEN

Cut Nyak Dhien

Tanggal lahir 1848 Lampadang, Kesultanan Aceh

Meninggal 6 November 1908 (berusia 59–60)


Sumedang, Hindia Belanda

Dikenal karena Pahlawan Nasional Indonesia

Agama Islam

Pasangan Ibrahim Lamnga, Teuku Umar

Anak Cut Gambang

Cut Nyak Dhien(ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang,Kerajaan


Aceh, 1848 –Sumedang, Jawa Barat,6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dariAceh yang berjuang
melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia
mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.
Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan
Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda. Teuku
Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut
serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada
tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah
pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama
melawan Belanda.

Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11


Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama
pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki
penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot
melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda
Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya
menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan
pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet
Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November1908 dan dimakamkan di Gunung
Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut
Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
5. PANGEN DIPONEGORO
Pangeran Diponegoro

Nama lahir B.R.M. Antawirya

Tanggal lahir 11 November 1785


Ngayogyakarta Hadiningrat

Meninggal 8 Januari 1855 (umur 69)


Makassar, Sulawesi Selatan,
Hindia Belanda

Dikenal karena Pahlawan Nasional Indonesia

Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama


Diponegoro, lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 –
adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran
Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830)
melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan
korban paling besar dalam sejarah Indonesia.

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III,


raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di
Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati,
yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya,
Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya. Menyadari
kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya,
Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih
suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan
Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan
Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun,
sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen
Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.

Perang Diponegoro (1825-1830)


Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan
Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi
rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara
terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi,
pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua
yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya
adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil"
yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan
Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan
pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung
oleh Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan
20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro.
Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa
saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang
tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan
ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua
metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka ( open
warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui
taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah
dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase)
dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai
kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada
tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul
kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah
kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil
menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke
Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa.
Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000
serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga
setelah perang ini jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat
bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton,
sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan
Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai
Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama
untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh putranya bernama
Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah
Kulonprogo dan Bagelen. Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal
Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830 yang mengakhiri Perang Diponegoro
(1825-1830), dan dia meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8 Januari 1855
pada umur 69 tahun).
6. SISINGAMANGARAJA XII

Sisingamangaraja XII
Maharaja Toba
Lukisan Sisingamangaraja XII
berdasarkan lukisan yang dibuat oleh
Augustin Sibarani, kemudian tercetak di
uang Rp 1.000
Memerintah 1876–1907 M
Pendahulu Sisingamangaraja XI
-
Nama lengkap Ompu Pulobatu
Ayah Sisingamangaraja XI
Lahir 18 Februari 1845
Bakara
Meninggal 17 Juni 1907
Dairi
Dikubur Soposurung, Balige

Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17


Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara,
pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah
Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961
berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung, lalu
dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.[1]

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari
dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik
tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama
Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan
Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya
open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing
yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte
Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di
mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di
sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan
tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan
Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja


Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara
untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam sepucuk surat kepada Marsden
bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya
mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di
Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga
dibawa dari Pagaruyung. [3] Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih
mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan
Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.[butuh
rujukan]
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman
penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan
Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk
menyusun benteng pertahanan[butuh rujukan]. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah
memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang)
pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai
dilakukan.

Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang
dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1
Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial
dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII
beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi.
Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia
dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan


secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar,
Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan
kolonial Belanda.

Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi


pasukannya[butuh rujukan]. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif
menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta
Tangga Batu pada tahun 1884.

7. I GUSTI KETUT JELANTIK

Nama : I GUSTI KETUT JELANTIK


Jabatan : Patih Agung/Wakil Raja
Putera dari : I Gusti Nyoman Jelantik Raya
Pendidikan : Pendidikan Tradisional dalam Lingkungan Keluarga
Diriobatkan : Pada tahun 1828 sebagai Patih di Kerajaan Buleleng
Meninggal : Tahun 1849

RIWAYAT PERJUANGAN

Keberanian dan keperwiraannya menentang penjajahan Belanda diawali dengan sikap


dan tindakannya yang menolak tuntutan Belanda agar mengganti kerugian atas kapal-
kapal yang dirampas dan mengakui kedaulatan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini
terbukti pada perundingan antara Belanda yang dipimpin oleh JPT Mayor Komisaris
Pemerintah Belanda dengan Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem dan
Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik.

Atas tuntutan itu Patih Jelantik sangat marah, sambil memukul dada dengan
kepalan tangan mengatakan: “Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan
sehelai kertas saja tetapi harus diselesaikan diatas ujung keris. Selama saya masih
hidup Kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda. “Ucapan Patih
Jelantik yang gagah berani itu mengandung makna kepahlawanan dan kolonialisme.

Pada tanggal 12 Mei 1845, Belanda mencari cara lain yaitu dengan perantaran
Raja Klungkung untuk menyelesaikan masalah perampasan perahu dagang yang
terdampar di Pantai Sangit. Dalam pertemuan tersebut Belanda menuntut agar
Buleleng menghapuskan hak “ Tawan Karang “ Yaitu hak dari Raja Bali untuk
merampas perahu yang terdampar di pantai Wilayah Kerajaannya ) dan mengakui
kedaulatan Belanda atas Kerajan Buleleng. Dalam kesempatan itu I Gusti Ketut Jelantik
memberikan reaksi yang keras, sambil menghunus keris lalu menusuk kertas perjanjian
dan mencerca orang Belanda: ”Hai kau si mata putih (utusan Belanda) yang biadab,
sampaikan pesanku kepada pimpinanmu di Betawi agar segera menyerang Den Bukit”
(Bali Utara).

Peristiwa ini menunjukkan bagaimana kebesaran dan keberanian Patih I Gusti


Ketut Jelantik dalam mempertahankan sikap, setia pada ucapan dan perbuatan, tekad
yang kuat menentang penjajah Belanda.
Pada tanggal 27 Juni 1846 pihak Belanda mengadakan perlawanan terhadap pasukan
Bali dan pertempuran tersebut berlangsung sangat seru yang berakhir dengan jatuhnya
Buleleng ke tangan Belanda pada tanggal 29 1846. Raja Buleleng dan Patihnya I Gusti
Ketut Jelantik mundur ke Desa Jagaraga untuk menyusun kekuatan.

Dalam mempertahankan desa (benteng) Jagaraga Patih Jelantik giat


memperkuat pasukannya, dan mendapat dukungan dari kerajaan lainnya seperti
Karang Asem, Klungkung, Badung dan Mengwi.
Patut kita catat disini bahwa Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik adalah orang yang ahli
dalam strategis perang seperti benteng Jagaraga dibuat dengan gelar “Supit Urang”
selain itu ia juga disegani oleh raja-raja di Bali karena keberanian dan tekad bajanya
menentang penjajah Belanda.
Pada tanggal 6 sampai dengan 8 Juni 1848 pihak Belanda mengirim expedisi yang
kedua dengan mendaratkan pasukannya di Sangsit. Perlawanan dari pasukan Bali
dipimpin oleh Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. Ia memberi komando dari Benteng
Jagaraga yang merupakan benteng paling kuat dari empat benteng lainnya.

Dari pihak Belanda dipimpin oleh Jenderal Van der Wijck, tetapi pasukan darat
Belanda tidak berhasil mendesak pasukan Bali, karena itu iamemerintahkan pasukannya
mundur ke panati. Di pihak Bali hanya satu benteng saja yang jatuh ke tangan Belanda
yaitu benteng disebelah timur Sansit dekat Bungkulan.
Kekalahan Belanda ini menambah kepercayaan raja-raja Bali akan kekuatan dan
kepemimpinan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. Keberhasilan laskar Patih Jelantik
sangat mengagetkan orang-orang Belanda sehingga menggegerkan Parlemen Belanda.

Kemenanagan laskar Buleleng menyebabkan pihak Belanda mengirimkan


expedisinya yang ketika pada tanggal 31 Maret 1849 di bawah pimpinan Jenderal
Michiels. Mereka melancarkan tembakan-tembakan meriam dari atas kapal, mereka
bergerak menuju Singaraja pada tanggal 2 April 1849. Raja Karangasem dan Raja
Buleleng mengirim utusannya untuk menyerahan surat tetapi gagal. Kemudian pada
tanggal 7 April 1849 Raja ‘ Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Patih I Gusti
Ketut Jelantik bersama 10-12 ribu orang prajurit berhadapan dengan tentara Belanda
yang dipimpin oleh Jenderal Michiels. Pihak Belanda tetap menuntut agar Raja Buleleng
mengakui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dan membongkar semua benteng
yang ada di Jagaraga.
Tuntutan Belanda tidak dilaksanakan oleh Patih Jelantik, maka terjadilah perang dan
akhirnya benteng Jagaraga jatuh ketangan Belanda pada tanggal 16 April 1849.
Dari pihak Bali pasukannya terdesak mundur sampai ke pegunungan Batur Kintamani,
selanjutnya terus ke Karangasem mencari bantuan.
Kemudian Karangasem diserang oleh pasukan Belanda yang didatangkan dari Lombok.
Pasukan Belanda terus menyerang sampai kepegunungan Bale Punduk, akhirnya Patih
Jelantik gugur.

8. TEUNGKU CHIK DI TIRO

Teungku Chik di Tiro


Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman

Tanggal lahir 1836


Tiro, Pidie, Kesultanan Aceh
Meninggal Januari 1891
Aneuk Galong, Aceh Besar,
Kesultanan Aceh
Dikenal karena Pahlawan Nasional Indonesia
Agama Islam
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1836 – Aneuk Galong,
Aceh Besar, Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh. Teungku
Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya
bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun
1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo,
Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu
agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di
sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam
berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang
diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda,
kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini
dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.
Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu
pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya.
Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng
Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota
Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu
membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh
pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. [1] Bukti
kehebatannya dapat dilihat dari banyaknya pergantian gubernur Belanda untuk Aceh
semasa perjuangannya (1881-1891) sebanyak 4 kali, yaitu: Abraham Pruijs van der
Hoeven (1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-1884), Henry Demmeni (1884-
1886), Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891). Belanda yang merasa kewalahan
akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun.
Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal
pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
BIOGRAFI PAHLAWAN DAN PERLAWANANNYA

Nama : Desia Dwi Putri

Kelas : V A ( Lima )

Sekolah : SDN Warakas 02 Petang

Pelajaran : IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial )

Anda mungkin juga menyukai