Anda di halaman 1dari 7

Menyusun shaff

Hadits dari Abu Mas’ud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
ِ ْ‫ِليَ ِلن ِْي مِ ْن ُك ْم أُولُو ْاْلَح‬
‫الم َوال ُّنهَى ث ُ َّم الَّ ِذ ْينَ يَلُ ْونَ ُه ْم ث ُ َّم الَّ ِذ ْينَ يَلُ ْونَ ُه ْم‬

“Hendaklah yang ada di belakangku (shaf pertama bagian tengah belakang imam) adalah kalangan orang dewasa yang
berilmu. Kemudian diikuti oleh mereka yang lebih rendah keilmuannya. Kemudian diikuti lagi oleh kalangan yang lebih rendah
keilmuannya” [HR. Muslim no. 432].

Hadits ini mengandung faedah bahwa menyusun shaf sesuai dengan urutan keutamaan di belakang imam. Hendaknya di
belakang imam adalah orang-orang yang lebih faqih di bidang agama dan lebih bagus hafalan/bacaannya dalam Al-Qur’an
dibandingkan yang lain; sebagaimana imam dipilih berdasarkan yang demikian[1]. Hal tersebut mengandung hikmah bahwa
bila sewaktu-waktu imam lupa/salah dalam bacaan Al-Qur’an, makmum dapat mengingatkannya. Atau sewaktu-waktu imam
ada udzur syar’i(misal batal, sakit, dan lain-lain) sehingga imam tidak bisa meneruskan shalatnya, maka orang yang di
belakangnyalah yang akan maju menggantikan dan meneruskan imam sebelumnya memimpin shalat berjama’ah.[2]

Meluruskan dan merapatkan shaff

1. Hadist An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

َ ً ‫ع ْنهُ ث ُ َّم َخ َر َج يَ ْوما ً فَقَا َم َحت َّى كَا َد يُ َكبِِّ ُر فَ َرأَى َر ُجالً بَادِيا‬
ِ ِّ ‫صد َْرهُ مِ نَ الص‬
‫َّف‬ َ ‫س ِّ ِو ْي بِهَا ا ْل ِقدَا َح َحت َّى َرأَى أَنَّا قَ ْد‬
َ ‫عقَ ْلنَا‬ َ ُ‫صفُ ْوفَ َنا َحت َّى َكأَنَّ َما ي‬ ُ ‫س ِّ ِو ْي‬َ ُ‫س ْو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم ي‬ ُ ‫كَانَ َر‬
‫صفُ ْوفَ ُك ْم أ َ ْو لَيُ َخا ِل َفنَّ هللاُ بَ ْينَ ُوج ُْو ِه ُك ْم‬ َ ُ ‫فَقَا َل ِعبَا َد هللاِ لَت‬
ُ َّ‫س ُون‬

Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf-shaf kami (para shahabat) seolah-olah beliau meluruskan
‘qadah’ [3] sehingga beliau yakin bahwa kami telah menyadari kewajiban kami (untuk meluruskan shaf). Suatu hari, ketika
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sudah hendak takbir, tiba-tiba beliau melihat salah seorang diantara kami membusungkan
dadanya ke depan melebihi shaf. Maka beliau bersabda : “Hendaknya kalian meluruskan shaf-shaf kalian, kalau tidak Allah akan
menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih” [HR. Muslim no. 436].

2. Hadits Anas bin Malik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam:

ِ ِّ ‫س ِو َيةَ الص‬
)‫َّف مِ ْن ت َ َم ِام الصَّال ِة‬ ْ َ ‫ فَ ِإنَّ ت‬: ٍ‫(وف ِْي َل ْفظ‬
َ .‫ف مِ ْن ِإقَا َم ِة الصَّال ِة‬ ُّ ‫س ِو َيةَ ال‬
ِ ‫صفُ ْو‬ ْ َ ‫صفُ ْوفَ ُك ْم َف ِإنَّ ت‬
ُ ‫س ُّو ْوا‬
َ

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf-shaf termasuk menegakkan shalat (berjama’ah)”. Dan dalam lafadh lain
: “…karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat (berjama’ah)” [HR. Al-Bukhari no. 690 dan Muslim no. 433].

3. Hadits An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhuia berkata :

‫ب صَاحِ ِب ِه‬ َّ ُ‫صفُ ْوفَ ُك ْم أ َ ْو لَيُ َخا ِلفَنَّ هللاُ َب ْينَ قُلُ ْو ِب ُك ْم قَا َل فَ َرأَيْت‬
ُ ‫الر ُج َل يُ ْل ِز‬
ِ ‫ق َم ْن ِك َبهُ ِب َم ْن ِك‬ ُ ‫اس ِب َوجْ ِه ِه فَقَا َل أ َ ِق ْي ُم ْوا‬
ُ َّ‫صفُ ْوفَ ُك ْم ثَالثا ً َوهللاِ لَت ُ ِق ْي ُمن‬ ِ َّ‫ع َلى الن‬
َ ‫س ْو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫أ َ ْق َب َل َر‬
‫َو ُر ْك َبتَهُ ِب ُر ْك َب ِة صَاحِ ِب ِه َو َك ْع َبهُ ِب َك ْع ِب ِه‬

Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : “Tegakkanlah shaf kalian,
tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian. Demi Allah, bila kalian tidak menegakkan shaf kalian, maka Allah akan
mencerai-beraikan hati kalian”. An-Nu’man berkata : “Aku saksikan sendiri seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan
bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya” [HR. Abu Dawud no. 662
dengan sanad shahih]

4. Atsar dari Nafi’Maula Ibni ‘Umar bahwasannya ia menceritakan :

‫كان عمر يبعث رجال يقوم الصفوف ثم ال يكبر حتى يأتيه فيخبره أن الصفوف قد اعتدلت‬

”Adalah ’Umar (bin Al-Khaththab) radliyallaahu ’anhu menugaskan seseorang untuk mengatur shaff-shaff. Tidaklah ’Umar mulai
bertakbir hingga ia (orang yang ditugaskan tersebut) kembali dan mengkhabarkan bahwasannya shaff-shaff telah lurus”
[Diriwayatkan oleh ’Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 2437 dan 2439].

Hadits di atas mengandung faedah diantaranya :

 Disunnahkannya meluruskan shaff dalam shalat berjama’ah, bahkan banyak di antara ulama yang mengatakannya
wajib. Hendaknya para jama’ah benar-benar memperhatikannya dengan memperhatikan kanan kirinya, mengatur diri,
dan saling mengingatkan jama’ah lain, sehingga shaf dapat menjadi benar-benar lurus dari awal sampai akhir shalat.
 Termasuk kesempurnaan shaff shalat berjama’ah adalah dengan merapatkannya dengan tidak membiarkan ruang-
ruang yang longgar/sela antar jama’ah. Caranya adalah dengan menempelkan bahu dengan bahu dan mata kaki dengan
mata kaki antar jama’ah/makmum sebagaimana hadits Nu’man bin Basyir di atas. Jangan ada perasaan risih karena
tertempelnya badan saudara kita dengan badan kita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

َ ‫ار ُك ْم أ َ ْليَنُ ُك ْم َمنَاك‬


‫ِب فِي الصَّال ِة‬ ُ َ‫خِ ي‬

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempunyai bahu paling lembut di dalam shalat”[HR. Abu Dawud no. 623; shahih lighairihi].

Maksud hadits ini adalah bahwa salah satu katagori orang yang paling baik adalah orang yang ketika berada di dalam shaff,
kemudian ada orang lain yang memegang bahunya untuk menyempurnakan (merapatkan dan meluruskan) shaff, ia akan tunduk
dengan hati yang ikhlash lagi lapang tanpa ada pembangkangan [lihat selengkapnya dalam Badzlul-Majhuud 4/338
dan Ma’alimus-Sunan 1/184].

 Hendaknya imam memperhatikan keadaan para jama’ahnya dengan selalu mengingatkan agar shaff selalu lurus dan
rapat. Menjadi satu “keharusan” bagi seorang imam sebelum memulai shalat untuk mengatur shaff jama’ah. Tidak
cukup bagi imam hanya mengatakan [sawwuu shufuufakum dst. “‫صفُ ْوفَ ُك ْم‬ َ ……]. Tapi harus diikuti dengan
ُ ‫س ُّو ْوا‬
mengingatkan dan memeriksa keadaan shaf jama’ahnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Imam bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya (yaitu jama’ah/makmum). Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :

ْ ‫ُكلُّ ُك ْم َراعٍ َو ُكلُّ ُك ْم َم‬


ْ ‫سؤُو ٌل ع َْن َر ِعيَّتِ ِه ا َ ْ ِْل َما ُم َراعٍ َو َم‬
‫سؤُو ٌل ع َْن َر ِعيَّتِ ِه‬

“Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Dan seorang imam adalah pemimpin dan ia
akan ditanya tentang kepemimpinannya” [HR. Bukhari no. 853].
 Bolehnya seorang imam menugaskan seseorang atau lebih untuk mengatur shaff-shaff shalat agar lurus dan rapat.

Sangat dianjurkan menyambung shaff dan mengisi shaff yang lowong.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :


‫س َّد فُ ْرجَةً َرفَعَهُ هللاُ ِبهَا د ََرج ًَة‬ ُّ ‫ع َلى ا َّل ِذ ْينَ يَ ِصلُ ْونَ ال‬
َ ‫صفُ ْو‬
َ ‫ف َو َم ْن‬ َ َ‫ص ُّل ْون‬
َ ُ‫إِنَّ هللاَ َو َمالئِ َكتَهُ ي‬

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu mendoakan orang-orang yang menyambung shaf-shaf dalam shalat. Siapa saja
yang mengisi bagian shaff yang lowong, akan diangkat derajatnya oleh Allah satu tingkat” [HR. Ibnu Majah no. 995;shahih
lighairihi].

Termasuk hal yang diperbolehkan dalam hal ini adalah seorang makmum maju mengisi shaff yang lowong/kosong yang ada di
depannya (yang mungkin disebabkan makmum yang ada di shaff di depannya batal meninggalkan shaff) ketika shalat
berjama’ah sedang berlangsung.[4]

Shaff pertama adalah shaff yang paling baik

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :


ْ ‫علَ ْي ِه َال‬
… ‫ست َ َه ُموا‬ ْ َ‫َّف ْاْلَ َّو ِل ث ُ َّم لَ ْم يَ ِجدُوا ِإ َّال أ َ ْن ي‬
َ ‫ست َِه ُموا‬ ُ َّ‫لَ ْو يَ ْعلَ ُم الن‬
ِ ِّ ‫اس َما فِي ال ِِّندَاءِ َوالص‬

“Seandainya manusia mengetahui pahala dari adzan dan shalat jama’ah di shaff pertama, dan itu hanya bisa mereka dapatkan
dengan berundi, maka pasti mereka berundi” [HR. Al-Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437].
‫وف النِِّسَاءِ آخِ ُرهَا َوش َُّرهَا أ َ َّولُهَا‬ ُ ‫الرجَا ِل أَ َّولُهَا َوش َُّرهَا آخِ ُرهَا َو َخي ُْر‬
ِ ُ ‫صف‬ ِ ُ ‫صف‬
ِّ ِ ‫وف‬ ُ ‫َخي ُْر‬

“Sebaik-baik shaff bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Adapun sebaik-baik
shaff bagi wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek adalah yang paling depan” [HR. Muslim no. 440].[5]

Shaff bagian kanan lebih afdlal daripada shaff sebelah kiri.

Point ini khusus ditujukan bagi makmum secara umum yang bukan termasuk jajaran orang-orang yang lebih berhak menempati
posisi di belakang imam (yaitu makmum dari kalangan ’alim dan faqih) sebagaimana dibahas di point 1. Dari Al-Barra’ bin
’Azibradliyallaahu ’anhu ia berkata :
َ‫ث أ َ ْو تَجْ َم ُع ِعبَادَك‬
ُ َ‫عذَابكَ يَ ْو َم ت َ ْبع‬ َ ‫سلَّ َم أًحْ بَ ْبنَا أ َ ْن نَك ُْونَ ع َْن يَمِ ْينِ ِه يُ ْقبَ ُل‬
َ ‫علَ ْينَا بِ َوجْ ِه ِه قَا َل فَسَمِ ْعتُهُ يَقُ ْو ُل َر ِِّب قِن ِْي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ َ ‫ُكنَّا إِذَا‬
َ ‫صلَّ ْينَا َخ ْل‬
ُ ‫ف َر‬

”Kami apabila shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam senang menempati shaff di sebelah kanan. Beliau
kemudian menghadap ke arah kami dan bersabda : “Rabbi, peliharalah diriku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan
(mengumpulkan) ham-hamba-Mu” [HR. Muslim no. 709, Ibnu Majah no. 1006, dan Ibnu Khuzaimah no. 1563-1565. Ini adalah
lafadh Muslim].[6]

Berdirinya makmum sendirian di belakang shaff dapat menyebabkan shalatnya (si makmum tersebut) tidak sah.

Dari Hadits Ali bin Syaiban radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang
laki-laki shalat bermakmum di belakang shaf, maka beliau berhenti sampai laki-laki itu selesai shalat. Selanjutnya
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
‫ف‬
ِ ِّ ‫ص‬ َ ‫ست َ ْقبِ ْل صَالت َكَ فَال صَالةَ ل َِر ُج ٍل فَ ْر ٍد َخ ْل‬
َّ ‫ف ال‬ ْ ‫ا‬
“Ulangi kembali shalatmu. Tidak sah shalat seorang yang yang bermakmum sendirian di belakang shaf” [HR. Ahmad 4/23 no.
16340 dan Ibnu Majah no. 1003; dengan sanad shahih].

Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini. Namun yang rajih, insya allah, adalah pendapat yang mengatakan :
“shalat tersebut tidak sah tanpa adanya udzur syar’i”. Maksudnya : Bila shaff di depannya masih longgar atau tidak rapat
sehingga masih memungkinkan baginya masuk mengisi di shaff tersebut; namun dia malah memilih berdiri sendirian di
belakang shaf tersebut, maka shalatnya tidak sah. Namun bila shaf di depannya telah penuh dan rapat sehingga tidak mungkin
dia masuk mengisi di antara shaf-shaf tersebut, maka shalatnya tetap sah. Wallaahu a’lam. [7]

Orang yang bermakmum sendirian berada sejajar satu shaff dengan imam.

Dari ’Abdullah bin ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata :


‫سلَّ َم ا ْل ِعشَا َء ث ُ َّم جَا َء إلى‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫ص َّلى هللا‬
َ ‫ص َّلى النَّبِ ُّي‬ َ َ‫سلَّ َم ِع ْن َدهَا فِي لَ ْيلَتِهَا ف‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫سلَّ َم َوكَانَ النَّبِ ُّي‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ث زَ ْوجِ النَّبِ ِِّي‬ِ ‫َار‬ ِ ‫ت ا ْلح‬ِ ‫ت َخالَتِي َم ْي ُمو َنةَ بِ ْن‬ ِ ‫بِتُّ فِي بَ ْي‬
َ ُ
ُ‫صلى َر ْكعَتَي ِْن ث َّم نا َم َحت َّى سَمِ عْت‬ َّ ُ
َ ‫س َر َكعَات ٍِِ ث َّم‬ َ
َ ‫صلى خ ْم‬ َّ َ ْ َ َ
َ ‫س ِار ِه ف َج َعلنِي عَن يَمِ ْينِ ِه ف‬ ْ ُ َ َ ُ
َ َ‫شبِ ُههَا ث َّم قا َم فق ْمتُ عَن ي‬ ٌ
ْ ُ ‫صلَّى أ َ ْربَ َع َر َك َعات ٍِِ ث ُ َّم نا َم ث َّم قا َم ث َّم قا َل نا َم الغليِِّ ُم أ ْو َك ِل َمةُِ ت‬
َ َ ُ ْ َ َ ُ َ ُ َ َ َ‫َم ْن ِز ِل ِه ف‬
‫غطِ ْي َطهُ أ َ ْو خطِ ْيطه ث َّم خ َر َج ِإلى الصَّال ِة‬
َ ُ ُ َ َ َ

”Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam; dan ketika itu beliau
berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang,
lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : “Apakah anak
laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?” atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri
untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku
berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku
mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk
melaksanakan shalat shubuh” [HR. Al-Bukhari no. 117, Muslim no. 763].

Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’ani berkata : ”Kemudian perkataan Ibnu ‘Abbas : “Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
menjadikanku (berposisi) di sebelah kanan beliau” jelas menunjukkan bahwa ia (Ibnu ‘Abbas) berdiri sejajar dengan beliau. Dan
dalam lafadh yang lain disebutkan (‫“ = )فقمت إلى جنبه‬Aku berdiri di samping beliau”. Dari sebagian shahabat Asy-Syafi’i
menyukai/menganjurkan agar makmum berdiri sedikit di belakang (dari imam). Akan tetapi (hal itu terbantah) bahwasannya
Ibnu Juraij telah meriwayatkan/berkata : Kami bertanya kepada ‘Atha’ : Seorang laki-laki shalat (berjama’ah) bersama seorang
laki-laki (imam). Dimanakah posisi ia berdiri dari imam tersebut ?”. ‘Atha’ menjawab : “Di sebelahnya”. Aku berkata : “Apakah ia
berdiri sejajar dengan imam sehingga berbaris ( = sebaris dengan imam), sehingga tidak ada selisih antara imam dan makmum ?”.
‘Atha’ menjawab lagi : “Ya”. Aku berkata : “Apakah tempatnya tidak jauh sehingga tidak ada selang antara keduanya ?”. Beliau
menjawab : “Ya”. Riwayat serupa (juga terdapat) dalam Al-Muwaththa’ dari ‘Umar dari hadits Ibnu Mas’ud bahwasannya Ibnu
Mas’ud satu shaff dengan ‘Umar dan ‘Umar menjadikan dia sejajar dengan ‘Umar di sebelah kanannya. [Subulus-
Salaam 2/44].[8]

Menghindari tiang atau sesuatu lain dalam shaff (yang akan memutus kebersambungan shaff).

Dari Mu’awiyyah bin Qurrah dari bapaknya radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :


َ ‫سو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َونُ ْط َر ُد‬
ً‫ع ْنهَا َط ْردا‬ َ ‫علَى‬
ْ ‫ع ْه ِد َر‬ َّ ‫ُكنَّا نُ ْنهَى أ َ ْن نَص‬
َّ ‫ُف َب ْينَ ال‬
َ ‫س َو ِار ْي‬
“Kami dilarang untuk berbaris di antara tiang-tiang di jaman Rasulullah dan kami menyingkir darinya” (HR. Ibnu Majah no. 1002,
Ibnu Khuzaimah no. 1567, dan Ibnu Hibban no. 2219; dengan sanad shahih).

Dari Abdul Hamid bin Mahmud berkata :


‫سو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
ْ ‫ع ْه ِد َر‬ َ ‫س َو ِار ْي فَتَقَد َّْمنَا َوتَأ َ َّخ ْرنَا فَقَا َل أ َنَس ُكنَّا نَتَّقِي َهذَا‬
َ ‫علَى‬ َّ ‫صلَّيْتُ َم َع أَنَ ِس ب ِْن َمالِكِ يَ ْو َم ا ْلج ُْم َع ِة َف ُدفِ ْعنَا إِلَى ال‬
َ

“Aku shalat bersama Anas bin Malik, dan kami terdesak (berbaris) pada tiang-tiang masjid. Sebagian di antara kami ada yang
maju dan ada pula yang mundur. Maka Anas berkata : ‘Kami menghindari ini di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”
[HR. Abu Dawud no. 673, Ibnu Khuzaimah no. 1568, Ibnu Hibban no. 2218, dan lain-lain; dengan sanad shahih].

Hadits di atas menunjukkan bahwa shaff sebaiknya menghindari jalur yang ada tiangnya, karena hal itu dapat memutuskan
shaff. Hal ini dilakukan apabila memungkinkan, yaitu masjidnya luas. Namun apabila sempit, maka tidak mengapa insya Allah.

***

Marilah kita membiasakan diri dan ‘memakmurkan’ sunnah-sunnah Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebagai penutup
bahasan, apa yang menjadi maksud penulisan risalah singkat ini adalah sebagaimana dikatakan Nabi Hud dalam Al-Qur’an :
ُ ‫علَ ْي ِه ت ََو ِّك ْلتُ َو ِإلَ ْي ِه أُن‬
‫ِيب‬ ِّ ِ‫ست َ َطعْتُ َو َما ت َْوفِيق َِي إِالِّ ب‬
َ ِ‫اّلل‬ ْ ‫صالَ َح َما ا‬ ِ ِّ‫إِ ْن أ ُ ِري ُد إِال‬
ْ ‫اْل‬

“Aku tidak bermaksud (kecuali) mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufiq bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” [QS. Huud
: 88].

Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ al-atsariy – bogor].

[1] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :


‫ فإن كانوا في الهجرة سوا ًء فأقدمهم سلما ً – وفي رواية‬،‫ فإن كانوا في السنة سوا ًء فأقدمهم هجرة‬،‫”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب هللا فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة‬
“…‫ فإن كانت قراءتهم سوا ًء‬،‫ ”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب هللا وأقدمهم قراءة‬:‫ وفي لفظ‬.“‫الرج َل في سلطانه وال يقعد في بيته على تك ِْر َمتِه إال بإذنه‬ َّ َّ‫– سنِّا ً وال يؤ ِّمن‬
َّ ‫الرج ُل‬

”Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya. Kalau dalam Al-Qur’an
kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang Sunnah. Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih
dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”…..yang paling tua
usianya”. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain
di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya”.

Dan dalam lafadh yang lain : ”Satu kaum diimami oleh orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an di antara mereka dan yang
paling berpengalaman membacanya. Kalau bacaan mereka sama…. (sama seperti lafadh sebelumnya). [HR. Muslim no. 673].

[2] Caranya adalah : Imam yang udzur atau batal shalatnya tersebut memegang tangan salah seorang makmum di belakangnya
yang menurutnya pantas untuk maju menggantikannya sebagai imam shalat. Dasarnya adalah atsar ‘Amru bin Maimun yang
menceritakan :
‫ وتناول عمر يد عبد‬.…،‫ قتلني أو أكلني الكلب حين طعنه‬:‫…… فما هو إال أن كبَّر فسمعته يقول‬، ‫إني لقائم ما بيني بينه (عمر بن الخطاب) إال عبد هللا بن عباس غداة أصيب‬
‫ فصلى بهم عبد الرحمن صالة خفيفة‬..…،‫الرحمن بن عوف فقدَّمه‬
”Aku ketika itu sedang berdiri, sementara antara aku dengannya (yaitu ’Umar bin Al-Khaththab) hanya ada ’Abdullah bin ’Abbas
– pada hari ketika beliau tertikam. Saat itu ’Umar hanya bertakbir dan aku mendengarnya berkata : ”Aku dibunuh atau aku
dimakan oleh anjing” ; yaitu ketika beliau tertikam. ’Umar segera memegang tangan ’Abdurrahman bin ’Auf dan mengajukannya
sebagai imam. ’Abdurrahman langsung shalat mengimami jama’ah secara ringkas” [HR. Al-Bukhari no. 3497 dengan
peringkasan].

Asy-Syaukani menjelaskan : ”Dalam hal itu ada indikasi yang membolehkan seorang imam mengambil pengganti ketika ia
berhalangan sehingga tindakan itu harus diambil. Karena para shahabat membenarkan tindakan ’Umar dan tidak ada yang
menyalahkannya, sehingga menjadi ijma’. Demikian juga tindakan serupa dilakukan oleh ’Ali dan para shahabat juga
membenarkannya” [Nailul-Authaar 2/416].

[3] Kayu untuk anak panah ketika dipahat dan diasah menjadi anak panah.

[4] Dalilnya adalah hadits Sahl bin Sa’d As-Saa’idy radliyallaahu ‘anhu :
‫أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ذهب إلى بني عمرو بن عوف ليصلح بينهم فحانت الصالة فجاء المؤذن إلى أبي بكر فقال أتصلي بالناس فأقيم قال نعم قال فصلى أبو بكر‬
‫فجاء رسول هللا صلى هللا عليه وسلم والناس في الصالة فتخلص حتى وقف في الصف فصفق الناس وكان أبو بكر ال يلتفت في الصالة فلما أكثر الناس التصفيق التفت فرأى‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فأشار إليه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أن امكث مكانك فرفع أبو بكر يديه فحمد هللا عز وجل على ما أمره به رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫من ذلك ثم استأخر أبو بكر حتى استوى في الصف وتقدم النبي صلى هللا عليه وسلم فصلى ثم انصرف فقال يا أبا بكر ما منعك أن تثبت إذ أمرتك قال أبو بكر ما كان البن أبي‬
‫قحافة أن يصلي بين يدي رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم مالي رأيتكم أكثرتم التصفيق من نابه شيء في صالته فليسبح فإنه إذا سبح التفت‬
‫إليه وإنما التصفيح للنساء‬

Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah pergi ke Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk mendamaikan mereka.
Datanglah waktu shalat, lalu muadzin datang menemui Abu Bakrradliyallaahu ‘anhu dan berkata : “Maukah engkau shalat
bersama manusia (dan menjadi imam) ? Akan aku kumandangkan iqamat sekarang”. Abu Bakr menjawab : “Ya”. Maka Abu Bakr
pun shalat (dan menjadi imam bagi mereka). Datanglah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika manusia sedang
menunaikan shalatnya. Beliau mengendap ke depan hingga masuk ke shaff makmum. Para makmum pun bertepuk tangan
memberi isyarat, namun Abu Bakr tidak menoleh sedikitpun dalam shalatnya. Ketika semakin banyak makmum yang bertepuk
tangan, Abu Bakr pun akhirnya menoleh dan melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam memberikan isyarat kepadanya agar tetap diam di tempatnya (menjadi imam shalat). Abu Bakr mengangkat kedua
tangannya, bertahmid kepada Allah ’azza wa jalla atas perintah Rasulullah kepada dirinya tersebut. Namun ia tetap mundur dan
masuk ke dalam shaff makmum (yang ada di belakangnya). Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pun maju menjadi imam. Ketika
selesai, beliau bersabda : ”Wahai Abu Bakr, apa yang menghalangimu untuk tetap berada di tempatmu sebagaimana aku
perintahkan ?”. Abu Bakr menjawab : ”Tidaklah pantas bagi seorang anak Abu Quhafah shalat di depan Rasulullahshallallaahu
’alaihi wasallam” [HR. Bukhari no. 652 dan Muslim no. 421].

Hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang imam atau makmum untuk maju atau mundur dari shaff karena satu
sebab/keperluan dalam shalat.

[5] Shaff paling baik bagi wanita adalah yang paling belakang ini berlaku ketika jama’ah bercampur antara laki-laki dan
perempuan. Namun jika jama’ah hanya terdiri dari kaum wanita saja, maka shaff yang paling baik adalah yang terdepan
sebagaimana keumuman hadits sebelumnya. Wallaahu a’lam.
[6] Tanbih !! Termasuk kesalahan imam adalah ketika ia memerintahkan makmum untuk menyeimbangkan antara shaff yang
sebelah kanan dengan shaff sebelah kiri ketika ia melihat para jama’ah lebih memilih shaff sebelah kanan. Samahatusy-
Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Baaz mengatakan :
‫ حرصا ً على تحصيل‬، ‫ [اعدلوا الصف] وال حرج أن يكون يمين الصف أكثر‬: ‫ وال يشرع أن يقال للناس‬، ‫ أفضل من يساره‬، ‫صف‬ ِّ ‫قد ثبت عن النبي ما يدل على أن يمين كل‬
‫ وضعه بعض الكسالى الذين ال يحرصون على‬، ‫ فله أجران)) فال أعلم له أصالً !! و اْلظهر أنه موضوع‬، ‫ (( َم ْن عمر مياسر الصفوف‬: ‫ أما ما ذكره بعضهم من حديث‬. ‫الفضل‬
‫ وهللا الهادي إلى سواء السبيل‬، ‫ أو ال يسابقون إليه‬، ‫يمين الصف‬

”Telah tetap dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang menunjukkan bahwasannya shaff di sebelah kanan itu lebih afdlal
(utama) dibandingkan sebelah kiri. Tidaklah disyari’atkan (bagi imam) untuk mengatakan kepada makmum : ”Seimbangkanlah
shaff”. Tidaklah mengapa jika makmum yang berada di sebelah kanan shaff itu lebih banyak (dibandingkan sebelah kiri) karena
menginginkan keutamaannya. Adapun yang disebutkan oleh sebagian orang tentang hadits : ”Barangsiapa yang mengisi shaff
sebelah kiri, maka baginya dua pahala” . Aku tidak mengetahui darimana hadits ini berasal. Bahkan hadits itu adalah hadits palsu,
yang dipalsukan oleh sebagian orang-orang yang malas yang tidak bersemangat atau bergegas mengisi shaff sebelah kanan.
Hanya Allah sajalah yang menunjukkan jalan yang benar” [Al-Fataawaa 1/61].

[7] Sebagai rujukan untuk muraja’ah, dapat dilihat kitab-kitab sebagai berikut : Al-Mughni (Ibnu Qudamah) 3/49, Nailul-
Authar (Asy-Syaukani) 2/429, Asy-Syarhul-Mumti’ (Al-‘Utsaimin), dan yang lainnya.

[8] Hal ini berlaku pada shalat wajib dan shalat sunnah secara umum yang antara makmum dan imam sejenis (laki-laki semua
atau wanita semua). Adapun jika imamnya laki-laki dan makmumnya wanita, maka posisinya tetap sebagaimana biasa, yaitu
imam di depan dan makmum di belakang.

Kaifiyah ini dikecualikan untuk shalat jenazah berjama’ah. Imam tetap berada di depan makmum, berapapun jumlah makmum.
Hal itu didasari oleh hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah disebutkan :
‫ فتقدم رسول هللا صلى هللا‬، ‫أن أبا طلحة دعا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إلى عمير بن أبي طلحة حين توفي فأتاه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فصلى عليه في منزلهم‬
‫ ولم يكن معهم غيرهم‬، ‫ وكان أبو طلحة وراءه وأم سليم وراء أبي طلحة‬، ‫عليه وسلم‬

“Bahwasannya Abu Thalhah pernah mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendatangi ‘Umair bin Abi Thalhah
pada saat itu ia meninggal dunia. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam datang menshalatkannya di tempat tinggal
mereka. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam maju sedang Abu Thalhah di belakang beliau serta Ummu Sulaim di belakang Abu
Thalhah. Dan tidak ada orang lain lagi bersama mereka” [HR. Hakim 1/365, Baihaqi 4/30 dan 31. Al-Hakim berkata : “Hadits ini
shahih sesuai syarat Asy-Syaikhaan”. Pernyataan ini disepakati oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi perkataan Al-Hakim itu dibantah
oleh Syaikh Al-Albani dalam Ahkaamul-Janaaiz yang mengatakan : Hadits itu shahih hanya berdasarkan syarat Muslim saja].

oleh Abu Al-Jauzaa’/abul-jauzaa.blogspot.co.id

(nahimunkar.com)

(Dibaca 3.764 kali, 1 untuk hari ini)

Anda mungkin juga menyukai