PENDAHULUAN
1.4 Tujuan
1.4.1 Mengetahui taksonomi badak jawa.
1.4.2 Mengetahui penyebab kelangkaan badak jawa.
1.4.3 Mengetahui apa yang dilakukan dalam pekestarian badak jawa.
1.4.4 Mengetahui upaya mengatasi masalah pelestarian badak jawa.
.
BAB II.
PEMBAHASAN
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Perissodactyla
Famili : Rhinocerotidae
Genus : Rhinoceros
Spesies : Rhinoceros sondaicus
Panjang tubuh badak Jawa (termasuk kepalanya) dapat lebih dari 3,1–3,2 m dan
mencapai tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan memiliki berat antara 900 dan 2.300
kilogram. Penelitian untuk mengumpulkan pengukuran akurat badak Jawa tidak pernah
dilakukan dan bukan prioritas. Tidak terdapat perbedaan besar antara jenis kelamin, tetapi badak
jawa betina ukuran tubuhnya dapat lebih besar. Badak jawa memiliki satu cula (spesies lain
memiliki dua cula). Culanya adalah cula terkecil dari semua badak, biasanya lebih sedikit dari 20
cm dengan yang terpanjang sepanjang 27 cm. Badak jawa jarang menggunakan culanya untuk
bertarung, tetapi menggunakannya untuk memindahkan lumpur di kubangan, untuk menarik
tanaman agar dapat dimakan, dan membuka jalan melalui vegetasi tebal. Badak Jawa memiliki
bibir panjang, atas dan tinggi yang membantunya mengambil makanan. Gigi serinya panjang dan
tajam; ketika badak jawa bertempur, mereka menggunakan gigi ini. Di belakang gigi seri, enam
gigi geraham panjang digunakan untuk mengunyah tanaman kasar. Seperti semua badak, badak
jawa memiliki penciuman dan pendengaran yang baik tetapi memiliki pandangan mata yang
buruk. Mereka diperkirakan hidup selama 30 sampai 45 tahun.
2.1.1 Sifat
Badak jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di alam bebas. Badak ini hidup di hutan hujan
dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar. Badak jawa kebanyakan
bersifat tenang, kecuali untuk masa kenal-mengenal dan membesarkan anak, walaupun suatu
kelompok terkadang dapat berkumpul di dekat kubangan dan tempat mendapatkan mineral.
Badak dewasa tidak memiliki hewan pemangsa sebagai musuh. Badak jawa biasanya
menghindari manusia, tetapi akan menyerang manusia jika merasa diganggu.
Menurut Kurniawan (2011) Ancaman kepunahan serta stagnansi jumlah populasi badak Jawa
pada beberapa tahun terakhir ini, kemungkinan diakibatkan beberapa hal berikut:
1) Luas Habitat, Ketimpangan antara luas areal hutan konservasi dengan jumlah populasi badak
yang sedikit menjadikan sulitnya terjadi pertemuan antara badak jantan dan betina untuk
melakukan perkawinan. Kondisi habitatnya di Semenanjung Ujung Kulon (39.000 kilometer
persegi) bisa dikatakan terlalu luas bagi sekitar 50 - 60 ekor badak Jawa.
2) Pola Hidup Soliter, Berbeda halnya dengan hewan lain yang hidup dalam suatu kelompok
besar, badak Jawa lebih senang menyendiri atau hidup dalam kelompok keluarga kecil. Hal
ini menjadikan kegiatan perkembangbiakan menjadi lambat, karena kurangnya intensitas
pertemuan antar badak dewasa dalam ruang habitat yang terlalu luas untuk melakukan
perkawinan. Sebagai hewan yang sangat soliter, R. sondaicusDesmarest juga membutuhkan
perhatian yang lebih karena rentan terhadap gangguan hewan lain dan manusia.
3) Pendeknya Masa Birahi, Hal ini kemungkinan juga merupakan salah satu penyebab sulitnya
terjadi perkawinan. Untuk betina kematangan seksual dicapai pada umur 5-7 tahun,
sedangkan badak jantan pada usia 10 tahun. Walaupun masa birahi badak Jawa belum
diketahui secara pasti, mengingat umur mereka yang berkisar antara 30–40 tahun,
kemungkinan masa birahi yang pendek juga perlu menjadi bahan pertimbangan penyebab
stagnansi jumlah R. sondaicus Desmarest selama ini.
4) Ketidakseimbangan Jumlah Badak Jantan dan Betina, Apabila jumlah badak jantan jauh
lebih banyak dari betinanya, maka akan terjadi persaingan antara badak jantan untuk berebut
pasangan. Hal ini mengakibatkan perkembangbiakan yang lambat sehingga menghambat
pertumbuhan populasi. Belum adanya data akurat mengenai berapa jumlahR.
sondaicus Desmarest jantan dan betina menjadikan hal ini dapat menjadi kemungkinan
penyebab sulitnya terjadi perkawinan.
5) Sensitifitas Tinggi, hewan ini memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh
lingkungan. Sedikit gangguan saja akan membuat satwa primadona TNUK ini mengalami
stress dimana kemudian berakibat pada terganggunya proses perkembangbiakan bahkan dapat
berujung pada kematian. Menurut catatan Haerudin Sadjudin dalam tulisan Prachmatika dan
Andri Rostita Dewi, (1999), sekitar 60% badak yang dipelihara di luar habitat aslinya justru
mati. Menurutnya hewan itu tidak mampu berkembang dengan baik, bahkan menderita.
Sikapnya yang sangat sensitif tersebut kemudian menjelaskan mengapa upaya pemeliharaan
hewan ini di luar habitat alaminya termasuk di kebun binatang tidak dapat diterapkan. Nico
van Strien menyebutkan bahwa badak Jawa pernah dipelihara di Kebun Binatang Adelaide,
dan akhirnya mati pada tahun 1907. Hal ini menunjukkan bahwa membiarkannya hidup di
alam liar merupakan cara terbaik demi menjaganya tetap lestari.
6) Terjadinya Perkawinan Keluarga, karena jumlahnya yang sedikit dan terpisah-pisah dalam
areal yang luas, maka dapat dimungkinkan terjadinya perkawinan keluarga yang
menyebabkan kegagalan. Kegagalan perkembangbiakan inilah yang kemungkinan
menyebabkan stagnansi jumlah badak.
7) Perburuan Liar, faktor utama berkurangnya populasi R. sondaicus Desmarest adalah
perburuan untuk culanya, masalah yang juga menyerang semua spesies badak. Cula badak
menjadi komoditas perdagangan di Tiongkok selama 2.000 tahun yang digunakan sebagai
obat untuk pengobatan tradisional Tiongkok dan sebagai barang perhiasan. Secara historis
kulitnya digunakan untuk membuat baju baja tentara Tiongkok dan suku lokal di Vietnam
percaya bahwa kulitnya dapat digunakan sebagai penangkal racun untuk bisa ular. Beberapa
negara di Asia anatara lain Cina, Korea Selatan, Hongkong dan Jepang tercatat sebagai
pengimpor terbesar cula badak. Negara-negara ini mengkonsumsi cula badak dan dagingnya
untuk obat tradisional.Survey pasar gelap cula badak telah menentukan bahwa badak Asia
memiliki harga sebesar $30.000 per kilogram, tiga kali harga cula badak Afrika. Kondisi ini
menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan barang "langka" tersebut semakin meningkat,
sehingga populasi badak bercula satu di pulau Jawa kian terancam.
Gambar 2. Sebuah lukisan yang menggambarkan perburuan Terhadap hewan badak bercula
satu
Sedikit anggota R. annamiticus yang tersisa hidup di Taman Nasional Nam Cat
Tien, Vietnam. Badak ini pernah menyebar di Asia Tenggara, setelah perang Vietnam,
badak Jawa dianggap punah. Taktik digunakan pada pertempuran menyebabkan
kerusakan ekosistem daerah: penggunaan Napalm, herbisida dan defolian dari Agen
Oranye, pengeboman udara dan penggunaan ranjau darat. Perang juga membanjiri daerah
dengan senjata. Setelah perang, banyak penduduk desa miskin, yang sebelumnya
menggunakan metode seperti lubang perangkap, kini memiliki senjata mematikan yang
menyebabkan mereka menjadi pemburu badak yang efisien.
WWF Indonesia mengusahakan untuk mengembangkan kedua bagi badak jawa karena
jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami, letusan gunung
berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung punah. Selain itu, karena
invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan sumber, maka
populasinya semakin terdesak.
Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat
adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu juga merupakan
habitat badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat, baik, dan memenuhi
kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru. Habitat ini juga akan menjamin
keamanan populasinya. Menurut Tim Peneliti Badak (1997: 1) Tindakan manajemen yang
perlu dilakukan guna mempertahankan kelestarian badak Jawa adalah meningkatkan daya
dukung habitatnya melalui kegiatan perbaikan habitat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Panjang tubuh badak Jawa (termasuk kepalanya) dapat lebih dari 3,1–3,2 m dan
mencapai tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan memiliki berat antara 900 dan
2.300 kilogram, Badak Jawa pernah hidup di hampir semua gunung-gunung di Jawa
Barat, diantaranya berada hingga diatas ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut.
3.1.2 Ancaman kepunahan serta stagnansi jumlah populasi badak Jawa pada beberapa tahun
terakhir ini, kemungkinan diakibatkan beberapa hal, luas habitat, pola hidup soliter,
pendeknya masa birahi, ketidakseimbangan jumlah antara badak jantan dan betina,
sensitifitas tinggi, terjadinya perkawinan keluarga, perburuan liar, dan penurunan
kualitas habitat.
3.1.3 Upaya pelestarian badak jawa yaitu dengan cara membuat tempat konservasi seperti
Taman Nasioanal Ujung Kulon, dan Taman Nasional Cat Tien.
3.1.4 Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat
adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu juga
merupakan habitat badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat,
baik, dan memenuhi kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru.
3.2 Saran
Pemerintah dan masyarakat sama-sama mengusahakan untuk mengembangkan habitat
bagi badak jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami,
letusan gunung berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung punah.
Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan
sumber, maka populasinya semakin terdesak.
DAFTAR PUSTAKA
Koestati Sri Harini, E.MS. Penggunaan Sumberdaya Air, Pakan dan Cover oleh Badak Jawa
(Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) dan Banteng (Bos javanicus, d'Alton
1832) Di Daerah Cikeusik Dan Citadahan, Taman Nasional Ujung Kulon,
Media Konservasi Jurnal Ilmiah Bidang Sumberdaya Alam Hayati dan
Lingkungan, Vol. 7 No.1. ISSN : 0251-1677, 2 Juni 2001
Koestati Sri Harini, E.MS. “Kesesuaian Penutupan Vegetasi Sebagai Ruang Habitat Badak
Jawa Di Taman Nasional Ujung Kulon (Suitability of Vegetation Cover as the
Habitat Space of Javan Rhino in Ujung Kulon National Park).”, Media
Konservasi Vol.IX/No.1, Januari-Juni 2004, ISSN - 0251-1677.