Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan spesies yang paling langka diantara
lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan sebagai endangered atau
terancam dalam daftar Red List Data Book yang dikeluarkan oleh IUCN (International Union
for Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 1978 dan mendapat prioritas utama
untuk diselamatkan dari ancaman kepunahan. Selain itu, badak jawa juga terdaftar dalam
Apendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna
and Flora) tahun 1978. Jenis yang termasuk kedalam apendiks I adalah jenis yang jumlahnya
di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. (Mamat 2007).
Pada Maret 2013, menurut data WWF hanya tersisa 3,500 badak di Asia (dibandingkan
dengan badak Afrika yang berjumlah 25,000 ekor). Beberapa spesies yang bertahan hidup
bahkan berada dalam situasi kritis karena satu populasi, jumlahnya kurang dari 50 ekor yaitu
badak jawa. Badak jawa pernah tersebar luas di seluruh dunia oriental dari Bengal ke arah
timur termasuk Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam dan selatan menuju
Semenanjung Melayu dan pulau-pulau Sumatra dan Jawa. Sekitar 150 tahun yang lalu, spesies
ini terbagi menjadi tiga populasi yang terpisah. Yang pertama, subspesies Inermis (sekarang
hampir pasti punah) ditemukan dari Bengal ke Assam dan ke arah timur ke Myanmar. Yang
kedua subspesies Annamitius ditemukan di Vetnam, Laos, 4 Kamboja, dan bagian timur
Thailand. Subspesies ketiga yaitu Tenasserim, yang ditemukan di Kra Isthmus sampai ke
Semenanjung dan Sumatera dan di bagian barat Jawa. Semua populasi ini telah menghilang,
kecuali di Ujung Kulon dan beberapa sisa-sisa yang masih hidup tersebar di Indocina. Badak
jawa memiliki perbedaan menjadi mamalia besar paling langka di dunia (Strien, 1997:10).
Badak jawa (Rhinoceros Sondaicus) merupakan satwa endemik khas Indonesia yang kini
terancam punah. Perburuan badak bercula satu ini secara keseluruhan berhenti tahun 1990-an,
tetapi pelanggaran terhadap hak atas hutan dan ekstraksi ilegal di seputar taman, serta
perubahan habitat menimbulkan ancaman yang berlangsung secara terus-menerus. Tidak heran
hewan ini tercantum dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List of
Threatened Species (Daftar Merah Yang Terancam dari IUCN), dan termasuk ke dalam
appendix 1, yang berarti mendapat prioritas utama upaya penyelamatan dari ancaman
kepunahan (http://www.ujungkulon.org/ Diakses pada tanggal 30 Maret 2014). Sejak satu
dekade terakhir jumlah populasi badak jawa tidak mengalami peningkatan berarti, bahkan
cenderung stagnan. Menurut data yang didapat dari penelitian Taman Nasional Ujung Kulon
(TNUK) yang dilakukan dalam kurun waktu 2009-2010, populasi badak jawa masih berjumlah
50 ekor. Penelitian ini menggunakan kamera jebak dan estimasi populasi dengan metoda
Capture Mark Recapture (CMR). Data dari kamera jebak menunjukkan adanya bukti kelahiran
dan kematian badak dari tahun 2000 hingga 2010. Jika angka kelahiran dan mortalitas
diperhitungkan dalam pertumbuhan populasi, maka populasi badak di Ujung Kulon
menunjukkan tren pertumbuhan tidak lebih dari 1% per tahun (http://www.wwf.or.id Diakses
pada tanggal 04 April 2014). Kawasan konservasi di Taman Nasional Ujung Kulon menjadi
satusatunya tempat yang aman bagi kehidupan badak jawa di alam liar saat ini. Selain itu juga
merupakan tempat yang ideal bagi kehidupan satwa liar lainnya untuk 6 hidup berdampingan
membentuk suatu keseimbangan ekosistem secara alami tanpa campur tangan manusia.
Keberlangsungan pengelolaan areal konservasi ini juga tidak lepas dari keberadaan satwa
endemik langka, badak jawa, yang hingga kini masih diupayakan pelestariannya yang lebih
baik, akibat jumlahnya yang beberapa tahun terakhir cenderung stagnan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Taksonomi badak jawa.
1.2.2 Apa yang menyebabkan kelangkaan badak jawa?
1.2.3 Apa yang dilakukan dalam pekestarian badak jawa ?
1.2.4 Apa upaya mengatasi masalah pelestarian badak jawa ?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penulisan makalah ini adalah hanya membahas taksonomi badak jawa,
penyebab kelangkaan badak jawa, upaya pelestarian dan masalah yang dihadapi pada
pelestarian badak jawa.

1.4 Tujuan
1.4.1 Mengetahui taksonomi badak jawa.
1.4.2 Mengetahui penyebab kelangkaan badak jawa.
1.4.3 Mengetahui apa yang dilakukan dalam pekestarian badak jawa.
1.4.4 Mengetahui upaya mengatasi masalah pelestarian badak jawa.

.
BAB II.

PEMBAHASAN

2.1 Taksonomi Badak Jawa

Klasifikasi dan Morfologi

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Perissodactyla
Famili : Rhinocerotidae
Genus : Rhinoceros
Spesies : Rhinoceros sondaicus

Gambar 1. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)

Panjang tubuh badak Jawa (termasuk kepalanya) dapat lebih dari 3,1–3,2 m dan
mencapai tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan memiliki berat antara 900 dan 2.300
kilogram. Penelitian untuk mengumpulkan pengukuran akurat badak Jawa tidak pernah
dilakukan dan bukan prioritas. Tidak terdapat perbedaan besar antara jenis kelamin, tetapi badak
jawa betina ukuran tubuhnya dapat lebih besar. Badak jawa memiliki satu cula (spesies lain
memiliki dua cula). Culanya adalah cula terkecil dari semua badak, biasanya lebih sedikit dari 20
cm dengan yang terpanjang sepanjang 27 cm. Badak jawa jarang menggunakan culanya untuk
bertarung, tetapi menggunakannya untuk memindahkan lumpur di kubangan, untuk menarik
tanaman agar dapat dimakan, dan membuka jalan melalui vegetasi tebal. Badak Jawa memiliki
bibir panjang, atas dan tinggi yang membantunya mengambil makanan. Gigi serinya panjang dan
tajam; ketika badak jawa bertempur, mereka menggunakan gigi ini. Di belakang gigi seri, enam
gigi geraham panjang digunakan untuk mengunyah tanaman kasar. Seperti semua badak, badak
jawa memiliki penciuman dan pendengaran yang baik tetapi memiliki pandangan mata yang
buruk. Mereka diperkirakan hidup selama 30 sampai 45 tahun.

Kulitnya yang sedikit berbulu, berwarna abu-abu atau abu-abu-coklat membungkus


pundak, punggung dan pantat. Kulitnya memiliki pola mosaik alami yang menyebabkan badak
memiliki perisai. Pembungkus leher badak Jawa lebih kecil daripada badak india, tetapi tetap
membentuk bentuk pelana pada pundak. Karena risiko mengganggu spesies terancam, badak
jawa dipelajari melalui sampel kotoran dan kamera. Mereka jarang ditemui, diamati atau diukur
secara langsung.

2.1.1 Sifat

Badak jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di alam bebas. Badak ini hidup di hutan hujan
dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar. Badak jawa kebanyakan
bersifat tenang, kecuali untuk masa kenal-mengenal dan membesarkan anak, walaupun suatu
kelompok terkadang dapat berkumpul di dekat kubangan dan tempat mendapatkan mineral.
Badak dewasa tidak memiliki hewan pemangsa sebagai musuh. Badak jawa biasanya
menghindari manusia, tetapi akan menyerang manusia jika merasa diganggu.

2.1.2 Populasi dan Distribusi Badak Jawa


Badak Jawa pernah hidup di hampir semua gunung-gunung di Jawa Barat, diantaranya
berada hingga diatas ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut. Pada tahun 1960-an,
diperkirakan sekitar 20 sd 30 ekor badak saja tersisa di TN Ujung Kulon. Populasinya meningkat
hingga dua kali lipat pada tahun 1967 hingga 1978 setelah upaya perlindungan dilakukan dengan
ketat, sebagian dilakukan dengan dukungan dari WWF-Indonesia. Sejak akhir tahun 1970-an,
jumlah populasi Badak Jawa tampaknya stabil. WWF-Indonesia memperkira kan populasi Badak
Jawa di Ujung Kulon berada dalam kisaran 26 - 58 individu dengan nilai rata-rata 42 ekor (data
tahun 2000).

2.2 Penyebab Kelangkaan Badak Jawa

Menurut Kurniawan (2011) Ancaman kepunahan serta stagnansi jumlah populasi badak Jawa
pada beberapa tahun terakhir ini, kemungkinan diakibatkan beberapa hal berikut:
1) Luas Habitat, Ketimpangan antara luas areal hutan konservasi dengan jumlah populasi badak
yang sedikit menjadikan sulitnya terjadi pertemuan antara badak jantan dan betina untuk
melakukan perkawinan. Kondisi habitatnya di Semenanjung Ujung Kulon (39.000 kilometer
persegi) bisa dikatakan terlalu luas bagi sekitar 50 - 60 ekor badak Jawa.
2) Pola Hidup Soliter, Berbeda halnya dengan hewan lain yang hidup dalam suatu kelompok
besar, badak Jawa lebih senang menyendiri atau hidup dalam kelompok keluarga kecil. Hal
ini menjadikan kegiatan perkembangbiakan menjadi lambat, karena kurangnya intensitas
pertemuan antar badak dewasa dalam ruang habitat yang terlalu luas untuk melakukan
perkawinan. Sebagai hewan yang sangat soliter, R. sondaicusDesmarest juga membutuhkan
perhatian yang lebih karena rentan terhadap gangguan hewan lain dan manusia.
3) Pendeknya Masa Birahi, Hal ini kemungkinan juga merupakan salah satu penyebab sulitnya
terjadi perkawinan. Untuk betina kematangan seksual dicapai pada umur 5-7 tahun,
sedangkan badak jantan pada usia 10 tahun. Walaupun masa birahi badak Jawa belum
diketahui secara pasti, mengingat umur mereka yang berkisar antara 30–40 tahun,
kemungkinan masa birahi yang pendek juga perlu menjadi bahan pertimbangan penyebab
stagnansi jumlah R. sondaicus Desmarest selama ini.
4) Ketidakseimbangan Jumlah Badak Jantan dan Betina, Apabila jumlah badak jantan jauh
lebih banyak dari betinanya, maka akan terjadi persaingan antara badak jantan untuk berebut
pasangan. Hal ini mengakibatkan perkembangbiakan yang lambat sehingga menghambat
pertumbuhan populasi. Belum adanya data akurat mengenai berapa jumlahR.
sondaicus Desmarest jantan dan betina menjadikan hal ini dapat menjadi kemungkinan
penyebab sulitnya terjadi perkawinan.
5) Sensitifitas Tinggi, hewan ini memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh
lingkungan. Sedikit gangguan saja akan membuat satwa primadona TNUK ini mengalami
stress dimana kemudian berakibat pada terganggunya proses perkembangbiakan bahkan dapat
berujung pada kematian. Menurut catatan Haerudin Sadjudin dalam tulisan Prachmatika dan
Andri Rostita Dewi, (1999), sekitar 60% badak yang dipelihara di luar habitat aslinya justru
mati. Menurutnya hewan itu tidak mampu berkembang dengan baik, bahkan menderita.
Sikapnya yang sangat sensitif tersebut kemudian menjelaskan mengapa upaya pemeliharaan
hewan ini di luar habitat alaminya termasuk di kebun binatang tidak dapat diterapkan. Nico
van Strien menyebutkan bahwa badak Jawa pernah dipelihara di Kebun Binatang Adelaide,
dan akhirnya mati pada tahun 1907. Hal ini menunjukkan bahwa membiarkannya hidup di
alam liar merupakan cara terbaik demi menjaganya tetap lestari.
6) Terjadinya Perkawinan Keluarga, karena jumlahnya yang sedikit dan terpisah-pisah dalam
areal yang luas, maka dapat dimungkinkan terjadinya perkawinan keluarga yang
menyebabkan kegagalan. Kegagalan perkembangbiakan inilah yang kemungkinan
menyebabkan stagnansi jumlah badak.
7) Perburuan Liar, faktor utama berkurangnya populasi R. sondaicus Desmarest adalah
perburuan untuk culanya, masalah yang juga menyerang semua spesies badak. Cula badak
menjadi komoditas perdagangan di Tiongkok selama 2.000 tahun yang digunakan sebagai
obat untuk pengobatan tradisional Tiongkok dan sebagai barang perhiasan. Secara historis
kulitnya digunakan untuk membuat baju baja tentara Tiongkok dan suku lokal di Vietnam
percaya bahwa kulitnya dapat digunakan sebagai penangkal racun untuk bisa ular. Beberapa
negara di Asia anatara lain Cina, Korea Selatan, Hongkong dan Jepang tercatat sebagai
pengimpor terbesar cula badak. Negara-negara ini mengkonsumsi cula badak dan dagingnya
untuk obat tradisional.Survey pasar gelap cula badak telah menentukan bahwa badak Asia
memiliki harga sebesar $30.000 per kilogram, tiga kali harga cula badak Afrika. Kondisi ini
menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan barang "langka" tersebut semakin meningkat,
sehingga populasi badak bercula satu di pulau Jawa kian terancam.

Gambar 2. Sebuah lukisan yang menggambarkan perburuan Terhadap hewan badak bercula
satu

8. Penurunan Kualitas Habitat, walaupun perburuan secara liar terhadap R.


sondaicusDesmarest diyakini telah berakhir sekitar tahun 1990-an, penurunan kualitas habitat
akibat perambahan hutan secara ilegal yang masih terus berlangsung serta tekanan
pertumbuhan hewan lain, terutama banteng, yang pertumbuhannya pesat dan terus meluas ke
Semanjung Ujung Kulon diduga berpengaruh besar terhadap perkembangbiakan badak.
Kompetisi yang terjadi, mengakibatkan tumbuh-tumbuhan yang menjadi bahan makanan
badak lambat laun menipis dan R. sondaicus Desmarestakan semakin terdesak di rumah
sendiri. Hilangnya habitat akibat pertanian juga menyebabkan berkurangnya populasi R.
sondaicus Desmarest, walaupun hal ini bukan lagi faktor signifikan karena badak hanya hidup
di dua taman nasional yang dilindungi. Memburuknya habitat telah menghalangi pemulihan
populasi badak yang merupakan korban perburuan untuk cula. Bahkan dengan semua usaha
konservasi, prospek keselamatan badak Jawa suram. Karena populasi mereka tertutup di dua
tempat kecil, mereka sangat rentan penyakit dan masalah perkembangbiakan.

2.3 Pelestarian Badak Jawa

2.3.1 Taman Nasional Ujung Kulon

Gambar 3. Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa

Kawasan konservasi di Taman Nasional Ujung Kulon menjadi satu-satunya tempat


yang aman bagi kehidupan R. sondaicus Desmarest di alam liar saat ini. Selain itu juga
merupakan tempat yang ideal bagi kehidupan satwa liar lainnya untuk hidup
berdampingan membentuk suatu keseimbangan ekosistem secara alami tanpa campur
tangan manusia. Keberlangsungan pengelolaan areal konservasi ini juga tidak lepas dari
keberadaan satwa endemik langka, R. sondaicus Desmarest yang hingga kini masih
diupayakan pelestariaannya yang lebih baik, akibat jumlahnya yang beberapa tahun
terakhir cenderung stagnan.
Kawasan hutan Taman Nasional Ujung Kulon merupakan Situs Warisan Alam
Dunia dimana UNESCO telah memberikan dukungan pendanaan dan bantuan teknis
untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan kawasan hutan konservasi tersebut,
khususnya dalam upaya perlindungan badak Jawa yang merupakan jenis "flag ship"
(lambang kebanggaan) Taman Nasional Ujung Kulon. Pada tahun 1931, karena badak
Jawa berada di tepi kepunahan di Sumatra, pemerintah Hindia-Belanda menyatakan
bahwa badak merupakan spesies yang dilindungi, dan masih tetap dilindungi sampai
sekarang. Pada tahun 1967 ketika sensus badak dilakukan di Ujung Kulon, hanya
25ekor R. sondaicus Desmarest yang ada. Pada tahun 1980, populasi badak bertambah,
dan tetap ada pada populasi 50 sampai sekarang. Walaupun R. sondaicus Desmarestdi
Ujung Kulon tidak memiliki musuh alami, mereka harus bersaing untuk memperebutkan
ruang dan sumber yang jarang dengan banteng liar dan tanaman Arenga yang dapat
menyebabkan jumlah badak tetap berada dibawah kapasitas semenanjung.

2.3.2 Taman Nasional Cat Tien

Sedikit anggota R. annamiticus yang tersisa hidup di Taman Nasional Nam Cat
Tien, Vietnam. Badak ini pernah menyebar di Asia Tenggara, setelah perang Vietnam,
badak Jawa dianggap punah. Taktik digunakan pada pertempuran menyebabkan
kerusakan ekosistem daerah: penggunaan Napalm, herbisida dan defolian dari Agen
Oranye, pengeboman udara dan penggunaan ranjau darat. Perang juga membanjiri daerah
dengan senjata. Setelah perang, banyak penduduk desa miskin, yang sebelumnya
menggunakan metode seperti lubang perangkap, kini memiliki senjata mematikan yang
menyebabkan mereka menjadi pemburu badak yang efisien.

Dugaan kepunahan subspesies mendapat tantangan ketika pada tahun1988, seorang


pemburu menembak betina dewasa yang menunjukan bahwa spesies ini berhasil selamat
dari perang. Pada tahun 1989, ilmuwan meneliti hutan Vietnam selatan untuk mencari
bukti badak lain yang selamat. Jejak kaki badak segar yang merupakan milik paling
sedikit 15 badak ditemukan di sepanjang sungai Dong Nai. Karena badak, daerah tempat
mereka tinggal menjadi bagian Taman Nasional Nam Cat Tien tahun 1992. Populasi
mereka dikhawatirkan berkurang di Vietnam, dengan pelindung alam memperkirakan
bahwa paling sedikit 308 badak yang mungkin tanpa jantan selamat.

2.4 Upaya Mengatasi Masalah Pelestarian Badak Jawa

WWF Indonesia mengusahakan untuk mengembangkan kedua bagi badak jawa karena
jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami, letusan gunung
berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung punah. Selain itu, karena
invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan sumber, maka
populasinya semakin terdesak.

Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat
adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu juga merupakan
habitat badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat, baik, dan memenuhi
kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru. Habitat ini juga akan menjamin
keamanan populasinya. Menurut Tim Peneliti Badak (1997: 1) Tindakan manajemen yang
perlu dilakukan guna mempertahankan kelestarian badak Jawa adalah meningkatkan daya
dukung habitatnya melalui kegiatan perbaikan habitat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Panjang tubuh badak Jawa (termasuk kepalanya) dapat lebih dari 3,1–3,2 m dan
mencapai tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan memiliki berat antara 900 dan
2.300 kilogram, Badak Jawa pernah hidup di hampir semua gunung-gunung di Jawa
Barat, diantaranya berada hingga diatas ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut.
3.1.2 Ancaman kepunahan serta stagnansi jumlah populasi badak Jawa pada beberapa tahun
terakhir ini, kemungkinan diakibatkan beberapa hal, luas habitat, pola hidup soliter,
pendeknya masa birahi, ketidakseimbangan jumlah antara badak jantan dan betina,
sensitifitas tinggi, terjadinya perkawinan keluarga, perburuan liar, dan penurunan
kualitas habitat.
3.1.3 Upaya pelestarian badak jawa yaitu dengan cara membuat tempat konservasi seperti
Taman Nasioanal Ujung Kulon, dan Taman Nasional Cat Tien.
3.1.4 Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat
adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu juga
merupakan habitat badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat,
baik, dan memenuhi kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru.
3.2 Saran
Pemerintah dan masyarakat sama-sama mengusahakan untuk mengembangkan habitat
bagi badak jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami,
letusan gunung berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung punah.
Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan
sumber, maka populasinya semakin terdesak.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Upaya Pelestarian Badak Jawa.https://www.scribd.com/doc/13/12/2018/Tugas-


Membuat-Makalah-Pelestarian-Badak-Jawa

Koestati Sri Harini, E.MS. Penggunaan Sumberdaya Air, Pakan dan Cover oleh Badak Jawa
(Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) dan Banteng (Bos javanicus, d'Alton
1832) Di Daerah Cikeusik Dan Citadahan, Taman Nasional Ujung Kulon,
Media Konservasi Jurnal Ilmiah Bidang Sumberdaya Alam Hayati dan
Lingkungan, Vol. 7 No.1. ISSN : 0251-1677, 2 Juni 2001

Koestati Sri Harini, E.MS. “Kesesuaian Penutupan Vegetasi Sebagai Ruang Habitat Badak
Jawa Di Taman Nasional Ujung Kulon (Suitability of Vegetation Cover as the
Habitat Space of Javan Rhino in Ujung Kulon National Park).”, Media
Konservasi Vol.IX/No.1, Januari-Juni 2004, ISSN - 0251-1677.

Mamat Rahmat, U. 2007. “Analisis Tipologi Habitat Preferensial Badak Jawa


(Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon.”.
Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Anda mungkin juga menyukai