Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya

suatu “hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang

lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak

berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan

permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan

pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau

contoh lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali

menimbulkan permasalahan hukum. Hal tersebut termasuk dalam masalah

hukum perdata.1

Hukum perdata di Indonesia adalah sekumpulan peraturan yang berisi

perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat

dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi

terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Salah satu

bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek

hukum dan hubungan antara obyek hukum. Hukum perdata disebut pula

hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum

publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan

umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan

pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara),

kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara

penduduk atau warga negara sehari- hari.2

1
A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, 2007), hlm.9
2
A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, hlm. 10

1
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda,
khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPerdata.) yang berlaku di
Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk
Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan
diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas
konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda,
BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari
hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.3

B. Rumusan Masalah
a) Apa saja asas-asas hukum perdata?
b) Bagaimana sistematika hukum perdata?
C. Tujuan
a) Untuk mengetahui asas-asas hukum perdata
b) Untuk mengetahui sistematika hukum perdata

3
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,(Jakarta: Balai Pustaka,
1989), hlm. 197

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas-asas hukum perdata

Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPerdata yang sangat


penting dalam Hukum Perdata adalah:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat
mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-
undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338
KUHPdt). Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada


para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;


2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya


paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang
diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman
renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas
Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap
orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.

Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan


berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan
menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama

3
sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada
golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak
yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah.

2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan
yang dibuat oleh kedua belah pihak

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan


hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas
konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan
perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).
Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah
tangan).

Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan


contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila
memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal
dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Kekuatan Mengikat


Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa
perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada
perjanjian tersebut dan sifatnya hanya mengikat ke dalam

4
Pasal 1340 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak
yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun
demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal
1317 KUHPdt yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam
itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan


perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu
syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPdt, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPdt mengatur
tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPdt
untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang
memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317
KUHPdt mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPdt
memiliki ruang lingkup yang luas.

4. Asas Persamaan hukum,


Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum
yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama
lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.4

5. Asas Keseimbangan,
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk

4
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
hal. 35

5
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi
melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik

6. Asas Kepastian Hukum,


Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt
servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum
gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan
antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak
merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti
sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan
sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum
sudah cukup dengan kata sepakat saja.

7. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan
sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat
prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu
seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan
mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan
perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada
kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya

6
8. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan
kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat
perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang
lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam
menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum
sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas
merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai
dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak

9. Asas Kepribadian (Personality)


Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315

Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak


dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

10. Asas Itikad Baik (Good Faith)


Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.5

B. Sistematika Hukum Perdata


1. Menurut Undang-Undang sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata terdiri atas 4 buku, yaitu:

5
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
hal. 37

7
 Buku I, yang berjudul Perihal Orang (Van Personen), yang memuat
Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan; yaitu hukum yang
mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek
hukum.

 Bab I – Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan


 Bab II – Tentang akta-akta catatan sipil
 Bab III – Tentang tempat tinggal atau domisili
 Bab IV – Tentang perkawinan
 Bab V – Tentang hak dan kewajiban suami-istri
 Bab VI – Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan
pengurusannya
 Bab VII – Tentang perjanjian kawin
 Bab VIII – Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian
kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
 Bab IX – Tentang pemisahan harta-benda
 Bab X – Tentang pembubaran perkawinan
 Bab XI – Tentang pisah meja dan ranjang
 Bab XII – Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
 Bab XIII – Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
 Bab XIV – Tentang kekuasaan orang tua
 Bab XIVA – Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan
tunjangan nafkah
 Bab XV – Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
 Bab XVI – Tentang pendewasaan
 Bab XVII – Tentang pengampuan
 Bab XVIII – Tentang ketidakhadiran

 Buku II, yang berjudul Perihal Benda (Van Zaken), yang memuat Hukum
Benda dan Hukum Waris; , mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum
yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang

8
berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan
penjaminan.

 Bab I – Tentang barang dan pembagiannya


 Bab II – Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya
 Bab III – Tentang hak milik
 Bab IV – Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik
pekarangan yang bertetangga
 Bab V – Tentang kerja rodi
 Bab VI – Tentang pengabdian pekarangan
 Bab VII – Tentang hak numpang karang
 Bab VIII – Tentang hak guna usaha (erfpacht)
 Bab IX – Tentang bunga tanah dan sepersepuluhan
 Bab X – Tentang hak pakai hasil
 Bab XI – Tentang hak pakai dan hak mendiami
 Bab XII – Tentang pewarisan karena kematian
 Bab XIII – Tentang surat wasiat
 Bab XIV – Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta
peninggalan
 Bab XV – Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk
merinci harta peninggalan
 Bab XVI – Tentang hal menerima dan menolak warisan
 Bab XVII – Tentang pemisahan harta peninggalan
 Bab XVIII – Tentang harta peninggalan yang tak terurus
 Bab XIX – Tentang piutang dengan hak didahulukan
 Bab XX – Tentang gadai
 Bab XXI – Tentang hipotek

 Buku III, yang berjudul perihal perikatan (Van Verbintennissen), yang


memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenan dengan hak-hak dan
kewajiban yang berlaku bagi-orang-orang atau pihak tertentu; mengatur

9
tentang hukum perikatan atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun
istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum
yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di
bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri
dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan
perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara
pembuatan suatu perjanjian.

 Bab I – Tentang perikatan pada umumnya


 Bab II – Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
 Bab III – Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang
 Bab IV – Tentang hapusnya perikatan
 Bab V – Tentang jual-beli
 Bab VI – Tentang tukar-menukar
 Bab VII – Tentang sewa-menyewa
 Bab VIIA – Tentang perjanjian kerja
 Bab VIII – Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata)
 Bab IX – Tentang badan hukum
 Bab X – Tentang penghibahan
 Bab XI – Tentang penitipan barang
 Bab XII – Tentang pinjam-pakai
 Bab XIII – Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)
 Bab XIV – Tentang bunga tetap atau bunga abadi
 Bab XV – Tentang persetujuan untung-untungan
 Bab XVI – Tentang pemberian kuasa
 Bab XVII – Tentang penanggung
 Bab XVIII – Tentang perdamaian

 Buku IV, yang berjudul perihal pembuktian dan kadauiawarsa (Van


Bewijs en Berjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan
akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum,
mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau

10
tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata
dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.didalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai
prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti.
Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :

a. Surat-surat
b. Kesaksian
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah

Daluarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu


tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak
milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan
seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum
(inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai “pelepasan
hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya
waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan
bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.

 Bab I – Tentang pembuktian pada umumnya


 Bab II – Tentang pembuktian dengan tulisan
 Bab III – Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
 Bab IV – Tentang persangkaan
 Bab V – Tentang pengakuan
 Bab VI – Tentang sumpah di hadapan hakim
 Bab VII – Tentang kedaluwarsa pada umumnya

2. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, Hukum Perdata (yang termuat dalam

KUHPer) terdapat 4 bagian, yaitu:


 Hukum Perorangan (Personenrecht) yang memuat antara lain:

11
a. Peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek hukum,

b. Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak

dan bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.

 Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain:

a. Perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan

antara suami/istri

b. Hubungan antara orangtua dan anak-anaknya (kekuasaan

orangtua-ouderlijke macht),

c. Perwalian (voogdij),

d. Pengampunan (curalele).

 Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur tentang

hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang.

Hukum Harta Kekayaan meliputi;


a. Hak mutlak, yaitu hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang;
b. Hal perorangan, yaitu hak-hak yang hanya berlak terhadap
seorang atau suatu pihak tertentu saja. Hal 45.
 Hukum Waris (Erfrecht), yang mengatur tentang benda atau harta
kekayaan seseorang jika meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari
hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).6

6
Darda Syahrizal, Kasus-Kasus Hukum Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Grhatama,
2011). hal. 50

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar

individu dalam pergaulan masyarakat. Jadi, hukum perdata adalah hukum

pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perorangan. Dalam peradilan

hukum perdata diutamakan perdamaian karena hukum perdata itu tidak hanya

difungsikan untuk menghukum seseorang, tetapi juga sebagai alat untuk

mendapatkan keadilan dan perdamaian.

13
DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,(Jakarta: Balai
Pustaka, 1989)
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996)
Syahrizal Darda, Kasus-Kasus Hukum Perdata di Indonesi, (Yogyakarta: Pustaka
Grhatama, 2011)

14

Anda mungkin juga menyukai