Anda di halaman 1dari 10

Teori Ekuivalensi dalam Penerjemahan

(Sebuah Evaluasi Review Teori Penerjemahan oleh Despoina Panou dalam Teori
Ekuivalensi Anthony Pym)

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester


Dosen Pengampu: Sailal Arimi, S.S., M.Hum., Dr.

Riris Sumarna
15/389048/PSA/07902

Linguistik Kelas B

PROGRAM PASCASARJANA LINGUISTIK


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
Teori Ekuivalensi dalam Penerjemahan

(Sebuah Evaluasi Review Teori Penerjemahan oleh Despoina Panou dalam Teori
Ekuivalensi Anthony Pym)

Disusun oleh : Riris Sumarna

Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Tulisan ini merupakan revisited jurnal yang telah dilakukan oleh Despoina
Panou mengenai teori ekuivalensi dalam penerjemahan. Judul jurnal tersebut adalah
Equivalence in Translation Theories: A Critical Evaluation. Beberapa teori ekuivalensi
yang disebutkan oleh Panou adalah teori dari Vinay and Darbelnet (1958), Jakobson
(1959), Nida and Taber (1969), Catford (1965), House (1997), Koller (1979), Newmark
(1981), Baker (1992), dan Pym (2010). Diantara teori ekuivalensi tersebut, teori
ekuivalensi Pym merupakan sebuah teori ekuivalensi dengan paradigma baru dan lebih
modern.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perbedaan antar teori ekuivalensi
dalam terjemahan, dan untuk mengetahui perbedaan teori terjamahan Pym dengan teori
lainnya. Selain membahas teori penerjemahan, dalam tulisan ini juga akan membahas
kritik yang disampaikan oleh Despoina Panou mengenai beberapa teori yang
disampaikan oleh para ahli terjemahan tersebut. Ulasan teori ekuivalensi Pym akan
diulas lebih jauh oleh penulis dengan mereview kembali jurnal Pym yang berjudul
Natural and directional equivalence in theories of translation.

Key words: Review, ekuivalensi, teori penerjemahan.

Pendahuluan

Penerjemahan merupakan suatu kajian linguistik terapan yang tidak dapat


dipandang sebelah mata dalam aktivitasnya. Sebagai kajian yang empiris, kajian
tersebut membawanya kepada praktek disiplin ilmu yang penerapannya memiliki aspek
komersial yang sangat tinggi. Perkembangan penerjemahan saat ini tidak hanya dalam
bidang karya sastra, akan tetapi menjangkau bidang yang sangat luas, antara lain bidang
hukum, kesehatan (penerjemahan rekam medik, medical check up), ekonomi dan lain
sebagainya. Selain itu, tingginya mobilitas manuisa antar negara membuat
penerjamahan memiliki peran yang sangat penting. Penerjemahan dianggap sebagai
sarana untuk saling bertukar informasi antar negara tanpa harus menguasai bahasa

1
asing. Sehingga dengan adanya penerjemahan seseorang dapat mengakses informasi
dari luar negara dengan mudah.

Pada dasarnya penerapan terjemahan didasarkan pada teori-teori terdahulu yang


dicetuskan oleh para ilmuan sebelumnya. Teori tersebut dijadikan pegangan serta
diterapkan dalam proses penerjemahan hingga saat ini. Salah satu konsep teori yang
terkenal adalah teori ekuivalensi penerjemahan. Beberapa teori ekuivalensi terjemahan
yang disebutkan oleh Panou dalam jurnal Equivalence in Translation Theories: A
Critical Evaluation adalah teori yang dicetuskan oleh Vinay and Darbelnet (1958),
Jakobson (1959), Nida and Taber (1969), Catford (1965), House (1997), Koller (1979),
Newmark (1981), Baker (1992), dan terakhir adalah Pym (2010). Dalam memandang
teori tersebut antar ilmuan memiliki konsep yang berbeda-beda. Konsep teori
ekuivalensi Pym merupakan konsep yang memiliki paradigma modern dan fleksibel
sehingga banyak digunakan oleh para ahli terjemahan saat ini. Berdasarkan perbedaan
teori tersebut, tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perbedaan konsep teori
ekuivalensi yang dicetuskan oleh masing-masing ahli penerjemah. Tujuan lainnya
adalah untuk mengetahui perbedaan konsep teori ekuivalensi Pym dengan teori lainnya.

Sebelum mencapai tujuan tersebut, bagian awal tulisan ini akan diawali dengan
sejarah dan teori studi penerjemahan. Bagian kedua adalah review jurnal. Jurnal tersebut
berjudul Equivalence in Translation Theories: A Critical Evaluation yang ditulis oleh
Despoina Panou dan Natural and Directional Equivalence in Theories of Translation
yang ditulis oleh Anthony Pym. Review jurnal Panou dilakukan untuk mengetahui
perbedaan teori ekuivalensi antar ahli terjemahan tersebut. Selain menjelaskan
perbedaan teori antar ahli terjemahan, penulis juga menanggapi kritik yang disampaikan
oleh Panou mengenai teori-teori tersebut. Untuk mengetahui perbedaan konsep teori
Pym dan konsep teori lainnya penulis mengulas kembali jurnal Pym yang berjudul
Natural and Directional Equivalence in Theories of Translation. Setelah itu, penulis
menanggapi pendapat Panou mengenai konsep teori relevansi Pym dengan
membandingkan jurnal Pym. Dalam mengulas teori Pym penulis menggunakan versi
jurnal yang terbit pada tahun 2009. Sedangkan Panou menggunakan versi buku yang
terbit pada tahun 2010 yang berjudul Exploring Translation Theories yang diterbitkan

2
di London dan New York oleh penerbit Routledge. Kemudian, bagian terakhir dari
tulisan ini adalah kesimpulan.

Sejarah dan teori studi penerjemahan


Menurut Catford penerjemahan merupakan penggantian materi tekstual dalam
suatu bahasa (1965:20). Sedangkan menurut Wilss via Pym (2009:277) penerjemahan
merupakan pengantaran dari bahasa sumber ke dalam bahasa target sedekat mungkin,
dan pabila memungkinknan, keduanya memiliki kesamaan yang mengacu pada isi dan
gaya bahasa sumber. Berdasarkan dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
penerjemahan adalah proses penggantian bahasa sumber ke bahasa target serta berusaha
memadankan bahasa target tersebut dengan bahasa sumber.
Buku yang berjudul The Name and Nature of Translation Studies merupakan
awal dari studi terjemahan. Buku tersebut ditulis oleh Holmes pada tahun 1988. Dalam
buku tersebut Holmes membagi jangkauan penerjemahan menjadi dua bidang yaitu
penerjemahan dalam lingkup murni (pure) berupa teori itu sendiri dan terapan (applied).
Lingkup murni mencakup dua hal. Pertama, deskripsi mengenai beberapa macam
fenomena penerjemahan yang terjadi. Kedua, pengembangan dari fenomena terjemahan
yang terjadi untuk dikembangkan pada ilmu terjemahan itu sendiri. Deskripsi tersebut
berfokus pada tiga hal yang dinamakan product-oriented DTS (Descriptive translation
studies), process-oriented DTS dan function-oriented. product-oriented DTS berfokus
pada tujuan dari penerjemahan itu sendiri. process-oriented DTS merupakan kajian yang
pada dasarnya membahas mengenai proses dari penerjemahan itu sendiri, sedangkan
function-oriented merupakan fungsi dari penerjemahan itu sendiri.
Hasil dari studi DTS (Descriptive translation studies) dapat diaplikasikan pada
pengembangan teori secara umum atau teori tertentu yang dapat menerapkan aplikasi
dari teori tersebut, misalnya mesin penerjemah ataupun urusan penerjemahan. Menurut
Holmes penerapan penerjemahan orientasinya dapat berpusat pada translation training
yang meliputi metode pembelajaran, teknik pengujian serta rencana kurikulum.
Translation aids membahas mengenai aplikasi yang berbasis IT, kamus, sofware
penerjemah, on-line database dan penggunaan internet. Translation policy membahas
penggambaran cara kerja penerjemah dan proses penerjemahan dengan melihat aspek-

3
aspek bahasa target. Translation critism membahas mengenai isi-isu dalam
penerjemahan, revisi serta evaluasi dari penerjemahan itu sendiri.
Salah satu isu-isu dalam teori terjemahan adalah teori ekuivalensi yang
dicetuskan oleh para ahli. Pym (2009) menyebutkan bahwa ekuivalensi merupakan
sebuah konsep, ia menyebutkan bahwa penerjemahan akan memiliki nilai yang sama
dengan teks sumber. Menurut Pym, nilai kesamaan tersebut terkadang ada dalam; (1)
level bentuk (misalnya dua kata diterjemahkan dengan dua kata), (2) acuan (misalnya
hari Jumat adalah hari sebelum Sabtu), (3) fungsi (misalnya bad luck on 13 hari Jumat
berlaku untuk orang Inggris, sedangkan di Spanyol bad luck on 13 adalah hari Selasa).
Berdasarkan pendapat Pym, dapat disimpulkan bahwa ekuivalensi dalam terjemahan
adalah kesamaan antara bahasa sumber dan bahasa target, akan tetapi konsep
ekuivalensi antara satu teori dan teori lainnya berbeda. Oleh karena itu review berikut
ini akan menjelaskan lebih jauh mengenai perbedaan teori tersebut.

Review
Menurut Panou, konsep ekuivalensi merupakan isu yang menarik dalam disiplin
ilmu penerjemahan. Konsep ekuivalensi terjemahan menjadi fokus kajian para ahli sejak
pembagian studi penerjemahan, yakni pembagian mengenai applied translation
(penerjemahan dalam terapan) dan pure translation (kajian teori penerjemahan).
Menurut Panou, ekuivalensi adalah kesamaan antara sumber teks dan target teks dalam
penerjemahan. Sedangkan beberapa ilmuan mendefinisikan ekuivalensi dengan konsep
yang berbeda antara satu dan lainnya.
Jean-Paul dan Jean Darbelnet (1958) mencetuskan stilistika analisis komparatif
dalam strategi dan prosedur penerjemahan yang berbeda yang digunakan di dalam
bahasa Prancis dan Inggris. Pada tahun 1995 ia membedakan antara direct dan obligate
direction yang keduanya mengacu pada penerjemahan literal dan penerjemahan bebas.
Menurut Vinay dan Darbelet ekuivalensi merupakan salah satu dari ketujuh prosedur
dalam direct dan obligate direction. Dimana prosedur lainnya adalah borrowing,
calque, literal translatuon, translation, modulation dan adaptation. Vinay dan Darbelet
mempertimbangkan jika ekuivalen adalah kesepadanan yang dapat diterima dan
didengarkan dalam sebuah kamus bilingual. Panou mengkritik teori tersebut, menurut

4
Panou terjemahan ekuivalen dalam mengekspresikan bahasa sumber tidaklah cukup
jika konteks mengacu pada kesamaan pada aturan penting dalam penentuan pemakaian
strategi penerjemahan. Menurut Panou penerjemah selayaknya melakukan pendekatan
untuk melihat situasi bahasa sumber guna memecahkan permasalahan dalam terjemahan
tersebut. Penulis setuju mengenai apa yang dikatakan oleh Panou jika proses terjemahan
haruslah melihat situasi dari bahasa sumber, terutama yang berkaitan dengan budaya
bahasa sumber.
Menurut Jakobson masalah yang dihadapi oleh ekuivalensi itu sendiri adalah
ketidakekuivalennya antara dua kata, yakni kata dalam bahasa sumber dan bahasa yang
dituju. Penulis memberikan contoh kata beras, sego, gabah dalam bahasa Jawa. Dalam
bahasa Inggris hanya memiliki satu kata untuk mewakili ketiga kata tersebut, yaitu rice,
sedangkan dalam bahasa Jawa memiliki banyak kata. Penulis tidak setuju mengenai apa
yang dikatakan oleh Panou jika terdapat kesamaan antara teori Vinay Darbelet dengan
Jakobson. Teori keduanya menyebutkan bahwa seorang penerjemah tidaklah
bermasalah jika tidak memahami pengetahuan dari bahasa target. Menurut penulis tidak
dibenarkan karena bertentangan dengan esensi bahasa itu sendiri bahwa bahasa tidak
dapat dipisahkan dari kebudayaan. Penulis menganggap tanggapan Panou dalam
mengkritik teori Jakobson bertolak belakang dengan sanggahan yang ia berikan
sebelumnya. Pada teori Darbelet, Panou mengkritik jika dalam penerjemahan haruslah
memperhatikan aspek budaya bahasa targetnya, namun dalam menanggapi teori
Jakobson ia menyetujui jika ketidaktahuan dari bahasa target bukanlah suatu masalah.
Menurut penulis aspek kebudayaan merupakan salah satu pengetahuan dalam bahasa
target.
Lain halnya dengan Nida dan Taber, keduanya maembedakan ekuivalensi
menjadi dua jenis yakni formal equivalence dan dynamic equivalence. Formal
equivalence memiliki pengertian jika bahasa target menyerupai bahasa sumber dalam
bentuk dan isinya, sedangkan dynamic equivalence adalah usaha untuk mengatakan jika
pesan dari bahasa sumber dalam bahasa target terjadi secara natural merupakan suatu
kemungkinan. Penggunaan dynamic equivalence yang disampaikan oleh Nida
menjadikan proses terjemahan menjadi efektif. Menurut penulis apa yang disampaikan
oleh Nida tersebut berbeda dengan prosedur yang dilakukan oleh para ahli-ahli

5
sebelumnya. Dalam konteks ini penerjemahan lebih dinamis. Menurut penulis arti dari
dinamis tersebut mengacu pada bahasa sumber, hal yang sama belum tentu serupa. Jadi
sebagai seorang penerjemah ia harus menguasai budaya dari bahasa target sehingga
dapat menentukan kata apa yang tepat untuk mewakilinya. Selain itu penulis juga
sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Panou, yakni dalam penerjemahan akan
membawa penerjemah kepada kebudayaan bahasa target.
Hause (1997) mengemukakan bahwa dalam penerjemahan, ekuivalen dapat
dikatakan jika bahasa sumber harus sesuai dengan fungsi bahasa target. House lebih
menekankan kepada keaslian penerjemahan yang harus sesuai dengan fungsinya.
Menurut penulis, teori Hause lebih fleksibel jika dibandingkan dengan teori Nida dan
Catford. Penerjemahan tersebut lebih melihat sisi pragmatiknya. Catford
mengemukakan dua hal yakni ‘ide’ dan ‘pergeseran’. Sehingga dalam penyampaian
tersebut bisa saja menggunakan ide lain dalam konsep yang sama dengan melakukan
pergeseran dari bahasa sumber tanpa mengurangi makna.
Koller mengemukakan jika ekuivalensi berhubungan dengan korespondensi.
Korespondensi mengacu pada perbandingan sistem dua bahasa yang sama maupun
berbeda yang dideskripsikan secara kontroversi. Ekuivalensi menitik beratkan pada
pasangan spesifik antara bahasa sumber dan bahasa target. Lebih jauh Koller
membedakan lima tipe ekuivalensi (b) connotative equivalence berhubungan dengan
pilihan leksikal (c) text-normative equivalence berhubungan dengan tipe teks (d)
pragmatic equivalence berkaitan dengan penerima dan pengiriman pesan (e) formal
equivalence berhubungan dengan keestetikaan teks.
Newmarak mengemukakan teori ekuivalensi yang hampir sama dikatakan oleh
House, yakni penerjemahan lebih mempertimbangkan kepuasan dari target pembaca.
Hal itu berkaitan dengan teori ekuivalensi yang dikemukakn oleh House, jika dalam
ekuivalensi mempertimbangkan fungsi dari terjemahan itu sendiri.
Teori ekuivalensi lainnya dikemukakn oleh Baker. Dalam bukunya ia
menstrukturkan jenis ekuivalensi yang berbeda dalam level kata, frase, grammar, teks
dan prakmatik. Hal terpenting yang dikemukakan oleh Baker mengenai ekuivalensi
adalah pentingnya pengetahuan individu sebagai penerjemah dalam proses
penerjemahan. Pertama-tama penerjemah harus melihat unit setiap kata untuk

6
menyamakan bahasa target. Mengenai pengetahuan bahasa target, pandangan Baker
lebih detail dibandingkan pandangan lainnnya. Pandangan lain seperti Jean-Paul dan
Jean lebih menekakankan pada aspek budaya dari bahasa target. Sedangkan pandangan
Baker memperlihatkan bahwa bahasa target dilihat lebih detail dari segi struktural
bahasanya yakni mengenai kata, frase, grammar, teks dan pragmatik. Penulis setuju
dengan pendapat Panou jika teori ekuivalensii Baker memberikan kontribusi dalam
studi penerjemahan terutama pengetahuan mengenai pendekatan sistematik untuk
pelatihan terjemahan. Strategi Baker mengenai ekuivalensi penerjemahan lebih spesifik
sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah penerjemahan. Disini
penerjemahan dimulai dengan melihat aspek kata sampai pada aspek pragmatik. Penulis
berpendapat bahwa aspek frase, aspek kata merupakan aspek internal yang wajib
diketahui oleh calon penerjemah. Lebih lanjut aspek pragmatik juga perlu karena
berkaitan dengan konteks penerjemahan dan aspek budaya dari bahasa sumber yang
kemudian diadaptasi ke dalam bahasa target.
Teori ekuivalensi dalam terjemahan pada abad modern dikemukakan oleh Pym.
Ia memberikan konsep ekuivalensi penerjemahan terbaru yang berbeda dengan konsep-
konsep sebelumnya. Ia menjelaskan jika tidak ada penerjemahan yang sempurna antar
dua bahasa, sehingga dapat dikatakan semua penerjemahan itu selalu ekuivalen
(2010:37). Secara khusus Pym mengemukakan ekuivalensi memiliki hubungan dengan
equal value yakni nilai yang sama antara bahasa sumber dan bahasa target dalam level
bentuk maupun fungsi linguistik. Ia juga membedakan antara natural dan directional
evidence. Natural merupakan kesetaraan antara bahasa target dengan bahasa sumber
secara apa adanya dalam proses penerjemahan. Hal tersebut berkebalikan dengan
directional evidence dimana seorang penerjemah bebas untuk memilih beberapa strategi
penerjemahan tanpa harus terpaku pada satu teori. Disini penulis dapat mengatakan jika
dalam penerjemahan kemungkinan besar akan terjadi pergeseran bahasa sumber ke
bahasa target, akan tetapi maksud serta ide kepada pembaca tersampaikan. Basnet juga
mengkonsekuensikan jika dalam proses terjemahan bisa saja terjadi penghilangan
maupuan pergeseran bobot (Bassnett, 2002:8). Pergeseran tersebut merupakan upaya
penerjemahan dalam mengkondisikan kebudayaan dari bahasa sumber ke bahasa target.

7
Sebuah teks akan lebih berterima jika beradaptasi dengan budaya target karena
akan lebih mengena secara integibility. Konsep ekuivalensi fungsi House dan konsep
ekuivalensi stilistik Darbelet keduanya juga dapat dikatakan bagian dari ekuivalensi
Pym. Sehingga definisi terjemahan tidak hanya proses memproduksi padanan bahasa
yang paling dekat dengan pesan bahasa sumber seperti yang dikatakan oleh Nida dan
Taber(1969)(via Hornby, 2006:25). Melainkan terdapat strategi bebas lainnya yang
dilakukan penerjemah baik secara fungsi terjemahan maupun estetika penerjemahan.
Hal yang terpenting dalam penerjemahan adalah maksud dari bahasa sumber ke bahasa
target dapat tersampaikan dengan baik.
Penulis menganggap konsep teori Pym berbeda dengan lainnya. Perbedaannya
terletak pada jangkauannya, jangkauan teori Pym lebih luas dan fleksibel serta tidak
terpaku pada satu teori relevansi saja. Penjelasan lebih jauh mengenai teori relevansi
Pym terdapat pada jurnal yang pertama dengan judul Natural and directional
equivalence in theories of translation. Dalam jurnal tersebut Pym mengulas beberapa
perkembangan teori lama sampai teori baru. Pym juga menjelaskan konsep ekuivalen
yang ia cetuskan, yakni natural ekuivalensi dan directional equivalence. Selain itu ia
juga menambahkan mengenai strategi untuk mencapai natural ekuivalensi serta
directional equivalence. Menurut Pym para linguistik struktural condong kepada
natural ekuivalen. Sedangkan dalam directional equivalence, Pym bukan lagi
mencantumkan sebagai strategi melainkan membebaskan jenis ekuivalen manakah yang
akan dipakai oleh penerjemah dalam menerjemahkan ke dalam bahasa target. Pym
memberikan contoh pada penerjemahan kitab Bibel, dalam penerjemahan kitab Bibel
dapat menggunakan konsep formal equivalence (berdasarkan kedekatan pola kata dan
tekstual) atau dynamic equivalence (mencoba mengkreasikan dari sumber asli).
Misalnya kata lamb of God dapat dimengerti oleh umat Kristiani di Inggris namun di
kebudayaan Inuit menjadi the seal of God. Penggantian tersebut dilakukan dengan
pengertian bahwa secara budaya Inuit mereka mengetahui apa itu seal akan tetapi tidak
mengerti apa itu lamb. Berdasarkan contoh yang diberikan Pym tersebut, Pym
memberikan kejelasan konsep teorinya bahwa dalam teori terjemahan, penerjemah tidak
harus terpaku pada salah satu konsep teori penerjemahan terdahulu, akan tetapi
penerjemah dapat menyesuaikan konsep manakah yang harus ia pakai.

8
Kesimpulan

Ekuivalensi dapat dikatakan sebagai kesepadanan antara bahasa sumber dengan


bahasa target. Setiap ahli penerjemah memiliki konsep yang berbeda-beda. Secara garis
besar teori penerjemahan tersebut terdiri dari dua konsep yang saling berkebalikan,
contohnya teori Pym tentang natural equivalency dan directional equivalence. Nida dan
Taber menyebutnya formal equivalence dan dynamic equivalence dan lain sebagainya.
Menurut penulis, konsep teori ekuivalensi Pym berbeda dengan konsep teori lainnya.
Konsep teori Pym lebih fleksibel dan memiliki jangkauan yang luas. Panou
mengungkapkan bahwa teori ekuivalensi Pym dapat dikatakan sebagai solusi dalam
masalah penerjemahan.

Referensi

Bassnett, Susan. 2002. Translation Studies. London and New York: Routledge.

Catford, John C. 1965. A linguistic theory of translation: An essay in applied linguistics.


London: Oxford University.

Hornby dan Mary, S. 2006. The Turn of Translatyion Study: New Paradigms or Shift
Points. Philadelphia: John Benjamin Publising Company.

Panou, D. 2013.Theori and Practice Language. Equivalence in Translational Theories:


A critical Evaluation 3(1):1-6.

Pym, A. 2010. Exploring Translation Theories. London and New York: Routledge.
2007. Target. Natural and directional equivalence in theories of translation
19(2):271-294.

Anda mungkin juga menyukai