Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

DERMATITIS ATOPIK

Disusun oleh :
NOVRIYANTI
213 210 141

Pembimbing:
dr. DAME MARIA PANGARIBUAN, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
RSUD.Dr.DJASAMEN SARAGIH
PEMATANG SIANTAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur, penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Tuhan Yang Maha Esa atas kasih
dan setia-Nya yang memberkati penyusun sehingga Laporan Kasus dengan judul “Dermatitis
Atopik” dapat terselesaikan.
Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada teman-teman penyusun yang telah
membimbing penyusun dalam menyelesaikan referat ini. Rasa terima kasih juga khusus
penyusun sampaikan kepada dr.Dame Maria Pangaribuan, Sp.KK yang telah memberi
petunjuk dan bimbingan kepada penyusun dalam menyusun Referat.
Penyusun menyadari referat ini masih jauh dari kata sempurna, karena itu penyusun
dengan senang hati akan menerima segala saran dan kritik dari pembaca.
Semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca. Akhir kata penulis ucapkan terima
kasih.

Pematangsiantar, Februari 2019

Penulis

Novriyanti

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2
2.1. Defenisi Dermatitis Atopik .................................................................. 2
2.2. Epidemiologi ....................................................................................... 2
2.3. Etiopatogenesis Dermatitis Atopik ...................................................... 2
2.4. Gambaran Klinis .................................................................................. 5
2.5. Diagnosis ............................................................................................. 6
2.6. Diagnosis Banding ............................................................................... 9
2.7. Penatalaksanaan Dermatitis Atopik ..................................................... 9
2.8. Prognosis ............................................................................................. 14
BAB III STATUS PASIEN ...................................................................................... 16
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................... 18
BAB V KESIMPULAN ............................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronis dan sering
terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa.
Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya
riwayat rinitis alergika dan atau asma pada keluarga maupun penderita. Menurut definisi
Rajka dermatitis atopik adalah suatu inflamasi yang spesifik pada kompartemen dermo-
epidermal, terjadi pada kulit atopik yangbereaksi abnormal, dengan manifestasi klinis
timbulnya gatal dan lesi kulit inflamasi bersifat eczematous.
Pada tahun 1933 Wise dan Silzberger menyebut penyakit kulit dengan gejala seperti
di atas sebagai dermatitis atopik, istilah yang untuk selanjutnya dapat diterima sampai saat ini
dan penyakit kulit ini harus dibedakan dengan dermatitis eksematosa tipe kontak. Konsep
atopi diperkenalkan pertamakali oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, sebagai suatu istilah
yang dipakai secara spontan pada individu yang mempunyai riwayat keluarga terhadap
kepekaan tersebut. Kata atopi diambil dari bahasa Yunani atopia yang berarti sesuatu yang
tidak lazim, different atau out of place, dan istilah ini untuk menggambarkan suatu reaksi
yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing
yangterdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Dermatitis Atopik


Dermatitis atopic (D.A) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif , disertai
gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita
(D.A, rinitis alergik, dan atau asma bronkial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang
kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).
Kata ‘atopi’ pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai
untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai kepekaan dalam keluarganya.
Misalnya : asma bronkial, rinitis alergik, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik.
Sinonim
Istilah lain adalah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural,
neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier.

2.2. Epidemiologi
Belakangan ini prevalensi D.A makin meningkat dan hal ini merupakan masalah besar karena
terkait bukan saja dengan kehidupan penderita tetapi juga melibatkan keluarganya. Di
Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan Negara-negara industri lainnya, prevalensi
D.A pada anak mencapai 10-20 persen, sedangkan pada dewasa 1-3 persen. Di Negara
agraris, prevalensi ini lebih rendah. Perbandingan wanita dan pria adalah 1,3:1.
D.A cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi maka lebih dari
seperempat anaknya akan menderita D.A pada 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua
menderita atopi maka lebih separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun dan bila
kedua orang tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75 persen.

2.3. Etiopatogenesis Dermatitis Atopik


Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis D.A, misalnya faktor genetik,
lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya D.A adalah
melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.

2
Kadar IgE dalam serum penderita D.A dan jumlah eosinofil dalam darah perifer
umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara D.A dan alergi
saluran napas, karena 80% anak dengan D.A, mengalami asma bronkial atau rinitis alergik.
Berikut ini 4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit atopi.
- Kelas I : gen predisposisi untuk atopi dan respons umum IgE
- Kelas II : gen yang berpengaruh pada respon IgE spesifik
- Kelas III : gen yang mempengaruhi mekanisme non-inflamasi (hiperresponsif
bronchial)
- Kelas IV : gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak diperantarai IgE

Genetik
Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan
GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting
dalam ekspresi D.A. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi
predisposisi D.A. Ada hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen kimase dan D.A,
tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik. Varian genetik kimase sel mas, yaitu
serine protease yang disekresi oleh sel mas dikulit, mempunyai efek spesifik pada organ, dan
berperan dalam timbulnya D.A.

Respons imun pada kulit


Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik. Di dalam
kompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang melibatkan sel
Langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen (bisa berupa
alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu
dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh IgE yang ada pada
permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran SL epidermis.
Bila antigen ditangkap IgE sel mas (melalui reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan
cross linking dengan FcεRI, menyebabkan degranulasi sel mas dan akan keluar histamin dan
faktor kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate type
hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak sebukan sel eosinofil.
Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga
respons ini disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Pada pemeriksaan
histopatologi nampak sebukan sel netrofil. IgE juga berafinitas tinggi dengan FcεRI yang

3
terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil.
Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro inflamasi epidermis
lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit DA. Kadang-kadang terjadi
aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas
pada DA.
Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN-γ yang merupakan sitokin Th1
akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik
berhubungan dengan hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal
untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis. Perkembangan sel T
menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin (P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan
menginduksi peningkatan kadar IgE yang diproduksi oleh sel B.

Respons sistemik
Perubahan sistemik pada D.A adalah sebagai berikut :
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat.
- Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu
- Eosinofilia
- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat
- Sekresi IFN-γ oleh sel TH1 menurun
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan IL-13 dan
PGE2.

Sawar kulit
Umumnya penderita D.A mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga terjadi akibat
kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss meningkat, skincapacitance
(kemampuan stratum korneum mengikat air) menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan
ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk.
Garukan ini menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan
bahan iritan/alergen lain untuk melalui kulit dengan segala akibat-akibatnya.

4
Faktor lingkungan
Peran lingkungan terhadap tercetusnya D.A tidak dapat dianggap remeh. Alergi
makanan lebih sering terjadi pada anak usia <5 tahun. Jenis makanan yang menyebabkan
alergi pada bayi dan anak kecil umumnya susu dan telur, sedangkan pada dewasa seafood dan
kacang-kacangan. Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan alergen hirup yang
berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi dapat menjadi faktor pencetus DA. 95%
penderita D.A mempunyai IgE spesifik terhadap TDR.
Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat
keparahan D.A. Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus D.A, suhu
udara yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba dapat menjadi
masalah bagi penderita D.A. Hubungan psikis dan penyakit D.A dapat timbal balik. Penyakit
yang kronik residif dapat mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang
pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imuno-endokrinologi yang menimbulkan rasa
gatal. Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan lebih mudahnya mikroorganisme dan
bahan iritan (seperti sabun, detergen, antiseptik, pemutih, pengawet) memasuki kulit.

2.4. Gambaran Klinis

Kulit penderita D.A umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis


berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin.
Penderita D.A cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa
cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan. Gejala utama D.A ialah pruritus, dapat
hilang timbul sepanjang hari, tetapi umunya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya
penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
Ada 3 fase klinis D.A yaitu, D.A infantil (2 bulan - 2 tahun), D.A anak (2-10 tahun) dan D.A
pada remaja dan dewasa.
- D.A infantil (2 bulan – 2 tahun)
D.A paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada bulan kedua. Lesi
mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi) berupa eritema, papul-vesikel pecah
karena garukan sehingga lesi menjadi eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi
bisa meluas ke kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulai
merangkak, lesi bisa ditemukan didaerah ekstensor ekstremitas. Sebagian besar
penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak.

5
- D.A pada anak (2 – 10 tahun)
Dapat merupakan lanjutan bentuk D.A infantil ataupun timbul sendiri (de novo).
Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan
leher. Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan
mungkin infeksi sekunder. D.A berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat
mengganggu pertumbuhan.
- D.A pada remaja dan dewasa
Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher, dahi, sekitar mata.
Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat pula berlokasi setempat misalnya pada bibir (kering, pecah,
bersisik), vulva, puting susu atau skalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah
di daerah lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar
cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa didapati
ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan akhirnya menjadi hiperpigmentasi.
Pruritus adalah gejala subjektif yang paling dominan dan terutama dirasakan pada
malam hari.
Bagaimana mekanisme timbulnya pruritus masih belum jelas. Histamin yang keluar
akibat degranulasi sel mas bukanlah satu-satunya penyebab pruritus. Disangkakan sel
peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat kekeringan kulit, perubahan kelembaban
udara, keringat berlebihan, bahan iritan konsentrasi rendah serta stres juga terkait dengan
timbulnya pruritus. Umumnya D.A remaja dan dewasa berlangsung lama kemudian
cenderung membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan dan sebagian kecil
sampai tua. Berbagai kelainan kulit dapat menyertai D.A (termasuk dalam kriteria minor).

2.5. Diagnosis
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas berbagai fenomena klinis
yang tampak menonjol, terutama gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis
dermatitis atopik tidak dapat dibuat tanpa adanya riwayat gatal. Dalam perkembangan
selanjutnya seiring dengan kemajuan di bidang imunologi maka untuk diagnosis D.A mulai
dimasukkan uji alergi sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan/uji alergik tersebut adalah uji
tusuk (skin pricktest) terhadap bahan alergen inhalan dan pemeriksaan kadar IgE total di
dalam serum penderita DA.

6
Berbagai kriteria diagnosis D.A disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajka telah
menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris di koordinasi oleh
William (1994).
A. Kriteria Mayor :
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di pleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarga.
B. Kriteria Minor :
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S. Aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- Iktiosis/hiperliniar palmaris/ keratosis pilaris
- Pitriasis alba
- Dermatitis di papila mamae
- White dermographism dan delayed blanch response
- Kelilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerens terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit aergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini

7
Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor. Untuk bayi,
kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu :
tiga kriteria mayor berupa :
- Riwayat atopi pada keluarga,
- Dermatitis di muka atau ekstensor,
- Pruritus.
Ditambah tiga kriteria minor :
- Xerosis/Iktiosis/hiperliniar palmaris,
- Aksentuasi perifolikular,
- Fisura belakang telinga,
- Skuama di skalp kronis.
Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan
pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit
(hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis
populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping
juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability).
Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William
memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk
pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang
dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu
dokter Puskesmas membuat diagnosis.
Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa
anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan
pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun).
2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi
pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
3. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.
4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota
badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).

8
2.6. Diagnosis Banding
Karena lesi kulit dermatitis atopik di dapat memiliki banyak bentuk (papula, vesikula,
plak, nodul dan ekskoriasi), diagnosis banding dermatitis atopik sangat luas. Kelainan kulit
dermatitis atopik sering menunjukkan gambaran morfologik yang khas, yang dapat
menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis numularis, psoriasis, scabies,
penyakit Lettere-Siwe, Acrodermatitis enteropathica, Sindroma Wiskot-Aldrich.

2.7. Penatalaksanaan Dermatitis Atopik


Terapi DA membutuhkan pendekatan sistematis dan multifaktorial yang merupakan
kombinasi hidrasi kulit, terapi farmakologis, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab
seperti iritan, alergen, agen infeksi, dan stres emosional yang bersifat individual.
Penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama (long term control), bukan

9
hanya untuk mengatasi kekambuhan. Edukasi merupakan dasar dari suksesnya
penatalaksanaan DA, yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. Agen
topical digunakan untuk terapi penyakit yang terlokalisasi dan ringan, sedangkan fototerapi
dan agen sistemik digunakan untuk yang lebih luas dan berat.
- Terapi Non-farmakologis
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu,
karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut. Menghindarkan
pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen,pemutih, dll), menghindarkan
suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.menghindarkan aktifitas yang akan
mengeluarkan banyak keringat, menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat
mencetuskan DA. Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi,
seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu. Menghindarkan stres
emosi, mengobati rasa gatal.
Berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacang-kacangan yang dapat mencetuskan
DA harus diidentifikasi secara teliti melalui anamnesis dan beberapa pemeriksaan khusus.
Namun, eliminasi makanan esensial pada bayi/anak harus berhati-hati karena dapat
menyebabkan malnutrisi sehingga sebaiknya diberi makanan pengganti. Mandi dengan air
hangat teratur dua kali sehari lalu dibilas dengan air biasa dan menggunakan pembersih
yang lembut dan tanpa bahan pewangi akan membersihkan kotoran dan keringat, juga
skuama yang merupakan medium yang baik untuk bakteri. Keadaan itu akan
meningkatkan penetrasi terapi topikal.
Hindari sabun atau pembersih kulityang mengandung antiseptik/antibakteri yang
digunakan rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi sekunder.
Dalam tiga menit setelah selesai mandi, pasien seharusnya mengaplikasikan pelembab
untuk memaksimalkan penetrasinya. Salap hidrofilik dengan ceramiderichbarrier repair
mixtures akan memelihara kelembaban dan berfungsi sebagai sawar untuk bahan antigen,
iritan, patogen, dan mikroba. Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
pelembab akan mengurangi penggunaan kortikosteroid hingga 50%. Sebuah penelitian
pada 100 pasien DA dengan pelembab urea 5% atau losionurea 10% yang diaplikasikan
topikal dua kali sehari efektif dan aman untuk memperbaiki gejala DA derajat ringan
sedang.
Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar karena dapat
mengiritasi kulit. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari kerusakan
kulit (erosi, eksoriasi) akibat garukan. Gatal dikurangi dengan emolien ataupun kompres

10
basah. Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk
mengurangi gatal, terutama untuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap
pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberi larutan kortikosteroid atau
mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi kemudian dibalut basah dengan air hangat dan
ditutup dengan lapisan/baju kering di atasnya. Cara ini sebaiknya dilakukan secara
intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3 minggu.
Balut basah dapat pula dilakukan dengan mengoleskan emolien saja di bawahnya
sehingga memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal serta berfungsi sebagai
pelindung efektif terhadap garukan sehingga mempercepat penyembuhan. Bila tidak
disertai pelembab, balut basah dapat menambah kekeringan kulit dan menyebabkan
fisura. Penggunaan balut basah yang berlebihan dapat menyebabkan maserasi sehingga
memudahkan infeksi sekunder.

11
- Terapi Topikal
Kortikosteroid topikal merupakan terapi yang paling sering digunakan pada DA di
Amerika Serikat untuk DA fase akut. Terapi kortikosteroid untuk DA bersifat efektif,
relatif cepat, ditoleransi dengan baik, mudah digunakan, dan harganya tidak semahal
terapi alternatif lainnya. Pada sebuah penelitian dengan randomized controlled trials pada
83 kasus DA, 80% dilaporkan remisi total.
1. Pengobatan topikal
- Hidrasi kulit
Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan
penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap
mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain
krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan
konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah
mandi.
- Kortikosteroid topikal
Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hati
karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi
pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi
menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah
terkontrol. Kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu.
- Imunomodulator topikal
A. Takrolimus
Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salap 0,03%
untuk anak usia 2 – 15 tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan
jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat.
B. Pimekrolimus
Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan
makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang
dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit
sensitif 2 kali sehari.
- Antihistamin
Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka

12
pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada
area luas akan menimbulkan efek samping sedatif.
2. Pengobatan sistemik
- Kortikosteroid
Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam
waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara
tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila
tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen.
- Antihistamin
Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus
diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas penderita
dll. Anti histamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada
penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir). Pada kasus sulit dapat diberi
doxepin hidroklorid 10-75mg oral/2x/hari yang mempunyai efek anti depresan
dan blokade reseptor histamin H1 dan H2.
- Anti infeksi
Pemberian antibiotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni
S.aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau
kaltromisin. Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama
10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari.
- Interferon
IFNγ bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel
TH1. Pengobatan IFNγ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat
menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
- Siklosporin
Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan
calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga
transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat,
bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya
adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal
dan hipertensi.
- Terapi sinar (phototherapy)
Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet β atau kombinasi
UVA dan UVB. Terapi kombinasi lebih baik daripada UVB saja. UVA bekerja

13
pada SL dan eosinofil sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan
cara memblokade fungsi SL dan mengubah produksi sitoksin keratinosit.
- Probiotik
Pemberian probiotik perinatal akan menurunkan resiko DA pada anak di usia 2
tahun pertama.
Berdasarkan konsep imunologik DA merupakan kelainan kulit inflamasi yang terjadi
oleh karena gangguan fungsi pengaturan sel imun (dysfunction in the cellular
immunoregulation). Hal ini terlihat di dalam merespon paparan alergen, sel T akan
berdeferensiasi menjadi sel T helper dengan profil Th2 yang mengeluarkan sitokin IL-4, IL-
5. Sitokin ini selanjutnya akan memacu proses inflamasi untuk terjadinya DA. Oleh karena
itu penatalaksanaan DA harus mengacu pada kelainan dasar tersebut, selain mengobati gejala
utama gatal untuk meringankan penderitaan penderita.
Secara konvensional pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sbb.
a. menghindari bahan iritan
b. mengeliminasi alergen yang telah terbukti
c. menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
d. pemberian pelembab kulit (moisturizing)
e. kortikosteroid topical
f. pemberian antibiotik
g. pemberian antihistamin
h. mengurangi stress dan
i. memberikan edukasi pada penderita maupun keluarganya
Selain itu harus dijelaskan pula bahwa pengobatan tidak bersifat currative
(menghilangkan penyakit) tetapi untuk mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan.

2.8. Prognosis
Sulit meramalkan prognosis D.A pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua
orang tuanya menderita D.A. ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan
sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30
tahun. Penyembuhan spontan D.A yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah
umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan.
Sebelumnnya juga ada yang melaporkan bahwa 84% D.A anak berlangsung sampai
masa remaja. Ada pula laporan, D.A pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20%

14
menghilang, dan 65 % berkurang gejalanya. Lebih dari separuh D.A remaja yang telah
diobati kambuh kembali setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik D.A, yaitu :
- D. A luas pada anak
- Menderita rhinitis alergik dan asma bronkial
- Riwayat D.A pada orangtua atau saudara kandung
- Awian (onset) D.A pada usia muda
- Anak tunggal
- Kadar IgE serum sangat tinggi.

15
BAB III
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Farah Nabila
Umur : 15 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Pondok Sayur

B. Anamnesis Pasien
a. Keluhan Utama : Gatal pada daerah areola & puting payudara sejak 1 tahun yang lalu dan
kumat kumatan
b. Telaah : Os mengeluhkan gatal pada daerah areola & puting payudaranya sejak 1
tahun yang lalu. Os mengatakan sudah sering mengalami keluhan
tersebut dan sudah berulang. Keluhan yang dirasa Os diperberat jika
memakai bra yang berbusa. Os mengaku sering bersin-bersin bila
terkena debu, juga gatal bila berkeringat. Os juga mempunyai alergi
cuaca. Os sebelumnya sudah pernah berobat ke puskesmas namun tidak
membaik. Sebelumnya salah satu keluarga Os juga pernah mengalami
keluhan tersebut. Akhirnya Os berobat ke Poli Klinik Kulit Kelamin
RSUD.Dr. Djasamen Saragih
c. RPT :-
d. RPK : Saudara Os mengalami penyakit yang sama dengan Os
e. RPO : Tidak jelas.

Status Dermatologi
Ruam
 Daerah Areola dan Puting Susu : Eritema, erosi, skuama.
 Daerah Wajah : Ptiriasis Alba
Diagnosis Banding : 1.Dermatitis Atopik
2.Dermatitis Kontak Iritan

16
3.Dermatitis Kontak Alergi
Diagnosis Sementara : Dermatitis Atopik
Gambar Ruam :

Terapi : - Cetirizine 10mg 1x1


- Metylprednisolon 4mg 2x1
- Larutan NaCL 0,9%
- Desoximethasone cream

17
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 RESUME
Seorang Perempuan, Farah Nabila, 15 tahun dengan keluhan gatal pada daerah areola &
puting payudara sejak 1 tahun yang lalu dan kumat kumatan. Ruam yang dijumpai eritema,
erosi, skuama. Pada daerah wajah ditemui pitiriasis alba.

DISKUSI
 Berdasarkan kasus, status dermatologi ditemukan eritema, erosi, skuama. Berdasarkan
dari keterangan di atas, maka keluhan yang dialami pasien sesuai dengan manifestasi
klinis dermatitis atopik
 Berdasarkan kasus, lokasi ruam terdapat di daerah wajah, areola dan puting susu.
Pada dermatitis atopik, tempat predileksi lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan
siku/lutut, samping leher, dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang
karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula berlokasi
setempat misalnya pada bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau skalp
 Berdasarkan kasus pengobatan yang diberikan yaitu Cetirizine 10mg 1x1,
Metylprednisolon 4mg 2x1, Larutan NaCL 0,9%, Desoximethasone cream. Sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa penatalaksanaan dermatitis atopik diberikan
antihistamin (cetrizine 10mg) dan diberikan kortikosteroid sistemik
(methylprednisolon 4mg), kortikosteroid topikal (desoximethasone cream) dan larutan
NaCL 0,9% sebagai pengkompres luka.

18
BAB V

KESIMPULAN

1. Dermatitis Atopik (D.A) adalah keadaan peradangan kulit kronis, residif, disertai gatal.
2. Pada pasien Lapkas ini ditemukan ruam eritema, erosi, dan skuama. Pada daerah wajah
ditemukan pitiriasis alba.
3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan gambaran
klinis dari dermatitis atopik.
4. Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk menghilangkan gejala
dan mencegah kekambuhan.
5. Terapi awal DA adalah hidrasi kulit, edukasi pasien dan keluarga untuk menghindari
faktor pencetus.
6. Terapi tambahan yang penting adalah pengobatan infeksi sekunder dan pemberian
antihistamin, kortikosteroid dan larutan pengkompres untuk kulit yang terkena ruam.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M,Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi 6.


Jakarta:Balai Penerbit FKUI; 2010. p.129-53.
2. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2.Jakarta : EGC; 2004. p.
115- 117.
3. TanjungC . Dermatitis Atopik . Jakarta ; 2010. Diunduh dari :
http://www.scribd.com/doc/72883113/Dms146-Slide-Dermatitis-Atopik. Diakses
pada tanggal 26 april 2014.
4. Natalia, MenaldiS L, Agustin T. Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis
Atopik.Volum: 61, Nomor: 7. Jakarta; 2011. Diunduh dari:
http://www.Dermatitisatopik. Diakses pada tanggal 26 april 2014.
5. Vincent S. Beltrani, MD, dan Mark Boguneiwicz, MD. Dermatitis atopik. In :
Dermatology Jurnal Online. New York; 2010. Diunduh dari :
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://dermatology.cdl
ib.org/92/reviews/atopy/beltrani.html. Diakses pada tanggal 26 april 2014.

20

Anda mungkin juga menyukai