Bab 2 KWN
Bab 2 KWN
TINJAUAN PUSTAKA
Namun dalam hal memberikan rasa aman bagi warga negara terutama
perempuan kehadiran negara belum dirasakan secara utuh. Sebut saja penembakan-
penembakan liar di Papua, Poso dan Aceh, berdampak serius pada warga karena
tidak bisa menjalankan aktifitas normal sehari-hari. Negara begitu tegas dalam
merespon kasus narkoba, tetapi tidak pada kasus kekerasan terhadap perempuan.
Eksekusi hukuman mati bagi para pengedar narkoba dianggap sebagai dianggap
urgen karena tingginya angka pemakai narkoba yang setiap harinya ada 50 orang
meninggal. Padahal dalam catatan KOMNAS Perempuan, setiap 1 jam ada 28
perempuan mengalami kekerasan. Tidak diprioritaskannya kekerasan terhadap
perempuan dalam jajaran kementerian terlihat sekali pada sikap pemerintah dalam
Forum regional Asia Pasific Beijing +20 yang baru-baru ini diselenggarakan di
Bangkok pada 17-20 November 2014, dimana pemerintah tidak mendukung
perlindungan pada perempuan dalam bidang hak seksualitas dan menolak diversitas
dalam keluarga (Kalyanamitra, 2015).
Ini sangat nyata bahwa pemerintah belum menaruh perhatian khusus pada
isu perempuan. Komitmen pada kebebasan beragama sangat tinggi. Meskipun
terlihat lamban dalam hal merespon kasus-kasus pelanggaran HAM pada minoritas.
selama 100 hari kerja, tidak ada kemajuan dalam upaya mengembalikan pengungsi
ke tanah asalnya (Kalyanamitra, 2015).
Bahkan, kasus yang sudah jelas seperti pembukaan segel GKI Yasmin juga
belum terlihat progresnya. Dalam hal memperkuat kesejahteraan masyarakat,
negara sangat terlihat melakukan reformasi pada bidang kemaritiman dengan
pemberantasan Illegal Fishing, dan perlahan juga memperkuat bantuan pada petani
dan nelayan. Ketegasan pemerintah dalam menangkap para pencuri ikan sangat
berdampak pada peningkatan hasil tangkapan nelayan. Keberanian ini diharapkan
juga sama gigihnya untuk menjamin kesejahteraan bagi kelompok minoritas seperti
Ahmadyah dan Shia yang tinggal di pengungsian (Kalyanamitra, 2015).
Metodologi yang dipakai dalam melihat capaian dari kinerja Kabinet Kerja
adalah menggunakan ukuran dari prioritas setiap kementerian terkait dengan 10
Agenda politik Perempuan, yaitu: 1. Kesehatan reproduksi dan seksualitas 2. Hak
atas pendidikan 3. Kekerasan terhadap PErempuan 4. Pemiskinan PErempuan 5.
Perempuan dalam konflik dan bencana, serta pengelolaan linkgungan dan SDA 6.
Hak atas pekerjan yang layak 7. Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan 8.
Hak Politik Perempuan 9. Penghapusan hukum diskriminatif 10. Penghentian
Korupsi Indikator ditetapkan secara fleksibel tetapi mengandung beberapa
indikator kunci seperti: 1. Komitmen pada pengarusutamaan gender (PUG) 2.
Komitmen pada penghentian kekerasan terhadap perempuan Rapor 100 Hari
Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK dalam Bidang PerempuanIndonesia [4] 3. Produk
hukum dan kebijakan yang terkait dengan isu 4. Quick Win Skor evaluasi disepakati
menggunakan ukuran sebagai berikut: A : 8-10 artinya sesuai atau mengarah pada
Nawacita (diberi warna hijau) B: 6-7 artinya hanya sebagian kecil yang mengarah
pada Nawacita (warna kuning) C: 4-5 artinya cenderung tidak mengarah pada
Nawacita (warna merah) Kami berharap dengan rapor ini, pemerintah bisa
memperbaiki kinerjanya dan menempatkan agenda perempuan menjadi prioritas
yang bangsa yang sama pentingnya dengan membangun kedaulatan bangsa
(Kalyanamitra, 2015).
Komite regulasi (tim regulasi) terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Tjahyo
Kumolo (dari kiri), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(Yohana Yambise), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (BAppenas)
(Andrinof), Menteri Hukum dan HAM (Yasonna Laoly), bertanggungjawab
terhadap persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU). "Indonesia bukan negara
yang didirikan berdasarkan satu agama, Negara ini didirikan berlandaskan UUD 45,
yang melindungi semua umat beragama", kata Tjahjo dalam sebuah pertemuan
dengan kelompok-kelompok agama minoritas di Jakarta hari Rabu , 5 November
2014 lalu (Kalyanamitra, 2015).
Sementara reshuffle kabinet yang kedua dilakukan pada Juli 2016. Ada
delapan menteri yang lengser saat itu. Rentang waktu perubahan kabinet pimpinan
Jokowi-JK ini tergolong sangat cepat jika dibandingkan dengan era Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY).Argumentasi yang muncul saat perombakan kabinet
adalah kinerja kementrian dan kegaduhan antar mentri. Itulah sebabnya jalanya
pemerintahan tidak efektif. Secara politik fakta tersebut berdampak pada kerja-
kerja kementrian yang lambat. Politik perburuhan Jokowi-JK juga merah dengan
mengeluarkan PP 78 /2015 yang memicu demonstrasi buruh yang terus menerus
dan berpengaruh terhadap politik dan ekonomi. (Karundeng, 2016)
Inisiatif politik untuk membuat undang-undang politik terkait upaya
efektifitas sistem politik juga lemah, misalnya tidak ada inisiatif Jokowi-JK untuk
mendorong menaikan angka parliamentary threshold menjadi 5 sampai 6%. Oleh
karenanya rapor politik Jokowi-JK merah. Kesalahan-kesalahan administratif
Presiden terkait surat menyurat dan lain-lain termasuk pengangkatan mentri yang
berkebangsaan Amerika Serikat saat perombakan tahap dua adalah juga fakta untuk
menyimpulkan bahwa rapor politik Jokowi-JK mendapat nilai merah. Meskipun
merahnya mendekati angka 6, yaitu 5,7 . (Karundeng, 2016).
Angka mendekati 6 tersebut disumbang oleh salah satu indikator Demokrasi yaitu
soal kebebasan (freedom). Dari segi kebebasan Jokowi-JK mendapat nilai baik.
Bagaimana dengan ekonomi? Jika rapor ekonomi diukur dengan Rasio Gini maka
rapor ekonomi dua tahun Jokowi-JK juga merah. Institute for Development of
Economic and Finance (INDEF) menyatakan, tahun 2016 ketimpangan sudah
mencapai angka 0.41- 0.45, dan jika sudah mencapai 0.5 sudah memasuki
kesenjangan sosial yang berbahaya. Pengangguran usia muda juga meningkat
misalnya ditemukan tingkat pengangguran tertinggi ternyata lulusan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dengan persentase 9,84 persen, meningkat dari 9,05
persen pada tahun sebelumnya.(BPS,2016).
Dari segi utang negara juga merah. Hingga akhir September 2016, total utang
pemerintah pusat tercatat Rp 3.444,82 triliun. Naik Rp 6,53 triliun dibandingkan
akhir Agustus 2016, yaitu Rp 3.438,29 triliun. Total pembayaran cicilan utang
pemerintah pada Januari hingga September 2016 adalah Rp 398,107 triliun, atau
82,88% dari pagu, atau yang dialokasikan di APBN. ( Ditjen Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan,2016).
Utang meski memberi suntikan permodalan APBN tetapi pembayaran cicilan yang
mencapai 398,107 Triliun membebani APBN. Ini seperti gali lobang tutup lobang
saja. Lebih dari itu, menunjukkan inkonsistensi pemerintah terhadap janjinya
sendiri yang tertuang dalam Trisakti dan Nawa Cita yang ingin mewujudkan
kemandirian ekonomi . (Karundeng, 2016).