Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya.1

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK
umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK
terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di
ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007
menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81
tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu
109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-
laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan
pada wanita.2

Salah satu karakteristik PPOK adalah kecenderungannya untuk eksaserbasi.


Definisi eksaserbasi PPOK adalah kondisi perburukan yang bersifat akut dari kondisi
sebelumnya yang stabil dan dengan variasi harian normal dan mengharuskan perubahan
dalam pengobatan yang biasa diberikan pada pasien PPOK. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Menurut Anthonisen dkk. (1987), kriteria PPOK eksaserbasi akut ditandai oleh
meningkatnya jumlah dan konsistensi sputum dan bertambahnya gejala sesak napas
(Setiyanto, 2008). Eksaserbasi pada pasien PPOK harus dapat dicegah dan ditangani
secara maksimal karena dapat menurunkan fungsi paru dan kualitas hidup pasien.3,2

1
BAB III
PEMBAHASAN

I. DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.1
PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan sekolompok penyakit
paru- paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagi gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah: Bronkitis
krinis, Emfisema paru- paru, dan Asma bronkial.1,4
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.4
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada
prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-
tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan
napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. Asma bronkial
ialah suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari
trakea dan bronkus terhadap berbagai macam ransangan dengan manifestasi
berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh
dari saluran nafas.4

II. EPIDEMIOLOGI
Secara global diperkirakan sekitar 65 juta orang menderita PPOK dan 3 juta
meninggal karena PPOK pada tahun 2005, dengan mewakili 5% dari seluruh
kematian. Total kematian akibat PPOK diproyeksikan akan meningkat lebih dari
30% pada 10 tahun mendatang. Peningkatan secara drastis pada dua dekade

2
mendatang diperkirakan di negara-negara Asia dan Afrika karena peningkatan
pemakaian tembakau.5

Menurut data WHO tahun 2008 didapatkan merokok merupakan penyebab


utama PPOK. Merokok dikatakan sebagai faktor risiko utama terjadinya PPOK.
Terkait dengan hal itu, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang
memiliki jumlah perokok aktif yang tinggi. Pada tahun 2008, World Health
Organization (WHO) telah menetapkan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga
di dunia sebagai pengguna rokok. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah perokok aktif di
Indonesia meningkat dari 28,2% pada tahun 2007 menjadi 34,7% pada tahun
2010. Peningkatan prevalensi ini juga terjadi di Provinsi Sumatera Barat, dimana
6,7
meningkat dari 30,2% pada tahun 2007 menjadi 38,4% pada tahun 2010.

Pada penelitian Fadhil RSUP Dr M Djamil periode 2013. Jumlah subjek


yang didapatkan setelah menggunakan metode total sampling adalah 69 orang
yang terdiri dari 62 orang berjenis kelamin laki-laki dan 7 orang perempuan,
hanya 20 orang yang memenuhi kriteria inklusi. penelitian ini dilihat dari jenis
kelamin, umur dan pekerjaan serta pendidikan. umur rata-rata penderita PPOK
adalah 61,85 dan semua penderita berjenis kelamin laki-laki. Proporsi pekerjaan
tertinggi penderita PPOK adalah buruh dengan presentase 50%. Proporsi
pendidikan tertinggi adalah SLTA dengan presentase 40%.8

III. FAKTOR RESIKO9

Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok,


dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas
dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga
dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi.

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi


tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada
3
perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita
PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif
dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu
jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat
iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara
merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution)
masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan
(indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan
untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status
sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan
berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi
buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi.

IV. PATOGENESIS DAN PATOLOGI1,10,11

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yang terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Gangguan ventilasi terdiri dari
gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi
berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai
untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk
gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital
paksa (VEP1/KVP).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen


asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta

4
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan.

V. DIAGNOSIS1,12
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan
dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.
a. Anamnesis
− Faktor resiko (+)
− Sesak napas diperberat oleh latihan
− Batuk- batuk kronis
− Sputum yang produktif
− Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
− Laju napas meningkat >20 kali/ menit, bila sesak napas berat dapat terjadi
sianosis, retraksi intercostal.
− Pemeriksaan paru didapatkan barrel chest, diafragman letak rendah, suara
napas melemah, dapat ditemukan wheezing dan ronkhi.
− Suara jantung melemah.
Pada PPOK berat dapat ditemukan gagal jantung kanan, kor pulmonal:
bunyi jantung kedua meningkat, distensi vena jugular, kongesti hati,
edema mata kaki.

5
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG1,12
1. Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
− Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
− VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
− Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
 Uji bronkodilator
− Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
− Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
− Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
− Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar,
jantung pendulum.
− Pada bronkitis kronik:
Dapat terlihat normal namun corakan bronkovaskuler bertambah pada 21%
kasus.
4. Analisis gas darah
Untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada napas
kronik

6
5. Level serum a-1 antritipsin sesuai indikasi
Jarang ditemukan di Indonesia

VII. DIAGNOSIS BANDING13

PPOK dapat lebih mudah untuk dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma
pasca TB paru. Seringkali PPOK sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal
jantung kronik. Seperti pada table berikut.

PPOK ASMA GAGAL


BRONKIAL JANTUNG
KRONIK
Onset >45 tahun Segala usia Segala usia
Riwayat keluarga - Ada -
Pola sesak napas Terus menerus, Hilang timbul Timbul saat
bertambah berat aktivitas
dengan aktivitas
Ronkhi Kadang- kadang + ++
Wheezing Kadang- kadang ++ +
Vesikular Melemah Normal Meningkat
Spirometri Obstruksi++ Obstruksi++ Obstruksi+

Retriksi+ Retriksi++
Reversibilitas < ++ +
Pencetus Partikel toksik Partikel sensitive Penyakit jantung
kongestif

7
VIII. KLASIFIKASI13

IX. TATALAKSANA1,13

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera


eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari
eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya
komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi. Penanganan eksaserbasi akut dapat
dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk
eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit
dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik
rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU.

8
a. Bronkodilator13

Dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis


bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali/hari).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator
lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam
bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer
untuk mengatasi sesak (pelega napas). Dalam perawatan di rumah sakit,
bronkodilator diberikan secara intravena dan nebulizer, dengan
pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi
sebagai efek samping bronkodilator. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

9
b. Kortikosteroid1,13
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada
penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui,
tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna. Dosis
prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman.
Kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu,
pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.

c. Antibiotika13
Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada:

1. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan


volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak
2. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut
3. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit
sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi
sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat
diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I:
Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi
Kloramfeniko l, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol
ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid.

10
d. Antioksidan13
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N
- asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik13
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
kental. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif13
Diberikan dengan hati – hati

g. Terapi Oksigen13

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan
utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%)
mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2
dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit
sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang
sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup
rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi
oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan
ventilasi mekanik.

h. Ventilasi Mekanik1

Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat


adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi
mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang
menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik
invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan

11
NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi.
Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials
pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif
dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV
memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat
keparahan sesak, dan lamanya rawat inap.

X. KOMPLIKASI1,13
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik

12
ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.

XI. PENCEGAHAN1,13
1. Mencegah terjadinya PPOK
- Hindari asap rokok
- Hindari polusi udara
- Hindari infeksi saluran napas berulang
2. Mencegah perburukan PPOK
- Berhenti merokok
- Gunakan obat-obatan adekuat
- Mencegah eksaserbasi berulang

XII. RUJUKAN KE SESIALIS PARU1,13


Rujukan ke spesialis paru dapat berasal dari spesialis bidang lain atau dari
pelayanan kesehatan primer, yaitu pelayanan kesehatan oleh dokter umum
(termasuk juga puskesmas)
PPOK yang memerlukan pelayanan bidang spesialisasi adalah :
- PPOK derajat klasifikasi berat
- Timbul pada usia muda
- Sering mengalami eksaserbasi
- Memerlukan terapi oksigen
- Memerlukan terapi bedah paru
- Sebagai persiapan terapi pembedahan
Rujukan dari puskesmas mempunyai kriteria yang agak lain karena faktor
sosiokultural di daerah perifer berbeda dengan di daerah lain perkotaan.

13
XIII. Prognosis12
Prognosis berdasarkan BODE index, dapat dilihat pada table di bawah.

Nilai BODE Mortalitas dalam Mortalitas dalam Mortalitas dalam


index 1 tahun (%) 2 tahun (%) 52 bulan (%)

0-2 2 6 19

2-4 2 8 32

5-6 2 14 40

7-10 5 31 80

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from:
http://www.goldcopd.org [Accessed 20 December 2018].
2. Setiyanto, H., Yunus, F., Soepandi, P.Z., Wiyono, W.H., Hartono, S., dan
Karuniawati, A., 2008. Pola dan Sensitivitas Kuman PPOK Eksaserbasi Akut
yang Mendapat Pengobatan Echinacea Purpurea dan Antibiotik Siprofloksasin.
Dalam: Wiyono, W.H. (eds). 2008. Jurnal Respirologi Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, Jakarta 28 (3):107-125.
3. Riyanto, B.S., Hisyam, B., 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam:
Sudoyo, A.W., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen IPD FKUI: Jakarta, 978-987.
4. Soemantri ES, Unaiyah A. Bronkitis Kronik dan Emfisema Paru. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 1996. 872-889
5. WHO. The top ten cause of death 2004. Rilis Berita [serial online] 2005 (diunduh
20 Desember 2018). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://www. who.int/whr/
6. WHO. The global burden of disease: 2008 update. Rilis Berita [serial online] 2008
(diunduh 13 Februari 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.Who.Int/Mediacentre/Factsheets/Fs315/ En/.
7. KEMENKES RI. Riset kesehatan dasar 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
2010.
8. Naser H, Medison I, Erly. 2016. Gambaran Derajat Merokok Pada Penderita
PPOK di Bagian Paru RSUP Dr. M. Djamil. Universitas Andalas; 5(2). 306-311
9. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2002. Risk Factors.
In: Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. London: BC Decker Inc, 33-44.
10. Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi
2. Jakarta: EGC, 410-460.
15
11. Kamangar, N., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com.
Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview
[Accessed 20 December 2018]
12. Alwi, I. Salim, S. dkk. 2015. Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna Punlishing,
746-753.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi
Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
[Accessed 20 December 2018]

16

Anda mungkin juga menyukai