Dosen :
Nina Marinda ,SKM.,M.kes
Oleh
Kelompok5 :
1. Deri Rahmadan
2. Melinia Fitri
3. Yosa Fidrianti
4. Ryan al-ayyudi
PEMBAHASAN
Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran
serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi
orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.
Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen
(1995) dalam Purba (2003) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal
yang dimanifestasikan secara terapeutik.
1. Komunikasi Verbal
2. Komunikasi Tertulis
1) Lengkap
2) Ringkas
3) Pertimbangan
4) Konkrit
5) Jelas
6) Sopan, dan Benar
Morris (1977) dalam Liliweni (2004) membagi pesan non verbal sebagai berikut:
a. Kinesik. Kinesik adalah pesan non verbal yang diimplementasikan dalam bentuk
bahasa isyarat tubuh atau anggota tubuh.
b. Proksemik. Proksemik yaitu bahasa non verbal yang ditunjukkan oleh “ruang”
dan “jarak” antara individu dengan orang lain waktu berkomunikasi atau antara
individu dengan objek.
c. Haptik. Haptik seringkali disebut zero proxemics, artinya tidak ada lagi jarak di
antara dua orang waktu berkomunikasi.
d. Paralinguistik. Paralinguistik meliputi setiap penggunaan suara sehingga dia
bermanfaat kalau kita hendak menginterprestasikan simbol verbal.
e. Artifak. Kita memehami artifak dalam komunikasi komunikasi non verbal dengan
pelbagai benda material disekitar kita, lalu bagaimana cara benda-benda itu
digunakan untuk menampilkan pesan tatkala dipergunakan.
f. Logo dan Warna. Kreasi pan perancang untuk menciptakan logo dalam
penyuluhan merupakan karya komunikasi bisnis. Biasanya logo dirancang untuk
dijadikan simbol dalam suatu karya organisasi atau produk dalam suatu
organisasi.
g. Tampilan Fisik Tubuh. Kita sering menilai seseorang mulai dari warna kulitnya,
tipe tubuh (atletis, kurus, ceking, bungkuk, gemuk, gendut, dan lain-lain). Tipe
tubuh itu merupakan cap atau warna yang kita berikan kepada orang itu.
Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai
berikut: (Arwani, 2003: 54).
1. Ikhlas (Genuiness). Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien barus bisa
diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan
memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya
secara tepat.
2. Empati (Empathy). Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien.
Obyektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak
berlebihan.
3. Hangat (Warmth). Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan
pasien dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga
pasien bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam.
1. Fase Pra-Interaksi
Pada fase ini perawat mengkaji kemampuan diri, rasa cemas, takut, identifikasi
klien dan sebagainya.
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkal dan komunikasi yang terjadi
bersifat penggalian informasi antara perawat dan pasien. Fase ini dicirikan oleh lima
kegiatan pokok yaitu testing, building trust, identification of problems and goal,
clarification of roles dan contract formation. Perkenalan merupakan kegiatan yang
dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak dengan klien. Pada saat berkenalan,
perawat harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada klien.
3. Fase Kerja
Pada fase ini perawat dituntut untuk bekerja keras untuk memenuhi tujuan yang
telahditetapkan pada fase orientasi. Bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah yang merintangi pencapaian tujuan. Fase ini terdiri dari dua kegiatan
pokok yaitu menyatukan proses komunikasi dengan tindakan perawatan dan membangun
suasana yang mendukung untuk proses perubahan.
4. Fase Terminasi
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas tujuan
telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang saling menguntungkan dan
memuaskan. Kegiatan pada fase ini adalah penilaian pencapaian tujuan dan perpisahan
(Arwani, 2003 61).
Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa dengan inteligensi yang
kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).
Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala
yang utama ialah inteligensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia
(oligo: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (W.F. Maramis, 2005: 386).
Retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah
yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi terhadap
tuntutan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal (Carter CH, Toback C).
Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental yang ditunjukkan dengan bagan
(Dr.wiguna & ika, 2005)
1. RM ringan (IQ 55-70): mulai tampak gejalanya pada usia sekolah dasar, misalnya
sering tidak naik kelas, selalu memerlukan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan
rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan pekerjaan rumah atau mengerjakan
hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi. 80 % dari anak RM termasuk pada
golongan ini. Dapat menempuh pendidikan Sekolah Dasar kelas VI hingga tamat
SMA. Ciri-cirinya tampak lamban dan membutuhkan bantuan tentang masalah
kehidupannya.
2. RM Sedang (IQ 40-55): sudah tampak sejak anak masih kecil dengan adanya
keterlambatan dalam perkembangan, misalnya perkembangan wicara atau
perkembangan fisik lainnya. Anak ini hanya mampu dilatih untuk merawat dirinya
sendiri, pada umumnya tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya, angka
kejadian sekitar 12% dari seluruh kasus RM. Anak pada golongan ini membutuhkan
pelayanan pendidikan yang khusus dan dukungan pelayanan.
3. RM Berat (IQ 25-40): sudah tampak sejak lahir, yaitu perkembangan motorik yang
buruk dan kemampuan bicara yang sangat minim, anak ini hanya mampu untuk
dilatih belajar bicara dan keterampilan untuk pemeliharaan tubuh dasar, angka
kejadian 8% dari seluruh RM. Memiliki lebih dari 1 gangguan organik yang
menyebabkan keterlambatannya, memerlukan supervisi yang ketat dan pelayanan
khusus.
4. RM Sangat Berat (IQ < 25): sudah tampak sejak lahir yaitu gangguan kognitif,
motorik, dan komunikasi yang pervasif. Mengalami gangguan fungsi motorik dan
sensorik sejak awal masa kanak-kanak, individu pada tahap ini memerlukan latihan
yang ekstensif untuk melakukan “self care” yang sangat mendasar seperti makan,
BAB, BAK. Selain itu memerlukan supervisi total dan perawatan sepanjang
hidupnya, karena pada tahap ini pasien benar-benar tidak mampu mengurus dirinya
sendiri.
· Koordinasi otot
jelek
1. Faktor Prenatal
2. Faktor Psikososial
Seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan
stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab
atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental. (Nevid, 2002).
Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan mainan, buku, atau
kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa melalui cara-cara yang
menstimulasi secara intelektual akibatnya mereka gagal mengembangkan keterampilan
bahasa yang tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar keterampilan-
keterampilan yang penting dalam masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi seperti
keharusan memiliki lebih dari satu pekerjaan dapat menghambat orang tua untuk
meluangkan waktu membacakan buku anak-anak, mengobrol panjang lebar, dan
memperkenalkan mereka pada permainan kreatif. Lingkaran kemiskinan dan buruknya
perkembangan intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi (Nevid, 2002).
3. Faktor Biologis
Menurut kriteria DSM-IV-TR untuk gejala anak retardasi mental terbagi dalam tiga
kelompok yaitu:
Gejala anak retardasi mental menurut (Brown, dkk 1991 dalam Sekar, 2007) menyatakan:
D. Pemeriksaan Diagnostik
1. Uji Laboratorium
3. CT atau MRI
a. Pembesaran kepala
b. Dicurigai kelainan otak yang luas
c. Kejang lokal
d. Dicurigai adanya tumor intra cranial
E. Terapi Pengobatan
Terapi yang digunakan adalah mengunakan beberapa cara, yaitu diantaranya sebagai
berikut:
1. Terapi baca (dengan pendekatan montesoori). Guru atau orang tua tidak secara
langsung mengubah anak tetapi sebaliknya guru mencoba memberi peluang pada
anak menyelesaikan tugas dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang dewasa.
Tujuan ini bertujuan untuk memberikan edukasi secara dini kepada pasien.
2. Pilihan bebas (anak diberi kebebasan untu memilih kebutuhan yang sesuai dengan
minatnya). Dengan cara ini, aktivitas kehidupan sehari-hari pasien menjadi bagian
dari kurikulum yang diberikan.
3. Terapi perilaku. Konselor memberikan pengetahuan tentang cara pandang si anak
tersebut, misalnya tidak mau bermain games, cara pandang terhadap sesuatu dan
lain-lain. Terapi ini bertujuan untuk mengubah perilaku yang cenderung agresif
dan menciptakan self injury.
4. Terapi bicara. Konselor memberikan contoh perilaku bicara yang baik, karena
pada dasarnya, anak retardasi mental akan terlihat dalam mengucapkan sebuah
kata-kata.
5. Terapi sosialisasi. Pasien diajak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain,
yaitu tetap menjalin komunikasi dengan orang lain atau individu di sekitarnya
dengan cara bersosialisasi, melakukan interaksi secara verbal sehingga disini akan
menumbuhkan rasa percaya diri, perasaan diterima oleh lingkungan, dan motivasi
pada diri pasien agar tetap survive dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
6. Terapi bermain. Pasien dibimbing untuk dapat mengerjakan sesutu hal berupa
hasil karya, atau sebuah permainan. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah
kemampuan pasien di bidang kognitif yaitu dengan cara merangsang proses
berpikir pasien tentang pola sebuah bentuk sehingga disini pasien diajak untuk
dapat merangkai sebuah konstruksi bangunan, kemudian dapat meningkatkan
imanjinasi dengan cara merangsang kemampuan imajinasi tentang sesuatu hal
yang berada di pikirannya, selain itu dalam segi kreatifitas, yaitu dengan cara
meningkatkan dan mengolah kreatifitas pasien dengan paduan warna, pola, bentuk
yang berbeda-beda sehingga pasien mempunyai pengetahuan, pemahaman dan
keanekaragaman tentang macam-macam jenis permainan atau hasil karya yang dia
temui.
7. Terapi menulis. Cara ini digunakan untuk dapat mempermudah proses berjalannya
terapi yaitu dengan cara pasien diajak untuk menulis di selembar kertas berupa
serangkaian kata-kata. Tujuan daripada terapi ini adalah untuk melemaskan otot
atau syarat tangan dalam beraktivitas sehingga tubuh pasien tidak kaku dan lebih
fleksibel dalam menanggapi respon atau stimulus yang berada di sampingnya.
8. Terapi okupasi. Terapi ini dilakukan dengan cara memijat-mijat bagian syaraf
anak tersebut seperti pada bagian pergelangan tangan, kaki dan daerah tubuh
lainnya. Terapi ini dilakukan pada saat pasien berusia muda, karena pada masa
muda sendi-sendi dalam tubuh pasien masih bersifat elastis dan dapat
menyesuaikan dengan bentuk perlakuan yang diberikan.
9. Terapi musik. Terapi ini dilakukan dengan cara pasien diarahkan untuk dapat
mendengarkan dan memaknai sebuah alunan musik. Terapi ini bertujuan untuk
dapat mengasah fungsi auditory pasien akan stimulus suara yang di dengarkann
F. Penatalaksanaan
Pada orang tuanya perlu diberikan penerangan yang jelas mengenai keadaan
anaknya dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-kadang
diperlukan waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaan anaknya
maka perlu konsultasi pula dengan psikolog atau psikiater. Disamping itu diperlukan
kerja sama yang baik antara guru dan orang tuanya, agar tidak terjadi kesimpangsiuran
dalam strategi penanganan anak disekolah dan dirumah. Anggota keluarga lainnya juga
harus diberi pengertian agar anak tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu, masyarakat
perlu diberikan penerangan tentang retardasi mental agar mereka dapat menerima anak
tersebut dengan wajar.
Semua anak yang retardasi mental ini juga memerlukan perawatan seperti pemeriksaan
kesehatan yang rutin, imunisasi dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Anak-
anak ini juga disertai dengan kelainan fisik yang memerlukan penangan khusus. Misalnya
pada anak yang mengalami infeksi pranataldengan cytomegalovirus akan mengalami
gangguan pendengaran yang progresif walaupun lambat, demikian pula anak dengan
sindrom Down dapat timbul gejala hipotiroid. Masalah nutrisi juga perlu mendapat
perhatian.
G. Pencegahan
Karena penyembuhan dari retardasi mental ini boleh dikatakan tidak ada sebab
kerusakan dari sel-sel otak tidak mungkin fungsinya dapat kembali normal maka yang
penting adalah pencegahan primer yaitu usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyakit. Dengan memberikan perlindungan terhadap penyakit-penyakit yang potensial
dapat menyebabkan retardasi mental, misalnya melalui imunisasi. Konseling perkawinan,
pemeriksaan kehamilan yang rutin, nutrisi yang baik selama kehamilan dan bersalin pada
tenaga kesehatan yang berwenang maka dapat membantu menurunkan angka kejadian
retardasi mental. Demikian pula dengan mengentaskan kemiskinan dengan membuka
lapangan kerja, memberikan pendidikan yang baik, memperbaiki sanitasi lingkungan,
meningkatkan gizi keluarga akan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Dengan
adanya program BKB (Bina Keluarga dan Balita) yang merupakan stimulasi mental dini
dan bisa dikembangkan juga deteksi dini maka dapat mengoptimalkan perkembangan
anak.
A. Definisi Autis
Menurut ginanjar (2001), autisme adalah ganguan perkembangan yang kompleks yang di
sebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan ganguan pada
perkembangan komunikasi perilaku, kemampuan sosialisasi, sensoris, dan belajar,
biasanya sudah mulai tampak pada anak berusia di bawah tiga tahun.
Sedangkan menurut widyawati (1997), gangguan autisme juga disebut autisme invatif.
Gganguan ini merupakan salah satu dari kelompok ganguan perkembangan pervasif yang
paling di kenal, dan mempunyai ciri khas:
Saat ini autisme meninbulkan keprihatinan yang mendalam, terutama dari orang
tuanya, selain itu, rasa kwaitr timbul pada ibu- ibu muda yang akan melahirkan.
Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tidak ada status sosial ekonomi, pendidikan
, golongan etik atau bangsa. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung
menigkatkan dari tahun ke tahun.
B. Gejala Autis
Penting untuk dicatat, bahwa berlawanan dengan keyakinan yang populer, banyak, jika
tidak hampir semua, orang autis mampu menunjukkan afeksi (kasih sayang) dan
mendemonstrasikannya dan menunjukkan ikatan dengan ibunya atau orang yang
memberinya perhatian. Namun, cara penderita autis mendemonstrasikan afeksi dan ikatan
bisa sangat berbeda dengan cara orang normal. Sosialisasi mereka yang terbatas bisa
dengan tak menentu menyebabkan orang tua dan dokter anak menjauh dari
mempertimbangkan diagnosis autis. Ketika anak berkembang, interaksi dengan orang
lain berlanjut menjadi abnormal. Perilaku yang tidak normal meliputi kontak mata,
ekspresi wajah, dan postur tubuh.
Komunikasi biasanya memburuk dengan berat pada orang autis. Apa yang
dimengerti oleh seorang individu (bahasa reseptif) juga apa yang benar-benar diucapkan
oleh individu tersebut (bahasa ekspresif) secara signifikan terhambat atau tidak ada.
Kurangnya pengertian bahasa meliputi ketidakmampuan untuk memahami arah
sederhana, pertanyaan mudah, atau perintah sederhana. Mungkin tidak ada permainan
berpura-pura atau drama dan anak-anak ini mungkin tidak mampu terlibat dalam
permainan dengan game-game untuk anak kecil.
Individu-individu autis yang berbicara mungkin tidak mampu memulai atau berpartisipasi
dalam percakapan dua arah (resiprox). Seringnya, cara seorang autis berbicara terasa
tidak biasa. Perkataannya mungkin tampak kurang akan emosi normal dan terdengar
datar atau monoton. Kalimat-kalimatnya sering sangat kekanak-kanakan: “ingin air” dari
yang semestinya ”saya ingin air.” Mereka yang mengalami autis sering mengulang kata
atau frase yang dikatakan kepada mereka. Misalnya, anda mungkin berkata “lihat
pesawat itu!” dan anak atau orang autis mungkin merespon “lihat pesawat,” tanpa
pengetahuan tentang apa yang dikatakan. Pengulangan ini disebut dengan echolalia.
Pengingatan dan hafalan terhadap lagu, cerita, iklan atau bahkan naskah lengkap tidaklah
jarang. Sementara banyak yang merasa ini merupakan tanda intelijensia, orang autis
biasanya tidak tampak mengerti isi dari kata-katanya.
3. Perilaku
Anak-anak dan orang autis sering terikat pada banyak tugas rutin setiap hari yang
mungkin seperti ritual. Sesuatu yang sesederhana mandi mungkin hanya dilakukan
setelah jumlah yang tepat air di dalam tempat mandinya, suhu yang tepat, sabun yang
sama di tempat yang sama dan bahkan handuk yang sama di tempat yang sama.
Perubahan apa pun dari rutinitas itu dapat memicu reaksi yang berat pada individu
tersebut dan menempatkan ketegangan yang luarbiasa pada orang dewasa yang berusaha
bekerja dengannya.
Bisa juga ada suatu aksi atau perilaku tanpa tujuan yang diulang-ulang. Terus-menerus
mengayun, menggeretakkan gigi, memilin rambut atau jari, bertepuk tangan dan berjalan
pada ujung jari tidak jarang dilakukan. Sering ada keasyikan dengan suatu ketertarikan
yang sangat terbatas atau pada suatu alat permainan tertentu.
C. Penyebab Autis
Sejak autis pertama kali ditambahkan ke literatur psikiatri 50 tahun lalu, telah ada
sejumlah penelitian dan teori tentang penyebabnya. Para peneliti masih belum mencapai
kesepakatan mengenai penyebab spesifik nya. Pertama, harus diketahui bahwa autis
adalah sekumpulan berbagai gejala yang luas dan mungkin mempunyai banyak
penyebab. Konsep ini lazim di dunia medis.
Misalnya, sekumpulan gejala yang kita rasakan sebagai “dingin” dapat disebabkan oleh
ratusan virus yang berbeda, bakteri dan bahkan sistem imun kita sendiri. Autis tidak
diragukan lagi adalah kelainan dengan dasar biologis. Di masa lalu, beberapa peneliti
mengatakan bahwa autis adalah akibat buruknya skil kasih sayang pada ibu. Kepercayaan
ini telah menyebabkan banyak rasa sakit dan bersalah yang tidak perlu pada orang tua
anak autis, ketika nyatanya ketidakmampuan pada individu dengan autis untuk
berinteraksi dengan baik merupakan satu gejala kunci dari kelainan perkembangan ini.
Mendukung teori biologis autis, beberapa kelainan saraf yang telah diketahui
berhubungan dengan gambaran autis. Autis adalah satu dari gejala kelainan-kelainan ini.
Kondisi-kondisi ini termasuk tuberous sclerosis (suatu kelainan keturunan), fragile X
syndrome, cerebral dysgenesis (perkembangan abnormal otak), Rett syndrome, dan
beberapa kelainan metabolisme bawaan (defek biokimia). Autis, tampaknya merupakan
hasil akhir dari “jalur umum akhir” dari banyak kelainan yang mengenai perkembangan
otak. Namun, umumnya, ketika klinisi membuat diagnosis autis, mereka mengeluarkan
penyebab-penyebab yang telah diketahui dari perilaku autis sebagai pertimbangan.
Namun, jika pengetahuan tentang kondisi-kondisi yang menyebabkan autis mengalami
kemajuan, semakin dan semakin sedikit kasus yang akan dipikirkan sebagai “murni” autis
dan lebih banyak individu akan diidentifikasi mengalami autis karena sebab tertentu.
Terdapat hubungan yang erat antara autis dan kejang. Hubungan ini bekerja dalam dua
cara: pertama banyak pasien (20-30%) dengan autis mengalami kejang. Kedua, pasien
dengan kejang, yang mungkin disebabkan oleh penyebab lain, bisa mengalami perilaku
seperti autis. Satu yang khusus dan sering disalahpahami hubungan antara autis dan
kejang adalah Landau-Kleffner Syndrome. Sindrom ini juga dikenal dengan acquired
epileptic aphasia. Beberapa anak dengan epilepsi mengalami suatu kehilangan tiba-tiba
kemampuan berbahasa khususnya reseptif language (kemampuan untuk mengerti).
Banyak juga yang sering mengalami gejala autis.
Anak-anak ini sering, tapi tidak selalu, mempunyai suatu pola khas aktivitas kelistrikan
otak yang tampak pada EEG ((electroencephalogram) selama tidur pulas yang disebut
electrographic status epilepticus during sleep (ESES). Biasanya umur munculnya
kehilangan atau penurunan kemampuan berbahasa adalah sekitar 4 tahun, yang membuat
Landau-Kleffner syndrome bisa dibedakan dari autis dalam hal ini, pada autis biasanya
pertama kali muncul pada anak yang lebih kecil. Namun, pada tahun-tahun terakhir ini,
beberapa anak (sangat sangat sedikit) yang tidak menunjukkan adanya kejang yang bisa
teramati diketahui mempunyai Landau-Kleffner syndrome.
Terapi lain mulai dari terapi obat antikejang umum sampai terapi pembedahan telah
diajukan dan dicoba pada Landau-Kleffner syndrome. Sulit untuk mengevaluasi efek
sebenarnya dari terapi untuk Landau-Kleffner syndrome dikarenakan tingginya angka
sembuh spontan.
Gejala anak autis bisa dilihat dini,karena coba perhatikan perkembangan anak
dalam setiap tahap tiap tahap terkadang orang tua tidak terlalu peka terhadap tingkah laku
anak,jangan sampai terlambat.walau autis ini tidak penyakit,tetapi ganguan kelemahan
terhadap sistem saraf akibat faktor genetika yang lemah.untuk itu perlu perhatian extra
dalam penanganan anak penyangdang autis sejak awal.
Sejak lahir sampai dengan umur 24-30 bulan anak-anak yang terkenal autisme
umumnya terlihat normal.selain itu orang tua mulai melihat perubahan seperti
keterlambatan berbicara,berbain dan berteman.
Salah informasi tentang autis sangat lazim. Klaim atas penyembuhan untuk autis
selalu dihadapkan pada keluarga dengan individu autis. Ada bermacam-macam model
terapi yang ditemukan dalam wilayah edukasi maupun klinis. Namun, hanya ada satu
pendekatan terapi yang berlaku selama ini dan efektif bagi semua orang yang autis
maupun tidak. Model terapi ini adalah program pendidikan yang sesuai dengan derajat
perkembangan performa murid. Untuk orang dewasa, model terapi itu mengacu pada
program kejuruan yang sesuai dengan derajat perkembangan fungsi.
Sesuai dengan Individuals with Disabilities Educational Act (IDEA) tahun 1990, murid
dengan kecacatan dijamin dengan suatu “pendidikan tepat” di Least Restrictive
Environment (LRE) yang biasanya dibuat sebagai tempat pendidikan senormal mungkin.
Sebagai hasil dari peraturan ini, anak-anak autis umumnya ditempatkan di ruang kelas
khusus dan pelayanan tambahan apa pun yang diperlukan dicabut. Tergantung pada
kebutuhan anak-anak, dia ditempatkan pada 100% hari sekolah di dalam tempat
pendidikan khusus.
Namun, ada trend yang meningkat di antara para pengacara anak-anak autis, untuk
memencilkan anak-anak ini ke tempat pendidikan yang kecil, yang sangat terkontrol dan
terstruktur yang semaximal mungkin terbebas dari stimulasi suara dan penglihatan.semua
instruksi dipecah-pecah menjadi segmen-segmen yang bisa dikelola. Informasi ada dalam
unit-unit yang sangat kecil dan respon anak segera dicari. pendekatan respon stimulus
klasik digunakan untuk memaksimalkan belajar. Tiap unit informasi dikuasai sebelum
yang lain diberikan. Perilaku dasar seperti meletakkan tangan di atas meja, misalnya,
harus dikuasai sebelum anak diharuskan melakukan tugas lain, atau sebelum informasi
lebih banyak lagi diberikan.
Individu autis harus diajarkan bagaimana berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang
lain. Ini bukan tugas yang mudah, dan melibatkan seluruh keluarga juga profesional.
Orang tua penderita autis harus terus-menerus mendidik dirinya sendiri tentang terapi
baru dan tetap berpikiran terbuka.
Penting untuk diingat, meskipun sekarang ini banyak disangkal, bahwa autis merupakan
kondisi yang hampir seumur hidup. Terapi akan berubah ketika individu tumbuh.
Keluarga harus hati-hati dengan program terapi yang memberi harapan palsu akan
kesembuhan. Penerimaan kondisi ini dalam keluarga sangatlah penting, komponen dasar
dari semua program terapi dan sangat sulit untuk dimengerti.
Dapat disimpulkan dari konsep di atas, teknik komunikasi yang dilakukan sangat
sederhana namun sukar untuk dilakukan. Jangan menganggap pasien sebagai orang yang
rendah, mereka sama se perti kita, namun mereka memiliki kekurangan yang tidak dapat
berkomunikasi layakny a orang normal.
KESIMPULAN
1. Soetjiningsih. Retardasi Mental. In: Ranuh G. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 1995. p.191-202
2. Matondang CS, Wahidayat I, Sastroasmoro S. Anamnesis. Diagnosis Fiik Pada Anak. 2
nd . Jakarta: PT Sagung Seto; 2000. p. 1
3. Kaneshiro NK. Mental Retardation (updated: 2 November 2009). Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001523.htm. Accessed: 5 Oktober 2010
4. Maramis WF. Retardasi Mental dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:
Airlangga University Press; 1994.p.385-402
5. Sadock BJ, Sadock VA. Mental Retardation. In: Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry. London: Lippincott & William; 2000. p.1161-79.
6. Maslim R. Retardasi Mental.in: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa-Rujukan Ringkas
dari PPDGJ III. Jakarta.p.119-21
7. Medline staff. Autism (updated: 16 September 2010). Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/autism.html. Accessed: 5 Oktober 2010
8. Kaneshiro. Down Syndrome (Update Date: 4/26/2010). Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/downsyndrome.html#cat1. Acceessed: 3 october
2010
http://keperawatancianjur.blogspot.com/2012/06/prinsip-dan-teknik-komunikasi-dalam.html