Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KOMUNIKASI PADA PASIEN RETARDASI MENTAL

Dosen :
Nina Marinda ,SKM.,M.kes

Oleh
Kelompok5 :
1. Deri Rahmadan
2. Melinia Fitri
3. Yosa Fidrianti
4. Ryan al-ayyudi

AKADEMI KEPERAWATAN JAMBI


YAYASAN TELANAI BHAKTI
TAHUN AJARAN 2017-2018
BAB I

PEMBAHASAN

A Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,


bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik
termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar
perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi in adalah adanya saling
membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam
komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien
menerima bantuan (Indrawati, 2003: 48).

Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus


direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan
sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan
beragam latar belakang dan masalahnya (Arwani, 2003 50).

B Tujuan Komunikasi Terapeutik

Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran
serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi
orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.

Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat dipengaruhi


oleh kualitas hubungan perawat-klien, Bila perawat tidak memperhatikan hal ini,
hubungan perawat-klien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak
terapeutik yang mempercepat kesembuhan klien, tetapi hubungan sosial biasa. (Indrawati,
2003 48).

C Jenis Komunikasi Terapeutik

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan


memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya.
Menurut Potter dan Perry (1993) dalam Purba (2003), komunikasi terjadi pada tiga
tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik.

Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen
(1995) dalam Purba (2003) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal
yang dimanifestasikan secara terapeutik.
1. Komunikasi Verbal

Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di


rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan
tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebihakurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah
alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan
respon emosional,atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk
menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan
komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon
secara langsung.

Komunikasi Verbal yang efektif harus:

a. Jelas dan ringkas


b. Perbendaharaan Kata (Mudah dipahami)
c. Arti denotatif dan konotatif
d. Selaan dan kesempatan berbicara
e. Waktu dan Relevansi
f. Humor

2. Komunikasi Tertulis

Komunikasi tertulis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering


digunakan dalam bisnis, seperti komunikasi melalui surat menyurat, pembuatan memo,
laporan, iklan di surat kabar dan lain- lain.

a. Prinsip-prinsip komunikasi tertulis terdiri dari:

1) Lengkap
2) Ringkas
3) Pertimbangan
4) Konkrit
5) Jelas
6) Sopan, dan Benar

b. Fungsi komunikasi tertulis adalah:

1) Sebagai tanda bukti tertulis yang otentik, misalnya; persetujuan operasi.


2) Alat pengingat/berpikir bilamana diperlukan, misalnya surat yang telah
diarsipkan.
3) Dokumentasi historis, misalnya surat dalam arsip lama yang digali kembali
untuk mengetahui perkembangan masa lampau.
4) Jaminan keamanan, umpamanya surat keterangan jalan.
5) Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, surat perintah, surat
pengangkatan.

c. Keuntungan komunikasi tertulis adalah:

1) Adanya dokumen tertulis


2) Sebagai bukti penerimaandan pengiriman
3) Dapat menyampaikan ide yang rumit
4) Memberikan analisa, evaluasi dan ringkasan
5) Menyebarkan informasi kepada khalayak ramai
6) Dapat menegaskan, menafsirkan dan menjelaskan komunikasi lisan
7) Membentuk dasar kontrak atau perjanjian
8) Untuk penelitian dan bukti di pengadilan

d. Kerugian Komunikasi tertulis adalah:

1) Memakan waktu lama untuk membuatnya


2) Memakan biaya yang mahal
3) Komunikasi tertulis cenderung lebih formal
4) Dapat menimbulkan masalah karena salah penafsiran
5) Susah untuk mendapatkan umpan balik segera
6) Bentuk dan isi surat tidak dapat di ubah bila telah dikirimkan
7) Bila penulisan kurang baikmaka akan membingungkan si pembaca

3. Komunikasi Non Verbal

Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata.


Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain.
Perawat perlu menyadari pesan verbal dannon-verbal yang disampaikan klien mulai dan
saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal
menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan
menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.

Morris (1977) dalam Liliweni (2004) membagi pesan non verbal sebagai berikut:

a. Kinesik. Kinesik adalah pesan non verbal yang diimplementasikan dalam bentuk
bahasa isyarat tubuh atau anggota tubuh.
b. Proksemik. Proksemik yaitu bahasa non verbal yang ditunjukkan oleh “ruang”
dan “jarak” antara individu dengan orang lain waktu berkomunikasi atau antara
individu dengan objek.
c. Haptik. Haptik seringkali disebut zero proxemics, artinya tidak ada lagi jarak di
antara dua orang waktu berkomunikasi.
d. Paralinguistik. Paralinguistik meliputi setiap penggunaan suara sehingga dia
bermanfaat kalau kita hendak menginterprestasikan simbol verbal.
e. Artifak. Kita memehami artifak dalam komunikasi komunikasi non verbal dengan
pelbagai benda material disekitar kita, lalu bagaimana cara benda-benda itu
digunakan untuk menampilkan pesan tatkala dipergunakan.
f. Logo dan Warna. Kreasi pan perancang untuk menciptakan logo dalam
penyuluhan merupakan karya komunikasi bisnis. Biasanya logo dirancang untuk
dijadikan simbol dalam suatu karya organisasi atau produk dalam suatu
organisasi.
g. Tampilan Fisik Tubuh. Kita sering menilai seseorang mulai dari warna kulitnya,
tipe tubuh (atletis, kurus, ceking, bungkuk, gemuk, gendut, dan lain-lain). Tipe
tubuh itu merupakan cap atau warna yang kita berikan kepada orang itu.

D Karakteristik Komunikasi Terapeutik

Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai
berikut: (Arwani, 2003: 54).

1. Ikhlas (Genuiness). Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien barus bisa
diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan
memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya
secara tepat.
2. Empati (Empathy). Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien.
Obyektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak
berlebihan.
3. Hangat (Warmth). Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan
pasien dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga
pasien bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam.

E Fase-Fase dalam Komunikasi Terapeutik

1. Fase Pra-Interaksi

Pada fase ini perawat mengkaji kemampuan diri, rasa cemas, takut, identifikasi
klien dan sebagainya.

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:

a. Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan


b. Menganalisis kekuatan dan kelemahan sendiri
c. Mengumpulkan data tentang klien
d. Merencanakan pertemuan yang pertama dengan klien
2. Fase Orientasi

Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkal dan komunikasi yang terjadi
bersifat penggalian informasi antara perawat dan pasien. Fase ini dicirikan oleh lima
kegiatan pokok yaitu testing, building trust, identification of problems and goal,
clarification of roles dan contract formation. Perkenalan merupakan kegiatan yang
dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak dengan klien. Pada saat berkenalan,
perawat harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada klien.

Dengan memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada


klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk membuka dirinya. Tujuan tahap ini
adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan
klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu (Stuart, G.W dalam Suryani,
2005).

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:

a. Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi terbuka.


Hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan hubungan
terapeutik.
b. Merumuskan kontrak pada klien. Kontrak ini sangat penting untuk menjamin
kelangsungan sebuah interaksi. Pada saat merumuskan kontrak perawat juga perlu
menjelaskan atau mengklarifikasi peran-peran perawat dan klien agar tidak terjadi
kesalah pahaman klien terhadap kehadiran perawat. Disamping itu juga untuk
menghindari adanya harapan yang terlalu tinggi dari klien terhadap perawat
karena karena klien menganggap perawat seperti dewa penolong yang serba bisa
dan serba tahu.
c. Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien. Pada tahap
ini perawat mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan
memberikan pertanyaan terbuka, diharapkan perawat dapat mendorong klien
untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga dapat mengidentifikasi
masalah klien.
d. Merumuskan tujuan dengan klien. Perawat perlu merumuskan tujuan interaksi
bersama klien karena tanpa keterlibatan klien mungkin tujuan sulit dicapai.
Tujuan ini dirumuskan setelah klien diidentifikasi.

3. Fase Kerja

Pada fase ini perawat dituntut untuk bekerja keras untuk memenuhi tujuan yang
telahditetapkan pada fase orientasi. Bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah yang merintangi pencapaian tujuan. Fase ini terdiri dari dua kegiatan
pokok yaitu menyatukan proses komunikasi dengan tindakan perawatan dan membangun
suasana yang mendukung untuk proses perubahan.
4. Fase Terminasi

Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas tujuan
telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang saling menguntungkan dan
memuaskan. Kegiatan pada fase ini adalah penilaian pencapaian tujuan dan perpisahan
(Arwani, 2003 61).

A. Pengertian Retardasi Mental

Retardasi Mental mengarah pada keterbatasan beberapa fungsi utama.kelainan ini


ditandai dengan fungsi intelektual yang sangat dibawah rata-rata dan secara bersamaan
disertai dengan ditambah penekanan pada keterbatasan yang berhubungan dengan dua
atau lebih area penerapan kemampuan adaptasi berikut ini : komunikasi, merawat diri
sendiri, tinggal dirumah, keterapilan social, penggunaan sarana umum, mengarahkan diri
sendiri, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, santai, dan bekerja. Retardasi mental
bermanifestasi sebelum usia 18 tahun. (American Association on Mental Retardation;
Washington DC, 1992).

Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa dengan inteligensi yang
kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).
Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala
yang utama ialah inteligensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia
(oligo: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (W.F. Maramis, 2005: 386).

Retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah
yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi terhadap
tuntutan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal (Carter CH, Toback C).

Retardasi mental dapat diartikan sebagai suatu keadaan perkembangan mental


yang terhenti atau tidak lengkap. Ini terutama terlihat selama masa perkembangan
sehingga mempengaruhi pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif,
bahasa, motorik dan sosial. Retardasi mental kadang disertai gangguan jiwa atau
gangguan fisik lain

Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental yang ditunjukkan dengan bagan
(Dr.wiguna & ika, 2005)

1. RM ringan (IQ 55-70): mulai tampak gejalanya pada usia sekolah dasar, misalnya
sering tidak naik kelas, selalu memerlukan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan
rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan pekerjaan rumah atau mengerjakan
hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi. 80 % dari anak RM termasuk pada
golongan ini. Dapat menempuh pendidikan Sekolah Dasar kelas VI hingga tamat
SMA. Ciri-cirinya tampak lamban dan membutuhkan bantuan tentang masalah
kehidupannya.
2. RM Sedang (IQ 40-55): sudah tampak sejak anak masih kecil dengan adanya
keterlambatan dalam perkembangan, misalnya perkembangan wicara atau
perkembangan fisik lainnya. Anak ini hanya mampu dilatih untuk merawat dirinya
sendiri, pada umumnya tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya, angka
kejadian sekitar 12% dari seluruh kasus RM. Anak pada golongan ini membutuhkan
pelayanan pendidikan yang khusus dan dukungan pelayanan.
3. RM Berat (IQ 25-40): sudah tampak sejak lahir, yaitu perkembangan motorik yang
buruk dan kemampuan bicara yang sangat minim, anak ini hanya mampu untuk
dilatih belajar bicara dan keterampilan untuk pemeliharaan tubuh dasar, angka
kejadian 8% dari seluruh RM. Memiliki lebih dari 1 gangguan organik yang
menyebabkan keterlambatannya, memerlukan supervisi yang ketat dan pelayanan
khusus.
4. RM Sangat Berat (IQ < 25): sudah tampak sejak lahir yaitu gangguan kognitif,
motorik, dan komunikasi yang pervasif. Mengalami gangguan fungsi motorik dan
sensorik sejak awal masa kanak-kanak, individu pada tahap ini memerlukan latihan
yang ekstensif untuk melakukan “self care” yang sangat mendasar seperti makan,
BAB, BAK. Selain itu memerlukan supervisi total dan perawatan sepanjang
hidupnya, karena pada tahap ini pasien benar-benar tidak mampu mengurus dirinya
sendiri.

Tabel: Klasifikasi Retardasi Mental

Tingkat Kisaran IQ Kemampuan Usia Kemampuan Usia Kemampuan Masa


Prasekolah Sekolah Dewasa
(sejak lahir-5 tahun) (6-20 tahun) (21 tahun keatas)

Ringan 52-68 · Bisa · Bisa Biasanya bisa


membangun mempelajari mencapai
kemampuan sosial pelajaran kelas 6 kemampuan kerja &
& komunikasi pada akhir usia bersosialisasi yg
belasan tahun cukup, tetapi ketika
· Koordinasi otot mengalami stres
sedikit terganggu · Bisa dibimbing sosial ataupun
ke arah pergaulan ekonomi,
· Seringkali tidak sosial
terdiagnosis memerlukan
· Bisa dididik bantuan

Moderat 36-51 · Bisa berbicara & · Bisa · Bisa memenuhi


belajar mempelajari kebutuhannya
beberapa sendiri dengan
berkomunikasi kemampuan sosial melakukan
& pekerjaan pekerjaan yg tidak
· Kesadaran sosial terlatih atau semi
kurang · Bisa belajar terlatih dibawah
bepergian sendiri pengawasan
· Koordinasi otot di tempat-tempat
cukup yg dikenalnya · Memerlukan
dengan baik pengawasan &
bimbingan ketika
mengalami stres
sosial maupun
ekonomi yg ringan

Berat 20-35 · Bisa · Bisa berbicara · Bisa memelihara


mengucapkan atau belajar diri sendiri dibawah
beberapa kata berkomunikasi pengawasan

· Mampu · Bisa · Dapat melakukan


mempelajari mempelajari beberapa
kemampuan untuk kebiasaan hidup kemampuan
menolong diri sehat yg perlindungan diri
sendiri sederhana dalam lingkungan yg
terkendali
· Tidak memiliki
kemampuan
ekspresif atau
hanya sedikit

· Koordinasi otot
jelek

Sangat 19 atau · Sangat · Memiliki · Memiliki


berat kurang terbelakang beberapa beberapa koordinasi
koordinasi otot otot & berbicara
· Koordinasi
ototnya sedikit · Kemungkinan · Bisa merawat diri
sekali tidak dapat tetapi sangat
berjalan atau terbatas
· Mungkin berbicara
memerlukan · Memerlukan
perawatan khusus perawatan khusus
B. Penyebab Retardasi Mental

1. Faktor Prenatal

Penggunaan berat alkohol pada perempuan hamil dapat menimbulkan gangguan


pada anak yang mereka lahirkan yang disebut dengan fetal alcohol syndrome. Faktor-
faktor prenatal lain yang memproduksi retardasi mental adalah ibu hamil yang
menggunakan bahan-bahan kimia, dan nutrisi yang buruk. (Durand, 2007).

Penyakit ibu yang juga menyebabkan retardasi mental adalah


sifilis,cytomegalovirus, dan herpes genital. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan
oksigen dan cidera kepala, menempatkan anak pada resiko lebih besar terhadap gangguan
retardasi mental. Kelahiran premature juga menimbulkan resiko retardasi mental dan
gangguan perkembangan lainnya. Infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis juga
dapat menyebabkan retardasi mental. Anak-anak yang terkena racun, seperti cat yang
mengandung timah, juga dapat terkena retardasi mental. (Nevid, 2003)

2. Faktor Psikososial

Seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan
stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab
atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental. (Nevid, 2002).

Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan mainan, buku, atau
kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa melalui cara-cara yang
menstimulasi secara intelektual akibatnya mereka gagal mengembangkan keterampilan
bahasa yang tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar keterampilan-
keterampilan yang penting dalam masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi seperti
keharusan memiliki lebih dari satu pekerjaan dapat menghambat orang tua untuk
meluangkan waktu membacakan buku anak-anak, mengobrol panjang lebar, dan
memperkenalkan mereka pada permainan kreatif. Lingkaran kemiskinan dan buruknya
perkembangan intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi (Nevid, 2002).

3. Faktor Biologis

a. Pengaruh genetik. Kebanyakan peneliti percaya bahwa di samping pengaruh-


pengaruh lingkungan, penderita retardasi mental mungkin dipengaruhi oleh
gangguan gen majemuk (lebih dari satu gen) (Abuelo, 1991, dalam Durand,
2007). Salah satu gangguan gen dominan yang disebut tuberous sclerosis, yang
relatif jarang, muncul pada 1 diantara 30.000 kelahiran. Sekitar 60% penderita
gangguan ini memiliki retardasi mental (Vinken dan Bruyn, 1972, dalam Durand
2007).
b. Pengaruh kromosomal. Jumlah kromosom dalam sel-sel manusia yang berjumlah
46 baru diketahui 50 tahun yang lalu (Tjio dan Levan, 1956, dalam Durand,
2007). Tiga tahun berikutnya, para peneliti menemukan bahwa penderita
Sindroma Down memiliki sebuah kromosom kecil tambahan. Semenjak itu
sejumlah penyimpangan kromosom lain menimbulkan retardasi mental telah
teridentifikasi yaituDown syndrome dan Fragile X syndrome.

C. Gejala Retardasi Mental

Menurut kriteria DSM-IV-TR untuk gejala anak retardasi mental terbagi dalam tiga
kelompok yaitu:

1) Kriteria pertama, seseorang harus memiliki intelektual yang secara signifikan


berada di tingkatan sub average (dibawah rata-rata), yang ditetapkan
berdasarkan satu tes IQ atau lebih. Dengan cutoff score yang oleh DSM-IV-TR
ditetapkan sebesar 70 atau kurang.
2) Kriteria Kedua, adanya defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif yang muncul
beragam setidaknya dua bidang yakni, komunikasi, merawat diri sendiri,
mengurus rumah, keterampilan social, interpersonal, pemanfaatan sumber daya
di masyarakat, keterampilan akademis, pekerjaan, kesehatan, dan keselamatan.
3) Kriteria Ketiga, anak dengan retardasi mental ciri intelektual dan kemampuan
adaptif itu harus muncul sebelum mencapai 18 tahun.

Gejala anak retardasi mental menurut (Brown, dkk 1991 dalam Sekar, 2007) menyatakan:

1. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam


mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa
yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus.
2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak retardasi mental berat.
4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan retardasi mental
berat mempunyai ketebatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan,
tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam
mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan
mendongakkan kepala.
5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak retardasi
mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti : berpakaian,
makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus
untuk mempelajari kemampuan dasar.
6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan dapat
bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai retardasi
mental berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan
bagi anak retardasi mental dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak retardasi mental
berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual,
misalnya : memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang
membahayakan diri sendiri, misalnya: menggigit diri sendiri, membentur-
beturkan kepala, dan lain-lain.

D. Pemeriksaan Diagnostik

1. Uji Laboratorium

a. Uji intelegensi standar dan uji perkembangan


b. Pengukuran fungsi adaptif

2. EEG (Elektro Esenflogram)

a. Gejala kejang yang dicurigai


b. Kesulitan mengerti bahasa yang berat

3. CT atau MRI

a. Pembesaran kepala
b. Dicurigai kelainan otak yang luas
c. Kejang lokal
d. Dicurigai adanya tumor intra cranial

E. Terapi Pengobatan

Terapi yang digunakan adalah mengunakan beberapa cara, yaitu diantaranya sebagai
berikut:

1. Terapi baca (dengan pendekatan montesoori). Guru atau orang tua tidak secara
langsung mengubah anak tetapi sebaliknya guru mencoba memberi peluang pada
anak menyelesaikan tugas dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang dewasa.
Tujuan ini bertujuan untuk memberikan edukasi secara dini kepada pasien.
2. Pilihan bebas (anak diberi kebebasan untu memilih kebutuhan yang sesuai dengan
minatnya). Dengan cara ini, aktivitas kehidupan sehari-hari pasien menjadi bagian
dari kurikulum yang diberikan.
3. Terapi perilaku. Konselor memberikan pengetahuan tentang cara pandang si anak
tersebut, misalnya tidak mau bermain games, cara pandang terhadap sesuatu dan
lain-lain. Terapi ini bertujuan untuk mengubah perilaku yang cenderung agresif
dan menciptakan self injury.
4. Terapi bicara. Konselor memberikan contoh perilaku bicara yang baik, karena
pada dasarnya, anak retardasi mental akan terlihat dalam mengucapkan sebuah
kata-kata.
5. Terapi sosialisasi. Pasien diajak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain,
yaitu tetap menjalin komunikasi dengan orang lain atau individu di sekitarnya
dengan cara bersosialisasi, melakukan interaksi secara verbal sehingga disini akan
menumbuhkan rasa percaya diri, perasaan diterima oleh lingkungan, dan motivasi
pada diri pasien agar tetap survive dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
6. Terapi bermain. Pasien dibimbing untuk dapat mengerjakan sesutu hal berupa
hasil karya, atau sebuah permainan. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah
kemampuan pasien di bidang kognitif yaitu dengan cara merangsang proses
berpikir pasien tentang pola sebuah bentuk sehingga disini pasien diajak untuk
dapat merangkai sebuah konstruksi bangunan, kemudian dapat meningkatkan
imanjinasi dengan cara merangsang kemampuan imajinasi tentang sesuatu hal
yang berada di pikirannya, selain itu dalam segi kreatifitas, yaitu dengan cara
meningkatkan dan mengolah kreatifitas pasien dengan paduan warna, pola, bentuk
yang berbeda-beda sehingga pasien mempunyai pengetahuan, pemahaman dan
keanekaragaman tentang macam-macam jenis permainan atau hasil karya yang dia
temui.
7. Terapi menulis. Cara ini digunakan untuk dapat mempermudah proses berjalannya
terapi yaitu dengan cara pasien diajak untuk menulis di selembar kertas berupa
serangkaian kata-kata. Tujuan daripada terapi ini adalah untuk melemaskan otot
atau syarat tangan dalam beraktivitas sehingga tubuh pasien tidak kaku dan lebih
fleksibel dalam menanggapi respon atau stimulus yang berada di sampingnya.
8. Terapi okupasi. Terapi ini dilakukan dengan cara memijat-mijat bagian syaraf
anak tersebut seperti pada bagian pergelangan tangan, kaki dan daerah tubuh
lainnya. Terapi ini dilakukan pada saat pasien berusia muda, karena pada masa
muda sendi-sendi dalam tubuh pasien masih bersifat elastis dan dapat
menyesuaikan dengan bentuk perlakuan yang diberikan.
9. Terapi musik. Terapi ini dilakukan dengan cara pasien diarahkan untuk dapat
mendengarkan dan memaknai sebuah alunan musik. Terapi ini bertujuan untuk
dapat mengasah fungsi auditory pasien akan stimulus suara yang di dengarkann

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anak dengan retardasi mentaladalah multidimensi dan sangat


individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penaganan multidisiplin
merupakan jalan terbaik. Sebaiknya dibuat rancangan suatu strategi pendekatan bagi
setiap anak secara individual untuk mengembangkan potensi anak tersebut seoptimal
mungkin. Untuk itu perlu melibatkan psikolog untuk menilai perkembangan mental anak
terutama kemampuan kognitifnya, dokter anak untuk memeriksa perkembangan fisiknya,
menganalisis penyebab dan mengobati penyakit atau kelainan yang mungkin ada. Juga
kehadiran dari pekerja social kadang-kadang diperlukan untuk menilai situasi
keluarganya. Atas dasar itu maka dibuatlah strategi terapi. Sering kali melibatkan lebih
banyak ahli lagi, misalnya ahli saraf bila anak juga menderita epilepsy, palsi serebral dll.
Psikiater bila anaknya menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila orang tuanya
membutuhkan dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis bila diperlukan untuk
merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya. Ahli terapi wicara untuk
memperbaiki gangguan bicaranya atau untuk merangsang perkembangan bicaranya. Serta
diperlukan guru pendidikan luar biasa untuk anak-anak yang retardasi mental ini.

Pada orang tuanya perlu diberikan penerangan yang jelas mengenai keadaan
anaknya dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-kadang
diperlukan waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaan anaknya
maka perlu konsultasi pula dengan psikolog atau psikiater. Disamping itu diperlukan
kerja sama yang baik antara guru dan orang tuanya, agar tidak terjadi kesimpangsiuran
dalam strategi penanganan anak disekolah dan dirumah. Anggota keluarga lainnya juga
harus diberi pengertian agar anak tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu, masyarakat
perlu diberikan penerangan tentang retardasi mental agar mereka dapat menerima anak
tersebut dengan wajar.

Anak dengan retardasi mental memerlukan pendidikan khusus yang sesuaikan


dengan taraf IQ-nya. Mereka digolongkan yang mampu didik untuk golongan retardasi
mental ringan dan yang mampu latih untuk anak dengan retardasi mental sedang. Sekolah
khusus untuk anak retardasi mental ini adalah SLB-C. Di sekolah ini diajarkan juga
keterampilan-keterampilan dengan harapan mereka dapat mandiri di kemudian hari. Di
ajarkan pula tentang baik-buruknya suatu tindakan tertentu sehingga mereka diharapkan
tidak memerlukan tindakan yang tidak terpuji, seperti mencuri, merampas, kejahatan
seksual dan lain-lain.

Semua anak yang retardasi mental ini juga memerlukan perawatan seperti pemeriksaan
kesehatan yang rutin, imunisasi dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Anak-
anak ini juga disertai dengan kelainan fisik yang memerlukan penangan khusus. Misalnya
pada anak yang mengalami infeksi pranataldengan cytomegalovirus akan mengalami
gangguan pendengaran yang progresif walaupun lambat, demikian pula anak dengan
sindrom Down dapat timbul gejala hipotiroid. Masalah nutrisi juga perlu mendapat
perhatian.

G. Pencegahan

Karena penyembuhan dari retardasi mental ini boleh dikatakan tidak ada sebab
kerusakan dari sel-sel otak tidak mungkin fungsinya dapat kembali normal maka yang
penting adalah pencegahan primer yaitu usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyakit. Dengan memberikan perlindungan terhadap penyakit-penyakit yang potensial
dapat menyebabkan retardasi mental, misalnya melalui imunisasi. Konseling perkawinan,
pemeriksaan kehamilan yang rutin, nutrisi yang baik selama kehamilan dan bersalin pada
tenaga kesehatan yang berwenang maka dapat membantu menurunkan angka kejadian
retardasi mental. Demikian pula dengan mengentaskan kemiskinan dengan membuka
lapangan kerja, memberikan pendidikan yang baik, memperbaiki sanitasi lingkungan,
meningkatkan gizi keluarga akan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Dengan
adanya program BKB (Bina Keluarga dan Balita) yang merupakan stimulasi mental dini
dan bisa dikembangkan juga deteksi dini maka dapat mengoptimalkan perkembangan
anak.

Diagnosis dini sangat penting dengan melakukan skrining sedini mungkin


terutama pada tahun pertama maka dapat dilakukan intervensi yang dini pula. Misalnya
diagnosis dini dan terpi dini hipotiroid dapat memperkecil kemungkinan retardasi mental.
Deteksi dan intervensi dini pada retardasi mental sangat membantu memperkecil retardasi
yang terjadi. Konsep intervensi pada retardasi mental yang berdasarkan pemikiran bahwa
intervensi dapat merubah status perkembangan anak. Makin sering dan makin dini
intervensi dilakukan, maka makin baik hasilnya. Tetapi makin berat tingkat kecacatan
maka hasil yang dicapai juga makin kurang. Hasil akhir suatu intervensi adalah makin
dini dan teratur suatu intervensi yang diberikan makin baik hasilnya sehingga agak
mengurangi kecacatannya. Namun pada anak yang penyebabnya sangat kompleks, latar
belakang social dan kebiasaan yang kurang baik dan intervensi yang tidak teratur maka
hasilnya juga tidak memuaskan

A. Definisi Autis

Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang ditandai dengan kelemahan


perkembangan dalam komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Autis digolongkan
menjadi pervasive developmental disorder (PDD), yang merupakan bagian dari suatu
gangguan perkembangan berspektrum luas yang mengenai anak-anak kecil dan orang
dewasa - Autistic Spectrum Disorder (ASD).

Menurut ginanjar (2001), autisme adalah ganguan perkembangan yang kompleks yang di
sebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan ganguan pada
perkembangan komunikasi perilaku, kemampuan sosialisasi, sensoris, dan belajar,
biasanya sudah mulai tampak pada anak berusia di bawah tiga tahun.

Sedangkan menurut widyawati (1997), gangguan autisme juga disebut autisme invatif.
Gganguan ini merupakan salah satu dari kelompok ganguan perkembangan pervasif yang
paling di kenal, dan mempunyai ciri khas:

1. Adanya ganguan yang menetap pada interaksi sosial, komunikasi yang


menyimpan,dan polah tingkah laku yang terbatas serta stereotip
2. Fungsi yang abnormal ini biasaya muncul sebelum usia 3 tahun.

Saat ini autisme meninbulkan keprihatinan yang mendalam, terutama dari orang
tuanya, selain itu, rasa kwaitr timbul pada ibu- ibu muda yang akan melahirkan.
Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tidak ada status sosial ekonomi, pendidikan
, golongan etik atau bangsa. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung
menigkatkan dari tahun ke tahun.

Di masa lalu, autis dibingungkan dengan schizophrenia anak-anak atau psikosis


anak-anak, dan telah disalahpahami sebagai kelainan kepribadian schizotypal
pada orang dewasa. Ketika informasi riset tentang autis tersedia, skup dan definisi
kondisi ini terus diperbaiki. Kebanyakan kebingungan di masa lalu tentang
gangguan ini telah terpecahkan.

B. Gejala Autis

Diagnosis dan Statistical Manual of Mental Disorders-Fourth Edition, Treatment


Revision (DSM-IV-TR) terbaru mengidentifikasi tiga gambaran yang berhubungan dengan autis:

1. Lemahnya interaksi sosial

Pertama, pasien-pasien dengan autis gagal mengembangkan interaksi personal


normal dalam hampir semua situasi. Ini artinya orang yang mengalaminya gagal untuk
membentuk kontak sosial normal yang merupakan suatu bagian penting dalam
perkembangan manusia. Kelemahan ini bisa sangat berat yang bahkan berpengaruh bagi
ikatan antara seorang ibu dan bayinya.

Penting untuk dicatat, bahwa berlawanan dengan keyakinan yang populer, banyak, jika
tidak hampir semua, orang autis mampu menunjukkan afeksi (kasih sayang) dan
mendemonstrasikannya dan menunjukkan ikatan dengan ibunya atau orang yang
memberinya perhatian. Namun, cara penderita autis mendemonstrasikan afeksi dan ikatan
bisa sangat berbeda dengan cara orang normal. Sosialisasi mereka yang terbatas bisa
dengan tak menentu menyebabkan orang tua dan dokter anak menjauh dari
mempertimbangkan diagnosis autis. Ketika anak berkembang, interaksi dengan orang
lain berlanjut menjadi abnormal. Perilaku yang tidak normal meliputi kontak mata,
ekspresi wajah, dan postur tubuh.

Biasanya terdapat suatu ketidakmampuan untuk mengembangkan hubungan normal


dengan saudara kandung dan teman sebaya dan anak sering terlihat terisolasi. Mungkin
ada sedikit atu tidak sam sekali kesenangan atau ketertarikan kepada aktivitas-aktivitas
sesuai umurnya. Anak-anak atau orang dewasa yang menderita autis tidak mencari teman
sebaya untuk bermain atau interaksi sosial lainnya. Pada kasus yang berat mereka
mungkin bahkan tidak memperhatikan keberadaan orang lain.
2. Komunikasi

Komunikasi biasanya memburuk dengan berat pada orang autis. Apa yang
dimengerti oleh seorang individu (bahasa reseptif) juga apa yang benar-benar diucapkan
oleh individu tersebut (bahasa ekspresif) secara signifikan terhambat atau tidak ada.
Kurangnya pengertian bahasa meliputi ketidakmampuan untuk memahami arah
sederhana, pertanyaan mudah, atau perintah sederhana. Mungkin tidak ada permainan
berpura-pura atau drama dan anak-anak ini mungkin tidak mampu terlibat dalam
permainan dengan game-game untuk anak kecil.

Individu-individu autis yang berbicara mungkin tidak mampu memulai atau berpartisipasi
dalam percakapan dua arah (resiprox). Seringnya, cara seorang autis berbicara terasa
tidak biasa. Perkataannya mungkin tampak kurang akan emosi normal dan terdengar
datar atau monoton. Kalimat-kalimatnya sering sangat kekanak-kanakan: “ingin air” dari
yang semestinya ”saya ingin air.” Mereka yang mengalami autis sering mengulang kata
atau frase yang dikatakan kepada mereka. Misalnya, anda mungkin berkata “lihat
pesawat itu!” dan anak atau orang autis mungkin merespon “lihat pesawat,” tanpa
pengetahuan tentang apa yang dikatakan. Pengulangan ini disebut dengan echolalia.
Pengingatan dan hafalan terhadap lagu, cerita, iklan atau bahkan naskah lengkap tidaklah
jarang. Sementara banyak yang merasa ini merupakan tanda intelijensia, orang autis
biasanya tidak tampak mengerti isi dari kata-katanya.

3. Perilaku

Orang autis sering menunjukkan berbagai pengulangan perilaku abnormal.


Terdapat juga suatu hipersensitifitas terhadap input sensoris dalam penglihatan,
pendengaran dan sentuhan (taktil). Akibatnya, mungkin terdapat suatu intoleransi ekstrim
terhadap suara bising atau kerumunan, stimulasi visual, atau sesuatu yang dirasakan.

Anak-anak dan orang autis sering terikat pada banyak tugas rutin setiap hari yang
mungkin seperti ritual. Sesuatu yang sesederhana mandi mungkin hanya dilakukan
setelah jumlah yang tepat air di dalam tempat mandinya, suhu yang tepat, sabun yang
sama di tempat yang sama dan bahkan handuk yang sama di tempat yang sama.
Perubahan apa pun dari rutinitas itu dapat memicu reaksi yang berat pada individu
tersebut dan menempatkan ketegangan yang luarbiasa pada orang dewasa yang berusaha
bekerja dengannya.

Bisa juga ada suatu aksi atau perilaku tanpa tujuan yang diulang-ulang. Terus-menerus
mengayun, menggeretakkan gigi, memilin rambut atau jari, bertepuk tangan dan berjalan
pada ujung jari tidak jarang dilakukan. Sering ada keasyikan dengan suatu ketertarikan
yang sangat terbatas atau pada suatu alat permainan tertentu.
C. Penyebab Autis

Sejak autis pertama kali ditambahkan ke literatur psikiatri 50 tahun lalu, telah ada
sejumlah penelitian dan teori tentang penyebabnya. Para peneliti masih belum mencapai
kesepakatan mengenai penyebab spesifik nya. Pertama, harus diketahui bahwa autis
adalah sekumpulan berbagai gejala yang luas dan mungkin mempunyai banyak
penyebab. Konsep ini lazim di dunia medis.

Misalnya, sekumpulan gejala yang kita rasakan sebagai “dingin” dapat disebabkan oleh
ratusan virus yang berbeda, bakteri dan bahkan sistem imun kita sendiri. Autis tidak
diragukan lagi adalah kelainan dengan dasar biologis. Di masa lalu, beberapa peneliti
mengatakan bahwa autis adalah akibat buruknya skil kasih sayang pada ibu. Kepercayaan
ini telah menyebabkan banyak rasa sakit dan bersalah yang tidak perlu pada orang tua
anak autis, ketika nyatanya ketidakmampuan pada individu dengan autis untuk
berinteraksi dengan baik merupakan satu gejala kunci dari kelainan perkembangan ini.

Mendukung teori biologis autis, beberapa kelainan saraf yang telah diketahui
berhubungan dengan gambaran autis. Autis adalah satu dari gejala kelainan-kelainan ini.
Kondisi-kondisi ini termasuk tuberous sclerosis (suatu kelainan keturunan), fragile X
syndrome, cerebral dysgenesis (perkembangan abnormal otak), Rett syndrome, dan
beberapa kelainan metabolisme bawaan (defek biokimia). Autis, tampaknya merupakan
hasil akhir dari “jalur umum akhir” dari banyak kelainan yang mengenai perkembangan
otak. Namun, umumnya, ketika klinisi membuat diagnosis autis, mereka mengeluarkan
penyebab-penyebab yang telah diketahui dari perilaku autis sebagai pertimbangan.
Namun, jika pengetahuan tentang kondisi-kondisi yang menyebabkan autis mengalami
kemajuan, semakin dan semakin sedikit kasus yang akan dipikirkan sebagai “murni” autis
dan lebih banyak individu akan diidentifikasi mengalami autis karena sebab tertentu.

Terdapat hubungan yang erat antara autis dan kejang. Hubungan ini bekerja dalam dua
cara: pertama banyak pasien (20-30%) dengan autis mengalami kejang. Kedua, pasien
dengan kejang, yang mungkin disebabkan oleh penyebab lain, bisa mengalami perilaku
seperti autis. Satu yang khusus dan sering disalahpahami hubungan antara autis dan
kejang adalah Landau-Kleffner Syndrome. Sindrom ini juga dikenal dengan acquired
epileptic aphasia. Beberapa anak dengan epilepsi mengalami suatu kehilangan tiba-tiba
kemampuan berbahasa khususnya reseptif language (kemampuan untuk mengerti).
Banyak juga yang sering mengalami gejala autis.

Anak-anak ini sering, tapi tidak selalu, mempunyai suatu pola khas aktivitas kelistrikan
otak yang tampak pada EEG ((electroencephalogram) selama tidur pulas yang disebut
electrographic status epilepticus during sleep (ESES). Biasanya umur munculnya
kehilangan atau penurunan kemampuan berbahasa adalah sekitar 4 tahun, yang membuat
Landau-Kleffner syndrome bisa dibedakan dari autis dalam hal ini, pada autis biasanya
pertama kali muncul pada anak yang lebih kecil. Namun, pada tahun-tahun terakhir ini,
beberapa anak (sangat sangat sedikit) yang tidak menunjukkan adanya kejang yang bisa
teramati diketahui mempunyai Landau-Kleffner syndrome.

Terapi lain mulai dari terapi obat antikejang umum sampai terapi pembedahan telah
diajukan dan dicoba pada Landau-Kleffner syndrome. Sulit untuk mengevaluasi efek
sebenarnya dari terapi untuk Landau-Kleffner syndrome dikarenakan tingginya angka
sembuh spontan.

D. Karakteristik Penderita Autis

Gejala anak autis bisa dilihat dini,karena coba perhatikan perkembangan anak
dalam setiap tahap tiap tahap terkadang orang tua tidak terlalu peka terhadap tingkah laku
anak,jangan sampai terlambat.walau autis ini tidak penyakit,tetapi ganguan kelemahan
terhadap sistem saraf akibat faktor genetika yang lemah.untuk itu perlu perhatian extra
dalam penanganan anak penyangdang autis sejak awal.

Adapun ciri-ciri anak autisme menurut usia:

1. Usia 0 -6 bulan. Apabila anak terlalu tenang dan jarang menangis,terlalu


sensitif,gerakan tangan dan kaki yang terlalu berlebihan terutama pada saat
mandi.tidak perna terjadi kontak mata atau senyum secara sosial,dan
digendongkan mengepal tangan atau menegangkan kaki secara berlebihan.
2. Usia 6-12 bulan. Kalau digendongkan kaku atau tegang dan tidak berinteraksi
atau tidak tertarik pada mainan atau tidak beraksi terhadap suara atau kata.dan
selalu memandang suatu benda atau tanganya sendiri secara lama.itu akibat
terlambat dalam perkembangan motorik halus dan kasar
3. Usia 2-3 tahun. Tidak berminat atau bersosialisasi terhadap anak-anak lain,dan
kotak mata tidak menyambung dan tidak pernah fokus.juga kaku terhadap orang
lain dan masih senang di gendong dan malas mengerakan tubuhnya.
4. Usia 4-5 tahun. Sukanya anak ini berteriak-teriak dan suka membeo atau
menudukan suara orang lain dan mengeluarkan suara-suara yang aneh.dan
gampang marah atau emosi apabila rutinitasnya di gangu dan kemauannya tidak
di turuti dan agresif dan mudah menyakiti diri sendiri.

Sejak lahir sampai dengan umur 24-30 bulan anak-anak yang terkenal autisme
umumnya terlihat normal.selain itu orang tua mulai melihat perubahan seperti
keterlambatan berbicara,berbain dan berteman.

E. Terapi pada Penderita Autis

Salah informasi tentang autis sangat lazim. Klaim atas penyembuhan untuk autis
selalu dihadapkan pada keluarga dengan individu autis. Ada bermacam-macam model
terapi yang ditemukan dalam wilayah edukasi maupun klinis. Namun, hanya ada satu
pendekatan terapi yang berlaku selama ini dan efektif bagi semua orang yang autis
maupun tidak. Model terapi ini adalah program pendidikan yang sesuai dengan derajat
perkembangan performa murid. Untuk orang dewasa, model terapi itu mengacu pada
program kejuruan yang sesuai dengan derajat perkembangan fungsi.

Sesuai dengan Individuals with Disabilities Educational Act (IDEA) tahun 1990, murid
dengan kecacatan dijamin dengan suatu “pendidikan tepat” di Least Restrictive
Environment (LRE) yang biasanya dibuat sebagai tempat pendidikan senormal mungkin.
Sebagai hasil dari peraturan ini, anak-anak autis umumnya ditempatkan di ruang kelas
khusus dan pelayanan tambahan apa pun yang diperlukan dicabut. Tergantung pada
kebutuhan anak-anak, dia ditempatkan pada 100% hari sekolah di dalam tempat
pendidikan khusus.

Namun, ada trend yang meningkat di antara para pengacara anak-anak autis, untuk
memencilkan anak-anak ini ke tempat pendidikan yang kecil, yang sangat terkontrol dan
terstruktur yang semaximal mungkin terbebas dari stimulasi suara dan penglihatan.semua
instruksi dipecah-pecah menjadi segmen-segmen yang bisa dikelola. Informasi ada dalam
unit-unit yang sangat kecil dan respon anak segera dicari. pendekatan respon stimulus
klasik digunakan untuk memaksimalkan belajar. Tiap unit informasi dikuasai sebelum
yang lain diberikan. Perilaku dasar seperti meletakkan tangan di atas meja, misalnya,
harus dikuasai sebelum anak diharuskan melakukan tugas lain, atau sebelum informasi
lebih banyak lagi diberikan.

Individu autis harus diajarkan bagaimana berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang
lain. Ini bukan tugas yang mudah, dan melibatkan seluruh keluarga juga profesional.
Orang tua penderita autis harus terus-menerus mendidik dirinya sendiri tentang terapi
baru dan tetap berpikiran terbuka.

Penting untuk diingat, meskipun sekarang ini banyak disangkal, bahwa autis merupakan
kondisi yang hampir seumur hidup. Terapi akan berubah ketika individu tumbuh.
Keluarga harus hati-hati dengan program terapi yang memberi harapan palsu akan
kesembuhan. Penerimaan kondisi ini dalam keluarga sangatlah penting, komponen dasar
dari semua program terapi dan sangat sulit untuk dimengerti.

F Penerapan Teknik Komunikasi Terapeutik

Dapat disimpulkan dari konsep di atas, teknik komunikasi yang dilakukan sangat
sederhana namun sukar untuk dilakukan. Jangan menganggap pasien sebagai orang yang
rendah, mereka sama se perti kita, namun mereka memiliki kekurangan yang tidak dapat
berkomunikasi layakny a orang normal.

Berikut beberapa teknik yang dapat diterapkan:


1. Perjelas kata-kata yang diucapkan klien dengan mengulang kembali, biasanya
orang yang terkena retardasi mental berbicara kurang jelas
2. Melakukan interaksi secara verbal sehingga disini akan menumbuhkan rasa
percaya diri
3. Batasi topik dan buat topik tentang hal yang disukainya
4. Ciptakan lingkungan yang respondif dan kaya akan bahasa sehingga
memungkinkan anak untuk berkomunikasi
5. Jangan menyinggung kata-kata yang klien ucapkan
6. Berikan klien kesempatan jika ingin berbicara sesuatu
BAB I I

KESIMPULAN

Retardasi Mental mengarah pada keterbatasan beberapa fungsi utama.kelainan ini


ditandai dengan fungsi intelektual yang sangat dibawah rata-rata dan secara bersamaan
disertai dengan ditambah penekanan pada keterbatasan yang berhubungan dengan dua
atau lebih area penerapan kemampuan adaptasi berikut ini : komunikasi, merawat diri
sendiri, tinggal dirumah, keterapilan social, penggunaan sarana umum, mengarahkan diri
sendiri, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, santai, dan bekerja. Retardasi mental
bermanifestasi sebelum usia 18 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjiningsih. Retardasi Mental. In: Ranuh G. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 1995. p.191-202
2. Matondang CS, Wahidayat I, Sastroasmoro S. Anamnesis. Diagnosis Fiik Pada Anak. 2
nd . Jakarta: PT Sagung Seto; 2000. p. 1
3. Kaneshiro NK. Mental Retardation (updated: 2 November 2009). Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001523.htm. Accessed: 5 Oktober 2010
4. Maramis WF. Retardasi Mental dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:
Airlangga University Press; 1994.p.385-402
5. Sadock BJ, Sadock VA. Mental Retardation. In: Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry. London: Lippincott & William; 2000. p.1161-79.
6. Maslim R. Retardasi Mental.in: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa-Rujukan Ringkas
dari PPDGJ III. Jakarta.p.119-21
7. Medline staff. Autism (updated: 16 September 2010). Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/autism.html. Accessed: 5 Oktober 2010
8. Kaneshiro. Down Syndrome (Update Date: 4/26/2010). Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/downsyndrome.html#cat1. Acceessed: 3 october
2010
http://keperawatancianjur.blogspot.com/2012/06/prinsip-dan-teknik-komunikasi-dalam.html

Anda mungkin juga menyukai