Rupturadr - Budi 2 PDF
Rupturadr - Budi 2 PDF
ANOREKTUM
1. Antibiotic intravena (Cefuroxime 1,5 g dan Metronidazol 500 mg) harus diberikan
intraoperatif dan diteruskan secara oeral selama 1 minggu.
1. Semua wanita harus diberikan pelunak feses (laktulose 15 cc bd) dan agen
penggumpal (Fybogel 1 sachet bd) selama 2 minggu, karena mengedan untuk
mengeluarkan feses yang keras dapat merusak jahitan. Hal ini perlu dijelaskan
kepada pasien dan ia tidak boleh dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali
normal. Karena kerusakan sfingter ani dapat mempunyai konsekuensi litigasi
(tuntutan), pencatatan medik yang hati-hati dan lengkap adalah sangat penting.
Diagram yang menunjukkan sejauh mana cidera dan teknik penjahitan akan
membantu menjelaskan bahwa pemeriksaan yang dilakukan secara cermat telah
dilakukan. Kamera instant tersedia di kamar bersalin untuk pengambilan gambar.
1. Para wanita harus diberikan penjelasan yang mendetail tentang trauma tersebut dan
diberitahukan bahwa bila ada masalah seperti infeksi atau control BAB yang sulit,
mereka sesegera mungkin menemui bidan atau dokter umum yang kemudian dapat
merujuk ke rumah sakit bila diperlukan.
Penatalaksanaan persalinan pada
riwayat robekan derajat 3 atau 4
Telah disetujui oleh semua konsultan bahwa pada semua wanita yang
mempunyai riwayat robekan derajat 3 atau 4 harus dirujuk ke klinik
perineum untuk follow up dan penatalksanaan pada persalinan
berikutnya.
Seluruh wanita tersebut akan dilakukan USG anus dan manometri di
klinik perineum
Secara umum, wanita yang kontinen dan tidak terbukti memiliki
kerusakan sfingter ani, diperbolehkan partus pervaginam dengan bidan
senior atau dokter.
Pada wanita dengan inkontinensia fekal ringan dengan bukti kerusakan
sfingter ani akan diberikan konseling dan ditawarkan untuk operasi SC.
Pada wanita dengan inkontinensia fekal yang bermakna perlu diberikan
konseling mengenai risiko persalinan normal (Risiko 5% robekan
berulang) setelah penjahitan sfingter ani sekunder
Tidak ada bukti literatur yang menunjukkan bahwa episiotomi profilaksis
akan mencegah kejadian ruptur sfingter ani berulang dan oleh karenanya
episiotomi hanya dilakukan bila ada faktor predisposisi seperti bayi besar,
posisi oksiput posterior, distosisa bahu, tali fibrosis atau perineum yang
tidak elastis.
Klasifikasi luka perineum:
1. Jika m. sfingter ani < 50% jahitan end to end dilakukan dengan
jahitan matras, jika komplit lakukan jahitan overlap.
1. Bolus feses yang keras melalui luka akan menyebabkan risiko kerusakan jahitan dan pelunak
feses (lactulose 15 mg bd) dan agen penggumpal seperti Fybogel (Ispahula Husk) 1 sachet bd,
diberikan sekurangnya 10 sampai 14 hai post operatif. Pengeluaran isi usus juga dilakukan oleh
beberapa klinisi yang merasa khawatir akan pembentukan feses akan merusak jahitan epital
anal dan otot sfingter yang masih beru. Walaupun demikian sebuah uji prospektif dan acak, ahli
bedah yang tertutup (n=54) menunjukkan hasil akhir operasi anorektal rekonstruksi tidak
dipengaruhi oleh pengabaian proses pengeluaran isi usus dan diasosiasikan dengan episode
impaksi feses yang lebih sedikit.
1. Sangatlah penting bagi wanita untuk mengerti implikasi meneruskan OASIS dan harus
diberitahu bagaimana mencari pertolongan apabila terdapat gejala infeksi atau inkontinensia.
1. Idealnya para wanita tersebut dilakukan follow up di klinik khusus perineum oleh tim yang
mempunyai minat pada OASIS. Semua wanita harus diberikan nasihat tentang latihan dasar
panggul dan pada wanita tertentu dengan kontraksi sfingter ani yang minimal, mungkin akan
diperlukan stimulasi elektrik.
Pada wanita yang menderita cedera sfingter anal, diperlukan suatu
konseling yang baik mengenai tatalaksana pada kehamilan berikutnya.
Diketahui bahwa angka risiko cedera sfingter ani berulang pada pusat-
pusat yang mempunyai praktek standar episiotomi mediolateral,
adalah 4,4 % (Harkin et al 2003). Oleh karena itu pada wanita
asimptomatik yang tidak mempunyai tanda fungsi sfingter ani yang
berkurang (idealnya dikonfirmasi dengan USG dan manonetri anus)
seharusnya dianjurkan untuk rencana partus pervaginam pada
kehamilan berikutnya. Karena seksio sesarea diasosiasikan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, dianjurkan operasi ini hanya
dilakukan pada wanita yang simptomatik dan pada mereka yang telah
menjalani operasi sfingter ani sekunder untuk inkontinensia fekal.
MAYDAY PERINEAL REPAIR PACK
Instrumen
Retractor Weislander’s
Forceps gigi (fine & strong)
Needle holder (small and large)
Forceps Allis (4)
Forceps arteri (6)
Gunting McIndoe
Gunting pemotong jahitan
Spekulum Sims
Retraktor dinding samping dalam vagina
Forceps pemegang kasa
Tampon
Kapas besar
Diatermi
Benang jahit
Anal epithelium
Ethicon Vicryl 3-0, 26 mm round bodies needle W9120
Internal Anal Sfingter
Ethicon PDS 3-0, 26 mm round bodies needle W9124T
External Anal Sfingter
Ethicon PDS 3-0, 26 mm round bodies needle W9124T
Perineal Muscles
Ethicon Vicryl rapide 2-0, 35 mm tappercut needle W9124
Perineal skin
Ethicon Vicryl rapide 2-0, 35 mm tappercut needle W9124
(dapat digunakan untuk subkutikuler atau jahitan interrupted).
PENCEGAHAN TRAUMA PERINEUM
Trauma perineum pada proses persalinan sering terjadi dan dapat
mempunyai konsekuensi berat. Sayangnya banyak wanita yang
menderita tapi berdiam saja, sehingga dalam pencatatan tidak
terlaporkan semua. Trauma perineum dapat diasosiasikan dengan
angka morbiditas jangka pendek dan lama. Komplikasi lain yang
terkait termasuk infeksi perineum, fistula dan endometriosis di luka
perineum. Aktivitas maternal dan proses menyusui dapat
terpengaruh oleh hal ini. Oleh karenanya pencegahan, walaupun
hanya sebagian, akan memberikan keuntungan bagi banyak
wanita. Hal ini juga akan mempengaruhi penghematan biaya,
dengan mempengaruhi jumlah obat, benang dan penatalaksanaan
yang lebih sedikit dan juga waktu yang diberikan oleh penyedia
jasa kesehatan dalam membantu para ibu dalam menghadapi
kendala pada masalah trauma ini.
Walaupun pencegahan trauma perineum diketahui sangat penting
tetapi bagaimana melakukannya masih belum terlalu jelas.
Beberapa faktor risiko antenatal seperti status nutrisi, indeks
berat tubuh, etnis dan berat lahir tidak dapat diubah pada saat
persalinan, tetapi hal tersebut diketahui modifikasi terhadap
penatalaksanaan perlu diterapkan. Usaha-usaha antenatal untuk
mengubah letak sungsang ke presentasi kepala dan oksipito
posterior ke oksipito anterior dapat secara tidak langsung
menurunkan angka trauma perineum. Sedangkan faktor-faktor
yang tidak dapat dikontral pada saat persalinan adalah episiotomi,
robekan perineum sebelumnya, persalinan instrumenal, posisi
maternal, cara persalinan, dan gaya saat meneran.
Semua wanita harus diberitahu akan kemungkinan gejala sisa dari luka
pada sfingter ani dan idealnya melakukan kontrol setelah 6 – 12 minggu
postpartum serta melakukan tes fisiologi dan ultrasonografi anus (Sultan
dan Thakar 2002). Wanita asimptomatik dengan tekanan pendorongan yang
rendah dan defek yang melebihi ¼ kuadran memiliki peningkatan risiko
terjadinya inkontinensia anal pada persalinan pervaginam berikutnya
(Fynes 1999) dan untuk itu pada konseling sebaiknya disertakan pilihan
untuk melakukan seksio sesarea. Bila manometri dan ultrasonografi anal
tidak tersedia di daerah setempat maka semua wanita dengan gejala harus
dirujuk kepada pusat spesialistik untuk pemeriksaan tersebut. Pada wanita
yang asimptomatik dan tanpa gejala klinis adanya defek perineum atau
penurunan tonus anal, dibolehkan untuk melakukan persalinan pervaginam
yang ditolong oleh dokter atau bidan senior. Tindakan episiotomi
profilaksis yang tidak terbukti memberikan manfaat untuk mencegah
robekan lain, hanya dilakukan atas indikasi klinis yang jelas seperti
perineum yang tebal dan kaku.
Follow up dan penanganan kehamilan
selanjutnya2
Wanita simptomatik dengan luka yang parah sebaiknya ditawarkan untuk
dilakukan repair sekunder sfingter dan pada kehamilan selanjutnya
sebaiknya dilakukan seksio sesarea. Wanita dengan gejala ringan
sebaiknya ditatalaksana dengan mengatur jenis makanan dan menghindari
makanan yang memproduksi gas, pengaturan aktivitas usus, bulking
agents, zat yang memiliki khasiat konstipasi seperti loperamide dan kodein
fosfat, dan biofeedback. Wanita grup ini memiliki risiko yang meningkat
pada persalinan pervaginam berikutnya dan sebaiknya ditawarkan untuk
dilakukan seksio. Risiko terjadinya robekan derajat 3 yang berulang
sebanyak 3 kali rendah, namun tidak terdapat penelitian acak yang telah
dilakukan untuk mengevaluasi keuntungan dari tindakan seksio sesarea
secara rutin.
Morbiditas dan mortalitas maternal lebih tinggi pada
persalinan pervaginam walau dibandingkan dengan
kehamilan risiko rendah dan seksio sesarea elektif
(Sultan & Stanton, 1996). Dengan seksio sesarea terjadi
peningkatan risiko adenomiosis, plasenta previa,
plasenta akreta dan histerektomi obstetri, trombosis
vena dalam dan emboli paru, yang sebaiknya juga
dicantumkan dalam melakukan konseling. Saat ini harus
terdapat kesadaran untuk membuat persalinan
pervaginam lebih aman dengan memusatkan pada
tindakan pelatihan dan edukasi, kecenderungan
penggunaan vakum, membatasi tindakan episiotomi,
perbaikan teknik persalinan pervaginam dan seksio
sesarea yang lebih selektif.