Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Giovany Dea Christella Hendrawan
15.I1.0170
2018
PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP PEWARNA
ALAMI DAN PEWARNA SINTETIK PADA
PRODUK SUSU UHT STROBERI
Oleh:
Giovany Dea Christella Hendrawan
15.I1.0170
2018
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat kasih-
Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kerja Praktek dengan judul “PERSEPSI
KONSUMEN TERHADAP PEWARNA ALAMI DAN PEWARNA SINTETIK PADA
PRODUK SUSU UHT STROBERI”. Laporan Kerja Praktek ini disusun berdasarkan
hasil kegiatan kerja praktek yang telah dilakukan di PT. Frisian Flag Indonesia selama 42
hari. Penulisan laporan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian di Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang.
Banyak sekali ilmu, pengalaman, keterampilan, dan pemahaman yang penulis dapatkan
selama kegiatan kerja praktek dan juga selama proses penulisan laporan kerja praktek ini
terutama mengenai produk susu di PT. Frisian Flag Indonesia. Penulis menyadari bahwa
selama pelaksanaan kerja praktek dan penyusunan laporan ini tentunya tidak lepas dari
bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan penyertaan-Nya yang senantiasa diberikan
kepada penulis.
2. Bapak Dr. R. Probo Y. Nugrahaedi, S.TP., M.Sc. selaku Dekan Fakultas Teknologi
Pertanian, Program Studi Teknologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang.
3. Ibu Meiliana, S.Gz., M.S. selaku dosen pembimbing akademik serta dosen
Koordinator Kerja Praktek yang telah membantu memberikan saran dan
membimbing selama kegiatan kerja praktek dan penulisan laporan.
4. Bapak Aryono Bambang Ardhyo selaku manager corp. research and development
PT. Frisian Flag Indonesia yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada
penulis untuk kerja praktek di departemen R&D.
5. Ibu Astri Kusuma selaku koordinator kerja praktek di departemen R&D PT. Frisian
Flag Indonesia yang telah memberikan informasi mengenai kerja praktek.
iii
iv
6. Bapak Ahmad Johari, S.Si. selaku pembimbing lapangan divisi liquid yang telah
memberi pengarahan dan bimbingan dalam proses kerja praktek dan penulisan
laporan kerja praktek.
7. Seluruh karyawan departemen R&D PT. Frisian Flag Indonesia: Mas Putra, Mas
Aswan, Pak Yuli, Mas Adit, Mba Nini, Mba Agatha, Mba Regina, Mas Rio, dan Mas
Ido.
8. Bapak Adi Saputra selaku laboran R&D PT. Frisian Flag Indonesia yang telah
membantu selama proses pelaksanaan kerja praktek.
9. Keluarga yang telah memberi dukungan baik dalam bentuk materiil maupun moril
kepada penulis selama pelaksanaan kerja praktek hingga terselesaikannya laporan
kerja praktek ini.
10. Jean Karmel, Yohanna Sofiani, Frida Marcia, Yasinta Apsarina, Ulfianiza Rachmah,
dan Muchammad Fathur yang telah bersama-sama dengan penulis melaksanakan
kerja praktek di PT. Frisian Flag Indonesia.
11. Seluruh sahabat, rekan, dan pihak-pihak Fakultas Teknologi Pertanian yang turut
mendukung penulis hingga terselesaikannya laporan kerja praktek.
12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam pelaksanaan
kerja praktek maupun penulisan laporan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu.
Penulis menyadari bahwa laporan kerja praktek ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, penulis terbuka akan adanya saran maupun kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada
para pembaca dan semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan para
pembaca.
Penulis
v
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.2. Tujuan............................................................................................................. 2
2. PROFIL PERUSAHAAN..................................................................................... 4
5.2. Tujuan........................................................................................................... 33
6.1. Kesimpulan................................................................................................... 47
8. LAMPIRAN ....................................................................................................... 53
8.1. Perhitungan................................................................................................... 53
8.2. Scoresheet..................................................................................................... 54
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
1. PENDAHULUAN
Pada era globalisasi saat ini, dunia berkembang sangat pesat dimana produk, pemikiran,
aspek kebudayaan dan informasi lainnya mudah diakses dari segala pejuru dunia. Era ini
memungkinkan kita untuk mengembangkan diri dalam berbagai kehidupan untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat dunia. Peningkatan kualitas hidup ini ditunjang
dari berbagai aspek, mulai dari aspek teknologi terutama dalam bidang pangan. Hal ini
dikarenakan populasi masyarakat dunia semakin meningkat tetapi tidak diimbangi
dengan kecukupan kuantitas dan kualitas bahan pangan. Sebagai mahasiswa Program
Studi Teknologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, kami dituntut
untuk memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas terhadap teknologi terkini dan
globalisasi terutama dalam bidang pangan dan gizi.
Pengetahuan mengenai bahan pangan beserta gizi telah kami dapatkan selama
perkuliahan, namun pengetahuan yang kami terima hanya berupa teori dan praktek dalam
bentuk kegiatan praktikum, serta Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Namun kami menyadari
bahwa ilmu yang kami dapatkan selama perkuliahan, baik teori maupun praktek belum
cukup untuk memenuhi tuntutan perkembangan teknologi yang pesat terutama dalam
dunia kerja industri pangan. Oleh karena itu kami membutuhkan praktek yang
sesungguhnya melalui Kerja Praktek (KP) sehingga kami dapat mengetahui situasi yang
nyata saat dilapangan, mendapat tambahan pengetahuan dan pengalaman, serta wawasan
mengenai dunia kerja.
Kerja Praktek (KP) merupakan salah satu mata kuliah yang wajib di ambil untuk
mahasiswa semester IV/V dalam Program Studi Teknologi Pangan. Lama kerja dalam
1
2
Kerja Praktek ini adalah minimal 20 hari kerja. Dengan adanya KP, mahasiswa Program
Studi Teknologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang diharapkan
mampu menerapkan segala teori dasar yang telah diperoleh selama perkuliahan saat
bekerja di industri pangan, serta mampu mempersiapkan diri untuk memasuki dunia
kerja nantinya. Dengan mengikuti Kerja Praktek ini, diharapkan mahasiswa akan lebih
memahami lingkungan kerja dan dunia keprofesiannya dalam dunia pangan. Selama
Kerja Praktek, mahasiswa dapat menerapkan secara langsung teori dan ilmu-ilmu yang
telah didapatkan selama perkuliahan. Salah satu perusahan yang relevan minat kami di
bidang dairy products terutama pada pengolahan susu adalah PT. Frisian Flag Indonesia.
PT. Frisian Flag Indonesia adalah produsen produk dairy dengan merek dagang Frisian
Flag atau susu bendera. Selama lebih dari 90 tahun Frisian Flag telah mengembangkan
berbagai macam produk bernutrisi dan berkualitas untuk segala usia dan kalangan di
Indonesia. PT. Frisian Flag sendiri mempunyai program Gerakan Nusantara sejak tahun
2013 yang merupakan program tanggung jawab sosial Frisian Flag yang bekerja sama
dengan pemerintah untuk mengedukasi masyarakat Indonesia akan pentingnya
mengkonsumsi susu secara teratur. Program ini menunjukkan bahwa Frisian Flag juga
ingin memajukan pola pikir mayarakat Indonesia.
1.2. Tujuan
Tujuan dari Kerja Praktek ini, antara lain:
- Menerapkan dasar-dasar teori yang telah didapatkan selama masa perkuliahan di dunia
pekerjaan.
- Menambah wawasan dan ilmu terutama yang berkaitan dengan bidang pangan.
- Mendapatkan gambaran nyata mengenai dunia kerja.
- Menambah pengetahuan tentang mesin dan peralatan produksi serta prinsipnya dalam
pengolahan produk.
- Mengetahui masalah – masalah yang terkait di bidang pangan yang muncul pada saat
bekerja di lapangan dan berusaha mencari solusi untuk masalah tersebut.
3
2.1. Sejarah
Selama lebih dari 90 tahun, PT. Frisian Flag Indonesia telah menjadi bagian dari
pertumbuhan keluarga Indonesia dan berkontribusi membantu anak-anak Indonesia
meraih potensinya melalui produk-produk yang bernutrisi tepat. PT. Frisian Flag
Indonesia merupakan produsen produk nutrisi berbasis susu terkemuka di Indonesia yang
berada di bawah naungan lisensi Royal Friesland Campina. Friesland Campina
merupakan sebuah perusahaan multinasional yang berpusat di Belanda dan
beranggotakan lebih dari 12.000 peternak sapi perah di Belanda dan Jerman, serta
memiliki lebih dari 23.000 karyawan di 100 perusahaan yang tersebar di 34 negara. PT.
Frisian Flag Indonesia sendiri sekarang menaungi lebih dari 6.000 karyawan yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Sejarah Royal Friesland Campina sendiri dimulai sejak tahun 1871 ketika para peternak
sapi perah bergabung dan membentuk koperasi karena keterbatasan mesin pendingin
sehingga harus menjalin kerjasama dengan pihak lokal agar dapat mendistribusikan
produk susu mereka secara cepat ke tangan konsumen. Namun, seiring dengan
meningkatnya produksi susu, peternak mencari cara terbaik agar produk mereka bisa
tahan lebih lama, karena harus melalui jalur distribusi yang panjang. Pada tahun 1913,
sekitar 30 koperasi memutuskan untuk mendirikan suatu perusahaan dan pabrik
pengolahan susu di Leeuwarden yang bernama De Cooperatieve Condensfabriek
Friesland (CCF). CCF mengolah susu yang dihasilkan oleh peternak menggunakan
metode penguapan dan memasarkannya secara nasional maupun internasional. Pada
tahun 1922, namanya berubah menjadi Friesland Campina. Di tahun yang sama,
“Friesche Vlag” terdaftar sebagai merk dagang mereka dengan unsur visual dan nama
yang diambil dari bendera di daerah Friesland, Belanda Utara. Selain itu, pada tahun 1922
pula produk susu kaleng Friesche Vlag pertama kali diekspor ke Hindia Belanda, salah
satunya adalah Batavia, Indonesia. Sejak saat itu, sejarah Frisian Flag mulai berkembang
di Indonesia.
4
5
Susu kental manis dan produk susu Friesche Vlag lainnya dipromosikan dan dijual oleh
para mitra bisnis di seluruh penjuru Indonesia. Produk-produk Friesche Vlag kemudian
lebih dikenal dengan nama “Soesoe Tjap Bendera” atau Susu Bendera. Namun, peredaran
Susu Bendera sempat terhenti ketika Belanda terusir oleh penjajahan Jepang. Hal ini
menyebabkan produk Susu Bendera tidak dapat dikirim ke Indonesia karena terjadi
blokade kapal asing oleh pihak Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1950-an, produk susu kental manis Friesche
Vlag didatangkan kembali dari Belanda dan mulai dipasarkan secara lokal. Hingga
kemudian pada tahun 1968, PT. Friesche Vlag Indonesia didirikan melalui kemitraan
CCF dan sebuah perusahaan lokal. Pada tahun 1969, pabrik di Pasar Rebo mulai dibangun
dan memproduksi susu kental manis pertama pada tahun 1971 yang kemudian
didistribusikan ke seluruh penjuru Indonesia. Pada tahun 1976, PT. Foremost Indonesia
dan pabrik di Ciracas diambil alih sehingga PT. Friesche Vlag Indonesia memiliki dua
pabrik yaitu di Pasar Rebo dan Ciracas. PT. Friesche Vlag Indonesia mulai memproduksi
susu bubuk di tahun 1979. Selanjutnya pada tahun 1985, dilakukan pemasangan jalur
penerimaan susu murni dan pada tahun berikutnya dipasang jalur spray dried. Sehingga
pada tahun 1988, susu pertumbuhan (GUM) dan infant milk formula (IMF) mulai
diproduksi di pabrik Pasar Rebo. Pemasangan jalur susu cair steril Ultra High
Temperature (UHT) kemasan karton pack dan sterilized kemasan botol dilakukan di
pabrik Ciracas pada tahun 1993, dan pada tahun yang sama, diadakan pemasangan jalur
susu kental manis kedua di Ciracas.
Pada tahun 2000, seluruh produk PT. Friesche Vlag Indonesia mendapat sertifikan halal
dari LPPOM-MUI. Pada tahun 2002 mendapatkan sertifikat HACCP untuk produk susu
cair dan susu kental manis, dan ditahun yang sama, PT. Friesche Vlag Indonesia berubah
nama menjadi PT. Frisian Flag Indonesia. Kemudian di tahun 2003, PT. Frisian Flag
Indonesia di Pasar Rebo dijadikan kantor pusat. Tahun 2005, PT. Frisian Flag Indonesia
meluncurkan produk Omela. Pada tanggal 10 Desember 2010, PT. Frisian Flag Indonesia
melakukan pembaharuan logo perusahaan. Perubahan logo PT. Frisian Flag Indonesia
dapat dilihat pada gambar 1.
6
Tahun 2012 menjadi momen penting PT. Frisian Flag Indonesia karena menandai 90
tahun keberadaan produk Frisian Flag di Indonesia. Pada tahun 2013, produk FRISO
mulai dipasarkan di Indonesia, dan pada tahun 2016, produk susu cair coconut delight
diluncurkan. Hal ini membuktikan bahwa hingga kini PT. Frisian Flag Indonesia masih
terus melanjutkan komitmennya untuk berkontribusi menyediakan produk bergizi bagi
keluarga Indonesia.
Sebagai bagian dari Friesland Campina, PT. Frisian Flag Indonesia mengacu pada
pengalaman global dan kemitraan secara jangka panjang dengan peternak sapi perah lokal
agar dapat menghasilkan susu dengan nutrisi terbaik. Dalam produksi dan distribusinya,
PT. Frisian Flag Indonesia mengacu pada standar nasional dan internasional dan
7
menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP). Selain itu dalam hal pengendalian
mutu produknya sampai ke tangan konsumen, PT. Frisian Flag Indonesia menerapkan
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan OHSAS (Occupational Health and
Safety Assessment Series. Hingga saat ini, PT. Frisian Flag Indonesia telah mendapat
berbagai penghargaan seperti Indonesia Most Influential Brand tahun 2016, Penghargaan
Industri Hijau 2016 dan 2017, Penghargaan Lingkungan Hidup 2016, Penghargaan
Implementasi Kawasan Bebas Rokok di Lingkungan Kerja tahun 2014, Asia
Sustainability Excellence Award 2014 for Dairy Development Program, dan masih
banyak penghargaan lainnya. Selain itu, PT. Frisian Flag Indonesia telah memiliki
sertifikat ISO 9001:2008 untuk Sistem Manajemen Mutu, sertifikat ISO 14001:2004
untuk Sistem Manajemen Lingkungan, ISO 22000:2005 untuk Total Quality
Management, dan ISO 17025 untuk laboratory. Pada tahun 2013, PT. Frisian Flag
Indonesia mendapatkan penghargaan World Class yang menunjukkan bahwa PT. Frisian
Flag Indonesia merupakan salah satu produsen produk susu yang terdepan.
Area pabrik terbagi menjadi tiga bangunan. Bangunan pertama terdiri dari ruang kantor
dan staff untuk administrasi perusahaan, gudang, dan laboratorium departemen
pengendalian mutu (QC). Bangunan kedua berisi ruang proses produksi susu kental manis
(SCM processing), ruang pengemasan susu kental manis (SCM packaging), ruang
evaporasi, ruang CIP (Clean in Place), penerimaan susu murni, gudang, kantor, ruang
spray dryer (powder processing), ruang pengemasan susu bubuk (powder packaging),
dan laboratorium kecil untuk uji kualitas susu murni. Bangunan ketiga terdiri dari power
house, kantin, ruang binatu (laundry), ruang ganti pakaian, toilet, dan mushola.
Secara geografis, batas-batas sekitar lokasi Pabrik PT. Frisian Flag Indonesia Plant Pasar
Rebo adalah:
Sebelah utara : Pemukiman penduduk
Sebelah selatan : Jalan TB Simatupang
Sebelah barat : Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo
Sebelah timur : Jalan Raya Bogor
PT. Frisian Flag Indonesia sudah memenuhi kategori persyaratan Perusahaan Olahan
Pangan menurut peraturan menteri Perindustrian dalam CPPOB. PT. Frisian Flag
Indonesia tidak berlokasi di lingkungan yang tercemar, lingkungan jalan yang tergenang,
9
banyak sampah, dan lingkungan terbuka di luar banguan pabrik tidak digunakan untuk
kegiatan produksi.
Corporate R&D
2.5. Ketenagakerjaan
Hingga saat ini, PT. Frisian Flag Indonesia memiliki setidaknya 2500 pekerja yang
sebagian besar merupakan tenaga kerja domestik, tetapi terdapat juga beberapa tenaga
kerja asing. Sistem hubungan kerja kepegawaiannya terbagi menjadi dua kelompok yaitu
karyawan tetap dan karyawan tidak tetap. Karyawan tetap tidak memiliki tenggang waktu
untuk hubungan kerja, mengikuti hari dan jam kerja yang berlaku, sedangkan karyawan
tidak tetap memiliki tenggang waktu untuk hubungan kerja, mengikuti hari dan jam kerja
yang berlaku. Karyawan tidak tetap biasanya adalah karyawan yang masih dalam masa
10
Regulasi bagi seluruh karyawan disusun untuk tetap menjaga budaya disiplin di PT.
Frisian Flag Indonesia. Setiap pelanggaran yang terjadi akan disikapi dengan tegas
melalui surat peringatan lisan atau tertulis tingkat satu, dua, dan tiga. PT. Frisian Flag
Indonesia juga memberikan uang pensiun kepada karyawan yang telah mencapai usia
pensiun dan juga menyediakan berbagai tunjangan untuk karyawannya seperti tunjangan
hari raya, tunjangan akhir tahun, dan asuransi kecelakaan 24 jam. Selain itu juga terdapat
fasilitas kesehatan dan keselamatan kerja, tunjangan transportasi, makan pagi dan siang,
dan kesehatan. Setiap bulannya perusahaan juga memberikan jatah susu hasil
produksinya kepada karyawan sesuai dengan ketentuan perusahaan.
Jumlah jam kerja bagi seluruh karyawan PT. Frisian Flag Indonesia adalah 40 jam kerja
per minggu. Karyawan kantor di PT. Frisian Flag Indonesia bekerja secara reguler dari
hari Senin hingga Jumat mulai jam 08.00 – 16.30 dan hari Sabtu hingga Minggu libur.
Karyawan yang berkaitan dengan kegiatan operasional produksi seperti karyawan
produksi, warehouse, dan logistik terbagi ke dalam 3 shift per hari. Bagi karyawan yang
bekerja melebihi 40 jam kerja dalam satu minggu akan mendapat upah lembur sesuai
dengan ketentuan perusahaan. Selain itu, setiap karyawan berhak mendapatkan jatah cuti
tahunan sebanyak 12 hari kerja yang tidak dapat diakumulasikan. Karyawan wanita juga
berhak mendapatkan cuti hamil.
11
3. SPESIFIKASI PRODUK
Susu Bubuk
1
Ibu & Balita
11
12
Frisian Flag
Langkah
6-12 Bulan
Susu Frisomum
Gold
11
13
Frisian Flag
Purefarm Full
Cream
Susu Bubuk
2
Keluarga
Frisian Flag
Purefarm Cokelat
11
14
Frisian Flag
Purefarm Instant
11
15
Purefarm Flavour
Milk
Milky Kotak
Milky Botol
11
16
Kids
Frisian Flag
Susu Kental
4 Bendera Kental
Manis
Manis
Frisian Flag
Bendera Cokelat
11
17
Omela Krimer
Kental Manis
11
18
Distributor Ekspor
Grosir
Supermarket Pengecer
Konsumen Konsumen
Gambar 4. Rantai Pemasaran Produk yang Dihasilkan PT. Frisian Flag Indonesia
Tahapan pemasaran produk tersebut dinilai cukup efisien dikarenakan alurnya perjalanan
produk dari pabrik hingga ke tangan konsumen tidak terlalu panjang sehingga mutu
produk masih terjaga.
11
4. DEPARTEMEN RESEARCH AND DEVELOPMENT DIVISI LIQUID PT.
FRISIAN FLAG INDONESIA
Departemen Research and Development (R&D) memiliki tugas untuk melakukan riset
dan pengembangan produk baik produk baru maupun produk yang telah beredar di
pasaran. Selama kerja praktek di R&D PT. Frisian Flag Indonesia, penulis ditempatkan
di divisi liquid atau susu cair. Pekerjaan rutin yang harus dilakukan selama kerja praktek
ini adalah untuk menguji umur simpan (shelf-life) produk yang akan dirilis ke pasaran
dan untuk membuat prototype produk yang akan dirilis ke pasaran (dapat berupa produk
baru maupun penyempurnaan produk yang sudah ada) dalam skala laboratorium (lab
scale) sebelum dilanjutkan ke trial skala pabrik.
4.1. Shelf-Life
Susu merupakan cairan berwarna putih yang disekresi oleh kelenjar susu (glandula
mammae) pada mamalia betina untuk bahan makanan dan sumber gizi anaknya (Bylund,
1995). Karena kandungan gizinya yang sangat beragam, susu menjadi mudah rusak.
Pengolahan pada industri secara komersial bertujuan untuk memperpanjang umur simpan
produk tersebut. Pengujian umur simpan (shelf-life) harus dilakukan sebelum produk
dirilis ke pasaran untuk memastikan produk masih aman dikonsumsi hingga batas waktu
tertentu (Herawati, 2008). Pengujian umur simpan susu dilakukan untuk mengetahui
kondisi produk setiap periode waktu. Dalam pengujian umur simpan susu cair, parameter
yang diamati adalah uji organoleptik, pH, viskositas, dan warna.
Pengujian umur simpan biasanya menggunakan sampel yang disimpan pada suhu 5oC
(refrigerator), 30oC (suhu ruang), 40oC (inkubator). Pada kondisi penyimpanan suhu
40oC, susu akan mengalami penurunan kualitas lebih cepat dibanding suhu ruang maupun
refrigerator. Hal ini dikarenakan meningkatnya energi kinetik pada suhu tinggi sehingga
gerakan partikel dan molekul dalam susu terganggu, seperti protein lebih cepat
terdenaturasi dan stabilizer kehilangan kemampuannya (Arpah, 2001). Penyimpanan
pada suhu 40oC ini disebut sebagai metode accelerated shelf life testing (ASLT). Salah
satu keuntungan penggunaan metode ASLT ini adalah mempersingkat waktu pengujian
sehingga pengembangan produk menjadi lebih efisien. Menurut Richards et al. (2014),
19
20
kualitas produk yang disimpan pada suhu 30oC selama satu bulan setara dengan kualitas
produk yang disimpan pada suhu 40oC selama satu minggu.
4.1.1. Uji pH
Nilai pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman yang
dimiliki oleh suatu zat atau larutan. Nilai pH menunjukkan kadar ion hydrogen (H+)
dalam suatu zat atau larutan (Mulja & Suharman, 1995). Alat yang digunakan untuk
mengukur nilai pH pada produk susu cair di PT. Frisian Flag Indonesia adalah pH meter.
Alat pH meter yang digunakan dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. pH meter
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
20
21
Dalam pengujian viskositas susu cair, spindle yang digunakan adalah spindle nomor 1.
Sampel dituang ke dalam wadah yang telah disediakan kemudian spindle dicelupkan ke
dalam wadah tersebut sampai tanda garis spindle tertutup. Selanjutnya clamp lever
dilepaskan kemudian pembacaan skala dilakukan ketika jarum penunjuk skala sudah
stabil. Nilai viskositas diperoleh dari skala yang terbaca dikalikan dengan faktor konversi.
Besarnya faktor konversi tergantung dari nomor spindle dan kecepatan putar spindle.
Apabila menggunakan spindle nomor 1 dengan kecepatan putar 12 rpm, maka hasil yang
didapatkan dikalikan dengan faktor konversi sebesar 5.
21
22
Viskositas dari susu cair lebih besar dibandingkan dengan air karena susu mengandung
padatan yang terdispersi ke dalam bentuk larutan. Besarnya viskositas pada susu
tergantung dari komposisi susu, suhu, dan umur susu. Semakin banyak konsentrasi gula
dalam susu maka semakin tinggi pula nilai viskositasnya karena gula akan mengikat air
sehingga kadar padatan terlarut akan meningkat. Viskositas susu pada suhu rendah lebih
tinggi dibandingkan pada suhu tinggi. Semakin lama susu disimpan, viskositasnya akan
meningkat karena terjadi perubahan protein susu (Anema et al., 2014).
Alat Hunterlab dapat mengukur intensitas perubahan warna susu berdasarkan skala L*,
a*, b*. Nilai L* menunjukkan tingkat kecerahan warna sampel dan menyatakan cahaya
22
23
pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Nilai L* memiliki
skala 0 menyatakan warna hitam gelap hingga 100 yang menyatakan warna putih terang.
Nilai a* menunjukkan warna kromatik merah – hijau, nilai a* positif memiliki skala 0
sampai +80 dan menyatakan tingkat kemerahan sampel, nilai a* negatif memiliki skala 0
sampai -80 dan menyatakan tingkat kehijauan sampel. Nilai b* menunjukkan warna
kromatik kuning – biru, nilai b* positif memiliki skala 0 sampai +70 dan menyatakan
tingkat kekuningan sampel, nilai b* negative memiliki skala 0 sampai -70 dan
menyatakan tingkat kebiruan sampel (Arpah & Syarief, 2000).
Secara umum, produk yang umur simpannya lebih lama akan mengalami pemudaran
warna. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antar komponen dalam produk yang
menyebabkan kestabilan dan mutu produk menurun (Herawati, 2008). Selain itu,
penyimpanan pada suhu 40oC juga dapat menurunan intensitas warna. Hal ini
dikarenakan pada suhu yang lebih tinggi akan mempercepat kerusakan gugus kromofor
pada pigmen yang berdampak pada kerusakan warna (Winarti et al., 2008).
23
24
protein cross-linking antara kasein dengan protein whey. Omoarukhe et al. (2010)
menambahkan bahwa penambahan garam kalsium dalam pembuatan produk dapat
meningkatkan kecepatan sedimentasi produk, sedangkan penambahan trisodium sitrat
dan disodium hidrogen fosfat dapat mengurangi pembentukan sedimentasi.
Secara prinsip, karakteristik sensori pada masing-masing sampel akan diuji seorang
panelis. Setiap panel akan mengevaluasi sampel menggunakan skala interval yang terdiri
dari 5 poin penilaian untuk memperkirakan kemungkinan adanya penyimpangan produk
yang diuji dari produk standar. Nilai 5 untuk sampel yang memiliki karakteristik yang
sama dengan standar, nilai 4 menunjukkan sampel memiliki rasa yang sedikit berbeda
dengan standar, nilai 3 menunjukkan sampel memiliki rasa yang berbeda nyata dengan
standar, nilai 2 menunjukkan sampel memiliki rasa yang sangat berbeda nyata dengan
standar, dan nilai 1 menunjukkan sampel memiliki rasa yang sangat berbeda nyata sekali
dengan standar.
24
25
b. Air
Air merupakan komponen utama dalam susu, yaitu sekitar 84-89%. Kandungan air ini
berfungsi untuk melarutkan zat-zat yang terkandung di dalam susu dan untuk
mempertahankan bentuk susu sebagai larutan sehingga mudah dicerna (Hung & Zayas,
1992). Dalam proses pembuatan susu UHT cair, air yang digunakan jenisnya sama tetapi
treatment-nya berbeda. Air yang digunakan selama proses pembuatan adalah air biasa
sebagai bahan baku, dan air untuk standarisasi yang sebelumnya melalui beberapa
treatment. Air untuk bahan baku disaring dan dipanaskan hingga suhunya mencapai 70 oC
sebelum dicampurkan dengan bahan lainnya. Penggunaan air panas ini bertujuan untuk
25
26
memudahkan pencampuran bahan selama mixing yang mayoritas berbentuk bubuk. Air
untuk standarisasi sebelumnya telah di-treatment secara filtrasi dan kemudian
didinginkan lalu treatment menggunakan UV sehingga kandungan mikroorganismenya
berkurang. Air standarisasi ditambahkan ketika susu cair telah tercampur namun belum
memenuhi standar produk Frisian Flag.
d. Gula
Gula dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa. Sukrosa
sebagian besar didapat dari tebu (Hartel et al., 2018). Di PT. Frisian Flag sendiri terdapat
beberapa jenis gula yang digunakan pada produksi susu. Secara umum, gula yang
digunakan merupakan gula kristal yang telah dirafinasi. Penambahan gula pada
pembuatan susu cair adalah untuk meningkatkan rasa manis pada produk dan untuk
meningkatkan tekstur creamy pada susu.
26
27
g. Pewarna Makanan
Pewarna makanan merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memberikan maupun
memperbaiki warna pada produk. Pewarna makanan sintetik sering digunakan karena
harganya lebih ekonomis dan warnanya lebih stabil selama penyimpanan dibandingkan
pewarna alami. Pada produk susu cair stroberi, pewarna yang digunakan adalah Ponceau
4R CI 16255, sedangkan untuk produk susu cair cokelat tidak ditambahkan pewarna
karena warna cokelat didapatkan dari penambahan bubuk kakao.
h. Flavor (Perisa)
Flavor (perisa) merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperkuat dan
mempertegas rasa dan aroma produk. Pada produk susu cair stroberi, ditambahkan flavor
stroberi, pada produk susu cair cokelat ditambahkan flavor cokelat untuk meningkatkan
rasa cokelat produk.
27
28
Proses pembuatan susu UHT skala pabrik melewati beberapa tahapan yaitu pencampuran
bahan baku, penyaringan, pendinginan, standarisasi dalam storage tank, homogenisasi,
sterilisasi, cooling, penyimpanan dalam aseptic tank, dan aseptic filling. Susu UHT
dibuat dengan proses pemanasan pada suhu tinggi dalam waktu singkat yang bertujuan
untuk membunuh seluruh mikroorganisme. Pemanasan secara singkat bertujuan untuk
meminimalisir kerusakan yang signifikan pada susu. Proses pengolahan susu UHT dapat
dilihat pada gambar 8.
28
29
Tahap pertama dalam pembuatan susu UHT adalah pencampuran bahan baku (mixing).
Mixing dilakukan di dumping room dan pencampuran menggunakan dissolver tank yang
dilengkapi dengan agitator (pengaduk). Selanjutnya terdapat proses penyaringan untuk
memisahkan produk dengan pengotor maupun benda asing yang tidak diinginkan seperti
sisa bahan baku atau material yang tidak terlarut sempurna. Kemudian terjadi proses
pendinginan dengan suhu maksimal 15oC. Proses pendinginan berfungsi untuk mencegah
pertumbuhan mikroorganisme yang tahan terhadap panas. Proses ini sering disebut
sebagai thermal shock.
Produk selanjutnya masuk ke dalam storage tank untuk distandarisasi. Standarisasi ini
bertujuan untuk mengecek apakah susu yang akan diproduksi sudah sesuai dengan
standar yang ditetapkan sebelum masuk ke proses selanjutnya. Apabila produk telah
distandarisasi, produk masuk ke tahap homogenisasi. Homogenisasi bertujuan untuk
menyamakan ukuran partikel-partikel susu menggunakan tekanan 230 bar pada suhu
80oC. Homogenisasi susu dapat menstabilkan emulsi lemak sehingga tidak mudah
29
30
30
5. PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP PEWARNA ALAMI DAN
PEWARNA SINTETIK PADA PRODUK SUSU UHT STROBERI
Pewarna makanan dapat dibedakan menjadi beberapa kategori pembeda, yaitu asal
(alami, identik dengan alami, atau sintetik; organik dan inorganik), solubilitas (soluble
dan insoluble), dan kemampuan memberi warna (transparan dan opaque). Pewarna alami
biasanya diekstrak dari tanaman dan bisa juga dari sumber lain seperti serangga, alga,
cyanobacteria, dan jamur. Pewarna alami dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas
seperti tetrapirol (contoh: klorofil), tetraterpenoid (contoh: karotenoid), flavonoid
(contoh: antosianin), anthraquinone (contoh: karmin, lac, kirmizi, dan madder), dan
betalain (contoh: ubi bit merah) (Amchova et al, 2015). Pewarna alami dapat memicu
perubahan tekstur, aroma, dan flavor yang tidak diharapkan di produk. Pewarna alami
juga lebih tidak stabil dan konsisten, serta dapat berubah karakteristiknya bergantung
pada pH, vitamin, flavor, dan kandungan garam pada produk. Pewarna alami sendiri
mudah terkontaminasi trace metal yang tidak diharapkan, insektisida, herbisida, dan
bakteri (Griffiths, 2005). Pewarna identik dengan alami adalah pewarna buatan yang
sebenarnya dapat ditemukan di alam seperti karoten, canthaxanthin, dan riboflavin.
31
32
Pewarna sintetik merupakan pewarna buatan yang tidak dapat ditemukan di alam seperti
senyawa pewarna azo. Pewarna sintetik banyak digunakan karena dapat memberikan
warna yang lebih intens dan permanen dibandingkan pewarna alami, selain itu juga tidak
mempengaruhi flavor produk dan lebih stabil (Amchova et al., 2015). Pewarna sintetik
lebih mudah untuk diproduksi, murah, dan kepekatan warnanya tinggi sehingga hanya
membutuhkan jumlah yang sedikit. Pewarna sintetik mudah larut dan tercampur ke dalam
produk serta tidak menimbulkan flavor yang tidak diharapkan (Downham & Collins,
2000).
Penggunaan pewarna sendiri sudah dilegalkan sejak tahun 1880-an, dan hingga dekade
ini, sebagian besar industri masih menggunakan pewarna sintetik sebagai pewarna utama
produk pangan mereka. Jika dibandingkan dengan pewarna alami, pewarna sintetik
memang lebih stabil, tidak menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan, harga
produk dapat lebih murah karena jumlah yang digunakan sedikit dan harga pewarna
sintetik lebih murah dibandingkan pewarna alami. Selain itu, range warna dari pewarna
sintetik lebih besar dibandingkan pewarna alami dan warna yang dihasilkan oleh pewarna
sintetik lebih pekat dan terang, pewarna alami cenderung menghasilkan warna yang lebih
tipis, kusam dan pastel (Griffiths, 2005). Seiring berjalannya waktu banyak pewarna yang
sudah tidak diperbolehkan lagi karena ada beberapa bukti yang menunjukkan efek
samping dan toksisitas pada jangka panjang. Bukan hanya pewarna sintetik saja
melainkan pewarna yang berasal dari tumbuhan maupun hewan juga tidak diperbolehkan
(Martins et al., 2016).
Beberapa tahun belakangan, kepuasan konsumen tidak hanya didapatkan dari rasa,
penampilan, aroma, dan kemenarikan produk, melainkan juga dari sisi kesehatan.
Konsumen lebih memilih untuk mengkonsumsi produk yang menggunakan pewarna
alami dibandingkan pewarna sintetik. Konsumen merasa bahwa penggunaan natural
products lebih menyehatkan. Selain itu, ada penelitan yang menunjukkan bahwa pewarna
alami dapat berperan sebagai antioksidan dan juga pengawet (Martins et al., 2016).
Meskipun begitu, anak-anak dan remaja masih menyukai produk dengan warna yang
pekat dan terang (Griffiths, 2005). Hal ini menyebabkan industri berlomba-lomba
menggunakan pewarna alami tetapi tetap menghasilkan produk dengan warna yang
33
menarik (Martins et al., 2016). Walaupun begitu, informasi mengenai tingkat preferensi
konsumen mengenai pewarna alami dan pewarna sintetik yang digunakan industri
terutama pada produk susu masih sangat terbatas.
5.2. Tujuan
Mengetahui adanya perbedaan persepsi konsumen dari berbagai kalangan terhadap
penggunaan pewarna alami dan pewarna sintetis pada produk susu UHT stroberi yang
beredar di pasaran.
5.3. Metodologi
5.3.1. Penentuan Sampel
Sampel susu UHT stroberi dibeli di supermarket yang terletak di daerah Jakarta Timur.
Untuk mengurangi adanya bias dalam pengujian, sampel yang dipilih memiliki tanggal
kadaluarsa yang kurang lebih sama. Pengujian ini menggunakan 6 sampel dengan merek
yang berbeda-beda, antara lain Ultra Milk, Zee, Vidoran, Clevo, Frisian Flag, dan
Indomilk. Pewarna yang digunakan pada sampel dapat dilihat pada tabel 3.
Pengujian ranking hedonik ini dilakukan sebanyak dua kali dan setiap panelis diberi satu
nampan berisi enam sampel dan dua scoresheet. Pengujian pertama merupakan blind test
dimana panelis hanya diminta untuk mengurutkan tingkat preferensi mereka terhadap
warna sampel tanpa mengetahui jenis pewarna yang digunakan. Selanjutnya pada
pengujian kedua merupakan informed test dengan panelis yang sama, panelis akan
diberitahu mengenai jenis pewarna yang digunakan baik itu pewarna alami maupun
pewarna sintetik setelah itu panelis akan diminta untuk mengurutkan kembali tingkat
preferensi mereka terhadap warna sampel tersebut. Tingkat preferensi diurutkan
berdasarkan skala 1 (TIDAK SUKA) hingga 6 (SANGAT SUKA). Bentuk penyajian
sampel dan scoresheet dapat dilihat pada gambar 9, 10, dan 11.
35
8 3 1 2 6 4 5
9 3 2 1 5 4 6
10 2 1 3 6 4 5
11 1 2 3 5 4 6
12 3 1 2 6 4 5
13 3 1 2 4 5 6
14 2 1 3 4 6 5
15 1 2 3 4 5 6
Rata-
3,066667 1,266667 2,2 5 4,533333 4,933333
rata
Hasil sensori blind test pada tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai preferensi yang paling tinggi
secara berturut-turut adalah sampel 495, sampel 516, sampel 234, sampel 976, sampel
135, dan sampel 805. Sampel 495 (Clevo) memiliki tingkat preferensi paling tinggi yaitu
5, namun nilai ini tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan sampel 516 (Indomilk)
yaitu 4,933. Sampel 805 (Zee) memiliki tingkat preferensi terendah yaitu 1,267. Sampel
135 (Vidoran) memiliki tingkat preferensi sebesar 2,2, lalu sampel 976 (Ultra Milk)
memiliki tingkat preferensi sebesar 3,067, dan sampel 234 (Frisian Flag) memiliki tingkat
preferensi sebesar 4,533.
15 6 5 4 3 2 1
Rata-
4,866667 2,133333 3,133333 4,466667 3,266667 3,133333
rata
Hasil sensori informed test pada tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai preferensi yang paling
tinggi secara berturut-turut adalah sampel 976, sampel 495, sampel 234, sampel 135 dan
sampel 516, dan sampel 805. Sampel 976 (Ultra Milk) memiliki tingkat preferensi paling
tinggi yaitu 4,867, namun nilai ini tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan sampel
495 (Clevo) yaitu 4,467. Sampel 805 (Zee) memiliki tingkat preferensi terendah yaitu
2,133. Sampel 234 (Frisian Flag) memiliki tingkat preferensi sebesar 3,267, sementara
sampel 135 (Vidoran) dan sampel 516 (Indomilk) memiliki tingkat preferensi yang sama
yaitu sebesar 3,133
Rata-rata Preferensi 1
14,60%
23,49%
6,03%
10,48%
21,59%
23,81%
Gambar 12. Diagram Lingkaran (Pie Chart) Rata-rata Hasil Sensori Blind Test
Rata-rata Preferensi 2
14,92%
23,18%
15,56%
10,16%
21,27% 14,92%
Gambar 13. Diagram Lingkaran (Pie Chart) Rata-rata Hasil Sensori Informed Test
Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa persentase preferensi sampel 976, 805, dan 135
mengalami kenaikan, sedangkan sampel 495, 234, dan 516 mengalami penurunan.
Sampel 976 mengalami kenaikan persentase paling besar yaitu sebanyak 8.53%. Sampel
516 mengalami penurunan persentase paling besar yaitu sebanyak 8.57%.
5.5. Pembahasan
5.5.1. Metode Penelitian
Pada proyek ini, metode sensori yang digunakan adalah uji ranking hedonik. Menurut
Wahyudi (2006), pengujian organoleptik secara hedonik merupakan uji untuk
menentukan tingkat kesukaan atau penerimaan panelis terhadap produk. Uji hedonik
dibagi menjadi 3 kategori yaitu uji rating, uji kesukaan berpasangan, dan uji ranking
(Lawless & Heymann, 2010). Uji ranking hedonik bertujuan untuk menentukan produk
yang paling disukai dan umumnya dilakukan oleh panelis yang sudah terlatih maupun
belum terlatih (Wahyudi, 2006). Oleh karena itu, metode yang digunakan adalah uji
ranking.
Untuk mengetahui adanya perbedaan persepsi konsumen dilakukan dua jenis pengujian
sensori yaitu blind test dan informed test. Blind test merupakan suatu pengujian sensori
dimana panelis menguji sampel tanpa mengetahui informasi lebih lanjut mengenai sampel
tersebut. Pengujian ini sering dilakukan untuk menghindari bias yang bisa terjadi apabila
panelis mengetahui informasi tentang produk tersebut, seperti merek, komposisi, harga,
perbedaan antar sampel, dan lain-lain. Informasi lebih lanjut mengenai produk tersebut
dapat menimbulkan persepsi dan ekspektasi panelis yang menyebabkan hasil sensori
menjadi tidak valid. Informed test merupakan suatu pengujian sensori dimana panelis
diberikan informasi lebih lanjut mengenai produk tersebut seperti merek, komposisi,
harga, perbedaan antar sampel, dan lain-lain. Informed test biasanya dilakukan untuk
41
Beta karoten (β-carotene) merupakan pewarna merah alami dan pewarna identik dengan
alami menurut EU dan FDA. Pewarna ini larut minyak dan didapatkan dari ekstraksi
bahan-bahan alami seperti alga, wortel, dan minyak kelapa sawit. Meskipun begitu,
42
Ponceau 4R merupakan pewarna sintetik larut air yang biasa digunakan di industri
makanan untuk memberikan warna merah seperti pada produk permen, es krim, surimi,
dan minuman (König, 2015). Pewarna ini stabil terhadap paparan cahaya, panas, dan
asam, tetapi sedikit memudar ketika ada penambahan asam askorbat dan SO 2 (Pintea,
2007). Menurut BPOM No. 37 tahun 2013 mengenai Batas Maksimum Penggunaan BTP
Pewarna, batas konsumsi harian dari pewarna Ponceau 4R yang diperbolehkan adalah
sebanyak 0-4 mg/kg berat badan, dan untuk penggunaannya dalam produk minuman
berbasis susu maksimum sebanyak 70 mg/kg. Penggunaan Ponceau 4R dibeberapa negara
sudah mulai dikurangi karena dapat memicu ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disorder) pada anak-anak (Amchova et al., 2015). Ponceau 4R juga diduga bersifat
karsinogen dan sudah dilarang digunakan di Amerika Serikat dan beberapa negara
lainnya (Pintea, 2007).
Karmoisin (Azorubine atau Carmoisine atau Food Red 3) adalah pewarna sintetik yang
biasa digunakan di industri makanan, kosmetik, dan juga farmasi untuk memberikan
43
warna merah segar (Karunia, 2013). Karmoisin biasa digunakan pada produk selai,
yogurt, jelly, dan olahan roti (Amin et al., 2010). Karmoisin stabil terhadap paparan
cahaya, panas, dan asam (Pintea, 2007). ). Menurut BPOM No. 37 tahun 2013 mengenai
Batas Maksimum Penggunaan BTP Pewarna, batas konsumsi harian dari pewarna
Karmoisin yang diperbolehkan adalah sebanyak 0-4 mg/kg berat badan, dan untuk
penggunaannya dalam produk minuman berbasis susu maksimum sebanyak 70 mg/kg.
Karmoisin dapat menimbulkan reaksi alergi pada kulit dan bersifat karsinogenik apabila
dikonsumsi melebihi dosis aman (Karunia, 2013).
jika menggunakan pewarna alami karena ada kemungkinan perubahan warna selama
penyimpanan. Meskipun begitu, ada beberapa pewarna alami yang memiliki stabilitas
baik, seperti karotenoid yang tahan pada berbagai variasi pH tetapi tidak tahan paparan
cahaya dan oksidasi, karmin yang tahan paparan cahaya, oksidasi, dan panas tetapi tidak
tahan terhadap perubahan pH. Seiring perkembangan ilmu teknologi, saat ini sudah
terdapat jenis pewarna karmin yang tahap terhadap perubahan pH dan biasa digunakan
sebagai pewarna pada minuman karbonasi (Galaffu et al., 2015).
Penggunaan pewarna alami sendiri memang diasumsikan lebih sehat dibanding pewarna
sintetik. Pewarna alami juga tidak selamanya tidak memiliki efek samping dan
kekurangan. Pewarna Karmin sendiri diperoleh dari ekstrasi serangga yang menyebabkan
perdebatan masalah halal dan kosher (Galaffu et al., 2015). Karmin sendiri karena berasal
dari serangga penggunaannya dianggap tidak kosher, sedangkan dari sisi kehalalan,
karmin boleh digunakan tetapi beberapa menganggap bahwa karmin adalah makruh atau
sebaiknya tidak dikonsumsi, sehingga dalam penerapannya di Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslim sendiri juga cukup sulit. (Regenstein et al., 2003). Selain itu,
pewarna karmin memiliki kandungan protein yang cukup rendah namun dapat
menimbulkan reaksi alergi pada konsumen yang memiliki hipersensitivitas terhadap
protein, walaupun begitu masih belum ditemukan senyawa alergen dalam karmin.
Kemungkinan adanya senyawa alergen dalam karmin seharusnya cukup kecil karena
adanya proses pengolahan lebih lanjut dalam produk pangan, terlebih apabila senyawa
alergen tersebut tidak stabil terhadap panas. Reaksi alergi yang mungkin terjadi karena
penggunaan pewarna beta karoten sejauh ini belum ditemukan, alergi yang pernah
ditemukan terjadi karena konsumen memiliki hipersensitivitas terhadap vitamin A (Lucas
et al., 2001). Walaupun begitu, masih belum ada penelititan lebih lanjut lagi mengenai
reaksi alergi dan intoleransi yang mungkin terjadi dari penggunaan pewarna alami
(Martins et al., 2016). Masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak
dari penggunaan pewarna alami.
(Indomilk) yaitu sebesar 23,49%, sampel 234 (Frisian Flag) sebesar 21,59%, sampel 976
(Ultra Milk) sebesar 14,60%, sampel 135 (Vidoran) sebesar 10,48%, dan terakhir adalah
sampel 805 (Zee) sebesar 6,03%. Berdasarkan hasil secara blind test ini dapat dilihat
bahwa konsumen lebih menyukai sampel dengan warna yang cerah tetapi tidak terlalu
mencolok seperti pada merek Clevo, dan tidak menyukai warna yang pucat dan tidak
cerah seperti pada merek Zee. Konsumen memiliki persepsi bahwa warna dari susu
stroberi adalah merah muda yang cerah, sedangkan pada sampel dengan warna yang
terlalu mencolok seperti pada sampel Indomilk dan Frisian Flag diasumsikan
menggunakan banyak pewarna sintetik. Sampel Ultra Milk memiliki warna paling putih
dan hanya memiliki sedikit semu merah muda, sehingga beberapa konsumen berasumsi
bahwa sampel tersebut menggunakan pewarna alami dalam jumlah sedikit. Asumsi ini
lebih banyak dimiliki oleh panelis yang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi,
sedangkan pada panelis dengan tingkat pendidikan rendah, panelis lebih menyukai
sampel dengan warna yang mencolok seperti sampel Indomilk dan Frisian Flag dan tidak
menyukai sampel yang berwarna putih seperti sampel Ultra Milk.
Pada pengujian informed test, sampel yang paling disukai adalah sampel Ultra Milk yaitu
sebesar 23,18%, diikuti oleh sampel Clevo sebesar 21,27%, lalu sampel Frisian Flag
sebesar 15,56%, sampel Indomilk dan Vidoran sebesar 14,92%, dan yang kurang disukai
adalah sampel Zee sebesar 10,16%. Sesudah panelis diberitahu mengenai pewarna yang
digunakan pada setiap sampel, semua tingkat preferensi panelis berubah. Perubahan pada
tabel 7 menunjukkan perubahan paling signifikan terdapat pada sampel 976 dan 516.
Sampel 976 bertambah sebanyak 8,53% dan sampel 516 berkurang sebanyak 8,57%.
Sampel 495 menunjukkan perubahan paling kecil yaitu berkurang sebanyak 2,54%.
Sampel Ultra Milk memiliki tingkat preferensi paling tinggi karena menggunakan
pewarna alami walaupun warnanya cenderung putih. Sampel Zee dan Vidoran
menggunakan campuran antara pewarna alami dan sintetik, pada panelis dengan tingkat
pendidikan yang cukup tinggi tingkat preferensi sampel ini tidak terlalu berubah karena
tetap menggunakan pewarna sintetik dan warnanya tidak menarik, tetapi pada panelis
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah tingkat preferensi sampel ini meningkat
karena mengandung pewarna alami walaupun warnanya tidak menarik. Sampel Clevo
tetap memiliki tingkat preferensi yang tinggi walaupun menggunakan pewarna sintetik
46
karena warnanya tidak seterang sampel Indomilk dan Frisian Flag. Pada panelis dengan
tingkat pendidikan rendah, sampel Indomilk dan Frisian Flag memiliki tingkat preferensi
terendah karena memiliki warna yang mencolok dan diasumsikan kandungan pewarna
sintetiknya tinggi, sedangkan pada panelis dengan tingkat pendidikan tinggi preferensi
sampel ini tetap tinggi karena penggunaan pewarna sintetik tidak masalah selama dosis
dan konsumsi yang tidak berlebihan, terlebih lagi pewarna sintetik dapat memberikan
warna terang yang diminati konsumen.
Bila dilihat dari pie chart 2 bahwa sampel Ultra Jaya yang menggunakan pewarna alami
adalah yang paling disukai diikuti oleh sampel Clevo yang menggunakan pewarna
sintetik namun paling disukai menurut blind test. Konsumen di Indonesia sendiri
cenderung menyukai produk dengan pewarna alami dibandingkan pewarna sintetik, akan
tetapi konsumen juga menghendaki produk tersebut memiliki warna yang menarik.
Pewarna alami sebenarnya dapat menghasilkan warna yang menarik, tapi dosis
penambahannya lebih tinggi dibanding pewarna sintetik karena tingkat kepekatan warna
yang berbeda (Galaffu et al., 2015). Industri di Indonesia sendiri seharusnya sudah mulai
mempertimbangkan penggunaan pewarna alami di produk mereka karena konsumen
sendiri sudah mulai sadar akan bahaya konsumsi pewarna sintetik dalam jangka panjang.
Selain itu menurut Lawrence et al. (2009), semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka semakin besar dorongan untuk hidup sehat seperti mengkonsumsi buah dan sayur,
membaca food label sebelum membeli barang, dan lain-lain. Konsumen dengan tingkat
pendidikan yang lebih rendah cenderung tidak memedulikan kandungan atau bahan
tambahan apa yang digunakan pada produk, selama rasanya enak dan harganya murah
mereka tidak masalah. Oleh karena itu, industri juga harus mempertimbangkan biaya dari
penggunaan pewarna alami agar harga produk akhir tidak menjadi terlalu mahal.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Ada perbedaan tingkat preferensi konsumen sebelum dan sesudah mengetahui pewarna
yang digunakan pada sampel yang menunjukkan bahwa persepsi konsumen terhadap
penggunaan pewarna alami lebih baik dibandingkan pewarna sintetik.
6.2. Saran
PT. Frisian Flag saat ini masih menggunakan pewarna sintetik, akan lebih baik bila
menggunakan pewarna alami seperti misalnya karmin untuk produk susu UHT stroberi.
Namun, masih perlu dilakukan pengujian lebih lanjut lagi mengenai penggunaan pewarna
alami ini di produk susu UHT.
47
7. DAFTAR PUSTAKA
Abbey, J., B. Fields, dan M. O’Mullane. 2014. Food Additives: Colorants. Encyclopedia
of Food Safety Vol. 2: 459-465. Diakses dari:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123786128002250.
Amin, K. A., H. A. Hamied II, dan A. H. A. Elsttar. 2010. Effect of Food Azo Dyes
Tartrazine and Carmoisine on Biochemical Parameters Related to Renal, Hepatic
Function and Oxidative Stress Biomarkers in Young Male Rats. Food and
Chemical Toxicology Vol. 48: 2994-2999. Diakses dari:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0278691510004977.
Bohren, H. U., dan V. R. Wenner. Natural State of Milk Proteins. I. Composition of the
Micellar and Soluble Casein of Milk After Ultracentrifugal Sedimentation.
Journal of Dairy Science Vol. 44 (7):1213-1223. Diakses dari:
https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302(61)89872-X/abstract.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia., 2013. Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013
tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pewarna.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta. Diakses dari:
48
49
http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=Cwz64Bj9OPinOJI%2Bk4%2BRloz%2FF
tdUIuPm7dPnQTWo5xo%3D.
Bylund, G. 1995. Dairy Hand Processing Handbook. Tetra Pak Processing System AB
S-221 86 Lund. Sweden. Diakses dari:
http://197.14.51.10:81/pmb/AGROALIMENTAIRE/Lait%20et%20derives/Dair
y%20Processing%20Handbook.PDF.
Chen, Q., S. Mou, X. Hou, J. M. Riviello, dan Z. Ni. 1998. Determination of Eight
Synthetic Food Colorants in Drinks by High-Performance Ion Chromatography.
Journal of Chromatography A Vol. 827: 73-81. Diakses dari:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0021967398007596.
Downham, A. dan P. Collins. 2000. Coloring Our Foods in the Last and Next
Milennium. International Journal of Food Science and Technology Vol. 35: 5-22.
Diakses dari: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1046/j.1365-
2621.2000.00373.x.
Galaffu, N., K. Bortlik, dan M. Michel. 2015. An Industry Perspective on Natural Food
Colour Stability. Dalam Scotter, M. (eds) Colour Additives for Foods and
Beverages 1st ed. Woodhead Publishing. Oxford. Diakses dari:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9781782420118000052.
Griffiths, J. C. 2005. Coloring Foods & Beverages. Food Technology Vol. 59 (5): 38-
44. Diakses dari:
https://www.researchgate.net/publication/292389883_Coloring_foods_beverage
s.
Hartel, R. W., J. H. von Elbe, dan R. Hofberger. 2018. Confectionery Science and
Technology. Springer International Publishing. Switzerland. Diakses dari:
https://www.springer.com/gp/book/9783319617404.
49
50
Herawati, H. 2008. Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan. Jurnal Litbang
Pertanian Vol. 27 (4): 124-130. Diakses dari:
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3274082.pdf.
Hung, S. C., dan J. F. Zayas. 1992. Protein Solubility, Water Retention,and Fat Binding
of Corn Germ Protein Flour Compared with Milk Proteins. Journal of Food
Science Vol. 57 (2): 372-376. Diakses dari:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1365-2621.1992.tb05497.x.
Karunia, F. B. 2013. Kajian Penggunaan Zat Adiktif Makanan (Pemanis dan Pewarna)
pada Kudapan Bahan Pangan Lokal di Pasar Kota Semarang. Food Science and
Culinary Education Journal Vol. 2(2): 72-78. Diakses dari:
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/fsce/article/view/2781.
König, J. 2015. Food Colour Additives of Synthetic Origin. Dalam Scotter, M. (eds)
Colour Additives for Foods and Beverages 1st ed. Woodhead Publishing. Oxford.
Diakses dari:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9781782420118000027.
Lawless, H. T., dan H. Heymann. 2010. Sensory Evaluation of Food: Principles and
Practices, Second Edition. Springer. New York. Diakses dari:
https://www.springer.com/gp/book/9781441964878.
Lucas, C. D., J. B. Hallagan, dan S. L. Taylor. 2001. The Role of Natural Color
Additives in Food Allergy. Advances in Food and Nutrition Research Vol. 43:
195-216. Diakses dari:
https://www.researchgate.net/publication/12047496_The_role_of_natural_color
_additives_in_food_allergy.
50
51
Moller, F., Larsen R., dan Carstensen J. M. 2012. Imaging Food Quality. Tehnical
University of Denmark. Kongens Lyngby. Denmark. Diakses dari:
http://orbit.dtu.dk/files/74150670/phd288_Moeller_F.pdf.
Regenstein, J. M., M. M. Chaudry, dan C. E. Regenstein. 2003. The Kosher and Halal
Food Laws. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety Vol. 2:
111-127. Diakses dari: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1541-
4337.2003.tb00018.x.
Schmidt, K. 1994. Effect of Milk Proteins and Stabilizer on Ice Milk Quality. Journal
of Food Quality Vol. 17 (1): 9-19. Diakses dari:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1745-4557.1994.tb00127.x.
Schweppe, H., dan H. Roosen-Runge. 1986. Carmine – Cochineal Carmine and Kermes
Carmine. dalam Feller, R. L. (eds) Artists’ Pigments: A Handbook of Their
History and Characteristics Volume 1. Washington Archetype Publications.
London. Diakses dari: https://www.nga.gov/research/publications/pdf-
library/artists-pigments-vol-1.html.
51
52
Stich, E. 2016. Food Color and Coloring Food: Quality, Differentiation and Regulatory
Requirements in the European Union and the United States. Handbook on Natural
Pigments in Food and Beverages. Elsevier: United Kingdom. Diakses dari:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780081003718000014.
Wahyudi, M. 2006. Proses Pembuatan dan Analisis Mutu Yogurt. Buletin Teknik
Pertanian Vol. 11 (1): 12- 16. Diakses dari:
http://blog.ub.ac.id/airintan/files/2013/12/bt111064.pdf.
Winarti, S., U. Sarofa, dan D. Anggrahini. 2008. Ekstraksi dan Stabilitas Warna Ubi
Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) sebagai Pewarna Alami. Jurnal Teknik Kimia
Vol. 3 (1): 207-214. Diakses dari:
http://ejournal.upnjatim.ac.id/index.php/tekkim/article/view/102.
52
8. LAMPIRAN
8.1. Perhitungan
8.1.1. Perhitungan Persentase Rata-rata Hasil Sensori 1
rata−rata tingkat preferensi
Rumus = Persentase tingkat preferensi = x 100%
nilai rata−rata total sampel
Sampel 976
3,067
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
= 14,603%
Sampel 805
1,267
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
= 6,032%
Sampel 135
2,2
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
=10,476%
Sampel 495
5
Persentase tingkat preferensi = 21 x 100%
= 23,810%
Sampel 234
4,533
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
= 21,587%
Sampel 516
4,933
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
= 23,492%
53
54
Nilai rata-rata total sampel = 4,867 + 2,133 + 3,133 + 4,467 + 3,267 + 3,133
= 21
Sampel 976
4,867
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
= 23,175%
Sampel 805
2,133
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
= 10,159%
Sampel 135
3,133
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
=14,920%
Sampel 495
4,467
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
= 21,27%
Sampel 234
3,267
Persentase tingkat preferensi = x 100%
21
= 15,555%
Sampel 516
3,133
Persentase tingkat preferensi = 21
x 100%
= 14,921%
8.2. Scoresheet
8.2.1. Scoresheet Blind Test