Anda di halaman 1dari 18

CKD (Chronic Kidney Disease) et causa Batu Ginjal

1. DEFINISI
Gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal yang progresif
dan terus-menerus. Gagal ginjal kronis dapat timbul dari hampir semua
penyakit. Selain itu pada individu yang rentan, nefropati analgesic,
destruksi papilla ginjal yang terkait dengan pamakaian harian obat-obatan
analgesic selama bertahun-tahun dapat menyebabkan gagal ginjal kronis.
Apa pun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang
ditandai dengan penurunan GFR yang progresif. (Corwin, 2009)
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius.
Batu terbentuk di dalam traktus ketika konsentrasi substansi tertentu
seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu
juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi substansi tertentu, seperti
sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain
yang mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urine dan status
cairan klien (batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi) (Brunner &
Suddarth 2002).
Urolitiasis adalah Batu ginjal (kalkulus) bentuk deposit mineral, paling
umum oksalat Ca2+ dan fosfat Ca2+, namun asam urat dan kristal lain
juga membentuk batu, meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk dimana
saja dari saluran perkemihan, batu ini paling sering ditemukan pada pelvis
dan kalik ginjal. (Marilynn E, Doenges 2002).

2. ETIOLOGI
Batu ginjal kebanyakan tidak diketahui penyebabnya. Namun ada
beberapa macam penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal,
antara lain : renal tubular acidosis dan medullary sponge kidney. Secara
epidemiologi terdapat dua factor yang mempermudah/ mempengaruhi
terjadinya batu pada saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor ini
adalah faktor intrinsik, yang merupakan keadaan yang berasal dari tubuh
seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu pengaruh yang berasal dan
lingkungan disekitarnya.
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Umur
Penyakit batu saluran kemih paling sering didapatkan pada usia 30-50
tahun.
b. Hereditair (keturunan).
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya. Dilaporkan bahwa
pada orang yang secara genetika berbakat terkena penyakit batu saluran
kemih, konsumsi vitamin C yang mana dalam vitamin C tersebut banyak
mengandung kalsium oksalat yang tinggi akan memudahkan
terbentuknya batu saluran kemih, begitu pula dengan konsumsi vitamin
D dosis tinggi, karena vitamin D menyebabkan absorbsi kalsium dalam
usus meningkat.
c. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibanding dengan pasien
perempuan.
Faktor ekstrinsiknya antara lain adalah:
a. Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
b. Diet Obat sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan
terbentuknya batu saluran kemih, karena obat sitostatik bersifat
meningkatkan asam urat dalam tubuh. Diet banyak purin, oksalat, dan
kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih.
c. Iklim dan temperatur Individu yang menetap di daerah beriklim panas
dengan paparan sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami
dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D3 (memicu peningkatan
ekskresi kalsium dan oksalat), sehingga insiden batu saluran kemih akan
meningkat.
d. Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaanya banyak duduk
atau kurang aktifitas (sedentary life)
e. Istirahat (bedrest) yang terlalu lama, misalnya karena sakit juga dapat
menyebabkan terjadinya penyakit batu saluran kemih.
f. Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah
ston belt (sabuk batu).

3. KLASIFIKASI
Jenis batu ginjal yang paling sering (lebih dari 80 %) adalah yang
terbentuk dari kristal kalsium oksalat. Pendapat konvensional mengatakan
bahwa konsumsi kalsium dalam jumlah besar dapat memicu terjadinya
batu ginjal. Namun, bukti-bukti terbaru malah menyatakan bahwa
konsumsi kalsium dalam jumlah sedikitlah yang memicu terjadinya batu
ginjal ini. Hal ini disebabkan karena dengan sedikitnya kalsium yang
dikonsumsi, maka oksalat yang diserap tubuh semakin banyak. Oksalat ini
kemudian melalui ginjal dan dibuang ke urin. Dalam urin, oksalat
merupakan zat yang mudah membentuk endapan kalsium oksalat. Jenis
batu yang lain adalah yang terbentuk dari struvit (magnesium, ammonium,
dan fosfat), asam urat, kalsium fosfat, dan sistin.
- Batu struvit dihubungkan dengan adanya bakteri pemecah urea seperti
Proteus mirabilis, spesies Klebsiela, Seratia, dan Providensia. Bakteri
ini memecah urea menjadi ammonia yang pada akhirnya menurunkan
keasaman urin.
- Batu asam urat sering terjadi pada penderita gout, leukemia, dan
gangguan metabolism asam-basa. Semua penyakit ini menyebabkan
peningkatan asam urat dalam tubuh.
- Batu kalsium fosfat sering berhubungan dengan hiperparatiroidisme
dan renal tubular acidosis.
- Batu sistin berhubungan dengan orang yang menderita sistinuria.

4. PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu pada ginjal umumnya membutuhkan keadaan
supersaturasi. Namun pada urin normal, ditemukan adanya zat inhibitor
pembentuk batu. Pada kondisi-kondisi tertentu, terdapat zat reaktan yang
dapat menginduksi pembentukan batu. Adanya hambatan aliran urin,
kelainan bawaan pada pelvikalises, hiperplasia prostat benigna, striktura,
dan buli bulineurogenik diduga ikut berperan dalam proses pembentukan
batu.Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan
organik maupun anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal
tersebut akan tetap berada pada posisi metastable (tetap terlarut)dalam urin
jika tidak ada keadaan-keadaan yang menyebabkan presipitasi kristal.
Apabila kristal mengalami presipitasi membentuk inti batu, yang
kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan yang lain
sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Kristal akan mengendap pada
epitel saluran kemih dan membentuk batu yang cukup besar untuk
menyumbat saluran kemih sehingga nantinya dapat menimbulkan gejala
klinis. Krista yang menumpuk dalam ginjal, nantinya akan meningkatkan
beban kerja ginjal yang apabila terjadi terus- menerus akan dapat
menyebabkan kerusakan nefron. Kerusakan nefron yang terjadi akan
berdampak pada sebagian besar fungsi filtrasi ginjal sehingga dapat
menurunkan laju filtrasi ginjal dan ginjal akan mengalami kehilangan
fungsi dan apabila ginjal sudah tidak dapat mengkompensasi akan
terjadilah CKD atau gagal ginjal kronik.
Penderita nefrolitiasis sering mendapatkan keluhan rasa nyeri pada
pinggang ke arah bawah dan depan. Nyeri dapat bersifat kolik atau non
kolik. Nyeri dapat menetap dan terasa sangat hebat. Mual dan muntah
sering hadir, namun demam jarang di jumpai pada penderita. Dapat juga
muncul adanya bruto atau mikrohematuria.
5. MANIFESTASI KLINIS
Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak
batu, tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker,
2009). Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien
urolithiasis:
a. Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu
nyeri kolik dan non kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya
stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi resistensi dan
iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009). Nyeri kolik juga
karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun
ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada
saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan
intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan pada
terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2012).
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal
karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo,
2012) sehingga menyebabkan nyeri hebat dengan peningkatan
produksi prostglandin E2 ginjal (O’Callaghan, 2009). Rasa nyeri
akan bertambah berat apabila batu bergerak turun dan
menyebabkan obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah) akan
menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan labia mayora
pada wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari
urolithiasis, khsusnya nefrolithiasis (Brunner & Suddart, 2015).
b. Gangguan miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin
(urine flow) mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk
miksi secara spontan. Pada pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran
kemih terjadi di ginjal sehingga urin yang masuk ke vesika urinaria
mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien uretrolithiasis,
obstruksi urin terjadi di saluran paling akhir sehingga kekuatan
untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan pada saluran
menyebabkan urin stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan ukuran
kecil mungkin dapat keluar secara spontan setelah melalui
hambatan pada perbatasan ureteropelvik, saat ureter menyilang
vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli (Purnomo,
2012).
c. Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter)
sering mengalami desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang
keluar. Keadaan ini akan menimbulkan gesekan yang disebabkan
oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan bercampur dengan darah
(hematuria) (Brunner & Suddart, 2015). Hematuria tidak selalu
terjadi pada pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran
kemih utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria
yang masive, hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya
dan memiliki sensitivitas yang tinggi dan didukung jika
karakteristik batu yang tajam pada sisinya (Brooker, 2009)
d. Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi
ketidaknyamanan pada pasien karena nyeri yang sangat hebat
sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan memacu sekresi
HCl pada lambung (Brooker, 2009). Selain itu, hal ini juga dapat
disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun
gejala gastrointestinal biasanya tidak ada (Portis & Sundaram,
2001)
e. Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke
tempat lain. Tanda demam yang disertai dengan hipotensi,
palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan tanda
terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan dibidang
urologi, dalam hal iniharus secepatnya ditentukan letak kelainan
anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis
dan segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian
antibiotik (Purnomo, 2012)
f. Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika
urinaria akan menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika.
Oleh karena itu, akan teraba bendungan (distensi) pada waktu
dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker, 2009)

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien batu kandung
kemih adalah :
a) Urinalisa
Warna kuning, coklat atau gelap.
b) Foto KUB
Menunjukkan ukuran ginjal ureter dan ureter, menunjukan adanya batu.
c) Endoskopi ginjal
Menentukan pelvis ginjal, mengeluarkan batu yang kecil.
d) EKG
Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit.
e) Foto Rontgen
Menunjukan adanya di dalam kandung kemih yang abnormal.
f) IVP ( intra venous pylografi )
Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih,membedakan
derajat obstruksi kandung kemih divertikuli kandung kemih dan
penebalan abnormal otot kandung kemih.
g) Vesikolitektomi ( sectio alta )
Mengangkat batu vesika urinari atau kandung kemih.
h) Litotripsi bergelombang kejut ekstra korporeal.
Prosedur menghancurkan batu ginjal dg gelombang kejut.
i) Pielogram retrograde
Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih.
Diagnosis ditegakan dg studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi
intravena atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dg urine dalam 24
jam untuk mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume
total merupakan upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta
adanya riwayat batu ginjal, ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di
dapatkan untuk mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya
batu kandung kemih pada klien.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Sekitar 90 % dari batu ginjal yang berukuran 4 mm dapat keluar dengan
sendirinya melalui urin. Namun, kebanyakan batu berukuran lebih dari 6
mm memerlukan intervensi. Pada beberapa kasus, batu yang berukuran
kecil yang tidak menimbulkan gejala, dapat diobservasi selama 30 hari
untuk melihat apakah dapat keluar dengan sendirinya sebelum diputuskan
untuk dilakukan intervensi bedah. Tindakan bedah yang cepat, perlu
dilakukan pada pasien yang hanya mempunyai satu ginjal, nyeri yang
sangat hebat, atau adanya ginjal yang terinfeksi yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian.
Penghilang rasa sakit
Obat penghilang rasa sakit yang paling cocok untuk nyeri karena batu
ginjal adalah golongan narkotika seperti morfin, demerol, atau dilaudid.
Namun standar saat ini untuk menghilangkan nyeri akut karena batu ginjal
adalah penyuntikan ketorolak melalui pembuluh darah.
Intervensi bedah
a) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), tehnik ini
menggunakan getaran gelombang untuk memecahkan batu dari luar
sehingga batu menjadi serpihan kecil yang pada akhirnya dapat keluar
dengan sendirinya.
b) Percutaneus nephrolithotomy atau pembedahan terbuka dapat dilakukan
pada batu ginjal yang besar atau yang mengalami komplikasi atau untuk
batu yang tidak berhasil dikeluarkan dengan cara ESWL.
8. KOMPLIKASI
Antara 70-90% Kristal berukuran kecil dapat berjalan di dalam
saluran kemihdan meninggalkan tubuh melalui urin tanpa diketahui
sebelumnya. Ketika terjadigejala atau tanda klinis, batu ginjal dapat
didiskripsikan sebagai suatu penyakit yangnyerinya sakit sekali yang
dikenal dengan Renal Colic.Perbedaan penatalaksanaan dan ukuran dari
batu mengakibatkan beberap komplikasi diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Sepsis
Infeksi yang sudah menyebar melaului darah bisa
menimbulkan gejala/ tanda klinis dari komplikasi di seluruh tubuh.
b. Steinstrasse
Suatu kondisi dimana terjadi penyumbatan yang diakibatkan batu-
batu tersebut berada pada ureter. Dapat mengakibatkan suatu obstruksi
yang bersifat sementara dan tanpa meninggalkan luka yang tidak
permanen.Dalam beberapa kasus obstruksi terjadi tanpa ada gejala.
Infeksi mungkin saja terjadi. Dimana harus membutuhkan penanganan
yang cepat dan tepat.
c. Adanya luka dalam ureter
Ketika batu tersebut menggores dinding saluran kemih maka bisa
terjadi luka dalam ureter. Bisa terjadi di seluruh permukaan saluran
kemih.
d. Infeksi pada saluran kemih ( termasuk di dalam steinstrasse )
e. Pendarahan pada saat operasi
f. Rasa sakit yang luar biasa
g. Penyakit Ginjal Kronis
Pasien dengan btu ginjal, tinggi resiko untuk terkena
penyakit ginjalkronik. Didukung oleh faktor resiko seperti diabetes
mellitus, tekanandarah tinggi, atau pernah terjadi infeksi saluran
kemih.
h. Gagal ginjal
Jarang sekali batu ginjal mengakibatkan gagal ginjal. Namun
beberapaorang memiliki faktor resiko yang membuat komplikasi lebih
serius lagiseperti banyaknya jumlah batu yang terbentuk,
terjadinya obstruksi riwayat pernah melalukan pengobatan batu
ginjal, dan besarnya dari batutersebut.

9. DIAGNOSA KEPARAWATAN
a. Diagnosis khas pada batu ginjal
 Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi/dorongan
kontraksi ureteral, trauma jaringan sekunder terhadap urolithiasis.
 Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan iritasi ginjal/ureteral,
obstruksi mekanik dan inflamasi.
 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan mual/muntah dan diuresis pasca obstruksi.
 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi, dan tidak mengenal sumber informasi.
b. Diagnosa Post OP Pyelolitotomi Urolithiasis meliputi:
 Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan
 Resiko infeksi berhubungan dengan Invasi kuman pada luka operasi
 Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan Interupsi
mekanis pada kulit / jaringan. Perubahan sirkulasi, efek – efek yang
ditimbulkan oleh medikasi; akumulasi drain; perubahan status
metabolis.
 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi, dan tidak mengenal sumber informasi.
c. Pre Hemodialisa
- Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung
yang meningkat
- Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan
penyakit ginjal (CKD)
- Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran alrveolar kapiler (edema paru)
- Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
(peningkatan usaha nafas)
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
suplai O2 dan kebutuhan
- Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
haluaran urine, diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
- Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh
karena retensi Na dan H2O)
- Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
- Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis
(pembengkakan renal)
- Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik
serta kadar asam basa dalam tubuh.
d. Intra Hemodialisa
- Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area
insersi saat dan setelah pemasangan AV shunt
- Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses
hemodialisa yang mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
- Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
- Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder
terhadap penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
e. Post Hemodialisa
- Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
- Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
- Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan sindrom ketidak seimbangan dialisa

1.1. Rencana Keperawatan


No Diagnosa - Tujuan/KH Intervensi
1 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan askep ... NIC: Toleransi aktivitas
B.d jam Klien dapat menoleransi 1) Tentukan penyebab
ketidakseimbangan aktivitas & melakukan ADL intoleransi aktivitas &
suplai & kebutuhan dgn baik tentukan apakah penyebab
O2 Kriteria Hasil: dari fisik, psikis/motivasi
- Berpartisipasi dalam 2) Kaji kesesuaian
aktivitas fisik dgn TD, aktivitas&istirahat klien
HR, RR yang sesuai sehari-hari
- Warna kulit 3) ↑ aktivitas secara bertahap,
normal,hangat&kering biarkan klien berpartisipasi
- Memverbalisasikan dapat perubahan posisi,
pentingnya aktivitas berpindah&perawatan diri
secara bertahap 4) Pastikan klien mengubah
- Mengekspresikan posisi secara bertahap.
pengertian pentingnya Monitor gejala intoleransi
keseimbangan latihan aktivitas
& istirahat 5) Ketika membantu klien
- ↑toleransi aktivitas berdiri, observasi gejala
intoleransi spt mual, pucat,
pusing, gangguan
kesadaran&tanda vital
6) Lakukan latihan ROM jika
klien tidak dapat menoleransi
aktivitas
2 Resiko kekurangan NOC: NIC :
volume cairan b.d - Fluid balance Fluid management
Mekanisme - Hydration 1. Monitor status hidrasi
peredaran - Nutritional Status : (kelembaban membran
darah/cairan tidak Food and Fluid Intake mukosa, nadi adekuat,
efektif (proses Setelah dilakukan tindakan tekanan darah ortostatik)
dialisis berlangsung keperawatan selama 5 jam 2. Monitor vital sign
diharapkan defisit volume 3. Monitor masukan makanan /
cairan tidak terjadi dengan cairan selama interdialisis
Kriteria Hasil : 4. Monitor status nutrisi
- Tekanan darah, nadi, 5. Dorong keluarga untuk
suhu tubuh dalam membantu pasien makan
batas normal 6. Kolaborasi dokter jika tanda
- Tidak ada tanda tanda cairan berlebih muncul
dehidrasi, Elastisitas meburuk
turgor kulit baik, 7. Atur kemungkinan tranfusi
membran mukosa 8. Persiapan untukkemungkinan
lembab, tidak ada rasa tranfusi
haus yang berlebihan
3 Kelebihan volume - Setelah dilakukan Fluid management:
cairan b.d. askep ..... jam pasien 1) Monitor status hidrasi
mekanisme mengalami (kelembaban membran
pengaturan keseimbangan cairan mukosa, nadi adekuat)
melemah dan elektrolit. 2) Monitor tnada vital
- Kriteria hasil: 3) Monitor adanya indikasi
- Bebas dari edema overload/retraksi
anasarka, efusi 4) Kaji daerah edema jika ada
- Suara paru bersih Fluid monitoring:
- Tanda vital dalam 1) Monitor intake/output cairan
batas normal 2) Monitor serum albumin dan
protein total
3) Monitor RR, HR
4) Monitor turgor kulit dan
adanya kehausan
5) Monitor warna, kualitas dan
BJ urine
4 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askep ….. Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari jam klien menunjukan status 1) kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh nutrisi adekuat dibuktikan 2) Kaji adanya alergi makanan.
dengan BB stabil tidak terjadi 3) Kaji makanan yang disukai
mal nutrisi, tingkat energi oleh klien.
adekuat, masukan nutrisi 4) Kolaborasi dg ahli gizi untuk
adekuat penyediaan nutrisi terpilih
sesuai dengan kebutuhan
klien.
5) Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
6) Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung
cukup serat untuk mencegah
konstipasi.
7) Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien

Monitor Nutrisi
1) Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2) Monitor respon klien
terhadap situasi yang
mengharuskan klien makan.
3) Monitor lingkungan selama
makan.
4) jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
5) Monitor adanya mual
muntah.
6) Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
7) Monitor intake nutrisi dan
kalori.
5 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan askep ... Kontrol infeksi
tindakan invasive, jam risiko infeksi terkontrol 1) Ajarkan tehnik mencuci
penurunan daya dg tangan
tahan tubuh primer Kriteria hasil: 2) Ajarkan tanda-tanda infeksi
- Bebas dari tanda-tanda 3) laporkan dokter segera bila
infeksi ada tanda infeksi
- Angka leukosit normal 4) Batasi pengunjung
- Ps mengatakan tahu 5) Cuci tangan sebelum dan
tentang tanda-tanda sesudah merawat ps
dan gejala infeksi 6) Tingkatkan masukan gizi
yang cukup
7) Anjurkan istirahat cukup
8) Pastikan penanganan aseptic
daerah IV
9) Berikan PEN-KES tentang
risk infeksi
proteksi infeksi:
1) monitor tanda dan gejala
infeksi
2) Pantau hasil laboratorium
3) Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi
4) monitor VS
DAFTAR PUSTAKA
Basuki B. Dasar-dasar urologi.Malang: Sagung seto; 2015.hlm.93-100.
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6.
Jakarta : EGC
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., CushmanW.C., Green L.A., Izzo J.L.,
Jr., et al, 2003. The seventh report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure:
The JNC 7 Report. JAMA;289:2560-72.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.
David S. Goldfarb,MD.In the clinic nephrolithiasis.American College of
Physicians [internet]. 2009 [6 Agustus 2017]. Tersedia dari:
https://www.med.unc.edu/medselect/res
ources/course%20reading/ITC%20nephrol ithiasis.full.pdf
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000 . Nursing Care Plans :
Guidelines For Planning And Documenting Patients Care. Alih
bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC
Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi
FK-UI.
Gareth Beevers. Para patofisiologi hipertensi. British Medical Journal.
FindArticles.com.
Hanley JM, Saigal CS, Scales CD, Smith AC. Prevalences of kidney stone in the
United States. Journal European Association of Urology[internet].
2012[diakses tanggal 6 Agustus 2017]; 62(1):160-5.Tersedia dari:
http://journal.unnes.ac.id/index.php/kem as
Hopper D.P, dan William S.L. 2007. Understanding Medical Surgical Nursing
Third Edition. Philadelphia: FA Davis Company
HughesAD, Schachter M. Hypertension and blood vessels. Hughes AD, Schachter
M. Hipertensi dan pembuluh darah. Br Med Bull 1994;50:356-70. Br Med
Bull 1994; 50:356-70.
Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information
Clearinghouse (NKUDIC). the National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).
(http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta
:Sagung Seto
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients’
guide. (http://www.kidney.org.uk).
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai