PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep Landas Kontingen muncul pada tahun 1958 dalam Konvensi Jenewa yang dimana
“Landas Kontingen adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada diluar laut
territorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian
kontingen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang
digunakan untuk mengukur lebar laut territorial apabila sisi terluar tepian kontingen tidak
Untuk landas kontingen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya diluar
4/Prp/ Tahun 1960 yaitu wilayah diluar 12 mil laut dengan kedalaman sampai 200 meter atau
lebih dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.
Sedangkan kekayaan alam yang dapat dilakukan eksploitasi, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 adalah mineral dan sumber tak bernyawa lainya,
didasar laut dan/atau didalam lapisan tanah di bawahnya bersama-sama dengan organisme
hidup yang termasuk dalam jenis silindir, yaitu organisme yang pada masa perkembangannya
tidak bergerak baik di atas maupun dibawah dasar laut atau tidak dapat bergerak, kecuali
dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah di bawahnya.
Di Selat Malaka, Indonesia dan Malaysia sudah menetapkan garis batas landas
kontingen pada tahun 1969. Garis landas kontingen tersebut terbentang lurus di Selat
Malaka. Artinya, sudah ada kejelasan pembagian dasar laut dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya (minyak, gas, dll) di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia,
tetapi belum ada pembagian yang jelas untuk tubuh air dan kekayaan alam terkait terutama
ikan, sebagaimana kita ketahui, landas kontinen hanya membagi dasar laut saja.
B. Rumusan Masalah
d.
Jika melihat dari prinsip penguasaan dan berbagai laut antar negara, Negara Pantai (coastal
state) seperti Indonesia berhak menguasai kawasan laut (zona maritime) yang diatur dalam
Konvensi PBB tentang hukum laut atau di Indonesia dikenal dengan UNCLOS yang disahkan
pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, sebuah negara pantai berhak atas laut territorial (12 mil
laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif atau ZEE (200 mil laut).
1. Laut Teritorial
teritorialnya secara sepihak. Aturan hukum internasional yang mengatur tentang laut
territorial, dinyatakan dalam konvensi Den Haag 1930 bahwa “ Wilayah negara meliputi
suatu jalur laut yang dalam konvensi ini dinamakan laut territorial dan kedaulatan negara
pantai meliputi ruang udara diatas territorial, demikian pula dasar laut dari territorial dan
tanah dibawahnya.” Konvensi ini belum menetapkan lebar laut territorial yang menjadi hak
negara pantai. Sedangkan konvensi Jenewa 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur
Tambahan merumuskan bahwa laut territorial merupakan suatu jalur yang terletak sepanjang
pantai suatu negara yang berada di bawah kedaulatan negara. Konvensi ini belum juga
berbagai klaim mengenai lebar laut territorial, yakni mulai dari 3 mil – 6 mil, bahkan sampai
muncul pendapat bahwa negara-negara dapat menentukan batas laut teritorialnya sendiri.
Aturan hukum nasional yang mengatur mengenai laut territorial adalah UU No. 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia yang menetapkan bahwa lebar laut territorial Indonesia adalah 12
2. Zona Tambahan
Starke berpendapat bahwa zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang
berdekatan dengan batas jalur maritime, tidak termasuk kedaulatan negara pantai dapat
lainnya.
UNCLOS 1982 yaitu “Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut territorialnya, yang
dinamakan zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan
undangan tersebut diatas yang dilakukan di dalam wilayah laut teritorialnya.” Sedangkan
lebar zona tambahan ditetapkan maksimal 24 mil laut dari garis pangkal laut territorial.
Karena lebar zona tambahan diukur 24 mil laut dari garis pangkal laut territorial, maka harus
membuat Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang zona tambahan. Untuk itu,
peraturan perundangan yang dapat dijadikan sebagai dalam mengklaimatau menetapkan zona
tambahan ada;ah UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982.
3. Zona Ekonomi Eksklusif
Pasal 57 UNCLOS menyatakan bahwa ZEE adalah zona maritime yang diukur
dari pangkal hingga jarak 200 mil laut. Didalam ZEE, sebuah negara pantai memiliki hak
eksklusif untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam, kebebasan navigasi, hak
penerbangan udara, dan melakukan penanaman kabel serta jalur pipa. Sehubungan dengan
kabel dan jalur pipa, ini merupakan hak di laut bebas yang juga tetap memiliki oleh negara
Indonesia merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut utamanya yang menyangkut
keadaan ekonomi dalam pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya, sehingga upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat
bentangan wilayahnya yang 2/3 merupakan wilayah lautan, merupakan kondisi yang sangat
mengupayakannya. Dengan direalisasikanya wilayah ZEE Indonesia sejauh 200 mil laut,
membawa konsekuensi perubahan peta wilayah Indonesia dan aspek lainnya, yaitu:
1. Menambah luas wilayah Indonesia kurang lebih 1,5 juta mil persegi
terhadap pelanggaran wilayah dalam arti terjadinya pencurian hasil sumber daya hayati,
ZEE tidak mempunyai pengaruh di luar kegiatan pendayagunaan sumber daya alam hayati
maupun non hayati. Misalnya, untuk kegiatan pelayaran dan penerbangan masih dapat
dilakukan secara bebas (freedom of navigation and over flight) selain itu juga adanya
kebebasan dalam hal pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa di bawah laut (freedom of laying
kegiatan secara langsung dibidang yang lainnya. Mengingat bahwa di wilayah tersebut
Indonesia tidak mempunyai kedaulatan secara penuh, hal inoi di tegaskan dalam pasal 2
Undang-Undang No. 5 Tahun 1983, bahwa ZEE Indonesia adalah “jalur dan berbatasan
tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut tanah di bawahnya dan air di atasnya
dengan batas terluas sejauh 200 (dua ratus) mil laut yang diatur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia.” Bagi negara pantai seperti Indonesia, dengan adanya konvensi UNCLOS
1982 cenderung memperluas wilayah lautannya baik wilayah laut territorial dalam batas yang
telah ditentukan (maksimal 12 mil laut) atau hanya wilayah ekonomi eksklusif dengan segala
konsekuensi yang melekat. Dengan memperhatikan keadaan tersebut di atas pada Zona
a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan dan berupaya
untuk melindungi, melestarikan sumber daya alam yaitu menjaga dan memelihara keutuhan
ekosistem laut. Hak berdaulat dalam hal ini tidak sama dengan kedaulatan penuh yang
dimiliki dan dilaksanakan atas laut dan wilayah maupun perairan pedalaman.
b. Hak untuk melaksanakan penegakan hukum dilakukan oleh aparat yang menangani
perdamaian.
c. Hak untuk melaksanakan hot pursuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan
bangunannya.
nasionalnya, kecuali tidak bertentangan dengan hukum internasional baik yang berasal dari
perjanjian/traktat, konvensi dan sebagainya. Bagi negara pantai seperti halnya Indonesia,
zona ekonomi eksklusif merupakan wilayah yang mempunyai kedaulatan penuh dalam
kaitannya masalah ekonomi dan sangat memperhatikan segala kewajibannya yang berupa