Trauma Abdomen
Trauma Abdomen
TINJAUAN PUSTAKA
Abdomen merupakan bagian dari batang tubuh yang terletak di antara thorax
dan pelvis yang berbentuk fleksibel. Hampir semua organ pada sistem pencernaan
dan sebagian sistem urogenital terdapat di abdomen (Moore, 2014).
Pada abdomen, terdapat empat kuadran yang dibagi dari bagian midline dan
bagian transumbiical (Moore, 2014).
1) Hypocondriaca dextra
2) Epigastriaca
3
3) Hypocondriaca sinistra
4) Lateralis dextra
5) Umbilicalis
6) Lateralis sinistra
7) Inguinalis dextra
8) Pubica
9) Inguinalis sinistra
2.2.1. Defenisi
2.3.1. Etiologi
2.3.2. Mekanisme
3. Bursting
Kompresi external ke rongga perut akan menghasilkan peningkatan pada
tekanan intra abdominal dan pada lumen organ yang beronga dan akan
menyebabkan efek bursting.
2.3.4. Diagnosa
A. Anamnesis
Mekanisme cedera harus dieksplorasi seperti posis jatuh, asal ketinggian, jenis
alat yang melukai, kecepatan dan sebagainya.
B. Pemeriksaan Fisis
Beberapa pemeriksaan fisis pada trauma tumpul abdomen menurut Willacy
(2013), meliputi :
Inspeksi
Periksa abdomen untuk menentukan adanya tanda-tanda eksternal dari
cedera. Perhatikan tanda-tanda memar.
Orang terluka dalam kecelakaan mobil dapat hadir dengan 'seat belt sign'
(memar di sepanjang bagian sabuk pengaman), yang berhubungan dengan
tingkat tinggi cedera pada organ perut.
3
Auskultasi
Bising perut mungkin mengindikasikan penyakit vaskular yang mendasari
atau trauma arteriovenous fistula.
Selama auskultasi, raba dengan lembut abdomen pasien sambil melihat
respon pada pasien.
Perkusi
Nyeri merupakan tanda peritoneal saat dilakukan perkusi.
Evaluasi nyeri pada perkusi menunjukkan tindakan selanjutnya pada saat
bedah dilakukan.
Palpasi
Hati-hati saat melakukan palpasi, dan saat palpasi dilakukan, perhatikan
respon pada pasien. Perhatiakan juga massa yang abnormal, nyeri dan
luka.
3
C. Pemeriksaan Penunjang
2.3.5. Penatalaksanaan
2.4.1. Etiologi
Pada trauma tajam abdomen paling sering disebabkan oleh luka tusukan atau
luka yang terjadi akibat tembakan peluru. Organ yang paling sering mengalami
trauma adalah hati dan usus halus, hal ini disebabkan oleh karena organ organ ini
merupakan organ yang menempati ruangan yang paling luas pada kavum
abdomen. Dan biasannya trauma tajam abdomen sering disertai dengan trauma
dada, diafragma, atau retroperitoneal (kahan, 2012).
2.4.2. Mekanisme
Luka Tusuk
luka tusukan lebih umum daripada luka tembak dan biasanntya kurang
mematikan,
kecuali tusukan itu memasuki ruang retroperitoneal dan melukai pembuluh darah
besar atau pankreas. Beberapa tahun ini, laparotomi dianggap wajib untuk
menangani bentuk trauma tembus pada perut. Telah ditemukan bahwa 66% dari
penusukan memasuki rongga peritoneum tapi kurang dari hasil 50% di cedera
visceral mengharuskan operative repair. Oleh karena itu penerapan kebijakan
'pengamatan hamil' dapat dimanfaatkan. Artinya, mengamati pasien dengan hati-
hati dan secara teratur untuk tanda-tanda perdarahan internal yang atau peritonitis,
dan jika ada, laparotomiharus dilakukan secepatnya.
Luka tembus terkait dengan cedera pada usus, duodenum, ginjal dan struktur
pembuluh darah utama. Oleh karena itu cedera yang mengancam hidup mungkin
ada meskipun hemodinamik stabili dan peritoneal diagnostik negatif lavage (DPL,
di bawah). Dalam situasi ini sebagian besar ahli bedah memiliki ambang yang
rendah untuk awal eksplorasi perut, terutama jika cedera diduga melanggar batas
yang signifikan struktur retroperitoneal seperti ditunjukkan oleh radiologi.
3
Luka Tembak
Cedera akibat senjata api terkait dengan jenis senjata, lintasan rudal dan
jaringan atau organ yang terlibat. Potensi luka akibat peluru ditentukan sebagian
besar oleh energi kinetik nya (KE) di Dampak (KE = massa x kecepatan2). Luka
akibat peluru dapat dibagi menjadi kecepatan rendah (sipil cedera) dan kecepatan
tinggi (militer senjata). senjata kecepatan rendah kebanyakan memproduksi cedera
dengan mekanisme yang hanya menghancurkan dan merobek secara langsung.
Hal ini berbeda dengan kecepatan tinggi rudal yang menginduksi kavitasi jaringan
dan melukai organ padat, organ elastis seperti hati dan limpa (Wall jarrod, 2012).
2.4.3. Gejala Klinis
Tanda dan gejala trauma tembus abdomen tergantung pada berbagai faktor,
termasuk jenis senjata atau objek, bagaimana cedera terjadi, organ yang dapat
terluka, lokasi dan jumlah luka. Luka tembak disebabkan oleh rudal didorong oleh
pembakaran bubuk. luka ini melibatkan perpindahan energi tinggi dan, akibatnya
dapat menhgasilkan pola tak terduga dari cedera. rudal sekunder, seperti peluru
dan fragmen tulang, dapat menimbulkan kerusakan tambahan. luka tusukan
disebabkan oleh penetrasi dinding perut dengan benda tajam. Jenis luka umumnya
memiliki pola yang lebih dapat diprediksi (Offner, 2014).
Menurut Kahan (2012), gejala klinis pada trauma tembus abdomen adalah
adannya perdarahan yang berujung pada shock yang ditemukan dengan gambaran
hipotensi, takikardi, perubahan fungsi luhur, dan kulit yang teraba dingin dan
lembab, adannya nyeri tekan lokal ditempat luka atau nyeri tekan yang difusdan
dengan nyeri tekan lepas memberi kekan ke arah peritonitis, dan adannya luka
kemungkinan memperlihatkan tanda klinis perdarahan, eviserasi organ (misalnya
usus, omentum) atau drainase fekal atau isi usus halus.
2.4.4. Diagnosa
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis memiliki sensitivitas yang terbaik dan nilai prediksii untuk
evaluasi trauma tembus abdomen. Pasien dirawat untuk observasi selama 24 jam.
3
CT scan
Sebagai teknologi telah meningkat, CT scan menemukan peran penting dalam
evaluasi cedera tembus abdomen. Kebanyakan penelitian merekomendasikan
multidectector (multislice) scanner dengan protokol triple-kontras (intravena, lisan
dan dubur), meskipun tidak jelas betapa pentingnya kontras GI adalah untuk
mendeteksi cedera usus. Dari semua modalitas diagnostik yang terdaftar, CT
memberikan penilaian terbaik dari struktur retroperitoneal (Evaluation of
Penetrating Abdominal Trauma, 2006).
Pada pasien yang tidak stabil atau pasien yang dengan tanda trauma
intra-abdomen yang jelas (misalnya tanda peritoneal pada pemeriksaan,
trauma diafragma, udara bebas abdomen, eviserasi) sebaiknya dikirim ke
ruang operasi untuk menjalani operasi. Dan pasien yang mengalami
trauma pada lien dan hati dapat diterapi secara konservatif; bagaimanapun
pasien perlu dirawat di ICU untuk mendapatkan monitor yang ketat dan
menjalani pemeriksaan Hb serial (Kahan, 2012).
Pasien trauma abdomen tajam yang melakukan tatalaksana secara non
operatif haruslah berdasarkan dua faktor, yaitu stabil secara
haemaodinamik dan negatif peritonitis. Semua cedera haruslah
3
Lambung
Cedera tembus pada lambung sering terjadi, sementara ruptur tumpul
jarang terjadi kecuali terjadinya segera setelah pasien makan. Diagnosis cedera
3
lambung umumnya dibuat dari observasi adanya luka tembus atau keluarnya
cairan yang bercampur darah dari selang nasogastrik. Dalam ruang operasi,
kebanyakan perforasi lambung akibat trauma tumpul, besar dan disertai dengan
kontaminasi luas dari abdomen bagian atas. Hematoma sepanjang kurvatura
mayor dan minor harus dibuka pada setiap pasien dengan luka tembus, karena ada
kemungkinan menutupi perforasi tersembunyi (Schwartz, 2006).
Duodenum
Cedera organ ini sukar didiagnosis karena umumnya retroperitoneal dan
cairan duodenum bisa menyebabkan iritasi ringan. Adanya cedera ini patut
dicurigai pada pasien pasien yang mendapat hentakan atau tendangan keras
langsung seperti terkena kemudi pada abdomen bagian atas atau dada bagian
bawah. Nyeri pada testis seharusnya membangkitkan kecurigaan adanya ruptur
duodenum. Demikian pula adanya nyeri alih bahu, dada, punggung bisa
dihubungkan dengan perforasi duodenum dan usus halus.
Pada pasien, baik dengan trauma tumpul maupun trauma tembus, perforasi
duodenum sering terlewatkan karena pendekatan yang tidak kuat atau kelalaian
ahli bedahnya. Pada pasien dengan hematoma retroperitoneal dekat duodenum
atau adanya krepitasi atau adanya cairan yang bercampur dengan empedu
sepanjang sisi lateral duodenum, maka seluruh duodenum retroperitoneal harus
dibuka dengan tindakan kocher. Bagian ketiga dan keempat dari duodenum akan
tampak dengan menggerakkan sekum, kolon dekstra, fleksura kolon hepatik,
mesenterium organ organ tersebut termasuk ligamentum Treitz ke arah atas.
Ketika pasien diduga menderita cedera duodenum yang tak terdiagnosis,
eksplorasi ulangan akan menunjukkan elevasi dari peritoneum posterior dengan
edema yang tampak seperti kaca bening, fat necrosis pada kolon asendens dan
transversal dan flegmon retroperitoneal (Schwartz, 2006).
Usus Halus
Delapan puluh persen cedera usus terjadi di antara pertemuan
duodenojejunal dan ileum terminalis, dengan masing masing 10% di duodenum
3
dan usus besar. Pada trauma tumpul usus halus bisa terjepit antara kemudi mobil
dan kolumna vertebralis, atau ruptur karena tenaga robekan dan regangan pada
abdomen. Mesenterium dapat terluka, terutama karena cedera sabuk pengaman
yang menyebabkan terputusnya pasokan darah. Cedera tembus terutama karena
pisau dan peluru kecepatan rendah, biasanya akan mengakibatkan perforasi
segmen usus yang berdekatan dengan tempat cedera (Schwartz, 2006).
Kolon
Pada cedera kolon, kebanyakan telah dilakukan eksteriosasi sebagai
kolostomi; namun demikian, pengalaman akhir akhir ini dalam masyarakat,
penatalaksanaan luka perforasi akibat pisau dan akibat peluru kecepatan rendah
dengan pendekatan tradisional tersebut telah ditentang.
Etiologi cedera tumpul kolon jarang terjadi dan dapat diakibatkan oleh instrumen
selama proses sigmoidoskopi, pemberian enema, atau pun tingkah laku seksual.
Penetrasi yang karena kurang berhati hati pada kolon atau rektum bisa terjadi
selama operasi pelvis yang sulit, sama seperti yang terjadi karena akibat kekerasan
misalnya senjata api dan pisau (Schwartz, 2006).
Hepar
Lebih kurang 80% cedera pada hepar disebabkan trauma tembus,
sementara 15-20% terjadi klarena trauma tumpul. Beberapa tahun terakhir ini
seluruh angka kematian pasien dengan trauma hepar, seperti luka tusuk angka
kematiannya hanya 1%, sementara cedera hepar yang besar melibatkan vena
hepatika angka kematiannya berkisar 45-50%. Ruptur hepar diketahui dengan CT
scan, dan dapat ditangani tanpa operasi jika tidak terjadi hipotensi yang bermakna
(Schwartz, 2006).
Kandung Empedu
Luka tembus atau cedera avulsi kandung empedu paling baik ditangani
dengan kolesistektomi; walaupun demikian pada pasien yang tidak stabil dapat
dikerjakan kolesistektomi dengan selang. Pasca operasi dikerjakan kolangiorgam
3
Pankreas
Lebih kurang 70% cedera pankreas umumnya disebabkan oleh trauma
tembus, sisanya 30% karena trauma tumpul. Pada pasien dengan trauma tumpul,
cedera ini bisa tersamar karena tidak ada tanda tanda nyeri abdomen, kenaikan
serum amilase yang tidak spesifik. Hanya 65% pasien yang memperlihatkan
kenaikan kadar serum amilase, walaupun dengan transeksi lengkap. Tanpa tanda
rangsang pertoneum, kenaikan serum amilase bukan merupakan
indikasilaparatomi eksplorasi (Schwartz, 2006).
Limpa
Limpa merupakan organ abdomen yang paling sering mengalami cedera
akibat trauma tumpul ; cedera limpa terjadi pada seperempat dari trauma tumpul
organ visera. Lebih kurang 30 sampai 40 persen pasien dengan cedera limpa
menunjukkan tekanan sistolik di bawah 100 mmHg. Tanda tanda lain yang sangat
meyakinkan adanya cedera limpa yaitu l riwayat cedera yang walaupun ringan,
diikuti oleh nyeri abdomen terutama kuadran kiri atas ; nyeri bahu kiri ; dan
sinkop. Elevasi tungkai di tempat tidur atau tekanan pada regio subkostal kiri
kadang kala menimbulkan nyeri pada puncak bahu kiri. Ciri diagnostik termasuk ;
peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari 15.000, foto
rontgen yang memperlihatkan fraktur iga kiri bawah, letak lambung bergeser,
gambaran tepilimpa menghilang. Pada kasus meragukan dilakukan parasentesis
abdominal dan bilasan peritoneum diagnostik yang sangat membantu menegakkan
diagnosis (Schwartz, 2006). luka tembus pada limpa dapat menyebabkan
perdarahan yang signifikan. cedera vaskular dapat diperbaiki, termasuk jumlah
avulsion dan laserasi yang luas dapat dilakukan indikasi splenektomi. limpa
benar-benar harus dimobilizied agar tidak melukai pankreas. jika ada laserasi
segera diperbaiki (Maxey, 2014).
3
usia
Jenis kelamin
Trauma Abdomen
yang menjalani
Faktor penyebab
laparatomi
Organ yang
cedera
Jenis trauma
3
Daftar Pustaka
American College of Surgeons (ACS). (2012). Advanced Trauma Life Support for
Students (ATLS). United Stated of America .
BAB III
METODE PENELITIAN
5. Jenis trauma
a. Defenisi
3
b. Cara pengukuran
c. Alat ukur
d. Hasil pengukuran
e. Skala pengukuran
3.6.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan seluruh rekam
medik pasien trauma abdomen yang menjalani laparatomi selama tahun 2012-2015
yang terdapat di bagian rekam medik RSUD DR Pirngadi Medan. Pada rekam medik
tersebut dilihat variabel yang akan diteliti.
3.7. Pengolahan dan Analisis Data
Metode statistik yang digunakan untuk menganalisa data pada penelitian ini
adalah statistik univariat. Statistik univariat adalah prosedur untuk menjelaskan atau
mendeksripsikan karakteristik dari setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010).
Analisis univariat ini digunakan untuk menghitung persentase dari pasien trauma
abdomen yang menjalani laparatomi, yang dilihat dari usia, jenis kelamin, faktor
penyebab, organ yang cedera, dan jenis trauma.