Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Abdomen

Abdomen merupakan bagian dari batang tubuh yang terletak di antara thorax
dan pelvis yang berbentuk fleksibel. Hampir semua organ pada sistem pencernaan
dan sebagian sistem urogenital terdapat di abdomen (Moore, 2014).

Pada abdomen, terdapat empat kuadran yang dibagi dari bagian midline dan
bagian transumbiical (Moore, 2014).

Gambar 2.1 Kuadran empat bagian abdomen (Drake, 2004).


3

1) Bagian kanan atas: hepar dan kantung empedu


2) Bagian kiri atas: gastric dan limfa
3) Bagian kanan bawah: Cecum, ascending colon, dan usus kecil
4) Bagan kiri bawah: descending colon, sigmoid colon, dan usus kecil

Bagian pada abdomen terbagi atas 9 regio abdomen :

Gambar 2.2 Regio pada abdomen (Drake, 2004).

1) Hypocondriaca dextra
2) Epigastriaca
3

3) Hypocondriaca sinistra
4) Lateralis dextra
5) Umbilicalis
6) Lateralis sinistra
7) Inguinalis dextra
8) Pubica
9) Inguinalis sinistra

Proyeksi letak organ pada abdomen (new health guide, 2014) :

1) Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung


empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan
dan kelejar suprarenal kanan.
2) Epigastriaca meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas, dan
sebagian hepar.
3) Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gastre, lien, bagian kaudal
pankreas, fleksura linelis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar
suprarenal kiri.
4) Lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5) Umbilicalis meliputi organ: omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum, dan ileum.
6) Lateralis sinistra meiputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum
7) Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagia distal ileum dan
ureter kanan.
8) Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9) Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri.
3

2.2 Trauma Abdomen

2.2.1. Defenisi

Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara


diaphragma atas dan juga panggul bawah (Guilon, 2011).

2.2.2. Klasifikasi dan Etiologi

Menurut kahan (2012) trauma abomen diklasifikasikan menjadi dua yaitu,


trauma tumpul dan trauma tajam.

2.3. Trauma Tumpul Abdomen

2.3.1. Etiologi

Trauma tumpul abdomen paling sering diakibatkan oleh kecelakaan


kendaraan bermotor, pejalan kaki yang tertubruk, terjatuh, kekerasan fisik
ataupun karna pukulan (kahan, 2012).

2.3.2. Mekanisme

Menurut Lockwood (2015) terdapat tiga mekanisme pada trauma tumpul :

1. Tenaga kompresi (hantaman)


Kompresi external dari arah lateral atau antero-posterior akan mengganggu
organ yang terfiksasi pada bagian rongga perut. Organ-organ yang berada
pada peritoneal seperti hepar, limpa, duodenojejunal flexure rentan
terhadap trauma seperti ini karena berada pada bagian visera
retroperitoneal. Ruptur langsung juga bisa terjadi jika berlaku perdarahan
2. Shearing
Pasokan pada abdomen dengan tenaga deselerasi dan akselerasi akan
menyebabkan organ bergerak dan menjadi robek dan hal ini berakibat
pada perdarahan yang signifikan dalam jumlah yang banyak
3

3. Bursting
Kompresi external ke rongga perut akan menghasilkan peningkatan pada
tekanan intra abdominal dan pada lumen organ yang beronga dan akan
menyebabkan efek bursting.

2.3.3. Gejala Klinis

 Nyeri, merupakan salah satu gejala yang menunjukkan gejala dari


trauma, walaupun tidak ditemukannya nyeri bukan berarti trauma
intra-abdomen tidak dapat didiagnosa.
 Salah satu tanda dari trauma abdomen adalah status hemodinamik
yang tidak stabil.
 Ditemukannya tanda sabuk pengaman (seatbelt) seperti garis merah
yang melintasi abdomen merupakan salah satu tanda atau
peringatan terhadap kemungkinan adannya trauma usus.
 Adannya nyeri bahu tanpa mengalami trauma sendi, kemungkinan
menunjukkan adanya darah dibawah diafragma (Legome, 2016).

2.3.4. Diagnosa

A. Anamnesis
Mekanisme cedera harus dieksplorasi seperti posis jatuh, asal ketinggian, jenis
alat yang melukai, kecepatan dan sebagainya.
B. Pemeriksaan Fisis
Beberapa pemeriksaan fisis pada trauma tumpul abdomen menurut Willacy
(2013), meliputi :
Inspeksi
 Periksa abdomen untuk menentukan adanya tanda-tanda eksternal dari
cedera. Perhatikan tanda-tanda memar.
 Orang terluka dalam kecelakaan mobil dapat hadir dengan 'seat belt sign'
(memar di sepanjang bagian sabuk pengaman), yang berhubungan dengan
tingkat tinggi cedera pada organ perut.
3

 Tanda sabuk pengaman terutama terkait dengan peningkatan risiko cedera


gastrointestinal dan pankreas.
 Mengamati pola pernapasan, karena pernapasan perut dapat menunjukkan
cedera tulang belakang. Catat distensi abdomen dan perubahan warna
apapun.
 Bradikardia dapat menunjukkan adanya darah intraperitoneal pada pasien
dengan cedera tumpul abdomen.
 tanda Cullen - yaitu periumbilikalis ecchymosis - mungkin menunjukkan
perdarahan retroperitoneal. Namun, gejala ini biasanya membutuhkan
waktu beberapa jam untuk berkembang. Memar dan bengkak mungkin
menimbulkan kecurigaan untuk cedera retroperitoneal.
 Memeriksa alat kelamin dan perineum untuk cedera jaringan lunak,
perdarahan, dan hematoma.

Auskultasi
 Bising perut mungkin mengindikasikan penyakit vaskular yang mendasari
atau trauma arteriovenous fistula.
 Selama auskultasi, raba dengan lembut abdomen pasien sambil melihat
respon pada pasien.

Perkusi
 Nyeri merupakan tanda peritoneal saat dilakukan perkusi.
 Evaluasi nyeri pada perkusi menunjukkan tindakan selanjutnya pada saat
bedah dilakukan.

Palpasi
 Hati-hati saat melakukan palpasi, dan saat palpasi dilakukan, perhatikan
respon pada pasien. Perhatiakan juga massa yang abnormal, nyeri dan
luka.
3

 Kepenuhan dan konsistensi pada abdomen menandakan adannya indikasi


perdarahan intra-abdominal. Ketidaksimetrisan rongga dada rendah
menunjukkan potensi cedera limpa atau hati terkait dengan cedera tulang
rusuk yang lebih rendah.
 Ketidaksimetrisan panggul menunjukkan potensi cedera saluran kemih
bagian bawah serta hematoma pelvis dan retroperitoneal. fraktur panggul
terbuka dikaitkan dengan kematian lebih dari 50%.
 Melakukan pemeriksaan panggul vagina melalui dubur dan bimanual
untuk mengidentifikasi perdarahan potensial dan cedera.
 Lakukan pemeriksaan sensorik dari dada dan perut untuk mengevaluasi
potensi cedera tulang belakang.

C. Pemeriksaan Penunjang

Untuk meneggakan diagnosa pada trauma tumpul abdomen, maka dapat


dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti:
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila
ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Indikasi untuk melakukan DPL sbb.:
• Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
• Trauma pada bagian bawah dari dada
• Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
• Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak)
• Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
• Patah tulang pelvis
Kontra indikasi relatif melakukan DPL sbb.:
• Hamil
• Pernah operasi abdominal
• Operator tidak berpengalaman
3

• Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan (Primary Trauma Care,


2012)
FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
FAST salah satu dari dua studi yang cepat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi
perdarahan. Pada FAST, teknologi USG digunakan oleh individu yang sudah
dilatih untuk mendeteksi keberadaan darah pada peritonium. Dengan peralatan
khusus dan di tangan yang berpengalaman, USG memiliki kepekaan, spesifisitas,
dan akurasi dalam mendeteksi cairan di intraabdominal yang sebanding dengan
DPL. Dengan demikian, USG menyediakan cepat, non-invasif, akurat, dan cara
yang mudah untuk mendiagnosa hemoperitoneum. USG scanning dapat dilakukan
di samping tempat tidur diruang resusitasi sekaligus melakukan prosedur
diagnostik atau terapi lainnya. Itu indikasi untuk prosedur yang sama seperti untuk
DPL.
Computerd Tomography scan (CT scan)
Computed Tomography adalah prosedur diagnostik yang digunakan untuk melihat
organ didalam perut bagian atas dan bawah, serta dibagian bawah dada dan
panggul melalui alat scaan. Ini adalah prosedur yang memakan waktu yang
seharusnya digunakan hanya pada pasien yang hemodynamicallnya dalam
keadaan normal. Namun pada CT scan dapat memberikan informasi yang lebih
spesifik pada organ yang mengalami cedera dibanding dengan pemeriksaan fisis,
DPL dan FAST (Advanced Trauma Life Support, 2012).

2.3.5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk pasien trauma tumpul menurut, Kahan (2012) :

 Pasien menjalani operasi dengan indikasi-indikasi yang ada.


 Pada kasus yang jarang dimana terdapat sedikit kecurigaan penetrasi
intraabdomen.
 Jika eksplorasi luka lokal (LWE) dari luka tusukan tidak menunjukkan
penetrasi fasia anterior, pasien dapat dipulangkan.
3

 Bila fasia tertembus pada LWE, terdapat beberapa pilihan, termasuk


observasi saja, DPL, laparoskopi diagnostik, atau laparotomi.

2.4. Trauma Tajam Abdomen

2.4.1. Etiologi

Pada trauma tajam abdomen paling sering disebabkan oleh luka tusukan atau
luka yang terjadi akibat tembakan peluru. Organ yang paling sering mengalami
trauma adalah hati dan usus halus, hal ini disebabkan oleh karena organ organ ini
merupakan organ yang menempati ruangan yang paling luas pada kavum
abdomen. Dan biasannya trauma tajam abdomen sering disertai dengan trauma
dada, diafragma, atau retroperitoneal (kahan, 2012).

2.4.2. Mekanisme

Luka Tusuk
luka tusukan lebih umum daripada luka tembak dan biasanntya kurang
mematikan,
kecuali tusukan itu memasuki ruang retroperitoneal dan melukai pembuluh darah
besar atau pankreas. Beberapa tahun ini, laparotomi dianggap wajib untuk
menangani bentuk trauma tembus pada perut. Telah ditemukan bahwa 66% dari
penusukan memasuki rongga peritoneum tapi kurang dari hasil 50% di cedera
visceral mengharuskan operative repair. Oleh karena itu penerapan kebijakan
'pengamatan hamil' dapat dimanfaatkan. Artinya, mengamati pasien dengan hati-
hati dan secara teratur untuk tanda-tanda perdarahan internal yang atau peritonitis,
dan jika ada, laparotomiharus dilakukan secepatnya.
Luka tembus terkait dengan cedera pada usus, duodenum, ginjal dan struktur
pembuluh darah utama. Oleh karena itu cedera yang mengancam hidup mungkin
ada meskipun hemodinamik stabili dan peritoneal diagnostik negatif lavage (DPL,
di bawah). Dalam situasi ini sebagian besar ahli bedah memiliki ambang yang
rendah untuk awal eksplorasi perut, terutama jika cedera diduga melanggar batas
yang signifikan struktur retroperitoneal seperti ditunjukkan oleh radiologi.
3

Luka Tembak
Cedera akibat senjata api terkait dengan jenis senjata, lintasan rudal dan
jaringan atau organ yang terlibat. Potensi luka akibat peluru ditentukan sebagian
besar oleh energi kinetik nya (KE) di Dampak (KE = massa x kecepatan2). Luka
akibat peluru dapat dibagi menjadi kecepatan rendah (sipil cedera) dan kecepatan
tinggi (militer senjata). senjata kecepatan rendah kebanyakan memproduksi cedera
dengan mekanisme yang hanya menghancurkan dan merobek secara langsung.
Hal ini berbeda dengan kecepatan tinggi rudal yang menginduksi kavitasi jaringan
dan melukai organ padat, organ elastis seperti hati dan limpa (Wall jarrod, 2012).
2.4.3. Gejala Klinis

Tanda dan gejala trauma tembus abdomen tergantung pada berbagai faktor,
termasuk jenis senjata atau objek, bagaimana cedera terjadi, organ yang dapat
terluka, lokasi dan jumlah luka. Luka tembak disebabkan oleh rudal didorong oleh
pembakaran bubuk. luka ini melibatkan perpindahan energi tinggi dan, akibatnya
dapat menhgasilkan pola tak terduga dari cedera. rudal sekunder, seperti peluru
dan fragmen tulang, dapat menimbulkan kerusakan tambahan. luka tusukan
disebabkan oleh penetrasi dinding perut dengan benda tajam. Jenis luka umumnya
memiliki pola yang lebih dapat diprediksi (Offner, 2014).

Menurut Kahan (2012), gejala klinis pada trauma tembus abdomen adalah
adannya perdarahan yang berujung pada shock yang ditemukan dengan gambaran
hipotensi, takikardi, perubahan fungsi luhur, dan kulit yang teraba dingin dan
lembab, adannya nyeri tekan lokal ditempat luka atau nyeri tekan yang difusdan
dengan nyeri tekan lepas memberi kekan ke arah peritonitis, dan adannya luka
kemungkinan memperlihatkan tanda klinis perdarahan, eviserasi organ (misalnya
usus, omentum) atau drainase fekal atau isi usus halus.

2.4.4. Diagnosa

Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis memiliki sensitivitas yang terbaik dan nilai prediksii untuk
evaluasi trauma tembus abdomen. Pasien dirawat untuk observasi selama 24 jam.
3

Periksa regluar status hemodinamik mereka. Bagian abdomen diperiksa secara


rutin untuk melihat adannya tanda-tanda peritonitis. Idealnya ahli bedah yang
sama harus memeriksa pasien setiap kali. Waktu pemeriksaan bervariasi, tapi
mungkin harus mulai lebih sering dan kemudian menurun dari waktu ke waktu.
Urutan menyarankan pemeriksaan mungkin pada 1, 4, 12 dan 24 jam setelah
penilaian awal. Beberapa ahli bedah merekomendasikan pemeriksaan setiap empat
jam.
Eksplorasi Luka lokal
eksplorasi luka lokal membutuhkan evaluasi formal dan dilakukan anestesi lokal.
Prosedur ini biasanya dilakukan di ruang operasi, tetapi dilakukan di beberapa
lembaga dilakukan di unit gawat darurat. Pada hasil eksplorasi luka yang positif
sebaiknya dilakukan laparotomi atau tes diagnostik lain seperti DPL atau
laparoskopi.

Diagnostik Lavage Peritoneal


Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) menggunakan kateter kecil untuk masuk ke
dalam rongga peritoneum. Jika darah dapat disedot melalui kateter ini, ini disebut
sebagai 'tap' positif atau aspirasi (DPA). Peran DPL sangat penting pada pasien
hemodinamik stabil daripada pasien yang tidak stabil. Pada pasien yang tidak
stabil masalahnya adalah salah satu dari perdarahan besar, dan mengidentifikasi
lokasi perdarahan. DPL digunakan sebagai alternatif untuk scan cepat untuk
mengidentifikasi intra-peritoneal perdarahan (lebih sering pada trauma tumpul).
Situasi dalam menembus trauma abdomen sangat berbeda. Seorang pasien
hemodinamik stabil dengan luka tusuk perut tidak memerlukan penyelidikan lebih
lanjut dan akan melanjutkan ke laparotomi, seperti dibahas di atas. Jadi peran
DPL pada pasien haemodynmically normal dengan cedera tembus perut adalah
untuk mengidentifikasi cedera berongga viskus (lambung, usus kecil, usus besar)
atau cedera diafragma.
3

CT scan
Sebagai teknologi telah meningkat, CT scan menemukan peran penting dalam
evaluasi cedera tembus abdomen. Kebanyakan penelitian merekomendasikan
multidectector (multislice) scanner dengan protokol triple-kontras (intravena, lisan
dan dubur), meskipun tidak jelas betapa pentingnya kontras GI adalah untuk
mendeteksi cedera usus. Dari semua modalitas diagnostik yang terdaftar, CT
memberikan penilaian terbaik dari struktur retroperitoneal (Evaluation of
Penetrating Abdominal Trauma, 2006).

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang


- Darah perifer lengkap, tanda anemia dan infeksi (leukositosis).
- Ultrasonografi untuk menemukan adanya cedera organ cairan
intraperitoneal dan pendarahan.
- CT-scan pada kasus yang lebih stabil untuk menunjang tatalaksana
berikutnya.
- Untuk pasien unstable, USG harus dilakukan secepat mungkin sebagian
primary survey (circulation).
- Untuk pasien stable, screening awal boleh dilakukan untuk pasien
hemodinamik stabil dan diagnostik peritoneal lavage (Offner, 2014).
2.4.6. Penatalaksanaan

Pada pasien yang tidak stabil atau pasien yang dengan tanda trauma
intra-abdomen yang jelas (misalnya tanda peritoneal pada pemeriksaan,
trauma diafragma, udara bebas abdomen, eviserasi) sebaiknya dikirim ke
ruang operasi untuk menjalani operasi. Dan pasien yang mengalami
trauma pada lien dan hati dapat diterapi secara konservatif; bagaimanapun
pasien perlu dirawat di ICU untuk mendapatkan monitor yang ketat dan
menjalani pemeriksaan Hb serial (Kahan, 2012).
Pasien trauma abdomen tajam yang melakukan tatalaksana secara non
operatif haruslah berdasarkan dua faktor, yaitu stabil secara
haemaodinamik dan negatif peritonitis. Semua cedera haruslah
3

dieksplorasi terlebih dahulu dan jika menembus peritonium, tindakan


laparatomi harus dilakukan (Butt, et al, 2009).

2.5. Penatalaksanaan dengan Indikasi Laparatomi

Laparotomi adalah salah satu jenis tindakan pembedahan berupa insisi


dinding abdomen. Laparotomi eksplorasi adalah tindakan laparotomi dengan
tujuan memperoleh informasi yang tidak tersedia melalui metode diagnosis klinis.
Setelah patologi yang mendasari ditentukan, laparotomi eksplorasi dapat
diteruskan sebagai prosedur terapi atau mungkin untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Beberapa teknik laparotomi yaitu midline incision, paramedium incision,
transverse upper abdomen incision dan transverse lower abdomen incision.
Indikasi dilakukannya eksplorasi laparotomi diantaranya adalah trauma
abdomen dengan hemoperitoneum dengan hemodinamik yang tidak stabil,
perdarahan gastrointestinal, Hodgkin disease, nyeri abdomen kronik, nyeri
abdomen akut dan didapatkannya kondisi klinis intra abdomen yang
membutuhkan pembedahan darurat yaitu peritonitis, ileus obstruktif dan perforasi.
Kontraindikasi dilakukannya laparotomi eksplorasi adanya kondisi yang
menyebabkan tidak memungkinkannya tindakan anestesi umum. Hal tersebut
diantaranya peritonitis dengan sepsis berat, keganasan yang semakin memburuk
dan penyakit komorbiditas lainnya yang membuat kondisi pasien menjadi tidak
layak untuk diberikan anestesi umum.
Laparotomi eksplorasi merupakan alat diagnostik yang baik, namun
antisipasi diagnostik lainnya tetap diperlukan. Laparotomi eksplorasi harus
dilakukan sesuai protokol standar dan pedoman untuk laparotomi. Komplikasi non
terapetik laparotomi dikaitkan dengan morbiditas jangka panjang yang signifikan
termasuk yaitu obstruksi usus dan hernia insisional (Kate, 2013).

2.6. Organ khusus yang mengalami cedera

Lambung
Cedera tembus pada lambung sering terjadi, sementara ruptur tumpul
jarang terjadi kecuali terjadinya segera setelah pasien makan. Diagnosis cedera
3

lambung umumnya dibuat dari observasi adanya luka tembus atau keluarnya
cairan yang bercampur darah dari selang nasogastrik. Dalam ruang operasi,
kebanyakan perforasi lambung akibat trauma tumpul, besar dan disertai dengan
kontaminasi luas dari abdomen bagian atas. Hematoma sepanjang kurvatura
mayor dan minor harus dibuka pada setiap pasien dengan luka tembus, karena ada
kemungkinan menutupi perforasi tersembunyi (Schwartz, 2006).

Duodenum
Cedera organ ini sukar didiagnosis karena umumnya retroperitoneal dan
cairan duodenum bisa menyebabkan iritasi ringan. Adanya cedera ini patut
dicurigai pada pasien pasien yang mendapat hentakan atau tendangan keras
langsung seperti terkena kemudi pada abdomen bagian atas atau dada bagian
bawah. Nyeri pada testis seharusnya membangkitkan kecurigaan adanya ruptur
duodenum. Demikian pula adanya nyeri alih bahu, dada, punggung bisa
dihubungkan dengan perforasi duodenum dan usus halus.
Pada pasien, baik dengan trauma tumpul maupun trauma tembus, perforasi
duodenum sering terlewatkan karena pendekatan yang tidak kuat atau kelalaian
ahli bedahnya. Pada pasien dengan hematoma retroperitoneal dekat duodenum
atau adanya krepitasi atau adanya cairan yang bercampur dengan empedu
sepanjang sisi lateral duodenum, maka seluruh duodenum retroperitoneal harus
dibuka dengan tindakan kocher. Bagian ketiga dan keempat dari duodenum akan
tampak dengan menggerakkan sekum, kolon dekstra, fleksura kolon hepatik,
mesenterium organ organ tersebut termasuk ligamentum Treitz ke arah atas.
Ketika pasien diduga menderita cedera duodenum yang tak terdiagnosis,
eksplorasi ulangan akan menunjukkan elevasi dari peritoneum posterior dengan
edema yang tampak seperti kaca bening, fat necrosis pada kolon asendens dan
transversal dan flegmon retroperitoneal (Schwartz, 2006).

Usus Halus
Delapan puluh persen cedera usus terjadi di antara pertemuan
duodenojejunal dan ileum terminalis, dengan masing masing 10% di duodenum
3

dan usus besar. Pada trauma tumpul usus halus bisa terjepit antara kemudi mobil
dan kolumna vertebralis, atau ruptur karena tenaga robekan dan regangan pada
abdomen. Mesenterium dapat terluka, terutama karena cedera sabuk pengaman
yang menyebabkan terputusnya pasokan darah. Cedera tembus terutama karena
pisau dan peluru kecepatan rendah, biasanya akan mengakibatkan perforasi
segmen usus yang berdekatan dengan tempat cedera (Schwartz, 2006).

Kolon
Pada cedera kolon, kebanyakan telah dilakukan eksteriosasi sebagai
kolostomi; namun demikian, pengalaman akhir akhir ini dalam masyarakat,
penatalaksanaan luka perforasi akibat pisau dan akibat peluru kecepatan rendah
dengan pendekatan tradisional tersebut telah ditentang.
Etiologi cedera tumpul kolon jarang terjadi dan dapat diakibatkan oleh instrumen
selama proses sigmoidoskopi, pemberian enema, atau pun tingkah laku seksual.
Penetrasi yang karena kurang berhati hati pada kolon atau rektum bisa terjadi
selama operasi pelvis yang sulit, sama seperti yang terjadi karena akibat kekerasan
misalnya senjata api dan pisau (Schwartz, 2006).

Hepar
Lebih kurang 80% cedera pada hepar disebabkan trauma tembus,
sementara 15-20% terjadi klarena trauma tumpul. Beberapa tahun terakhir ini
seluruh angka kematian pasien dengan trauma hepar, seperti luka tusuk angka
kematiannya hanya 1%, sementara cedera hepar yang besar melibatkan vena
hepatika angka kematiannya berkisar 45-50%. Ruptur hepar diketahui dengan CT
scan, dan dapat ditangani tanpa operasi jika tidak terjadi hipotensi yang bermakna
(Schwartz, 2006).

Kandung Empedu
Luka tembus atau cedera avulsi kandung empedu paling baik ditangani
dengan kolesistektomi; walaupun demikian pada pasien yang tidak stabil dapat
dikerjakan kolesistektomi dengan selang. Pasca operasi dikerjakan kolangiorgam
3

melalui selang kolesistektomi. Jika hasilnya menunjukkan kandung empedu dan


salurannya normal maka pipa kolesistektomi diangkat (Schwartz, 2006).

Pankreas
Lebih kurang 70% cedera pankreas umumnya disebabkan oleh trauma
tembus, sisanya 30% karena trauma tumpul. Pada pasien dengan trauma tumpul,
cedera ini bisa tersamar karena tidak ada tanda tanda nyeri abdomen, kenaikan
serum amilase yang tidak spesifik. Hanya 65% pasien yang memperlihatkan
kenaikan kadar serum amilase, walaupun dengan transeksi lengkap. Tanpa tanda
rangsang pertoneum, kenaikan serum amilase bukan merupakan
indikasilaparatomi eksplorasi (Schwartz, 2006).

Limpa
Limpa merupakan organ abdomen yang paling sering mengalami cedera
akibat trauma tumpul ; cedera limpa terjadi pada seperempat dari trauma tumpul
organ visera. Lebih kurang 30 sampai 40 persen pasien dengan cedera limpa
menunjukkan tekanan sistolik di bawah 100 mmHg. Tanda tanda lain yang sangat
meyakinkan adanya cedera limpa yaitu l riwayat cedera yang walaupun ringan,
diikuti oleh nyeri abdomen terutama kuadran kiri atas ; nyeri bahu kiri ; dan
sinkop. Elevasi tungkai di tempat tidur atau tekanan pada regio subkostal kiri
kadang kala menimbulkan nyeri pada puncak bahu kiri. Ciri diagnostik termasuk ;
peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari 15.000, foto
rontgen yang memperlihatkan fraktur iga kiri bawah, letak lambung bergeser,
gambaran tepilimpa menghilang. Pada kasus meragukan dilakukan parasentesis
abdominal dan bilasan peritoneum diagnostik yang sangat membantu menegakkan
diagnosis (Schwartz, 2006). luka tembus pada limpa dapat menyebabkan
perdarahan yang signifikan. cedera vaskular dapat diperbaiki, termasuk jumlah
avulsion dan laserasi yang luas dapat dilakukan indikasi splenektomi. limpa
benar-benar harus dimobilizied agar tidak melukai pankreas. jika ada laserasi
segera diperbaiki (Maxey, 2014).
3

2.7. Kerangka konsep

usia

Jenis kelamin
Trauma Abdomen
yang menjalani
Faktor penyebab
laparatomi

Organ yang
cedera

Jenis trauma
3

Daftar Pustaka

Keith L. Moore, Arthur F.Dalley, Anne M.R. 2014. Anatomy of Abdomen.


Agur.Moore Clinically Oriented Anatomy. Published by Lippincott Williams, a
Wolter Kluwer business, 19.

Guilon, F., 2011. Epidemiology of Abdominal Trauma. In :CT of The Acute


Abdomen.London: Springer; 15-26.

Richard Drake. 2004. Gray’s Anatomy for Students. Churchill Livingstone.

New Health Guide. 2014. 9 regions of Abdomen. Available online at:


m.newhealthguide.org/9-regions-of-abdomen.html

Kahan, S. 2012. Master Plan Ilmu Bedah. Jakarta : Binapura Aksara.

Legome, Eric . (2014). Blunt Abdominal Trauma Treatment & Management.


Available online at: http://emedicine.medscape.com/article/1980980- treatment
[diakses 1 Desember 2016]

Willacy, H. 2013. Abdominal Trauma. Available online at:


patient.info/doctor/abdominal-trauma.

American College of Surgeons (ACS). (2012). Advanced Trauma Life Support for
Students (ATLS). United Stated of America .

Wall, Jarrod. 2012. Penetrating Abdominal Trauma. Journal TSMJ vol:3.

Offner, P . (2014). Penetrating Abdominal Trauma Treatment & Management.


Available online at: http://emedicine.medscape.com/article/2036859-
overview#aw2aab6b2b4aa [diakses 29 November 2016]

Lockwood, W. 2015. Abdominal Trauma. Available online at:


http://www.rn.org/courses/coursematerial-10000.pdf
3

Offner, P . (2014). Penetrating Abdominal Trauma Treatment & Management.


Available online at: http://emedicine.medscape.com/article/2036859-
overview#aw2aab6b2b4aa [diakses 29 November 2016]

Trauma.org. 2006. Evaluation of Penetrating Abdominal Trauma. Available


online at: http://www.trauma.org/archive/abdo/penetrating.html

Muhammad U Butt, Nikolaos Zacharias, and George C Velmahos.Penetrating


abdominal Injuries: Management controversies.Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine 2009,17:19.

Vikram Kate, MBBS, MS, PhD, FRCS, FRCS(Edin), FRCS(Glasg), MAMS,


FIMSA, MASCRS, FACS, FACG. Exploratory laparotomy. Addiction [Internet].
2013. Available from: Medscape.

Schawrtz. 2006. Prinsip Prinsip Dasar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.


3

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Desain penelitian yang digunakkan pada penelitian ini adalah deskriptif.
Pendekatan penilaian deskriptif menggunakan studi cross sectional dimana penelitian
diarahkan untuk mensdekripsikan suatu keadaan. Peneliti menilai gambaran trauma
abdomen yang menjalani laparatomi di RSUD DR Pirngadi Medan tahun 2012-2015.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di RSUD DR Pirngadi Medan.
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan setelah sidang validasi proposal.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah pasien yang mengalami trauma
abdomen
3.3.2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah pasien trauma
abdomenyang menjalani laparatomi di RSUD DR Pirngadi Medan pada tahun
2012-2015.
3.3.3. Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan pengambilan sampel
keseluruhan (total sampling). Sampel pada penelitian ini adalah seluruh data
pasien trauma abdomen yang menjalani laparatomi di RSUD DR Pirngadi Medan
tahun 2012-2015.
3.4. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
Kriteria inklusi pada pasien ini adalah semua data rekam medik pasien trauma
abdomen yang menjalani laparatomi di RSUD DR Pirngadi tahun 2012-2015 yang
ditulis secara lengkap berdasarkan usia, jenis kelamin, faktor penyebab, organ yang
cedera, dan jenis trauma.
3

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional


1. Usia
a. Defenisi : Lamannya hidup individu yang terhitung mulai saat
dilahirkan sampai sekarang sesuai dengan yang tercatat dalam rekam
medik di RSUD DR Pirngadi Medan tahun 2012-2015.
b. Cara Pengukuran : Dengan melihat data rekam medik pasien di RSUD
DR Pirngadi Medan tahun 2012-2015.
c. Alat Ukur : Rekam medik
d. Hasil pengukuran : usia pasien pada rekam medik
e. Skala pengukuran : ordinal
2. Jenis kelamin
a. Defenisi
b. Cara pengkuran
c. Alat ukur
d. Hasil pengukuran
e. Skala pengukuran
3. Faktor penyebab
a. Defenisi
b. Cara pengukuran
c. Alat ukur
d. Hasil pengukuran
e. Skala pengukuran
4. Organ yang mengalami cedera
a. Defenisi
b. Cara pengukuran
c. Alat ukur
d. Hasil pengukuran
e. Skala pengukuran

5. Jenis trauma
a. Defenisi
3

b. Cara pengukuran
c. Alat ukur
d. Hasil pengukuran
e. Skala pengukuran
3.6.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan seluruh rekam
medik pasien trauma abdomen yang menjalani laparatomi selama tahun 2012-2015
yang terdapat di bagian rekam medik RSUD DR Pirngadi Medan. Pada rekam medik
tersebut dilihat variabel yang akan diteliti.
3.7. Pengolahan dan Analisis Data
Metode statistik yang digunakan untuk menganalisa data pada penelitian ini
adalah statistik univariat. Statistik univariat adalah prosedur untuk menjelaskan atau
mendeksripsikan karakteristik dari setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010).
Analisis univariat ini digunakan untuk menghitung persentase dari pasien trauma
abdomen yang menjalani laparatomi, yang dilihat dari usia, jenis kelamin, faktor
penyebab, organ yang cedera, dan jenis trauma.

Anda mungkin juga menyukai