Anda di halaman 1dari 3

Review Brands

Brand adalah sebuah mekanisme yang memungkinkan terjadinya “Direct Valorization” dari
kemampuan orang untuk menciptakan kepercayaan, pengaruh dan makna
bersama:kemampuan mereka untuk menciptakan sesuatu yang sama. Konstruksi publik
terhadap aspek seperti Truth, Beauty, dan Utility merupakan faktor penting yang berkontribusi
terhadap nilai ekonomi suatu barang atau jasa. Sebagai contoh kepercayaan masyarakat
terhadap brand besar seperti McDonald, Coca-Cola dan Nike merupakan aset yang paling
berharga bagi 3 perusahaan tersebut. Dalam menjelaskan relasi antara konsumsi serta brands.
Konsep tersebut dikembangkang sebagai respons dari transformasi sosial dari Fordist
Production yang sentralistik ke ke Post- Fordism

Brand Values
Brand merupakan salah satu Immaterial Asset dalam kapitalisme kontemporer. Meskipun
demikian, agak sulit utnuk mengetahui keseluruhan nilai ekonomi dari sebuah Brand Value
namun beberapa data menujukan Di tahun 1980 ketika terjadi gelombang akuisisi dan merger
sekitar 20 persen dari total bid prices didasari oleh motif nilai dari suatu brands. Riset dari
Interbrand pada tahun 2011 juga menunjukan jika nilai ekonomi dari 100 perusahan besar
mencapai $434 Billion pada 2001 sekitar 4 persen dari GDP Amerika Serikat dan hampir setara
dengan total US Advertising Expenditure pada 2000. Nilai dari sebuah brand merupakan
representasi dari predictable future earnings yang dihasilkan dari sebuah brand.
Bagi sebuah perusahaan, Brand dikategorikan sebagai sebuah modal yang diharapkan mampu
menghasilkan nilai ekonomis untuk barang maupun jasa. Lebih lanjut, Brand bukan merupakan
sebuah modal yang berbentuk materiil namun berbentuk “Immaterial Capital”. Pendapatan
brand tidak hanya berasal dari object namun juga berasal dari “Brand Equity”. Membangun
sebuah Brand Equity bertujuan untuk menumbuhkan ketertarikan . Dilihat dari prespektif
manajerial, brand dianggap memiliki Monetary Value yang dapat memberikan nilai-nilai
tertentu kepada konsumen. Dengan kata lain, Brand merupakan sebuah simbol yang dapat
dimonetisasi.
Dalam beberapa literatur akademis bisnis, masih terjadi perdebatan mengenai hal pihak yang
mana yang membangun sebuah Immaterial Assset (Brand Equity). Biasanya Brand Equity
berasal dari berbagai faktor seperti tradisi, ketidaksengajaan dan keberuntunga. Ada juga yang
menyebut jika Brand Equity berasal dari Brand Managers. Namun tidak semua hal yang telah
disebutkan diatas yang membetuk sebuah brand. Beberapa sarjana mnekankan jika sebuah
asset dari Brand diproduksi oleh konsumen dari produk itu sendiri.

Consumption as Immaterial Labour


Jika konsumsi bisa disebut sebagai Immaterial Labour maka aktivitas tersebut dapat
menghasilkan sebuah nilai yang terminologinya berbeda dengan dari pekerjaan pabrik yang
biasa kita sebut sebagai “Labour”. Dalam prespektif Marxis, konsumsi merupakan sebuah
aktivitas yang terjadi pada ranah sirkulasi dan bukan ranah produksi
Integrasi antara Produksi dan sirkulasi berasal Autonomist Marxism. Sejak tahun 1970 Antonio
Negri dan Romano Alquati menyebutkan jika integrasi dari komunikasi dan produksi
merupakan karakteristik sentral dari Post-Fordis Labour Process.
Ide mengenai communicative production process dikembangkan kembali oleh Maurizio
Lazzarato pada tahun 1997 melalui konsep Immaterial Labour. Menurut Lazzarato,
Immetareial Labour mengacu pada praktik produksi baik itu konten immaterial dari komoditas
tersebut atau konteks sosial dalam produksi itu sendiri.
Brand Management
Manajemen modern atau fordist, mempunyai tujuan untuk mengendalikan produktifitas
konsumen lewat mendisiplinkan konsumen. Maksud dari mendisiplinkan konsumen disini
adalah bagaimana strategi pemasaran dan periklanan nantinya dapat membentuk suatu norma
konsumsi standar yang digunakan sebagai acuan yang diapakai oleh semua pengusaha. Dalam
arti yang lebih mudah brand management adalah bagaimana usaha agar membuat konsumen
terpaku hanya pada barang tersebut dan terus bersiklus, merasionalkan dan mengarahkan
keinginan konsumsi para konsumen ini.
Pada pertengahan 1950-an, paradigma disiplin pemasaran mengalami bentuk-bentuk baru
seiring berkembangnya zaman. Bentuk-bentuk baru tersebut ada dua anatara lain dari pola
konsumen kelas menengah atau bersifat 'ekspresif', yang kedua adalah Booming budaya anak
muda. Hal yang mednasari pemahaman tersebut adalah kultur konsumsi saat itu sifatnya
diversif dan tidak dapat dikelompokkan menjadi suatu yang umum, atau berdasrkan kelompok
tertentu, atau sosialitas, kode-norma tertentu. Adam mengatakan bahwa konsumen harus diberi
tingkat otonomi tertentu untuk dapat memetakan branding product strategi.
Teknik pemasaran atau branding, pada awalnya lebih tertuju pada strategi pemasaran hasil
produknya. Bagaimana mereka memasarkan suatu produk hanya berdasrkan kualitas dari
produk tersbut dan juga inventor, pembuat, atau pemilih perusahaan tersebut. Fungsinya untuk
menjamin kualitas atau untuk memberikan komoditas yang unggul sehingga menciptakan
“trade-marks” atau kekhususan tersendiri produk tersebut dibandingkan produk lain sehingga
dapat diproduksi massal dengan kualitas dan profit yang maksimal akibat kekhususan dari
trade-marks tersebut. Tapi kontemporer saat ini, branding lebih berorientasi pada bagaimana
kita sebagai pemilik barang bisa mempengaruhi dan menempatkan komoditas barang kita
dalam benak seluruh manusia sehingga produk kita diingat dan laku di pasar. Tidak hanya
fokus pada branding product, tapi kontemporer saat ini juga fokus pada konteks konsumsi.
Konsumen dianggap sebagai property atau modal berhraga yang perlu di Influence dalam artian
menjalankan siklus produksi yang berkelanjutan. Lannjutnya bagaimana adam bisa berbicara
tentang The power of a brand yang dapat merasuk dalam pikiran konsumen sehingga
memebutuhkan teknik-teknik atau strategi pemasaran yang tak using untuk tetap membuat
identitas merek mereka tetap terjaga dan diingat oleh pikiran masayarakat konsumennya.
How Brand Generates Values
Adam dalam “bagaimana brand menghasilkan nilai ?” mengutarakan ada dua hasil yang bisa
dipelajari dari pemaparan seblumnya, (1) konsumen kontemporer cenderung mengakibatkan
muncuknya kegiatan-kergiatan produksi yang berfungsi sebagai tenaga kerja tidak material.
Yang dimaksud tenaga kerja material disini adalah tenaga kerja yang menghasilkan surplus etis
dalam bentuk hubungan sosial, makna bersama atau kesamaan. Mereka (Immaterial labour)
memanfaatkan kemampuan umum untuk berinteraksi dan bersosialisasi; kerangka simbolis
umum; pengetahuan umum;
(2) brand management berisi serangkaian teknik dan strategi untuk mendukung produktivitas
otonom dengan menempatkan tenaga kerja tidak material sebagai bagian dari produktifitas
tersebut. Tujuannya dalah semata-mata untuk memeberikan atau membangun form of life dari
merek tersebut dan diwujudkan baik melalui inovasi atau melalui reproduksi secara berulang.
Kesimpulan

Adam Arvidsson dalam “Brands: A Critical Perspective” menganggap merek sebagai 'surplus
etis,' menyelidiki cara mereka menghasilkan pengaruh dalam kelanjutan struktur merek Marxis
pasca-Fordisme. Mendefinisikan 'surplus etis' sebagai “hubungan sosial, makna bersama,
keterlibatan emosional yang tidak ada sebelumnya,” Arvidsson mencirikan nilai merek sebagai
basis dalam produksi emotif ruang. Nilai merek dibentuk melalui struktur interaktif antara
organisasi yang digaji (organisasi yang berfokus pada pemasaran atau pengembangan simbol
internal) dan konsumen. Dengan merumuskan ruang mediatik, mereka "mengantisipasi
produksi immaterial konsumen," mereka mempengaruhi dan menguasai ruang publik dan
hidup, menghasut pengaruh dan kepercayaan untuk membangun nilai dari merek mereka lewat
pembuatan makna. Kemampuan kita untuk melihat, berfantasi, bersimpati, terpesona, atau
kadang-kadang hanya untuk bertindak dan merasakan" sebagai undangan "untuk memberi
perhatian pada merek tertentu dan itulah yang digunakan dalam teknik branding management.
Pengaruh hubungan yang merek bina dengan pelanggan, yang mengarah ke persaingan,
kesetiaan dan kepercayaan-ketergantungan menjadi motivasi intrinsik dalam membangun
identitas baik di ruang privat maupun publik.
Arvidsson mengakhiri makalahnya dengan menyatakan bahwa "modal memberi makan
langsung kehidupan". Berdasarkan klaimnya bahwa branding berpusat di sekitar pengaruh,
kepercayaan, peluang modal dan affection dan itu semua terikat secara intrinsik. Karena itu,
mustahil untuk memisahkan identitas global atau identitas budaya dari produksi dengan
identitas ekonomi. Fokus pembahasan ini ada pada merek yang mencerminkan struktur siklus
di mana kebutuhan untuk kepuasan konsumen secara konstan disediakan, dihancurkan dan
diganti untuk mempertahankan rasa lapar dan ketergantungan pada produk. Struktur siklis ini
kemudian memberi tempat aktifitas ekonomi yang subur dan modal global sehingga
penghancuran sistem akan terjadi yang berarti sama saja dengan penghancuran identitas global.

Anda mungkin juga menyukai