Anda di halaman 1dari 32

Laboratorium Obstetri & Ginekologi Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KETUBAN PECAH DINI

Oleh
Mahlina N NIM 1810029041
Raditya Aldi NIM 1710029006
Tiara Dwi NIM 1710029072
Yusuf Bhaskara NIM 1710029075

Pembimbing
dr. Erwin Ginting, Sp.OG(K)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
OKTOBER 2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of Membrane (PROM)
merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Namun,
apabila ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu, maka disebut
sebagai ketuban pecah dini pada kehamilan prematur atau Preterm Premature
Rupture of Membrane (PPROM). Pecahnya selaput ketuban tersebut diduga
berkaitan dengan perubahan proses biokimiawi yang terjadi dalam kolagen
matriks ekstraseluler amnion, korion dan apoptosis membran janin.1
Etiologi pada sebagian besar kasus dari KPD hingga saat ini masih belum
diketahui. KPD pada kehamilan aterm merupakan variasi fisiologis, namun pada
kehamilan preterm, melemahnya membran merupakan proses yang patologis.
KPD sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada membran
melepaskan substrat, seperti protease yang menyebabkan melemahnya membran.
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks metaloproteinase merupakan
enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi.2
Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,
angka kematian ibu di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. 9 Salah
satu penyebab langsung kematian ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam
100.000 kelahiran hidup dan KPD merupakan penyebab paling sering
menimbulkan infeksi pada saat mendekati persalinan.3 Prevalensi KPD berkisar
antara 3-18 % dari seluruh kehamilan. Saat kehamilan aterm, 8-10 % wanita
mengalami KPD dan 30-40 % dari kasus KPD merupakan kehamilan preterm atau
sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. KPD diduga dapat berulang pada kehamilan
berikutnya. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada
ibu maupun janin.2
Oleh sebab itu, klinisi yang mengawasi pasien harus memiliki
pengetahuan yang baik mengenai anatomi dan struktur membran fetal, serta
memahami patogenesis terjadinya ketuban pecah dini, sehingga mampu
menegakkan diagnosis ketuban pecah dini secara tepat dan memberikan terapi
secara akurat untuk memperbaiki luaran / outcome dan prognosis pasien ketuban
pecah dini dan bayinya.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui tentang ketuban pecah dini, serta perbandingan antara teori
dengan kasus.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui teori tentang ketuban pecah dini.


2. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus ketuban pecah dini di
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
3. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dalam kasus
ini.

1.3 Manfaat

Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran


terutama bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya mengenai ketuban pecah
dini.
BAB 2
KASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada 29 September 2018 pukul 15.00
WITA di Ruang Mawar Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.

Identitas Pasien
Nama : Ny. RRAA
Usia : 27 tahun
Alamat : Jl. Kebon Agung, Samarinda
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMP
Suku : Jawa
Agama : Islam
Masuk Rumah Sakit : 28-09-2018

Identitas Suami
Nama : Tn. E
Usia : 39 tahun
Alamat : Jl. Kebon Agung, Samarinda
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan Terakhir : SMP
Suku : Jawa
Agama : Islam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan
membawa surat rujukan dari praktik mandiri dokter Sp.OG dengan keluhan keluar
air-air dari jalan lahir. Keluhan keluar air-air dirasakan 6 hari SMRS. Air-air yang
keluar berwarna bening dan tidak berbau. Pasien juga mengeluhkan perut yang
terasa kencang-kencang sejak 6 hari SMRS. Keluhan perut yang terasa kencang-
kencang semakin sering dialami. Keluhan mual, muntah, maupun keluar lendir
atau darah dari jalan lahir disangkal. BAK dan BAB dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Tidak ada riwayat Hipertensi


 Tidak ada riwayat DM
 Tidak ada riwayat penyakit jantung dan ginjal
 Tidak ada riwayat asma
 Ada riwayat alergi seafood

Riwayat Penyakit Keluarga

Ada riwayat hipertensi pada ibu pasien.

Riwayat Menstruasi
Menarche : 13 tahun
Lama Haid : 3 hari
Jumlah darah haid : 2 kali ganti pembalut dalam 1 hari
Hari pertama haid terakhir : 10-01-2018
Taksiran persalinan : 17-10-2018

Riwayat Pernikahan
Menikah satu kali saat usia 21 tahun dengan lama pernikahan 7 tahun.

Riwayat Obstetri
G3P1A1
Jenis
Keadaan
Tahun Tempat Usia Jenis Penolong Kelamin/
No. Penyulit Anak
Partus Partus Kehamilan Persalinan Persalinan Berat
Sekarang
Badan
1. 2012 RS Aterm Spontan Bidan - 3100 gr Hidup
2. 2017 Preterm Abortus Mati
3. 2018 Hamil ini
Antenatal Care (ANC)
ANC Trimester I : 1 kali ke bidan
ANC Trimester II : 1 kali ke bidan
ANC Trimester III : 1 kali ke bidan, 1 kali ke dokter spesialis kandungan

Riwayat Kontrasepsi
Pasien memakai kontrasepsi KB suntik selama 4 tahun.

Pemeriksaan Fisik
Antropometri
Berat Badan : 67 kg
Tinggi Badan : 151 cm

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 88x/menit
Frekuensi napas : 21x/menit
Suhu : 36,1oC

Status Generalis
Kepala : Normosefalik
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, penurunan visus (-)
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks
Jantung : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Gerak napas simetris, retraksi (-), suara napas vesikuler,
rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, linea nigra (+), striae albicans (-), scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Superior : edema (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik
Inferior : edema (-/-), akral hangat, varises (-/-), CRT < 2 detik

Status Obstetri
Inspeksi: Linea nigra (+), striae albicans (-), scar (-)
Palpasi:
Tinggi Fundus Uteri : 31 cm
Taksiran Berat Janin : 2.945 gram
Leopold I : teraba bagian bulat lunak, bokong.
Leopold II : punggung janin terletak di kiri ibu.
Leopold III : teraba bagian bulat keras, kepala
Leopold IV : belum masuk PAP, penurunan (+)
HIS: : -
Auskultasi
Denyut Jantung Janin : 130x/menit

Vaginal Toucher : Pembukaan 3 cm, portio lunak, kepala H1, blood slim (+)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah Lengkap (29/09/2018)
Hemoglobin : 12,6 gr/dl
Leukosit : 11.220/µl
Hematokrit : 36,6%
Trombosit : 200.000/µl
Bleeding time : 3 menit
Clotting time : 9 menit
GDS : 81 mg/dL
Ureum : 20,0 mg/dL
Creatinin : 0,6 mg/dL
HbsAg : Non reaktif
Ab HIV : Non reaktif

Urinalisis (29/09/2018)
Warna : Kuning
Kejernihan : Keruh
pH : 6,0
Protein :+
Glukosa :-
Hemoglobin :+
Leukosit : 15-20
Eritrosit : 4-8
Bakteri :+
Diagnosis
G3P1A1 gravid 40-41 minggu + inpartu kala I fase laten + oligohidramnion berat
ec KPD

Penatalaksanaan

 Infus RL
 Inj ceftriaxone 2 x 1 gr IV
 Rencana SC jam 09.00

Follow Up
Tanggal &
Pemeriksaan Penatalaksanaan
Waktu
29/09/2018 Laporan Operasi
OK IGD Tanggal operasi : 29/09/2018
Waktu operasi : 09.40-10.15
Diagnosis pre-operatif: G3P1A1 gravid
40-41 minggu dengan
oligohidramnion berat ec KPD
Diagnosis post-operatif: P2A1 post
SC atas indikasi oligohidramnion
berat ec KPD
Jenis operasi: Sectio Caesarea
Transperitoneal Profunda

Langkah-langkah operasi:
1. Pasien disiapkan diatas meja
operasi
2. Dilakukan anastesi spinal pada
pasien.
3. Pasien diposisikan berbaring.
4. Dilakukan desinfeksi pada dinding
perut dan lapangan operasi
dipersempit dengan duk steril.
5. Dibuat insisi vertikal sepanjang 15
cm, secara tumpul dibuka lapis
demi lapis (kulit – subkutis - lemak
- fasia tranversa dibuka secara
tajam - m.oblique eksternus -
m.rectus abdominis - m.piramidalis
- m.obliqus interna -
m.transversus-peritoneum)
6. Dilakukan insisi pada segmen
bawah rahim 1 cm di bawah plika
vesikouterina, dibuka perlahan-
lahan (diperlebar dengan kedua jari
operator)
7. Bagian terbawah anak didorong
dari arah vagina kearah abdomen.
8. Anak dilahirkan mulai dari kepala,
badan dan bokong. Dilakukan
suction kemudian dilakukan
pemotongan tali pusat.
Disuntikkan oksitosin 10 IU pada
uterus, lalu plasenta dikeluarkan
secara manual. Membersihkan
sisa-sisa darah dan jaringan
plasenta pada kavum uteri.
9. Dilakukan pembersihan kavum
uteri dengan kassa betadin dan
pastikan tidak ada plasenta yang
tertinggal.
10. Menjahit luka irisan pada segmen
bawah rahim dengan monocryl
no.1
11. Membersihkan kavum abdomen
degan cairan NaCl dan kemudian
dilakukan suction.
12. Menjahit lapisan dinding abdomen
lapis demi lapis:
a. Peritoneum dengan plain
catgut 2.0
b. Otot dengan plain catgut 2.0
c. Fasia dengan vycril 1.0
d. Lemak dengan plain catgut 2.0
e. Subcutan dan cutis dengan
vycril 3.0
13. Permukaan abdomen dibersihkan
dengan NaCl 0.9%
14. Luka ditutup dengan sofratulle,
kasa, dan plester.
15. Eksplorasi ke dalam vagina untuk
mengeluarkan sisa darah
16. Operasi selesai
Laporan Kelahiran Bayi:
Tanggal 29 September 2018 Pukul
09.58 wita, bayi lahir jenis kelamin
laki-laki dengan Apgar Score 8/9,
berat badan 3000 gram dan panjang
badan 49 cm, lingkar dada 33 cm,
lingkar kepala 33 cm, anus ada, tidak
didapatkan kelainan, dan ketuban
jernih.
Penatalaksanaan Post Operasi:
Inj ceftriaxone 2 x 1 gr
Inj antrain 3 x 1 amp
Infus RL + oksitosin 20 tpm
29/09/2018 S: Nyeri luka oprasi + P:
13.30 O: TD:110/70 N:84x/mnt, Injeksi Ceftriaxone 2x1
Nifas RR:20x/mnt, T: 36,2℃ Injeksi Antrain 3x1
A: Post op sc hari ke 1 indikasi KPD
+ Oligohidramnion
25/09/2018 S: Nyeri luka oprasi + P:
15.00 O: TD 130/80, N: 82x/mnt, Injeksi Ceftriaxone 1 gr/IV
RR:20x/mnt, T: 36℃ Injeksi Antain IV
A: Post op sc hari ke 1 indikasi KPD
+ Oligohidramnion
30/09/2018 S: Nyeri luka oprasi P:
Nifas O: TD 120/80, N: 80x/mnt, Cefadroxil 500 mg
RR:20x/mnt, T: 36,0℃ Asam Mefenamat 500 mg
A: Post op sc hari ke 2 indikasi KPD
+ Oligohidramnion
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of membrans
(PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum
menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan inpartu didefinisikan
sebagai kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan
terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian tidak
timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan
kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida.
Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm
maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of
membrans atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37
minggu disebut ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of
membran (PPROM) dan bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged
PROM.2

3.2 Etiologi
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya
elastisitas yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan
perubahan yang besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat
kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh
infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion
di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah lapisan retikuler
atau trofoblas, dimana sebagaian bear jaringan kolagen terdapat pada lapisan
penunjang (dari epitel amnion sampai dengan epitel basal korion). Sintesis
maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi
intrleukin-1 dan prostaglandin. Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan
bakteri penyebab infeksi mengeluarkan enzim protease dan mediator inflamasi
interleukin-1 dan prostaglandin. Mediator ini menghasilkan kolagenase jaringan
sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion menyebabkan
selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut
membuat uterus berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat
uterus berkontraksi.4

Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi
ditemukan beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban
pecah dini, antara lain:
1. Infeksi
Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup
untuk melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri
patogen di dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal
akan meningkat 10 kali. Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering
diakibatkan oleh adanya infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri
yang terikat pada membran melepaskan substrat seperti protease yang
menyebabkan melemahnya membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa
matriks metalloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam
pecahnya ketuban oleh karena infeksi.2
2. Defisiensi vitamin C

Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan


kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai
elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.2
3. Faktor selaput ketuban
Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan
atau terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di
samping juga ada kelainan selaput ketuban itu sendiri. Hal ini terjadi seperti pada
sindroma Ehlers-Danlos, dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat oleh karena
defek pada sintesa dan struktur kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas pada
kulit dan sendi, termasuk pada selaput ketuban yang komponen utamanya adalah
kolagen. Dimana 72 % penderita dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan
mengalami persalinan preterm setelah sebelumnya mengalami ketuban pecah dini
preterm.2
4. Faktor umur dan paritas
Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan
amnion akibat rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.2
5. Faktor tingkat sosio-ekonomi
Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan
insiden KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta
jarak kelahiran yang dekat.2
6. Faktor-faktor lain
Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan
pecahnya selaput ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang langsung dari
kavum uteri. Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti amniosintesis dapat
meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini. Pada perokok, secara tidak
langsung dapat menyebabkan ketuban pecah dini terutama pada kehamilan
prematur. Kelainan letak dan kesempitan panggul lebih sering disertai dengan
KPD, namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Faktor-faktor lain,
seperti : hidramnion, gamelli, koitus, perdarahan antepartum, bakteriuria, pH
vagina di atas 4,5, stres psikologis, serta flora vagina abnormal akan
mempermudah terjadinya ketuban pecah dini.2
Berdasarkan sumber yang berbeda, penyebab ketuban pecah dini
mempunyai dimensi multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

 Serviks inkompeten.
 Ketegangan rahim yang berlebihan : kehamilan ganda, hidramnion.
 Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang, letak lintang.
 Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum
masuk pintu atas panggul, disproporsi sefalopelvik.
 Kelainan bawaan dari selaput ketuban.
 Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban
dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.5

3.3 Epidemiologi
Prevalensi KPD berkisar antara 3-18% dari seluruh kehamilan. Saat aterm,
8-10 % wanita hamil datang dengan KPD dan 30-40% dari kasus KPD merupakan
kehamilan preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. KPD diduga dapat
berulang pada kehamilan berikutnya, menurut Naeye pada tahun 1982
diperkirakan 21% rasio berulang, sedangkan penelitian lain yang lebih baru
menduga rasio berulangnya sampai 32%. Hal ini juga berkaitan dengan
meningkatnya risiko morbiditas pada ibu atau pun janin. Komplikasi seperti :
korioamnionitis dapat terjadi sampai 30% dari kasus KPD, sedangkan solusio
plasenta berkisar antara 4-7%. Komplikasi pada janin berhubungan dengan
kejadian prematuritas dimana 80% kasus KPD preterm akan bersalin dalam waktu
kurang dari 7 hari. Risiko infeksi meningkat baik pada ibu maupun bayi. Insiden
korioamnionitis 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan, 3-15% pada KPD prolonged,
15-25% pada KPD preterm dan mencapai 40% pada ketuban pecah dini dengan
usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Sedangkan insiden sepsis neonatus 1 dari
500 bayi dan 2-4% pada KPD lebih daripada 24 jam.2
Proporsi KPD di Rumah Sakit Sanglah periode 1 Januari 2005 sampai 31
Oktober 2005 dari 2113 persalinan, proporsi kasus KPD adalah sebanyak 12,92%.
Sedangkan proporsi kasus KPD preterm dari 328 kasus ketuban pecah dini baik
yang melakukan persalinan maupun dirawat secara konservatif sebanyak 16,77%
sedangkan sisanya adalah KPD dengan kehamilan aterm. Kontribusi KPD ini
lebih besar pada sosial ekonomi rendah dibandingkan sosial ekonomi menengah
ke atas.2

3.4 Patofisiologi

Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya


selaput ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya
regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi
komponen matriks ekstraseluler pada selaput ketuban.2
Gambar 3.1. Gambar skematik struktur selaput ketuban saat aterm.2

Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan


jumlah jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan
aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh
matriks metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat
memecah komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi
dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple
helix dari kolagen fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2
dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga
diproduksi penghambat metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase
(TIMP). TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2
menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang
sama dengan TIMP-1.2
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh
karena aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih
tinggi. Saat mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu
didapatkan kadar MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP
yang akan menyebabkan terjadinya degradasi matriks ektraseluler selaput
ketuban. Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi
patologis pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui meningkat pada
kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm didapatkan
kadar protease yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang
rendah.2
Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya
gangguan pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini.
Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah
dini adalah asam askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix
dari kolagen. Zat tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan
ketuban pecah dini. Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang
rendah.2
Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa
mekanisme. Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus
aureus dan Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan
terjadinya degradasi membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban. Respon
terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP,
dan prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan tumor
nekrosis faktor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas
MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga
merangsang produksi prostalglandin oleh selaput ketuban yang diduga
berhubungan dengan ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan iritabilitas
uterus dan degradasi kolagen membran. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat
menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan prekursor prostalglandin dari
membran fosfolipid. Respon imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan
produksi prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang
diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim
siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi
prostalglandin. Sampai saat ini hubungan langsung antara produksi prostalglandin
dan ketuban pecah dini belum diketahui, namun prostaglandin terutama E2 dan
F2α telah dikenal sebagai mediator dalam persalinan mamalia dan prostaglandin
E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan
meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-33. Indikasi terjadi infeksi pada
ibu dapat ditelusuri metode skrining klasik, yaitu temperatur rektal ibu dimana
dikatakan positif jika temperatur rektal lebih 38°C, peningkatan denyut jantung
ibu lebih dari 100x/menit, peningkatan leukosit dan cairan vaginal berbau.2

Tabel 3.1. Frekuensi gejala yang berhubungan dengan infeksi intra-amniotik.2

Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks
ekstraseluler pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan
menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi
TIMP pada fibroblas serviks dari kelinci percobaan. Tingginya konsentrasi
progesteron akan menyebabkan penurunan produksi kolagenase pada babi
walaupun kadar yang lebih rendah dapat menstimulasi produksi kolagen. Ada juga
protein hormon relaxin yang berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat
diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini mempunyai
aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan estradiol
dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membran janin.
Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada selaput ketuban manusia
saat aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis pecahnya selaput
ketuban belum dapat sepenuhnya dijelaskan.2

Kematian Sel Terprogram


Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami
kematian sel terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar
robekan selaput ketuban. Pada korioamnionitis terlihat sel yang mengalami
apoptosis melekat dengan granulosit, yang menunjukkan respon imunologis
mempercepat terjadinya kematian sel. Kematian sel yang terprogram ini terjadi
setelah proses degradasi matriks ekstraseluler dimulai, menunjukkan bahwa
apoptosis merupakan akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut. Namun
mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui dengan jelas.2

Peregangan Selaput Ketuban


Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput
ketuban seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga
merangsang aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari
sel amnion dan korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang
aktifitas kolegenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya
keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya
menyebabkan pecahnya selaput ketuban.2

Gambar. 3.2. Mekanisme multifaktorial menyebabkan ketuban pecah dini.2


3.5 Diagnosis
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosis
yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu
awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya
diagnosis yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai
resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh
karena itu, diperlukan diagnosis yang cepat dan tepat. Diagnosis KPD ditegakkan
dengan cara :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau
mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir.
Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada infeksi. Pasien tidak
sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus. Riwayat
umur kehamilan pasien lebih dari 20 minggu.4
Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak
adanya nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi
yang diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi abdomen
memberikan perkiraan ukuran janin dan presentasi.4

2. Pemeriksaan dengan spekulum


Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel cairan
ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur dan
pemeriksaan bakteriologis.5
Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah :
1. Pooling : Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior.
2. Nitrazine Test : Kertas nitrazin merah akan jadi biru.
3. Ferning : Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass dan
didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran seperti daun
pakis.8
Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya
cairan amnion dalam vagina. Perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari
ostium uteri eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang sudah pecah.
Gunakan kertas lakmus. Bila menjadi biru (basa) adalah air ketuban, bila merah
adalah urin. Karena cairan alkali amnion mengubah pH asam normal vagina.
Kertas nitrazine menjadi biru bila terdapat cairan alkali amnion. Bila diagnosa
tidak pasti, adanya lanugo atau bentuk kristal daun pakis cairan amnion kering
(ferning) dapat membantu. Bila kehamilan belum cukup bulan penentuan rasio
lesitin-sfingomielin dan fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan
paru janin. Bila kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis untuk
pemeriksaan kultur serviks terhadap Streptokokus beta group B, Clamidia
trachomatis dan Neisseria gonorea.4
3. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan dilatasi
serviks. Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian presentasi janin
dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. Periksa dalam harus dihindari
kecuali jika pasien jelas berada dalam masa persalinan atau telah ada keputusan
untuk melahirkan.4

4. Pemeriksaan penunjang

 Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah
menjadi biru.
 Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm3 kemungkinan
ada infeksi.
 USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin,
letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.
 Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara dini
atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau
peningkatan suhu, denyut jantung janin akan meningkat.
 Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin dan
fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru janin.4
3.6 Diagnosis Banding

Fistula vesiko vaginal pada kehamilan.4

3.7 Penatalaksanaan
Konservatif

 Rawat di rumah sakit.


 Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan
dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).
 Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
 Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
 Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
 Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.7

Aktif

 Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan


seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50µg intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali.
 Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan
persalinan diakhiri jika :
a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.8

Tabel. 3.2 Penatalaksanaan ketuban pecah dini.7


Gambar. 3.3 Alur penatalaksanaan ketuban pecah dini.8
3.8 Komplikasi

 Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.
Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%
terjadi di dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan aterm 90%
terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34
minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26
minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.1
 Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini.
Pada ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia,
pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin
terinfeksi. Pada ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering daripada
aterm. Secara umum, insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini
meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.1
 Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan
tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara
terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air
ketuban, janin semakin gawat.1
 Sindroma deformitas janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan
anggota badan janin, serta hipoplasia pulmonal.1

3.9 Prognosis
Ditentukan berdasarkan umur dari kehamilan, penatalaksanaan dan
komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul.2
BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien Ny. RRAA usia 27 tahun datang ke IGD RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda 29 September 2018 dengan keluhan utama keluar air-air dari
jalan lahir. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka didapatkan diagnosis G3P1A1 gravid 40-41 minggu + inpartu kala
I fase laten + oligohidramnion berat ec KPD.
Diagnosis KPD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis KPD yang tepat sangat penting untuk
menentukan penanganan selanjutnya. Oleh karena itu, usaha untuk menegakkan
diagnosis KPD harus dilakukan dengan cepat dan tepat.

4.1 Anamnesis
Pada kasus, berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan yang sesuai
dengan teori yaitu pasien mengeluhkan keluar air-air dari jalan lahir sejak ± 1 jam
SMRS. Air-air tersebut jernih dan sedikit berbau. Perut tidak terasa kencang-
kencang. Tidak ada keluhan keluar lendir darah. Pasien hanya periksa 1x
kehamilan pada usia kehamilan 2 bulan di bidan
Berdasarkan teori, diagnosis KPD 90% dapat ditegakkan melalui
anamnesis. Dari anamnesis didapatkan pasien merasa basah pada vagina, atau
mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir. Cairan berbau
khas dan perlu juga diperhatikan warna keluarnya cairan tersebut. His belum
teratur atau belum ada serta belum ada pengeluaran lendir darah.
Teori Kasus
 Pasien merasa basah pada vagina.  Pasien datang dengan keluhan keluar
 Mengeluarkan cairan banyak tiba - air-air dari jalan lahir
tiba dari jalan lahir.  Riwayat keluar air ketuban dari jalan
 Warna cairan diperhatikan. lahir sejak 1 jam sebelum masuk rumah
 Belum ada pengeluaran lendir sakit.
darah dan berbau khas  Cairan yang keluar jernih dan sedikit
 His belum teratur atau belum ada. berbau.
 Belum ada pengeluaran lendir  Tidak ada keluhan perut kencang-
darah. kencang
 Tidak ada keluhan keluar lendir darah.

4.2 Pemeriksaan Fisik


Pada kasus, pemeriksaan fisik secara umum dalam batas normal, baik
pemeriksaan tanda vital, maupun status generalisata dari pasien. Pada pasien tidak
didapatkan adanya tanda-tanda infeksi. Suhu pasien normal yaitu 36,7o C. Denyut
nadinya juga dalam batas normal, yaitu 80 kali per menit.

Berdasarkan teori, pemeriksaan fisik pada kasus KPD ini penting untuk
menentukan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu. Hal ini terkait dengan
penatalaksanaan KPD selanjutnya dimana risiko infeksi ibu dan janin meningkat
pada KPD. Umumnya dapat terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.
Selain itu juga didapatkan adanya nadi yang cepat.

Teori Kasus
Tanda-tanda infeksi: Tidak ada tanda-tanda infeksi:
 Suhu ibu >38o C  Suhu ibu 36,7o C
 Nadi cepat  Nadi 80 kali / menit

4.3 Pemeriksaan Inspekulo


Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan inspekulo. Pemeriksaan ini
tidak dilakukan karena sebelumnya pasien memiliki riwayat keluar air-air. Cairan
yang keluar berwarna jernih mengalir.
Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan
pertama terhadap kecurigaan KPD. Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD
akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE). Pada pasien
KPD akan tampak cairan keluar dari vagina. Cairan yang keluar dari vagina perlu
diperiksa warna, bau dan pHnya. Air ketuban yang keruh dan berbau
menunjukkan adanya proses infeksi.
Teori Kasus
 Pemeriksaan dengan spekulum tampak  Tidak dilakukan pemeriksaan
keluar cairan dari OUE dengan spekulum.
 Tampak cairan keluar dari vagina  Riwayat keluar air ketuban.
 Cairan yang keluar diperiksa warna,  Cairan jernih, pH diperiksa dengan
bau dan pHnya (pH>7) kertas Lakmus (pH = 8)
 Air ketuban yang keruh dan berbau
menunjukkan adanya proses infeksi.

4.4 Pemeriksaan Dalam

Pada kasus, pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan dalam pada saat
pertama kali datang untuk menentukan ada tidaknya pembukaan. Pada saat di
lakukan pemeriksaan dalam pada pasien ini selaput ketuban negatif tanpa adanya
pembukaan.
Pemeriksaan dalam vagina dibatasi seminimal mungkin dan hanya
dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi
persalinan dan pada pasien dengan KPD akan ditemukan selaput ketubannya
negatif. Pemeriksaan dalam pada saat pasien datang pertama kali adalah penting
untuk menilai apakah sudah ada pembukaan sehingga pasien berada dalam
kondisi inpartu.

Teori Kasus
Pemeriksaan dalam dilakukan : Pemeriksaan dalam dilakukan :
 Seminimal mungkin untuk mencegah  Saat pertama kali datang.
infeksi.  Untuk memantau kemajuan
 KPD sudah dalam persalinan. persalinan.
 KPD yang dilakukan induksi persalinan.  Selaput ketuban negatif
 Selaput ketuban negatif.
4.5 Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan pemeriksaan tersebut dan penunjang, yaitu : laboratorium
bahwa leukosit pasien dalam batas normal (8.300/ mm3) dan kesimpulannya
bahwa air ketuban tidak menunjukkan adanya proses infeksi.

Pada pasien ini dilakukan tes lakmus. Sekret vagina ibu hamil pHnya
adalah 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning. Tes Lakmus
(tes nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan
adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban adalah 7 – 7,5.

Teori Kasus
 Pemeriksaan leukosit untuk mengetahui  Leukosit: 8.800
yanda-tanda infeksi  Dilakukan pemeriksaan pH
 Kertas lakmus merah berubah menjadi dengan tes lakmus, hasilnya pH 8
biru
 pH air ketuban adalah 7 – 7,5

4.6 Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan USG. Pemeriksaan USG pada


kasus KPD dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.
Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi
kesalahan pada keadaan oligohidromnion.

Teori Kasus
 Pemeriksaan leukosit untuk  Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan USG.
mengetahui tanda-tanda II. Janin tunggal hidup, presentasi kepala
infeksi III. Plasenta di corpus posterior grade II, Air
 USG untuk melihat jumlah ketuban kurang
cairan ketuban dalam IV. UK : 26 – 27 minggu
kavum uteri V. TBJ : 1020 gram
4.7 Penatalaksanaan
Pada kasus ini, keluar air ketuban dari jalan lahir atau dalam hal ini
pecahnya ketuban dicurigai terjadi 1 jam sebelum masuk rumah sakit, sementara
belum ada tanda-tanda inpartu pada pemeriksaan dalam, telah dlakukan
pemeriksaan USG bahwa air ketuban kurang.
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus
dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap pasien KPD,
yaitu umur kehamilan dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu. Pemberian
antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Waktu pemberian
antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakkan.
Beberapa penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera
diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan pasien akan menjadi
inpartu dengan sendirinya. Induksi dilakukan dengan memperhatikan Bishop
score, jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya jika < 5, dilakukan
pematangan serviks, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
Teori Kasus
 Pemberian antibiotik profilaksis dapat  Pasien diberikan injeksi antibiotik
menurunkan infeksi pada ibu Cefotaxime
 Bila skor pelvik < 5, lakukan  Dilakukan SC dikarenakan hasil
pematangan serviks, kemudian USG menunjukkan air ketuban
induksi. kurang
 Bila skor pelvik > 5, induksi
persalinan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, pasien pada kasus ini didiagnosis sebagai KPD. Kasus yang
ditemukan sudah sesuai dengan teori yang ada. Penatalaksanaan KPD pada pasien
ini pada umumnya tepat.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. RRAA yang berusia 27
tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan utama keluar air-air. Setelah
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan G3P1A1 gravid 40-41 minggu + inpartu kala I fase laten +
oligohidramnion berat ec KPD. Pada pasien ini dilakukan persalinan secara SC.
Dan secara umum penegakkan diagnosis maupun penatalaksanaan pada pasien ini
sudah tepat dan sesuai dengan teori.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Winkjosastro H.,


Saifuddin A.B., dan Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 677-680.
2. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs
http://www.scribd.com/doc/6174 2900/Lapsus-KPD-singaraja.html.
diakses pada tanggal 29 September 2018.
3. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/
59744828/ketuban-pecah-dini-2.html. diakses pada tanggal 29 September
2018.
4. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/
65772733/KPD.html. diakses pada tanggal 29 September 2018.
5. Gde Manuaba, I.B. Ketuban Pecah Dini (KPD). Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan & Keluarga Berencana. Jakarta: EGC; 2001. Hal: 229-232.
6. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/
65476803/tinjauan-pustaka-KPD.html. diakses pada tanggal 29 September
2018.
7. Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini, Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Hal : 218-220.
8. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/
50265897/BAB-I.html. diakses pada tanggal 29 September 2018.
9. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.2014. Diambil dari
situs www.depkes.go.id/download.php?file.../infodatin/infodatin-ibu.pdf.
Diakses pada tanggal 29 September 2018.
10. Aisyah S.2012.Perbedaan Kejadian Ketuban Pecah Dini antara
Primipara dan Multipara. Jawa Timur: Universitas Islam Lamongan.

Anda mungkin juga menyukai