Anda di halaman 1dari 8

LEARNING ISSUE

Patofisiologi Asma Bronkial


Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi
utama yaitu kontraksi otot-otot polos baik saluran napas, pembengkakan membran yang melapisi
bronki, pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronki dan kelenjar
mukusa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi,
dengan udara terperangkap didalam jaringan paru. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan
saraf otonom, dan adanya perubahan (kontraksi) pada otot polos bronkus juga diduga berperan
pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena
adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara
menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Dikenal dua
jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE
dapat dijelaskan pada LI Reaksi Immunologis dan Inflamasi dan jalur saraf otonom.
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkioulus terhadap benda-benda
asing di udara.
Pada asma, antibody IgE umumnya melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial
paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang
telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor
kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan
menghasilkan edema lokal pada dinding bronkioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental
dalam lumen bronkioulus dan spasme otot polos bronkiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang
selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama
ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Bronkiolus yang sudah tersumbat sebagian
selanjutnya akan mengalami obstruksi berat akibat dari tekanan eksternal. Penderita asma
biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sulit melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi
sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari
paru. Keadaan ini bisa menyebabkan terjadinya barrel chest.

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang kompleks.
Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan
mukosa bronkus, lumen jalan napas, dan di bawah membran basal. Berbagai faktor pencetus
dapat mengaktivasi sel mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator
adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit, dan
monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
memperbesar reaksi yang terjadi.
Ada 2 faktor yang berperan penting untuk terjadinya asma, yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan. Beberapa proses terjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan dengan
pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi belum tentu menjadi Asma. Apabila seseorang
yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses
inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan
terjadi serangan asma (mengi).

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2 . Pada keadaan
tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel
inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus
tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya
hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.

Komplikasi Asma Bronkial


Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila
terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang
lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema
mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum. Pertama
dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik
atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke
dalam rongga dada .
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat
oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi
pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai
untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam
sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari
saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa
perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau
merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
7. Fraktur iga
Reaksi Immunologi dan Inflamasi pada Asma Bronkial
Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan
ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan
adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan
menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam
lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Analisis Masalah
6 a. Apakah maknanya nenek dari Tuan Aston menderita sakit yang sama?
 Faktor genetik.
b. Apakah ada hubungan faktor genetika dengan penyakit Tuan Astono?
 Faktor Genetik pada Asma
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa
perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan
berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas
dan status kesehatan.

7b. Apakah hubungan data diatas dengan penyakit asma bronchial akut sedang yang diderita
Tuan Astono?

10. a. Mengapa dilakukan pemeriksaan spirometri?
 Spirometri adalah alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis
juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Alat pengukur faal paru, selain
penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Apa yang menyebabkan obstruksi jalan napas berat?
 Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi otot-otot polos
baik saluran napas, pembengkakan membran yang melapisi bronki, pengisian bronki dengan
mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang
kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap didalam
jaringan paru.
c. Apa akibat dari obstruksi jalan napas berat?
 Penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi
sulit melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea (sesak napas). Kapasitas residu
fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat
kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru.

11. a. Bagaimana mekanisme terjadi asma bronkial akut sedang?


 Belum lengkap.
Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis .

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru


I. Intermiten
Bulanan APE ³ 80%
* Gejala < 1x/minggu * £ 2 kali sebulan * VEP1 ³ 80% nilai prediksi
* Tanpa gejala di luar APE ³ 80% nilai terbaik
serangan * Variabiliti APE < 20%
* Serangan singkat

II. Persisten
Ringan Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu, * > 2 kali sebulan * VEP1 ³ 80% nilai prediksi
tetapi < 1x/ hari APE ³ 80% nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabiliti APE 20-30%
mengganggu aktiviti
dan tidur

III. Persisten
Sedang Harian APE 60 – 80%
* Gejala setiap hari * > 1x / * VEP1 60-80% nilai
* Serangan mengganggu seminggu prediksi
aktiviti dan tidur APE 60-80% nilai terbaik
*Membutuhkan * Variabiliti APE > 30%
bronkodilator
setiap hari

IV. Persisten
Berat Kontinyu APE £ 60%
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 £ 60% nilai prediksi
* Sering kambuh APE £ 60% nilai terbaik
* Aktiviti fisik terbatas * Variabiliti APE > 30%

b. Apa dampak asma bronkial terhadap sistem respirasi?


 Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Bronkiolus yang sudah tersumbat sebagian selanjutnya akan mengalami obstruksi
berat akibat dari tekanan eksternal. Penderita Asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan
baik dan adekuat, tetapi sulit melakukan ekspirasi.

Anda mungkin juga menyukai