Anda di halaman 1dari 6

BAB 2

Tinjauan Pustaka

2.1. Kedokteran Keluarga


2.1.1. Definisi Kedokteran Keluarga

Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh yang memusatkan
pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit, dimana tanggung jawab dokter terhadap
pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien juga tidak
boleh organ tubuh atau jenis penyakit tertentu.

Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi
komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak hanya memandang penderita sebagai
individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara
pasif tetapi bila perlu aktif mengunjungi penderita atau keluarganya (IDI 1982).

Ilmu kedokteran keluarga adalah ilmu yang mencakup selurum spectrum ilmu kedokteran
tingkat yang orintasinya adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
berkesinambungan dan menyeluruh kepada satu kesatuan individu, keluarga dan masyarakat
dengan memperhatikan factor-faktor lingkungan, ekonomi dan social budaya (IDI 1983).

2.1.2. Prinsip Kedokteran Keluarga

2.1.3. Manfaat Pelayanan Dokter Keluarga (Cambridge Research Institute, 1976)


a. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit sebagai manusia seutuhnya,
bukan hanya terhadap keluhan yang disampaikan.
b. Akan dapat diselenggarakan pelayanan pencegahan penyakit dan dijamin
kesinambungan pelayanan kesehatan.
c. Apabila dibutuhkan pelayanan spesialis, pengaturannya akan lebih baik dan terarah,
terutama ditengah-tengah kompleksitas pelayanan kesehatan saat ini
d. Akan dapat diselenggarakan pelayanan kesehatan yang terpadu sehingga penanganan
suatu masalah kesehatan tidak menimbulkan berbagai masalah lainnya.
e. Jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayanan, maka segala keterangan
tentang keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan dan ataupun keterangan keadaan
social dapat dimanfaatkan dalam menangani masalah kesehatan yang sedang
dihadapi.
f. Akan dapat diperhitungkan berbagai factor yang mempengaruhi timbulnya penyakit,
termasuk factor social dan psikologis.
g. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan tata cara yang lebih
sederhana dan tidak begitu mahal dank arena itu akan meringankan biaya kesehatan.
h. Akan dapat dicegah pemakaian berbagai peralatan kedokteran canggih yang
memberatkan biaya kesehatan.
2.1.4. Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga

Tujuan Umum (Azwar, 1995)

Terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga.

Tujuan Khusus

a. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efektif.


Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter keluarga lebih
efektif, dikarenakan dalam menangani suatu masalah kesehatan, perhatian tidak hanya
ditujukan pada keluhan yang disampaikan saja, tetapi pada pasien sebagai manusia
seutuhnya, dan bahkan sebagai bagian dari anggota keluarga dengan lingkungannya
masing-masing. Dengan diperhatikannya berbagai factor yang seperti ini, maka
pengelolaan suatu masalah kesehatan akan dapat dilakukan secara sempurna dan karena
itu penyelesaian suatu masalah kesehatan akan dapat diharapkan lebih memuaskan.
b. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efisien.
Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter keluarga juga lebih
mengutamakan pelayanan pencegahan penyakit serta diselenggarakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan. Dengan diutamakannya pelayanan pencegahan penyakit,
maka angka jatuh sakit akan menurun, yang jika dapat dipertahankan, pada gilirannya akan
berperan besar dalam menurunkan biaya kesehatan. Hal yang sama juga ditemukan pada
pelayanan yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Karena salah satu
keuntungan dari pelayanan seperti ini adalah dapat menghindari tindakan dana tau
pemeriksaan kedokteran yang berulang-ulang, yang besar peranannya dalam mencegah
penghamburan dana kesehatan yang jumlahnya telah diketahui selalu bersifat terbatas.
2.2. Gizi Kurang
2.2.1. Definisi

Nutrisi adalah asupan makanan, dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan makanan
tubuh. Nutrisi yang baik - diet yang cukup dan seimbang yang dikombinasikan dengan aktivitas
fisik yang teratur adalah landasan kesehatan yang baik. Nutrisi yang buruk dapat menyebabkan
berkurangnya kekebalan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit, gangguan
perkembangan fisik dan mental, dan berkurangnya produktivitas. (WHO
https://www.who.int/topics/nutrition/en/
Malnutrisi merupakan gangguan dalam pemanfaatan nutrisi untuk pertumbuhan,
pengembangan, pemeliharaan, dan aktivitas. Malnutrisi terjadi karena asupan nutrisi yang tidak
memadai, atau karena penyakit faktor-faktor yang mempengaruhi pencernaan, penyerapan,
transportasi dan pemanfaatan nutrisi. UNICEF. A UNICEF Policy Review: Strategy for
Improved Nutrition of Children and Women in Developing Countries. New York: 1990. Hal:
8
Gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang makan ketika kebutuhan normal terhadap
satu atau beberapa nutrien tidak terpenuhi, atau nutrien-nutrien tersebut hilang dengan jumlah
yang lebih besar daripada yang didapat. Keadaan gizi kurang dalam konteks kesehatan
masyarakat biasanya dinilai dengan menggunakan kriteria antropometrik statik atau data yang
berhubungan dengan jumlah makronutrien yang ada di dalam makanan, yaitu protein dan
energy (Gibney, dkk, 2009) https://www.hairscientists.org/wp-
content/uploads/2013/06/1405168072%2BNutritionA.pdf
Gizi pada balita dipengaruhi oleh factor sosio-ekonomi dan latar belakang social budaya yang
berhubungan dengan pola makan dan nutrisi. Nutrisi yang tidak adekuat dalam lima tahun
pertama kehidupan berakibat pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental
dann otak
2.2.2. Epidemiologi

Berdasarkan data yang diperoleh dari UNICEF, WHO dan World Bank Group pada tahun 2017,
didapatkan sebanyak 50.5 juta anak diseluruh dunia mengalami masalah gizi (gizi kurang dan
gizi buruk), 35 juta anak diantaranya berada di Asia. Dari 35 juta anak Asia yang mengalami
gizi kurang dan gizi buruk, 5.1 juta anak tersebut berada di Asia Tenggara. Menurut Riskesdas
2018, angka kejadian gizi buruk pada balita di Indonesia sebanyak 3.7%, angka ini mengalami
penurunan dari Riskesdas 2013 (5.7%). Sementara itu ditemukan 5713 anak di provinsi Banten
pada tahun 2017 mengalami gizi buruk, dan di Kabupaten Tangerang sendiri didapat 2166 anak
mengalami gizi buruk pada tahun 2010. Data terakhir di kecamatan Curug, ditemukan sekitar
18 anak mengalami gizi buruk dan 200 anak yang mengalami gizi kurang.

2.2.3. Faktor Risiko

Malnutrisi selama masa kanak-kanak adalah akibat dari berbagai faktor, yang sebagian besar
berhubungan dengan asupan makanan yang tidak memuaskan atau infeksi parah dan berulang,
atau kombinasi keduanya. Penyebab malnutrisi yang paling sering disarankan adalah:
kemiskinan, pendidikan orang tua yang rendah, kurangnya sanitasi, asupan makanan yang
rendah, diare dan infeksi lainnya, praktik pemberian makan yang buruk, ukuran keluarga,
interval kelahiran pendek, ketersediaan waktu ibu, praktik pengasuhan anak dan musiman. Ada
juga penyebab malnutrisi ekonomi, sosial, dan budaya yang menggarisbawahi kaitan erat
antara kekurangan gizi. Abera et al. International Journal for Equity in Health (2017)
a. Faktor sosial ekonomi dan demografi
Rumah tangga yang dikepalai oleh wanita lebih cenderung memiliki anak yang kurang gizi.
Anak yang memiliki lebih dari 3 saudara kandung cenderung memiliki berat badan lebih rendah
dibanding anak yang tidak memiliki saudara kandung. Paramita S, Nina P, Benjamin A. I.
(2010) Epidemiological correlates of under-nutrition in under-5 years children in an urban slum
of ludhiana, india Health and Population: Perspectives and Issues 33: 1-9.
Meskipun sedikit signifikan, ibu yang tidak memiliki pendidikan formal memiliki
kemungkinan empat kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang telah menyelesaikan lebih dari
pendidikan dasar untuk memiliki anak yang kurang gizi. Pendidikan adalah indikator penting
karena hubungannya dengan perilaku dan pengetahuan kesehatan, status pendidikan yang
rendah mempengaruhi praktik pemberian makan dan status gizi anak-anak. Di antara semua
faktor sosial ekonomi yang dipelajari, pendidikan ibu ditemukan menjadi faktor signifikan
paling kuat yang terkait dengan kekurangan gizi. Abuya BA1, Ciera J, Kimani-Murage E
(2012) Effect of mother's education on child's nutritional status in the slums of Nairobi. BMC
Pediatr 12: 80.

b. Faktor lingkungan
Faktor paling signifikan yang mempengaruhi status gizi balita ditemukan pada mereka yang
tidak mencuci tangan setelah batuk, tidak mencuci tangan setelah menangani sampah, mencuci
makanan mentah yang tidak tepat dan rumah tangga yang mendapatkan air minum dari sumur
yang tidak terlindungi. Assefa D, Wassie E, Getahun M, Berhaneselassie M, Melaku A
(2005) Harmful traditional practices for the Ethiopian health center team,Hawassa, College 33-
40.

c. Kesehatan dan praktik pengasuhan anak


Sebagai rekomendasi kesehatan masyarakat global, bayi harus disusui secara eksklusif selama
enam bulan pertama kehidupan untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan
yang optimal. Anak-anak yang diberi ASI eksklusif hanya 4 bulan pertama memiliki kejadian
gizi kurang 3,95 kali lebih tinggi. Bayi harus menerima makanan pendamping gizi yang
mencukupi dan aman sementara menyusui berlanjut hingga dua tahun atau lebih. Mohieldin A,
Ibrahim M, Alshiek M.A.H (2008-2010) The impact of feeding practices on prevalence of
under nutrition among 6-59 months aged children in Khartoum1-2. faktor-faktor utama yang
menyebabkan balita gizi kurang ditemukan sebagai kekurangan kolostrum, lamanya menyusui,
pemberian makanan pra-lakteal, jenis makanan, usia masuknya makanan pendamping ASI dan
metode pemberian makanan.

d. Faktor perilaku

Kebiasaan yang tidak higienis dan praktik budaya yang merugikan terkait dengan
membesarkan anak dan menyusui dengan botol serta kepercayaan tradisional yang salah pada
pemberian makanan seperti, anak-anak tidak dapat mencerna daging, tersedak bubur. Alive &
Thrive. (2010) IYCF Practices, Beliefs, and Influences in Tigray Region, Ethiopia. September.

2.2.4. Klasifikasi

Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) pada tanggal 19 Januari 2000 menetapkan bahwa
penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U (Berat Badan per Umur), TB/U (Tinggi Badan
per Umur), dan BB/TB (Berat Badan per Tinggi Badan) di sepakati penggunaan istilah status
gizi dan baku antropometri yang dipakai dengan menggunakan Z-score dan baku rujukan
WHO-NCHS (WNPG VII, 2004). Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-
score (simpang baku) sebagai batas ambang.
Kategori dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U, PB/U atau BB/TB dibagi
menjadi 3 golongan dengan batas ambang sebagi berikut :

1. Indeks BB/U
a. Gizi lebih, bila Z-score terletak > + 2SD

b. Gizi baik, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD
c. Gizi kurang, bila Z-score terletak ≥ -3 SD s/d <-2SD
d. Gizi buruk, bila Z-score terletak < -3SD
2. Indeks TB/U
a. Normal, bila Z-score terletak ≥ -2SD
b. Pendek, bila Z-score terletak < -2SD
3. Indeks BB/TB
a. Gemuk, bila Z-score terletak > +2SD
b. Normal, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD
c. Kurus, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d < -2SD
d. Kurus sekali, bila Z-score terletak < -3SD

2.2.5. Gejala Klinis


2.2.6. Diagnosis
2.2.7. Tatalaksana
2.3. Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai