Anda di halaman 1dari 4

Epidemiologi BBLR

WHO dan UNICEF (2013) menyatakan bahwa terjadi peningkatan kejadian BBLR (periode
2009-2013) dari 15,5% menjadi 16% dan sebesar 95,6% dari jumlah tersebut berada di negara
berkembang.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 (dalam Pramono dan
Muzakkiroh, 20 dengan cakupan seluruh provinsi di Indonesia. Data anak yang berusia 5 tahun ke
bawah (periode kelahiran 2006–2010) dan terisi berat bayi lahirnya adalah sebesar 14.428 anak. Dari
jumlah tersebut yang BBLR sebanyak 824 anak (5,7%). Jika diamati ada beberapa provinsi yang
kejadian BBLR nya relatif jauh dengan angka nasional, di antaranya Kepulauan Riau (8,3%), Bali
(8,9%), NTT (10%), Kalimantan Tengah (10,8%), Kalimantan Selatan (9,1%) Sulawesi Utara
(9,3%), Sulawesi Selatan (9,6%) dan Maluku Utara (11,3%) dan Papua Barat (8,9%). Sedangkan
provinsi yang kejadian BBLR nya rendah adalah di provinsi Sumatra Utara (3,3%), Sumatra Barat
(2,6%), Riau (3,7%) dan Bengkulu (2,5%).

Tabel 1. Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah dalam 5 Tahun, antara Tahun 2006-2010, menurut
Provinsi di Indonesia
Sumber: Riskesdas (2010)

Prevalensi BBLR di Indonesia dari tahun 2007 (11,5%) hingga tahun 2013 (10,2%) terjadi
penurunan namun lambat dalam 7 tahun terakhir (Kemenkes RI, 2014). Sementara itu, berdasarkan
jumlah kelahiran yang ditimbang persentase BBLR di Jawa Timur meningkat dari 2,79% pada tahun
2010 menjadi 3,32% pada tahun 2013. BBLR menjadi penyebab utama kematian neonatal di Jawa
Timur yaitu 38,03% (Dinkes Provinsi Jatim, 2013). Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah
berisiko tinggi mengalami mortalitas dan morbiditas pada masa pertumbuhanya (Manuaba, 2012).

Daftar pustaka

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas 2010). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Dinkes Provinsi Jawa Timur. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012. Surabaya:
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.

Kemenkes RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Manuaba. (2012). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

WHO & UNICEF. (2013). Improving Child Nutrition The Achievable Imperative For Global
Progress. New York: UNICEF. [Online]. Diambil dari:
www.unicef.org/publications/index.html. Diakses pada: 05 Maret 2019
Etiologi asfiksia

Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan melahirkan
atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen,
asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilical
maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia (Anik dan Eka, 2013).

Penyebab asfiksia menurut Anik dan Eka (2013) adalah:

1. Asfiksia dalam kehamilan:


a. Penyakit infeksi akut
b. Penyakit infeksi kronik
c. Keracunan oleh obat-obat bius
d. Uremia dan toksemia gravidarum
e. Anemia berat
f. Cacat bawaan
g. Trauma
2. Asfiksia dalam persalinan:
a. Kekurangan O2:
1) Partus lama (rigid serviks dan atonia/insersi uteri)
2) Rupture uteri yang memberat, kontraksi uterus terus-menerus mengganggu sirkulasi
darah ke plasenta
3) Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta
4) Prolapse fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul
5) Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya
6) Perdarahan banyak: plasenta previa dan solusio plasenta
7) Kalau plasenta sudah tua: postmaturitas (serotinus, disfungsi uteri)
b. Paralisis pusat pernapasan:
1) Trauma dari luar seperti tindakan forceps
2) Trauma dari dalam seperti akibat obat bius

Anda mungkin juga menyukai