Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/42321487

Manfaat AINS Terhadap Nyeri Gangguan Muskuloskeletal Pada Usia Lanjut

Article
Source: OAI

CITATIONS READS
0 914

1 author:

Aznan Lelo
University of Sumatera Utara
40 PUBLICATIONS   650 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

my phd student works View project

my phd qualification project View project

All content following this page was uploaded by Aznan Lelo on 06 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Manfaat AINS Terhadap Nyeri Gangguan Muskuloskeletal
Pada Usia Lanjut

Aznan Lelo
Zulkarnaen Rangkuty
Yunita Sari Pane

Fakultas Kedokteran
Bagian Farmakologi dan Terapeutik
Universitas Sumatera Utara

Abstrak
Kejadian nyeri makin meningkat sesuai dengan pertambahan usia manusia. AINS
kelihatannya menjadi analgetika yang selalu digunakan pada lansia, bukan berarti sediaan
ini aman bagi pemakai. Nyeri pada lansia selalu berlangsung kronis, menuntut untuk
memberikan AINS jangka lama. Timbulnya efek samping AINS yang tak berterima
selalu menjadi penyebab untuk tidak meneruskan penggunaan AINS. Lansia sendiri
sudah menjadi faktor risiko untuk terjadinya efek samping AINS. Salah satu obat yang
paling banyak menjadi penyebab lansia untuk dirawat inap adalah obat analgetik anti-
inflamasi non-steroid (AINS).
Untuk miningkatkan manfaat AINS, Badan Kesehatan Dunia WHO
membolehkan kombinasi analgetik non-opiate dan analgetik opiat (misalnya kodein,
morfin) terhadap penderita dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. AINS bekerja
dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase, COX), COX-
1 atau COX-2 atau keduanya. AINS yang selektif menghambat COX-2 (celecoxib dan
rofecoxib) tidak lebih unggul sebagai analgetika dibandingkan AINS klasik non-selektif.
AINS menunjukkan efek analgetik mengatap bila diberikan secara tunggal. Kombinasi
AINS klasik (diclofenak, ibuprofen) dengan parasetamol akan meningkatkan khasiat
masing-masing obat, berbeda bila AINS penghambat spesifik COX-2 rofecoxib
digabungkan dengan parasetamol tidak meningkatkan khasiat analgetik.
Risiko efek samping saluran cerna berbeda menurut jenis sediaan AINS, iritasi
mukosa lambung lebih sedikit oleh AINS bersifat netral, dalam bentuk selaput enteric
atau topical dan lebih selektif menghambat COX-2. Risiko efek samping kardiovaskuler
(hipertensi dan trombosis) lebih nyata oleh AINS yang selektif menghambat COX-2.
Kombinasi AINS dengan antihipertensi ACE-inhibitor dapat berakibat fatal, dan perlu
dihindari.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat analgetik
AINS pada lansia dengan nyeri akibat gangguan musculoskeletal secara umum dimulai
dengan menggunakan sediaan topical, diikuti dengan dosis oral efektif terkecil AINS
yang agak selektif menghambat COX-2 disamping COX-1 dengan waktu paruh singkat,
lalu dosis ditingkatkan secara perlahan-lahan. Khasiat analgetik AINS yang tidak
membutuhkan CYP2D6 akan meningkat bila dikombinasikan dengan parasetamol atau
kodein.

1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Sesuai dengan pertambahan usia harapan hidup penduduk dunia, proporsi
penderita lanjut usia (lansia) makin bertambah yang secara farmakologi merupakan
kelompok khusus dan mempunyai problema tersendiri dalam pemberian obat-obatan.
Lansia sendiri untuk kebanyakan obat merupakan faktor risiko mudahnya timbul efek
samping (Lelo, 1998). Sebagai akibat semakin bertambahnya keluhan dan ragam
penyakit maka terapi polifarmasi makin bertambah pada penderita lansia. Penggunaan
beberapa macam obat akan meningkatkan risiko interaksi obat yang merugikan dan
reaksi ikutan obat yang berbahaya. Cooper (1999) juga mendata faktor yang paling nyata
menjadi penyebab penderita lansia dirawat inap akibat obat, ternyata jumlah obat yang
digunakan merupakan faktor yang menentukan. Mereka yang dirawat inap akibat reaksi
sampingan obat (7.9 +/- 2.6 item) menggunakan ragam obat yang lebih banyak daripada
mereka yang dirawat inap bukan karena reaksi sampingan obat (3.3 +/- 1.3 item).
Penderita lansia menggunakan obat-obatan yang diresepkan tiga kali lebih banyak dari
penderita dewasa muda sebagai akibat makin meningkatnya kejadian penyakit kronis
(Chrischilles dkk, 1992).
Setiap jenis obat yang digunakan pada penderita lansia harus mempertimbangan
secara khusus perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat karena pertambahan
usia, dimana masa kerja obat menjadi lebih lama sebagai akibat eliminasi obat makin
lambat (Greenblatt dkk, 1982). Perubahan farmakokinetik lain yang cukup menonjol
adalah dalam hal ikatan protein dan metabolisme obat sebagai akibat makin
berkurangnya masa hati, aliran darah hati dan aktivitas enzim. Penurunan protein plasma
akan berakibat meningkatnya kadar obat bentuk bebas, terutama analgetik AINS. Cooper
(1999) mendata kejadian merugikan akibat obat sehingga penderita lansia harus dirawat
inap. Obat yang paling banyak sebagai penyebab adalah obat anti-inflamasi non-steroid
(AINS), psikotropika, kardiotonika digoxin dan antidiabetika insulin.

Nyeri muskuloskeletal pada lansia


Kejadian nyeri makin meningkat sesuai dengan pertambahan usia manusia. Nyeri
pada lansia sangat berbeda dengan yang dijumpai pada dewasa muda. Banyak penderita
lansia memiliki lebih dari satu macam penyebab nyeri. Penyebab nyeri yang paling sering
pada lansia adalah arthritis (termasuk nyeri punggung bawah), polimialgia, Paget’s
disease, neuropati, penyakit pembuluh darah perifer dan jantung serta proses keganasan.
Oleh karena itu tujuan utama dalam penanggulangan nyeri pada lansia adalah (Davis dan
Srivastava, 2003).:
• Meredakan nyeri
• Mengoptimalkan aktifitas harian
• Mendapatkan dosis terendah dari obat yang digunakan
Oleh karena itu prinsip dasar pendekatan farmakologi dalam penggunaan analgetika
pada lansia adalah mulai dengan dosis rendah dan bila diperlukan secara perlahan-lahan
dosis ditingkatkan. Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi
analgetik opiate dan non-opiat terhadap penderita dengan tingkat nyeri menengah sampai
berat. Selain itu, pemilihan analgetika yang tepat juga dipengaruhi oleh kepatuhan
penderita, polifarmasi, keparahan dan jenis nyeri, ketersediaan obat, keluhan dan gejala
yang menyertai dan harga (Davis dan Srivastava, 2003). Opiate merupakan analgetik
sentral menghambat transduksi syaraf didalam medulla spinalis. Sedangkan analgetik

2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
non-opiat merupakan analgetik perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam
pembentukan prostaglandin sehingga sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi. Masing-
masing analgetik memberikan efek samping tertentu, dengan menggabungkan beberapa
jenis analgetik dengan mekanisme kerja berbeda akan meningkatkan khasiat dan
keamanannya dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat, seperti pada nyeri kanker
(Ladner dkk, 2000).
Fakta yang ada menunjukkan bahwa AINS berkhasiat sebagai analgetik, antipiretik
dan antiinflamasi. Sediaan ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim
siklooksigenase (cyclooxygenase, COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau
keduanya, dalam pembentukan prostanoid prostaglandin (PG), prostacyclin dan
tromboxan. Tiap sediaan OAINS akan memberikan efek analgetik anti-inflamasi yang
sepadan apabila digunakan dosis yang sepadan pula (Simon & Strand, 1997). Namun ada
kalanya dibutuhkan kombinasi parasetamol dengan AINS untuk meningkatkan khasiat
analgetiknya. Pada kenyataannya tidak semua penambahan AINS dapat meningkatkan
khasiat analgetik parasetamol. Breivik dkk (1999) mendemonstrasikan bahwa khasiat
analgetika parasetamol akan makin meningkat bila ditambahkan OAINS diclofenac
dan/atau kodein. Pickering dkk (2002) membandingkan efek sinergis ini pada anak-anak
yang mengalami tonsilektomi dan mendapatkan bahwa penambahan COX-2 inhibitor
spesifik rofecoxib tidak meningkatkan khasiat analgetik parasetamol, berbeda dengan
penambahan AINS klasik ibuprofen.
Nyeri muskuloskeletal dapat juga terjadi bukan sebagai akibat reaksi inflamasi. Satu
sampai dua bulan setelah penggunaan antihiperlipidemia statin dapat terjadi gangguan
muskuloskeletal berupa nyeri otot, nyeri sendi, kelemahan otot dan sebagainya. Statin
menghambat enzim HMG CoA reductase sehingga cholesterol tidak terbentuk yang pada
gilirannya akan diikuti dengan gangguan hormon dan fungsi sel-sel tubuh. Dalam
penanggulangannya yang terbaik adalah dengan penghentian sediaan statin (Chazerain
dkk, 2001).

Problema penggunaan AINS pada lansia


Meskipun AINS kelihatannya menjadi analgetika yang selalu digunakan pada
lansia, bukan berarti sediaan ini aman bagi pemakai. Nyeri pada lansia selalu berlangsung
kronis, menuntut untuk memberikan AINS jangka lama. Timbulnya efek samping AINS
yang tak berterima selalu menjadi penyebab untuk tidak meneruskan penggunaan AINS.
Lansia sendiri sudah menjadi faktor risiko untuk terjadinya efek samping AINS.
Tambahan lagi, Tamblyn dkk (1997) menemukan sekitar 35% penderita mendapat resep
AINS yang tidak diperlukan.
Problema penggunaan AINS pada lansia antara lain adalah:
• Efek samping AINS
• AINS sebagai sediaan penyebab kaskade peresepan
• AINS memberikan interaksi yang tak menguntungkan dengan obat lain

Efek samping AINS


Mekanisme kerja utama sediaan ini diperkirakan berkaitan dengan hambatan
sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Prostaglandin disintesis oleh dua enzim
siklooksigenase (Cyclooxygenase, COX), yaitu COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang
disintesis melalui jalur COX-1 dipercayai berperan dalam proses sistem keseimbangan

3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
tubuh, sedangkan yang disintesis melalui jalur COX-2 dipercayai terlibat dalam proses
inflamasi. Prostaglandin merupakan sediaan pro-inflmasi, tetapi juga merupakan sediaan
gastroprotector. Oleh karena analgetika penghambat COX-2 diyakini tidak menghambat
aktifitas isoenzim COX-1, maka sediaan ini diduga bebas dari berbagai efek samping
yang menakutkan. Kejadian perdarahan saluran makanan bagian atas meningkat 2 – 6
kali lipat akibat penggunaan AINS oleh lansia, teristimewa perempuan (Johnson dan
Day, 1991).
Russell (1999) mengkaji factor risiko terjadinya efek samping gastrointestinal
(dyspepsia, erosi, ulserasi, perdarahan atau perforasi) akibat AINS dan menemukan
bahwa kejadian efek samping AINS pada saluran cerna makin meningkat apabila AINS:
• Diberikan pada lansia (usia > 60 tahun; RR 5.52) daripada dewasa muda (usia <
60 tahun; RR 1.65),
• Diberikan pada mereka dengan riwayat tukak peptic (RR 2,39), dan makin
meningkat kejadian berikutnya (RR 4,76)
• Digabungkan dengan kortikosteroid (RR 14,6)
• Diberikan pada mereka yang sedang menggunakan dosis kecil asetosal
Risiko efek samping saluran cerna berbeda menurut jenis sediaan, AINS yang
memberikan risiko paling tinggi adalah azapropazone, ketoprofen dan piroxicam, dan
yang memberikan risiko paling rendah adalah ibuprofen, diclofenac and etodolac
(Russell, 1999). Tingkat keparahan efek toksik AINS pada saluran cerna berbeda diantara
sediaan. AINS dengan waktu paruh panjang lebih toksik pada lansia. Berdasarkan
hilangnya darah yang terpantau melalui tinja, Scharf dkk (1998) berkesimpulan bahwa
AINS dengan waktu paruh pendek (diclofenac) dapat dikaitkan dengan toksisitas saluran
cerna yang rendah dibandingkan dengan AINS dengan waktu paruh menengah
(naproxen) dan panjang (piroxicam) (Scharf dkk, 1998).
Sementara farmakokinetik diclofenac kelihatannya tidak dipengaruhi oleh usia,
gangguan faal ginjal dan kronisitas pemberian obat (Kendall dkk, 1979). AINS
meloxicam (Turck dkk, 1996) dan nimesulide (Olive & Rey,1993) menunjukkan hal yang
sama, dimana tidak banyak perbedaan farmakokinetik ke dua sediaan ini dengan
pertambahan usia sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis pada lansia. Davies dkk
(2000) menyatakan farmakokinetik celecoxib berbeda antara dewasa muda dan lansia,
dimana dijumpai penurunan bersihan pada lansia.
Perubahan farmakokinetik AINS akibat pertambahan usia, mengharuskan
pengurangan dosis AINS pada lansia yang sehat. Sementara bila penderita lansia
mengalami penurunan faal ginjal dosis AINS diflunisal, indomethacin, sulindac dan asam
mefenamat harus dikurangi. Karena eliminasi obat lebih lambat pada lansia, maka hindari
penggunaan AINS dengan waktu paruh panjang, sebagai gantinya berikan sediaan
dengan waktu paruh singkat yang pada dewasa muda digunakan 3 kali sehari, sedangkan
pada lansia cukup digunakan sekali atau dua kali sehari (Lelo, 1998).
AINS yang lebih selektiv menghambat COX-2 diperkirakan akan memberikan
kejadian efek samping pada saluran cerna yang lebih rendah, paling tidak untuk waktu
penggunaan yang singkat. Berdasarkan farmakodinamik AINS maka dapat diperkirakan
bahwa sediaan AINS mampu mengganggu sistem kardiovaskular dalam bentuk
perburukan klinis hipertensi dan payah jantung serta meningkatkan kejadian perdarahan
akibat pencegahan agregasi trombosit melalui hambatan aktivitas COX-1. Penghambat
COX-2 celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu

4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
pembekuan darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan
temuan mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib.
Bersamaan dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah
akibat makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah
terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang
sangat selektif.
Pada penderita lansia, perubahan tekanan darah diluar batas yang terkontrol akan
menjadi problema bila AINS dikonsumsi secara intermitten (Morgan dkk, 2000).
Pengkajian meta-analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa
peninggian mean arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin
adalah 3.59 mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara
perubahan mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg),
piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data yang
ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada tekanan
darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000) menemukan
perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS dengan hambatan
selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan darah sistol (18 - 51
mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar. Page dan Henry (2000)
melaporkan bahwa penggunaan AINS meningkatkan kejadian rawat inap pertama akibat
payah jantung pada penderita lansia. Kejadian ini berhubungan dengan dosis dan waktu
paruh sediaan AINS yang dikonsumsi.
Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 celecoxib
dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran masing-masing
COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa hambatan aktivitas COX-
2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu dapat meninggikan tekanan
darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada penderita osteoartritis yang mendapat
sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 menunjukkan bahwa makin
selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian edemanya dibandingkan yang kurang
selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001).

Kaskade peresepan obat pada lansia


Penambahan obat baru untuk menanggulangi efek samping dari obat yang
digunakan untuk terapi yang sedang dijalankan dikenal sebagai kaskade peresepan.
Kaskade peresepan ini akan menambah jenis obat yang digunakan penderita
(polifarmasi), ragam efek samping obat, interaksi obat dan biaya pengobatan. Problema
kaskade peresepan dan terapi polifarmasi akan makin mengkhawatirkan bila terjadi pada
penderita lansia (Tamblyn dkk,1997).
Apa yang selalu ditemui dokter pasca peresepan AINS adalah dijumpainya
keluhan atau gejala yang tak mengenakan, yang sebenarnya merupakan efek samping dari
AINS yang diresepkan. Keluhan atau gejala efek samping ini selalu diterapi oleh dokter
dengan menambahkan sediaan lain, yang sebenarnya akan hilang bila pemberian AINS
dihentikan atau dosisnya diturunkan. Salah satu contoh kaskade peresepan obat pada
penggunaan AINS adalah dijumpainya peninggian tekanan darah setelah penggunaan
AINS. Gurwitz dkk (1994) mengkaji pada penderita lansia yang baru memulai terapi
antihipertensi dan mendapatkan bahwa pemberian antihipertensi lebih banyak pada lansia
yang selama ini menggunakan AINS dan makin meningkat dengan peningkatan dosis

5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
AINS yang digunakan. Dengan demikian kelompok peneliti ini berkesimpulan bahwa
penggunaan AINS berhubungan dengan risiko kaskade peresepan antihipertensi pada
lansia.

Interaksi AINS dengan obat lain


Terapi polifarmasi selalu dijumpai pada lansia. Risiko interaksi AINS dengan
obat-obatan lain atau AINS dengan penyakit penyerta pada penderita lansia disebabkan
banyak sediaan obat diberikan untuk mengatasi klinis penyakit kronis yang ada (misalnya
hipertensi, diabetes mellitus, tuberculosis, kanker dan sebagainya).
Hipertensi dan rematik adalah dua penyakit yang selalu ditemui bersamaan pada
penderita lansia dan kedua keadaan ini sangat membutuhkan obat-obatan. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, AINS selalu memberikan interaksi obat yang tidak
menguntungkan dengan obat-obat antihipertensi (diuretik, beta blocker, ACE-inhibitor)
yang sering diresepkan pada lansia, sehingga pengaturan tekanan darah tidak optimal.
Tekanan darah kembali normal setelah AINS tersebut dihentikan pemakaiannya. Oleh
karena itu, jika tekanan darah penderita lansia sudah terkontrol dengan sediaan
antihipertensi, penambahan AINS dalam terapi yang ada mengharuskan penderita untuk
selalu memantau tekanan darahnya.
Bentuk interaksi lain antara gabungan AINS dan antihipertensi dilaporkan oleh
peneliti lain. Kurata dkk (1999) melaporkan kejadian sinkope sebagai efek samping
pemberian gabungan laxoprofen dan ACE inhibitor imidapril pada nenek tua (85tahun).
Akibat gabungan kedua sediaan ini, nenek tersebut mengalami hiperkalemia, diikuti
dengan bradikardia dan sinkop. Sedangkan Hay dkk (2002) mendapatkan interaksi COX-
2 specific inhibitor dan ACE-inhibitor enalapril berakibat hiperkalemia yang fatal. Davie
dkk (2000) mendapatkan bahwa dosis kecil asetosal tetap mampu melawan efek
vasodilatasi asam arachidonat.
Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2 celecoxib
dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil kajian Fiorucci
dkk (2002) pada tikus menunjukkan bahwa celecoxib dan rofecoxib secara signifikan
meningkatkan keparahan efek samping asetosal pada lambung. Kemudian Fiorucci dkk
(2003) mengkajinya pada manusia sehat dan membuktikan bahwa bila celecoxib
digabung dengan asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila
diberikan sendiri-sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan
kerusakan mukosa saluran cerna.

Upaya mengoptimalkan AINS sebagai antinyeri muskuloskeletal pada lansia


Berbagai efek samping yang dapat terjadi akibat penggunaan AINS
mengharuskan dokter hati-hati dalam memilih dan meresepkan AINS pada lansia.
Diantara strategi yang ada untuk meningkatkan khasiat dan meminimalkan efek samping
AINS maka secara farmakologis AINS yang diinginkan adalah sediaan yang sudah
terbukti:

1. berkhasiat seimbang sebagai analgetik dan antiinflamasi.


Hambatan aktivitas COX-2 berkhasiat dalam mengatasi inflamasi, namun sediaan
yang makin lebih selektif menghambat COX-1 menunjukkan khasiat analegtika yang
lebih nyata. Pannuti dkk (1999) mengkaji perbedaan khasiat analgetik dan toksisitas

6
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
AINS yang lebih selektiv menghambat COX-1 ketorolak dengan yang agak selektif
menghambat COX-2 diclofenak dalam menanggulangi nyeri kanker. Kedua sediaan
ternyata menunjukkan khasiat analgetik dan toksisitas yang sepadan, sebagaimana
ditunjukkan oleh area under the pain-intensity time curve (AUC0-8), efek
maksimum,atau masa kerja ke dua sediaan. Yang menarik adalah peningkatan gangguan
lambung setelah ketorolak diberikan pada mereka yang sebelumnya diterapi dengan
AINS lain.
Salo dkk (2003) membandingkan efek analgetik COX-2 spesific inhibitor AINS
bersifat netral celecoxib (200 dan 400 mg) tidak berbeda bermakna dengan AINS klasik
yang tidak selektif yang bersifat asam ibuprofen (600 mg) terhadap penanggulangan
nyeri akut. Grup peneliti mendapatkan perbaikan nyeri yang bermakna hanya pada
kelompok ibuprofen. Malahan efek analgetik dosis besar (400 mg) celecoxib
kelihatannya lebih kecil daripada dosis lazim (200 mg). Hasil kajian ini kembali
menunjukkan adanya efek mengatap (ceiling effect) khasiat analgetik suatu AINS.
Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan tersebut pada celecoxib, dimana dengan
dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik yang tidak lebih besar daripada
dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih rendah daripada dosis 200 mg per-
hari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek mengatap, kenyataan ini akan
membatasi khasiatnya pada penanggulangan nyeri rematik yang makin meningkat parah,
sehingga penggunaan dosis yang lebih besar dari yang semestinya tidak dianjurkan.
Penggabungan beberapa jenis analgetik (opiate dan non-opiat) dengan mekanisme kerja
berbeda akan meningkatkan khasiat dan keamanannya dalam pengobatan nyeri kanker
(Ladner dkk, 2000). Salah satu gabungan yang dapat dilakukan adalah kombinasi AINS
dengan analgetik opiate lemah kodein AINS.
Beberapa pertimbangan perlu dikemukakan sebelum menggabungkan kodein
dengan AINS, diantaranya biotransformasi kodein menjadi morfin yang sangat
bergantung dengan aktivitas enzyme sitokrom P4502D6 (CYP2D6). Salah satu sediaan
yang mampu menghambat kerja CYP2D6 adalah AINS celecoxib. Werner dkk (2003)
mendapati bahwa celecoxib menghambat metabolisme beta-blocker metoprolol (substrat
CYP2D6) yang ditandai dengan peningkatan area under the plasma concentration-time
curve metoprolol. Hal yang sama diperkirakan akan terjadi bila digabungkan celecoxib
dengan kodein (substrat CYP2D6), yang pada gilirannya akan tercegah biotransformasi
kodein menjadi morfin.

2. mula kerja AINS yang segera (dini)


Biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar puncak
obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan
kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek
AINS muncul. Diklofenak bila diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan
sempurna (Davies & Anderson, 1997) akan memberikan mula kerja yang segera. Contoh
sediaan AINS lain yang juga cepat penyerapannya adalah asam mefenamat, ibuprofen,
ketoprofen, nimesulide dan lainnya.

3. masa kerja AINS yang lama (panjang)


Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS.
Sebaiknya suatu AINS bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga cukup

7
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
diberikan satu kali dalam satu minggu. Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS
makin lama masa kerja AINS. Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh AINS
(misalnya t ½ piroxicam = 50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin mudah terjadi
akumulasi (penumpukan) AINS di dalam tubuh penderita, apabila AINS tersebut
diberikan lebih sering (kurang dari waktu paruhnya). Sebagai akibatnya makin mudah
terjadi efek toksik. Contoh AINS dengan segala risiko. sediaan dengan waktu paruh yang
panjang adalah dari golongan oxicam (meoxicam dan piroxicam), coxib (celecoxib dan
rofecoxib) serta fenil butazon. Sedangkan contoh AINS dengan waktu paruh pendek
adalah diclofenac, ibuprofen dan nimesulide (Lelo, 1998).

4. efek samping AINS yang minimal.


Sebagai model obat yang digunakan pada lansia, AINS yang selalu tidak bebas
dari efek samping yang tak mengenakkan, maka dianjurkan untuk menggunakan AINS
dengan waktu paruh pendek seperti diclofenac atau ketoprofen (Fam, 1998).
Selain itu ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya efek
samping analgetika AINS pada lansia, yaitu dengan urutan sebagai berikut:
Bila hanya ingin menanggulangi rasa sakit, sedapat mungkin
• gunakan analgesik sederhana.
Bila ingin mengurangi efek iritasi langsung pada mukosa lambung dapat digunakan:
• sediaan topical/salep
• sediaan prodrug, yang akan menjadi aktif setelah dimetabolisme di dalam tubuh
• sediaan dengan pKa mendekati netral
• sediaan dalam bentuk buffer
• sediaan dalam bentuk tablet salut enteric
• sediaan cepat larut (terdispersi dengan cepat)
• sediaan parenteral (injeksi, suppositoria)
Bila khawatir akan efek samping pada saluran cerna,
• gunakan AINS yang lebih selektif menghambat COX-2.
• menggabungkan AINS dengan obat preventif (misoprostol, atau penghambat
pompa proton)
• tidak menggabungkannya dengan sediaan AINS lain atau kortikosteroid.
Bila khawatir akan efek samping pada sistem kardiovaskuler
Seperti telah diketahui bahwa keadaan hyprecoagulable dapat sebagai akibat
selalu berbaring (statis) atau penyakit cancernya, inflammation, protein abnormal dan
stasis serta terapi antikanker, pembedahan, kemoterapi dan terapi hormone (Caine dkk,
2002).
• gunakan AINS yang juga menghambat COX-1
• tidak menggabungkannya dengan antikoagulan
• tidak menggabungkannya dengan sediaan hemat kalium (Spironolakton,
triamterene, ACE-inhibitor)
untuk mengurangi efek samping secara umum,
• gunakan dosis efektif terkecil, karena toksisitas AINS berhubungan dengan dosis
yang digunakan.
• bila perlu ditingkatkan perlahan-lahan, yaitu setelah:
• 3 – 4 hari untuk AINS dengan waktu paruh kurang dari 12 jam

8
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
• 7 hari untuk AINS dengan waktu paruh yang lebih panjang.
• gunakan AINS dengan waktu paruh yang pendek dan tidak menggunakan AINS
dengan waktu paruh yang panjang

Kesimpulan

Dengan adanya kenyataan bahwa banyak kemungkinan penyebab nyeri pada


lansia, sungguh sukar untuk menentukan analgetika AINS mana yang paling berkhasiat
pada penderita. Tiap AINS memiliki kekhasan farmakokinetik (ikatan protein dan waktu
paruh) dan farmakodinamik (potensi dan efek samping), yang merupakan pertimbangan
farmakologi sebelum peresepannya. Selama khasiat sediaan dengan selektivitas
penghambatan COX-2 tidak lebih superior dibandingkan AINS yang ada, secara
farmakologi menggunakan AINS yang cepat diabsorpsi akan memberikan efek lebih dini,
dan sediaan dengan waktu paruh yang pendek akan terhindar dari kemungkinan
akumulasi obat dan dengan demikian akan memberikan tingkat keamanan yang lebih
baik. AINS dengan selektivitas penghambatan COX-2 yang sangat nyata hanya
digunakan pada penderita dengan rawan terhadap kejadian efek samping pada saluran
cerna.
AINS menunjukkan efek analgetik mengatap bila diberikan secara tunggal.
Kombinasi AINS klasik (diclofenak, ibuprofen) dengan parasetamol akan meningkatkan
khasiat masing-masing obat, berbeda bila AINS penghambat spesifik COX-2 rofecoxib
digabungkan dengan parasetamol tidak meningkatkan khasiat analgetik. Risiko efek
samping saluran cerna berbeda menurut jenis sediaan AINS, iritasi mukosa lambung
lebih sedikit oleh AINS bersifat netral, dalam bentuk selaput enteric atau topical dan
lebih selektif menghambat COX-2. Risiko efek samping kardiovaskuler (hipertensi dan
trombosis) lebih nyata oleh AINS yang selektif menghambat COX-2. Kombinasi AINS
dengan antihipertensi ACE-inhibitor dapat berakibat fatal, dan perlu dihindari.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat analgetik
AINS pada lansia dengan nyeri akibat gangguan musculoskeletal secara umum dimulai
dengan menggunakan sediaan topical, diikuti dengan dosis oral efektif terkecil AINS
yang agak selektif menghambat COX-2 disamping COX-1 dengan waktu paruh singkat,
lalu dosis ditingkatkan secara perlahan-lahan. Khasiat analgetik AINS yang tidak
membutuhkan CYP2D6 akan meningkat bila dikombinasikan dengan parasetamol atau
kodein.

9
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Daftar Pustaka

Breivik K, Barkvoll P, Skovlund E. Combining diclofenac with acetaminophen or


acetaminophen-codeine after oral surgery; a randomized, double blind single dose
study. Clin Pharmacol Ther 66:625-35,1999.

Caine GJ, Stonelake PS, Lip GY, Kehoe ST. The hypercoagulable state of malignancy:
pathogenesis and current debate. Neoplasia. 4(6):465-73,2002.
Chazerain P, Hayem G, Hamza S, Best C, Ziza JM. Four cases of tendinopathy in
patients on statin therapy. Joint Bone Spine 68(5):430-3,2001.
Chrischilles EA, Foley DJ, Wallace RB, Lemke JH, Semla TP, Hanlon JT, Glynn RJ,
Ostfeld AM, Guralnik JM. Use of medications by persons 65 and over: data from
the established populations for epidemiologic studies of the elderly. J Gerontol
47(5):M137-44,1992
Cooper JW. Adverse drug reaction-related hospitalizations of nursing facility patients: a
4-year study. South Med J 92(5):485-90,1999
Crofford LJ, Oates JC, McCune WJ, Gupta S, Kaplan MJ, Catella-Lawson F, Morrow
JD, McDonagh KT, Schmaier AH. Thrombosis in patients with connective tissue
diseases treated with specific cyclooxygenase 2 inhibitors. A report of four cases.
Arthritis Rheum 43(8):1891-6,2000
Davie AP, Love MP, McMurray JJ. Even low-dose aspirin inhibits arachidonic acid-
induced vasodilation in heart failure. Clin Pharmacol Ther 67(5):530-7,2000.
Davies NM, Anderson KE. Clinical pharmacokinetics of diclofenac. Therapeutic insights
and pitfalls. Clin Pharmacokinet. 33(3):184-213,1997.
Davies NM, McLachlan AJ, Day RO, Williams KM. Clinical pharmacokinetics and
pharmacodynamics of celecoxib: a selective cyclo-oxygenase-2 inhibitor. Clin
Pharmacokinet 38(3):225-42,2000
Davis MP, Srivastava M. Demographics, assessment and management of pain in the
elderly. Drugs Aging 20(1):23-57,2003
Fam AG. Gout in the elderly. Clinical presentation and treatment. Drugs Aging
13(3):229-43,1998
Fiorucci S, de Lima OM Jr, Mencarelli A, Palazzetti B, Distrutti E, McKnight W, Dicay
M, Ma L, Romano M, Morelli A, Wallace JL. Cyclooxygenase-2-derived lipoxin
A4 increases gastric resistance to aspirin-induced damage. Gastroenterology.
123(5):1598-606,2002.
Fiorucci S, Santucci L, Wallace JL, Sardina M, Romano M, del Soldato P, Morelli A.
Interaction of a selective cyclooxygenase-2 inhibitor with aspirin and NO-
releasing aspirin in the human gastric mucosa. Proc Natl Acad Sci U S A.
100(19):10937-41,2003.
Graves JW, Hunder IA. Worsening of Hypertension by Cyclo-oxygenase-2 Inhibitors. J
Clin Hypertens 2(6):396-8,2000
Greenblatt DG, Sellers EM, Shader RI. Drug disposition in old age. N Engl J Med.
306:1081-8,1982.
Gurwitz J H, Avorn J, Bohn R L, Glynn R J, Monane M, Mogun H. Initiation of
antihypertensive treatment during nonsteroidal anti-inflammatory drug therapy.
JAMA 272:781-6,1994.

10
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Hay E, Derazon H, Bukish N, Katz L, Kruglyakov I, Armoni M. Fatal hyperkalemia
related to combined therapy with a COX-2 inhibitor, ACE inhibitor and potassium
rich diet. J Emerg Med 22(4):349-52,2002.
Johnson AG, Day RO. The problems and pitfalls of NSAID therapy in the elderly (Part
I). Drugs Aging 1(2):130-43,1991
Kendall MJ, Thornhill DP, Willis JV. Factors affecting the pharmacokinetics of
diclofenac sodium (Voltarol). Rheumatol Rehabil Suppl 2:38-46,1979.
Kurata C, Uehara A, Sugi T, Yamazaki K. Syncope caused by nonsteroidal anti-
inflammatory drugs and angiotensin-converting anzyme inhibitora. Jpn Circ J
63(12):1002-3,1999.
Ladner E, Plattner R, Friesenecker B, Berger J, Javorsky F. Non-opioid analgesics--
irreplaceable in cancer pain therapy? Anasthesiol Intensivmed Notfallmed
Schmerzther. 35(11):677-84,2000.
Lelo A. Pemberian obat-obatan pada penderita lanjut usia. Nusantara XXVIII(4):201-
8,1998.
Morgan T, Anderson A. The effect of nonsteroidal anti-inflammatory drugs on blood
pressure in patients treated with different antihypertensive drugs. J Clin Hypertens
5(1):53-7,2003
Morgan TO, Anderson A, Bertram D. Effect of indomethacin on blood pressure in elderly
people with essential hypertension well controlled on amlodipine or enalapril. Am
J Hypertens 13(11):1161-7,2000
Niederberger E, Tegeder I, Vetter G, Schmidtko A, Schmidt H, Euchenhofer C,
Bräutigam L, Grösch S, Geisslinger G. Celecoxib loses its anti-inflammatory
efficacy at high doses through activation of NF- B. FASEB 15:1622-4,2001.
Olive G, Rey E. Effect of age and disease on the pharmacokinetics of nimesulide. Drugs
46 Suppl 1:73-8,1993
Page J; Henry D.: Consumption of NSAIDs and the development of congestive heart
failure in elderly patients: an underrecognized public health problem. Arch Intern
Med 160(6):777-84,2000.
Pannuti F, Robustelli della Cuna G, Ventaffrida V, Strocchi E, Camaggi CM. A double-
blind evaluation of the analgesic efficacy and toxicity of oral ketorolac and
diclofenac in cancer pain. The TD/10 recordati Protocol Study Group. Tumori.
85(2):96-100,1999.
Pickering AE, Bridge HS, Nolan J, Stoddart PA. Double-blind, placebo-controlled
analgesic study of ibuprofen or rofecoxib in combination with paracetamol for
tonsillectomy in children. Br J Anaesth 88(1):72-7,2002.
Pope JE, Anderson JJ, Felson DT. A meta-analysis of the effects of nonsteroidal anti-
inflammatory drugs on blood pressure. Arch Intern Med. 153:477-84,1993.
Russell RI. Defining patients at risk of non-steroidal anti-inflammatory drug gastropathy.
Ital J Gastroenterol Hepatol. 31 Suppl 1:S14-8,1999
Salo DF, Lavery R, Varma V, Goldberg J, Shapiro T, Kenwood A. A randomized,
clinical trial comparing oral celecoxib 200 mg, celecoxib 400 mg, and ibuprofen
600 mg for acute pain. Acad Emerg Med 10(1):22-30,2003.
Scharf S, Kwiatek R, Ugoni A, Christophidis N. NSAIDs and faecal blood loss in elderly
patients with osteoarthritis: is plasma half-life relevant? Aust N Z J Med
28(4):436-9,1998

11
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Simon LS, Strand V. Clinical response to nonsteroidal antiinflammatory drugs. Arthritis
Rheum. 40(11):1940-3,1997
Tamblyn R, Berkson L, Dauphinee WD, Gayton D, Grad R, Huang A, Isaac L, McLeod
P, Snell L. Unnecessary Prescribing of NSAIDs and the Management of NSAID-
Related Gastropathy in Medical Practice. Ann Intern Med. 127:429-38,1997.
Turck D, Roth W, Busch U. A review of the clinical pharmacokinetics of meloxicam. Br
J Rheumatol 35 Suppl 1:13-6,1996
Werner U, Werner D, Rau T, Fromm MF, Hinz B, Brune K. Celecoxib inhibits
metabolism of cytochrome P450 2D6 substrate metoprolol in humans. Clin
Pharmacol Ther. 74(2):130-7,2003.
Whelton A. COX-2 specific inhibitors and the kidney – effect on hypertension and
edema. Cardiovascular and renal effects of COX-2 specific inhibitors: emerging
Pathophysiologically and clinical perspectives. Satellite Symposium at Congress
of the European Society of Hypertension, Milan, Italy, June 14-19, 2001

12
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai