Anda di halaman 1dari 6

A.

KONSEP HAK ASASI MANUSIA


Persoalan hak asasi manusia (HAM) berkaitan langsung dengan eksistensi martabat
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dimaknai sebagai
sebuah potensi yang dimiliki manusia secara kodati yang berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa, sebagai hak dasar, pokok yang asasi yang melekat bersamaan dengan kelahiran
manusia di dunia. John Locke, menyebut hak-hak asasi ini meliputi hak hidup, hak milik
dan hak merdeka.
Wiryotenoyo (1983) menegaskan bahwa martabat manusia itu bukanlah pemberian
sesama manusia berdasarkan kebaikan hati, bukan pemberian penguasa (di dalam negara)
karena belas kasihannya kepada rakyat, melainkan milik asasi manusia, sesuatu yang
dimiliki manusia karena dia adalah manusia.
Eksistensi martabat manusia ini diberikan semata-mata untuk manusia yang
mengemban kodratnya sebagai pemimpin di bumi, sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial. Karena berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, maka tentu hak asasi yang
dimiliki setiap orang pasti sama sejak lahir secara fitrah memiliki hak asasi, walau dalam
kondisi yang berbeda. Karena setiap manusia memiliki martabat yang sama maka dalam hal
hak asasi manusia mereka harus mendapat perlakuan yang sama. Hal ini juga berarti tidak
ada seorangpun manusia yang dapat merubah martabat orang, sehingga ia lebih tinggi
dibandingkan dengan manusia lain.
Ide-ide dasar hak-hak asasi manusia harus diletakkan pada sebuah pandangan bahwa
manusia harus diakui dan diperlakukan dalam posisi dan kedudukan yang sama. Dengan
kondisi demikian, menuntut adaya kewajiban seseorang, bangsa bahkan negara untuk
menghormati hak asasi manusia.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA


Kesadaran manusia terhadap hak asasi sebenarnya bermula dari keinsyafannya
terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaanya. Karena itu, kesadaran tentang hak-
hak kemanusiaan ini sudah ada sejak manusia dikodratkan di dunia, secara fitrah lahir
kesadaran di dalam diri manusia tersebut bersamaan dengan hadirnya manusia di muka
bumi ini.
Sejak Nabi Musa diturunkan untuk memerdekakan umat Yahudi dari perbudakan di
Mesir, manusia telah menyadari pentingnya hak asasi manusia. Disamping itu di Bablonia
lahir hukum Hammurabi pada 2000 SM, yang berisi tentang jaminan terhadap hak asasi.
Pada 600 SM di Athena menyusun perundang-undangan tentang keadilan. Lebih tegas lagi,
dalam kitab suci Al-Qur’an kurang lebih 1400 lalu diwahyukan oleh Allah SWT kepada
seluruh umat manusia melalui RasulNya, Muhammad SAW, mengajar dalam firman itu:
”Tiada paksaan dalam beragama”, cukup sebagai bukti pencerminan nilai-nilai asasi bagi
manusia (Naning, 1983)
Walaupun sudah menjadi fitrah manusia, namun kesadaran mengenai hak asasi ini
tergolong baru. Kezaliman para raja di beberapa negara Barat pada abad ke-18 mendorong
orang-orang yang mencintai kebebasan untuk memikirkan, memproklamasikan, dan
membela hak asasi. Sejarah mencatat bahwa perjuangan terhadap hak asasi manusia telah
sampai pada tonggak kemenangannya, secara kronologs sebagai berikut :
1. Di Inggris terdapat bebrapa dokumen yaitu Magna Charta (1215) berisi tentang
kekuasaan raja yang dibatasi; Petition of Right (1629) tentang pemungutan pajak harus
dengan persetujuan parlemen; Bill of Right (1689) pemungutan pajak harus dengan
persetujuan parlemen, dan perlemen berhak mengubah keputusan raja.
2. Dikeluarkannya Declaration of Independence (1776) yang memuat kemerdekaan negeri
dari penjajahan Inggris.
3. Pada waktu revolusi Prancis dikumandangkan melalui Declaration des droits de
I’Homme et du Cotoyen (Deklarasi tentang hak-hak manusia dan penduduk) tentang hak
dan kedudukan semua manusia yang sama.
4. Saat Perang Dunia II, Presiden Franklin Delano Roosevelt dari Amerika Serikat, di
hadapan konggres 1941 menyatakan adanya empat kemerdekaan (four of freedom) yang
harus dihormati, yakni : freedom of speech, freedom of religion, freedom from fear,
freedom from want
5. The Universal Declaration of Human Right (Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi
Manusia) tanggal 10 Desember 1498 merupakan puncak kemenangan perjuangan
terhadap hak asasi manusia. Pada pembukaan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), juga dinyatakan bahwa, “Kami, para bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
bertekad untuk: melindungi angkatan-angkatan yang akan datang terhadap bencana
peperangan, yang di dalam hidup kita telah dua kali membawa penderitaan yang tak
terhingga, dan untuk menegakkan kembali kepada kepercayaan hak-hak asasi manusia
pada kehormatan dan harga diri seorang manusia pada hak-hak yang sama-sama dari
laki-laki maupun wanita, bangsa-bangsa besar dan kecil”.
Sekalipun peryataan PBB telah menyebutkan bahwa hak-hak asasi manusia,
namun dalam pernyataan tersebut belum menentukan sanksi yang mengikat negara-
negara anggotanya. Oleh karena itu, lahirlah Internatinal Convenant on Economic, Sosial
and Culture Right (Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Kultural) dan Internatinal Convenant on Civil and Political (Konvensi Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik) pada tahun 1966.

C. PERKEMBANGAN HAK-HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA


Pembahasan hak-hak asasi manusia pertama kali dirumuskan pada sidang BPUPKI
pada tanggal 10-16 Juli 1945. Namun dalam pembahasan ini cukup sulit mencapai
konsensus dan terdapat pro dan kontra, yang menimbulkan sidang tim Perumus Rancangan
UUD terpecah menjadi dua kubu besar, yakni kelompok pro (Hatta dan Yamin) dan
kelompok kontra (Soekarno dan Soepomo). Terdapat tiga pendapat : golongan pertama,
berpendapat bahwa, kita sudah memiliki pancasila yang menjunjung tinggi kemanusiaan;
kedua, tidak suka terhadap hak asasi karena dianggap terlalu mengganggu penguasa, yang
dianggap selalu berbuat baik; ketiga, adalah golongan yang sangat gigih membela hak asasi,
menelanjangi pelanggaran-pelanggaran dan berusaha menyadarkan masyarakat akan hak-
haknya dan karena itu sering bertabrakan dengan tokoh-tokoh golongan yang berkuasa.
Alasan Soekarno tidak menerima hak-hak asasi manusia dalam rancangan Undang-
undang dasar, yaitu :
1) Hak-Hak Warga Negara adalah Hak Individu
Hak asasi menurut Soekarno akan menimbulkan berbagai macam konflik di masyarakat.
2) Hak-Hak Warga Negara
Soekarno menegaskan bahwa paham indivudualisme akan melahirkan liberalisme, yang
memperanakkan kapitalisme, yang bercucukan kolonialisme dan imperialisme
3) Hak-hak Politis dan Keadilan Sosial
HAM adalah merupakan hasil “consensus” pro dan kontra terhadap masuknya
HAM dan RUUD. Hal ini menyebabkan mengapa UUD 1945 seperti yang kita kenal
sekarang, hanya sedikit memuat pasal-pasal tentang hak-hak warga Negara, disamping
alasan lainnya karena UUD 1945 dirumuskan lebih jauh dari Pernyataan Dunia tentang
Hak-hak Asasi Manusia tahun 1948.
Dari kalangan tokoh the founding father, pada dasarnya juga sangat
menitikberatkan pada kebersamaan, kolektivitas, integrasi, dan solidaritas, sehingga
untuk hak-hak perseorangan (individu) hampir tidak ada ruang dan perhatian lagi. Hal ini
dapat dimengerti, jika dikaitkan dengan masalah utama yang mereka hadapai, yaitu
membina persatuan dan kesatuan yang masih rapuh terutama dalam menuju
kemerdekaan.
D. PROBLEMATIKA HAM DI INDONESIA
Pelanggaran HAM di masa lalu membawa setidak-tidaknya dalam dua konsekuensi :
pertama, hak-hak pelanggaran HAM tidak pernah dipulihkan, sehingga secara psikologi
merasa tidak mendapatkan perlakuan layanan keadilan dan kesejahteraan. Kedua, dimana
pelaku dan pertanggungjawaban dari kejahatan HAM tidak pernah ditindaklanjuti secara
hukum.Pelaku dan penanggungjawab pelanggaran HAM masa kini dan masa dating akan
menuntut perlakuan yang sama. Pada sisi lain dengan tidak pernah melupakan dan tidak
memaafkan, berarti memelihara rasa dendam dan kebencian dalam masyarakat. Ibarat api
dalam sekam, sewaktu-waktu akan muncul pelanggaran HAM yang baru.
1) Kejelasan landasan filosofis-yuridis bagi HAM
Secara filosofis, hak asasi manusia pada dasarnya melekat pada “kodrat” manusia
sejak lahir dan merupakan hak abadi yang tidak dapat diganggu gugat. Adanya Negara
justru untuk melindungi hak-hak itu. Kehidupan, kebebasan dan hak milik adalah bersifat‘
alamiah’ pada pribadi manusia. Tetapi, menurut faham positif bahwa hak-hak asasi manusia
pada dasarnya harus berlandaskan pada sejarah hukum. Adanya dan pengakuannya harus
dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara.
Didasari pada fenomena HAM pada dasarnya merupakan suatu yang berakar dalam
kehidupan manusia, maka dia bersifat inbernt pada sifat kodrat manusia itu sendiri. Jadi
segala hak yang berakar dalam kodrat manusia adalah hak yang lahir bersama dengan
manusia, dan hal ini merupakan konsekuensi hakiki dari kodratnya. Oleh karena itu HAM
bersifat universal dimana saja manusia itu berada maka hak-hak melekat pada dirinya harus
dihormati.
Karena tidak setiap hak-hak manusia disadari oleh manusia dan negaranya, maka
untuk menyadarkan hal itu perlu dicantumkan dalam ketentuan UUD Negara atau dalam
produk hokum lainnya.

2) Political will pemerintah terhadap HAM


Kurangnya political will Pemerintah Indonesia baik dimasa Presiden Soekarno
maupun Soeharto, berpengaruh dalam kemauan politik untuk meratifikasi instrument HAM
kedalam Negara Indonesia.
Kurangnya kemauan politik Soekarno untuk menghormati HAM, termasuk
meratifikasi instrument HAM internasional semakin jelas pada masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965). Pada masa itu pemerintah melakukan tindakan melanggar HAM. Warga
Negara yang tidak loyal dengan kebijakan pemerintah, dianggap sebagai perbuatan yang
kontrarevolusi, disamping itu juga penahanan lawan-lawan politik tanpa melalui proses
pengadilan.
Lebih parah lagi, pada masa Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, tidak kurang
dari political will namun terbukti sering melanggar HAM. Melakukan pelanggaran HAM
kepada siapa saja yang tidak mendukung kebijakannya, dengan label “anti-Pancasila dan
anti Pembangunan”, misalnya eksekusi dan penahanan PKI, Kasus Aceh, Kasus Irja, Kasus
Tanjung Priok, pembredelan Pers, pembatasan gerak mahasiswa dan buruh dan sebagainya.
Semakin memperburuk pencemaran HAM di Indonesia.
Political will pemerintah diatas, berpengaruh terhadap kebijakan dalam meratifikasi
instrument HAM internasional kedalam pemerintahan Negara Indonesia. Dari kurang dari
50 instrumen HAM internasional yang dikeluarkan PBB, Nampak sangat minim (Saptomo,
2001) yang sudah teratifikasi ke Indonesia, yaitu:
a. Konvensi mengenai Hak PolitikPerempuan tahun 1953 (UU No. 68 tahun 1958)
b. Konvensi mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuantahun
1979 (UU No. 7 tahun 1984)
c. Konvensi menentang Apartheid dalam Bidang Olah Raga
d. Konvensi mengenai Hak Anak 1989 (Kepres No, 36 tahun 1990)
e. Konvensi menentang Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman lainnya yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia 1987 ( UU No. 5 tahun 1998)
f. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 (UU No. 29
tahun 1999)
g. Sejumlah konvensi ILO ( mengenai pemburuhan).

Perhatian terhadap pemajuan HAM mulai meningkat pada tahun 1991 dimana
pemerintah membuat panitia tetap yang berkedudukan di departemen Luar Negeri bertugas
member rekomendasi mengenai kemjuan HAM di Indonesia.
Tahun 2001:
a. Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
b. Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dengan Protokolnya.
c. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genocide.
Tahun 2002:
a. Konvensi Penghentian Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi
b. Konvensi Menentang Perbudakan
c. Konvensi Perlindungan Hak Pekerja Migram dan Anggota Keluarganya
Tahun 2003:
a. Konvensi Persetujuan Perkawinan, Usia Minimum untuk menikah dan Registrasi
Perkawinan
b. Konvensi tentang status Pengungsi.

E. SOSIALISASI HAM DAN PERAN UNIVERSITAS


Dalam berbagai pertemuan Internasional yang diprakarsai UNESCO sejak decade ke
20, universitas diharapkan senantiasa proaktif dalam merespon tentang demokratisasi,
globalisasi, regionalisasi, polarisasi, marginalisasi dan pragmentasi.
Berkaitan tentang itu, maka universitas sebagai lembaga pendidikan yang memiliki
tugas Tri Dharmanya (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) diharapkan dapat
berfungsi sebagai layanan informasi, sosialisasi dan pendidikan HAM bagi semua pihak
yang membutuhkannya.
Selanjutnya, jalur pendidikan sekolah dapat diupayakan bersama, antara lain adalah:
1. Penyiapan kurikulum dan buku pelajaran HAM yang menganut pendekatan integrative
dalam mata pelajaran atau bidang studi yang relevan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, termasuk lingkungan perguruan agama
2. Menerjemahkan bahan-bahan pengajaran mengenai HAM
3. Menyelenggarakan pelatihan para guru di bidang HAM dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai