Anda di halaman 1dari 9

SEBUTIR PADI DAN ASA GARUDA

UNTUK NUSANTARA
Malam yang kelam bersama awan tak berwarna menyelimuti kota hujan. Dingin dan
sunyi dengan genangan air di jalanan setelah hujan menyelesaikan tugasnya. Hanyalah suara
benturan molekul udara dan suara motor berlalu lalang dengan jangkauan satu tahun
perjalanan. Disitulah aku, melihat senyum manis dengan hati yang menangis di bawah langit
Desember yang menabur gerimis, bersandar di tembok keraton tua ditemani dengan secangkir
kopi hitam dan lantunan puisi seorang demonstran sebagai peningkat gairah tatkala sedang
menulis kisah ini.
Sesaat ku mendengar pintu tua bersuara menyampaikan pesan adanya orang yang
masuk, dia adalah bapak tua kosku, dengan rambut pirang putih disertai dengan mata panda
dan mulut pucatnya yang menjadi dugaan bahwa umurnya di bumi sudah tak lama lagi.
“Belum tidur nak?” katanya dengan suara lemah “Belum pak” jawabku dengan tatapan ramah
yang melihatnya keluar dari kamarku. Melihatnya aku teringat dengan bapakku yang
merupakan ratapan air mata akan hancurnya bumi nusantara. Aku Acil Bacil, mahasiswa IPB
dengan penuh keberuntungan dari tuhan yang seringkali tak menyangka bisa berada di sini, di
kota hujan yang berkomitmen mewujudkan bumi nusantara yang ditakuti oleh bumi lainnya
dengan padi seluas lautan samudra.
Mungkin dirimu sependapat denganku, bahwasanya tuhan itu maha adil apa adanya.
Kasih sayang yang diberikannya membuatku dapat mengenyam pendidikan seluruhnya murni
dengan beasiswa hingga saat ini. Sabagai pelajar yang dibiayai seringkali menjadi dorongan
bagiku untuk menjadi yang terbaik diantara yang lain, hanya saja seringkali mendapat ejekan
oleh lingkungan yang berisi setan berwujud manusia yang berpotensi menjatuhkanku. Akan
tetapi itu sama sekali tidak berefek apapun karena tekadku yang kuat untuk meraih mimpi
sampai pada puncak dari segalanya.
Berbicara analogi dari hal demikian, sangat identik dengan negeri ini. Bumi nusantara
saat ini bagiku adalah surganya para tikus politik yang ada saja yang dilakukan atas dasar
kepentingan sendiri, karena politik merupakan seni untuk merubah segalanya, dengan butanya
mata yang tertutupi katarak egoisme dan apatisme, rakusnya dalam menggelut harta yang tak
abadi, langkah kaki yang ceroboh disesatkan oleh setan kehancuran. Nusantara dapat menjadi
bumi sendiri di atas bumi aslinya, tidak membutuhkan pertolongan dari luar, karena justru
dari luarlah yang membutuhkan Nusantara. Seperti halnya padi, begitu ironisnya jikalau

1
negara dengan padi yang sebenarnya melimpah, meminta pertolongan dengan negoisasi
penuh dusta pada negara lain.
Permasalahan tersebut merupakan permasalahan sekaligus fakta yang terlintas dalam
pikiranku saat ini. Pagi harinya di kota hujan tepat di kamarku yang sedang bersiap untuk
pulang ke kampung halaman, secara tiba tiba ku menemukan secarik kertas koran lama saatku
membuka koperku “Impor Beras Merugikan Jutaan Petani”. Disaat bersamaan terdengar
tangisan dari ibu kos yang didengar oleh sejumlah tetangga, ternyata kematian seorang
suaminya yang menjadi alasan air matanya jatuh tanpa henti. Teringat sebuah peristiwa yang
membuat waktu terasa berhenti, bumi seperti berhenti berotasi , gaya gravitasi dengan
relativitas einstein ataupun universal newton terasa tidak relevan karena rasanya tidak ada
pergerakan sama sekali, saat itu ku merasa mundur ke beberapa waktu yang lalu mengingat
semua yang terjadi berdasarkan adanya analogi saat ini.
Sekelompok angin sepoi sepoi menembus pori pori, bumi saat itu sedang diselimuti
oleh senja keemasan. Aku sedang asik belajar untuk persiapan ujian nasional, dengan
menikmati pemandangan indah sawah dipenuhi padi seluas mata memandang. Bapakku
menepuk pundakku dan akupun menatapnya “Langitnya udah mulai gelap kita harus segera
bergegas” katanya sambil melihat langit yang mulai gelap “Iya pak” jawabku sambil
membereskan peralatanku.
Kami berjalan menyusuri sawah untuk sampai pada rumah yang tidak jauh dari sawah
itu sendiri. Selama perjalanan, sudah menjadi kebiasaan bagiku mengobrol banyak hal dengan
bapakku terkait dengan negeri ini. Berbait cerita telah dilakukan dengan obrolan yang
membuatku tak terasa telah sampai di rumah, disambut dengan ibuku dan makan malam nasi
dan kerupuk serta kecap di atasnya. Aku tidak pernah menyesal harus memakan makanan
seperti itu setiap harinya karena bagiku kebahagiaan bukan hanya diekspresikan oleh
mewahnya makanan yang setiap harinya dimakan, tetapi senyuman manis, canda tawa ibu dan
bapakkulah yang memunculkan dugaanku, bahwasanya ini merupakan kebahagiaan, dan itu
memang betul.
Pagi hari di tempat yang telah ditakdirkan padaku untuk menjalani kehidupan putih
abu abuku, embun pagi menempel manja pada rumput jalanan yang sedang bergoyang, awan
dengan egoisnya tidak mengizinkan matahari menyaksikan semangat garuda muda. Aku
seperti biasanya terdiam di kelas yang sepi belum ada orang, hanya ada temenku, dia adalah
Katty, Katty Maryati. Kami membahas PR yang akan dibahas hari ini. Tiba tiba terdengar
suara pintu kelas yang digedor hingga malaikat mendengarnya, ternyata ulah pentolan
sekolah, dia adalah Jo dan Sam. Mereka mendekati kami dan Jo langsung memukul pundakku

2
dan berkata “Heh Ciling (nama buatan mereka), kerjakan PRku!” dengan nada sangarnya.
“Memangnya apa hubungannya dengan aku? Itu kan PR mandiri, harus dikerjakan sendiri”
jelas aku, “Kalau kamu tidak mau, aku tinggal suruh ibuku saja buat mecat ibumu si
pembantu abal abalan itu” ancam Jo, “Hajar boss, punyaku juga yaa Ciling” sambung Sam,
“Hmm iyadeh iya” jawabku dengan sangat terpaksa. Ibuku memilih menjadi pembantu
dibawah perintah ibunya Jo, aku mengerti semua yang dilaksanakan ibuku adalah bentuk
kasih sayang untuk membantu ayahku, yang nantinya dapat mencukupi kebutuhan kami,
sehingga ku lakukan dengan terpaksa supaya tidak terjadi apa apa.
Bel masuk berbunyi pertanda dimulainya kelas pertama, tidak lama kemudian guru
yang kami tunggu telah datang. “Selamat pagi anak anak, sebelum pelajaran dimulai ibu
absen dulu yaa” kata ibu guru dalam membuka kelasnya, “Acil Bacil”/ “Hadir”/ “Katty
Maryati”/ “Hadir Bu”/ “Jo? Joko Maryanto”/ “Saya bu” / “Sam? Samsudin Wahono”/ “Iya
bu”/ setelah semua nama telah disebutkan, beliau langsung menyuruh ketua kelas untuk
mengumpulkan PR dan memulai pelajaran. Tidak terasa serangkaian jadwal pelajaran pada
hari ini telah berakhir “Sebelum ibu menutup pelajaran, ibu berpesan jangan lupa untuk terus
belajar, karena sebulan lagi kalian akan menghadapi Ujian Nasional” jelas beliau yang
beranjak meninggalkan kelas. “Uuh lapar nih boss, traktir makan boss” Sam mengeluh,
“Manja amat lu, cari duit sana, miskin banget sih” tanggap Jo dengan wajah cueknya, “Kamu
lapar yaa, ini aku bawa roti buat kamu, itung itung buat ganjal perut” kata Katty dengan
menyodorkan kotak isi roti, Sam menerima dengan senyuman lalu pergi mengikuti Jo yang
keluar kelas, akan tetapi roti pemberian Katty dilempar ke sembarang arah dan terlantar di
lantai.
Sampai di rumah, aku melihat bapakku terdiam merenung di ruang tamu, ditemani
dengan teh utuh yang terbengkalai dan kelihatannya tak hangat lagi. “Aku pulang” kataku
sambil melepas sepatu dan masuk rumah, namun bapak tidak menjawab bagaikan sedang
berada dalam alam bawah sadar dimana jasadnya terlihat gelisah memandang koran yang
sedang dipegangnya. Aku melihat seraya ingin tau apa yang sebenarnya ayah baca hingga ia
membeku seperti ini, ternyata hanya koran harian yang dari sekian banyak berita hanya satu
yang menjadi pusatnya menurutku, berita tersebut berjudul “Impor Beras Merugikan Jutaan
Petani”. Melihat berita tersebut, aku mengerti kalau bapakku tengah meratapi apa yang akan
terjadi, menjadi alasan aku langsung masuk kamarku sendiri. Malam telah tiba, saat itu aku
tengah membantu ibuku mencuci piring “Acil, tolong urus bapakmu, sejak siang tadi dia tetap
disitu” kata ibuku yang sedang mengelap piring “iya bu” jawabku sambil mengelap tanganku
dan beranjak ke ruang tamu.

3
Di ruang tamu ku melihat bapakku yang saat itu sedang pucat karena mungkin depresi
saat melihat berita yang menjadi momok terbesar dari petani nusantara ini. “Bapak, sudahlah
pak, pastilah ada solusinya, bapak tidak boleh terlalu memikirkannya, cukup berdoa saja pak
kepada allah semoga kedepannya baik baik saja, sekarang bapak makan terus istirahat yaa
pak” kataku ke bapak sambil memegang tangannya yang dingin, “iya nak nanti bapak makan,
kamu tidur duluan saja, bapak butuh sendiri”.
Sejak malam itu aku jadi ikut kepikiran bagaimana kalau bapak terus memikirkannya?
Di tempat tidurku, ku terus memikirkan bapak sambil melihat atap tanpa adanya langit langit,
memang menurutku apa yang menjadi keputusan pemerintah ada positif dan ada negatifnya,
tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya, maksudku aku lebih memihak pada
petani bukan karena sikap subjektifku dimana bapakku petani, tapi karena begitu ironisnya
penguasa nusantara, dimana negara yang merupakan negara agraris sampai mendatangkan
pangan dari luar, ironi sekali. Jika hal tersebut didasarkan untuk ketahanan pangan, ku rasa
tidak ada salahnya pemerintah memutuskan hal itu, hanya saja terlihat ironis, kalau ku boleh
berprasangka pasti ada unsur politik dimana ingin menghalalkan segala cara supaya
kepentingan terwujud, jika kau tak setuju, terserah, setiap orang memiliki pendapatnya
masing-masing termasuk diriku.
Pagi harinya seperti biasa aku mengawali hariku untuk bangun pagi supaya dapat lebih
awal berangkat ke sekolah, namun hanya kulihat ibu yang sedang menyiapkan sarapan “Ibu?
Bapak dimana?” tanyaku pada ibu sambil menyiapkan kursi untuk ku duduki, “Bapak lagi
tertidur di kamar” jawab ibu sambil duduk, “oh iya bu, Acil berangkat dulu yaa bu,
Assalamualaikum”, “Waalaikumsalam”. Entah mengapa semuanya menjadi berbeda ketika
bapak tak lagi menampakkan senyum manis di pagi hari sebagaimana biasanya. Aku sangat
tidak nyaman memikirkan hal itu. Sesungguhnya aku sangat mengerti bapak pasti terlalu
banyak mengeluarkan air mata kecewa meratapikondisi pertanian di negeri ini.
Sesampai di sekolah, halaman depan sangat sepi bagai tak berpenghuni, iya memang
ini masih pagi dan merupakan kebiasaanku untuk datang lebih awal dari yang lainnya.
Mading kelihatannya terlihat tak biasanya, saat ini dia menampilkan sebuah pamflet, aku
berlari melewati koridor disertai rasa ingin tau apa itu, ternyata pamfelt tersebut berisi lomba
essay tentang “Kontribusi Generasi Muda Dalam Memajukan Pertanian Nusantara”. Jujur saja
lomba tersebut seketika menggerakkanku untuk mengikutinya, karena memang
diselenggarakan oleh IPB, dan hadiahnya sangat menggiurkan. Aku menggunakan uang
beasiswaku untuk mengikutinya. Setelah beberapa hari sejak aku mengirimkan essayku, hari
itu sebenarnya merupakan pengumuman, dan akhirnya aku dapat kiriman dari tukang pos,

4
kiriman tersebut merupakan sepaket tiket dan pengumuman bahwasanya aku merupakan salah
satu yang lolos dan berhak pergi ke IPB untuk babak final.
Aku pergi ke IPB dengan bekal pisang dan sebotol teh dan tak lupa dengan doa dari
ibuku, akan tetapi bapak saat itu sedang sakit, dan itu membuatku tak tenang. Di IPB aku
langsung diantarkan ke lokasi babak final, di situ telah terdapat 3 orang termasuk aku untuk
menunggu giliran dalam memasuki ruangan interogasi. Tak lama kemudian tibalah saatnya
aku masuk, kasus dibacakan oleh salah seorang pembina OSN bidang ekonomi, dia adalah
Bapak Widji Purwanto. “Pada bulan Februari 2015, harga beras mengalami kenaikan, rata
rata 10 hingga 30 persen. Operasi pasar yang ditangani oleh Badan Urusan Logistik tidak
serta merta menurunkan harga beras di pasaran, bagaimana pendapat anda tentang kenaikan
beras tersebut?” tanya bapak Widji.
“Assalamualaikum. Disini saya akan mencoba menggali dari akarnya dulu, kita tidak
boleh semerta-merta menyalahkan peran BULOG, tetapi kita lihat dari akarnya dulu. Tolong
semuanya yang ada disini merenungkan yang pertama, apakah rakyat-rakyat kita yang bekerja
sebagai petani sudah bisa mendapatkan pupuk yang murah? Apakah rakyat-rakyat kita yang
bekerja sebagai petani sudah bisa mendapatkan sarana dan prasarana irigasi yang mumpuni?
Apakah pemerintah sudah bisa menjelaskan visi yang kuat kepada masyarakat bahwa negara
kita, pada dasarnya, pada hakikatnya, berorientasi pada bidang pertanian? Hal ini yang harus
kita pahami bersama, lalu kemudian kita mencari solusi dari permasalahan ini. Pandangan
saya yang pertama pemerintah harus lebih jelas dulu negara ini mau dibawa kemana?
Dasarnya mau apa? Solusi saya bahwasanya harusnya pemerintah bisa menetapkan dasar
bahwa negara ini ingin dijadikan negara agraris. Solusi selanjutnya pemerintah harus bisa
melengkapi panca usaha tani yang melingkupi penyediaan pupuk yang benar benar bagus,
berkualitas, dan juga bisa menyediakan sarana irigasi yang berkualitas. Hal ini akan
mendorong timbulnya intensifikasi pertanian dan diversifikasi pertanian di Indonesia,
sehingga pada akhirnya kita sudah tidak perlu lagi mengimpor beras. Kita itu adalah negara
yang besar, masa kalah dengan Jepang yang hanya 12 % lahan pertaniannya. Mari di forum
ini saya ingin mengajak pada seluruh masyarakat Indonesia bahkan pada Bapak Presiden Joko
Widodo, saya mengajak bahwa Pak Jokowi mari kita bangun agraris kita, mari kita tancapkan
bahwa mungkin kita tidak bisa mengejar teknologi dari Singapura, mungkin kita belum bisa
mengejar teknologi dari Korea Selatan, tapi tidak ada salahnya kita menjadi Father Of
Farmers, ayah para petani di dunia. Terima kasih. Assalamualaikum” Jelas aku dengan sangat
puas sekali ditambah dengan sorakan penonton yang menambah rasa optimisku bahwa
sekolahku akan keluar sebagai juara.

5
Tibalah saatnya pengumuman juara dan ternyata dugaanku memang benar aku bisa
keluar sebagai juara, haru dan tangis bahagia memanjatkan sukur dapat membawa pulang
kemenangan. Saat ku keluar, aku terhenti sejenak melihat beberapa orang berwibawa tinggi,
tak kusangka dia adalah rektor IPB. “Selamat yaa nak atas prestasinya” kata pak rektor sambil
mengulurkan tangannya padaku, “iya pak terima kasih” jawabku menggapai tangannya,
“Argumenmu tadi sangat bagus nak, sebagai aspirasi, apakah kamu mau menerima tawaran
kami, untuk kuliah di kampus ini dengan jalur undangan dari kami? Karena kami yakin kamu
memiliki potensi” tawar pak rektor menyodorkan amplop berisi pendaftaran jalur undangan
tersebut. Sejujurnya aku tidak tau harus jawab apa, karena ku sama sekali tak menduga, ku
merasa dunia sedang berpihak padaku “Terima kasih atas tawarannya pak rektor, saya akan
memikirkannya lagi” kataku dengan senyuman manis, “Dengan senang hati nak, kami tunggu
jawabannya, mari kami antar kamu ke stasiun” kata pak rektor menawarkan lagi.
Akhirnya aku sampai di kampung halamanku membawa hal yang mungkin bisa
membuat bapak dan ibuku bangga di senja yang mendung, akan tetapi itu semua tidak jadi
setelah ku mendapat kabar bahwasanya rumahku telah hangus terbakar. “Acil, ibumu ada di
rumah sakit” kata salah seorang warga “Apa ? pak tolong antarkan saya pak” jawabku yang
sedang tergesa gesa. Sesampai di rumah sakit, disana ada Jo dan ibunya, ibunya Jo menatapku
dengan air mata dingin “Tante bagaimana kondisi ibuku?” tanyaku pada ibunya Jo, “Ibumu
tidak apa apa nak, hanya saja bapakmu” jawab ibunya Jo “Kenapa dengan bapakku tante?”
tanya aku yang mendadak dingin, “Bapakmu meninggal nak” saatku mendengar itu, aku rasa
itu bohong, tapi ternyata itu memang benar.
Malam itu rasanya aku tengah menatap jelaga hitam, menyelimuti hati yang
terperosok dalam. Aku rasa aku sedang tersesat, tenggelam dalam lautan air mata, berteriak
dalam gigi gemertap. Ku membutuhkan kedamaian, temanillah aku wahi ikhlas, karenaku tak
ingin semakin tergilas. Tatkala ibu telah sadar dan boleh pulang, Ibunya Jo menawarkan kami
untuk menginap di rumahnya untuk sementara. Aku sebenernya bersukur karena kami
mendapat tempat bernaung untuk sementara, akan tetapi aku tidak senang harus tinggal
dengan Jo yang nantinya akan membuatku terus tidak nyaman. Akhirnya kami menerima
tawaran ibunya Jo dan kuberharap aku akan betah disana.
Minggu berganti minggu, hari berganti hari, jam berganti jam, menit berganti menit,
detik berganti detik, waktu terus berjalan seiring dengan perputaran poros bumi. Tiba saatnya
babak penentuan untuk selangkah menuju impian, Ujian Nasional. Mental dan persiapan telah
dimaksimalkan, aku berada satu ruangan dengan Katty, Jo, Sam, dan yang lainnya. Ujian
berjalan dengan lancar bagiku, entah dengan yang lain karena aku hanya perduli dengan

6
diriku sendiri, akan tetapi Ujian hari ketiga terdapat pristiwa yang tak bisa kulupakan, ketika
ku sedang mengerjakan soal ujian tiba tiba pengawas menegur dua peserta ujian, mereka
adalah Jo, dan Sam, “Jo ? Sam? Apa itu?” tanya pengawas yang mendekati bangku mereka,
“Emm ini bu... emm” jawab Jo, “Sini biar ibu lihat (merebut kertas kecil yang sedang dipegan
Jo), hmm kalian” kata ibu pengawas yang menyobek kertas berisi contekan. Aku tampak
kecewa kalau selama ini Jo dan Sam menyontek, “Sst, Ciling , heh” kata Jo memanggilku
pelan pelan tapi ku tak menghiraukan, “Heh, Katty aku cinta padamu, kasih tau jawabannya
dong” kata Sam memanggil Katty tapi juga tak merespon.
Ujian telah berakhir dan aku ingin langsung pulang dan ingin bercerita kalau ujian
berjalan lancar. Sesampai di depan rumah Jo ku melihat ibu sedang terbengkalai di depan
halaman rumah beserta koper. “Tante ada apa dengan ibuku?” tanyaku, “Tanya sendiri ke
ibumu, dia mencuri harta tante” jawab ibunya Jo, “Tante, ibu saya tidak mungkin melakukan
hal itu” kataku dengan perkataan yang lembut, “Kalau bukan dia siapa lagi?” tanya ibunya Jo,
“Mengapa tante tidak tanya ke anak tante sendiri” jawabku sambil memandang Jo yang
tampak gelisah, “Heh Ciling, ngaku saja kamu, oh emang bener yaa, mana ada maling yang
mengaku” kata Jo menyela, “Jaga omonganmu Jo!” kataku yang mulai marah, “Udah sana
pergi dan jangan pernah kembali lagi” kata ibunya Jo. Akhirnya kami tidak punya pilihan
apalagi selain berjalan tanpa tujuan menyusuri jalanan kota “Maafkan ibu yaa Acil” kata ibu
mengeluh, “Tidak apa apa bu, Acil tau ibu tidak salah” kataku dengan nada yang lembut.
Di tengah perjalanan aku bertemu dengan kepala sekolahku yang mana dia
memberhentikan mobilnya setelah melihatku, “Acil kok kamu masih memakai pakaian
sekolah, kenapa belum pulang, dan ini siapa?” tanya kepala sekolah, “emm iya pak, ini ibu
Acil” kataku gugup, “Oh iya, terus kok bawa koper?”, aku tidak mau mengatakan kalau kami
tidak memiliki tempat tinggal lagi, namun ibu menjawab yang sebenarnya dan akhirnya bapak
kepala sekolah menawarkan tumpangan dan menyuruh kami untuk tinggal di rumahnya
bersama dengan keluarga beliau. Aku merasa lebih nyaman di rumah pak kepala sekolah
tetapi sedikit tidak enak sendiri karena merepotkan, tapi mereka kelihatannya dengan senang
hati menerima kami, bagaimana keluwesan mereka dalam berbagi, aku sendiri cukup senang
karena dapat bermain main dengan anak anak dari kepala sekolahku.
Tak terasa akhirnya sampai waktunya pada tahap pengumuman kelulusan. Temen
temen satu perjuangan kelas akhir di sekolah telah berkumpul di aula sekolah ditemani
dengan masing-masing wali murid. Pengumuman langsung diumumkan oleh kepala sekolah
dan puji syukur aku begitu juga dengan teman temanku, kecuali Jo dan Sam mereka tidak
lulus, sampai ibunya Jo pingsan dan diantarkan oleh ambulan ditemani Jo. Pengumuman

7
tersebut begitu melegakanku dan membuatku tetap percaya bahwasanya usaha tidak pernah
menghianati hasil. Sebagai bentuk apresiasi kepala sekolah menyuruhku untuk maju ke depan
untuk menyampaikan sepatah kata dan anehnya aku melihat pak rektor IPB di salah satu
tempat duduk VIP (sofa paling depan).
Acara pengumuman telah berakhir, kepala sekolah menyampaikan selamat padaku dan
mengajakku untuk mengobrol dengannya di ruangannya. Di ruangan kepala sekolah, terdapat
pak rektor IPB, beliau menanyakan tentang keputusanku mengenai undangan untuk kuliah di
kampusnya tanpa tanggungan biaya malah justru dibayar. Tidak ada kata kata yang sesuai
untuk mengekspresikan itu, yang jelas itu merupakan anugerah, jadinya aku memutuskan
untuk mengambil penawaran tersebut, ibuku sangat bangga padaku karena semuanya yang
aku dapatkan.
Waktu seperti biasanya egois dengan dirinya, hingga tak terasa saatnya aku pergi ke
tanah rantau, ibuku menyiapkan bekal padaku dan memberi pelukan hangatnya, tak lupa aku
pamit pada kepala sekolah dan meminta maaf karena telah merepotkannya “Bapak maafkan
aku telah banyak merepotkan dan terima kasih atas semuanya” kataku dalam nada rendah,
“Tidak apa apa Acil, ibumu bisa tetep disini, kami dengan senang hati menerimanya” jawab
bapak kepala sekolah, “Alhamdulillah, terima kasih banyak pak , mohon jaga ibu saya yaa
pak, saya pamit dulu, Assalamualaikum”.
Di perjalanan aku menyempatkan diri untuk berziarah di makam ayahku, setelah itu
ada Sam dan Jo menungguku “Acil, maafkan aku dan Sam yaa, selama ini sangat jahat
padamu” kata Jo dengan nada rendahnya yang pertama kali kudengar, “Iya tidak apa-apa Jo,
Sam” kataku. Aku tidak sangka saat itu aku bisa memeluk mereka dan melihat Katty saat hari
yang mungkin saja terakhir, tapi ku tak berharap demikian. Perjalanan begitu indahnya,
terlihat sawah samping kanan dan samping kiri jalanan, terbayang kebahagiaanku bersama
bapak pada saat aku masih merasakan nafasnya.
Demikianlah kisahku, saatku berjuang meraih asaku untuk terus berada di puncak
tertinggi, dibalik itu ada air mata bapakku yang merupakan ratapan petani nusantara. Sebutir
padi merupakan pesan dan cambuk untuk nusantara ini, bahwasanya mereka juga merupakan
saksi serta mengakui sebenarnya nusantara bisa menjadi ayah dari segala petani di dunia.
Meninggalnya bapakku mungkin merupakan air mata yang mewakili jutaan petani yang tak
dihiraukan, bukankah dibalik kerja keras mereka, keringat mereka merupakan usaha yang
diharapkan pemerintah untuk mencapai perubahan? Malam terlalu malam, terkadang
kenganan begitu kelam, namun mereka mengecam perubahan. Menilai kesamaan dulu dan
sekarang. Berusaha dianggap rubah. Berusaha melipur lara dianggap pura-pura. Generasi

8
muda peduli dianggap wawancara. Negeri ini begitu kejam dan lucunya. Setiap langkah baru
dianggap sampah. Akankah itu menjadi penghalang bagi garuda muda dengan asanya?
Kenapa tidak, jelaslah terbayang. Terkadang orang layaknya bambu, larut dalam kata kata
yang beradu. Manusia punya jalan bijaknya sendiri, berjalanlah terus dalam hidup yang biru
ini, kalian punya hak, selamat malam.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai