Anda di halaman 1dari 26

TUTORIAL

BLOK SISTEM UROGENITAL


SEMESTER VI

NAMA : RIANG KRISDAYANTI TELAUMBANUA

NMP ; 61116100

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERITAS BATAM

2019
Scenario 1

TAKUT CUCI DARAH


Tn. Joko (58 tahun), sudah 2 tahun berobat teratur di Puskesmas dengan diagnosis DM tipe
2 dan hipertensi. Akhir-akhir ini Tn. Joko mengeluh mual dan badan terasa letih. Dari pemeriksaan
fisik dokter menemukan konjungtiva anemis, tekanan darah 170/100 mmHg, jantung LVH, hati dan
ginajal tidak teraba. Laboratorium : Hb 9 gr/dL, leukosit 8200/mm3, LED 25/jam, albumin urine
(+). Glukosa darah sewaktu 212 mg/dL.

Dokter menganjurkan Tn. Joko dirujuk ke RS untuk evaluasi karena dokter mencurigai sudah
terjadi gangguan pada ginjal. Pemeriksaan laboratorium di RS didapatkan ureum 90 mg/dL ,
kreatinin 3,2 mg/dL, uric acid 9 mg/dL, Na 136 mEq/L dan K 5 mEq/L.

Dokter menerangkan panjang lebar pada Tn. Joko bahwa telah terjadi penurunan fungsi ginjal (laju
filtrasi glomerulus). Untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dokter menganjurkan
pembatasan intake protein dan garam, mengendalikan gula darah dan tekana darah serta control
teratur di Poliklinik khusus Ginjal Hipertensi. Tn. Joko berjanji akan mematuhi semua nasehat
dokter, karena Tn. Joko sangat ttakut untuk cuci darah. Bagaimana anda menerangkan apa yang
terjadi pada Tn. Joko?
Terminology asing

1. Kreatinin : suatu anhidridida keratin, hasil akhir metabolism


fosfokreatin; pengukuran laju ekskresinya lewat urine
dipakai sebagai indicator diagnostic fungsi ginjal dan massa
otot.
(Dorlan, edisi 28)
2. Ureum : produk akhir dari metabolisme protein yang mengandung
nitrogen, dibentuk didalam hati dari asam amino dan dari
senyawa ammonia; ditemukan didalam urine, darah, dan
limfe.
(Dorlan, edisi 28)
3. Albumin urine : adanya albumin serum dalam urine, jenis proteinuria yang
Tersering.
(Dorlan, edisi 28)
4. Uric acid : produk akhir katabolisme purin pada primata; meningkatnya
kadar asam urat dikaitkan dengan gout dan nefrolitiasis.
Garam asam urat tidak larut dalam air dan dapat membentuk
Kristal, batu atau kalkuli.
(Dorlan, edisi 28)
5. Konjungtiva anemis : pucatnya membrane kelopak mata karena kekurangan darah

Rumusan Masalah

1. Apa yang menyebabkan Tn. Joko merasa mual dan badan terasa letih ?
2. Mengapa Tn. Joko mengalami konjungtiva anemis ?
3. Mengapa ureum, kreatinin, dan asam urat Tn. Joko tinggi sehingga doktter menganjurkan
pembatasan intake protein dan garam ?
4. Mengapa gangguan fungsi ginjal menyebabkan tekanan darah tinggi dan begitu sebaliknya?
5. Apa hubungan DM tipe 2 dengan penurunan fungsi ginjal ?
Hipotesis
1. Mual disebabkan karena kadar ureum yang tinggi dan letih karena anemia, hipertensi dan
tingginya gula darah.
2. – karena Tn. Joko mengalami anemia yang menyebabkan suplai darah kemata berkurang
- Hipertensi → jumlah darahnya menurun → konjungtiva anemis
3. - asupan protein meningkat bisa menyebabkan edema
- Ketika hipertensi bisa menyebabkan laju filtrasi glomerulus meningkat dan akhirnya
kerja ginjal bertambah akstra
- Karena ketidakseimbangan elektrolit yang disebabkan disfungsi ginjal diakibatkan
hipertensi, DM, dan adanyab intake berlebih sehingga dokter membatasinya.
4. - anemia → disfungsi ginjal → mengabsoprsi alektrolit → jantung (↑TD)
- Disfungsi ginjal (memproduksi renin untuk mengikat garam)
- Disfungsi ginjal → renin → renin mengubah angiotensinogen → AT1 → AT2 →
aldosteron →TD↑ (hipertensi)
- Hipertensi → aldosteron →vasokontriksi →vaskuler→LFG↑ → disfungsi ginjal→LFG↓
5. - DM tipe 2 menyebabkan disfungsi endotel → menstimulus endotelin + tromboksan
menyebabkan vasokontriksi yang mengakibatkan meningkatkan TD.
- Hipertensi → aldosteron →vasokontriksi →vaskuler→LFG↑ → disfungsi ginjal→LFG↓
SKEMA

Gagal Ginjal Kronis


Learning Objectif
1. Menjelaskan patofisiologi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Menjelaskan penegakkan diagnosis gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Menjelaskan penatalaksanaan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Menjelakan jenis jenis gangguan fungsi ginjal
5. Menjelaskan etiologi dan gangguan fungsi ginjal
6. Menjelaskan patofisiologi gangguan fungsi ginjal
7. Menjelaskan bagaimana menegakkan diagnosis gangguang fungsi ginjal
8. Menjelaskan penatalaksanaan gangguan fungsi ginjal
9. Menjelaskan pemeriksaan penunjang pada gangguan fungsi ginjal
10. Prognosis secara umum pada gangguan fungsi ginjal
Pembahasan

1. Patofisiologi Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


a.Gangguan keseimbangan cairan
Gangguan keseimbangan air dalam topik ini adalah ketidakseimbangan antara air yang
masuk ke dalam dan air yang keluar dari tubuh, ketidakseimbangan antara cairan Intra dan ekstra
sel serta ketidakseimbangan antara cairan interstisial dan intravaskuler. Ketidakseimbangan ini
antara intra dan ekstrasel atau antara interstisium dan intravaskuler, sangat dipengaruhi oleh
osmolalitas efektif atau tekanan osmotik (tonisitas). Osmolalitas adalah perbandingan antara jumlah
solut dalam mmol/L dan air dalam kgH2O. Solat-solat yang mempengaruhi osmolalitas tubuh
adalah natrium, kalium, glukosa dan urea. Natrium, kalium, dan glukosa disebut sebagai solut atau
osmol yang efektif, karena mempengaruhi tekanan osmotik. Makin tinggi osmolalitas solut efektif,
maka makin tinggi tekanan osmotik (tonisitas). Urea mempengaruhi osmolalitas akan tetapi tidak
berpengaruh terhadap tekanan osmotik oleh karena urea memiliki kemampuan untuk menembus
membran sel (lipid-soluble) berpindah bebas dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, sehingga
urea disebut sebagai solut atau osmol yang tidak efektif (ineffective-osmole).
Berpindahnya air dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, dipengaruhi oleh perbedaan
tekanan osmotik(tonisitas). Air Akan berpindah dari daerah yang tonisitas/ tekanan osmotik lebih
rendah ke daerah dengan tonisitas/ tekanan osmotik lebih tinggi. Dalam keadaan normal maka
osmolalitas cairan intrasel adalah sama dengan osmolaritas cairan ekstrasel. Kandungan air di
intrasel lebih banyak oleh karena jumlah kalium total dalam tubuh lebih besar dari jumlah natrium
total dalam tubuh. Natrium, kalium, glukosa bebas berpindah antar interstisium dan intravaskuler
(plasma), sehingga ketiga osmol ini tidak berpengaruh terhadap perpindahan air dari interstisium ke
dalam plasma atau sebaliknya. Protein dalam plasma yaitu albumin tidak mudah berpindah dari
intravaskuler ke dalam cairan interstisium sehingga albumin adalah osmol utama yang
mempengaruhi tekanan osmotik(tonisitas) di intravaskular. Tekanan osmotik dan plasma ini disebut
juga sebagai tekanan onkotik dalam plasma. Berpindahnya air dari intravaskuler ke interstisium
atau sebaliknya sangat dipengaruhi oleh kadar albumin dalam plasma.
Ada Beberapa keadaan yang dapat kita temukan dalam hal gangguan keseimbangan air antara lain:
1. Dehidrasi
2. Hipovolemia
3. Hipervolemia
4. Edema
Dehidrasi
Dehidrasi adalah keadaan dimana berkurangnya volume air saja atau berkurangnya air
jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel atau keluarnya cairan hipotonik
berlebihan dari ekstrasel yang mengakibatkan peningkatan natrium di ekstrasel (hipernatremia).
Hipernatremia meningkatkan tonisitas cairan ekstrasel sehingga air dari intrasel keluar ke ekstrasel
(volume cairan intrasel berkurang dan volume cairan ekstrasel relatif tetap). Dengan kata lain,
dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intra dan ekstrasel secara bersamaan di mana 40% dari
cairan yang menghilang berasal dari ekstrasel dan 60% berasal dari intrasel.
Dehidrasi dapat terjadi pada keadaan keluarnya air melalui keringat, penguapan dari kulit,
saluran intestinal, diabetes insipidus(sentral dan nefrogenik), diuresis osmotik, yang kesemuanya
disertai oleh rasa haus. Atau dapat terjadi bila asupan cairan natrium hipertonik yang berlebihan.

Hipovolemia
Hipovolemia adalah berkurangnya volume cairan ekstrasel tanpa pengurangan volume
cairan intrasel. Hipovolemia dapat terjadi oleh karena dua hal ;
1. Kehilangan air dan natrium secara bersamaan (seperti cairan isotonik) melalui saluran
intestinal seperti muntah, diare, pendarahan atau melalui pipa sonde. Dapat juga melalui ginjal
antara lain penggunaan diuretik diuresis osmotik, ' salt-wasting nephropathy', Hippo
aldosteronisme. Atau juga melalui sekuestrasi cairan seperti pada ileus obstruksi, trauma, fraktur,
pankreatitis akut
2: kehilangan air saja atau cairan hipotonik sangat berlebihan melalui kulit dan saluran
nafas ( insensible water losses), melalui keringat, luka bakar, atau pada diabetes insipidus sehingga
volume cairan ekstrasel berkurang, yang menimbulkan hipovolemia bersamaan dengan dehidrasi.

Hipervolemia
Hipervolemia adalah suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan volume cairan
ekstrasel khususnya intravaskuler (volume overload) melebihi kemampuan tubuh mengeluarkan air
melalui ginjal, saluran intestinal, kulit. Keadaan ini lebih dipermudah dengan adanya gangguan
pada otot jantung (gagal jantung kongestif) atau pada gangguan fungsi ginjal berat (penyakit ginjal
kronik stadium 4 dan 5 atau pada gangguan ginjal akut).

Edema
Adalah suatu pembengkakan yang dapat diraba akibat penambahan volume cairan
interstisial. Ada dua faktor penentu terhadap terjadinya edema antara lain:
 Perubahan hemodinamik dalam kapiler yang memungkinkan keluarnya cairan intravaskuler
ke dalam jaringan interstisial
 Retensi natrium di ginjal
Hemodinamik dalam kapiler dipengaruhi oleh
 Permeabilitas kapiler
 Selisih tekanan hidrolik dalam kapiler dengan tekanan hidrolik dalam interstitium
 Selisih tekanan onkotik dalam plasma dengan tekanan onkotik dalam interstisium.
Retensi natrium dipengaruhi oleh
 Aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron yang erat kaitannya dengan baroreseptor di
Arteri aferen glomerulus ginjal.
 Aktivitas ANP (atrial natriuretic peptide) yang erat kaitannya dengan baroreseptor di Atrium
dan ventrikel jantung
 Aktivitas saraf simpatis, Adh yang erat kaitannya dengan baroreseptor di sinus caroticus.
 Reseptor di hipotalamus
Pada keadaan volume sirkulasi efektif yang rendah misalnya pada gagal kongestif, sirosis
hati, sindrom nefrotik dan gagal ginjal, maka jumlah total natrium tubuh akan meningkat oleh
karena adanya retensi natrium ginjal akibat peningkatan sistem renin angiotensin-aldosterone.
Retensi natrium menimbulkan retensi air di ekstrasel sehingga terjadi penimbunan air khususnya di
interstisium yang akhirnya menimbulkan edema umum.
Di samping faktor-faktor penyebab edema di atas, ada faktor lain yang mencegah
berlanjutnya penumpukan cairan dalam jaringan interstisium (edema) yaitu aliran limfatik yang
dapat menampung kelebihan cairan dalam jaringan interstisial. Adalah dengan meningkatnya
jumlah cairan dalam jaringan interstisium pada edema, akan mengurangi tekanan onkotik dan
meningkatkan tekanan hidrolik jaringan interstitium sehingga penumpukan cairan dalam
interstitium terhambat.
Manifestasi klinis edema dapat berupa: edema paru, edema perifer misalnya pada tungkai, ascites,
Bendungan pada Vena setempat misalnya pada tungkai yang biasanya unilateral, Bendungan vena
dalam, edema ' pitting" pada hipotiroid.

b. Gangguan keseimbangan eletrolit


a. Gangguan keseimbangan natrium

Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan natrium
yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu pengatur:
1. Kadar natrium yang sudah tetap pada batas tertentu (set-poin)

2. Seimbangan antara natrium yang masuk dan yang keluar (Steady- state)

Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel akan mempengaruhi kadar hormon terkait
seperti hormon antidiuretik (Adh), sistem RAA (renin angiotensin aldosteron), atrial natriuretic
peptide ANP), brain natriuretic peptide (BNP). Hormon-hormon ini akan mempengaruhi ekskresi
natrium di dalam urine.

Naik turunnya ekskresi natrium dalam urine diatur oleh filtrasi glomerulus dan reabsorpsi
oleh tubulus ginjal. Peningkatan volume cairan atau hipervolemia tingkatan asupan natrium akan
meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan pada hipovolemia serta asupan natrium yang rendah akan
terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus. Bahan perubahan yang terjadi pada laju filtrasi
glomerulus akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di tubulus (glomerulo tubular Balance) .
Sebanyak 60% sampai 65% natrium yang difiltrasi di reabsorpsi di tubulus proksimal, 25%
sampai 30% di loop of henle, 5% di tubulus distal dan 4% di duktus koligentes.

Reabsorpsi di tubulus proksimal dan duktus koligentes tergantung pada kebutuhan tubuh
yang diatur oleh faktor neurohumoral (angiotensin 2 danur epinefrin di tubulus proksimal dan
aldosteron di duktus koligentes). Reabsorpsi di lengkung henle dan tubulus distal tergantung dari
jumlah natrium yang ada dalam Filtrat tubulus atau disebut juga tergantung banyaknya jumlah
Filtrat

Reabsorpsi natrium di tingkat sel tubulus proksimal dimulai dari aktivitas pompa Nak-AT
love youPase di membran basolateral sel tubulus sehingga menimbulkan gradien elektrokimia
sehingga memudahkan masuknya natrium secara pasif dalam bentuk solut koTransport dengan
glukosa, asam amino, fosfat yang dihantarkan oleh protein pembawa ( carrier) masuk menembus
membran sel dan juga melalui antiporter Na-H(reabsorpsi natrium dan sekresi ion H).

Reabsorpsi natrium di lengkung henle ascending, dilakukan oleh proses elektron Netral
melalui kotranspor NaK2Cl. Bila Na direabsorpsi, ku ada sampai hari ini maka absorbsi Cl akan
terhalang sebaliknya bila Cl direabsorpsi maka reabsorpsi Na terhalang dan bila K reabsorpsi maka
reabsorpsi Na dan Cl terhalang. Kalium yang direabsorpsi akan kembali masuk ke dalam lumen
melalui saluran-K yang ada di membran sel bagian lumen, sehingga membuat lumen menjadi
elektropositif dan mendorong Ma masuk dari lumen ke dalam sel. Natrium yang masuk ke dalam
sel akan dikeluarkan dari sel masuk ke dalam sirkulasi dengan bantuan pompa Nak-AT ATPase di
membran basal lateral dimana akan keluar 3 Na dan masuk 2 K. Kalium yang masuk kemudian
dikeluarkan ke dalam lumen melalui saluran- K di membran sel. Cl yang direabsorpsi, kemudian
keluar dan masuk dalam sirkulasi melalui saluran Cl membran basolateral. Keluarnya kalium ke
dalam lumen dan keluarnya natrium ke dalam sirkulasi membuat sel menjadi elektronegatif dan
lumen menjadi elektropositif sehingga memudahkan natrium masuk kedalam sel dari lumen
lengkung henle ascending.

Reabsorpsi natrium di tubulus distal, dilakukan oleh proses elektron Netral melalui
kotranspor Na-Cl. Di dalam sel, natrium dikeluarkan melalui membran basal lateral oleh pompa
NakATPase ke dalam sirkulasi dan Cl keluar dari sel pada membran basal lateral melalui saluran
Cl. Pompa Nak-ATPase juga membuat agar sel menjadi elektronegatif sehingga mendorong Na
masuk ke dalam sel melalui kotranspor Na-Cl.

Reabsorpsi Na di duktus koligentes, terjadi di bagian korteks duktus coding entes di medula
dalam. Pada bagian korteks dilakukan melalui sel prinsipal. Reabsorpsi natrium di sel Principal
bagian korteks duktus koligentes bersifat elektronik yang memungkinkan kadar natrium dari rumen
turun sampai kurang dari 5 meq/L pada keadaan hipovolemi. Sifat elektro gen ini menyebabkan
muatan dalam lumen menjadi negatif sehingga memungkinkan terjadinya reabsorpsi pasif Cl jalur
para seluler dan juga memungkinkan terjadinya sekresi K ke dalam lumen melalui saluran- K yang
peka aldosterone pada membran sel bagian lumen. Cairan sangat berperan dalam proses transport
natrium dengan meningkatkan jumlah saluran natrium di bagian apikal membran sel prinsipal
duktus koligentes. Lumen yang bermuatan negatif ini dimungkinkan oleh pompa Nak-ATPase di
bagian basolateral sel principle, 3 na keluar dari sel masuk dalam sirkulasi dan 2 K masuk dalam sel
dan kemudian 1 K keluar kembali dari sel yang menciptakan muatan negatif dalam sel. Muatan
negatif dalam sel, mendorong Na masuk ke dalam sel melalui saluran natrium. Disamping itu, ion K
yang keluar ke dalam lumen melalui saluran kalium peka aldosteron akan mendorong na dalam
lumen masuk ke dalam sel melalui saluran natrium tersebut.

Grandine E2 dapat menghambat reabsorpsi natrium di sel Principal sebaliknya Adh


meningkatkan reabsorpsi natrium diesel prinsipal dengan meningkatkan jumlah saluran natrium.

b. Gangguan keseimbangan kalium

Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam tubuh dan terbanyak
berada di intrasel. Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf,
pengeluaran hormon, cairan, perkembangan janin. Untuk menjaga kestabilan kalium di intrasel
diperlukan keseimbangan elektrokimia yaitu keseimbangan antara kemampuan muatan negatif
dalam sel untuk mengikat kalium dan kemampuan kekuatan kimiawi yang mendorong kalium
keluar dari sel. Keseimbangan Ini menghasilkan suatu kadar Kalium yang kaku dalam plasma
antara 3,5 sampai 5 meq/L. Kadar Kalium plasma kurang dari 3,5 meq/L disebut sebagai
hipokalemia dan kadar lebih dari 5 meq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kedua keadaan ini dapat
menyebabkan kelainan fakta listrik jantung yang disebut aritmia.

c. Gangguan Keseimbangan kalsium

40% kalsium dalam plasma terikat dengan protein, 15% membentuk kompleks dengan sitrat,
sulfat dan fosfat, 45% sebagai kalsium ion bebas.

Kalsium yang terikat dengan protein atau disebut juga sebagai kalsium yang tidak dapat
terdifusi, 80% sampai 90% terikat dengan albumin. Perubahan kadar protein dalam plasma juga
akan mempengaruhi kadar kalsium yang terikat dengan protein. Peningkatan albumin 1 gram per
desiliter akan meningkatkan kalsium terikat protein sebesar 0,8 mg/dl, sedang peningkatan globulin
1 gram/dl akar meningkatkan kalsium terikat protein 0,16 mg/dl. Kalsium yang tidak terikat protein
termasuk didalamnya kalsium kompleks dan kalsium ion bebas, kalsium ion bebas merupakan
kalsium yang aktif secara biologis; kadarnya dalam plasma sebesar 4 mg/ dl-4,9 mg/dl tahu 45%
dari kadar kalsium total dalam plasma. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kalsium ion
bebas membutuhkan Darah segar, diambil secara anaerob, tanpa heparin dan terbebas dari fibrin.

Keseimbangan kalsium merupakan hubungan timbal balik antara absorpsi usus, ekskresi dalam
urine dan faktor hormonal. Absorbsi kalsium terjadi di usus halus terutama di duodenum dan
jejunum proksimal. Berbeda dengan absorpsi natrium dan kalium di usus yang berlangsung
lengkap, absorbsi kalium tidak berlangsung lengkap. Hal ini terjadi karena absorbsi kalsium
membutuhkan vitamin D dan juga terbentuknya ikatan kalsium yang sukar larut seperti kalsium
fosfat, kalsium oksalat. Dalam usus lebih efisien pada keadaan asupan diet rendah kalsium dan juga
meningkat bila kebutuhan tubuh akan kalsium bertambah misalnya kehamilan atau adanya depresi
kalsium tubuh total. Beberapa obat dapat menghambat absorpsi kalsium antara lain kolkisin, fluor,
teofilin dan glukokortikoid. Motilitas usus yang tinggi juga menghambat absorpsi kalsium
Gangguan lanjutan keseimbangan kalsium

Pada keadaan malnutrisi protein, absorpsi kalsium juga terganggu oleh karena ikatan kalsium
protein di sel mukosa usus mengalami defisiensi. Untuk menghitung berapa kalsium yang
diabsorpsi dapat dilakukan dengan rumus dibawah sebagai berikut:

Ekskresi kalsium dalam urine diatur oleh kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus dan kalsium
yang direabsorbsi oleh tubulus(kalsium ion bebas lebih mudah direabsorpsi daripada kalsium
kompleks, museum ion bebas hanya 20% dari jumlah kalsium yang diekskresikan dalam urin).
Asupan dan ekskresi natrium dalam urin akan mempengaruhi ekskresi kalsium urin. Ekskresi
natrium yang meningkat pada keadaan peningkatan volume cairan ekstrasel akan meningkatkan
ekskresi kalsium urin. 97% sampai 99% dari total kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus akan
direabsorpsi oleh tubulus. 50% sampai 70% dari total kalsium yang di filtrasi reabsorpsi di tubulus
proksimal, 30% sampai 40% antara akhir tubulus proksimal dan tubulus distal udah 10% di duktus
koligentes. Faktor hormonal yang mempengaruhi keseimbangan kalsium diperankan oleh vitamin D
dengan metabolit aktif 1,25 dihidroksi kolekalsiferol yang disebut juga calcitriol dan hormon
paratiroid. Sumber vitamin D di dalam tubuh manusia berasal dari vitamin vitamin D3 endogen.
Vitamin D3 atau disebut juga cholecalciferol, dibentuk secara termal isomerisasi dari pre vitamin
D3. Pre vitamin D3 berasal di provitamin D3 yang disebut juga 7-dehidrokolesterol. Kolekalsiferol
dimetabolisme dalam hati menjadi 25 hidroksi vitamin D3 atau 25(OH) D3. Setelah melalui siklus
enterohepatik, 25(OH) D3 dalam bentuk kompleks dengan protein difiltrasi melalui glomerulus dan
direabsorpsi di tubulus proksimal. Di dalam sel tubulus proksimal, 25(OH) D3 dimetabolisme
menjadi 1, 25(OH)2D3 calcitriol. Kalsitriol yang bersirkulasi dalam darah merupakan pengaturan
utama absorpsi kalsium di usus. Efek vitamin D pada tulang ada dua yaitu; 1, membantu
mineralisasi matriks tulang organik dan 2, membantu mobilisasi kalsium tulang untuk
meningkatkan kadar kalsium plasma yang tidak berhubungan dengan kemampuan absorpsi kalsium
di usus. Vitamin D meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal.

Tiroid berperan utama dalam mengatur kadar kalsium dalam darah. Efek umpan balik(feedback
mekanis) perubahan kadar kalsium ion, akan mempengaruhi sekresi hormon paratiroid yang
kemudian mengembalikan kadar kalsium ion dalam batas normal. Permukaan sel kelenjar paratiroid
memiliki sensor yang disebut sebagai calcium sensing receptor yang merupakan anggota dari G
protein coupled reseptor. Bila kalsium dalam darah tinggi, lalu jalur fosfolipase-C, kalsium dalam
sel kelenjar paratiroid meningkat yang kemudian menghambat sekresi hormon paratiroid oleh sel
kelenjar paratiroid. Calcium sensing receptor juga terdapat di kelenjar tiroid dan ginjal. Kalsitriol
dan hormon paratiroid saling mempengaruhi satu sama lain. Hormon paratiroid merangsang
pembentukan kalsitriol di ginjal, akan tetapi kalsitriol dapat menurunkan sekresi hormon paratiroid
dalam waktu 12 sampai 24 jam. Hiperkalsemia atau hipokalsemia akan menghambat atau
merangsang terbentuknya kalsitriol melalui perubahan sekresi hormon paratiroid. Hormon
paratiroid berpengaruh dalam perubahan pembentukan tulang. Hormon paratiroid akan
meningkatkan aktivitas osteoblas melalui reseptor hormon paratiroid pada sel osteoblas. Osteoblas
kemudian akan menstimulasi peningkatan osteoklas resepsi kalsium tulang. Hormon paratiroid
menghambat reaksi-reaksi kalsium di tubulus proksimal akan tetapi meningkatkan reabsorpsi
kalsium di tubulus distal sehingga hasil akhir adalah menurunkan ekskresi kalsium dalam urin.
Sehingga efek akhir kerja hormon paratiroid pada tulang dan ginjal adalah meningkatkan kadar
kalsium dalam darah.
d. Gangguan keseimbangan fosfor

Terdapat dua bentuk fosfor di dalam badan kita yaitu fosfor organik dan fosfor inorganik.
Anggora organ yg terdapat dalam fosfolipid yang terikat dengan protein. Fosfor in organic, 90%
dapat difiltrasi oleh glomerulus dan sisanya terkait dengan protein. 53% dari fosfor ultrafiltrasi
berdisosiasi dalam bentuk H2 po4 dan hpo4 2 minus dengan perbandingan 1 banding 4 dan sisanya
dalam bentuk garam natrium, dan magnesium. Jumlah fosfor tubuh total adalah 0,5 sampai 0,8 mg/
kg BB, persen disimpan dalam tulang; 1% dalam cairan ekstraseluler serta sisanya berada dalam
sel(intraseluler). Kadar fosfor dalam darah orang dewasa adalah 2,5 sampai 4mg per dl dan pada
anak 2,5 sampai 6 mg/ dl. Terdapat hubungan yang terbalik antara kadar kalsium dan fosfor dalam
darah. Hasil perkalian kedua kadar ini adalah tetap. Dalam keadaan akut, peningkatan kadar fosfor
darah akan diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah. Peningkatan akut kadar kalsium darah
tidak segera diikuti penurunan fosfor darah ada perubahan fosfor dalam urin. Keadaan alkalosis dan
hiperventilasi terjadi penurunan kadar fosfor dan meningkat pada keadaan asidosis. Pemberian
insulin dan epinefrin akan menurunkan kadar fosfor darah. Pemberian glukosa akan menurunkan
kadar fosfor darah oleh karena masuknya fosfor ke dalam sel bersamaan dengan terjadinya
fosforilasi glukosa.

e. Keseimbangan magnesium

Kimia merupakan kelainan yang ditemukan sebesar 12% pada pasien rawat inap dan 10%
sampai 65% dari jumlah tersebut terdapat di ruang rawat inap intensif. Ekskresi magnesium satu-
satunya terjadi sangat efisien melalui ginjal. Hipermagnesemia dapat terjadi apabila ada gangguan
ekspresi atau pemberian yang berlebihan. Berbeda dengan zat pelarut yang lain, magnesium yang
difiltrasi oleh glomerulus sebagian besar direabsorpsi sebesar 60 sampai 70% di thick ascending
Limb of henle bukan di tubulus proksimal. 15% sampai 25% magnesium yang difiltrasi,
direabsorpsi secara pasif di tubulus proksimal dan 5% sampai 10% reabsorpsi di tubulus distal. 3%
dari magnesium yang difiltrasi akan dibuang dalam urin.

Sepertiga dari magnesium dalam makanan akan diabsorpsi oleh usus halus secara pasif dan
dalam bentuk sistem transport. Dalam tubuh kita magnesium berpengaruh pada reaksi enzim
diantaranya Trans fosforilasi, sintesis protein, metabolisme hidrat arang, sintesis dan degradasi
DNA aktivasi ATP. Hanya sebagian kecil magnesium berada dalam cairan ekstrasel. 60% berada di
dalam tulang, 20% berada di dalam otot. Kadar magnesium dalam serum berkisar antara 1,4 sampai
1,75 meq/L, 10% terikat dengan protein.

Peningkatan atau penurunan kadar magnesium dalam darah urutan berturutan akan
meningkatkan atau menurunkan ekspresi magnesium melalui ginjal. Penambahan volume cairan
ekstrasel yang akut dan kronik akan meningkatkan ekskresi magnesium melalui ginjal. Pemberian
diuretik seperti manitol, asetazolamid, tiasid, furosemid dan asam etakrinat akan meningkatkan
ekspresi magnesium dengan menghambat reaksi-reaksi di tubulus. Tidak ada hormon yang
diketahui dapat mempengaruhi keseimbangan magnesium dalam tubuh kita. Emilia akan
meningkatkan ekskresi magnesium dalam urine. Ekspresi magnesium mempunyai pola diurnal.
Ekspresi paling rendah terjadi pada waktu sore dan paling tinggi pada waktu subuh.

2. Penegakkan diagnosis gangguang keseimbangan cairan dan elektrolit


.
3. Penatalaksanaan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

 Penatalaksanaan Hiponatremia
Prinsip penatalaksanan hiponatremia adalah dengan mengatasi penyakit dasar dan menghentikan
setiap obat yang ikut menyebabkan hiponatremia. Sebelum memberikan terapi sebaiknya ditentukan
apakah hiponatremia merupakan hiponatremia hipoosmolalitas. Untuk hiponatremia
hiperosmolalitas, koreksi yang diberikan hanya berupa air saja.

 Penatalaksanaan Hipernatremia
Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremia. Sebagian besar
penyebab hipernatremia adalah defisit cairan tanpa elektrolit. Penatalaksanaan hipernatremia
dengan deplesi volume harus diatasi dengan pemberian cairan isotonik sampai hemodinamik stabil.
Selanjutnya defisit air bisa dikoreksi dengan Dekstrosa 5% atau NaCl hipotonik. Hipernatremi
dengan kelebihan volume diatasi dengan diuresis. Kemudian diberikan Dekstrosa 5% untuk
mengganti defisit air.

 Penatalaksanaan Hipokalemi
Dalam melakukan koreksi kalium, perlu diperhatikan indikasinya, yaitu 2,14 :
Indikasi mutlak, yaitu pada pasien dalam keadaan pengobatan digitalis, KAD, pasien dengan
kelemahan otot nafas dan hipokalemia berat.
Indikasi kuat, yaitu diberikan dalam waktu yang tidak terlalu lama yaitu pada keadaan insufisiensi
koroner, ensefalopati hepatik dan penggunaan obat-obat tertentu.

 Penatalaksanaan Hiperkalemia
Penatalaksaan meliputi pemantauan EKG yang kontinu jika ada kelainan EKG atau jika kalium
serum lebih dari 7 mEq/L. Untuk mengatasi hiperkalemia dalam membran sel, diberikan kalsium
intravena, yang diberikan dalam bentuk kalsium glukonat melalui intravena dengan sediaan 10 ml
larutan 10% selama 10 menit. Hal ini berguna untuk menstabilkan miokard dan sistem konduksi
jantung. Ini bisa diulang dengan interval 5 menit jika tidak ada respon.

 Penatalaksanaan Hipokalsemia
Untuk menatalaksana hipokalsemia, sangat penting diperhatikan gejala klinis yang muncul. Jika
muncul tetani, berikan 10 ml Ca glukonat 10% selama 15-30 menit. Kemudian dapat dilanjutkan
dengan infus 60 ml Ca Glukonat dalam 500 ml Dekstrosa 5% dengan kecepatan 0,5-2 mg/Kg/jam
dengan pemantauan Kalsium setiap beberapa jam. Perlu diperiksa kadar Magnesium serum dan
koreksi jika ada kelainan. Pemantauan aritmia dengan EKG harus dilakukan pada pasien yang
mendapat digitalis. Koreksi dapat dilanjutkan dengan pemberian Kalsium oral 1-7 gram/hari. Jika
penyebabnya adalah sekunder terhadap defisiensi vitamin D, maka perlu diberikan terapi pengganti
vitamin D.

 Penatalaksanaan Hiperkalsemia
Jika gejala berat atau Ca lebih dari 15 mg/dl, maka Ca serum harus diturunkan secepat mungkin
dengan cara diuresis paksa dan penggantian volume intravaskular dengan normal saline. Dengan
dosis 80-100 mg intravena per 12 jam dan normal saline diberikan 1-2 liter selama 24 jam pertama.
Kemudian awasi adanya hipokalemia, atau dengan memperbanyak minum air sampai 3 liter perhari.
Pemberian Kalsitonin 4-8 unit SC setiap 6-12 jam akan dapat menurunkan Kalsium serum 1-3
mg/dl. Bifosfonat membantu untuk menghambat aktifitas osteoklast, membantu pada
hiperparatiroid dan keganasan. Penatalaksanaan kronik diberikan dengan pengikat Kalsium oral,
yaitu Etidronat oral 1200-1600 mg/hari.2,21,22

 Penatalaksanaan Hipomagnesemia
Dalam mengatasi hipomagnesemia, penyakit dasar harus segera diatasi. Pada keadaan
hipomagnesemia berat ( < 1 mmol/L dalam serum ), atau hipomagnesemia simtomatik dengan
kelainan neuromuskular, atau manifestasi neurologis, atau aritmia jantung, maka penatalaksanaan
diberikan dengan pemberian 2 gram Magnesium sulfat (MgSO4) dalam 100 ml Dekstrosa 5%
dalam waktu 5-10 menit. Bisa diulangi sampai total 10 gram dalam 6 jam berikutnya. Teruskan
penggantian dengan infus lanjutan sebanyak 4 g/hari selama 3 sampai 5 hari. Untuk mencegah
rekurensi, maka dapat diberikan pemberian Mg oksida secara oral dengan dosis 2 x 400 mg perhari,
atau dengan Mg glukonat 2 – 3 x 500 mg perhari. Jika tidak terlalu berat, dosis Magnesium sulfat
diberikan 0,03-0,06 gram/Kg/hari dalam 4-6 dosis hingga Magnesium serum normal. Teruskan
terapi dengan sediaan oral selama ada faktor pencetus. 8,21,24

 Penatalaksanaan Hipermagnesemia
Penatalaksanaan dilakukan dengan cara pemberian Kalsium glukonat 10% sebanyak 10-20 ml
selama 10 menit atau CaCl2 10%s ebanyak 5-10 mg/Kg secara IV. Kemudian pemberian diuretik
diberikan untuk memacu ekskresi. Pada pasien tanpa gangguan ginjal berat, dapat diberikan Ca
glukonas 10 % sebanyak 20 ml dalam 1 liter NaCl 0,9 %, dengan kecepatan 100 – 200 ml perjam.
4. jenis gangguan fungsi ginjal

 Gagal ginjal akut dengan gangguan mendadak, fungsi ginjal anjlok, tidak keluar urin
 Nefritis akut yang muncul mendadak pada saringan ginjal atau glomerulus,maka, tungkai
bengkak, ditemukan protein dan darah di urin
 Gagal ginjal kronik dengan ganguan kronis menahun pada ginjal sehingga fungsi ginjal
turun. Keluhan dan gejala antara lain dengan kondisi lemas, nafsu makan menurun, mual,
pucat, kencing sedikit, sesak nafas.
 Sindrom nefrotik seperti adanya gangguan pada saringan ginjal, terjadi kebocoran protein
yang hebat dari darah melalui glomerulus/saringan ke urin, terdapat bengkak pada muka,
kaki dan perut, dan maniknya kolesterol
 Infeksi saluran kemih dengan terjaduny infeksi diginjak dan pada saluran kemih lainnya
yang bisa akut dan kronis. Sakit pinggang, demam,kencing sakit bisa hanya pegal pinggan,g
 Gangguan pada tubulus ginjal
 Hipertensi yang umumnya tanpa gejala
 Batu ginjal/saluran kemih seperti nyeri hebat kolik, darah diurin
 Obstruksi saluran kemih seperti saluran kemih terbendung tumor, dan terjadinya striktur
atau penyempitan
 Ganguan ginjal tanpa gejala (asimptomatik)

5. etiologi gagal ginjal

. ETIOLOGI

–Ginjal Kronik

 Glomerulonefritis, akibat infeksi (endocarditis, bacterial, hepatitis C, hepatitis B, HIV)atau


yang bersifat kronis
 Diabetes mellitus menyebabkan nefropati diabetic
 Hipertensi, penyakit nefrosklerosis
 Uropati obstruktif (batu saluran kemih, tumor)
 Lupus eritematosus sistemik, amyloidosis, penyakit ginjal polikistik
 Penggunaan obat – obatan (obat antiinflamasi nonsteroid, antibiotic, siklosporin, takrolimus)
-Ginjal Akut

1. Prerenal (55%). Pada umumnya disebabkan oleh gangguan perfusi ginjal.


a) Hipovolemia : perdarahan, muntah – muntah, diare, penggunaan diuretic, luka bakar,
hipoalbuminemia berat, dehidrasi akibat kurang asupan cairan, diabetes insipidus
b) Gangguan hemodinamik ginjal yang menyebabkan hipoperfusi renal, antara lain
 Penurunan curah jantung: penyakit miokardium, katup jantung dan pericardium, hipertensi
pulmonal, gagal jantung
 Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anafilaksis
 Obstruksi renovaskular: aterosklerosis, trombosi, emboli, vaskulitis
 Vasokonstriksi ginjal
 Gangguan autoregulasi ginjal
 Sindrom hepatorenal
 Sindrom kardiorenal
2. Renal/intrinsic
a) Penyakit glomerulus: glomerulonephritis, vaskulitis, lupus eritematosus sistemik, koagulasi
intravascular diseminata, scleroderma
b) Nekrosis tubular akut: iskemia, infeksi, toksin
c) Nefritis interstisial: reaksi alergi obat, pielonefritis, limfoma, leukemia, sindrom sjogren
d) Obstruksi intratubular: asam urat akibat sindrom lisis tumor, obat – obatan
3. Postrenal (obstruksi) pada ureter, kandung kemih atau uretra (5%). Dapat disebabkan oleh
urolitiasis, bekuan darah, keganasan, kompresi ekstrarenal (fibrosis retroperitoneum),
hipertrofi prostat, atau striktur

6. patofisiologi pada gangguan ginjal


Patofisiologi gagal ginjal kronik

7. Penegakkan Diagnosis Gangguang Fungsi Ginjal

gagal ginjal akut

manifestasi klinik dari penyakit gagal ginjal akut, yaitu sebagai berikut:

 Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat
(anemia), dan hipertensi
 Nokturia (buang air kecil di malam hari)
 Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh
(karena terjadi penimbunan cairan)
 Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki
 Tremor tangan
 Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi
 Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya
pneumonia uremik.
 Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang)
 Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis
sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
 Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED)
tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan
protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
 Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebihmenonjol
yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif,
edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan
kesadaran menurun sampai koma

Gagal Ginjal Kronik

Menurut (Sylvia A Price, 1995:813). Perjalanan umum pada gagal ginjal

kronis dapat di bagi mnjadi tiga stadium :

1. Stadium I

Penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal.
Penderita asimtomatik gangguaan fungsi ginjal diketahui dengan tes pemekatan urine yang
lama.

2. Stadium II

Insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan telah rusak (GFR besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN dan kreatinin mulai meningkat. Azotemia ringan kecuali
jika stress (infeksi, payah jantung), nokturia dan poliuria karena gagal pemekatan.

3. Stadium III

Uremia dimana 90% massa nefron telah hancur. GFR 10% dari normal, krelin kreatinin < 5-10
ml/menit. BUN dan kreatinin meningkat sangat menyolok. Urine BD = 1,010, oliguria < 50
ml/24 jam, terjadi perubahan biokimia yang komplek dan gejalanya.
8. Penatalaksanaan gangguan fungsi ginjal
Terapi Konservatif (suportif) pada GgGA
Pengelolaan suportif GgGA
KOMPLIKASI TERAPI
Kelebihan cairan intravaskuler - Batasi garam (1-2 gram/hari) dan air (< 1L/hari)
- Diuretic (biasanya furosemide +/- tiazid)
Hiponatremia - Batasi cairan (< 1L/hari)
- Hindari pemberian cairan hipotonis (dekstros 5%)
Hyperkalemia - Batasi intake kalium (< 40 mmol/ hari)
- Hindari suplemen Kalium dan diuretic hemat kalium
- Beri resin “potassium – binding ion exchange (kayazalate)
- Beri glukosa 50% sebnayak 50cc + insulin 10 unit
- Beri natrium bikarbonat (50-100 mmol)
- Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg IV
- Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)
Asidosi metabolic - Batasi intake protein (0,8-1,0 gr/kgBB/hari)
- Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum bikarbonat
plasma >15mmol/l dan PH arteri >7,2)
Hiperfosatemia - Batasi intake fosfat (800 mg/hari)
- Beri pengikat fosfat (kalsium asetat karbonat, aluminium
HCL, sevalamer)
Hipokalsemia - Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-
20cc)
Hiperuriksemia - Tidak perlu terapi bila kadar asam urat (<15mg/dl)

Kebutuhan nutrisi pada penderita GGA dengan Terapi Pengganti Ginjal


PROTEIN
Paling sedikit 1,5 gr/kgBB/hari
Asupan protein sebaiknya ditambah 0,2-0,3 gr/kgBB/hari sebagai kompensasi hilangnya asam
amino selama TPG
Diberikan asam amino esensial dan non esensial jka mneggunnakan nutrisi parenteral
ENERGY
Kalori nonprotein 25 kkal/kgBB/hari
1/3 kebutuhan energy dari lipid
Jika menggunakan nutrisi parenteral : 1-1,5 gr/kgBB/hari emulsi lipid (ekivalen dengan 250-
500 ml emulsi lipid 20%)
Disaran pemberian MCT/LCT
Disarankan pemberian emulsi lipid three in one bag selama 18-24 jam

RENCANA TATALAKSANAA PENYAKIT GINJAL KRONIK SESUAI DENGAN


DERAJATNYA
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
≥ 90 pemburukan (progression0 fungsi ginjal, memperkecil
1 resiko kardovaskuler
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
3 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

9. Pemriksaan penunjang
a. Gagal ginjal akut
i. Pemeriksaan biokimia darah
ii. Pemeriksaan urine
b. Gagal ginjal kronis

i. Pemeriksaan lab. Darah untuk memeriksa GFR Anda, yang memberi tahu seberapa
baik ginjal Anda melakukan penyaringan. GFR singkatan dari laju filtrasi
glomerulus.
ii. Gambaran radiologi, foto polos abdomen , bisa tampak batu radio opak
iii. Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal

10. Prognosis

pasien dengan penyakit ginjal kronis dijaga sebagai Data epidemiologi telah menunjukkan
bahwa menyebabkan semua kematian. (Tingkat kematian secara keseluruhan) meningkat
sebagai penurunan fungsi ginjal Penyebab utama kematian pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis adalah penyakit jantung, terlepas dari apakah ada perkembangan ke tahap 5
Sementara terapi pengganti ginjal dapat mempertahankan pasien tanpa batas waktu dan
memperpanjang kehidupan, kualitas hidup adalah sangat terpengaruh ginjal
transplantasi meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan stadium 5 CKD signifikan bila
dibandingkan dengan terapi pilihan. Namun, hal ini terkait dengan mortalitas jangka pendek
meningkat (akibat komplikasi dari operasi).

DAFTAR PUSTAKA

Basuki B. Purnomo.2016. Buku Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung seto

Dorlan.2012. Kamus Saku Dorlan, Edisi 28. Jakarta : EGC

Price, Sylvia A. 2012. Patofisiologi, Volume 1. Jakarta : EGC

Setiati, siti, dkk. 2015. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta : Interna Publishing

Repository Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai