Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU LINGKUNGAN TERNAK


MODIFIKASI LINGKUNGAN SAPI FH (Fries Holland) DI SUNGAI
BAKAU BESAR LAUT KABUPATEN MEMPAWAH

Disusun Oleh :
Noorhasanah (C1071141012)
..........
.........
.........
.........
.........

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi FH (Fries Hollands) ini merupakan salah satu jenis sapi perah yang
banyak dikembangkan di Indonesia baik di secara masyarakat maupun perusahaan
peternakan. Sapi perah ini berasal dari provinsi Friesland Barat dan Holland
Utara, sehingga diberi nama Fries Holland.

Praktikum adalah subsistem dari perkuliah yang merupakan kegiatan


terstruktur dan terjadwal yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
mendapatkan pengalaman yang nyata dalam rangka meningkatkan pemahaman
mahasiswa tentang teori atau agar mahasiswa menguasai keterampilan tertentu
yang berkaitan dengan suatu pengetahuan atau suatu mata kuliah.Menurut
Hegarty-Hazel seperti dikutip Lazarowitz & Tamir (1994) praktikum adalah suatu
bentuk kerja praktek yang bertempat dalam lingkungan yang disesuaikan dengan
tujuan agar siswa terlibat dalam pengalaman belajar yang terencana dan
berinteraksi dengan peralatan untuk mengobservasi serta memahami fenomena.
Metode praktikum ini juga disebut metode laboratori.
Praktikum mempunyai tiga tujuan, yaitu: ketrampilan kognitif,
ketrampilan afektif dan ketrampilan psikomotorik pada ketrampilan kognitif
mahasiswa dapat melatih diri agar teori dapat dimengerti, teori yang berlainan
dapat diintegrasikan serta dapat menerapkan teori pada keadaan nyata.
Ketrampilan afektif bertujuan agar siswa dapat belajar merencanakan kegiatan
secara mandiri, kerjasama, menghargai dan mengkonsumsi informasi mengenai
bidangnya. Ketrampilan psikomotorik bertujuan untuk menyiapkan alat-alat
memasang serta memakai instrumen tertentu. Praktikum kali ini bertujuan untuk
mengetahui modifikasi lingkungan ternak sapi FH di Sungai Bakau Besar Laut
Kecamatan Mempawah.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dilakukan peternak agar ternaknya dapat beradaptasi dengan
lingkungan di Kalimantan Barat ?

2. Bagaimana Modifikasi Lingkungan Ternak yang dilakukan peternak untuk


meningkatkan Produktivitasnya ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui tekhnis yang dilakukan peternak agar ternaknya dapat
beradaptasi dengan lingkungan di Kalimantan Barat
2. Mengetahui modifikasi lingkungan ternak yang dilakukan peternak untuk
meningkatkan produktivitasnya
II. PEMBAHASAN

2.1 Kondisi lingkungan sapi FH


Sebagian besar sapi-sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa
Fries Holland (FH) yang didatangkan dari negara-negara Eropa yang memiliki
iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu termonetral rendah (13-25ºC).
Berdasarkan kondisi iklim asal tersebut, sapi perah FH sangat peka terhadap
perubahan suhu tinggi. Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi yang memiliki
suhu tinggi, maka sapi-sapi tersebut akan mengalami cekaman panas terus-
menerus yang berakibat pada menurunnya produktivitas sapi FH. Iklim
merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap
ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor
lingkungan yang lain, selain itu berbeda dengan faktor lingkungan yang lain
seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya
oleh manusia, untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien, manusia harus
“menyesuaikan“ dengan iklim setempat. Iklim yang cocok untuk daerah
peternakan adalah pada klimat semi-arid. Daerah dengan klimat ini ditandai
dengan kondisi musim yang ekstrim, dengan curah hujan rendah secara relatif dan
musim kering yang panjang. Fluktuasi temperatur diawal dan musim sangat besar,
lengas udara sepanjang tahun kebanyakan sangat rendah dan terdapat intensitas
radiasi solar yang tinggi karena atmosfir yang kering dan langit yang cerah
(Sientje, 2003).
Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa
disebut Temperature Humidity Index (THI) yang dapat mempengaruhi tingkat
stress sapi. Sapi menunjukan penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan
pada suhu lingkungan 18,3oC dengan kelembaban 55 %. Ternak akan melakukan
penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku, apabila suhu lingkungan
dan kelembaban melebihi normal (Yani, 2005). Berman (2005) menyatakan
bahwa suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup
ternak. Kenaikan suhu lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5 0C dapat
mengakibatkan perubahan yanhg nyata pada pola makan ternak bahkan kalau
tidak dapat dikendalikan bisa menyebabkan stress. Hal ini akan berakibat lanjut
pada aspek produksi pada ternak, baik ternak ruminansia maupun non ruminansia.
Iklim dapat disebabkan oleh suhu, kelembaban, cahaya, dan lainnya. Ciri
utama daerah tropis adalah tingginya suhu dan angka persentase kelembaban,
yang nyata merupakan faktor cekaman bagi ternak. Akibat dari adanya cekaman
panas atau dingin yang berasal dari lingkungan sekitar dapat berdampak hebat jika
ternak tidak mampu mempertahankan kondisinya. Terutama jika terjadi fluktuasi
pada faktor-faktor yang menyebabkan cekaman terjadi (Sunarti, 2004). Faktor
lingkungan dapat dimodifikasi untuk mendapatkan kenyamanan ternak itu sendiri.
Modifikasi lingkungan mikro dapat dilakukan dengan pemberian naungan dalam
bentuk atap kandang dengan ketinggian yang tepat, pemberian shelter di sekitar
bangunan ternak, pemberian air minum dingin, pemberian kecepatan angin
dengan pemasangan kipas, pengabutan melalui sprinkler di dalam kandang,
pemberian isulator di bagian atap kandang. Modifikasi lingkungan mikro di atas
memerlukan biaya yang tidak murah sehingga memerlukan alternatif modifikasi
lingkungan dengan cara penggunaan bahan kandang (atap, dinding, tiang) dan
teknologi yang lebih murah (Yani, 2005)

2.2 Suhu dan Kelembaban Udara


Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang
mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan
keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energy
dan keseimbangan tingkah laku ternak. Kelembaban udara yang tinggi disertai
suhu udara yang tinggi menyebabkan meningkatnya frekuensi respirasi
(anonym,2009). Untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu
lingkungan yang optimum. kelembaban udara pada kandang sapi perah FH
dipengaruhi oleh luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu
lingkungan system ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan
angin, pergerakan udara di sekitar bangunan. Sapi FH menunjukkan penampilan
produksi terbaik 55%. Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan
penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour). Mount (1979)
menyatakan apabila sapi diekspose pada temperatur 45°C selama 5 jam sehari
dalam 21 hari terus-menerus maka mulai hari ke 10 sapi tersebut sudah dapat
menyesuaikan diri dengan temperatur panas sehingga temperatur tubuhnya akan
sama seperti sebelum diekspose pada panas. Proses mempertahankan temperatur
tubuh tersebut tidak berjalan secara langsung tetapi melalui proses yang bertahap.
Usaha peternakan sapi FH di Indonesia, pada umumnya dilakukan pada daerah
yang memiliki ketinggian lebih dari 800 m di atas permukaan laut, dengan tujuan
untuk penyesuaian lingkungan. Suhu udara dan kelembaban harian di Indonesia
umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 24-34ºC dan kelembaban 60 - 90%. Hal
tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas sapi FH. Pada suhu dan
kelembaban tersebut, proses penguapan dari tubuh sapi FH akan terhambat
sehingga mengalami cekaman panas.
Pengaruh yang timbul pada sapi FH akibat cekaman panas adalah: 1)
penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan
metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas
melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormone dalam darah; 6)
peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung dan 7) perubahan
tingkah laku, meningkatnya intensitas berteduh sapi. Pada malam hari, suhu rektal
akan terus mengalami penurunan, sedangkan pada pagi sampai sore suhu rektal
mengalami kenaikan. Menurut McDowell dkk, (1980) Suhu lingkungan
merupakan faktor bioklimetik yang paling penting bagi lingkungan fisis ternak.
Efisiensi pengaturan suhu tubuh tergantung dari suhu lingkungan, (Dukes, 1949).
Selain itu juga dikatakan oleh McDowell (1980), apabila suhu lingkungannya
berada di luar comfort zone maka elemen iklim lainnya menjadi lebih berperan
terhadap pengaturan suhu tubuh hewan. Kelembaban udara, penyinaran serta
kecepatan angin menjadi semakin berpengaruh sebagai faktor interaktif apabila
suhu lingkungan berubah.
Perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH dipengaruhi
oleh suhu lingkungan. Denyut jantung sapi FH yang sehat pada daerah nyaman
(suhu tubuh 38,6oC) adalah 60–70 kali/menit dengan frekuensi nafas 10 – 30
kali/menit. Reaksi sapi FH terhadap perubahan suhu yang dilihat respons
pernapasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk
mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak.
Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk
menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin.
Pernapasan merupakan respons tubuh ternsk untuk membuang atau mengganti
panas dengan udara disekitarnya. Jika kedua respon tersebut tidak berhasil
mengurangi tambahan panas dari luar tubuh ternak, maka suhu organ tubuh ternak
akan meningkat sehingga ternak mengalami cekamana panas (Anderson, 1983).
Cekaman berdampak pada peningkatan konsumsi air minum, penurunan produksi
susu, peningkatanm volume urine, dan penurunan konsumsi pakan. Cekaman
panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui
penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata, 1996).

2.3 Radiasi Matahari (penyinaran)


Radiasi adalah pemindahan panas suatu benda ke benda lain tanpa
sentuhan. Arus panas radiasi mengalir tanpa bantuan bahan pengantar atau media
dan dapat melewati ruang hampa udara. Radiasi matahari akan mengakibatkan
sapi FH tidak nyaman, sehingga menimbulkan efek negatif terutama pada siang
hari. Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77,38%.
Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan mengalami cekaman
panas maksimal dari radiasi matahari pada pukul 13.00-14.00 dimana pada wkatu
terebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam. Usaha
yang umum dilakukan oleh peternak dalam mengurangi efek negative radiasi
langsung ini adalah dengan memberikan naungan. Penambahan kecepatan angin
akan membantu sapi FH menurunkan cekaman panas pada saat siang dan malam
hari. Pada malam hari metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk
mempertahankan suhu tubuh (Lee & Keala, 2005). Penambahan kecepatan angin
(1,125 m/det) dapat mengoptimalkan kerja metabolism sapi FH sehingga ternak
tersebut merasa nyaman. Hadi (1995) menyampaikan hasil pengamatan adanya
perubahan suhu rektal, suhu kulit, suhu tubuh dan frekuensi pernafasan pada sapi
FH akibat pemberian kecepatan angin (1,125 m/det) yang dilakukan pada siang
hari (pukul 11.00-13.00 WIB) dan malam hari (pukul 19.00-21.00 WIB).
Kondisi cekaman panas akibat radiasi matahari terhadap sapi FH juga
dipengaruhi oleh warna kulitnya. Ternak dengan bulu yang pendek dengan warna
terang serta memiliki tekstur kulit yang halus dan mengkilap adalah baik sekali
untuk mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari. Sapi FH memiliki
warna kulit hitam dan putih, umumnya warna putih lebih dominan dari warna
hitam atau sebaliknya. Dominannya warna putih pada seekor sapi FH
menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna
putih menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa
mencapai 98%). Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari
langsungmenyebabkan respon fisiologisnya lebih tinggi dari sapi FH yang
ternaungi.
III. METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan tempat pelaksanaan praktikum


Praktikum dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2018 bertempat di Desa
Bakau Besar laut Kabupaten Mempawah.

3.2 Metode Pelaksanaan praktikum


Kegiatan praktikum ini terfokus pada modifikasi lingkungan ternak sapi
perah yang dipelihara di Desa Bakau Besar laut Kabupaten Mempawah. Kegiatan
pelaksaan praktikum dilakukan secara langsung dengan ikut serta ke lokasi
kandang. Cara atau metode yang digunakan pada pelaksanaan praktikum adalah :
1. Observasi
Observasi adalah salah satu cara untuk mendapatkan data yaitu dengan
cara melakukan pengamatan secara langsung tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan permasalahan yang diangkat.
2. Wawancara
Metode ini merupakan pengumpulan data dan informasi dengan cara
melakukan tanya jawab secara langsung dengan karyawan, staf, serta kepala
bagian unit maupun pihak-pihak yang sekiranya perlu diwawancarai guna
memperoleh informasi yang diperlukan.
3. Melakukan studi pustaka
Kepustakaan merupakan metode yang digunakan untuk mencari
informasi pendukung yang diperlukan dalam mencari dan mempelajari pustaka
mengenai permasalahan–permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan
praktikum.
4. Dokumentasi dan data-data
Melakukan pendokumentasian (foto, catatan, dan informasi) dan
mengumpulkan data atau hasil-hasil yang ada pada pelaksanaan praktikum
mahasiswa berlangsung.
3.3 Modifikasi Lingkungan
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa
untuk kondisi kandang sudah cukup memadai untuk ukuran pemeliharaan sapi
perah, khususnya di daerah Kalimantan Barat yang beriklim panas dengan suhu
rata-rata 19.5ºC. Menurut Williamson dan Payne (1987), Mc Dowell (1980) dan
Taffal (1982), temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di
daerah tropis adalah 10°C - 27°C (50° F - 80° F). Foley et al. (1972) menyatakan
bahwa keadaan lingkungan yang ideal untuk sapi perah adalah pada temperatur
antara 30°F - 60°F dan dengan kelembaban rendah. Dalam manajemen ternak sapi
FH untuk mengurangi cekaman panas akibat suhu udara, kelembaban dan radiasi
matahari peternak melakukan modifikasi lingkungan melalui penggunaan air
minum otomatis, penyemprotan air ke tubuh ternak, dan pemberian kecepatan
angin tertentu kepada ternak.
1.Pemberian air minum
Pemberian air minum dengan menggunakan tempat air minum
ototmatis,dimana petugas tidak perlu mengisi tempat minum sapi jika air mulai
sedikit, air akan mengalir atau keluar dengan sendiri nya saat sapi sedang ingin
minum. air yang diberikan adalah air minum dingin. Milam et al. (1986)
melaporkan bahwa pemberian air minum dingin dapat meningkatkan produksi
susu sapi Holstein sebesar 10,86% dari 22,1 pada air minum 28oC menjadi 24,5
kg pada air minum 10oC. Wilks et al. (1990) juga melaporkan terjadinya kenaikan
produksi susu sapi Holstein sebesar 4,85% dari 24,7 pada air minum 27oC
menjadi 25,9 pada air minum 10,6oC. Qisthon (1999) melaporkan bahwa
pemberian air minum pada suhu 10oC dapat memperbaiki produktivitas sapi dara
FH melalui pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan, meningkatkan
kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan dibandingkan dengan pemberian
air minum pada suhu 16, 22 dan 28oC.
2. penyemprotan air ke tubuh ternak
penyemprotan air dilakukan untuk meredakan cekaman panas dari radiasi
matahari pada suhu tubuh sapi, penyemprotan dilakukan 4 kali sehari dan air yang
digunakan adalah air dingin. Air disemprotkan keseluruh tubuh sapi perah agar air
bisa meresap keseluruh tubuh sapi. Cekaman panas dapat direduksi dengan
menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui penyemprotan air dingin keseluruh
permukaan tubuh (Shibata, 1996). Hasil simulasi menunjukan bahwa penurunan
suhu lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5° C dapat meningkatkan
produksi susu sapi FH sebesar 10 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman,2005).
3. pemberian kecepatan angin tertentu kepada ternak
pemberian angin menggunakan kipas angin dengan kecepatan tertentu,
sehingga suhu ruang mencapai ± 30ºC. Kipas angin yang dugunakan untuk
mereduksi cekaman panas pada ternak. Kecepatan angin meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu udara dan radiasimatahari. Sementara di sisi lain
tubuh sapi FH memerlukan kecepatan angin yang lebih untuk mereduksi cekaman
panasnya, sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang hari pada kondisi udara
cerah tidak banyak berpengaruh terhadap penurunan cekaman panas tubuh sapi
FH. Penambahan kecepatan angin akan membantu sapi FH menurunkan cekaman
panas pada saat malam hari karena pada malam metabolisme sapi FH lebih
diarahkan untuk mempertahankan suhu tubuh. Penambahan kecepatanangin
(1,125 m/ det) dapat mengoptimalkan kerja metabolism sapi FH sehinggaternak
tersebut merasa nyaman.
Pemberian naungan seperti kandang, dapat mengurangi cekaman panas
tubuh sapi FH terutama pada siang hari. Lama bernaung sapi dipengaruhi oleh
suhu udara, kelembaban, radiasi, dan kecepatan angin. Semakin tinggi suhu udara
lingkungan, sapi akan bernaung lebih lama sebagai upaya untuk mempertahankan
panas tubuhnya agar tidak naik akibat cekaman panas dari suhu lingkungan.
Semakin tinggi kelembaban udara dan radiasi matahari di sekitar sapi maka sapi
akan bernaung lebih lama dengan intensitas yang semakin rendah. Semakin tinggi
kecepatan angin maka sapi FH akan mengurangi intensitas lama bernaungnya
karena angin dapat mereduksi panas tubuh sapi FH.
IV. KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Ada empat unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produktivitas
ternak secara langsung yaitu: suhu, kelembaban udara, radiasi dan kecepatan
angin, sedangkan dua unsur lainnya yaitu evaporasi dan curah hujan
mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak langsung. Naiknya suhu udara
dalam kandang berakibat menurunnya konsumsi pakan. Suhu udara dalam
kandang yang lebih dari 30 °C sudah menyebabkan penurunan produksi panas
dalam tubuh sebagai akibat dari menurunnya konsumsi pakan dan aktivitas
ruminasi. Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk
menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin.

Anda mungkin juga menyukai