Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Koleksi spesimen tumbuhan

Studi morfologi dan taksonomi berdasarkan pada bahan yang riil

harus ada lazimnya disebut spesimen. Suatu spesimen dapat berupa

tubuh tumbuhan yang lengkap yang terdiri atas bagian vegetatif (akar,

batang, cabang dan daun) dan bagian generatif (bunga, buah dan biji)

untuk tumbuhan golongan Spermatophyta. Untuk Cryptogamae adalah

organ vegetatif dan organ reproduksi (selain dari biji, misalnya spora)

(Gembong, 1991).

Cara koleksi dari tumbuhan bervariasi tergantung dari berbagai

macam habit serta besar kecilnya tumbuhan tersebut. Untuk tumbuhan

berukuran kecil seperti rumput-rumputan, herba dan perdu dikoleksi

secara lengkap (akar, batang, daun, buga, buah dan biji). Untuk tumbuhan

berukuran besar dan tinggi seperti pohon, liana, semak besar dan lainnya

cukup dikoleksi sebagian yang dapat mewakili tumbuhannya dengan

ukuran lebih kurang 30 cm. (De Vogel, 1987).

Beberapa sifat dan karakter morfologi maupun biologinya yang

tidak mungkin terbawa dan akan berubah setelah menjadi specimen

herbarium, diamati dan dicatat di lapangan seperti : warna, bau serta

karakter lain, habit (pohon perdu, herba dan lain-lain), lokasi pengambilan

sampel, habitat, data ekologi dan biologinya, nama lokal (daerah) serta

manfaatnya (De Vogel, 1987).


II. 2. Pembuatan herbarium kering

II. 2. 1. Pengertian herbarium

Herbarium berasal dari kata “hortus dan botanicus”, artinya kebun

botani yang dikeringkan. Secara sederhana yang dimaksud herbarium

adalah koleksi spesimen yang telah dikeringkan, biasanya disusun

berdasarkan sistim klasifikasi (Onrizal, 2005).

Herbarium merupakan suatu spesimen dari bahan tumbuhan yang

telah dimatikan dan diawetkan melalui metoda tertentu dan dilengkapi

dengan data-data mengenai tumbuhan tersebut. Membuat herbarium yaitu

pengumpulan tanaman kering untuk keperluan studi maupun pengertian,

tidaklah boleh diabaikan. Yaitu melalui pengumpulan, pengeringan,

pengawetan, dan dilakukan pembuatan herbarium (Steenis, 2003).

Herbarium merupakan tempat penyimpanan contoh koleksi

spesiemen tanaman atau tumbuhan yaitu herbarium kering dan herbarium

basah. Herbarium yang baik selalu disertai identitas, pengumpul (nama

pengumpul atau kolektor dan nomor koleksi). Serta dilengkapi keterangan

lokasi asal material dan keterangan tumbuhan tersebut untuk kepentingan

penelitian dan identifikasi (Moenandir, 1996).

Pada masa sekarang herbarium tidak hanya merupakan suatu

spesimen yang diawetkan tetapi juga mempunyai suatu lingkup kegiatan

botani tertentu, sebagai sumber informai dasar untuk para ahli taksonomi

dan sekaligus berperan sebagai pusat penelitian dan pengajaran, juga

pusat informasi bagi masyarakat umum. Herbarium diartikan juga sebagai


bank data dengan sejumlah data mentah yang belum diolah. Masing-

masing specimen dapat memberikan bermacam-macam informasi,

tergantung kelengkapan spesimen, data dan asal-usul materialnya (Balai

Taman Nasional Baluran, 2004).

Kelebihan dari Herbarium kering dibandingkan dengan herbarium

basah adalah dapat bertahan lama hingga ratusan tahun. Terdapat

beberapa kelemahan pada herbarium yaitu spesimen mudah mengalami

kerusakan akibat perawatan yang kurang memadai maupun karena

frekuensi pemakaian yang cukup tinggi untuk identifikasi dan pengecekan

data secara manual, tidak bisa diakses secara bersama-sama oleh

berberapa orang, biaya besar, tidak bisa diakses sewaktu-waktu dan tidak

dapat diakses dari jarak jauh (Wibobo dan Abdullah, 2007).

Herbarium kering yang baik adalah herbarium yang lengkap organ

vegetatif dan organ generatifnya. Selain itu kerapian herbarium juga akan

menentukan nilai estetikanya serta faktor-faktor yang mempengaruhi

koleksi herbarium adalah lama pembuatan herbarium, tempat

penyimpanan dan faktor lingkungan seperti suhu (Subrahmanyam, 2002).

II. 2. 2. Kegunaan herbarium

Kegunaan herbarium secara umum antara lain:

1. Sebagai pusat referensi

Merupakan sumber utama untuk identifikasi tumbuhan bagi

para ahli taksonomi, ekologi, petugas yang menangani jenis


tumbuhan langka, pecinta alam, para petugas yang bergerak dalam

konservasi alam.

2. Sebagai lembaga dokumentasi

Merupakan koleksi yang mempunyai nilai sejarah, contoh

penemuan baru, tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi dan lain

lain.

3. Sebagai pusat penyimpanan data

Ahli kimia memanfaatkannya untuk mempelajari alkaloid, ahli

farmasi menggunakan untuk mencari bahan ramuan untuk obat

kanker, dan sebagainya (Onrizal, 2005).

II. 2. 3. Pembagian herbarium

a. Herbarium basah

Setelah material herbarium diberi label gantung dan dirapikan,

kemudian dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran. Satu lipatan

kertas koran untuk satu specimen (contoh). Tidak benar digabungkan

beberapa specimen di dalam satu lipatan kertas. Selanjutnya, lipatan

kertas koran berisi material herbarium tersebut ditumpuk satu diatas

lainnya. Tebal tumpukan disesuaikan dengan dengan daya muat

kantong plastik (40 × 60) yang akan digunakan. Tumpukkan tersebut

dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram alcohol 70 % atau

spiritus hingga seluruh bagian tumbukan tersiram secara merata,

kemudian kantong plastic ditutup rapat dengan isolatip atau hekter


supaya alcohol atau spiritus tidak menguap keluar dari kantong plastik

(Onrizal, 2005).

b. Herbarium kering

Cara kering menggunakan dua macam proses yaitu :

1) Pengeringan langsung

Yakni tumpukan material herbarium yang tidak terlalu tebal

di pres di dalam sasak, untuk mendapatkan hasil yang optimum

sebaiknya di pres dalam waktu dua minggu kemudian dikeringkan

diatas tungku pengeringan dengan panas yang diatur di dalam

oven. Pengeringan harus segera dilakukan karena jika terlambat

akan mengakibatkan material herbarium rontok daunnya dan cepat

menjadi busuk (Onrizal, 2005).

2) Pengeringan bertahap

Yakni material herbarium dicelup terlebih dahulu di dalam air

mendidih selama 3 menit, kemudian dirapikan lalu dimasukkan ke

dalam lipatan kertas koran. Selanjutnya, ditempuk dan dipres,

dijemur atau dikeringkan di atas tungku pengeringan. Selama

proses pengeringan material herbarium itu harus sering diperiksa

dan diupayakan agar pengeringan nya merata. Setelah kering,

material herbarium dirapikan kembali dan kertas koran bekas

pengeringan tadi diganti dengan kertas baru. Kemudian material

herbarium dapat dikemas untuk diidentifikasi (Onrizal, 2005).


II. 3. Pembuatan dan pengamatan amillum

Amilum adalah jenis polisakarida yang banyak terdapat dialam, yaitu

sebagian besar tumbuhan terdapat pada umbi, daun, batang, dan biji-

bijian (Poedjiadi, A. 2009).

Amilum merupakan suatu senyawa organik yang tersebar luas pada

kandungan tanaman. Amilum dihasilkan dari dalam daun-daun hijau

sebagai wujud penyimpanan sementara dari produk fotosintesis. Amilum

juga tersimpan dalam bahan makanan cadangan yang permanen untuk

tanaman, dalam biji, jari-jari teras, kulit batang, akar tanaman menahun,

dan umbi. Amilum merupakan 50-65% berat kering biji gandum dan 80%

bahan kering umbi kentang (Gunawan,2004).

Amilum terdiri dari dua macam polisakarida yang kedua-duanya

adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20 – 28 %) dan

sisanya amilopektin.

1. Amilosa

Terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang berikatan dengan ikatan α

1,4 glikosidik. Jadi molekulnya menyerupai rantai terbuka (Poedjiadi,

A. 2009).

2. Amilopektin

Terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai

ikatan 1,4- glikosidik dan sebagian ikatan 1,6-glikosidik. Adanya ikatan

1,6-glikosidik menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul

amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang. Molekul


amilopektin lebih besar dari pada molekul amilosa karena terdiri atas

lebih 1000 unit glukosa (Poedjiadi, A. 2009).

Secara umum, amilum terdiri dari 20% bagian yang larut air

(amilosa) dan 80% bagian yag tidak larut air (amilopektin). Hidrolisis

amilum oleh asama mineral menghasilkan glukosa sebagai produk akhir

secara hampir kuantitatif (Gunawan, 2004).

Bentuk sederhana amilum adalah glukosa dan rumus struktur

glukosa adalah C6H11O6 dan rumus bangun dari α- D- glukosa. Amilum

dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam sehingga

menghasilkan glukosa. Hidrolisis juga dapat dilakukan dengan bantuan

enzim amilase, dalam air ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan oleh

pankreas terdapat amilase yang bekerja terhadap amilum yang terdapat

pada makanan kita oleh enzim amilase, amilum diubah menjadi maltosa

dalam bentuk β – maltosa (Poedjiadi,A. 2009).

Amilum juga disebut dengan pati. Pati yang diperdagangkan

diperoleh dari berbagai bagian tanaman, misalnya endosperma biji

tanaman gandum, jagung dan padi ; dari umbi kentang ; umbi akar

Manihot esculenta (pati tapioka); batang Metroxylon (pati sagu); dan

rhizom umbi tumbuhan bersitaminodia yang meliputi Canna edulis,

Maranta arundinacea, dan Curcuma angustifolia (pati umbi larut) (Fahn,

1995).

Tanaman dengan kandungan amilum yang digunakan di bidang

farmasi adalah jagung (Zea mays), padi/beras (Oryza sativa), kentang


(Solanum tuberosum), ketela rambat (Ipomoea batatas), ketela pohon

(Manihot utilissima) (Gunawan, 2004).

Pada bidang farmasi, amilum terdiri dari granul-granul yang diisolasi

dari Zea mays Linne (Graminae), Triticum aesticum Linne (Graminae), dan

Solanum tuberosum Linne (Solanaceae). Granul amilum jagung berbentu

polygonal, membulat atau sferoidal dam mempunyai garis tengah 35 mm.

Amilum gandum dan kentang mempunyai komposisi yang kurang

seragam, masing-masing mempunyai 2 tipe granul yang berbeda

(Gunawan, 2004).

Amilum digunakan sebagai bahan penyusun dalam serbuk dan

sebagai bahan pembantu dalam pembuatan sediaan farmasi yang

meliputi bahan pengisi tablet, bahan pengikat, dan bahan penghancur.

Sementara suspensi amilum dapat diberikan secara oral sebagai

antidotum terhadap keracunan iodium dam amilum gliserin biasa

digunakan sebagai emolien dan sebagai basis untuk supositoria

(Gunawan, 2004).

Sebagai amilum normal, penggunaanya terbatas dalam industri

farmasi. Hal ini disebabkan karakteristiknya yang tidak mendukung seperti

daya alir yang kurang baik, tidak mempunyai sifat pengikat sehingga

hanya digunakan sebagai pengisi tablet bagi bahan obat yang mempunyai

daya alir baik atau sebagai musilago, bahan pengikat dalam pembuatan

tablet cara granulasi basah (Anwar, 2004).


Amilum hidroksi-etil adalah bahan yang semisintetik yang digunakan

sebagai pengencer plasma (dalam larutan 6%). Ini merupakan pengibatan

tasmbahan untuk kejutan yang disebabkan oleh pendarahan, luka

terbakar, pembedahan, sepsis, dan trauma lain. Sediaan amilum yang

terdapat dalam pasaran adalah Volex® (Gunawan, 2004).

Fungsi amilum dalam dunia farmasi digunakan sebagai bahan

penghancur atau pengembang (disintegrant), yang berfungsi membantu

hancurnya tablet setelah ditelan (Syamsuni H,A. 2007).

II. 4. Pembuatan simplisia dan pemeriksaan organoleptik dan

mikroskopik haksel dan serbuk

II. 4. 1 Pengertian simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain

berupa bahanyang telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia

berupa tanaman utuh, bagian tanaman, atau eksudat tanaman. Simplisia

hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat yang

dihasilkan hewan yang masih berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan

(mineral) adalah simplisia yang berupa bahan pelikan (mineral) yang

belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa

zat kimia murni (Anonim,1983).

II. 4. 2. Pembuatan simplisia

Secara umum, pembuatan simplisia harus melewati tahap sortasi

basah, pencucian, pengecilan ukuran, pengeringan, sortasi kering, serta


penyimpanan (Agoes, 2009; Anonim 1985). Pada pembuatan simplisia

harus dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir untuk mengurangi jumlah

mikrobia yang menempel pada tanaman obat (Anonim, 1985).

Ada beberapa simplisia yang harus dirajang terlebih dahulu

sebelum dikeringkan, misalnya rimpang (Siswanto, 1997). Rimpang dapat

dirajang dengan ketebalan yang bervariasi, yaitu 3 – 4 mm untuk kencur

dan 4 – 6 mm untuk temulawak (Siswanto, 1997). Perajangan dapat

digunakan dengan pisau, alat perajang singkong, atau perajang otomatis

(Anonim, 1985). Apabila terlalu tebal, pengeringan simplisia sangat sulit.

Namun, jika dirajang terlalu tipis akan menyebabkan senyawa aktif berupa

minyak atsiri dapat menguap (Anonim, 1985).

Pengeringan simplisia dapat dilakukan dengan cara alami maupun

buatan. Suhu optimum untuk pengeringan adalah tidak lebih dari 60oC,

bahan simplisia yang mengandung senyawa tidak tahan panas dan

mudah menguap dapat dikeringkan antara suhu 30oC – 45oC. Selain

suhu, kelembaban akan mempengaruhi proses pengeringan (Anonim,

1985; Syah, 2012).

Pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami atau buatan.

Pengeringan alami dengan cara menjemur merupakan pengeringan yang

pengerjaannya relatif mudah dan murah. Pengeringan dengan cara ini

lebih baik dilakukan pada simplisia yang keras seperti kayu dan memiliki

senyawa aktif yang relatif stabil (Anonim, 1985; Syah, 2012).


Pengeringan alamiah sangat dipengaruhi oleh iklim, sehingga

apabila dilakukan saat turun hujan atau kelembaban udara tinggi akan

mengakibatkan bakteri, kapang, dan khamir dapat tumbuh subur pada

simplisia sebelum waktunya kering (Anonim, 1985). Kapang yang tumbuh

pada simplisia dapat menyebabkan kerusakan jaringan simplisia dan

terkadang merusak senyawa aktif pada simplisia. Namun, bahaya lain

yang dapat ditimbulkan adalah munculnya metabolit toksik kapang yang

tumbuh pada simplisia (Anonim, 1985).

Setelah dilakukan pengeringan, dilakukan sortasi kering untuk

memilih kualitas simplisia yang baik. Simplisia yang sudah disortir dapat

ditempatkan dalam wadah untuk disimpan dalam jangka waktu tertentu.

Wadah yang digunakan bisa berupa drum, kaleng, atau gelas (Anonim,

1985). Ada beberapa simplisia yang sudah diawetkan semenjak proses

pembuatannya. Pengawetan tersebut dapat berupa pencelupan ke dalam

air mendidih, direndam di dalam air kapur, pencelupan di dalam pelarut

yang mudah menguap, atau dimasak dengan gula. Beberapa simplisia

harus disimpan di dalam wadah berisi penjerap air dan oksigen untuk

mempertahankan mutunya saat disimpan (Anonim, 1977; Anonim, 1985).

II. 4. 3. Identifikasi simplisia

Identifikasi simplisia dapat dilakukan dengan berbagai cara,

diantaranya yaitu:

a. Organoleptik meliputi pengujian morfologi yaitu berdasarkan warna,

bau, dan rasa, dari simplisia.


b. Makroskopik merupakan pengujian yang dilakukan dengan mata

telanjang atau dengan bantuan kaca pembesar terhadap berbagai

organ tanaman yang digunakan untuk simplisia.

c. Mikroskopik, pada umumnya meliputi pemeriksaan irisan bahan

atau serbuk dan pemeriksaan anatomi jaringan itu sendiri.

Kandungan sel dapat langsung dilihat di bawah mikroskop atau

dilakukan pewarnaan. Sedangkan untuk pemeriksaan anatomi

jaringan dapat dilakukan setelah penetesan pelarut tertentu, seperti

kloralhidrat yang berfungsi untuk menghilangkan kandungan sel

seperti amilum dan protein sehingga akan dapat terlihat jelas di

bawah mikroskop. Namun, untuk pemeriksaan amilum dilakukan

dengan penetesan air saja.

II. 5. Penetapan susut pengeringan dan kadar air simplisia

Dalam penetapan kadar air simplisia dapat dilakukan dengan

berbagai cara, salah satunya dengan metode destilasi. Metode ini

digunakan untuk bahan yang mengendung senyawa volatil dan lemak.

Dengan prinsip menguapkan air dengan pembawa cairan kimia yang

mempunyai titik didih lebih tinggi dari pada air dan tidak dapat bercampur

dengan air serta mempunyai berat jenis yang lebih rendah dari pada air.

Contohnya yaitu, toluen, xylene, benzene, tetrakhloretin dan xylol.

(Winarno,2004)
Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah

pengeringan pada temperatur 1050C selama 30 menit atau sampai berat

konstan, yang dinyatakan dengan nilai prosen. (Crampton 1959)

Metode pengeringan atau metode oven merupakan suatu metode

untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan

dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi

panas. Prinsip dari metode oven pengering adalah bahwa air yang

terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut

dipanaskan pada suhu 105o C selama waktu tertentu. Perbedaan antara

berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air. (Crampton

1959)

Air dalam bahan pangan hasil pertanian dibedakan atas air bebas

dan air terikat. Air bebas adalah air yang dapat dikeluarkan atau

dibebaskan dengan mudah dari bahannya, misalnya dengan pemanasan.

Air terikat meliputi: (1) air yang teradsorpsi pada dinding sel dan

komponen–komponen sel seperti protein, pati, selulosa dan lain-lain,

(2) air yang terikat secara kimiawi pada senyawa – senyawa karbohidrat

(antara lain glukosa, maltose, laktosa), garam (air kristal garam seperti K-

tartrat), protein dan lain lain. (Crampton 1959)

Kadar air bahan pangan merupakan pengukuran jumlah air total

yang terkandung dalam bahan pangan, tanpa memperlihatkan kondisi

atau derajat keterikatan air. Kadar air bahan pangan dapat diukur dengan

berbagai cara. Metode umum yang dilakukan di laboratorium adalah


dengan pemanasan di dalam oven. Metode ini digunakan untuk seluruh

produk makanan, kecuali jika produk tersebut mengandung komponen –

komponen yang mudah menguap atau jika produk tersebut mengalami

dekomposisi pada pemanasan 100oC. Dengan prinsip, Sampel

dikeringkan dalam oven 100oC sampai diperoleh berat yang tetap (AOAC

1984).

Metode oven merupakan salah satu metode pemanasan langsung

dalam penetapan kadar air suatu bahan pangan. Dalam metode ini bahan

dipanaskan pada suhu tertentu sehingga semua air menguap yang

ditunjukkan oleh berat konstan bahan setelah periode pemanasan

tertentu. Kehilangan berat bahan yang terjadi menunjukkan jumlah air

yang terkandung. Metode ini terutama digunakan untuk bahan-bahan

yang stabil terhadap pemanasan yang agak tinggi, serta produk yang tidak

atau rendah kandungan sukrosa dan glukosanya seperti tepung-tepungan

dan serealia (AOAC 1984).

Metode ini dilakukan dengan cara pengeringan sampel atau simplisia

dalam oven. Berat sampel yang dihitung setelah dikeluarkan dari oven

harus didapatkan berat konstan, yaitu berat bahan yang tidak akan

berkurang atau tetap setelah dimasukkan dalam oven. Berat sampel

setelah konstan dapat diartikan bahwa air yang terdapat dalam sampel

telah menguap dan yang tersisa hanya padatan dan air yang benar-benar

terikat kuat dalam sampel. Setelah itu dapat dilakukan perhitungan untuk

mengetahui persen kadar air dalam bahan (Crampton 1959).


Secara teknik, metode oven langsung dibagi menjadi dua yaitu,

metode oven temperatur rendah dan metode oven temperatur tinggi.

Metode oven temperatur rendah menggunakan suhu (103 + 2)˚C dengan

periode pengeringan selama 17 ± 1 jam. Periode pengeringan dimulai

pada saat oven menunjukkan temperatur yang diinginkan. Setelah

pengeringan, contoh bahan beserta cawannya disimpan dalam desikator

selama 30-45 menit untuk menyesuaikan suhu media yang digunakan

dengan suhu lingkungan disekitarnya. Setelah itu bahan ditimbang

beserta wadahnya. Selama penimbangan, kelembaban dalam ruang

laboratorium harus kurang dari 70% (AOAC 1970). Selanjutnya metode

oven temperatur tinggi. Cara kerja metode ini sama dengan metode

temperatur rendah, hanya saja temperatur yang digunakan pada suhu

130-133˚C dan waktu yang digunakan relatif lebih rendah (Crampton

1959).

Metode ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

1. Bahan lain disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama

dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-

lain

2. Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau

zat mudah menguap. Contoh gula mengalami dekomposisi atau

karamelisasi, lemak mengalami oksidasi

3. Bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya

meskipun sudah dipanaskan (Soedarmadji, 2003).


II. 6. Penetapan kadar minyak atsiri

II. 6. 1 Definisi minyak atsiri

Minyak Atsiri, atau dikenal juga sebagai Minyak Eteris (Aetheric

Oil), Minyak Esensial, Minyak Terbang, serta Minyak Aromatik, adalah

kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu

ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas.

Minyak Atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak

gosok (untuk pengobatan) alami. Di dalam perdagangan, sulingan Minyak

Atsiri dikenal sebagai bibit minyak wangi (Gunther, 1990).

Minyak atsiri (minyak esensial) adalah komponen pemberi

aroma yang dapat ditemukan dalam berbagai macam bagian tumbuhan.

Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau tanaman

asalnya. Dalam keadaan murni tanpa pencemar, minyak atsiri tidak

berwarna.Namun pada penyimpanan yang lama, minyak atsiri dapat

teroksidasi dan membentuk resin serta warnanya berubah menjadi lebih

tua (gelap). Untuk mencegah supaya tidak berubah warna, minyak atsiri

harus terlindungi dari pengaruh cahaya, misalnya disimpan dalam bejana gelas

yang berwarna gelap .Bejana tersebut juga diisi sepenuh mungkin sehingga

tidak memungkinkan hubungan langsung dengan udara, ditutup rapat

serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk (Gunther, 1990).

Minyak atsiri adalah minyak yang dihasilkan dari jaringan

tanaman tertentu, seperti akar, batang, kulit, bunga, daun, biji dan

rimpang. Minyak ini bersifat mudah menguap pada suhu kamar (25 0C)
tanpa mengalami dekomposisi dan berbau wangi sesuai dengan tanaman

penghasilnya, serta umumnya larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut

dalam air (Gunther, 1990).

Minyak atsiri dapat digunakan sebagai bahan pewangi,

penyedap (flavoring), antiseptic internal, bahan analgesic, sedative serta

stimulan. Terus berkembangnya penggunaan minyak atsiri di dunia maka

minyak atsiri di Indonesia merupakan penyumbang devisa negara yang

cukup signifikan setelah Cina (Sastrohamidjoyo, 2004).

Minyak atsiri dapat terbentuk secara langsung oleh

protoplasma akibat adanya peruraian lapisan resin dari dinding sel.

Minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ tanaman, seperti didalam

rambut kelenjar (pada famili Labiatae), di dalam sel-sel parenkim (pada

famili Piperaceae), di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada

famili Pinaceae dan Rutaceae) (Ketaren, 1985).

Minyak atsiri secara umum di bagi menjadi dua kelompok.

Pertama, minyak atsiri yang komponen penyusunnya sukar untuk

dipisahkan, seperti minyak nilam dan minyak akar wangi. Minyak atsiri

kelompok ini lazimnya langsung digunakan tanpa diisolasi komponen-

komponen penyusunnya sebagai pewangi berbagai produk. Kedua,

minyak atsiri yang komponen-komponen senyawa penyusunnya dapat

dengan mudah dipisahkan menjadi senyawa murni, seperti minyak sereh

wangi, minyak daun cengkeh, minyak permen dan minyak terpentin.


Senyawa murni hasil pemisahan biasanya digunakan sebagai bahan

dasar untuk diproses menjadi produk yang lebih berguna (Ketaren, 1985).

Pada tanaman, minyak atsiri mempunyai tiga fungsi yaitu:

membantu proses penyerbukan dan menarik beberapa jenis serangga

atau hewan, mencegah kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan,

dan sebagai cadangan makanan bagi tanaman. Minyak atsiri digunakan

sebagai bahan baku dalam berbagai industri, misalnya industri parfum,

kosmetika, farmasi, bahan penyedap (flavouring agent) dalam industri

makanan dan minuman (Ketaren, 1985).

II. 6. 2. Ciri-ciri minyak atsiri

Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya rendah.

Selain itu, susunan senyawa komponennya kuat memengaruhi saraf

manusia (terutama di hidung) sehingga seringkali memberikan efek

psikologis tertentu. Setiap senyawa penyusun memiliki efek tersendiri, dan

campurannya dapat menghasilkan rasa yang berbeda. Karena pengaruh

psikologis ini, minyak atsiri merupakan komponen penting dalam

aromaterapi atau kegiatan-kegiatan liturgi dan olah pikiran/jiwa, seperti

yoga atau ayurveda (Ketaren, 1985).

II. 5. 3. Sifat fisika minyak atsiri

Seperti bahan-bahan lain yang memiliki sifat fisik, minyak atsiri

juga memiliki sifat fisik yang bisa di ketahui melalui beberapa pengujian.

Sifat fisik dari setiap minyak atsiri berbeda satu sama lain. Sifat fisik

terpenting dari minyak atsiri adalah dapat menguap pada suhu kamar
sehingga sangat berpengaruh dalam menentukan metode analisis yang

dapat digunakan untuk menentukan komponen kimia dan komposisinya

dalam minyak asal.

Sifat-sifat fisika minyak atsiri, yaitu : bau yang karakteristik,

bobot jenis, indeks bias yang tinggi, bersifat optis aktif.

a. Bau yang karakteristik

Minyak atsiri adalah minyak yang dihasilkan dari jaringan tanaman

tertentu, seperti akar, batang, kulit, bunga, daun, biji dan rimpang.

Minyak ini bersifat mudah menguap pada suhu kamar (250C) tanpa

mengalami dekomposisi dan berbau wangi sesuai dengan tanaman

penghasilnya, serta umumnya larut dalam pelarut organik tetapi tidak

larut dalam air (Gunther, 1990).

b. Bobot Jenis

Bobot jenis adalah perbandingan bobot zat di udara pada suhu

250C terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama.

Penentuan bobot jenis menggunakan alat piknometer. Berat jenis

minyak atsiri umumnya berkisar antara 0,800-1,180. Bobot jenis

merupakan salah satu kriteria penting dalam penentuan mutu dan

kemurnian minyak atsiri (Gunther, 1987).

Besar bobot jenis pada berbagai minyak atsiri sangat di pengaruhi

dari ukuran bahan dan lama penyulingan yang di lakukan. berikut

adalah grafik yang di peroleh dari pengujian bobot jenis pada minyak

atsiri kayu manis (Guenther, 1987).


c. Indeks Bias

Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya

dalam udara dengan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Penentuan

indeks bias menggunakan alat Refraktometer. Prinsip penggunaan alat

adalah penyinaran yang menembus dua macam media dengan

kerapatan yang berbeda, kemudian terjadi pembiasan (perubahan arah

sinar) akibat perbedaan kerapatan media. Indeks bias berguna untuk

identifikasi suatu zat dan deteksi ketidakmurnian (Guenther, 1987).

Semakin banyak kandungan airnya, maka semakin kecil nilai indek

biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk membiaskan cahaya

yang datang. Jadi minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang besar

lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias

yang kecil. Selain itu, semakin tinggi kadar patchouli alcohol maka

semakin tinggi pula indeks bias yang dihasilkan (Guenther, 1987).

d. Putaran Optik

Setiap jenis minyak atsiri memiliki kemampuan memutar bidang

polarisasi cahaya ke arah kiri atau kanan. Besarnya pemutaran bidang

polarisasi ditentukan oleh jenis minyak atsiri, suhu, dan panjang

gelombang cahaya yang digunakan. Penentuan putaran optik

menggunakan alat Polarimeter (Ketaren, 1985).

e. Kelarutan Dalam Alkohol

Kelarutan dalam alkohol merupakan nilai perbandingan banyaknya

minyak atsiri yang larut sempurna dengan pelarut alkohol. Setiap


minyak atsiri mempunyai nilai kelarutan dalam alkohol yang spesifik,

sehingga sifat ini bisa digunakan untuk menentukan suatu kemurnian

minyak atsiri (Ketaren, 1985).

Minyak atsiri banyak yang mudah larut dalam etanol dan jarang

yang larutdalam air, sehingga kelarutannya mudah diketahui dengan

menggunakan etanolpada berbagai tingkat konsentrasi. Untuk

menentukan kelarutan minyak atsiri jugatergantung pada kecepatan

daya larut dan kualitas minyak atsiri tersebut. Kelarutan minyak juga

dapat berubah karena lamanya penyimpanan. Halini disebabkan

karena proses polimerisasi menurunkan daya kelarutan, sehinggauntuk

melarutkannya diperlukan konsentrasi etanol yang tinggi.

Kondisipenyimpanan kurang baik dapat mempercepat polimerisasi

diantaranya cahaya,udara, dan adanya air bisa menimbulkan pengaruh

yang tidak baik (Ketaren, 1985).

Minyak atsiri mempunyai sifat yang larut dalam pelarut organik dan

tidak larut dalam air. Berikut adalah hasil pengujian tingkat kelarutan

minyak dalam alkohol yang dipengaruhi oleh semua faktor perlakuan

dan kombinasinya (Ketaren, 1985).

f. Warna

Sesuai dengan SNI 06-2385-2006, minyak atsiri berwarna kuning

muda hingga coklat kemerahan, namun setelah dilakukan penyimpanan

minyak berubah warna menjadi kuning tua hingga coklat muda.

Guenther (1990) mengatakan bahwa minyak akan berwarna gelap oleh


aging, bau dan flavornya tipikal rempah, aromatik tinggi, kuat dan tahan

lama (Guenther, 1990)

II. 6. 4. Sifat kimia minyak atsiri

1. Bilangan Asam

Bilangan asam pada minyak atsiri menandakan adanya kandungan

asam organik pada minyak tersebut. Asam organik pada minyak atsiri

bisa terdapat secara alamiah. Nilai bilangan asam dapat digunakan

untuk menentukan kualitas minyak (Kataren, 1985).

2. Bilangan Ester

Bilang ester merupakan banyaknya jumlah alkali yang diperlukan

untuk penyabunan ester. Adanya bilangan ester pada minyak dapat

menandakan bahwa minyak tersebut mempunyai aroma yang baik. Dari

hasil analisis diperoleh bahwa minyak kilemo dari daun yang disuling

dengan metode kukus secara visual mempunyai bilangan ester

tertinggi, sedangkan minyak kilemo dari kulit batang yang disuling

dengan metode rebus menghasilkan bilangan ester terendah.

Minyak atsiri juga dapat mengalami kerusakan yang mengakibatkan

perubahan sifat kimia minyak atsiri yaitu dengan proses oksidasi,

hidrolisa, dan resinifikasi (Ketaren, 1985).

a. Oksidasi

Reaksi oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan

rangkap dalam terpen. Peroksida yang bersifat labil akan berisomerisasi

dengan adanya air, sehingga membentuk senyawa aldehid, asam organik,


dan keton yang menyebabkan perubahan bau yang tidak dikehendaki

(Ketaren, 1985).

b. Hidrolisis

Proses hidrolisis terjadi pada minyak atsiri yang mengandung

ester. Proses hidrolisis ester merupakan proses pemisahan gugus OR

dalam molekul ester sehingga terbentuk asam bebas dan alkohol. Ester

akan terhidrolisis secara sempurna dengan adanya air dan asam sebagai

katalisator (Ketaren, 1985).

c. Resinifikasi

Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin,

yang merupakan senyawa polimer. Resin ini dapat terbentuk selama

proses pengolahan (ekstraksi) minyak yang mempergunakan tekanan dan

suhu tinggi selama penyimpanan (Ketaren, 1985).

Minyak atsiri yang kita kenal selama ini, memiliki sifat mudah

menguap dan mudah teroksidasi. Hal itulah yang menyebabkan

perubahan secara fisika maupun kimia pada minyak atsiri. Perubahan sifat

kimia minyak atsiri dapat terjadi saat :

1) Penyimpanan bahan

Penyimpanan bahan sebelum dilakukan pengecilan ukuran

bahan mempengaruhi jumlah minyak atsiri, terutama dengan adanya

penguapan secara bertahap yang sebagian besar disebabkan oleh

udara yang bersuhu cukup tinggi. Oleh karena itu, bahan disimpan

pada udara kering bersuhu rendah.


2) Proses ekstraksi

a. Proses ekstraksi

Perubahan sifat kimia dapat disebabkan karena suhu

ekstraksi terlalu tinggi.

b. Proses distilasi

Perubahan sifat kimia pada proses ini terutama disebabkan

karena adanya air, uap air, dan suhu tinggi.

c. Proses pengepresan

Perubahan sifat kimia pada proses ini terutama disebabkan

karena minyak atsiri berkontak dengan udara.

II. 7. Deskripsi sampel

II. 7. 1. Rumput Legetan

a) Klasifikasi Rumput Legetan

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Syndrella

Spesies : Synedrella nodiflora L.

(United States Department of Agriculture, 1999)

b) Morfologi
Jotang kuda (Synedrella nodiflora) adalah sejenis gulma pertanian

anggota suku Asteraceae. Berbau agak keras, sedikit menyerupai bau

kambing, tumbuhan ini juga dikenal sebagai babadotan lalaki, jukut berak

kambing atau jukut gendreng (Sd.), bruwan, gletang warak, krasuk, atau

serunen (Jw.), serta gofu makeang (Ternate). Berasal dari Amerika tropis,

jotang kuda kini telah menjadi tumbuhan pengganggu yang paling umum

di Jawa, khususnya di tempat-tempat yang sedikit terlindung (Culen,

2006).

Gulma ini termasuk kedalam terna semusim, tegak atau berbaring

pada pangkalnya, bercabang menggarpu berulang-ulang, tinggi hingga

1,5 m. Daun-daun berhadapan, dengan tangkai bentuk talang 0,5–5,5 cm,

tangkai dari pasangan daun yang sama dihubungkan dengan tepi yang

sempit, dengan banyak rambut di sekitarnya. Helai daun bundar telur

memanjang, 2,5–15 × 1–9 cm; pangkal daun menyempit sepanjang

tangkai, ujung daun runcing, sementara tepinya bergerigi lemah, dan

berambut di kedua permukaannya (Culen, 2006).

Mempunyai bunga majemuk dalam bongkol kecil, panjang 8–10 mm,

duduk atau bertangkai pendek, berisi 10–20 bunga yang berjejal-jejal,

terletak terminal atau di ketiak daun, 1-7 bongkol bersama-sama. Daun

pelindung bundar telur memanjang, berujung runcing, berambut kaku.

Bunga tepi 4–8 buah, dengan pita kuning bertaju 2–3, lk 2 mm

panjangnya. Bunga cakram serupa tabung, 6–18 buah, kuning muda

dengan taju kuning cerah. Tabung kepala sari coklat kehitaman. Buah
keras dengan dua macam bentuk: buah dari bunga tepi sangat pipih,

bersayap dan bergerigi runcing di tepi dan ujungnya, sementara buah dari

bunga cakram sempit panjang, dengan 2–4 jarum di ujungnya. Panjang

buah lk. 0,5 cm (Culen, 2006).

Daun yang muda kadang-kadang dimanfaatkan sebagai lalab. Daun

yang digiling halus bersama daun bandotan (Ageratum conyzoides), daun

cente manis (Lantana camara), dan kapur sirih, dioleskan untuk

menghangatkan perut yang sakit. Tumbuhan ini juga digunakan sebagai

obat gosok untuk meringankan rematik (Culen, 2006).

II. 7. 2. Manihot utilissima

a) Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Manihot

Spesies : Manihot utilissima Pohl.

(Soelistijono, 2006).

b) Morfologi

Tanaman singkong (Manihot utilissima pohl) termasuk tumbuhan

berbatang pohon lunak atau getas (mudah patah). Tanaman singkong


berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai

daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang

tinggi. Tanaman Singkong bisa mencapai ketinggian 1-4 meter.

Pemeliharaannya mudah dan produktif. Daun singkong memiliki

tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan

tiap tangkai 7 mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun

tersebut berwarna kuning, hijau atau merah (Arland, 2007).

II. 7. 3. Jasminum sambac

a) Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dycotyledonae

Ordo : Oleales

Famili : Oleaceae

Genus : Jasminum

Spesies : Jasminum sambac (L) W. Ait

(Tjitrosoepomo, 2005)

b) Morfologi

Melati adalah tanaman perdu dengan tinggi tanaman sekitar 0,3-

3 m. Tanaman melati termasuk family Oleaceae, tumbuh lebih dari

setahun (perennial) dan bersifat merambat. Bunga melati berbentuk

terompet dengan warna bervariasi terantung pada jenis dan


spesiesnya. Umumnya bunga melati tumbuh di ujung tanaman.

Susunan mahkota bunga tunggal atau ganda (bertumpuk), beraroma

harum tetapi ada beberapa jenis melati tidak memiliki aroma

(Hieronymus, 2013).

Daun melati bertangkai pendek dengan helaian berbentuk bulat

telur. Panjang daun 2,5-10 cm dan lebarnya 1,5-6 cm. Ujung daun

runcing, pangkal membulat, tepi daun rata, tulang daun menyirip,

menonjol pada permukaan bawah dan permukaan daun hijau

mengkilap. Letak duduk daun berhadap-hadapan pada setiap buku.

Batangnya berwarna coklat, berkayu berbentuk bulat sampai segi

empat, berbuku-buku dan bercabang banyak seolah-olah merumpun (

Eren, 2013).

Sistem perakaran tanaman melati adalah akar tunggang dan

bercabang yang menyebar ke semua arah dengan kedalaman 40-80

cm dari akar yang terletak dekat permukaan tanah. Akar melati dapat

menumbuhkan tunas atau cikal bakal tanaman baru (Hieronymus,

2013).

Melati dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah

maupun dataran tinggi hingga ketinggian 1.000 meter di atas

permukaan laut. Perbanyakan tanaman melati dapat dilakukan

dengan stek batang atau cangkok. Budidaya melati menghendaki

media tanam yang mengandung bahan organik tinggi. Tanaman

melati tidak memerlukan perlakuan khusus pada proses


pembungaannya. Melati banyak dimanfaatkan sebagai komponen

taman, rangkaian bunga untuk pengantin, ritual adat, bunga tabur,

campuran teh atau diambil minyak atsirinya sebagai bahan baku

parfum. Selain itu, tanaman ini juga dimanfaatkan sebagai obat

tradisional karena pengaruh dari senyawa kimia dan efek farmakologi

yang dihasilkan (Endah, 2002).

Anda mungkin juga menyukai