B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Hukum Perikatan Islam ?
2. Bagaimana karakteristik Hukum Perikatan Islam ?
3. Apa saja sumber-sumber Hukum perikatan Islam ?
4. Apa Subjek dan Objek Hukum perikatan Islam ?
5. Bagaimana Perbedaan dari Hukum Perikatan islam, Hukum Perikatan
Barat dan Hukum Perikatan Adat ?
6. Bagaimana Berakhirnya Hukum Perikatan Islam ?
1
A. Pengertian Hukum Perikatan Islam
Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari hukum islam bidang muamalah
yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan
ekonominya.Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.1
Menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary,SH. Hukum perikatan islam adalah
seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-Quran. As-Sunnah (Al-Hadis)
dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau
lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.
Hukum Perikatan Islam lebih luas dari materi yang terdapat pada Hukum
Perikatan Perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara hukum
perikatan itu sendiri dengan hukum islam yang melingkupinya yang tidak semata
semata mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tapi juga
hubungan antara manusia dengan sang pencipta ( Allah Swt ) dan dengan alam
lingkungannya.2
1
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2014) hal. 323 (Pasal 1233 BW)
2
Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia.(Jakarta: Kencana, 2005) hal. 3
2
a. Hukum Ibadat, hukum-hukum yang berhubungan dengan peribadatan
kepada Allah Swt, seperti: sholat, puasa, haji, suci dari hadas, dan
sebagainya.
b. Hukum keluarga (Al-Ahwal Syakshiyah). Hukum-hukum yang
berhubungan dengan tata kehidupan keluarga, seperti: perkawinan,
perceraian, hubungan keturunan, nafkah keluarga, kewajiban anak kepada
orang tua, dan sebagainya.
c. Hukum muamalat (dalam arti sempit, pen). Hukum-hukum yang
berhubungan dengan pergaulan hidup dalam masyarakat mengenai
kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian persengketaan-persengketaan,
seperti: perjanjian jual beli, sewa menyewa, utang piutang, gadai, hibah,
dan sebagainya.
d. Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan (Al-Ahkam As-Sulthaniyah
atau As-Siyasah Asy-Syari’ah). Hukum-hukum yang berhubungan dengan
tata kehidupan bernegara, seperti: Negara, Hak dan Kewjiban Penguasa
dan Rakyat timbal balik, dan sebagainya.
e. Hukum Pidana (Al-Jinayat). Hukum-hukum yang berhubungan dengan
kepidanaan, seperti: macam-macam perbuatan pidana dan ancaman
pidana.
f. Hukum Antar negara (As-Siyar). Hukum-hukum yang mengatur hubungan
antara Negara Islam dengan Negara-negara lain, yang terdiri dari aturan-
aturan hubungan pada waktu damai dan pada waktu perang.
g. Hukum Sopan Santun (Al-Adab). Hukum-hukum yang berhubungan
dengan budi pekerti, kepatutan, nilai baik, dan minum dengan tangan
kanan, mendamaikan orang-orang yang berselisih, dan sebagainya.3
3. Asas–asas Hukum Perikatan Islam
a. Asas Ilahiah
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan
Allah SWT. Kegiatan muamalat, termasuk perbuatan perikatan, tidak akan
pernah lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian, manusia
memiliki tanggungjawab akan hal ini. Tanggung jawab kepada
masyarakat, tanggungjawab kepada pihak kedua, tanggungjawab kepada
diri sendiri dan tanggungjawab kepada Allah SWT. Akibatnya manusia
tidak akan berbuat sekendak hatinya, karena segala perbuatannya akan
mendapatkan balasan dari Allah SWT.
3
Ibid.hal.27.
3
b. Asas Kebebasan
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu
perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak.
Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat
para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan
kewajibannya. Namun kebebasan ini tidaklah absolut. Sepanjang tidak
bertentangan dengan syariah islam, maka perikatan tersebut boleh
dilaksanakan.
c. Asas Persamaan atau kesetaraan
Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi
kebutuhan manusia.sering kali terjadi, bahwa seseorang memimiliki
kelebihan dari yang lainnya. Seperti yang tercantum dalam QS. An-Nahl
(16):71 , bahwa “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang
lain dalam hal rezeki.” Hal ini menunjukkan bahwa diantara sesama
manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu,
antara manusia satu dengan yang lain hendaknya saling melengkapi atas
kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Oleh karena itu,
setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan suatu
perikatan. Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan
kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan
ini. Tidak boleh ada suatu kezaliman yang dilakukan dalam periktan
tersebut.
d. Asas Keadilan
Istilah keadilan tidaklah dapat disamakan dengan suatu persamaan.
Menurut Yusuf Qardhawi, keadilan adalah seimbang antara berbagai
potensi individu, baik moral ataupun materiil, antara individu dan
masyarakat dan antara masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan
pada syariah islam. Dalam asas ini, para pihak yang melakukan perikatan
dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan,
memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua
kewajibannya.
e. Asas Kerelaan
Dalam QS. An-Nisa (4) : 29, dinyatakan bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-
masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan.
f. Asas kejujuran dan kebenaran
4
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala
bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika kejujuran
ini tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas
perikatan itu sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidakjujuran dalam
perikatan, akan menimbulkan perselisihan di antara para pihak.
Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi
para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan
lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan
madharat adalah dilarang.
g. Asas Tertulis
Dalam QS. Al-Baqarah (2): 282-283, disebutkan bahwa Allah SWT
menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan
secara tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi, dan diberikan tanggungjawab
individu yang melakukan perikatan dan yang menjadi saksi. Selain itu,
dianjurkan pula bahwa apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak secara
tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Adanya
tulisan, saksi, atau benda jaminan ini menjadi alat bukti atas terjadinya
perikatan tersebut.4
5
RAsulullah mengikuti tutntunan wahyu bukan hawa nafsu (QS. Al-Ahqaf 46:29)
begitu pula dengan apa yang diucapkan beliau (QS. Al-Najm 53:3-4). Karena itu
menurut Jumhur Ulama, kedudukan sunnah sama dengan hadits. Pengertian
sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW baik berupa
perkatan (qaul), perbuatan (fi’il) maupun pembiaran (taqrir) yang berkaitan
dengan penetapan hukum.
3. Ijma’
Ijma’ merupakan kesepaatan Ulama mujtahid kaum Muslimin pada suatu
masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW atas hukum syara’ mengenai
suatuperkara amaliyah.Ketentuan ijma’ memiliki dasar hukum didalam Al-Qur’an,
misalnya terdapat pada (QS.An-Nisa’ 4:59) (QS.Yunus 10:71) (QS. Ali-Imran
3:103). Begitu pula dalam hadits Nabi diantaranya ada yang menegaskan bahwa :
“Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesesatan, apabila kamu sekalian
menemukan perbedaan pendapat, maka hendaklah kamu berada dalam kelompok
mayoritas (Ulama).” (HR. Ibnu Majjah).
Menurut Jumhur Ulama, kedudukan ijma’ sahabat menempati dalil hukum
setelah Al-Qur’an dan Sunnah.Melalui ijma’, kalangan Ulama dapat menetapkan
hukum yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi.Ijma’ dijadikan sebagai rujukan
dalil selama dapat menunjukkan kearah sumber hukum syara’.
4. Qiyas Syar’i
Pengertian qiyas menurut bahasa berarti ukuran yang dijadikan sandaran.
Sedangkan secara terminology, istilah qiyas dapat diartikan sebagai metode
pengambilan hukum yang ditempu dengan cara menghubungkan ketetapan hukum
syara’ dengan peristiwa tertentu yang bersifat baru karena keduanya ada kesamaan
illat hukum.5
Batas kebolehan qiyas menurut para Ulama adalah selama tidak bertentangan
dengan nash syariat. Keberadaan nash berfungsi sebagai dalil-dalil syara’.Karena
qiyas menyandarkan suatu hukum asal pada dalil-dalil syara’, maka disebut
dengan qiyas syar’i.dengan demikian, alasan para fuqaha menjadikan qiyas dan
ijma’ sebagai dlil-dalil syara’ ialah karena keberradaannya selalu merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunnah.6
6
Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat
dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf.
b. Badan Hukum
Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum
dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan
hukum terhadap orang lain atau badan hukum.
2. Objek Perikatan (mahallul akad)
Mahallul akad adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan
padanya akibat hukum yang ditimbulkan.Bentuk objek akad dapat berupa benda
berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tidak berwujud seperti
manfaat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul akad adalah sebagai
berikut:
a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.
b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah.
c. Objek akad harus jelas dan dikenal.
d. Objek dapat diserah terimakan7
7
Ibid.hal.51-60
7
terbentuknya pengertian Al- pengertian persetujuan,
Ahdu (perjanjian)- perjanjian pembuatan simbolis,
persetujuan-Al- (oveereenkonst) perikatan.
Akdu (perikatan) dan perikatan
(Qs. 3:76: Qs. (verbintebsis)
5:1) (1313 dan 1233
BW)
Sahnya 1. Halal 1. Sepakat 1. terang
2. Sepakat 2. cakap 2. tunai
perikatan
3. cakap. 3. hal tertentu
4. tanpa 4. halal (1320
paksaan BW)
5. ijab dan
qobul
Sumber 1. sikap tindak 3. Persetujuan 1. perjanjian
4. undang- 2. sikap tindak
yang
undang tertentu.
didasarkan
3. penyelewengan
(1233 BW)
syariat
perdata.8
2. persetujuan
yang tidak
melanggar
syariah.
BAB III
ANALISIS
8
Ibid.hal.23.
9
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Op.Cit. hal. 349 (Pasal 1381 BW)
8
Indonesia adalah Negara hukum, banyak hukum di Indonesia yang mengatur
perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan ekonominya.Hukum di
Indonesia terdiri dari hukum adat, hukum Islam dan hukum barat.Hukum Islam
adalah aturan yang bersumber dan untuk agama Islam, salah satunya hukum
perikatan Islam.
Kedua hal tersebut menjadi landasan utama hukum perikatan Islam, karena
mencakup asas-asas dan aspek-aspek hukum perikatan Islam.Diantaranya,
perikatan terjadi karena adanya perjanjian kedua belah pihak atau lebih yang
dilandasi dengan kepercayaan.
BAB IV
PENUTUP
9
A. Kesimpulan
Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari hukum islam bidang muamalah
yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan
ekonominya.Hukum Perikatan Islam lebih luas dari materi yang terdapat pada
Hukum Perikatan Perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara
hukum perikatan itu sendiri dengan hukum islam yang melingkupinya yang tidak
semata semata mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tapi juga
hubungan antara manusia dengan sang pencipta ( Allah Swt ) dan dengan alam
lingkungannya. Subjek perikatan adalah manusia dan objeknya adalah benda.
B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, jika ada kritik dan saran, penulis terima
dengan senang hati.Tetap belajar meskipun halangan menerpa.
DAFTAR PUSTAKA
10
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio.2014. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jakarta: Balai Pustaka.
11