(FF) LAPRES GABUNGAN (Autosaved) Fixed
(FF) LAPRES GABUNGAN (Autosaved) Fixed
A. TUJUAN 3
B. TINJAUAN PUSTAKA 4
1) Pembuatan Simplisia 4
2) Pembuatan Serbuk Simplisia 6
3) Karakterisasi Simplisia dan Pembuatan Ekstrak 7
4) Identifikasi Kandungan Kimia 8
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Ekstrak 9
6) Uji Antioksidan Ekstrak dan Fraksi 11
C. ALAT DAN BAHAN 14
D. SKEMA KERJA 16
1) Pembuatan Simplisia 16
2) Pembuatan Serbuk Simplisia 16
3) Karakterisasi Simplisia dan Pembuatan Ekstrak 16
4) Identifikasi Kandungan Kimia 20
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Ekstrak 26
6) Uji Antioksidan Ekstrak dan Fraksi 28
E. DATA PENGAMATAN 31
1) Pembuatan Simplisia 31
2) Pembuatan Serbuk Simplisia 31
3) Karakterisasi Simplisia dan Pembuatan Ekstrak 31
4) Identifikasi Kandungan Kimia 36
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Ekstrak 40
6) Uji Antioksidan Ekstrak dan Fraksi 41
F. HASIL DAN PEMBAHASAN 47
1) Pembuatan Simplisia 47
2) Pembuatan Serbuk Simplisia 50
3) Karakterisasi Simplisia dan Pembuatan Ekstrak 51
4) Identifikasi Kandungan Kimia 53
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Ekstrak 58
6) Uji Antioksidan Ekstrak dan Fraksi 59
G. KESIMPULAN 64
1) Pembuatan Simplisia 64
2) Pembuatan Serbuk Simplisia 64
3) Karakterisasi Simplisia dan Pembuatan Ekstrak 64
4) Identifikasi Kandungan Kimia 64
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Ekstrak 64
6) Uji Antioksidan Ekstrak dan Fraksi 64
H. DAFTAR PUSTAKA 65
1
I. LAMPIRAN 67
1) Pembuatan Simplisia 67
2) Pembuatan Serbuk Simplisia 67
3) Karakterisasi Simplisia dan Pembuatan Ekstrak 68
4) Identifikasi Kandungan Kimia 70
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Ekstrak 72
6) Uji Antioksidan Ekstrak dan Fraksi 75
2
A. TUJUAN
a. Melakukan pembuatan simplisa temulawak.
b. Melakukan pembuatan serbuk dari simplisa temulawak.
c. Melakukan uji karakterisasi simplisia temulawak.
d. Dapat mengidentifikasi senyawa golongan flavonoida, antrakinon, saponin
(steroid dan triterpenoid), alkaloida, fenolik, polifenolik, dan minyak atsiri.
e. 1) Melakukan pemisahan atau fraksinansi ekstrak tanaman untuk
mendapatkan senyawa aktif.
2) Melakukan monitoring kandungan kimia ekstrak dan fraksi-fraksi dari
ekstrak dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT).
f. Melakukan uji aktivitas antioksidan dengan bahan uji berupa ekstrakdan
fraksi bahan alam, dan menentukan nilai IC50 ekstrak dan fraksi alam.
3
B. TINJAUAN PUSTAKA
1) Pembuatan Simplisia
Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) merupakan tumbuhan tahunan
yang hidup berumpundan berbatang semu dan berupa gabungan beberapa
pangkal daun yang terpadu. Tiap batang memiliki 2-9 helai daun, bunganya
berukuran pendek dan lebar, warna putih atau kuning tua dan pangkal bunga
berwarna ungu. Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai bahan
ramuan obat. Di dalamnya terkandung protein, pati, zat warna kuning
kurkuminoid dan minyak atsiri. Kandungan kimia minyak atsirinya antara
lain feladren, kamfer, tumerol, tolilmetilkarbinol, arkurkumen, zingibren,
kuzernon, germakron, β-tumeron, dan xanthorizol (kandungan tertinggi
40%) (Agoes, 2010).
Taksonomi Tanaman Temulawak
Spesies lain dari kerabat dekat temulawak adalah tanaman temu ireng
(C.aeruginosa Roxb.), temu putih (C.zeodaria Rosc.) dan temu kunyit
(C.domestica Val.). Temulawak mempunyai beberapa nama daerah, di
antarnya adalah koneng gede (Sunda), temo lobak (Madura), dan temu
lawak (Indonesia) (Rukmana, 2006).
4
sekali terbentu radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil, dan lain-
lain (Winarsi, 2007).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain,
berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral).
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian
tumbuhsn atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang
secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara
tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia
murni (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
a. Cahaya
Sinar dari panjang gelombang tertentu dapat menimbulkan
perubahan kimia pada simplisia, misalnya isomerasi, polimerasi,
raseminasi, dan sebagainya.
b. Oksigen Udara
Senyawa tertentu dalam simplisia dapat mengalami perubahan kimiawi
oleh pengaruh oksigen udara, terjadi oksidasi dan perubahan ini dapat
berpengaruh pada bentuk simplisia, misalnya yang semula cair dapat
berubah menjadi kental atau padat, berbutir-butir dan sebagainya.
c. Reaksi Kimia Intern
Perubahan kimiawi pada simplisia dapat disebabkan oleh reaksi
kimia intern misalnya oleh enzim, polimerasi, otooksidasi dan
sebagainya.
5
d. Dehidrasi
Apabila kelembaban luar lebih rendah dari simplisia, maka
simplisia perlahan-lahan akan kehilangan sebagian airnya sehingga
makin lama makin mengecil (kisut).
e. Penyerapan air
Simplisia yang higroskopis, misalnya agar-agar bila disimpan
dalam wadah terbuka akan menyerap uap air dari udara sehingga
menjadi bergumpal, basah atau mencair (lumer)
f. Pengotoran
Pengotoran pada simplisia dapat disebabkan oleh berbagai
sumber, misalnya debu atau pasir, ekskresi hewan, bahan-bahan asing
(misalnya minyak yang tumpah), dan fragmen wadah (karung goni)
g. Serangga
Serangga dapat menimbulkan kerusakan dan pengotoran pada
simplisia, baik oleh bentuk ulatnya maupun bentuk dewasanya.
Pengotor tidak hanya berupa kotoran serangga, tatapi juga sisa-sisa
metamorfosa seperti cangkang telur, bekas kepompong, anyaman
benang kepompong, bekas kulit serangga dan sebagainya.
h. Kapang
Bila kadar air dalam simplisia terlalu tinggi, maka simplisia
dapat berkapang. Kerusakan yang timbul tidak hanya terbatas pada
jaringan simplisia, tetapi juga akan merusak susunan kimia zat yang
dikandung dan malahan dari kapangnya dapat mengeluarkan toksin
yang dapat mengganggu kesehatan
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
a. Organoleptik
Pengamatan dilakukan terhadap bentuk, rasa, bau, dan warna.
b. Kadar air
≤ 10%
c. Keseragaman bobot
6
Dari 10 kemasan primer tidak lebih dari 2 kemasan yang
masing-masing bobot isinya menyimpang dari table dan tidak satu
kemasanpun yang bobot isinya menyimpang dua kali lipat dari tabel
berikut:
Bobot rata-rata serbuk Penyimpangan terhadap bobot rata-rata
≤ 0,1 g ± 15 %
> 0,1-0,5 g ± 10 %
> 0,5-1,5 g ±8%
> 1,5-6 g ±7%
>6g ±5%
d. Cemaran mikroba
- Angka Lempeng Total : ≤ 106 koloni/g
- Angka Kapang Khamir : ≤ 104 koloni/g
- Escherichia coli : negatif/ g
- Salmonella sp : negatif/ g
- Pseudomonas aeruginosa : negatif/ g
- Staphylococcus aureus : negatif/ g
e. Alfatoksin total (alfatoksin B1, B2, G1 dan G2)
Kadar alfatoksin total (alfatoksin B1, B2, G1 dan G2) ≤ 20 µg/kg
dengan syarat alfatoksin B1 ≤ 5 µg/kg
f. Cemaran Logam Berat
- Pb: ≤ 10 mg/kg atau mg/L atau ppm
- Cd: ≤ 0,3 mg/kg atau mg/L atau ppm
- As: ≤ 5 mg/kg atau mg/L atau ppm
- Hg: ≤ 0,5 mg/kg atau mg/L atau ppm
g. Bahan Tambahan
Tidak boleh mengandung pengawet, pengharum, dan pewarna.
Penggunaan pemanis yang diizinkan tercantum dalam peraturan Kepala
Badan Pengawasan Obat dan Makanan tentang persyaratan mutu obat
tradisional (BPOM, 2014).
3) Karakterisasi Simplisia dan Pembuatan Ekstrak
Mutu simplisia dapat diketahui dengan melakukan analisis kuantitatif dan
kualitatif. Analisis kuantitatif meliputi penentuan bahan organik asing, kadar
air, kadar abu, dan penentuan kandungan zat dalam simplisia dengan tujuan
untuk mengetahui kemurnian dan mutu simplisia nabati. Analisis kualitatif
meliputi pengujian organoleptik, makroskopik, dan mikroskopik untuk
mengetahui jenis simplisia, pengujian histokimia, dan identifikasi kimia
7
terhadap senyawa yang tersari untuk menentukan kelompok utama zat aktif
(Eliyanoor, 2012).
Ekstrak adalah sediaan pekat bahan cair atau bahan aantara atau bahan
padat yang umumnya secara konsisten dihasilkan dari bahan tanaman atau
hewan yang dikeringkan melalui teknik yang melibatkan penggunaan pelarut
secukupnya untuk memperoleh campuran senyawa (Heinrich, 2009). Proses
ekstraksi dapat dilakukan dengan cara maserasi, refluks, destilasi uap, dan lain
lain.
8
Selain proses metabolisme primer yang melibatkan proses kimiawi di
sebagian besar kehidupan, ada banyak sekali metabolit sekunder berupa
produk alami yang terdapat pada kelompok organisme tertentu (Sarker, 2006)
Alkaloid adalah senyawa tumbuhan alami yang memiliki sifat basa dan
mengandung sedikitnya satu atom nitrogen pada cincin heterosiklik. Minyak
atsiri adalah produk yang memiliki bau dan mudah menguap dari berbagai
spesies tumbuhan dan hewan. Karena minyak atsiri memiliki kecenderungan
untuk mengalami penguapan jika terpejan udara pada suhu sekitar sekalipun
senyawa ini selalu disebut sebagai minyak atsiri, minyak esensial, atau
minyak etereal. Polifenolik pada dasarnya mewakili sekumpulan antioksidan
alam yang digunakan sebagai nutrasetika dan ditemukan dalam apel, teh
hijau, dan anggur merah karena kemampuannya yang banyak untuk melawan
kanker dan juga dipertimbangkan untuk mencegah penyakit-penyakit jantung
hingga tingkat yang cukup tinggi. Flavonoid adalah zat-zat mirip flavon yang
merupakan antioksidan dan terkadang sebagai zat antiradang. Flavonoid
memunculkan aktivitasnya dengan cara menangkap’ radikal-radikal bebas’
secara hati-hati sehingga menghasilkan suatu ‘radikal yang cukup stabil’
yang selanjutnya mengalami reaksi dengan ‘radikal flavonoid’ lain untuk
menghasilkan dua non radikal (Kar,2013).
Antrakuinon merupakan suatu glikosida yang di dalam tumbuhan.
Senyawa antrakuinon dapat bereaksi dengan basa memberikan warna ungu
atau hijau. Saponin adalah suatu glikosida yang larut dalam air dan
mempunyaikarakteristik dapat membentuk busa apabila dikocok, serta mem
punyai kemampuanmenghemolisis sel darah merah. Saponin mempunyai
toksisitas yangtinggi. Berdasarkan strukturnya saponin dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu saponin yang mempunyai rangka steroid
dan saponin yang mempunyai rangka triterpenoid. Berdasarkan pada
strukturnya saponin akan memberikanreaksi warna yang
karakteristik dengan pereaksi Liebermann-Buchard (LB) (Harborne, 1987).
9
seperti vacuum liquid chromatography (VLC), size exclusion chromatograpy
(SEC), solid phase extraction (SPE) (Sarker, 2006).
10
6) Uji Antioksidan Ekstrak dan Fraksi
Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa pemberi elektron
(electron donors) dan secara biologis antioksidan merupakan senyawa yang
mampu mengatasi dampak negatif oksidan dalam tubuh seperti kerusakan
elemen vital sel tubuh Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat
penting karena berkaitan dengan kerja fungsi sistem imunitas tubuh, terutama
untuk menjaga integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel, dan
asam nukleat, serta mengontrol tranduksi signal dan ekspresi gen dalam sel
imun. (Winarsi, 2007).
Kekurangan metode ini adalah DPPH hanya dapat larut pada pelarut
organic dan tidak dapat mengukur aktivitas antioksidan dalam plasma karena
protein dalam plasma akan terpresipitasi pada pelarut alkohol (Kedare dan
11
Singh, 2011). Senyawa DPPH memiliki radikal bebas yang terdelokalisasi
pada molekulnya, sehingga memberikan warna ungu (Kedari dan Singh,
2011).
Berikut ini dapat dilihat resonansi DPPH dan reaksi DPPH dengan atom
H netral yang berasal dari senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan:
12
(Molyneux, 2003).
13
C. ALAT DAN BAHAN
a. Alat:
- Telenan - Timbangan analitik
- Kain Lap - Pisau
- Kain hitam - Keranjang
- Tampah - SpektrofotometriUV-Vis
- Label - Lempeng KLT
- Alat Penyerbukan - Wadah (toples)
- Ayakan - Corong
- Oven - Penangas air
- Mortir dan stamper - Pipa Kapiler
- Desikator - Krus porselen
- Kertas saring - Lampu spiritus
- Cawan berdasar rata - Erlenmeyer
- Pengaduk - Tabung reaksi
- Gelas beker - Pipet Pasteur
- Pipet tetes - Cawan porselen
- Waterbath - Penggiling
- Labu ukur - Pipet tetes
- Sintered Glass Butchner - Vakum
- Batang pengaduk - Tabung reaksi bertutup
- Alumunium foil - Pipet volume
Bahan
14
- n butanol-asam asetat-air (5:1:4)
- HCl 2%
- etilasetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27)v/v
- etilasetat-metanol-air (100:13,5:10)v/v
- NaCl
- larutan alkaloida 1% dalam etanol
- reagen mayer
- butanol-asamasetat-air (5:1:4)v/v fase atas
- - reagen dragendroff
- kloroform-metanol-air(64:50:10) v/v
- metanol teknis
- t butanol-asam asetat-air (4:5:1)v/v fase atas
- FeCl3 10 %
- sikloheksana-dietilamina (9:1)
- gelatin 1 %
- larutan rutin 0,1 % dalam metanol
- etanol
- larutan kuersetin 0,1 % dalam metanol
- larutan antrakinon 0,1 % dalam metanol
- KOH etanolis
- larutan saponin 0,1 % dalam etanol 75%
- reagen libermanburchard
- larutan asam tanat 0,05 % dalam etanol 70 %(atau asam galat)
- larutan kumarin 0,1 % dalam metanol
- uap amonia
- larutan digoksis lanatosida (5 mg dalam metanol)
- Silica Gel GF 254 - Etanol 95%
- Ekstrak Kering - 0,1 % Kurkumin 95% p
- Pelarut Kloroform (95:5) - Fase gerak heksana p : etilasetat (1:1)
15
D. SKEMA KERJA
1) Pembuatan Simplisia
Rimpang temulawak yang akan digunakan dikumpulkan
Rimpang temulawak ditimbang terlebih dahulu
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran dari rimpang temulawak
Rimpang dicuci dengan air mengalir
Rimpang yang sudah bersih dirajang ± 1 mm (setipis mungkin)
Rajangan rimpang temulawak disebar pada nampan kemudian ditutup kain
hitam
Rajangan rimpang dikeringkan dengan dimasukkan kedalam lemari pengering
Dilakukan pengecekan secara berkala
16
b. Pemerkisaan Mikroskopik
Serbuk simplisia diletakkan diatas obyek gelas yang ditetesiair dan kloral
hidrat di atas lampu spiritus
Diamati di bawah mikroskop untuk melihat fragmen pengenal dalam bentuk
sel, isi sel atau jaringan tanaman serbuk simplisia rimpang temulawak
17
Kadar abu tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah
dikeringkan diudara
18
Didiamkan selama 18 jam
Disaring cepat untuk menghindaripenguapan etanol 95%
20 mL filtrate diuapkan dalam cawan berdasar rata (yang telah ditara) di atas
penangas air hingga kering
Dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap
Dihitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 95%, kemudian
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara
19
2. Pembuatan Ekstrak
Ditimbang 50 gram serbuk simplisia kering dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 500 mL
Ditambahkan etanol 95% sebanyak 300 mL dan didiamkan selama 6 jam
sesekali diaduk
Didiamkan kembali tanpa pengadukan selama 24 jam
Setelah disaring, diambil filtrat maserasi dan dipekatkan sampai kering
Wadah untuk menampung filtrat ditimbang sebelum dan kemudian didapatkan
ekstrak
20
Ditambahkan serbuk natrium karbonat pH 8-9
4 mL kloroform dicampur diaduk pelan-pelan
Setelah kloroform memisah diambil dengan pipet Pasteur tambahkan
asam cuka 5 % sampai pH 5, diaduk lalu dipisahkan lapisan atas
dengan pipet
5 tetes pereaksi dragendroff ditambahkan untuk lapisan atas
Pada lapisan bawah ditambah HCl 1 % 10 tetes, diaduk, akan
terbentuk 2 lapisan
Lapisan atas diambil ditambahkan 2 tetes pereaksi dragemdroff,
adanya endapan menunjukkan adanya alkaloid
c. Uji Antrakinon
Serbuk simplisia 300 mg ditambahkan KOH 0,5N 10 mL dan larutan
hidrogen peroksida 1 mL dididihkan selama 2 menit
Setelah dingin, suspensi disaring melalui kapas
5 mL filtrat ditambah 10 tetes asam asetat glasial sampai pH 5
kemudian ditambahkan toluene 10 mL
Lapisan atas (5 mL) dipisahkan dengan dipipet kemudian dimasukkan
dalam tabung reaksi
Ditambahkan 0,5-1 mL KOH 0,5 N warna merah yang terbentuk
menunjukkan adanya senyawa antrakinon
21
Filtrat ditambahkan 5 mL larutan gelatin 1 %. Adanya endapan
menunjukkan adanya tanin
e. Uji Polofenol
2 g serbuk simplisia ditambahnkan 10 mL air , dipanaskan selama 10
menit dalam penangas air
2 g serbuk simplisia ditambahkan 10 mL penyari etanol 80 %
dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air
Keduanya disaring panas-panas setelah dingin masing-masing
ditambah 3 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna hijau-biru
menunjukkan adanya polifenol
f. Uji Steroid
2 mL filtrat dari hasil saring uji tanin diambil
Filtrat ditambahkan 0,4 mL asam 3,5-dinitrobenzoat dan 0,6 mL
kalium hidroksida 1 N dalam metanol
Terjadi warna biru ungu menunjukkan adanya kardenolida (glikosida
jantung)
2 mL filtrat lain diambil (untuk penegasan) dicampur dengan 2 mL
kloroform
Lapisan atas diambil dengan pipet, lapisan bawah ditambah 0,5 mL
asam 3,5 dinitrobenzoat
Warna biru-ungu menunjukkan adanya kardenolida
g. Uji saponin
300 mg serbuk simpleks dimasukkan dalam tabung reaksi,
ditambahkan 10 mL air, ditutup, dikocok kuat-kuat selama 30 detik
Tabung dalam posisi tegak selama 30 menit, apabila terdapat buih ≥ 3
cm menunjukkan adanya saponin
22
Uji lain dilakukan dengan pipa kapiler , filtrat pada uji tanin
dimasukkan dalam pipa kapiler sampai penuh
Kapiler diletakkan dalam posisi tegak cairan dibiarkan mengalir bebas
h. Uji Minyak atsiri
10 g serbuk simpleks ditambahkan 20 mL eter, dikocok, kemudian
disaring
Filtrat kemudian dikeringuapkan
Bila sedikit berbau aromatik, larutkan residu dengan sedikit etanol,
uapkan lagi sampai kering. Bila terjadi bau aromatik spesifik
menunjukkan adanya minyak atsiri
23
2. Uji Kualitatif Secara KLT
Serbuk simpleks (2-3 gram)
Disari dengan petroleum eter 10 mL 50°C selama 5
menit
24
1. Uji Kualitatif Secara KLT
Serbuk simpleks (2-3 gram)
Disari dengan petroleum eter 10 mL selama 5 menit
Keterangan:
Larutan I : untuk uji alkaloida tersier
25
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Ekstrak
1. Fraksinasi Ekstrak
Sintered glass butchner, erlenmeyer, dan ukuran vakum untuk fraksinasi dipasang
Kertas saring dimasukan ke dalam kolom sesuai diameter kolom
25 cm silica gel GF 254 dimasukan ke dalam kolom sedikit demi sedikit sambil
divakum fase diam
Silica Gel GF 254 dicampur dengan ekstrak kering menggunakan mortir dan
stemper sambil diaduk perlahan hingga mendapat campuran homogen
Serbuk ekstrak free flowing dipindahkan sedikit demi sedikit ke sintered glass
butcher
Kertas saring sebesar diameter kolom dimasukan diatas serbuk ekstrak free
flowing
Perlarut dituangkan secara perlahan pada pemakaian kertas saring melalui dinding
Proses fraksinasi berlangsung hingga tidak ada larutan lagi yang menetes
Hasil dan Fraksinasi dituangkan ke dalam cawan porselen dan diberi label sesuai
urutan fraksinasi
2. Monitor fraksi dan ekstrak dengan KLT
Fraksi dan ekstrak yang telah didapat dimonitor dengan KLT
Fraksi dikeringkan lalu dilakukan penimbangan tiap fraksi
26
a. Uji Kuantitatif Kurkuminoid
Fraksi yang didapat, ektrak yang difraksinasi dan standar kurkuminoid ditotalkan
pada plate KLT
Dievaluasi dengan fase gerak n Heksana: etil asetat (1:3)
Dibaca dengan UV 254 dan 366 nm
Dilakukan penyempitan dengan reagen vanilin asam sulfat
b. Uji Kuantitatif Kurkumin / Penetapan kurkuminoid
Larutan Uji
Timbang seksama lebih kurang 50mg ekstrak
Dilarutkan dalam 25ml etanol 95% p dalam tabung reaksi
Saring ke dalam labu ukur 50 mL
Kertas saring dibilas dengan etanol 95% p secukupnya sampai tanda batas
Larutan Pembanding
Kurkumin 0,1% dalam etanol 95% p dibuat encer hingga diperoleh serapan yang
mengindikasi larutan uji
Pengukuran
25 mL larutan uji dari enceran larutan pembanding ditotalkan pada lempeng silica
gel GF 254
Dikeringkan dengan fase gerak heksana p etil asetat p (1:1)
27
Diukur secara kromatografi lapis tipis – desitometri pada panjang gelombang 425
nm
Hitung kadar kurkuminoid dalam larutan uji
28
b. Penentuan Reaction Time
5,0 mL larutan DPPH 100 μg/mL sebanyak 5,0 mL dan dikocok
hingga homogen
Ditambahkan larutan stok kurkumin 1000 μg/mL sebanyak 5,0 mL dan
dikocok hingga homogen
Diukur serapannya setiap 5 menit, selama 45 menit
7. Validasi Metode DPPH
a. Akurasi
Akurasi dilakukan dengan mengukur %recovery (perolehan kembali)
dari sampel. %recovery dapat diperoleh dengan melakukan adisi
larutan standar pada sampel ekstrak
Dimasukkan 5 mL ekstrak ke dalam labu takar 10,0 mL, kemudian
ditambahkan 5 mL larutan seri dengan konsentrasi 20; 60; dan 80 μg/mL
Diukur abosrbansinya pada λmax dengan spektrofotometer UV-Visible
b. Presisi
Presisi diukur dengan menghitung CV yang diperoleh dengan cara
mengukur absorbansi larutan adisi maisng-masing konsentrasi
sebanyak tiga kali
Dihitung standar deviasinya (SD) dan dibagi dengan rata-ratanya
c. Linearitas dan Rentang
Linearitas dan rentang metode ditentukan melihat persamaan regresi
yang diperoleh dari kurva baku hasil pengukuran serapan larutan seri
kurkumin
Diperoleh nilai r dari persamaan regresi tersebut menunjukkan linearitas
metode
8. Pengukuran Absorbansi Larutan Uji
Dimasukkan 5 mL larutan DPPH 100 μg/mL ke dalam tabung reaksi
bertutup dan telah dilapisis alumunium foil
Ditambahkan larutan seri larutan sampel ektrak dan fraksi masing-
masing sebanyak 5,0 mL
29
Campuran dikocok sampai homogen dan didiamkan selama reaction
time, kemudian diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Visible
pada maksimum
9. Analisis Hasil
a. Aktivitas Penangkapan Radika Bebas DPPH (%S) Dihitung dengan
Rumus
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑜𝑙−𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖
% aktivitas antioksidan (%S) = × 100%
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙
Dibuat hubungan regresi linier antara konsentrasi larutan sampel ekstrak
dan fraksi dengan nilai %S, yang kemudian digunakan untuk
menentukan IC50
b. Akurasi suatu metode dapat dilihat dari %recovery (perolehan
kembali) sampel yang digunakan
𝑋𝑛−𝑋𝑜
%recovery = − 100%
𝑋′
Xn = konsentrasi larutan setelah adisi
Xo = konsentrasi tanpa adisi
X’ = konsentrasi (jumlah) adisi
c. Presisi suatu metode dapat dilihat dari nilai CV. Nilai CV diperoleh
dengan membaginilai standar deviasi (SD) dengan rata-rata
30
E. DATA PENGAMATAN
1) Pembuatan Simplisia
1. Organoleptis
31
2. Mikroskopik
Literatur Pemanasan
(FHI) Sebelum Sesudah Keterangan
a a = berkas
a a
pengangkut
b = parenkim
korteks
b b
b
c = serabut
c sklerenkim
c c
d = butir
d amilum
d d
e e
e
e = jaringan
gabus
32
3. Penetapan Kadar Abu
Cawan Porselen = 30,1200 g
Cawan Panas = 30,0976 g
Isi = 2,0000 g
Cawan Porselen + Isi = 32,0976 g
Setelah dipanaskan abu I = 30,2083 g
Setelah dipanaskan abu II = 30,2082 g
Selisih = 0,0001 g
Berat abu = 30,2082 - 30,0976 = 0,1106 g
Kadar abu total = Berat abu sisa pijar : Berat simplisia x 100%
= 0,1106 : 2 × 100%
= 5,53%
Kadar abu tidak larut dalam asam = Berat abu sisa pijar tidak larut dalam
asam : Berat abu x 100%
= 0,0082 : 0,0553 × 100%
= 14,83%
33
Selisih = 0,0001 g
Tidak ada sisa abu pada porselin, maka 0 g
Kadar abu larut = (Berat abu – Berat abu sisa pijar larut dalam air) : berat abu
x 100%
= (0,0553 - 0) : 0,0553 x 100%
= 100%
6. Kadar Sari larut air
Cawan kosong = 30,5858 g
Cawan Isi = 53,3110 g
Setelah dioven selama 6 hari
Timbangan I = 30,7468 g
Timbangan II = 30,7475 g
Timbangan III = 30,7471 g
Selisih = 0,0004 g
Berat Sari = 30,7471 g - 30,5858 g = 0,1613 g
Bobot Filtrat = 20 mL
Kadar sari larut air = Berat sari x 100 : Berat simplisia x 20 x 100%
= 0,16 x 100 : 5x 20 x 100%
= 16,13%
7. Penetapan kadar sari Larut dalam Etanol
Cawan kosong = 37,8179 g
Cawan Isi = 50,2932 g
Setelah dioven selama 5 hari
Timbangan I = 37,8179 g
Timbangan II = 37,8122 g
Timbangan III = 37,8118 g
34
Selisih = 0,0004 g
Berat Sari = 37,8118 g - 37,7579 g = 0,0539 g
Bobot Filtrat = 20 mL
Kadar sari larut Etanol = Berat sari x 100 : Berat simplisia x 20 x 100%
= 0,0539 x 100 : 5 x 20 x 100%
= 5,39 %
8. Penetapan kadar air
ρair = 1 g/cm3
Titik didih air = 100oC
Volume air = 3 mL
Bobot simplisia = 10 g
ρtoluen = 0,8
Titik didih toluen = 110,6o C
35
Setelah dioven
Timbangan I = 74,6503 g
Timbangan II = 74,6591 g
Timbangan III = 74,6549 g
Timbangan IV = 74,6549 g
Timbangan V = 74,6589 g
Selisih = 0,0001 g
Berat Ekstrak = 74,6589 g - 69,1706 g
= 5,4889 g
Kadar Ekstrak = Berat ekstrak sisa pijar : Berat ekstrak x 100%
= 5,4889 : 50,0123 ×100%
= 10,975%
36
Polifenol Tidak memberi warna hijau-
biru, uji (-)
37
2. Uji Kualitatif secara KLT
38
LARUTAN I
LARUTAN II
LARUTAN III
ALKALOID
39
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak
Data Kurva Baku
100 40418,9
cp = 5450,925
y = 10,088x + 30281,070
42028,5 = 10,088x +30281,070
42028,5−30281,070
x =
10,088
cu = 1164,495
𝐴𝑢 𝐶𝑝
% = 𝐴𝑝 × 𝐶𝑢 × 𝑓 × 100%
42028,5 5450,925
= × 1164,495 × 1 × 100%
85270
40
= 0,493 × 4,681 × 1 × 100%
= 227,667%
Perhitungan Rf
Rf kontrol = 2,7 cm : 15 cm = 0,1800
Rf fraksi 1&3 = 2,8 cm : 15 cm = 0,1867
Rf fraksi 2 = 2,9 cm : 15 cm = 0,1933
Rf fraksi 4 = 2,3 cm : 15 cm = 0,15133
Rf fraksi 5 = 2,5 cm : 15 cm = 0,1667
Rf fraksi 6 = 2,3 cm : 15 cm = 0,1533
254 nm
365 nm
41
1 mg/mL . 0,2 mL = C2 . 10 mL
C2 = 0,02 mg/mL
C Seri 0,4 mL
C1V1 = C2V2
1 mg/mL . 0,4mL = C2 . 10 mL
C2 = 0,04 mg/mL
C Seri 0,6 mL
C1V1 = C2V2
1 mg/mL . 0,6 mL = C2 . 10 mL
C2 = 0,06 mg/mL
C Seri 0,8 mL
C1V1 = C2V2
1 mg/mL . 0,8 mL = C2 . 10 mL
C2 = 0,08 mg/mL
C Seri 1 mL
C1V1 = C2V2
1 mg/mL . 1mL = C2 . 10 mL
C2 = 0,1 mg/mL
Akurasi ( %Recovery)
Absorbansi
Xn−Xo
% Recovery = x 100%
X′
42
mg 1,989−0,215
% Recovery konsentrasi 0,02 ⁄mL = x 100% = 62,60%
2,834
mg 2,121 − 0,611
% Recovery konsentrasi 0,06 ⁄mL = x 100%
2,834
= 53,28%
mg 2,290 − 0,847
% Recovery konsentrasi 0,02 ⁄mL = x 100%
2,834
= 50,92%
Konsentrasi vs Absorbansi
1.2 1.042
1 0.847
Absorbaansi
0.8
0.611
0.6 a = - 0,023
0.369 b = 10,660
0.4 0.215 r = 0,998
0.2 y = 10,660x – 0,023
0
0.02 0.04 0.06 0.08 1
Konsentrasi
Perhitungan %S Fraksi
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙−𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
%S= × 100%
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝐷𝑃𝑃𝐻
2,834−1,982
Fraksi 0,1 mL %S = × 100% = 30,064%
2,834
2,834−1,445
Fraksi 0,2 mL %S = × 100% = 49,012%
2,834
2,834−1,445
Fraksi 0,3 mL %S = × 100% = 49,012%
2,834
2,834−1,644
Fraksi 0,5 mL %S = × 100% = 41,990%
2,834
2,834−1,526
Fraksi 0,7 mL %S = × 100% = 46,154%
2,834
Konsentrasi Fraksi
C = massa : volume = 20 mg : 10 mL = 2 mg/mL
C Fraksi 0,1 mL
V1C1 = V2C2
0,1 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,04 mg/mL
C Fraksi 0,2 mL
V1C1 = V2C2
43
0,2 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,08 mg/mL
C Fraksi 0,3 mL
V1C1 = V2C2
0,3 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,12 mg/mL
C Fraksi 0,5 mL
V1C1 = V2C2
0,5 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,2 mg/mL
C Fraksi 0,7 mL
V1C1 = V2C2
0,7 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,28 mg/mL
IC50 Fraksi
Volume Konsentrasi %S a = 38,635
(mL) (mg/mL) (%)
b = 32,022
Fraksi
r = 0,390
0,1 0,04 30,064
0,2 0,08 49,012 y = bx + a
0,3 0,12 49,012
50 = 32,022x + 38,635
0,5 0,2 41,990
0,7 0,28 46,154 x = 0,355
IC50 = 0,355
x̅ = 77,813
SD = 13,144
CV = 16,89%
44
Konsentrasi vs % S
60
49.012 49.012
46.154
50 41.99
Absorbansi
40
30.064
30
a = 38,635
20 b = 32,022
10 r = 0,390
y = 32,022x +38,635
0
0.04 0.08 0.12 0.2 0.28
Konsentrasi
Perhitungan %S Ekstrak
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙−𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
%S= × 100%
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝐷𝑃𝑃𝐻
2,834−1,117
Ekstrak 0,1 mL %S = × 100% = 60,586%
2,834
2,834−0,832
Ekstrak 0,2 mL %S = × 100% = 70,642%
2,834
2,834−0,675
Ekstrak 0,3 mL %S = × 100% = 76,182%
2,834
2,834−0,330
Ekstrak 0,5 mL %S = × 100% = 88,356%
2,834
2,834−0,199
Ekstrak 0,7 mL %S = × 100% = 92,978%
2,834
Konsentrasi Ekstrak
C = massa : volume = 20 mg : 10 mL = 2 mg/mL
C Ekstrak 0,1 mL
V1C1 = V2C2
0,1 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,04 mg/mL
C Ekstrak 0,2 mL
V1C1 = V2C2
0,2 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,08 mg/mL
C Ekstrak 0,3 mL
V1C1 = V2C2
0,3 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,12 mg/mL
C Ekstrak 0,5 mL
V1C1 = V2C2
45
0,5 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,2 mg/mL
C Ekstrak 0,7 mL
V1C1 = V2C2
0,7 mL×2 mg/mL = 5 mL×C2
C2 = 0,28 mg/mL
IC50 Ekstrak
Volume Konsentrasi %S (%) a = 58,575
(mL) (mg/mL)
b = 133,150
Ekstrak
0,1 0,04 60,586 r = 0,975
0,2 0,08 70,642
y = bx + a
0,3 0,12 76,182
0,5 0,2 88,356 50 = 58,575x + 133,150
0,7 0,28 92,978 x = - 0,066
IC50 = - 0,066
x̅ = 77,749
SD = 13,153
CV = 16,917
Konsentrasi vs % S
92.987
100 88.356
76.182
80 70.642
60.586
Absorbansi
60 a = 58,575
b = 133,150
40
r = 0,975
20 y = 133,150 x + 58,575
0
0.04 0.08 0.12 0.2 0.28
Konsentrasi
46
F. HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Pembuatan Simplisia
Pada praktikum ini dilakukan pembuatan simplisia Curcuma
xanthorriza Roxb. Tujuan dari praktikum pembuatan simplisia adalah
supaya mahasiswa dapat melakukan pembuatan simplisia. Bahan baku
untuk pembuatan simplisia adalah Curcuma xanthorriza Roxb. dari
suku Zingiberaceae.
47
menggunakan air yang digenang (seperti di dalam ember) kotoran yang
seharusnya dibersihkan dari rimpang temulawak tidak dapat bersih
secara keseluruhan. Pencucian dapat menghilangkan tanah-tanah yang
masih menempel pada rimpang temulawak serta mengurangi jumlah
mikroba awal dari simplisia yang akan dibuat. Namun, cara sortasi dan
pencucian sangat mempengaruhi jumlah mikroba awal. Misalnya, jika
air yang digunakan adalah air kotor maka mikroba yang menempel pada
rimpang temulawak akan semakin banyak dan dapat memicu
pertumbuhan mikroba lain.
48
1. Suhu pengeringan. Apabila suhu pengeringan terlalu tinggi, maka
akan merusak zat aktif yang terdapat pada rimpang temulawak
tersebut. Sebaliknya, jika suhu pengeringan terlalu rendah, maka
rajangan temulawak yang akan dijadikan simplisia akan semakin
lama keringnya.
2. Kelembaban udara. Semakin lembab udara maka simplisia akan
semakin sulit untuk kering.
3. Luas permukaan. Semakin luas permukaan rajangan, semakin cepat
rajangan mengering karena banyak bagian yang terpapar sinar
matahari atau suhu panas.
4. Aliran udara. Jika simplisia diletakkan saling berdekatan, maka
sirkulasi udaranya semakin tidak lancar dan membuat simplisia
menjadi lembab. Sebaliknya, apabila simplisia diletakkan tidak
terlalu dekat (renggang), maka sirkulasi udara akan semakin lacar
dan membuat rimpang temulawak yang akan dijadikan simplisia
kering dengan sempurna.
5. Waktu pengeringan. Jika semakin lama waktu pengeringan, maka
akan semakin besar kemungkinan untuk kehilangan zat aktif yang
terdapat pada rajangan. Sebaliknya, semakin singkat waktu
pengeringan maka akan didapatkan simplisia yang lembab.
Sehingga dibutuhkan waktu pengeringan yang pas dan disesuaikan
dengan suhunya.
49
serta mikroba pathogen negatif. Namun pada praktikum ini tidak
dilakukan pengukuran ALT dan AKK pada simplisia, sehingga tidak
dapat mengetahui berapa AKK dan ALT.
50
kembali. Pada wadah serbuk diberi label dan silica gel agar serbuk tidak
mudah lembab.
1. Pemerikasaan makroskopik
Uji ini bertujuan untuk menentukan ciri khas dari simplisia
dengan pengamatan secara langsung berdasarkan bentuk dan ciri-
ciri simplisia menurut literature secara umum. Pada simplisia yang
didapatkan memiliki diameter 2,7 cm, melengkung tidak beraturan,
berwarna jingga tua, berbau khas temulawak. Diameter tidak sesuai
dengan teori (6 cm) karena rimpang temulawak yang didapatkan
berukuran kecil. Warna, bau, dan bentuk sudah sesuai dengan teori
menurut Farmakope Herbal Indonesia.
2. Pemeriksaan mikroskopik
Uji ini bertujuan untuk melihat penampang-penampang yang
khas dari simplisia. Uji ini dilakukan dengan cara meletakkan serbuk
simplisia di atas kaca objek kemudian ditetesi air dan kloral hidrat
dan diamati dibawah mikroskop. Kemudian setelah diamati dibakar
diatas bunsen, hal ini bertujuan untuk memperjelas penampang yang
terbentuk. Pada simplisia temulawak didapatkan penampang berkas
pengangkut, parenkim korteks, serabut sklerenkim, butir amilum,
51
dan jaringan gabus. Penampang yang didapatkan sudah sesuai
dengan teori berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia.
3. Penetapan kadar abu
Penetapan kadar abu bertujuan untuk mengetahui tingkat
pengotor oleh logam-logam dan silikat. Penetapan kadar abu
dilakukan dengan cara dipijarkan kedalam furnish. Pada percobaan
setelah dihitung bobot tetap didapatkan kadar abu 5.53 % hal ini
sesuai tidak sesuai dengan teori yaitu <4,8% (menurut Farmakope
Herbal Indonesia) dapat disebabkan karena pengerjaan yang kurang
bersih.
4. Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
Penetapan kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk
mengetahui kandungan terendah zat pengotor yang tidak larut asam
yaitu silikat. Pada percobaan ini digunakan HCl untuk melarutkan
pengotor seperti logam kemudian pemanasan bertujuan untuk
mempercepat pelarutan. Kadar abu yang diperoleh pada praktikum
ini 14,83%. Hal ini tidak sesuai dengan teori yaitu <0,7% (menurut
Farmakope Herbal Indonesia). Hasil yang tidak sesuai dapat
disebabkan karena pada saat proses pengeringan belum kering dan
proses pengerjaan yang kurang bersih.
5. Penetapan kadar abu larut dalam air
Penetapan kadar abu larut air bertujuan untuk mengetahui
kandungan zat anorganik yang larut dalam air pada simplisia uji.
Pemanasan juga bertujuan untuk mempercepat pelarutan. Diperoleh
kadar abu 100%
6. Penetapan kadar sari larut dalam air
Penetapan kadar sari larut dalam air bertujuan untuk mengetahui
kadar zat aktif/kadar sari zat terendah yang larut dalam air. Pada
percobaan ini digunakan air kloroform untuk melautkan kandungan
kimia yang larut dalam air. Kadar sari yang diperoleh 16,13%. Hal
ini sesuai dengan teori menurut Farmakope Herbal Indonesia yaitu
>9,1%. Kadar sari yang sudah sesuai dengan teori menandakan zat
aktif yang larut dalam air yang terdapat dalam simplisia cukup
tinggi.
7. Penetapan kadar sari larut etanol
Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol bertujuan untuk
mengetahui kadar terendah zat aktif yang larut dalam etanol.
Diperoleh kadar sari 5,39%. Hal ini sesuai dengan teori menurut
Farmakope Herbal Indonesia >3,6%. Kadar sari yang sudah sesuai
dengan teori menandakan zat aktif yang larut dalam etanol yang
terdapat dalam simplisia temulawak cukup tinggi.
52
8. Penetapan bahan organik asing
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui besarnya cemaran
asing pada simplisia uji. Pada percobaan didapatkan 0% dari 25,15
g sampel yang diambil. Hal ini menandakan tidak ada cemaran asing
pada simplisia temulawak.
9. Penetapan kadar air dengan destilasi toluene
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar air yang
terdapat dalam simplisia menggunakan bahan organik toluen.
Setelah didestilasi dan air sudah tidak menetes maka akan
didapatkan kadar air. Kadar air yang didapatkan sebesar 30%, hasil
yang didapat melebihi batas keamanan yaitu <10% hal ini
menandakan bahwa saat pengeringan, simplisia belum benar-benar
kering atau kesalahan pada saat penyimpanan yang menyebabkan
serbuk simplisia lembab. Penyimpanan yang baik adalah ditempat
yang kering, tertutup, dan terhindar dari sinar matahari.
Pembuatan Ekstrak
53
Uji Kualitatif Secara Kimiawi
1. Pembuatan serbuk simplisia
Pembuatan serbuk diawali dengan tahap pengumpulan bahan,
sortasi basah, pencucian, pengeringan, pembuatan serbuk dengan cara
dimasukkan mesin penggiling, kemudian diayak. Tujuan dari sortasi
basah adalah menghilangkan bahan-bahan asing yang tidak diinginkan.
Pencucian dilakukan menggunakan air mengalir dan dikeringkan
dengan cepat bertujuan untuk menghindari jamur yang tumbuh yang
akan merusak simplisia. Setelah kering digiling dengan alat penggiling
kemudian diayak untuk menghasilkan serbuk simplisia sesungguhnya.
Metode yang digunakan untuk menemukan senyawa bioaktif pada suatu
tanaman disebut skrining fitokimia.
2. Uji Alkaloida
Uji ini bertujuan untuk menemukan adanya senyawa golongan
alkaloida basa kuartener atau tersier dari simplisa. Alkaloid merupakan
golongan metabolit sekunder yang paling banyak dapat ditemukan pada
tanaman. Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa
yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen. Penambahan basa
berfungsi untuk menunjukkan adanya alkaloida basa tersier atau
kuartener. Dalam percobaan ini digunakan natrium karbonat sampai pH
8-9, natrium karbonat juga berfungsi sebagai pengikat senyawa fenolik.
Dilakukan penambahan kloroform untuk mendapat senyawa alkaloid
karena sifat alkaloid yang larut dalam kloroform kemudian filtrate
diambil dan ditambahkan dengan asam cuka hingga pH menjadi 5. Pada
uji digunakan reagen dragendroff yang mengandung bismuth nitrat dan
merkuri klorida dalam nitrit berair bereaksi dengan alkaloid membentuk
senyawa adisi tidak larut yang akan memberikan warna jingga. Pereaksi
mayer mengandung kalium iodide dan merkuri klorida spesifik terhadap
alkaloid kuartener dan berfungsi untuk mengendapkan alkaloid.
Penambahan HCl kemudian untuk membentuk garam alkaloid. Garam
yang terbentuk nantinya akan berekasi dengan reagen dan memberikan
hasil positif berupa endapan. Pada percobaan ini didapatkan hasil positif
pada alkaloida basa tersier ditandai pada lapisan bawah setelah
ditambahkan HCl 1% (10 tetes) kemudian terbentuk dua lapisan, lapisan
atas diberi pereaksi dragendorff 2 tetes dan terbentuk endapan.
Sedangkan pada alkaloid basa kuartener memberi hasil negative.
Menurut literatur, hasil uji alkaloid pada ekstrak etanol ada tapi sedikit
dan pada ekstrak aqueous negatif (Halim, Tan, Ismail, and Mahmud,
2012). Hasil yang didapatkan sesuai dengan teori.
54
3. Uji Antrakinon
Uji ini bertujuan untuk menunjukkan adanya senyawa golongan
antrakinon. Antrakinon merupakan senyawa organic aromatic dan
merupakan turunan dari antrasena. Pada percobaan ini dilakukan
penambahan KOH 0,5 N dan H2O2 yang masing-masing bertujuan untuk
memberikan suasana basa dan untuk menghidrolisis glikosida dan
mengoksidasi antron atau antranol menjadi antrakinon, sedangkan
hidrogen peroksida berfungsi sebagai pemberi suasana asam. Kemudian
disaring dengan kertas saring, filtrate yang didapat ditambahkan asam
asetat glasial yang berfungsi untuk mengubah pH menjadi 5.
Penambahan toluene berfungsi untuk menghilangkan senyawa-senyawa
pengotor yang mungkin dapat mempengaruhi hasil reaksi yang akan
dilakukan. Pada uji ini didapatkan hasil negatif karena tidak ada
perubahan warna merah pada lapisan air. Menurut literatur, hasil uji
antrakinon pada ekstrak etanol dan pada ekstrak aqueous negatif
(Halim, Tan, Ismail, and Mahmud, 2012). Hasill yang didapatkan sesuai
dengan teori.
4. Uji Tanin (zat samak)
Uji ini bertujuan untuk menunjukkan ada tidaknya tanin dalam
sampel. Pada uji ini penambahan NaCl 2% bertujuan untuk
mempertinggi penggaraman dari tanin-gelatin sehingga reaksi akan
menjadi lebih sensitif. Penambahan gelatin bertujuan untuk memberikan
endapan putih. Adanya tanin akan mengendapkan protein pada gelatin,
tanin akan berekasi dengan gelatin membentuk kopolimer yang tidak
larut dalam air. Dari percobaan yang dilakukan, menunjukkan hasil
negatif karena tidak terbentuknya endapan. Menurut literatur, hasil uji
tanin pada ekstrak etanol dan pada ekstrak aqueous negatif (Halim, Tan,
Ismail, and Mahmud, 2012). Hasil yang didapatkan sesuai dengan teori.
5. Uji Polifenol
Uji ini bertujuan untuk menunjukkan adanya senyawa golongan
polifenol pada sampel. Polifenol berperan dalam memberi warna pada
suatu tumbuhan seperti warna daun saat musim gugur. Pada uji ini
penambahan etanol 80% dan air berfungsi sebagai pelarut senyawa
polifenol dan perekasi besi (III) klorida digunakan sebagai indikator
yang menunjukkan adanya polifenol dengan pembentukan warna hijau-
biru. Penambahan besi (III) klorida ditambahkan saat filtrate dingin
karena besi (III) klorida dapat teroksidasi dan menjadi zat yang bersifat
toksik. Pada uji ini didapatkan hasil negatif karena tidak terjadi
perubahan warna menjadi hijau biru. Menurut literatur, hasil uji fenol
pada ekstrak etanol sangat banyak dan pada ekstrak aqueous terdapat
55
senyawa fenol (Halim, Tan, Ismail, and Mahmud, 2012). Hasil yang
didapatkan tidak sesuai dengan teori.
6. Uji Steroid
Uji ini bertujuan untuk menunjukkan adanya kardenolida (glikosida
jantung) dalam sampel. Kerdenolida merupakan steroid dengan atom
karbon 23 yang mempunyai rantai samping cincin laktan pentasiklik
dengan satu ikatan rangkap dan satu buah gugus hidroksil pada C-14.
Pada uji dilakukan penambahan dengan air dan asam 3,5-dinitrobenzoat
serta KOH dalam methanol. Tujuan penambahan asam 3,5-
dinitrobenzoat adalah agar tidak terjadi reaksi antara lakton tidak jenuh
pada kardenolida dengan pereaksi 3,5-dinitrobenzoat karena gugus nitro
pada senyawa 3,5-dinitrobenzoat merupakan gugus pengarah meta
sehingga dapat diperkirakan ikatan yang terjadi antara atom oksigen
pada gugus karbonil dengan atom karbon pada posisi meta pada 3,5-
dinitrobenzoat. Pada uji ini hasil yang didapatkan hasil negatif karena
tidak terbentuk warna biru ungu, pada penegasan juga tidak terbentuk.
Menurut literatur, hasil uji glikosida kardiak pada ekstrak etanol positif
dan pada ekstrak aqueous negatif (Halim, Tan, Ismail, and Mahmud,
2012).
7. Uji Saponin
Uji ini bertujuan untuk menunjukkan adanya senyawa golongan saponin
pada sampel. Saponin adalah senyawa golongan glikosida yang
mempunyai struktur steroid dan mempunyai sifat-sifat khas yang dapat
membentuk larutan koloidal dalam air dan membentuk buih bila
dilakukan pengocokan. Berdasarkan uji yang dilakukan didapatkan hasil
positif karena tinggi cairan uji kuran dari setengah dari tinggi air suling.
Menurut literatur, hasil uji saponin pada ekstrak etanol positif dan pada
ekstrak aqueous terdapat saponin namun sedikit (Halim, Tan, Ismail,
and Mahmud, 2012). Hasil yang didapatkan sesuai dengan teori.
8. Uji Minyak Atsiri
Uji ini bertujuan untuk menunjukkan adanya kandungan minyak
atsiri dalam sampel. Minyak atsiri merupakan senyawa minyak yang
memiliki aroma yang khas. Simplisia ditambahkan eter yang berfungsi
sebagai pelarut kemudian dikeringuapkan untuk mengidentifikasi bau
yang terbentuk. Hasil percobaan ini didapatkan hasil positif karena
setelah dikeringuapkan menimbulkan aroma yang khas. Menurut
literature terdapat minyak atsiri dalam temulawak (BPOM, 2014). Hasil
yang didapatkan sesuai dengan teori.
56
Uji Kualitatif KLT
57
burchard, atau vanillin asam sulfat atau uap ammonia kemudian dilihat
kembali dibawah sinar UV 254 nm dan 365 nm
58
pengukuran Rf pada fraksi-fraksi yang memiliki noda yang berada pada
posisi yang mirip dengan standar alkaloid. Didapatkan data Rf kontrol =
0,1800; Rf fraksi 1&3 = 0,1867; Rf fraksi 2 = 0,1933; Rf fraksi 4= 0,15133;
Rf fraksi 5 = 0,1667; dan Rf fraksi 6 = 0,1533. Tidak dilakukan pengukuran
Rf fraksi 7, 8&9, dan 10 karena tidak meninggalkan noda yang sama dengan
standar alkaloid.
59
digunakan berupa ekstrak dan fraksi dari temulawak. Kurkumin adalah
senyawa yang berasal dari tanaman temulawak dan sejenisnya. Kurkumin
dapat dimanfaatkan sebagai senyawa antioksidan. Antioksidan adalah suatu
senyawa atau komponen kimia yang dalam kadar atau jumlah tertentu
mampu menghambat atau memperlambat kerusakan akibat proses oksidasi.
Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif yang
secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak
berpasangan. Radikal bebas adalah atom molekul atau senyawa yang dapat
berdiri sendiri yang mempunyai elektron tidak berpasangan oleh karena itu
bersifat sangat reaktif dan tidak stabil. Elektron yang tidak berpasangan
selalu berusaha untuk mencapai pasangan baru sehingga mudah bereaksi
dengan zat lain dalam tubuh (Winarsi 2007).
(Purba, 2009).
Metode ini sering digunakan untuk menguji senyawa yang berperan
sebagai donor hydrogen dan mengevaluasi aktivitas antioksidannya serta
mengkuantifikasi jumlah kompleks radikal-antioksidan yang terbentuk.
DPPH dapat digunakan untuk menguji kemampuan antioksidan yang
terkandung dalam makanan. Prinsipnya dimana elektron ganjil pada
molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang
516 nm yang berwarna ungu. Warna ini akan berubah dari ungu menjadi
kuning apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hydrogen
yang disumbangkan senyawa antioksidan.Gugus kromofor dan auksokrom
pada radikal bebas DPPH memberikan absorbansi maksimum pada panjang
gelombang 517 nm sehingga menimbulkan warna ungu.DPPH akan
berubah dari ungu menjadi kuning seiring penambahan antioksidan yaitu
60
saat electron tunggal pada DPPH berpasangan dengan hidrogen dari
antioksidan (Kedare, and Singh, 2011).
Struktur DPPH sebagai berikut:
(Purba, 2009).
Metode DPPH dipilih karena DPPH merupakan radikal bebas yang
paling stabil diantara radikal bebas lainnya. Semakin besar antioksidannya
maka konsentrasi DPPH semakin menurun.
Pada praktikum ini dilakukan pembuatan DPPH dengan kadar 1
mg/mL, DPPH harus ditutup dengan alumunium foil karena DPPH bersifat
fotosensitif. Pembuatan DPPH dilakukan dengan cara melarutkan DPPH
dengan methanol p.a. Sebelum dilarutkan dengan methanol p.a DPPH diberi
DMSO terlebih dahulu agar DPPH menjadi lebih mudah larut. Dari larutan
DPPH tersebut dilakukan pengukuran operating time (OT) dan panjang
gelombang maksimum (λ max).
61
menghasilkan selisih yang terlalu besar, sehingga OT ditetapkan pada menit
25.
62
berturut pada masing-masing konsentrasi adalah 60,586%; 70,642%;
76,182%; 88,356%; 92,978%. Kemudian dihitung nilai a = 58,575, b=
133,150, r= 0,975. Nilai r mendekati 1 menunjukkan data tersebut linier.
Kemudian IC50 dihitung dan didapatkan nilai IC50 -0,066. Hasil ini
menunjukkan konsentrasi yang mampu menghambat 50% aktivitas radikal
bebas. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin kuat aktivitasnya dalam
menangkal radikal bebas.
63
G. KESIMPULAN
1) Pembuatan Simplisia
Simplisia yang dihasilkan pada percobaan kali ini adalah simplisia yang
berasal dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dengan
bentuk kepingan tipis ringan, berbentuk bundar atau jorong, ringan, keras,
rapuh, berwarna kuning kecoklatan, dan berbau khas temulawak. Berat
simplisia temulawak yang didapatkan adalah 753,46 gram.
2) Pembuatan Serbuk Simplisia
Simplisia yang telah dikeringkan dibuat serbuk dimana serbuk dari
simplisia temulawak memiliki bentuk serbuk halus, berwarna kuning
kecoklatan, dan berbau khas temulawak. Berat simplisia setelah
diserbukkan dan diayak adalah 150,37 gram.
3) Karakterisasi Simplisia dan Pembuatan Ekstrak
Pada pemeriksaan karakteristik simplisia dilakukan beberapa uji.
Pemeriksaan mikroskopik terdapat berkas pengangkut, amilum, sel
parenkim, sel gabus, dan sklerenkim. Penetapan kadar air secara destilasi
toluene 30% v/b, hasil ini tidak masuk kedalam range (>10%). Penetapan
kadar sari dalam etanol 5, 39%. Penetapan kadar sari dalam air 16,13%.
Penetapan kadar abu larut dalam air 100%. Penetapan bahan organik asing
0%. Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam 14,82%, hasil ini tidak
masuk kedalam range (<0,7%). Pembuatan ekstrak didapatkan ekstrak
sebesar 10, 975 %
4) Identifikasi Kandungan Kimia
Pada identifikasi kandungan kimia senyawa didapatkan hasil positif
pada minyak atsiri, saponin, dan alkaloid basa tersier. Hasil negatif terlihat
pada identifikasi flavonoid, antrakinon, fenolik, dan polifenolik. Pada
pengujian menggunakan KLT didapatkan nilai Rf larutan I 0,93; larutan II
0,97; larutan III 1 dan uji alkaloid 0.
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak
Hasil dari fraksinasi ekstrak didapatkan nilai Rf kontrol 0,1800, Rf
fraksi 1 dan 3 0,1867, Rf fraksi 2 0,1993, Rf fraksi 4 0,1533, Rf fraksi 5
0,1667, dan Rf fraksi 6 0,1533. Pada monitoring kandungan kimia ekstrak
menggunakan KLT didapatkan kadar kurkumin pada ekstrak sebesar
227,667%
6) Uji Antioksidan Ekstrak dan Fraksi
Setelah dilakukan uji antioksidan pada ekstrak dan fraksi temulawak,
didapatkan nilai IC50 ekstrak -0,066 dan fraksi 0,355; Hasil ini menunjukkan
konsentrasi yang mampu menghambat 50% aktivitas radikal bebas.
Semakin kecil nilai IC50 maka semakin kuat aktivitasnya dalam menangkal
radikal bebas. Fraksi memiliki aktivitas antioksidan sementara ekstrak tidak
memiliki aktivitas antioksidan.
64
H. DAFTAR PUSTAKA
Agoes, A., 2010. Tanaman Obat Indonesia. Penerbit Salemba Medika.
Garcia, E.J., Oldoni, T.L.C., Alencar, S.M., Reis, A., Loguercio, A.D., and Grande,
R.H.M., 2012. Antioxidant Activity by DPPH Assay of Potential Solutions
to be Applied on Bleached Teeth. Braz Dent J, 23 (1), pp. 22 – 27.s
Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia, Edisi 2. Institut Teknologi Bandung.
Kedare, S.B., and Singh, R. P.,2011. Genesis and Development of DPPH Method
of Antioxidant Assay. J. Food Sci. Technol., 48 (4), pp. 412 – 422.
Molyneux, P., 2003. The Use Of Stable Free Radical Diphenylpicryl Hydrazyl
(DPPH) For Estimating Antioxidant Activity, J. Food Sci. Technol., 26 (2),
pp. 211 219.
65
Sarker, S.D., 2006. Natural Product Isolation. Humana Press.
Shah, R. S., Shah, R. R., Pawar, R. B., and Gayakar, P. P., 2015. UV-Visible
Spectroscopy. International Journal of Institutional Pharmacy and Life
Sciences, 5(5), pp. 491, and 494.
Winarsi, H., 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius.
66
I. LAMPIRAN
1) Pembuatan Simplisia
67
Serbuk yang telah diayak
3 ditimbang dan dimasukan ke
dalam wadah yang kedap udara
untuk disimpan dan digunakan
untuk praktikum selanjutnya
68
4. Dilakukan pencarian bobot
tetap. Kadar abu tidak larut
dalam asam 14,83% dan kadar
abu larut dalam air 100%
69
9. Hasil saring dalam labu alas
bulat diatur dengan rotatory
evaporator pada suhu dan
kecepatan putaran tertentu
70
4 Digunakan pemisahan fase
dengan corong pisah
5 Dilakukan penyesuaian ph
dengan kertas ph
71
5) Fraksinasi dan Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak
(2)
(2)
72
4 Setelah dilihat dibawah lampu
UV, plat KLT dipanaskan agar
dapat melihat dengan jelas
potensi senyawa lain yang
muncul.
(2)
73
9 Sebelum dieksekusi scanner
diatur terlebih dahulu agar
mendapatkan hasil yang
maksimal.
(1)
(2)
(2)
74
12. (1) Untuk dapat melihat
kemungkinan senyawa lain,
plat KLT dipanaskan diatas
alat pemanas. (2) Hasil setelah
pemanasan.
(1)
(2)
75
masing ditambahkan 5 mL
ekstrak.
76