elemen
apa sajakah yang wajib ada di dalam segitiga kebijakan itu!
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat disederhanakan
untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks, dan segitiga ini menunjukkan kesan bahwa ke‐
empat faktor dapat dipertimbangkan secara terpisah. Tidak demikian seharusnya! Pada
kenyataannya, para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang individu atau seorang anggota suatu
kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi
oleh banyak faktor, seperti: ketidak‐stabilan atau ideologi, dalam hal sejarah dan budaya; serta
proses penyusunan kebijakan – bagaimana isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan
bagaimana isu tersebut dapat berharga – dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam
strutur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukan sebagian
atau seluruh bagian ini. Jadi, segitiga tersebut tidak hanya membantu dalam berpikir sistematis
tentang pelaku‐pelaku yang berbeda yang mungkin mempengaruhi kebijakan, tetapi juga berfungsi
seperti peta yang menunjukkan jalan‐jalan utama sekaligus bukit, sungai, hutan, jalan setapak dan
pemukiman.
Buatlah daftar perbedaan actor (pelaku) yang mungkin terlibat dalam kebijakan penurunan
kematian ibu di Indonesia. Masukkan pelaku‐ pelaku tersebut dalam kelompok yang
berbeda.
Pelaksanan Kebijakan KIA terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), organisasi internasional,
LSM nasional dan internasional, kelompok penekan dan kelompok kepentingan, lembaga-lembaga
bilateral, profesi dan lain-lain. Dengan menggunakan prinsip tata pemerintahan para pelaku
kebijakan dikelompokan menjadi:
Sumber:
Chalid, M. T. (2016). UPAYA MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU: PERAN
PETUGAS KESEHATAN. Research Gate , 1-8.
2. Faktor structural merupakan bagian dari masyarakat yang relative tidak berubah. Faktor ini
meliputi system politik, mencakup pula keterbukaan system tersebut dan kesempatan bagi
warga masyakarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan; Faktor
structural meliputi pula jenis ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja. Faktor structural yang
mempengaruhi penerapan UU Keperawatan tahun 2014 adalah Sejak dilaksanakan Lokakarya
Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi
dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan
dalam memajukan profesi Keperawatan. Selanjutnya pada tahun 1989, dibentuklah PPNI
sebagai organisasi perawat di Indonesia sebagai wadah bagi tenaga professional keperawatan
yang mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan.
3. Faktor budaya dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam masyarakat dimana hirarki
menduduki tempat penting. Faktor budaya yang mempengaruhi penerapan UU Keperawatan
tahun 2014 adalah tentang budaya masyarakat yaitu status perawat adalah bawahan dari dokter
dalam praktek medis, perawat melakukan tindakan-tindakan berdasarkan dari instruksi dokter.
Sehingga pada prakteknya, perawat seringkali hanya menjalankan perintah dokter dan tidak
mempunyai batas kewenangan yang jelas. Setelah diterapkan UU Keperawatan tahun 2014,
sekarang perawat diberi wewenang memutuskan dalam hal pelayanan kesehatan terhadap
pasien berdasarkan ilmu keperawatan yang dimilikinya dan bekerjasama dengan dokter untuk
menetapkan yang terbaik untuk pasien. Sehingga muncul paradigma bahwa perawat
merupakan profesi yang mandiri, profesional serta mempunyai kewenangan yang
proporsional.
Lakukan analisis kebijakan sesuai dengan tahapan yang dilakukan Buse (Hal. 35) terkait
dengan isu PERBAIKAN KESEJAHTERAAN PERAWAT INDONESIA.
Tahapan
1. Analisis kebijakan retrospektif dan prospektif
Isu perbaikan kesejahteraan perawat indonesia indonesia cenderung prospektif yaitu
diharapkan terjadi di masa mendatang. Untuk menganalisis tipe ini yaitu dengan
memberikan informasi rinci tentang formulasi kebijakan atau mengantisipasi bagaimana
kebijakan akan berjalan bisa diterapkan.
2. Analisis stakeholder
a. Mengidentifikasi stakeholder
Pada isu perbaikan kesejahteraan perawat indoneisa melibatkan keompok-kelompok
berikut ini:
1. Kelompok-kelompok pasien
2. Bidan, Dokter, dan perusahaan farmasi
3. Rumah sakit atau pelayanan kesehatan
4. PPNI
5. Menteri kesehatan
6. Ketenagakerjaan
b. Menilai kekuasaan
1. Sumber daya nyata : pernyataan pasien mengenai perawat, keseimbangan antar
tenaga kesehatan, isntitusi pendukung, dan organisasi untuk merumuskan
perbaikan
2. Sumber daya tidak nyata : simpati dan dukungan dari pasien
c. Menilai kepentingan, posisi dan komitmen
1. Kelompok-kelompok pasien : dukungan menengah
2. Bidan, Dokter, dan perusahaan farmasi : dukungan rendah
3. Rumah sakit atau pelayanan kesehatan: dukungan tinggi
4. PPNI : dukungan tinggi
5. Menteri kesehatan : dukungan rendah
6. Ketenagakerjaan : dukungan tinggi
3. Strategi ‐ strategi politis yang sukses untuk mengelola perubahan kebijakan
Roberts dkk (2000) mengatakan bahwa ada perubahan kebijakan politik yang
ditentukan oleh jabatan, kekuasaan, para pengambil kebijakan dan persespsi. Semuanya
berguna untuk mempengaruhi posisi, kekuasaan, para pengambil kebijakan dan persepsi‐
persepsi yang berkaitan dengan perubahan kebijakan. Beberapa strategi terbuka berlaku
bagi kebanyakan pengambil kebijakan, misalnya, membagikan atau menolak untuk
membagikan informasi, mengubah persepsi tentang persoalan, atau memobilisasi
kelompok‐kelompok. Tetapi beberapa strategi hanya tersedia bagi kelompok‐kelompok
tertentu. Misalnya, taktik‐taktik untuk meningkatkan sumber daya politik para pengambil
kebijakan suportif yang pembaca telah akses melalui sumber daya yang didistribusikan
kepada mereka. Demikian pula, banyak strategi yang bertujuan untuk mengubah jabatan
para pengambil kebijakan dalam mengakses proses pengambilan keputusan terutama untuk
persoalan‐persoalan yang bisa diperjual‐belikan. Selebihnya, kekuasaan perlu
menyampaikan ancaman‐ancaman bagi upaya kotor para pelaku yang hendak merusak
kredibiltas para pengambil kebijakan.
Salah satu strategi melangkah ke depan adalah pendidikan berkesinambungan bagi
profesi kita. Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang harus membiayai seluruh proses
pemberdayaan profesi keperawatan? Tidak hanya pendidikan, tetapi juga sosialisasi
paradigma baru, pembuatan peraturan, peningkatan jasa keperawatan, dan sebagainya.
Mengharapkan pemerintah untuk berperan dalam menyiapkan perawat yang memiliki
standar global tentunya bagai pungguk merindukan bulan, apalagi dengan kondisi
anggaran negara yang defisit seperti sekarang. Alternatifnya adalah konsumen pemakai
jasa keperawatan. Inipun tidak bisa mencakup semua konsumen sebab 36 juta warga
penduduk miskin tentunya belum mampu untuk mengaksesnya. Tarif jasa keperawatan
yang dinaikkan pada golongan menengah ke atas diharapkan mampu menjadi alternatif
solusi. Dengan kenaikan tarif jasa keperawatan diharapkan selain sebagai subsidi silang
juga bisa memberikan kontribusi yang nyata bagi perkembangan keperawatan. Di era
pemulihan ekonomi dan political will pemerintah yang patut dipertanyakan ini, seharusnya
profesi kita lebih mandiri. Dalam artian jangan pernah mengandalkan orang lain ketika
menata internal keperawatan. Kedepan, perawat dituntut untuk handal, cepat, akurat dan
memiliki mental yang pantang menyerah. Analisis kekuatan dan kelemahan yang tajam
disertai dengan penyelesaian yang tepat merupakan langkah yang harus diprioritaskan. Hal
ini tidak berarti kita berjalan sendiri tanpa koordinasi dengan stake holder ataupun profesi
lain. Koordinasi, kerjasama serta selalu terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun
merupakan hal dasar yang tidak boleh ditinggalkan. Harapan ke depan adalah tidak ada
lagi perawat yang mengeluhkan bahwa mereka merasa digaji underpaid atau mereka kerja
sampingan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.