Tauhid
Tauhid
Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun.Yang terakhir
adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang
buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan
batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh
setiap muslim terkait masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita
untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.
1. Qadha’ dan Qadar
Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua
istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya,
namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan. Jika
disebutkan qadha’ saja maka mencakup makna qadar, demikian pula sebaliknya.Namun jika
disebutkan bersamaan, maka qadha’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah
pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap
sesuatu.Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman
azali, dengan demikian qadar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qadha’.
Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian
yaitu: hukum, ketetapan, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang
dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya
tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar, arti qadar menurut
bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau
kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk
tertentu sesuai dengan ridah-Nya. Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan
bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya),
dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya (QS .Al-Furqan ayat 2).
2. Definisi qadha’ dan qadar serta kaitan di antara keduanya
a. Qadar
Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan
adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan
raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir/puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah:
akhir/puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-
qadar, dan qadartusy syai’ aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdiir.”
Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah: Qadha’ (kepastian) dan
hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dari qadha’ (kepastian) dan
hukum-hukum dalam berbagai perkara Takdir adalah: Merenungkan dan memikirkan untuk
menyamakan sesuatu. Qadar itu sama dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar.
Qadar, menurut istilah ialah: Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai
dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya. Atau: Sesuatu
yang telah diketahui sebelumnya dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir
masa. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal
yang akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali.
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada
waktu-waktu tertentu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat tertentu pula,
maka hal itu pun terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya. Atau: Ilmu Allah,
catatan (takdir)-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap
segala sesuatu tersebut.
b. Qadha’
Qadha’, menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan. Asal
(makna)nya adalah: Memutuskan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya
dan menyelesaikannya. Maknanya adalah mencipta.
c. Kaitan Antara Qadha’ dan Qadar
Dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan qadar ialah takdir, dan yang dimaksud
dengan qadha’ ialah penciptaan.
Yakni, menciptakan semua itu.
Qadha’ dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah
dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang
lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha’. Barangsiapa bermaksud untuk
memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan
bangunan tersebut.
Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha’ ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang
dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai
timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya.Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,
“Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha’ adalah ketentuan yang bersifat umum dan
global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari
ketentuan tersebut.”
Dikatakan, jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-
masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua
pendapat sebelumnya, dimana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang
lainnya masuk di dalam (pengertian)nya.
c. Hubungan antara Qadha’ dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha’ dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha’ dan qadar
selalu berhubungan erat .Qadha’ adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman
azali.Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah.Jadi hubungan antara qadha
qadar ibarat rencana dan perbuatan.
SetelahSetelah kita mengetahui iman itu bertambah dan berkurang, maka mengenal sebab-sebab
bertambah dan berkurangnya iman memiliki manfaat dan menjadi sangat penting sekali. Sudah
sepantasnya seorang muslim mengenal kemudian menerapkan dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, agar bertambah sempurna dan kuat imannya. Juga untuk menjauhkan diri
dari lawannya yang menjadi sebab berkurangnya iman sehingga dapat menjaga diri dan selamat
didunia dan akhirat.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa seorang hamba yang mendapatkan
jodoh dari Allah Ta’ala selalu berusaha melakukan dua perkara:
1. Merealisasikan iman dan cabang-cabangnya serta menerapkannya baik secara ilmu dan amal
secara bersama-sama. Berusaha menolak semua yang menentang dan menghapus iman
atau menguranginya dari fitnah-fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, mengobati
kekurangan dari awal dan mengobati yang seterusnya dengan taubat nasuha serta
mengetahui satu perkara sebelum hilang.
2. Mewujudkan iman dan mengokohkannya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab
bertambahnya iman dan melaksanakannya. Sedangkan berusaha menolak semua yang
menghapus dan menentangnya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab berkurangnya
iman dan berhati-hati dari terjerumus di dalamnya.
Pertama: Belajar ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur`aan dan as Sunnah. Hal ini
menjadi sebab pertambahan iman yang terpenting dan bermanfaat karena ilmu menjadi sarana
beribadah kepada Allah Ta’ala dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas. Pertambahan iman
yang didapatkan dari ilmu bisa terjadi dari beraneka ragam sisi, di antaranya:
Kedua: Merenungi ayat-ayat kauniyah. Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan
makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang beraneka ragam dan menakjubkan merupakan faktor pendorong
yang sangat kuat untuk beriman dan mengokohkan iman. Syeikh Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada
alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti
diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat
untuk meningkatkan iman”.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah menuturkan, “Di antara sebab
pertambahan iman adalah melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai dengan
bagusnya pelaksanaan, jenis dan banyaknya amalan. Semakin baik amalan, semakin besar
penambahan iman dan bagusnya pelasanaan ada dengan sebab ikhlas dan mutaba’ah (mencontohi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan jenis amalan, maka yang wajib lebih utama dari yang
sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih ditekankan dan utama dari yang lainnya. Semakin utama
ketaatan tersebut maka semakin besar juga penambahan imannya. Adapun banyak (kwantitas)
amalan, maka akan menambah keimanan, sebab amalan termasuk bagian iman. Sehingga pasti iman
bertambah dengan bertambahnya amalan.”
Sebab-sebab Berkurangnya Iman
Sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri (faktor internal)
dan ada yang berasal dari luar (faktor eksternal).
Pertama: Kebodohan. Ini adalah sebab terbesar berkurangnya iman, sebagaimana ilmu adalah sebab
terbesar bertambahnya iman.
Kedua: Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu sebab
penting berkurangnya iman.
Ketiga: Perbuatan maksiat dan dosa. Jelas kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki
pengaruh jelek terhadap iman. Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Ta’ala menambah iman,
demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Ta’ala mengurangi iman. Namun tentunya dosa dan
kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana
disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti kekufuran,
kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat–
tingkat”.
Keempat: Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratu bissu’). Inilah nafsu yang ada
pada manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan, sebagaimana
Allah Ta’ala jelaskan dalam firmannya:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs Yusuf: 53)
Nafsu ini menyeret manusia kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita
berlindung kepada Allah Ta’ala darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal dan
setelahnya.
Pertama: Syeitan musuh abadi manusia yang merupakan satu sebab penting eksternal yang
mempengaruhi iman dan mengurangi kekokohannya.
Kedua: Dunia dan fitnah (godaan)nya. Menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya termasuk
sebab yang dapat mengurangi iman. Sebab semakin semangat manusia memiliki dunia dan semakin
menginginkannya, maka semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan mencari kebahagian
akhirat, sebagaiman dituturkan Imam Ibnul Qayyim.
1. Kesyirikan.
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Qs. Lukman 31: 13).
“Katakanlah: “sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: ‘bahwa sesungguhnya sesembahan kamu adalah sesembahan yang
Esa’, maka barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah ia
mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia berbuat kemusyrikan sedikitpun dalam beribadah
kepada Rabbnya.” (Qs. Al Kahfi 18: 110).
ُصغ َُر قَالُوا َو َما الش ِْرك ْ َ َاف َع َل ْي ُك ْم الش ِْركُ ْاْل
ُ ف َما أَخ َ سلَّ َم َقا َل إِ َّن أ َ ْخ َو َّ ص َّلى
َ َّللاُ َع َل ْي ِه َو َّ سو َل
َ َِّللا ُ َع ْن َمحْ ُمو ِد ب ِْن َل ِبي ٍد أَ َّن َر
َّ ْ َ
َس بِأ ْع َما ِل ِه ْم اذ َهبُوا إِلَى الذِينَ ُك ْنت ُ ْم ت ُ َرا ُءون ْ
َ َّللاُ َع َّز َو َج َّل لَ ُه ْم يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة إِذَا ُج ِز
ُ ي النَّا َّ الريَا ُء يَقُو ُل
ِ َّللاِ قَا َل
َّ سو َل ُ صغ َُر يَا َر ْ َ ْاْل
=ظ ُروا ه َْل ت َِجد ُونَ ِع ْندَ ُه ْم َجزَ اء =رواه احمد ُ ِفي الدُّ ْن َيا فَا ْن
Dari Mahmud bin Labid ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya yang paling aku
khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil. Mereka (sahabat) bertanya, apakah syirik kecil itu.
Rasulullah saw bersabda, riya, Allah akan berfirman kepada mereka pada hari kiamat apabila
manusia diberi balasan akan amal mereka, pergilah kalian kepada orang yang dulu kalian
tunjukkan di dunia, perhatikan kalian, apakah kalian mendapati pahala pada mereka…? (HR.
Ahmad).
Diriwayatkan dari Abu Said t dalam hadits marfu’ bahwa Rasulullah r bersabda:
“Maukah kalian aku beritahu tentang sesuatu yang bagiku lebih aku khawatirkan terhadap
kamu dari pada Al Masih Ad-Dajjal..? para sahabat menjawab: “baik, ya Rasulullah.”,
kemudian Rasulullah r bersabda: “syirik yang tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri
melakukan shalat, ia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang
melihatnya” (HR. Ahmad).
Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu.
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
Termasuk orang-orang yang merugi. (Qs. Az Zumar 39: 65).
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya . . . (Qs. An Nisaa’ 4: 48 dan
116).
“Allah I berfirman: “Hai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa
sejagat raya, dan engkau ketika mati dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan
sesuatupun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sejagat raya
pula”. (HR. Tirmidzi).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (Qs. Al Hujurat 49: 1).
Barangsiapa yang melakukan satu `amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu pasti
tertolak. (HR. Muslim).
… jauhi kamulah dari urusan yang mengada-ada, karena setiap yang baru itu adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud).
َْئ يُقَ ِربُ ُك ْم ِمنَ ْال َجنَّ ِة َويُ ْب ِعدُ ُك ْم ِمن َ ْس ِم ْن
ٍ شي ُ َّ (أَيُّ َها الن:سلَّ َم
َ اس ! إِنَّهُ لَي َّ صلَّى
َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِس ْو ُل هللا ُ قَا َل َر: َع ْن اب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد قَا َل
ْ
=ار َويُ ْب ِعد ُ ُك ْم ِمنَ ال َجنَّ ِة إِالَّ قَدْ نَ َه ْيتُ ُك ْم َع ْنهُ =رواه ابن ابي شيبة والبيهقي ِ َّئ يُقَ ِربُ ُك ْم ِمنَ الن
ٌ ش ْي
َ ْس َ ار إِالَّ قَدْ أ َ َم ْرت ُ ُك ْم بِ ِه َولَي
ِ َّالن
Dari Ibnu Mas’ud ra, berkata: Bersabda Rasulullah saw, Hai sekalian manusia, Sesungguhnya
tidak ada sedikitpun yag dapat mendekatkan kamu ke surga dan menjauhkan kamu dari
neraka kecuali aku telah menyuruh kamu kepadanya, dan tidak ada sedikit pun yang
mendekatkan kamu ke neraka dan menjauhkan kamu dari surga kecuali aku juga telah
melarang kamu dari hal itu. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf dan Al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman)
Sufyan Tsauri berkata: “Iblis lebih menyukai bid’ah dari pada ma’siat, karena seseorang lebih
mudah kembali (kepada kebenaran) dari ma’siat, sedang bid’ah lebih sulit, karena ia mengira
bahwa yang dilakukannya adalah ibadah kepada Allah”.
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Qs. Al-
Kahf 18: 103-104).
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), Kami
adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya. Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka
dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (Qs. Az
Zukhruf 43: 36-37).
Allah swt memperingatkan Rasulullah saw dalam masalah mengada-ada dalam urusan
agama.
Seandainya Dia (Muhammad) Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami. Niscaya
benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong
urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat
menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. (Qs. Al Haaqqah 69: 44-47).
- Tahayul
Tahayul yaitu cerita-cerita bohong, tidak masuk akal dan dihubungkan dengan
aqidah. Cerita-cerita dan dongeng-dongeng orang-orang dahulu kala yang membuat
orang menjadi penakut dan pemalas. Ini harus dibasmi oleh setiap orang beriman.
- Kurafat
Kurafat adalah kepercayaan, berbeda dengan tahayul yang dalam bentuk cerita-
cerita dan dongeng, tapi berupa kepercayaan kepada yang ghoib, yang tidak
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits.Hal ini menyebabkan penyelewengan aqidah,
oleh karena itu kepercayaan seperti ini harus dibasmi sampai ke ekar-akarnya.
4. Nifaq/Munafiq
Nifaq secara bahasa berasal dari kata Arab na-fi-qa-u, yaitu salah satu lubang
tempat keluarnya yarbu (hewan sejenis tikus) dari sarangnya. Nifaq juga dikatakan
berasal dari kata na-fa-qa, yaitu lubang tempat bersembunyi. Sementara menurut
syara, nifaq berarti menampakan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan
kekufuran dan kejahatan.
Nifaq dibedakan dalam dua jenis yaitu nifaq I’tiqadiy dan nifaq ‘amaliy.
Pertama: Nifaq I’tiqadiy (keyakinan) atau nifaq besar, dimana pelakunya
menampakan keislaman, akan tetapi menyembunyikan kekufuran. Orang yang
termasuk nifaq ini berarti ia keluar dari agama dan dia berada di dalam kerak neraka.
Kedua: Nifaq Amaly (perbuatan), yaitu melakukan sesuatu yang merupakan
perbuatan orang-orang munafik, akan tetapi masih ada iman di dalam hati. Nifaq jenis
ini tidak membawa pelakunya keluar dari agama, akan tetapi bisa menjadi wasilah
(perantara) bagi pelakunya keluar dari agama jika dia melakukan perbuatan nifaq
secara terus menerus.
Adapun hadits tentang ciri-ciri orang munafik yaitu :
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik adatiga: jika
berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberiamanah ia berkhianat"
(HR.Bukhari)