Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

“STEROID INDUCED GLAUCOMA”


Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Mata di RSUD Kota Salatiga

Disusun Oleh:
Nama : Fany Lukinaning Tyas
NIM : 20130310047
NIPP : 20174011043

Pembimbing:
dr. Iman Krisnugroho, Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2018

HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul
STEROID INDUCED GLAUCOMA

i
Disusun Oleh:
Nama : Fany Lukinaning Tyas
NIM : 20130310047
NIPP : 20174011043

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Iman Krisnugroho, Sp.M

ii
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Nn. UA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 22 tahun
Alamat : Getasan, Semarang
Pekerjaan : Mahasiswa
Periksa ke Poli : 5 Oktober 2018 dan 12 Oktober 2018

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pandangan mata kanan buram sejak beberapa bulan yang lalu
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Nn. UA datang ke Poliklinik Mata RSUD Kota Salatiga dengan keluhan
pandangan mata kanan buram sejak beberapa bulan yang lalu. Pandangan buram
dirasakan saat mata digunakan untuk memandang ke arah yang jauh maupun untuk
membaca. Pasien belum memeriksakan dirinya ke dokter untuk keluhan yang dia
rasakan saat ini. Keluhan lain : kepala sebelah kanan sering terasa kencang sejak 2-3
bulan yang lalu. Keluhan mata merah (-), mata nyeri dan terasa menegang (-), mata
berair (-), mata belekan (-), mata silau saat melihat cahaya (-), pandangan ganda (-),
Nn. UA menderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sejak 1,5 tahun yang
lalu. Pasien mengonsumsi Methylprednisolon 8 mg 2 kali sehari sejak Maret 2017.
Pasien mengaku tidak mengonsumsi obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi
maupun obat untuk menurunkan gula darah yang tinggi.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Nn. UA tidak memiliki riwayat penyakit berat sebelumnya. Pasien juga tidak
pernah mengeluhkan hal yang sama pada matanya sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Riwayat penyakit jantung dan hipertensi pada keluarga disangkal. Riwayat
penyakit SLE dalam keluarga juga disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial (RPSos)
Sehari-hari pasien beraktivitas sebagai seorang mahasiswa. Selama berkuliah,
pasien dapat beraktivitas dengan baik. Pasien tidak pernah berolahraga dan jarang
mengonsumsi sayur-sayuran yang cukup. Pasien tidak merokok dan tidak
mengonsumsi alkohol. Pasien tidak memiliki riwayat menggunakan produk kecantikan
yang mengandung bahan berbahaya tertentu dan tidak memiliki riwayat penggunaan
lensa kontak.

1
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
 Keadaan umum : Tidak tampak sakit
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan Darah : tidak dinilai
 Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,7oC
 Pemeriksaan Fisik
- Kepala dan Leher : tampak butterfly rash (+)
- Thorax : DBN
- Abdomen : DBN
- Ekstremitas : DBN

Status Oftalmologikus
Pemeriksaan palpasi
Palpasi Oculi Dextra Oculi Sinistra
Tensi Okuler Keras Keras
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri pergerakan (-) (-)
Massa /tumor (-) (-)
Glandula
Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
preaurikuler

Pemeriksaan Segmen Anterior

Keterangan Oculi Dextra Oculi Sinistra


Visus 6/20, -1,00 6/6 6/6
Kedudukan Bola Mata Orthoforia

Gerakan Bola Mata

Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)


Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Palpebra superior
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

2
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Hiperemis (-) benjolan (-) Hiperemis (-) benjolan (-)
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi (-) Injeksi (-)
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Sedang, jernih Sedang, jernih
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Bulat , Refleks direk(+), Bulat , Refleks direk(+),
Pupil
Refleks indirek (+) Refleks indirek (+)
Lensa Jernih Jernih

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN TONOMETRI
Tanggal OD OS
5 Oktober 2018 23,1 mmHg 25,1 mmHg
12 Oktober 2018 23,5 mmHg 18,7 mmHg

E. ASSESSMENT
 Diagnosis utama : Steroid-Induced Glaucoma ODS
 Diagnosis banding : Primary Open Angle Glaucoma ODS, Steroid-Induced Ocular
Hypertension ODS

F. PENATALAKSANAAN/PLANNING
 Cendo Timol 0,25% 2x1 gtt ODS
 Cendo Lyteers 6x1 gtt ODS
 Edukasi pasien tentang efek samping penggunaan steroid
 Edukasi pasien tentang pertimbangan menghentikan pengobatan steroid
 Edukasi pasien tentang pertimbangan mengganti dengan steroid potensi rendah
 Kolaborasi dengan dokter penyakit dalam
 Evaluasi atrofi papil (jika ada), defek lapang pandang dan TIO secara berkala

G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad visam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
Quo ad cosmetica : bonam

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


Systemic Lupus Erthytematous (SLE) atau Lupus Eritematous Sistemik (LES)
adalah penyakit autoimun yang ditadnai dengan adanya inflamasi tersebar luas,
mempengaruhi setiap orga atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan
deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi 2,9/100.000 hingga 400/100.000
dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.
Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan pria yaitu berkisar 5,5-9 : 1. Pada SLE yang
diakibatkan oleh obat, rasio ini lebih rendah yaitu 3:2.
Terapi SLE dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi jika timbul
manifestasi serius SLE dan mengancam jiwa, misalnya vaskultiis, lupus kutaneus yang
berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus, glumerulonefritis, anemia
hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organic, defek kognitif yang berat, mielopati,
neuropati perifer, dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi). Pemberian glukokortikoid
oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal tiap pagi. Pada manifestasi minor SLE,
seperti artritis, serositis, dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednisone 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon IV 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3
hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian
dilanjutkan dengan prednisone oral 1-1,5 mg/kgBB/hari.
Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang
cukup lama, seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6
minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-
10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednisone mencapai
30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednisone
mencapai 10-15mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbil eksaserbasi
akut, dosis prednisone dinaikkan sampai ke dosis efektif, kemudian dicoba diturunkan
kembali.

STEROID INDUCED GLAUCOMA


A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

4
Aqueous humor adalah cairan jernih yang diproduksi oleh prosesus siliaris yang
merupakan struktur utama korpus siliaris. Prosesus siliaris memiliki dua lapis epitelium,
yaitu lapisan berpigmen dan tidak berpigmen. Lapisan epitel yang tidak berpigmen yang
diduga berfungsi sebagai tempat produksi aqueous humor. Aqueous humor mengalir dari
korpus siliaris melewati bilik mata posterior dan anterior menuju sudut kamera okuli
anterior yang kemudian diekskresikan oleh trabecular meshwork.
Sudut kamera okuli anterior yang dibentuk oleh pertautan antara kornea perifer
dan pangkal iris merupakan komponen penting dalam proses pengaliran aqueous humor.
Struktur ini terdiri dari Schwalbe’s line, trabecular meshwork dan scleral spur.

Gambar 1. Struktur Trabecular Meshwork


Trabecular meshwork merupakan jaringan anyaman yang tersusun atas lembar-
lembar berlubang dari serat kolagen dan elastik yang terdiri atas tiga bagian, yaitu uvea
meshwork (bagian paling dalam), corneoscleral meshwork (lapisan terbesar) dan
juxtacanalicular/endothelial meshwork (lapisan paling atas). Juxtacanalicular meshwork
adalah struktur yang berhubungan dengan bagian dalam dari kanalis schlemm.
Kanalis Schlemm merupakan lapisan endotelium tidak berpori yang pada bagian
dalam dindingnya terdapat vakuola-vakuola berukuran besar yang diduga bertanggung
jawab terhadap pembentukan gradien tekanan intraokuli. Aqueous humor akan dialirkan
dari kanalis schlemm ke vena episklera untuk selanjutnya dialirkan ke vena siliaris
anterior dan vena opthalmikus superior. Selain itu, aqueous humor juga akan dialirkan ke
vena konjungtival kemudian ke vena palpebralis dan vena angularis yang akhirnya menuju
ke vena ophtalmikus superior atau vena fasialis. Pada akhirnya, aqueous humor akan
bermuara ke sinus kavernosus.

5
Tekanan intraokuler ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor aquos dan
tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Aqueous humor merupakan cairan jernih
yang mengisi kamera okuli anterior dan posterior. Volume humor aquos sekitar 250 μL,
dan kecepatan pembentukannya 2,5 μL/menit. Komposisi aqueous humor hampir sama
dengan komposisi plasma, yaitu mengandung askorbat, piruvat, laktat, protein, dan
glukosa. Aqueous humor merupakan media refrakta jadi harus jernih. Sistem pengeluaran
aqueous humor terbagi menjadi 2 jalur, yaitu sebagian besar melalui sistem vena dan
sebagian kecil melalui otot ciliaris.

Gambar 2. Aliran Aqueous Humor


Pada sistem vena, aqueous humor diproduksi oleh prosesus ciliaris masuk
melewati kamera okuli posterior menuju kamera okuli anterior melalui pupil. Setelah
melewati kamera okuli anterior cairan humor aquos menuju trabekula meshwork ke
angulus iridokornealis dan menuju kanalis Schlemm yang akhirnya masuk ke system
vena. Aliran humor aquos akan melewati jaringan trabekulum sekitar 90 %. Sedangkan
sebagian kecil humor aquos keluar dari mata melalui otot siliaris menuju ruang
suprakoroid untuk selanjutnya keluar melalui sklera atau saraf maupun pembuluh darah.
Jalur ini disebut juga jalur uveosklera (10-15%).
Aqueous humor berfungsi untuk memberikan nutrisi (berupa glukosa dan asam
amino) kepada jaringan-jaringan mata di segmen anterior, seperti lensa, kornea dan
trabecular meshwork serta untuk membuang zat sisa metabolisme, seperti asam piruvat
dan asam laktat dari jaringan-jaringan tersebut. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga
kestabilan tekanan intraokuli yang penting bagi integritas struktur mata.Aqueous humor

6
juga menjadi media transmisi cahaya ke jaras penglihatan. Produksi aqueous humor
melibatkan beberapa proses, yaitu transport aktif, ultrafiltrasi dan difusi sederhana.
Transport aktif di sel epitel yang tidak berpigmen memegang peranan penting dalam
produksi aqueous humor yang melibatkan Na+/K+-ATPase. Proses ultrafiltrasi adalah
proses perpindahan air dan zat larut air ke dalam membran sel akibat perbedaan tekanan
osmotik. Proses ini berkaitan dengan pembentukan gradien tekanan di prosesus siliaris,
sedangkan proses difusi adalah proses yang menyebabkan pertukaran ion melewati
membran melalui perbedaan gradien elektron.
Terdapat tekanan didalam bola mata (intraokuli) yang berperan dalam menjaga
kejernihan media refraksi dan jarak yang konstan antara kornea dengan lensa dan lensa
dengan retina. Homeostasis tekanan intraokuli tersebut terpelihara oleh mekanisme
regulasi setempat dan normalnya berkisar antara 10-22 mmHg yang biasanya sama pada
kedua mata serta dapat menunjukkan variasi diurnal, yaitu tekanan intraokuli meningkat
pada malam hari karena terjadi peningkatan resistensi vena episklera yang disebabkan
oleh perubahan posisi dari berdiri menjadi berbaring yang kemudian kondisi ini kembali
normal pada siang hari sehingga tekanan intraokuli kembali turun. Banyak faktor yang
dapat mempengaruhi tekanan intraokuli, antara lain; keseimbangan dinamis produksi dan
ekskresi aqueous humor, resistensi permeabilitas kapiler, keseimbangan tekanan osmotik,
posisi tubuh, irama sirkadian tubuh, denyut jantung, frekuensi pernafasan, jumlah asupan
air dan obat-obatan.

B. DEFINISI DAN KLASIFIKASI GLAUKOMA


Berdasarkan sifatnya, glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi glaukoma akut dan
glaukoma kronik. Pada glaukoma akut, terjadi gangguan penglihatan yang terjadi secara
tiba-tiba atau dapat didahului dengan beberapa tanda prodromal, seperti nyeri kepala hebat
(umumnya mengikuti jalannya nervus V), mual-muntah (akibat reflek okulovagal), nyeri
bola mata, penglihatan kabur yang bersifat sementara atau terdapat gambaran halo (warna
pelangi) di sekitar bola lampu yang terjadi akibat udem kornea (akibat aqueus humor
masuk ke dalam kornea). Serangan akut dapat berlangsung dalam lama atau dalam
beberapa jam saja. Pada glaukoma kronik, gejala timbul lebih lambat dan menahun.
Kerusakan saraf optik pun terjadi perlahan-lahan bahkan hampir tanpa keluhan subjektif
sehingga umumnya penderita glaukoma kronis datang memeriksakan diri apabila telah
terjadi gangguan penglihatan atau kondisi penyakitnya sudah berat.

7
Berdasarkan mekanisme terjadinya glaukoma, glaukoma dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. Glaukoma Primer
Adalah glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Glaukoma primer terbagi
menjadi :
a. Glaukoma Primer Sudut Terbuka (Primary Open Angle Glaucoma/POAG)
Memiliki kecenderungan familial yang kuat dan biasanya merupakan suatu
proses yang kronis. Gambaran patologi utama berupa proses degeneratif
trabekular meshwork sehingga dapat mengakibatkan penurunan drainase
aqueous humor yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler. Pada
99% penderita glaukoma primer sudut terbuka terdapat hambatan pengeluaran
aquous humor pada sistem trabekulum dan kanalis schlemm.

Gambar 3. Glaukoma Primer Sudut Terbuka


b. Glaukoma Primer Sudut Tertutup (Primary Angle Closure Glaucoma/PACG)
Terjadi pada mata dengan predisposisi anatomis tanpa ada kelainan lainnya
yang dapat terjadi secara akut maupun kronis. Peningkatan tekanan intraokuli
pada glaukoma ini terjadi karena sumbatan aliran keluar aqueous humor akibat
oklusi trabekular meshwork oleh iris perifer. Hal ini terjadi bila kamera okuli
anterior sempit/dangkal secara anatomis. Pada kamera okuli anterior yang
dangkal dapat terjadi hambatan aliran aqueus humor dari kamera okuli
posterior ke kamera okuli anterior yang dinamakan sebagai papillary block
yang menyebabkan meningkatnya tekanan di kamera okuli posterior. Pada
kamera okuli anterior yang sempit, tekanan pada kamera okuli posterior dapat
mendorong iris hingga menutupi jaringan trabekulum sehingga aqueus humor
tidak dapat atau sukar mencapai jaringan trabekulum.

8
Gambar 4. Glaukoma Primer Sudut Tertutup
2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang timbul sebagai akibat dari penyakit
mata yang lain, trauma, pembedahan, penggunaan kortikosteroid yang berlebihan
dan adanya penyakit sistemik lainnya. Peningkatan tekanan intraokuli pada
glaukoma sekunder merupakan manifestasi dari penyakit lain, yaitu dapat berupa
peradangan, trauma bola mata dan paling sering disebabkan oleh uveitis.
3. Glaukoma Kongenital
Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat gangguan
perkembangan pada saluran aqueous humor. Glaukoma kongenital seringkali
diturunkan. Pada glaukoma kongenital umumnya dijumpai epifora, fotofobia serta
peningkatan tekanan intraokuler. Glaukoma kongenital terbagi atas glaukoma yang
disebabkan oleh kelainan kongenital primer (kelainan pada sudut kamera okuli
anterior), anomali perkembangan segmen anterior dan kelainan lainnya (dapat
berupa aniridia, sindrom Lowe, sindom Sturge-Weber dan rubela kongenital).

C. DEFINISI STEROID INDUCED GLAUCOMA


Steroid Induced Glaucoma atau Glaukoma Akibat Steroid adalah glaukoma sudut
terbuka yang terjadi karena efek samping penggunaan atau terapi kortikosteroid. Awalnya,
penggunaan steroid yang dimaksud adalaah penggunaan steroid secara topikal, tetapi
sekarang ini penggunaan secara intravena, periokular, oral, intranasal, intravitreal, maupun
pengunaan pada kulit dapat mengakibatkan Steroid Induced Glaucoma. Hubungan antara
steroid dan glaukoma pertama kali dilaporkan pada 1950 ketika penggunaan
Adenocorticotropin Hormone (ACTH) secara sistemik menunjukkan adanya peningkatan

9
tekanan intraokular (TIO). Peningkatan TIO pada respon penggunaan steroid topikal
pertama kali dilaporkan oleh Armaly dan Becker.
Penggunaan kortikosteroid memberikan banyak keuntungan dalam ilmu penyakit
mata karena dapat digunakan sebagai obat anti inflamari dan obat anti alergik tetapi
memberikan konsekuensi yang berat jika diberikan dalam jangka waktu yang panjang
serta membutuhkan pengawasan yang ketat. Penggunaan steroid sebagai terapi dapat
mengakibatkan terjadinya hipertensi okular dan glaukoma sudut terbuka pada individu
yang rentan. Hal ini dapat terjadi pada berbagai kelompok usia maupun jenis kelamin.

D. EPIDEMIOLOGI
Peningkatan TIO akibat penggunaan steroid dapat terjadi pada semua kelompok
usia. Akan tetapi, banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa steroid induced
glaucoma hanya berfokus padaorang dewasa. Anak-anak ternyata lebih mudah mengalami
hipertensi okular kronis akibat penggunaan steroid topical dibanding orang dewasa. Selain
itu, peningkatan TIO juga dapat terjadi pada infant dengan penggunaan steroid intranasal
maupun inhalasi.
Dalam sebuah penelitian, peneliti menemukan bahwa 25% dari glaukoma akibat
steroid didapatkan dari kelompok usia anak-anak. Peningkatan jumlah penderita glaukoma
akibat steroid pada anak-anak terjadi karena adanya penggunaan steroid jangka panjang
tanpa adanya pengawasan yang baik. Ada banyak fakta yang perlu dipahami bahwa respon
TIO terhadap steroid berbeda-beda tiap individu tergantung beberapa hal seperti cara
pemberian steroid dan pengaruh keturunan.
Armaly et al menunjukkan bahwa sepertiga dari mata normal dan lebih dari 90%
pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer merespon dengan peningkatan TIO lebih
dari 6 mmHg setelah pemberian dexametason topical 0,1% selama 4 minggu. Sekitar 30%
hingga 50% pasien yang menerima triamcinolone acetonide intravitreal menunjukkan
peningkatan TIO. Meskipun, kasus glaukoma akibat steroid bersifat sementara dan diobati
dengan pengobatan topical, kerusakan saraf optik yang progesif telah terjadi tetapi tidak
menunjukkan adanya defek lapang pandang.

E. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI


Trabecular meshwork mempengaruhi hampir 90% aliran aqueous humor pada
mata. Meskipun mekanisme yang mungkin terjadi pada peningkatan TIO akibat steroid
adalah adanya peningkatan resistensi aliran aqueous humor pada jalur ini, mekanisme

10
yang pasti belum diketahui secara jelas. Krishnan et al mengemukakan bahwa tindakan
viscocalanostomy dapat menurunkan TIO dan pengupasan jaringan juxtacanalicular dan
lapisan endothelial pada kanal Schlemm dapat mengurangi resistensi aliran aqueous
humor. Berdasarkan penelitian secara histopatalogi pada dua pasien post trabeculectomy,
terjadi peningkatan TIO setelah pemberian Intravitreal Triamcinolone Acetonide (IVTA)
dengan adanya perubahan pada ultrastruktur trabecular meshwork yang menyerupai
gambaran glaukoma akibat penggunaan steroid topikal
1. Matriks ekstraseluler trabecular meshwork
Efek steroid pada matriks ekstraseluler trabecular meshwork dapat terjadi karena
tingkat sintesis protein atau degradasi protein atau kombinasi keduanya. Hasil dari
peningkatan endapan/deposisi glikosaminoglikon, elastin, fibronectin, laminin, dan
kolegen tipe IV yang merupakan bagian dari matriks ekstraseluler, menaikkan
produksi dan menurunkan destruksi karena inhibisi beberapa metalloproteinase
pada matriks tersebut. Selain itu, dexamethasone juga menghambat kemampuan
fagosit sel trabecular meshwork sehingga debris terakumulasi pada aliran tersebut.
2. Ekspesi gen
Myocilin adalah gen glaukoma pertama (GLC1A) yang ditemukan dan muncul
pada glaukoma akibat steroid. Glukokortikoid dapat mengerahkan efeknya dengan
meningkatkan ekspresi MYOC [Trabecular meshwork -induced glucocorticoid
response (TIGR)] gen pada lokus GLC1A. Akan tetapi, penelitian terbaru pada
monyet gagal menunjukkan hubungan yang signifikan antara gen myocilin dan
hipertensi okuli yang diakibatkan steroid. Sehingga, dibutuhkan peneltiian yang
lebih variasi untuk menunjukkan peran myocilin dalam timbulnya streroid induced
glaucoma.
3. Sel trabecular meshwork
Sel trabecular meshwork memiliki reseptor glukokortikoid, dan aktivasi reseptor
ini oleh steroid mengubah struktur dan ekspresi protein sel trabecular meshwork.
Steroid telah terbukti mengubah morfologi sel trabecular meshwork dengan
menyebabkan peningkatan ukuran nukleus dan kandungan DNA. Dalam sebuah
studi tentang efek steroid pada ekspresi protein junctional dan sitoskeleton pada
trabecular meshwork manusia, ditunjukkan bahwa deksametason meningkatkan
kadar protein zonula occludens-1 dan connexin 43 dalam sel meshwork trabecular,
yang dianggap erat terkait dengan hambatan aliran aqueous humor.
Dexamethasone juga mengubah struktur F-actin dan merangsang pembentukan
jaringan cross-linked actin. F-aktin berinteraksi dengan zonula occludens-1 untuk

11
membentuk intercellular tight junction, di mana keeratan dan distribusi dari tight
junction ini mempengaruhi aliran aqueous humor. F-actin juga diatur untuk
menanggapi kontraksi sel dan ikut bertanggung jawab dalam perkembangan
selanjutnya dan mempertahankan tekanan. Telah terbukti bahwa dexamethasone
menginduksi ekspresi F-actin dan meningkatkan kontraksi mediasi sel trabecular
meshwork. Kontraksi meshwork trabecular mengurangi ruang interseluler dan
dengan demikian mengurangi aliran aqueous humor. Perubahan pada
mikrostruktural trabecular meshwork dan aktivitas sel mengakibatkan penurunan
proliferasi, migrasi dan fagositosis sel trabecular meshwork. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya jumlah sel trabecular meshwork pada pasien dengan
steroid induced glaucoma dan terjadi akumulasi debris ekstraseluler secara
progresif dan meningkatkan resistensi aqueous humor.

F. FAKTOR RISIKO
1. Patient-related
- Pasien dengan Primary Open Angle Glaucoma (POAG) / Glaukoma Primer Sudut
Terbuka. Pada hampir 30% pasien yang suspek glaukoma dan 90% pasien POAG,
memberikan respon berupa hipertensi okular pada pemberian deksametason 0,1%
selama 4 minggu
- Miopia tinggi atau mata dengan riwayat keratoplasti atau operasi refraktif seperti
keratektomi, DSEK, dan LASIK. Glaukoma yang diakibatkan oleh steroid setelah
operasi refraktif menjadi bias karena ketebalan kornea sentral yang tipis,
perubahan kekakuan okular, dan edema kornea.
- Diabetes mellitus dan penyakit jaringan ikat
- Mata dengan pigment dispersion syndrome
- Endogenous hypercortisolism
2. Metode pemberian steroid
Kasus terjadinya glaukoma akibat steroid sering terjadi karena penggunaan steroid
eksogen yang diberikan secara topikal, periokular, ataupun sistematik. Meskipun
demikian, steroid endogen juga dapat menyebabkan hal ini.
Tabel 1. Rute Pemberian Steroid
STEROID EKSOGEN
Topikal
Tetes mata
Salep mata
Injeksi periokular atau intravitreal
Sistemik
Oral
Topikal (kulit)

12
Injeksi
STEROID ENDOGEN
Hiperplasi adrenal
Adenoma atau karsinoma adrenal
Ectopic ACTH Syndrome

Jumlah orang yang mengalami peningkatan TIO bervariasi sesuai rute pemberiannya.
Lebih banyak orang yang mengalami peningkatan TIO pada pemberian steroid secara
topikal. Steroid periokular, terutama bentuk repository, sangat berbahaya karena durasi
kerjanya yang lama. Peningkatan TIO setelah injeksi triamsinolon intravitreal adalah
umum dan mungkin memerlukan waktu yang lama untuk bermanifestasi. Setelah
suntikan intravitreal dari Triamcinolone acetonide, peningkatan TIO dapat
berkembang di sekitar 50%, dimulai sekitar 1-2 bulan setelah injeksi. Dalam sebagian
besar, TIO dapat dinormalisasi dengan obat topikal, dan kembali ke nilai normal tanpa
pengobatan lebih lanjut sekitar 6 bulan setelah injeksi. Pemberian kortikosteroid
sistemik paling tidak mungkin menyebabkan glaukoma. Akan tetapi, peningkatan TIO
dapat terjadi selama beberapa minggu hingga bertahun-tahun setelah perawatan. Agar
frekuensi menurun, pemberian dapat diganti dalam bentuk intravena, parenteral, dan
inhalasi. Peningkatan TIO dapat juga disebabkan oleh peningkatan kortikosteroid
endogen seperti yang terlihat pada penyakit Cushing
3. Steroid formulation
Secara umum, pengaruh timbulnya peningkatan TIO karena steroid terjadi karena
fungsi steroid sebagai anti inflamasi itu sendiri. Kortikosteroid yang umum digunakan,
seperti Betametason, Deksametason, dan Prednisolon memiliki kecenderungan yang
signifikan untuk menimbulkan glaukoma. Steroid yang kurang poten mengakibatkan
glaukoma adalah Fluorometholone dan Medrysone. Konsentrasi atau dosis steroid
juga terkait dengan kemungkinan menghasilkan peningkatan tekanan intraokular.
Dalam sebuah penelitian, steroid topikal Betametason 0,01% menunjukkan
peningkatan TIO yang lebih rendah dari dosis 0,1%.

Tabel 2. Tingkat Potensi Steroid terhadap Glaukoma


Potensi Steroid Risiko Glaukoma
Tinggi Betamethasone
Clobetasol propionate
Dexamethasone
Flucinonide

13
Sedang Triamcinolone acetonide
Loteprendole etabonate
Dexamethasone sodium phosphate
Fluormethalone
Rendah Hydrocortisone
Rimexolone
Medrisone

4. Durasi pemberian steroid


Pasien yang menerima terapi kortikosteroid dapat mengalami peningkatan TIO dalam
beberapa hari, minggu, bulan atau tahun setelah memulai pengobatan. Periode yang
diperlukan dan besarnya kenaikan TIO tergantung pada berbagai faktor yang
dijelaskan di atas. Kortikosteroid topikal biasanya menghasilkan peningkatan TIO
dalam 2 sampai 6 minggu. Namun, steroid yang diberikan secara sistemik mungkin
memerlukan durasi lebih lama untuk menimbulkan kenaikan TIO.

5. Usia
Laporan penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, semakin besar resiko
mengalami steroid induced glaucoma. Pada anak dengan kondisi yang membutuhkan
steroid, seperti penderita asma, berupa steroid topikal, juga dapat meningkatkan TIO,
namun bila steroid dihentikan, TIO dapat kembali normal, hanya sebagian kecil yang
menunjukkan gejala. Peningkatan TIO ini dipengaruhi oleh dosis dan durasi
pemberian steroid topikal. Selain itu steroid inhalasi juga memberikan efek
peningkatan TIO pada anak –anak. Pemberian steroid inhalasi dalam waktu 1 bulan,
TIO meningkat diatas 21 mmHg, meskipun pada studi ini tidak ditemukan perbedaan
bermakna antara TIO pada anak dengan pemberian steroid inhalasi dan pemberian
placebo. Meskipun orang dewasa juga memiliki resiko peningkatan TIO setelah
pemberian steroid, namun peningkatannya didapatkan lebih cepat dan lebih tinggi
pada usia anak, sehingga pemberiannya harus dalam pengawasan ketat.

G. MANIFESTASI KLINIS
Steroid induced glaucoma dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi
steroid dalam bentuk apapun. Pasien dengan steroid induced glaucoma biasanya hanya
merasakan sedikit gejala, karena kenaikan TIO terjadi secara perlahan. Pasien tidak
merasakan gejala hingga mereka merasa adanya gangguan pada pandangannya, seperti
pandangan kabur atau defek lapang pandang. Glaukoma mungkin ditemukan secara tidak
sengaja saat pasien cek di dokter spesialis mata. Pandangan kabur terjadi karena edema

14
kornea jika TIO naik hingga ambang batas fungsi kornea dan mungkin berhubungan
dengan halo.
Usia pasien mempengaruhi bentuk gejala yang timbul pada steroid induced
glaucoma. Pada infant, mungkin akan munjul gejala mirip glaukoma kongenital seperti
mata berair, fotofobia, blefarospasme, kornea berkabut, buftalmos, peningkatan TIO dan
optic disc cupping. Tidak seperti pada glaukoma kongenital, COA akan tetap terlihat
normal.
Sedangkan manifestasi klinis steroid induced glaucoma pada remaja dan dewasa
mirip seperti glaukoma primer sudut terbuka/Primary Open Angle Glaucoma (POAG).
Bahkan pada pasien dengan TIO tinggi, mata sangat putih. Akan tetapi, beberapa pasien
mungkin datang dengan disk yang pucat, biasanya sering tidak digali sejak awal, dan
defek lapang pandang seperti ini biasanya memburuk menyerupai gambaran glaukoma
akut sudut tertutup. Gambaran ini akan berkembang ketika TIO mencapai angka yang
tinggi dengan cepat. Pasien lanjut usia yang menerima pengobatan kortikosteroid di masa
lampau dapat datang sebagai kasus normotension glaucoma (NGT). Mereka telah
mengalami peningkatan TIO dan kerusakan saraf optik glaukoma saat mengonsumsi
steroid dan, bertahun-tahun kemudian, setelah berhenti dari steroid maka IOP normal
tetapi timbul neuropati optik. Karena mata umumnya tanpa gejala, diagnosis bergantung
pada deteksi yang tepat dan pemantauan pasien yang berisiko.
Gejala-gejala lain yang dapat timbul pada steroid induced glaucoma adalah
midriasis dan ptosis. Pada beberapa kasus yang terjadi secara unilateral, maka midriasis
dan ptosis ini akan sangat mudah dikenali. Selain itu, dapat timbul adanya ulkus kornea,
peningkatan ketebalan kornea, katarak subkapsular posterior, penyembuhan luka yang
terlambat, dan atrofi kulit kelopak mata.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan anterior chamber
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menerangi dengan menggunakan cahaya
ke ruang anterior mata. Bila didapatkan ruang anterior memiliki kedalaman yang
cukup atau normal dengan keadaan iris tampak terang secara keseluruhan, maka
keadaan ini menunjukkan sudut terbuka. Sedangkan bila didapatkan ruang anterior
memiliki kedalaman yang dangkal dan keadaan iris tampak menonjol kearah depan
dengan cahaya yang tidak seluruhnya dipantulkan oleh iris, maka keadaan ini
menujukkan sudut yang sebagian atau seluruhnya tertutup.

15
Gambar 5. Pemeriksaan anterior chamber

2. Pemeriksaan slit lamp


Kedalaman pusat dan perifer dari ruang anterior harus dinilai melalui ketebalan
kornea. Bila ruang anterior memiliki kedalaman yang tiga kali kurang dari ketebalan
kornea baik di tengah maupun di bagian perifer maka keadaan ini menunjukkan sudut
sempit. Maka, pemeriksaan Gonioscopy sangat penting untuk evaluasi keadaan yang
lebih lanjut.

Gambar 6. Kedalaman ruang anterior kurang dari ketebalan kornea di bagian perifer. Reflek kornea
dan refleksi iris saling menyentuh (panah), menunjukkan bayangan ruang anterior.

16
3. Pemeriksaan gonioskopi
Gonioskopi merupakan pemeriksaan sudut kamera okuli anterior dengan alat yang
menggunakan lensa khusus untuk melihat aliran keluar aqueous humor. Fungsi dari
gonioskopi secara diagnostik dapat membantu mengidentifikasi sudut yang abnormal
dan menilai lebar sudut kamera okuli anterior. Lebar sudut kamera okuli anterior dapat
diperkirakan dengan pencahayaan oblik kamera okuli anterior. Apabila keseluruhan
trabecular meshwork, scleral spur dan prosesus siliaris dapat terlihat, sudut
dinyatakan terbuka. Apabila hanya Schwalbe’s line atau sebagian kecil dari trabecular
meshwork yang dapat terlihat, dinyatakan sebagai sudut sempit. Apabila Schwalbe’s
line tidak terlihat, sudut dinyatakan tertutup.

Gambar 7. Gambaran gonioskopi


4. Pemeriksaan tekanan intraokular
Tekanan intraokuli dapat diukur melalui pemeriksaan tonometri yang dapat
dilakukan melalui palpasi jari telunjuk, non-kontak pneumotonometri atau dengan
menggunakan alat berupa tonometer. Pemeriksan TIO dengan palpasi dilakukan
dengan menggunakan dua jari yang diletakkan diatas bola mata, bila didapatkan bola
mata yang berfluktuasi di bawah palpasi maka TIO kurang dari 20 mmHg. Namun bila
bola mata teraba keras dan tegang maka TIO diperkirakan sekitar 60 – 70 mmHg.

17
Gambar 8. Pemeriksaan palpasi TIO
Tonometer yang umumnya digunakan adalah tonometer Schiotz karena cukup
sederhana, praktis, mudah dibawa, relatif murah, kalibrasi alat mudah dan tanpa
komponen elektrik, tetapi tonometer yang menjadi gold standar pemeriksaan
tonometri adalah tonometer aplanasi Goldmann yang dilekatkan ke slitlamp untuk
mengukur besarnya gaya yang diperlukan untuk meratakan daerah kornea tertentu.
Ketebalan kornea pada masing-masing individu dapat mempengaruhi biasnya
penilaian. Semakin tebal kornea pasien maka tekanan intraokuli yang dihasilkan
cenderung tinggi, begitu pula sebaliknya, semakin tipis kornea pasien maka tekanan
intraokuli yang dihasilkan juga semakin rendah. Rentang tekanan intraokuli yang
normal adalah 10-21 mmHg, namun pada usia yang lebih tua tekanan intraokuli dapat
lebih tinggi, sehingga batas maksimum tekanan intraokuli yang digunakan adalah 24
mmHg. Pada 32-50% individu yang menderita glaukoma sudut terbuka primer akan
menunjukkan tekanan intraokuli yang normal saat pertama kali diperiksa, sehingga
diperlukan pula pemeriksaan diskus optikus glaukomatosa ataupun pemeriksaan
lapangan pandang.

Gambar 9. A. Pemeriksaan dengan tonometri Goldmann;


B. Pemeriksaan dengan tonometri Schiotz
18
5. Pemeriksaan oftalmoskopi
Pemeriksaan oftalmoskopi pada penderita glaukoma digunakan untuk menilai
diskus optikus (papil saraf optik). Komponen yang dinilai adalah warna dari diskus
optikus dan lebarnya ekskavasi (penggaungan). Diskus optikus normal memiliki
cekungan di bagian tengahnya (depresi sentral). Atrofi optikus akibat glaukoma
menimbulkan kelainan-kelainan diskus khas yang terutama ditandai oleh pembesaran
cawan diskus optikus dan pemucatan diskus di daerah cawan. Selain itu, dapat pula
terjadi pembesaran konsentrik cawan optik atau pencekungan (cupping) superior dan
inferior dan disertai pembentukan takik (notching) fokal di tepi diskus optikus.
Kedalaman cawan optik juga meningkat karena lamina kribrosa tergeser ke belakang
dan terjadi pergeseran pembuluh darah di retina ke arah hidung. Hasil akhirnya adalah
cekungan bean-pot, yang tidak memperlihatkan jaringan saraf di bagian tepinya. Pada
penilaian glaukoma, rasio cawan-diskus adalah cara yang berguna untuk mencatat
ukuran diskus optikus. Apabila terdapat kehilangan lapangan pandang atau
peningkatan tekanan intraokuli, rasio c/d lebih dari 0,5 atau terdapat asimetri yang
bermakna antara kedua mata sangat diindikasikan adanya atrofi glaukomatosa.

Gambar 10. Gambaran cupping (panah)


6. Pemeriksaan lapang pandang
Pemeriksaan lapangan pandang digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya bagian
lapang pandang yang menghilang (skotoma) dan untuk mengetahui progresivitas dari
kerusakan visual yang terjadi. Gangguan lapangan pandang akibat glaukoma terutama
mengenai 300 lapangan pandang bagian sentral. Perubahan paling dini adalah semakin
nyatanya bintik buta. Perluasan akan berlanjut ke lapangan pandang Bjerrum (150 dari

19
fiksasi) membentuk skotoma Bjerrum yang kemudian membentuk skotoma arkuata.
Daerah-daerah penurunan lapangan pandang yang lebih parah di dalam daerah
Bjerrum dikenal sebagai skotoma Seidel. Skotoma arkuata ganda di atas dan di bawah
meridian horizontal sering disertai oleh nasal step (Roenne) karena perbedaan ukuran
kedua defek arkuata tersebut.
Pengecilan lapangan pandang cenderung berawal di perifer nasal sebagai
konstriksi isopter. Selanjutnya, mungkin terdapat hubungan ke defek arkuata yang
menimbulkan breakthrough perifer. Lapangan pandang perifer temporal dan 5-10
derajat sentral baru terpengaruh pada stadium lanjut penyakit. Pada stadium akhir,
tajam penglihatan sentral mungkin normal, tetapi hanya 5 derajat lapangan pandang.
Alat-alat yang dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan lapang pandang pada
glaukoma adalah automated perimeter (misalnya Humphrey, Octopus, atau Henson),
perimeter Goldmann, Friedmann field analyzer, dan layar tangent.

20
I. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana paling efektif dalam menangani steroid induced glaucoma adalah
dengan pencegahan berupa penggunaan steroid yang selalu diawasi. Dalam hal ini,
penting sekali adanya komunikasi antara pasien dan dokter mengenai komplikasi pada
mata yang dapat muncul akibat pengunaan steroid tersebut. Tidak adanya kenaikan TIO
dalam kurun 6 minggu penggunaan steroid tidak menjamin bahwa TIO tidak akan naik
jika steroid tetap diteruskan. Karena hal tersebut, pasien dalam pengobatan menggunakan
steroid, terutama bentuk topical, harus selalu diawasi dan melakukan pemeriksaan berkala
guna mengetahui ada atau tidaknya kerusakan optik.
1. Pengawasan TIO
Pada pasien dengan pengobatan steroid (khususnya bentuk topical dan injeksi
periokular), dokter perlu mengawasi secara menyeluruh. Termasuk pengukuran TIO
awal, agar menyingkirkan diagnosis glaukoma yang sudah ada sebelumnya.
Pengawasan TIO dilakukan pertama setelah 2 minggu pemakaian steroid, dilanjuktan
setiap 4 – 6 minggu selama 2 – 3 bulan, dan kemudian setiap 6 bulan. Pada kasus
IVTA, TIO sebaiknya diukur pada hari saat dilakukan injeksi dan di minggu pertama.
2. Penghentian steroid
Kenaikan TIP akibat steroid biasanya terjadi sementara dan dapat kembali normal
jika terapi steroid dihentikan, pada pengobatan yang tidak lebih dari 1 tahun. Kenaikan
TIO yang tidak dapat kembali normal lagi jika penggunaan steroid sudah diberikan
selama lebih dari 18 bulan. TIO biasanya dapat kembali normal setelah penghentian
steroid selama 2 – 4 minggu. Agrawal et al menjelaskan bahwa penghentian
kortikosteroid intravitreal kemudian dilakukan vitrektomi dapat mengembalikan TIO
menjadi normal. Meskipun demikian, komplikasi dari vitrektomi dapat berupa
rhegmatogenous retinal detachment, vitreoretinopati proliferatif, dan menginduksi
katarak, sehingga perlu dipertimbangkan pemilihan metode lain seperti laser
trabeculopathy dan trabekulektomi. Hal yang perlu diketahui lagi bahwa penghentian
steroid kadangkala tidak langsung mengurangi efek pada mata.
Jika pengobatan steroid harus dilanjutkan, steroid harus diberikan dengan
konsentrasi rendah atau digantikan dengan kortikosteroid yang tidak lebih poten, atau
dapat diberikan antiglaukoma untuk mengontrol TIO. Rimexolone 1% adalah steroid
topical tidak menaikkkan TIO, walaupun pernah dilaporkan bahwa Rimexolone dapat
menaikkan TIO, tetapi sangat jarang. Penggunaan steroid sistemik dapat diganti

21
dengan obat lain yang memiliki fungsi yang sama, contoh : non steroid anti-
inflammatory drugs.
3. Terapi medikamentosa
Mungkin sulit untuk menghentikan pengobatan steroid, sehingga untuk
menurunkan kenaikan TIO diperlukan tindakan medis atau pembedahan. Terapi
medikamentosa pada kasus ini sama seperti penanganan pada POAG. Hamper semua
pasien yang mengalami steroid induced glaucoma dapat dikontrol kenaikan TIOnya
dengan menggunakan terapi antiglaukoma.
Beta bloker topikal merupakan agen lini pertama yang digunakan untuk mengobati
glaukoma tipe ini dan dikategorikan aman bagi pasien dengan uveitis. Alfa-2-agonis
brimobidine adalah obat yang efektif untuk menangani steroid induced glaucoma dan
dapat digunakan pada pasien dengan inflamasi intraokular.
Carbonic anhydrase inhibitor juga dianggap sebagai agen yang efektif untuk
menangani kondisi ini. Acetazolamide sering digunakan untuk mengontrol TIO yang
tinggi dalam jangka pendek dan bentuk topikal dapat digunakan untuk periode yang
lebih lama. Acetazolamide juga dianggap sebagai agen ampuh dan efektif dalam
mengontrol TIO pada pasien uveitis.
Analog prostaglandin dilaporkan dapat menginduksi uveitis dan menjadi
kontraindikasirelatif pada pasien dengan TIO tinggi setelah penggunaan steroid yang
bertujuan untuk mengontrol inflamasi. Meskipun analog prostaglandin
mungkin bukan pilihan pertama, agen ini dapat membantu dalam
beberapa situasi di mana penurunan TIO lebih lanjut diperlukan.
4. Laser trabeculoplasty
Keuntungan dari laser trabeculoplasty sangat banyak meskipun
juga mempertimbangkan kemungkinan bahaya trabeculectomy,
seperti hypotony, katarak, dan endophthalmitis. Laser
trabeculoplasty juga merupakan prosedur yang efisien waktu dan
hemat biaya bila dibandingkan dengan filtering surgery. Keuntungan
lain dari prosedur ini adalah menjaga efek steroid intraokular
sehingga efek terapeutiknya tidak berhenti. Meskipun TIO turun
setelah tindakan ini pada pasien yang memiliki steroid intraokular juga
bisa disebabkan oleh berkurangnya efek steroid, prosedur ini dapat
mengurangi TIO sampai efek hipertensi yang diakibatkan oleh steroid
menghilang. Laser trabeculoplasty dapat dianggap sebagai pilihan utama

22
untuk steroid induced ocular hypertension ketika mempertimbangkan efek
samping pada mata dan sistemik dari agen antiglaukoma.
5. Terapi pembedahan
Jika TIO pasien sangat tinggi atau tetap naik secara signifikan dalam periode waktu
tertentu, intervensi pembedahan perlu dilakukan. Meskipun banyak pasien dengan
kenaikam TIO akibat steroid dapat ditangani dengan pengobatan sistemik atau topikal,
sekitar 1 – 5 % dengan intractable glaucoma tetap membutuhkan terapi pembedahan
untuk menormalkan kembali TIO. Tindakan ini merupakan pilihan terbaik untuk
dilakukan pada pasien dengan kemungkinan kecil untuk menghentikan penggunaan
steroid.

H. PROGNOSIS
Prognosis steroid induced glaucoma tergantung pada durasi kenaikan TIO dan
bagaimana mengontrol TIO tersebut. Kenaikan TIO yang tidak terkontrol dengan baik
dapat membuat pasien mengalami kerusakan nervus optikus permanen dan menyebabkan
kebutaan permanen. Pada pasien dengan TIO yang terkontrol, prognosis glaukoma dapat
dinilai berdasarkan keparahan penyakit tersebut.

23
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Pada kasus ini, seorang perempuan berusia 22 tahun datang ke poliklinik mata
RSUD Kota Salatiga dengan keluhan pandangan kabur sejak beberapa bulan yang dilalui.
Keluhan mata yang lain tidak ada. Keluhan pandangan kabur disertai dengan keluhan
kepala sering terasa kencang sejak 2-3 bulan yang lalu, terutama kepala sebelah kanan.
Pasien mengaku menderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sejak 1,5 tahun yang
lalu dan dalam pengobatan menggunakan Methylprednisolon 8 mg dengan aturan
konsumsi 2 kali sehari. Pasien tidak memiliki riwayat sakit berat lainnya. Riwayat
penyakit berat di keluarga juga disangkal. Sehari-hari, pasien beraktivitas sebagai
mahasiswa. Selama berkuliah, pasien dapat beraktivitas dengan baik. Pasien tidak pernah
berolahraga dan jarang mengonsumsi sayur-sayuran yang cukup. Pasien tidak merokok
dan tidak mengonsumsi alkohol. Pasien tidak memiliki riwayat menggunakan produk
kecantikan yang mengandung bahan berbahaya tertentu dan tidak memiliki riwayat
penggunaan lensa kontak.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, ditemukan adanya butterfly rash (+) pada
wajah pasien. Hal ini merupakan salah satu ciri khas dari penyakit SLE. Kemudian dilakukan
pemeriksaan oftalmologikus. Pada pemeriksaan palpasi, ditemukan adanya tekanan okuler pada
kedua mata lebih keras dibandingkan dengan lidah pasien yang dipalpasi dari arah pipinya. Nyeri
tekan pada mata maupun sekitar mata tidak ada. Pemeriksaan visus menunjukkan hasil OD 6/20,
-1,00 6/6 dan OS 6/6. Pada pemeriksaan segmen anterior mata baik kanan maupun kiri tidak ada
kelainan. Kemudian dilakukan pemeriksaan tonometri sebagai berikut:
Tanggal OD OS
5 Oktober 2018 23,1 mmHg 25,1 mmHg
12 Oktober 2018 23,5 mmHg 18,7 mmHg

Kenaikan tekanan intraokuler pada pasien dapat disebabkan oleh penggunaan


steroid yang teratur setiap hari dalam jangka waktu yang lama. Mekanisme steroid
sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler belum diketahui secara
pasti. Menurut beberapa penelitian yang dilakukan ditemukan bukti bahwa sel trabecular
meshwork memiliki reseptor glukokortikoid, dan aktivasi reseptor ini oleh steroid
mengubah struktur dan ekspresi protein sel trabecular meshwork. Steroid telah terbukti
mengubah morfologi sel trabecular meshwork dengan menyebabkan peningkatan ukuran

24
nukleus dan kandungan DNA. Perubahan pada mikrostruktural trabecular meshwork dan
aktivitas sel mengakibatkan penurunan proliferasi, migrasi dan fagositosis sel trabecular
meshwork. Hal ini mengakibatkan berkurangnya jumlah sel trabecular meshwork pada
pasien dengan steroid induced glaucoma dan terjadi akumulasi debris ekstraseluler secara
progresif dan meningkatkan resistensi aqueous humor.
Akan tetapi, pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti
pemeriksaan lapang pandang dan pemeriksaan papil nervus optikus. Hal ini bertujuan
untuk melihat apakah sudah terdapat defek lapang pandang dan apakah terjadi atrofi papil
nervus optikus. Jika keduanya telah terjadi, maka pasien dapat didiagnosis dengan steroid
induced glaucoma. Akan tetapi, jika hanya ada kenaikan TIO maka pasien didiagnosis
dengan steroid induced ocular hypertension.
Prinsip penanganan glaukoma adalah dengan menurunkan TIO pasien hingga
mencapai < 22 mmHg pada glaukoma sudut tertutup dan 20-60% dari TIO awal pada
glaukoma sudut terbuka. Suatu tekanan sebesar “x” mmHg dapat disebut sudah aman bagi
seorang individu jika tidak terjadi progresifitas kerusakan saraf optik. Hal ini dapat
diketahui dengan cara melakukan evaluasi papil saraf optik setiap 3 bulan dan
pemeriksaan lapang pandang setiap 6 bulan. Jika stabil, artinya tidak progresif dan TIO
sebesar “x” mmHg aman bagi individu tersebut. Cara menurunkan TIO adalah dengan
menurunkan produksi aqueous humor oleh badan siliar atau menambah pembuangan
aqueous humor melalui trabekulum meshwork dan uveosklera.

B. KESIMPULAN
1. Glaukoma merupakan salah satu penyakit pada mata akibat penggunaan steroid jangka
panjang, baik penggunaan steroid sistemik, topikal pada kulit, topikal pada mata,
injeksi periokular, intravena, maupun bentuk yang lain.
2. Penegakan diagnosis untuk steroid induced glaucoma sama seperti penegakan
glaukoma pada umumnya, yaitu adanya atrofi papil nervus optikus, defek lapang
pandang, yang disertai dengan kenaikan TIO.
3. Prinsip utama dalam penanganan steroid induced glaucoma adalah dengan selalu
mengawasi TIO selama pasien menjalani pengobatan steroid. Selain itu, perlu
dilakukan evaluasi rutin terhadap defek lapang pandang dan atrofi papil nervus
optikus.
4. Penanganan pasien glaukoma dapat diberikan pengobatan terlebih dahulu hingga TIO
stabil. Jika TIO tidak stabil setelah dilakukan pengobatan, maka perlu dipikirkan
penanganan berupa pembedahan.

25
5. Selain diberi pengobatan berupa obat topikal atau sistemik untuk pasien dengan
steroid induced glaucoma, perlu dipertimbangkan juga untuk menghentikan
pengobatan steroid jika steroid dapat digantikan dengan obat lain. Jika hal tersebut
tidak dapat dilakukan, maka dapat diganti dengan steroid dengan potensi rendah
menyebabkan glaukoma.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Razeghinejad,MR & Katz, LJ. (2012). Steroid Induced Iatrogenic Glaucoma. Opthalmic
Research 2012;47: pp 66 – 80
2. Jain, D.,Dangda, S., Yadava, U., & Gupta, S. (2010). Historical Review of Steroid Induced
Glaucoma. Journal of Current Glaucoma Practice, 2010;4(3); pp 109 – 113
3. Dada, T., Nair, S., & Dhawan, M. (2009). Steroid Induced Glaucoma. Journal of Current
Glaucoma Practice, 2009;3(2); pp 33 – 38
4. Hemmati, HD & Alan, AL. (2008). Update on Steroid Induced Glaucoma. Glaucoma
Today July-August 2008; pp 24 – 26
5. Miza, B. (2016). Steroid Induced Glaucoma. Laporan Kasus Kepaniteraan Klinik
Fakultas Kedoktern Universitas Syiah Kuala.
6. Phulke, S., Kaushik, S., Kaur, S., & Pandav, SS. (2017). Steroid Induced Glaucoma : An
Irreversible Blindness. Journal of Current Glaucoma Practice, May-August 2017;11(2);
pp 67 – 72
7. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. (2009). Lupus Eritematosus Sistemik. In Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing
8. Nafees. (2010). Drug-induced Glaucoma. The Hong Kong Medical Diary vol.15 no.10 pp
29 – 32

27

Anda mungkin juga menyukai