Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sufiyanti (2017) dalam Andayani (2018: 3)menjalani perawatan di rumah
sakit dapat menimbulkan stres pada anak. Hospitalisasi merupakan suatu
proses yang mengharuskan anak tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi
dan perawatan sampai akhirnya kembali ke rumah. Selama proses hospitalisasi,
anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian dan pengalaman yang
dapat menimbulkan trauma dan penuh dengan stres
Hasil survey yang dilakukan oleh WHO (2008) hampir 80% anak
mengalami perawatan di rumah sakit, sedangkan di Indonesia melibatkan
orang tua dalam memberikan asuhan keperawatan anak yang berdasarkan
kepada filosofi keperawatan anak (Hockenberry & Wilson, 2013). Teknik non
farmakologis yang dilakukan berbeda sesuai dengan umur pasien dan
perkembangannya, oleh karena itu penting untuk menilai tahap perkembangan
anak dan berdasarkan survey kesehatan Ibu dan anak tahun 2010 didapatkan
bahwa dari 1.425 anak yang di hospitalisasi 33,2% mengalami dampak
hospitalisasi berat, 41,6% mengalami dampak hospitalisasi sedang dan 25,2%
mengalami dampak hospitalisasi ringan (Rahma dan Puspasari, 2010 dalam
Santoso, Haryani, & Meikawati, 2013).
Hockenberry & Wilson, (2013) dalam Andayani (2018: 3), atraumatic
care merupakan salah satu filosofi atau dasar dalam penerapan pelayanan
asuhan keperawatan pada anak. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak
trauma saat menjalani perawatan fisik pada anak maupun keluarga Berbagai
kemajuan yang luar biasa telah dicapai dalam keperawatan anak sehingga
menimbulkan banyak perubahan dalam pemnyembuhan penyakit dan
memperpanjang kehidupan anak. Namun proses tersebut merupakan hal yang
bersifat traumatis, menyakitkan, merepotkan, dan menakutkan.
Konsep keperawatan anak juga tidak terlepas dari Family Centered Care
(FCC) dan atraumatic care. FCC menekankan pemberdayaan keluarga dalam
perawatan anak. Keluarga harus berpartisipasi secara tepat dalam
keterlibatannya merawat anggota keluarga yang sedang sakit.

1
1.2. Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud dengan atraumatic care ?
2) Apasaja manfaat dari tindakan atraumatic care ?
3) Bagaimana prinsip yang dilakukan ?
4) Bagaimana intervensi yang dapat dilakukan ?
5) Apasaja faktor-faktor yang mempengaruhinya ?
1.3. Tujuan
1) Untuk mengetahui maksud atau definisi dari atraumatic care
2) Untuk menegtahui manfaat dari tindakan atraumatic care
3) Untuk mengetahui prinsip yang akan dilakukan
4) Untuk mengetahui intervensi yang dapat dilakukan
5) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Atraumatic care adalah penyediaan asuhan terapeutik dalam lingkungan
yang bertujuan untuk menghapuskan atau memperkecil distres psikologis dan
fisik pada anak-anak dan keluarganya dalam pelayanan kesehatan (Wong, et al,
2009).
Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan oleh
tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan anak, melalui penggunaan
tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang
dialami anak maupun orang tua (Supartini, 2012).
Asuhan terapeutik tersebut mencakup pencegahan, diagnosis, atau
penyembuhan kondisi akut atau kronis. Intervensi dimulai dari pendekatan
psikologis berupa menyiapkan anak-anak untuk prosedur pemeriksaaan,
sampai pada intervensi fisik seperti menyediakan ruangan untuk orang tua
tinggal bersama anak dalam satu kamar (rooming in). Distres psikologis
meliputi kecemasan, ketakutan, kemarahan, kekecewaaan, kesedihan, malu,
atau rasa bersalah. Sedangkan distres fisik dapat meliputi dari kesulitan tidur
dan immobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang mengganggu
seperti rasa sakit (nyeri), temperatur ekstrem, bunyi keras, cahaya yang dapat
menyilaukan atau kegelapan (Wong, et al, 2009).
Maka, dapat disimpulkan atraumatic care adalah pelaksanaan perawatan
terapeutik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan tujuan untuk
mencegah dan atau meminimalkan timbulnya distres fisik maupun psikologis
pada anak dan keluarga.

2.2. Manfaat Atraumatic Care


penelitian juga telah membuktikan bahwa penerapan atraumatic care
memiliki pengaruh atau hubungan terhadap penurunan respon kecemasan pada
anak yang di hospitalisasi (Bolin, 2011 & Breving, et al., 2015).

3
2.3. Prinsip – prinsip Atraumatic Care
Menurut Supartini (2012), untuk mencapai perawatan tersebut beberapa
prinsip yang dapat dilakukan oleh perawat antara lain:
1. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga
Dampak sari perpisahan keluarga, anak mengalami gangguan psikologis
seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang. Gangguan ini akan
menghambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak.
2. Memningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perkembangan
anak
Melalui prinsip ini, diharapkan anak mampu mandiri dalam kehidupannya.
Menjadikan anak akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, dan selalu bersikap waspada dalam segala hal.
3. Mencegah atau mengurangi cedera dan nyeri
Proses pengurangan rasa nyeri tidak bisa dihilangkan secara cepat, tetapi
dapat dikurangi melalui tindakan distraksi, relaksasi, dan imajinasi.
Apabila tindakan pencegahan tidak dilakukan, maka cedera dan nyeri akan
berlangsung lama pada anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan anak.
4. Tidak melakukan kekerasan pada anak
Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis yang berarti
dalam kehidupan anak. Apabila terjadi saat anak dalam tahap tumbuh
kembang, maka kemungkinan proses pematangan akan terhambat,
sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka.
5. Modifikasi lingkungan fisik
Melalui modifikasi lingkungan fisik, anak dapat meningkatkan keceriaan,
perasaan aman, dan nyaman.

2.4. Intervensi Atraumatic Care


Perawat melakukan interaksi dengan pasien selama 24 jam yang
merupakan pemegang posisi untuk membantu orang tua menghadapi
permasalahan yang berkaitan dengan anaknya di rumah sakit yang berfokus

4
untuk meningkatkan kesehatan anak. Asuhan yang berpusat pada keluarga dan
atraumatic care merupakan falsafah utama dalam pelaksanaan keperawatan
anak. Oleh karena itu upaya dalam mengatasi masalah yang timbul baik pada
anak maupun orang tuanya selama dalam masa perawatan berfokus pada
intervensi atraumatic care yang berlandaskan prinsip atraumatic care
(Supartini, 2012).
Reaksi hospitalisasi yang ditunjukkan oleh anak bersifat individual dan
sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan
koping yang dimiliki. Anak yang mengalami stres selama dalam masa
perawatan, dapat membuat orang tua menjadi stres dan stres orang tua juga
akan membuat tingkat stres anak semakin meningkat (Sufyanti et al, 2007).
2.4.1. Menurunkan Atau Mencegah Dampak Perpisahan Keluarga
Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan pada anak dapat
dilakukan dengan cara melibatkan orang tua berperan aktif dalam
perawatan anak (Supartini, 2014), yaitu:
1. Melakukan rooming in atau jiks tidak memungkinkan, maka berikan
kesempatan orang tua untuk melihatn anak setiap saat dengan
maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka.
2. Memodifikasi ruang perawatan seperti di rumah atau taman bermain
yang membuat anak semakin merasa nyaman.
3. Pertahankan kontak dengan memfasilitasi pertemuan dengan guru,
teman sekolah, dan siapa saja yang anak inginkan.
4. Libatkan orang tua untuk berpartisipasi dalam merawat anak yang
sakit.
2.4.2. Meningkatkan Kemampuan Orang Tua Dalam Mengontrol
Perawatan Anak
Perawat dapat mendiskusikan dengan keluarga tentang kebutuhan
anak untuk membantu orang tua dengan cara memberikan informasi
yang berhubungan dengan penyakit, prosedur pengobatan, prognosis
serta perawatan yang dapat dilakukan orang tua, dan reaksi emosional
anak terhadap sakit dan hospitalisasi (Wong et al, 2009).

5
Perawat dapat juga menginformasikan kepada orang tua tentang
mainan yang boleh dibawa ke rumah sakit, membuatkan keluarga jadwal
untuk anak, serta penting untuk perawat dalam mempersiapkan anak dan
orang tuanya sebelum dirawat di rumah sakit melalui kegiatan
pendidikan kesehatan pada orang tua. Sehingga selama perawatan di
rumah sakit orang tua diharapkan dapat belajar dalam hal peningkatan
pengetahuan maupun keterampilan yang berhubungan dengan keadaan
sakit anaknya (Supartini, 2012).
2.4.3. Mencegah Atau Menurunkan Cedera Fisik Maupun Psikologis
(Nyeri).
Dalam melakukan pengkajian, nyeri merupakan komponen penting
dalam proses keperawatan terkait mengurangi atau mencegah dampak
nyeri. Wong et al (2009) berpendapat bahwa nyeri adalah apapun yang
dikatakan oleh orang yang mengalaminya, ada pada saat orang tersebut
mengatakan itu terjadi. Wong et al (2009) juga menyatakan bahwa
prinsip pengkajian nyeri pada anak-anak adalah QUESTT yaitu:
1. Question the child (tanyakan pada anak),
2. Use a pain rating scale (gunakan skala nyeri),
3. Evaluate behavioral and physiologic changes (evaluasi
perubahan sikap dan fisiologis),
4. Secure parent’s involvement (pastikan keterlibatan orang tua),
5. Take the cause of pain into account (pertimbangkan penyebab
nyeri), dan
6. Take action and evaluate results (lakukan tindakan dan
evaluasi hasilnya).
Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu:
1. Teknik nonfarmakologi dapat dilaksanakan melalui distraksi,
relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi kutaneus,
memberikan strategi koping yang dapat mengurangi persepsi
nyeri dengan cara bicara hal yang positif pada diri sendiri,
berhenti berfikir tentang hal menyakitkan, dan kontrak perilaku
(Wong et al, 2009).

6
2. Teknik farmakologis dilakukan dengan cara meningkatkan
efektivitas dari pemberian obat melalui penggunaan prinsip 6T,
meliputi: tepat klien, tepat obat, tepat dosis, tepat cara
pemberian (jalur), tepat waktu, dan tepat dokumentasi (Utami,
2012).
Supartini (2012) menyatakan bahwa meminimalkan rasa takut
terhadap cedera dan nyeri pada tubuh dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:
1) Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan
prosedur yang menimbulkan rasa nyeri.
Persiapan ini dilakukan perawat dengan cara menjelaskan
apa tindakan yang akan dilakukan dan memberikan dukungan
psikologis pada orang tua (Supartini, 2012). Persiapan anak-anak
untuk menghadapi prosedur yang menakutkan dapat menurunkan
ketakutan mereka, serta memanipulasi teknik prosedural untuk
anak-anak di setiap kelompok umur juga meminimalkan
ketakutan akan cedera tubuh (Wong et al, 2009).
2) Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan
pada anak.
Permainan yang bisa dilakukan diantaranya bercerita,
menggambar, menonton video kaset dengan cerita yang
berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan
pada anak (Supartini, 2012). Bermain adalah salah satu aspek
penting dari kehidupan anak dan salah satu alat paling efektif
untuk penatalaksanaan stres, serta bermain juga sangat penting
bagi mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak (Wong et
al, 2009). Kebutuhan bermain bagi anak sama halnya dengan
kebutuhan perkembangan anak, tidak berhenti saat anak sakit
atau saat hospitalisasi. Bermain di rumah sakit memberikan
banyak manfaat pada anak yaitu memberikan pengalihan dan
menyebabkan relaksasi, membantu anak merasa lebih nyaman di
lingkungan yang asing, membantu mengurangi stres akibat

7
perpisahan dan perasaan rindu rumah, sebagai alat untuk melepas
ketegangan dan ungkapan perasaan, meningkatkan interaksi dan
perkembangan sikap yang positif terhadap orang lain, sebagai
alat ekspresi ide-ide dan minat, sebagai alat untuk mencapai
tujuan terapeutik, dan menempatkan anak pada peran aktif dan
memberi kesempatan pada anak untuk menentukan pilihan dan
merasa mengendalikannya (Wong, et al., 2009).
Supartini (2014) mengemukakan bahwa dalam melakukan
aktivitas bermain perawat hendaknya memperhatikan prinsip
permainan yang diterapkan pada anak di rumah sakit, yaitu:
a) Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan
yang sedang dijalankan pada anak. Apabila anak harus tirah
baring, harus dipilih permainan yang dapat dilakukan di
tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain dengan
kelompoknya di tempat bermain khusus yang ada di ruang
rawat. Contohnya, sambil tiduran di tempat tidurnya, anak
dapat dibacakan buku cerita atau diberi buku komik anak-
anak, mobil-mobilan yang tidak menggunakan remote
control, robot-robotan, dan permainan lain yang dapat
dimainkan anak sambil tiduran.
b) Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, dan
sederhana. Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak,
menggunakan alat permainan yang ada pada anak atau yang
tersedia di ruangan. Kalaupun akan membuat suatu alat
permainan, pilih yang sederhana agar tidak melelahkan anak.
Misalnya, menggambar, mewarnai, bermain boneka, dan
membaca buku cerita.
c) Permainan yang harus mempertimbangkan keamanan pada
anak. Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak
tajam, tidak merangsang anak untuk berlari-lari, dan
bergerak secara berlebihan.

8
d) Permainan harus melibatkan kelompok umur yang sama.
Apabila permainan dilakukan khusus di kamar bermain
secara berkelompok, permainan harus dilakukan pada
kelompok umur yang sama. Contohnya, permainan
mewarnai pada kelompok usia prasekolah.
e) Permainan yang melibatkan orang tua. Satu hal yang harus
dan wajib diingat oleh orang tua maupun perawat bahwa
orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan
upaya stimulasi tumbuh-kembang pada anak walaupun
sedang dirawat di rumah sakit, termasuk dalam aktivitas
bermain anaknya. Perawat hanya bertindak sebagai
fasilitator sehingga apabila permainan diinisiasi oleh
perawat, orang tua harus terlibat secara aktif dan
mendampingi anak mulai dari awal permainan sampai
mengevaluasi hasil permainan anak bersama dengan perawat
dan orang tua anak lainnya.
3) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua.
Pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri apabila orang tua tidak dapat menahan
diri, bahkan menangis bila melihatnya. Maka, perlu
dipertimbangkan untuk menghadirkan orang tua. Sebaiknya
dalam kondisi ini tawarkan pada anak dan orang tua untuk
mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak
selama prosedur tindakan (Supartini, 2012).
4) Tunjukkan sikap empati.
Menunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama
dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan.
Empati merupakan kemampuan untuk memahami dan menerima
realita seseorang, merasakan perasaan dengan tepat, dan
mengkomunikasikan pengertian kepada pihak lain. Untuk
mengekspresikan empati, perawat memberikan pengertian atas
kepentingan pesan berdasarkan tingkat perasaan. Teknik ini

9
mengharuskan perawat untuk sensitif dan imajinatif, terutama
jika perawat tidak memiliki pengalaman terdahulu. Empati
merupakan tujuan yang penting, kunci untuk menyelesaikan
masalah, dan mendukung komunikasi. Pernyataan yang
menunjukkan empati sangat efektif karena memperlihatkan
perhatian perawat atas perasaan dan fakta dari komunikasi.
Empati bersifat netral, tidak menuduh, dan membantu
pembentukan kepercayaan dalam situasi yang sulit (Potter &
Perry, 2009).
5) Lakukan persiapan khusus jauh hari sebelumnya pada tindakan
pembedahan elektif (apabila memungkinkan).
Dalam melakukan Persiapan khusus yang dapat dilakukan
misalnya, dengan mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang
akan dilakukan, dan petugas yang akan menangani anak melalui
cerita, gambar, atau menonton film video yang menggambarkan
kegiatan operasi tersebut. Terlebih dahulu lakukan pengkajian
yang akurat tentang kemampuan psikologis anak dan orang tua
untuk menerima informasi dengan terbuka. Lakukan pula
relaksasi pada fase sebelum operasi sebagai persiapan untuk
perawatan pasca operasi (Supartini, 2012).
2.4.4. Modifikasi lingkungan fisik
Memodifikasi lingkungan yang bernuansa anak-anak dapat
dilakukan dengan penataan atau dekorasi menggunakan alat tenun dan
tirai bergambar bunga atau binatang lucu, hiasan dinding bergambar
dunia binatang atau fauna, papan nama pasien bergambar lucu, dinding
berwarna dan penggunaan warna yang cerah di ruangan, serta tangga
dicat warna-warni (Supartini, 2012).
Penggunaan Pakaian seragam tim kesehatan yang berwarna putih
pun bisa menjadi stressor bagi anak, layaknya lingkungan rumah sakit
yang asing bagi anak dan orang tua (Supartini, 2012). Sehingga
penggunaan pakaian multi warna nonkonvensional pada perawat lebih
disukai oleh anak-anak dan orang tua yang anaknya dirawat di rumah

10
sakit. Selain itu, seragam perawat yang berwarna mampu meningkatkan
persepsi orang tua tentang keandalan perawat dimana penggunaan
pakaian perawat yang nonkonvensional dapat berkontribusi untuk
meningkatkan hubungan anak dan perawat (Utami, 2012).

2.5. Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Stress Saat Anak Menjalani


Hospitalisasi
Beberapa faktor yang menimbulkan stres saat anak menjalani
hospitalisasi menurut Utami (2014), seperti:

2.5.1. Faktor Lingkungan Rumah Sakit


Rumah sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan dilihat
dari sudut pandang anak-anak. Suasana rumah sakit yang tidak
familiar, wajah-wajah yang asing, berbagai macam bunyi dari mesin
yang digunakan, dan bau yang khas, dapat menimbulkan kecemasan
dan ketakutan baik bagi anak ataupun orang tua.
2.5.2. Faktor Berpisah Orang Tua Yang Sangat Berarti
Berpisah dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang familiar
digunakan sehari-hari, juga rutinitas yang biasa dilakukan dan juga
berpisah dengan anggota keluarga lainnya.
2.5.3. Faktor Kurangnya Informasi
Hal ini dimungkinkan mengingat proses hospitalisasi merupakan
hal yang tidak umum di alami oleh semua orang. Prosesketika
menjalani hospitalisasi juga merupakan hal yang rumit dengan
berbagai prosedur yang dilakukan.
2.5.4. Faktor Kehilangan Kebebasan dan Kemandirian
Aturan ataupun rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang dijalani
seperti tirah baring, pemasangan infus dan lain sebagainya sangat
mengganggu kebebasan dan. kemandirian anak yang sedang dalam
taraf perkembangan
2.5.5. Faktor Pengalaman Terkait Pelayanan Kesehatan
Semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit,
maka semakin kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya.

11
2.5.6. Faktor Perilaku atau Interaksi Petugas Rumah Sakit
Khususnya perawat; mengingat anak masih memiliki keterbatasan
dalam perkembangan kognitif, bahasa dan komunikasi. Perawat juga
merasakan hal yang sama ketika berkomunikasi, berinteraksi dengan
pasien anak yang menjadi sebuah tantangan, dan dibutuhkan
sensitifitas yang tinggi serta lebih kompleks dibandingkan dengan
pasien dewasa. Selain itu berkomunikasi dengan anak juga sangat
dipengaruhi oleh usia anak, kemampuan kognitif, tingkah laku,
kondisi fisik dan psikologis tahapan penyakit dan respon pengobatan.
Fasilitas atau sarana di rumah sakit sangat diperlukan untuk
mewujudkan sikap perawat agar menjadi tindakan, seperti tersedianya
ruang bermain atau alat-alat permainan untuk melakukan intervensi
bermain pada anak, tersedianya tirai bergambar bunga atau binatang
lucu, hiasan dinding bergambar dunia binatang atau fauna, papan
nama pasien bergambar lucu, dan tersedianya pakaian berwarna warni
untuk perawat di ruang anak (Supartini, 2012).

12
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan oleh
tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan anak, melalui penggunaan
tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang
dialami anak maupun orang tua (Supartini, 2012).
Atraumatic care merupakan hal yang sangat penting karena merupakan
salah satu filosofi dari keperawatan anak dengan tujuan untuk mengurangi
dampak trauma saat menjalani perawatan baik fisik maupun psikologi pada
anak (Andayani, 2018).

3.2. Saran
Kami menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam pembuatan makalah
ini. Oleh karena itu, saran dari pihak pembaca akan sangat membantu
kedepannya dalam pembuatan makalah menjadi lebih baik lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Andayani, Rifka Putri. 2018. Atraumatic Care: Audiovisual Dengan Portabel


DVD Pada Anak, (1): 3-4

Bolin, Novita. 2010. Hubungan Penerapan Atraumatik Care Dalam


Pemasangan Infus Terhadap Respon Kecemasan Pada Anak Yang
Mengalami Hospitalisasi di Irna D Anak Rumah Sakit Dr. M. Djamil
Padang Tahun 2010. Skripsi, Padang: Universitas Andalas

Hockenberry, M. J., & Wilson, D. 2013. Wong’s essentials of pediatric nursing.


St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier

Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan Edisi 7. Jakarta : Salemba


Medika

Supartini, Yupi. 2012. Buku Ajar Konsep Keperawatan Anak. Jakarta: EGC

Sufiyanti, Y., Sudiana, I. K., Kristiawati, & Indah. 2007. Terapi Bermain dan
Terapi Musik

Utami, Resti. 2012. Hubungan Penerapan Atraumatic Care Dengan Tingkat


Kepuasan Orang Tua Anak Selama Proses Hospitalisasi Di Ruang
Anak RSD Balung Jember. Skripsi. Universitas Jember. Jember

Utami, Yuli. 2014. Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak,


(2): 8

Wong., et al. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

14

Anda mungkin juga menyukai