Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit kronis yang
merusak dan menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh
peradangan yang merupakan respon normal dari sistem kekebalan tubuh.
Peradangan pada sendi menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak serta gejala
lainnya. Selain itu, peradangan sering mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh.
Jika peradangan tidak dihambat atau dihentikan, akhirnya akan menghancurkan
sendi yang terkena dan jaringan lainnya.1
Diseluruh dunia, insiden JRA diperkirakan 2 - 20 kasus per 100.000 anak
dengan prevalensi 16 - 150 kasus per 100.000 anak. Di Indonesia, insiden JRA
belum diketahui dengan jelas. Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) biasanya muncul
sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat terjadi lebih awal, dengan
frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan lebih sering terkena dari pada
laki-laki.2,3
Tipe JRA yang paling umum pada anak usia kurang dari 8 tahun adalah
pausiartikular. Tipe ini hanya mempengaruhi beberapa sendi, yakni kurang dari
lima sendi seperti sendi bahu, siku, pinggul, dan lutut. Gejala lain yang dapat timbul
adalah demam tinggi, ruam pada kulit, dan masalah lain yang disebabkan oleh
peradangan pada organ dalam seperti jantung, limpa, hati, dan saluran pencernaan.
Tipe ini merupakan 30% dari seluruh kasus JRA.1
Anak dengan JRA mungkin menderita komplikasi spesifik dari setiap jenis
JRA. Komplikasi yang paling sering berhubungan dengan efek samping dari obat,
terutama obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), seperti ibuprofen. Bila sering
digunakan, obat ini dapat menyebabkan iritasi, rasa nyeri, dan pendarahan di
lambung dan usus bagian atas. Obat-obat tersebut juga dapat menyebabkan
kerusakan pada hati dan ginjal yang sering tidak bergejala sampai tahap yang sangat
parah. Selain itu, pertumbuhan anak bisa terganggu yang menyebabkan anak gagal
tumbuh. 1,2,3

1
Tingginya insiden JRA serta komplikasi yang dapat mengganggu tumbuh
kembang anak sehingga menuntut dokter umum untuk menguasai diagnosa dan
penanganan JRA. Pada referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Juvenile
Rheumatoid Arthritis dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami tentang
penyakit JRA sehingga mampu menegakkan diagnosa pasien dengan JRA. Metode
penulisan referat ini merujuk ke berbagai literatur. Diharapkan dengan tulisan ini
dapat memberikan informasi kepada penulis maupun pembaca mengenai JRA.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) adalah salah satu bentuk penyakit
peradangan kronis autoimun yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat
yang menyerang sendi, onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih
dari 6 minggu, setelah menyingkirkan penyebab lain.1,2,4 Pengetahuan tentang
penyakit reumatik anak terus berkembang dan para peneliti membuat klasifikasi
dan kriteria diagnosis. Dari berbagai klasifikasi tersebut yang paling berpengaruh
adalah skema yang dibuat oleh American College of Rheumatology (ACR, dahulu
bernama America Rheumatism Association=ARA) tentang juvenile rheumatoid
arthritis (artritis reumatoid juvenil=ARJ), dan oleh European League Against
Rheumatism (EULAR) tentang juvenile chronic arthritis (artritis kronik
juvenil=AKJ). ACR lebih memandang penyakit ini sebagai kelompok penyakit
reumatoid pada anak, sedangkan EULAR mempelajarinya sebagai artitis kronik.3
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) selain dikenal dengan Juvenile Chronic
Arthritis (JCA) juga dikenal dengan Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA).
Berdasarkan International League of Association for Rheumatology (ILAR)
didefinisikan sebagai artitis yang tidak diketahui penyebabnya, pada anak usia
kurang dari 16 tahun yang berlangsung menetap selama minimal 6 minggu.
Penyakit ini didiagnosis setelah menyingkirkan penyebab lain.

2.2. Etiologi
Etiologi JRA belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respon yang
abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran
imunogenetik diduga memiliki pengaruh yang sangat kuat.4
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit autoimun dimana
sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang seharusnya
dilindungi. Namun, belum pernah ditemukan autoantibodi spesifik untuk JRA.
Penyebab yang mungkin adalah respon imun pejamu yang secara genetik rentan
terhadap suatu antigen (yang belum diketahui). Secara luas dipercaya bahwa

3
pemicu respon imun awal adalah suatu agen infeksius. Antigen Presenting Cell
(APC) menelan protein asing, mengolahnya, dan kemudian menyajikan peptida
antigenik melalui reseptor MHC klas II ke sel T-helper CD4+ yang mengenali
peptida antigenik melalui reseptor antigen sel T-klonotipik (TCR). Sel T-helper
yang sudah diaktifkan mengeluarkan berbagai sitokin dan merekrut sel T lain dan
sel B yang dipacu untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma penghasil antibodi.
Pada dewasa, antigen MHC klas II HLA-DR4 dan HLA-DR1 dikaitkan dengan
peningkatan kerentanan terhadap JRA. Sedangkan pada anak, peningkatan
kerentanan terhadap JRA dikaitkan dengan HLA-DR5 dan HLA-DR8. Protein
MHC klas II ini mungkin sama-sama memiliki sekuen spesifik asam amino yang
berkaitan dengan cara menyajikan antigen tertentu yang kemudian menyebabkan
peningkatan kerentanan terjadinya radang sendi.6
Belum pernah berhasil diisolasi suatu agen infeksius tertentu yang secara
spesifik menyebabkan artritis walaupun sudah dilakukan riset intensif bertahun-
tahun. Mikroorganisme yang mungkin berperan sebagai agen infeksius antara lain
virus limfotropik sel T tipe 1, virus rubella, sitomegalovirus, herpesviridiae,
mikoplasma, dan virus Epstein-Barr (EBV). Epstein-Barr (EBV) adalah suatu
aktivator poliklonal sel B yang menghasilkan banyak immunoglobulin, termasuk
faktor reumatoid. Sebagian orang dewasa penderita artritis reumatoid terbukti
memperlihatkan peningkatan jumlah sel B yang terinfeksi oleh EBV dalam
sirkulasi serta penurunan respon sel T sitotoksik terhadap virus tersebut.6
Terdapat data yang menunjang suatu respon autoimun sebagai kausa primer
artritis reumatoid tetapi data tersebut belum kuat. Kolagen dan IgG adalah protein
utama yang paling sering dianggap sebagai auto-antigen. Reaksi terhadap kolagen
dapat menyebabkan artritis pada hewan pengerat dan mamalia yang lebih tinggi
tetapi antibodi terhadap kolagen yang terdapat di tulang rawan sendi tampaknya
tidak menyebabkan artritis reumatoid pada manusia. Ketika terjadi kerusakan
tulang rawan pada artritis, terbentuk autoantibodi terhadap bagian kolagen yang
mengalami degradasi. Autoantibodi ini bersama dengan faktor reumatoid
mengendap di tulang rawan dan berfungsi sebagai kemoatraktan dan menyebabkan
proses kerusakan secara terus-menerus. Sel T CD4+ aktif berkumpul di dalam
ruang sendi. Membran sinovial juga terkena. Makrofag dan fibroblas menghasilkan

4
interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor α (TNF-α) yang menumpuk di
membran sinovial. Sitokin-sitokin ini memiliki efek luas terhadap banyak sel serta
menyebabkan pengaktifan dan proliferasi sel T lebih lanjut, peningkatan aktivitas
prostaglandin dan protease penghancur matriks, serta resorpsi tulang.6
Netrofil adalah sel utama dalam cairan sendi walaupun limfosit dan makrofag
merupakan sel predominan di membran sinovial. Kemoatraktan untuk netrofil
adalah C5a yang dihasilkan dari pengaktifan komplemen, leukotrien B4, dan
platelet activating factor. Netrofil dalam cairan sendi dengan cepat memakan debris
sel dan komplek imun. Pengaktifan netrofil menyebabkan terjadinya degranulasi,
pengeluaran protease, dan pembentukan rangsangan kemotaktik lebih lanjut. Di
cairan sendi, pengaktifan sistem komplemen, pengeluaran enzim lisosom oleh
netrofil, pembentukan oksidan reaktif, pembentukan kinin vasoaktif oleh kalikrein,
serta pengaktifan fibrinolisis dan jenjang pembekuan menyebabkan terjadinya
peradangan yang intensif. Rasa nyeri, peningkatan suhu, kemerahan, dan efusi
mencerminkan peradangan sendi akut.6

2.3. Epidemiologi
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) pada anak bukan penyakit yang jarang,
namun frekuensi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit ini terdapat pada semua ras
dan geografik, namun insidennya di seluruh dunia berbeda-beda. Insiden JRA
bervariasi antara 2 sampai 20 per 100.000 anak. JRA biasanya bermula sebelum
usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat terjadi lebih awal, dengan frekuensi
tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki.2,3
Sekitar 300.000 anak di Amerika Serikat diperkirakan menderita artritis
dengan berbagai tipe. Insiden JRA diperkirakan 4-14 kasus per 100.000 anak per
tahun. Di seluruh dunia, JRA terjadi lebih sering pada populasi tertentu seperti
Inggris, Columbia dan Norwegia. Sebuah studi dari Jerman menemukan tingkat
prevalensi 20 kasus per 100.000 penduduk, dengan insiden 3,5 kasus per 100.000
penduduk. Di Norwegia tingkat prevalensi sekitar 148 kasus per 100.000 penduduk
dengan insiden 22 kasus per 100.000 penduduk. Insiden JRA di Jepang dilaporkan
sangat rendah.1

5
Angka kematian JRA sulit untuk dihitung tetapi diperkirakan kurang dari 1%
di Eropa dan kurang dari 0,5% di Amerika Utara. Sebagian besar kematian JRA di
Eropa terkait dengan amiloidosis, dan di Amerika Serikat berhubungan dengan
infeksi.1
Persentase berbagai tipe JRA adalah sebagai berikut :1
a) Pausiartikular : 30%
b) Poliartikular (faktor reumatoid negatif) : 20%
c) Poliartikular (faktor reumatoid positif) : 5%
d) Onset sistemik : 5%
e) Psoriatik : 5%
f) Terkait enthesitis : 25%
g) Undifferentiated : 10%
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe pausiartikular dan poliartikular
lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio
masing-masing 3 : 1 dan 2,8 : 1. Sedangkan tipe sistemik terjadi dengan frekuensi
yang sama antara anak laki-laki dan perempuan.1
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) dengan tipe poliartikular faktor
rematoid negatif memiliki puncak onset bifasik. Puncak pertama terjadi pada usia
muda (1-4 tahun), mirip dengan JRA pausiartikular, dan puncak kedua terjadi pada
usia 6-12 tahun. Poliartikular faktor rematoid positif lebih sering terjadi pada
remaja. Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe sistemik tidak memiliki puncak
onset usia.1
Penelitian deskriptif cross sectional dilakukan untuk memperoleh profil
pasien JRA berdasarkan kriteria dan klasifikasi ILAR (International League of
Associations for Rheumatology) di RSCM. Selama kurun waktu 6 tahun sejak 1
Januari 2001 hingga 31 Desember 2006 di RSCM didapatkan 203 pasien dengan
keluhan utama artritis. Peneliti menemukan 68 pasien merupakan penderita JRA
(34,3%). Tipe oligoartikular merupakan jenis terbanyak yang ditemukan (40,8%).6

6
2.4. Patogenesis
Artritis reumatoid ditandai dengan peradangan sinovial kronis yang
nonsupuratif. Jaringan sinovial yang terkena menjadi edema, hiperemis, serta
diinfiltrasi oleh limfosit dan sel plasma. Bertambahnya cairan sendi menimbulkan
efusi. Penonjolan dari membran sinovial yang menebal membentuk vili yang
menonjol ke dalam ruang sendi; reumatoid sinovial yang hiperplastik dapat
menyebar dan melekat pada kartilago artikuler sehingga terbentuk pannus. Pada
sinovitis kronis dan proliferasi sinovial yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan
struktur sendi lainnya dapat mengalami erosi dan rusak secara progresif. Terdapat
variasi waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya proses kerusakan sendi yang
permanen pada sinovitis. Pada anak, proses kerusakan kartilago artikuler terjadi
lebih lambat dibandingkan pada dewasa, sehingga anak yang menderita JRA tidak
pernah mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama.
Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada anak dengan faktor reumatoid positif
atau penyakit tipe sistemik. Bila penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadi
erosi tulang subkhondral, penyempitan ruang sendi, penghancuran tulang,
deformitas dan subluksasi atau ankilosis persendian. Mungkin dijumpai
tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis, periostitis, pertumbuhan epifisis yang
dipercepat, dan penutupan epifisis yang prematur dapat terjadi di dekat sendi yang
terkenal.6
Nodul reumatoid lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan orang dewasa,
terutama pada faktor reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan fibrinoid yang
dikelilingi oleh sel radang kronis. Pada pleura, perikardium dan peritoneum dapat
terjadi serositis fibrinosis non spesifik. Nodul reumatoid secara histologis tampak
seperti vaskulitis ringan dengan sedikit sel radang yang mengelilingi pembuluh
darah kecil.6
Terdapat 4 jenis patogenesis terjadinya JRA, yaitu :7
1) Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA
Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JRA karena fungsi
utama dari gen ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA
berbeda-beda tergantung subtipe JRA. Secara spesifik oligoartritis
dihubungkan dengan genHLA-A2, HLA-DRB1*11, dan HLA-DRB1*08.

7
Faktor reumatoid positif pada poliartritis berhubungan dengan gen HLA–DR4
pada anak, dan begitu juga pada dewasa. Selain itu, adanya gen HLA-B27
meningkatkan risiko entesitis terkait artritis. 7
Protein Tyrosine Phosphatase Nonreceptor 22 (PTPN22) mengkode
suatu fosfatase limfoid spesifik (lyp), suatu varian dalam pengkodean region di
gen ini. Gen ini dihubungkan dengan sejumlah penyakit autoimun yang juga
telah teridentifikasi sebagai suatu lokus untuk JRA. Efek dari PTPN22 ini
bervariasi antara masing-masing subtipe JRA tetapi secara umum lebih terkait
daripada gen HLA. Beberapa gen lainnya yaitu faktor makrofag inhibitor, IL-
6, IL-10 dan TNF α juga berhubungan dengan JRA. 7
2) Mediator inflamasi pada kerusakan sendi
Membran sinoval pada pasien JRA mengandung sel T, sel T yang
teraktivasi sel plasma, dan makrofag yang teraktivasi, yang didatangkan
melalui suatu proses neovaskularisasi. Antigen spesifik sel T berperan dalam
patogenesis subtipe artritis pada JRA. Sel T predominan adalah sel Th1. Sel ini
akan mengaktivasi sel B, monosit, makrofag dan fibroblas sinovial untuk
memproduksi immunoglobulin (Ig) dan mediator inflamasi. Sel B yang
teraktivasi akan memproduksi immunoglobulin termasuk faktor reumatoid dan
antinuclear antibody (ANA). 7
Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum diketahui
sepenuhnya, diduga melibatkan aktivasi komplemen melalui pembentukan
komplek imun. Antinuclear antibody (ANA) dihubungkan dengan onset dini
terjadinya oligoartritis tetapi antibodi ini tidak spesifik untuk JRA. Makrofag
yang teraktivasi, limfosit, dan fibroblas memproduksi vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan osteopontin yang menstimulasi terjadinya
angiogenesis. Pada pasien JRA, VEGF banyak ditemukan di jaringan sinovial.
Osteopontin meningkat di cairan sinovial dan berhubungan dengan
neovaskularisasi. 7
Tumor necrosis factor (TNF) dan IL-1 diproduksi oleh monosit
teraktivasi, makrofag dan fibroblas sinovial. Mediator inflamasi ini sepertinya
memiliki peran penting dalam terjadinya JRA. Sitokin ini ditemukan
meningkat pada cairan sendi penderita JRA dan telah diketahui menstimulasi

8
sel mesenkim seperti fibroblas sinovial, osteoklast dan khondrosit untuk
melepas matrix metaloproteinase (MTP) yang mengakibatkan kerusakan
jaringan. Pada kelinci percobaan, injeksi IL-1 pada sendi lutut mengakibatkan
terjadinya degradasi pada kartilago. 7
Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin multifungsi yang memiliki aktivitas
biologik yang luas dalam regulasi respon imun, reaksi fase akut, hematopoesis
dan metabolisme tulang. Jumlah IL-6 yang beredar di sirkulasi meningkat pada
pasien JRA. Hal ini dihubungkan dengan hasil laboratorium dan manifestasi
klinis dari derajat aktivitas penyakit. Interleukin-6 (IL-6) menstimulasi
hepatosit dan menginduksi produksi protein fase akut seperti C-reactive
Protein (CRP). Jadi, peningkatan kadar IL-6 dalam serum berkorelasi dengan
peningkatan CRP dalam fase aktif penyakit. 7
Interleukin-17 (IL-17) diproduksi oleh sel Th17 dan menginduksi reaksi
jaringan yang berlebihan karena memiliki reseptor yang tersebar luas di seluruh
tubuh. Bukti terbaru menunjukkan IL-17 mempunyai peran penting dalam
reaksi inflamasi autoimun. Interleukin-17 (IL-17) akan meningkatkan sitokin
proinflamasi di jaringan sendi, menstimulasi produksi TNF dan IL-1, serta
akan saling bersinergi untuk meningkatkan produksi IL-6, IL-8 dan IL-17
sehingga menyebabkan kerusakan sendi akibat proses inflamasi. Interleukin-
17 (IL-17) meningkat pada pasien JRA dengan penyakit yang aktif
dibandingkan dengan pasien yang mengalami remisi. 7
3) Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik
Patogenesis dari JRA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JRA dalam
berbagai bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak
adanya autoantibodi dan sel T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak
menunjukkan tanda-tanda dari limfosit mediated antigen yang merupakan
respon imun spesifik. Tanda-tanda klinis dari JRA tipe sistemik juga
dihubungkan dengan granulositosis, trombositosis, dan peningkatan regulasi
reaktan fase akut yang menandakan aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun
didapat. Selama manifestasi awal dari perjalanan penyakit ini, muncul infiltrasi
perivaskular dari netrofil dan monosit yang memproduksi sitokin proinflamasi
yang berperan dalam proses patogenesis penyakit.7

9
Data terbaru menunjukkan IL-1 memiliki peran utama dalam gejala
klinis JRA tipe sistemik. Pengobatan dengan reseptor antagonis IL-1 telah
menunjukkan perbaikan gejala klinis dan laboratorium pada pasien yang
resisten terhadap pengobatan anti-TNF. Monosit yang teraktivasi pada pasien
dengan gejala sistemik memiliki jumlah IL-1 yang lebih tinggi, dimana sekresi
dari TNF dan IL-6 tidak terlalu meningkat. Anggota lain dari IL-1 yaitu IL-18
ditemukan meningkat tajam pada pasien dengan onset usia yang lebih besar
dibandingkan dengan pasien JRA lainnya. Interleukin-18 (IL-18) ditemukan
lebih meningkat pada serum anak dengan tipe sistemik dibandingkan dengan
tipe poliartikular dan pausiartikular. Konsentrasi IL-18 juga meningkat pada
pasien serositis dan hepatosplenomegali. 7
Konsentrasi IL-6 ditemukan meningkat pada pasien dengan tipe sistemik
dan berhubungan dengan keterlibatan sendi. IL-6 juga meningkat pada cairan
sinovial pasien dengan tipe sistemik dibandingkan dengan pasien JRA tipe
lainnya. Produksi berlebihan IL-6 berhubungan dengan manifestasi ekstra
artikular seperti anemia mikrositik dan gangguan pertumbuhan. Pengobatan
dengan monoklonal antibodi yang langsung menyerang reseptor IL-6
menunjukan perbaikan klinis pada reaktan fase akut pasien dengan tipe
sistemik. Aktivasi dan proliferasi yang tidak terkontrol pada limfosit T dan
makrofag yang menyebabkan terjadinya pelepasan dari sitokin inflamasi
seperti TNF α, IL-1, dan IL-6 mengakibatkan munculnya manifestasi klinis dan
patologi pada macrofage activation syndome (MAS). 7
4) Mediator anti inflamasi pada JRA
Dua sitokin anti-inflamasi yang paling dikenal pada JRA adalah IL-10
dan IL-4. Interleukin-10 (IL-10) menunjukkan degradasi kartilago oleh antigen
stimulated mononuclear cell pada pasien dewasa dengan artritis.
Polimorfonuklear (PMN) dengan produksi IL-10 yang rendah berhubungan
dengan artritis tipe berat. IL-4 menghambat aktivasi sel Th1 dan penurunan
produksi dari TNF α, IL 1 dan menghambat kehancuran kartilago. Interleukin-
4 (IL-4) dan IL-10 menghambat produksi dari sitokin inflamasi seperti IL-6
dan IL-8. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 yang tinggi pada sendi bermanifestasi
sebagai pausiartikular yang ringan dan non-erosif. Foxp3, CD4, CD25, dan sel

10
T regulasi penting untuk pengontrolan inflamasi. Defek pada X-linked pada
foxp3 merupakan penyebab dari kondisi multipel autoimun disebut juga
imunodisregulasi, poliendokrinopati, dan enteropati (IPEX syndrome).
Kerusakan pada sel T regulasi juga merupakan penyebab adanya kegagalan
toleransi pada penyakit autoimun, meskipun belum ada bukti yang
menunjukkan adanya defek pada sel T regulasi pada JRA. Penurunan jumlah
sel T regulasi menyebabkan oligoartritis yang lebih berat. Pada pasien dengan
JRA ditemukan peningkatan jumlah T regulasi yang lebih tinggi di sendi
dibandingkan darah tepi, yang mengindikasikan terjadinya suatu proses
inflamasi.7

2.5. Klasifikasi
Pada tahun 1970, dua kriteria digunakan untuk mengklasifikasikan JRA pada
anak yaitu klasifikasi oleh American Collage of Rheumatology (ACR), dan
European League Against Rheumatism (EULAR). Pada tahun 1993, klasifikasi
ketiga muncul dari International League of Association for Rheumatology (ILAR).
Karakteristik klinis JRA yang sering digunakan adalah oligoartritis, poliartritis dan
onset sistemik.2
Tabel 1. Karakteristik JRA tipe onset penyakit 2

Karakteristik Poliartritis Oligoartritis Sistemik

Presentase kasus 30 % 60% 10%

Sendi terlibat ≥5 ≤4 Bervariasi

Usia onset Seluruh masa Awal masa anak, Seluruh masa


anak, puncak usia puncak usia 1-2 anak, tidak ada
1-3 tahun tahun puncak

Rasio jenis 1:3 1:5 1:1


kelamin ( laki-
laki: perempuan )

Keterlibatan Penyakit sistemik Tidak ada Penyakit sistemik


sistemik sedang penyakit sistemik, sering sembuh

11
penyebab utama sendiri, sebagian
morbiditas adalah mengalami
uveitis destruksi artritis
kronik

Adanya uveitis 5% 5-15% Jarang


kronik

Frekuensi 10% ( meningkat Jarang Jarang


seropositif faktor dengan usia )
rheumatoid

Antibodi 40-50% 75-85% 10%


antinuclear

Prognosis Sedang Baik, kecuali Buruk


untuk penglihatan

2.6. Manifestasi Klinis


2.6.1 Poliartikular
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe ini ditandai dengan keterlibatan
banyak sendi secara khas, yaitu ≥ 5 sendi, termasuk sendi kecil tangan. Biasanya
tipe ini terjadi pada 35% anak yang menderita JRA. Ada 2 subtipe JRA
poliartikular, yaitu poliartritis faktor reumatoid positif (20-30%) dan poliartritis
dengan faktor reumatoid negatif (5-10%). Penyakit dengan faktor reumatoid positif
biasanya dimulai pada akhir masa kanak-kanak. Pada artritis yang lebih berat sering
timbul nodul reumatoid dan vaskulitis reumatoid. Selama masa kanak-kanak,
penyakit tanpa faktor reumatoid bisa terjadi kapanpun, biasanya ringan dan jarang
disertai dengan nodul reumatoid. Anak perempuan lebih banyak terkena dari pada
anak laki-laki.4,8
Perjalanan penyakit ini bisa terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung hebat,
atau secara progresif lambat yang akhirnya dapat menimbulkan kekakuan sendi,
pembengkakan dan kehilangan gerakan. Pada sendi yang terkena ditemukan tanda-
tanda terjadinya proses inflamasi, seperti nyeri, bengkak, panas, penurunan fungsi
tetapi jarang terlihat memerah. Bengkak terjadi akibat edema periartikular, efusi

12
sendi, dan penebalan sinovial. Nyeri jarang dikeluhkan pada anak yang lebih kecil.
Gejala klinis terlihat dari berkurangnya pergerakan pada sendi yang terkena. Hal
ini dapat merupakan akibat dari spasme otot sendi yang mengalami efusi dan
proliferasi sinovial.8
Proliferasi sinovial dapat mengakibatkan timbulnya kista disekitar sendi yang
terkena, herniasi sinovial, dan ekstravasasi cairan sinovial sehingga mengenai
struktur disekitarnya terutama pada daerah poplitea. Kekakuan sendi pada pagi hari
dan perlunakan pasca inaktivasi merupakan ciri khas JRA. 8
Artritis yang mengenai setiap sinovial persendian sering bermula dari sendi
besar seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku. Serangan awal
ini sering simetris. Peradangan sendi interfalang proksimal mengakibatkan
pengurusan atau perubahan fusiformis pada jari-jari. Serangan pada sendi
metakarpofalangeal seringkali bersamaan dan sendi interfalangeal dapat juga
terkena. Artritis dari spina servikalis ditandai oleh kekakuan dan nyeri leher yang
terjadi pada sekitar 50% penderita. Keterlibatan sendi temporomandibular ditandai
dengan terbatasnya gerakan membuka rahang dan nyerinya bisa timbul sebagai
nyeri telinga. Keterlibatan panggul sekurang-kurangnya terjadi pada 50% anak
yang menderita poliartritis, biasanya mulai pada proses penyakit yang lanjut.
Penghancuran kaput femoris dapat terjadi. Penyakit pinggul yang berat merupakan
penyebab utama kecacatan pada stadium akhir JRA. Penyempitan sendi sakroiliaka
bisa diketahui dari foto rontgen. Artritis krikoaritenoid bisa mengakibatkan suara
serak dan stridor laring serta mengakibatkan terjadinya obstruksi akut saluran
napas, namun hal ini jarang terjadi. Keterlibatan sendi sternoklavikular dan
sambungan kostokondral dapat menyebabkan nyeri dada. 4
Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada sendi yang meradang bisa
mengakibatkan pertumbuhan yang berlebih atau berkurang. Penambahan panjang
kaki dapat menyertai artritis lutut yang kronis dan mikrognatia pasca artritis
temporomandibular. Hal ini dapat menjadi suatu tanda stadium akhir JRA. Kaki
yang kecil dan berubah bentuk dapat disebabkan karena keterlibatan kaki pada masa
awal kanak-kanak dan jari-jari yang pendek adalah karena keterlibatan tangan pada
masa dini. 4

13
Manifestasi ekstra-artikular JRA poliartikular tidak sehebat manifestasi yang
tampak pada JRA tipe sistemik. Kebanyakan penderita dengan penyakit
poliartikular yang aktif menderita malaise, anoreksia, iritabilitas, dan anemia
ringan. Demam ringan, hepatosplenomegali ringan, dan limfadenopati dapat
dijumpai. Bisa terjadi perikarditis dan iridosiklitis tetapi jarang. Nodulus reumatoid
dapat terjadi pada titik tekanan. Hal ini biasanya dijumpai pada penderita dengan
hasil uji aglutinasi positif terhadap faktor reumatoid. Vaskulitis reumatoid kadang-
kadang terjadi pada penderita dengan faktor reumatoid positif sebagaimana pada
penyakit sjogren. 9

2.6.2 Pausiartikular
Pada pausiartikular, sendi yang terkena terbatas pada ≤ 4 sendi selama 6 bulan
pertama sesudah timbulnya penyakit. Sendi yang terkena terutama sendi besar, dan
penyebarannya sering tidak simetris. Ada 2 subtipe dari pausiartikular ini, yaitu tipe
1 terutama menyerang anak perempuan yang masih kecil pada saat mulainya
penyakit dan berisiko menderita iridosiklitis kronis. Tipe 2 terutama menyerang
anak laki-laki dengan usia yang lebih besar pada saat mulainya penyakit dan lebih
berisiko mengalami spondiloartropati. 4,8

Gambar 1. Artritis unilateral lutut kiri pada JRA pausiartikular.10

Pausiartikular tipe 1 adalah tipe yang paling umum terjadi (30-40%).


Sebanyak 90% penderita memiliki tes ANA positif dan tidak disertai dengan faktor
reumatoid ataupun HLA 27. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi lutut,

14
pergelangan kaki, dan siku. Kadang-kadang ada keterlibatan tersendiri pada sendi
lainnya, seperti sendi temporomandibular, satu jari kaki atau tangan, pergelangan
tangan, atau leher. Pinggul dan tulang lingkar panggul biasanya tidak terkena dan
tidak disertai sakroilitis. Gambaran klinis dan histologi sinovial sendi yang terkena
tidak dapat dibedakan dari gambaran klinis dan histologi JRA. 4
Penderita dengan penyakit pausiartikuler tipe 1 berisiko tinggi untuk
menderita komplikasi mata. Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu
waktu selama 10 tahun pertama penyakit. Ciri khas iridosiklitis kronis JRA adalah
tidak disertai gejala atau tanda-tanda awal. Kadang kala anak menampakkan gejala
awal kemerahan, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam peglihatan. Satu atau dua
mata dapat terkena. Jika dimulai dari unilateral, mata yang lain biasanya tetap tidak
terlibat. Iridosiklitis kadang-kadang merupakan manifestasi JRA yang ada tetapi
biasanya iridosiklitis menyertai awal timbulnya keluhan sendi selama berbulan-
bulan sampai bertahun-tahun. Penderita dengan iridosiklitis biasanya memiliki tes
ANA yang positif. Tanda-tanda peradangan iris dan korpus siliaris yang paling awal
adalah bertambahnya jumlah sel serta jumlah protein dalam kamera okuli anterior.
Perubahan yang timbul hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan slit lamp.
Seringkali radang okuler tetap aktif selama bertahun-tahun. Sekuelenya meliputi
sinekia posterior, katarak dengan komplikasinya, glaukoma sekunder, dan ptosis
bulbi yang dapat berakibat kehilangan visus dan kebutaan permanen. Oleh karena
itu, pada anak dengan pausiartikular harus dilakukan pemeriksaan slit lamp 3-4 kali
setahun sekurang-kurangnya selama 5 tahun pertama penyakit tanpa memandang
aktivitas penyakit sendi. Manifestasi ekstra-artikular lainnya pada JRA
pausiartikular biasanya ringan, seperti demam ringan, malaise, hepatomegali,
limfedenopati sedang, dan anemia ringan. Hal ini bisa dikaitkan dengan aktivitas
penyakit yang aktif. 9
Penyakit pausiartikular tipe 2 mengenai 10-15% penderita JRA terutama anak
laki-laki yang berusia lebih dari 8 tahun. Riwayat keluarga sering menunjukan
adanya anggota keluarga yang juga menderita artritis pausiartikular, spondilitis
ankilosa, dan penyakit reiter (iridosiklitis akut). Uji ANA biasanya negatif. Pada
tipe ini sendi yang sering terkena adalah sendi besar, terutama sendi ekstremitas
bawah. Nyeri tumit, fasiitis plantaris atau tendinitis achilles sering ditemui.

15
Kemungkinan juga dapat ditemukan radang pada tempat insersi tendon pada tulang.
Seiring berjalannya waktu, artritis pausiartikular tipe 2 ini berkembang menjadi
spondilitis ankilosa yang khas dengan keterlibatan spina lumbodorsal, manifestasi
sindroma reiter (hematuria atau piuria, uetritis, iridosiklitis akut atau manifestasi
mukokutan), atau adanya tanda-tanda penyakit radang usus. 4
2.6.3 Sistemik
Penyakit tipe sistemik adalah jenis JRA yang paling berat tetapi sangat jarang
ditemui. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan JRA dengan
perbandingan yang sama antara kedua jenis kelamin. Penderita umumnya datang
dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak selama beberapa minggu disertai
ruam-ruam yang cepat menghilang. Demam timbul setiap hari atau dua kali sehari,
sering melonjak hingga suhu 40oC- 41oC pada sore hari, dan sering menurun dengan
cepat sampai subnormal pada jam lain. Demam tinggi mungkin berlangsung
berbulan-bulan sebelum muncul temuan sendi yang objektif. Lonjakan demam
sering disertai oleh ruam makular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama
timbul di badan dan paha sebelah dalam. Tiap-tiap makular tidak kembali muncul
di tempat yang sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam sering
memperlihatkan fenomena Koebner, yaitu kemampuan untuk memicu timbulnya
lesi dengan menggosok kulit secara lembut.6
Selain itu, penderita yang usianya lebih besar sering mengeluh artralgia
dan/atau mialgia yang parah. Penurunan nafsu makan dan iritabilitas juga sering
dikeluhkan. Adanya limfadenopati generalisata mungkin cukup menonjol sehingga
memberi kesan kuat akan adanya keganasan. Hepatosplenomegali juga dapat
sebagai tanda keganasan.6
Anak dengan JRA tipe sistemik tidak jarang mengalami perikarditis, kadang
disertai miokarditis yang mungkin mengancam jiwa. Beberapa dari anak ini juga
menderita efusi pleura dan pneumonitis. Kadang-kadang anak mengalami serositis
abdomen yang menimbulkan gambaran mirip akut abdomen.6
Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan sementara
mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Sedangkan yang lain
mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang

16
masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa tetapi di antara serangan
mungkin terdapat masa normal.6

2.6. Diagnosis
Terdapat beberapa pengelompokan dalam mendiagnosis JRA, di antaranya:
Kriteria diagnosis Juvenile Rheumatoid Arthritis menurut American College of
Rheumatology (ACR) :2
1) Usia penderita < 16 tahun
2) Artritis (bengkak atau efusi, adanya dua atau lebih tanda : keterbatasan gerak,
nyeri saat gerak dan panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih
3) Lama sakit > 6 minggu
4) Tipe onset penyakit (dalam 6 bulan pertama) :
a. Poliartritis : ≥ 5 sendi
b. Pausiartikular : < 5 sendi
c. Sistemik : artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat
ruam atau keterlibatan ekstraartikular, seperti limfadenopati,
hepatosplenomegali atau perikarditis
5) Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan

Kriteria diagnosis Juvenile Chronic Arthritis menurut European League Against


Rheumatism (EULAR) :2
1) Usia penderita < 16 tahun
2) Artritis pada satu sendi atau lebih
3) Lama sakit > 3 minggu
4) Tipe onset penyakit :
a. Poliartritis : > 4 sendi, faktor reumatoid negatif
b. Pausiartikular: < 5 sendi
c. Sistemik : artritis dengan demam
d. Artritis reumatoid juvenil : > 4 sendi, faktor reumatoid positif
e. Spondilitis ankilosing juvenil
f. Artritis psoriasis juvenil

17
Kriteria diagnosis Juvenile Idiopatic Arthritis menurut International League of
Associations for Rheumatology (ILAR) :2
1) Sistemik
2) Oligoartritis
a. Persisten
b. Extended
3) Poliartritis ( faktor reumatoid negatif )
4) Poliartritis ( faktor reumatoid positif )
5) Artritis psoriasis
6) Artritis terkait entesitis
7) Artritis Lain
a. Tidak memenuhi kategori
b. Memenuhi lebih dari satu kategori

2.8. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk JRA adalah pemeriksaan
laboratorium yang berasal dari darah maupun cairan sinovial dan pemeriksaan
radiologi.
2.8.1 Laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai
sebagai penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA),
Faktor Reumatoid (FR) dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JRA menjadi
lebih sempurna.1
Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Anemia pada
umumnya dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji Coomb
negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositosis dapat
terjadi terutama pada penyakit. Analisis urin normal, selama terapi non-steroid
mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler ginjal. Terdapat kenaikan fraksi
α2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan albumin. Salah satu atau
semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.8
ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoid-
negatif (25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%) tetapi

18
jarang, pada mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe II.
Penemuan ANA tidak berkolerasi dengan keparahan penyakit.8
Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JRA dan berkolerasi
dengan JRA yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering
dihubungkan dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanak-
kanak, artritis destruksi berat, dan nodulus reumatoid.8
Cairan sinovial pada JRA tampak seperti berawan dan biasanya berisi jumlah
protein yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm3; sel-sel
tersebut terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin rendah; kadar
komplemen mungkin normal atau menurun.8
Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah
dideteksi, sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi
laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada JRA.
Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan
komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27
lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa.
HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.1
2.9.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi JRA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh
kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang
terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi
tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat
terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis
dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis
aseptik jarang dijumpai pada JRA walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi
jangka panjang.1
Tidak semua sendi kelompok JRA menunjukkan gambaran erosi, biasanya
hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya
didapatkan pada kelompok poliartikular.1
Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang
pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak

19
regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran
radiologik yang menurut mereka khas untuk JRA sistemik, yaitu a)tulang panjang
yang memendek, melengkung, dan melebar, b)metafisis mengembang, dan
c)fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara bertahap
bergabung ke dalam metafisis. 1

Gambar 2.Rontgen sendi pergelangan tangan.12

Perempuan 7 tahun dengan JRA tipe pausiartikular sejak usia 3 tahun. Gangguan pertumbuhan ulnar
dengan subluksasi ke tulang karpal, fraktur kompresi pada epifisis radius distal, destruksi dan fusi
tulang metacarpal.

Pemeriksaan foto rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang


atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto rontgen biasa
kelainan tulang dan sendi JRA dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi
dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang
spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik
di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan
inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk

20
mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah
dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu.1
Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai
penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus
tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan
inflamasi sinovial dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk
menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan
foto rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi
jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai
progresifitas penyakit.1

2.9. Talaksana
Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan
adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan
(range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan
dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu
untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan
dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, bila perlu konsultasi pada
ahli bedah dan psikiatri.2
Tujuan penatalaksanaan JRA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri.
Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi
lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan
sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non
farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien JRA
pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau
menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat.4

2.10.1 Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)

Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat


kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengungkapkan nyeri.
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri pada umumnya
yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi nyeri,

21
OAINS juga dapat digunakan mengontrol kaku sendi. Efek analgesiknya juga
sangat cepat.2

Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar


anak dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgetik,
dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Selain
itu obat ini juga menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan
tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respon baik terhadap
pengobatan OAINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.2
Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan OAINS
karena adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai
dengan transaminasemia. Dengan adanya OAINS yang menghambat siklus
siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan OAINS lebih dipilih
daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat
digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun demikian,
aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan terbukti
aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90
mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan
untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya
kurang dari 25 kg, sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis yang
lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis
menghilang. 2
Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:
a. Tolmetin
Tolmetin diberikan bersama makanan, dalam dosis 25-30 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis.2,4
b. Naproksen
Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari yang diberikan dua kali perhari bersama makanan. Dapat
timbul efek samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria
kutaneus yang ditandai dengan erupsi bulosa pada wajah, tangan, dan
meninggalkan jaringan parut. 2,4

22
c. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan antiinflamasi derajat sedang dan mempunyai toleransi
yang baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis dan
diberikan bersama makanan. 2,4
d. Diklofenak
Diklofenak dapat diberikan pada anak yang tidak dapat OAINS lain karena
adanya efek samping pada lambung. Dosis yang diberikan adalah 2-3
mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. 2,4

2.10.2 Analgetik

Walaupun bukan obat antiinflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali pemberian


dapat bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada penyakit
sistemik. Obat ini tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat
menimbulkan kelainan ginjal.2

2.10.3 Imunosupresan

Imunosupresan hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan


berat yang mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi sudah
mulai memakainya dalam protokol baku. Obat yang biasa dipergunakan adalah
azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, dan metotreksat. 2
Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih
dapat diterima, sehingga merupakan obat lini kedua dalam JRA. Keunggulan
penggunaan obat ini adalah efektif dan dosis relatif rendah, pemberian oral dan
dosis 1 kali per minggu. Indikasinya adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis
yang agresif atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan OAINS,
hidroksiklorokuin, atau garam emas. Dosis inisial 5 mg/m2 luas permukaan
tubuh/minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2 luas permukaan tubuh/minggu
bila respon tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian (dosis maksimal 30 mg/ m2).
Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Asam folat 1 mg/hari
sering diberikan bersama metotreksat untuk mengurangi toksisitas mukosa

23
gastrointestinal. Anak-anak dengan poliartritis berat yang tidak berespon dengan
metotreksat oral dapat digantikan dengan intramuskular atau subkutan. 2

2.10.4 Obat Antireumatik Kerja Lambat

Golongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat emas


oral dan suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya diberikan
untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukan perbaikan dengan OAINS.
Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS untuk anak
besar dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu diturunkan
menjadi 5 mg/kgBB/hari. Pemberian hidroksiklorokuin harus didahului dengan
pemeriksaan mata, khususnya keadaan retina, lapangan pandang, dan warna. Oleh
karena itu, penggunaan obat ini jarang diberikan pada anak di bawah usia 4-7 tahun
karena adanya kesulitan tindak lanjut pada pemeriksaan mata. Bila setelah 6 bulan
pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.2
Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap
sulfa atau salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500
mg/hari diberikan bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB).
Dosis dinaikkan sampai 50 mg/kgB/hari (maksimal 2 gram). Monitor dilakukan
melalui pemeriksaan hematologi dan fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan
sebagai langkah sementara sebelum menambah obat kedua selain OAINS, seperti
metotreksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai antiinflamasi lini kedua
pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.2

2.10.5 Kortikosteroid

Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk
suntikan intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk
menekan inflamasi sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan
poliartritis berat yang tidak berespon dengan terapi lain. Dosis rendah prednison
(0,1-0,2 mg/kgBB) dapat digunakan sebagai agen “jembatan” dalam terapi inisial
anak yang sakit sedang atau berat yang sebelumnya menggunakan obat
antiinflamasi kerja lambat. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tak terkontrol
diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimal 40 mg) atau
dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis maka dosis

24
diturunkan perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang dapat terjadi
pada pemakaian jangka panjang antara lain sindrom cushing, penekanan
pertumbuhan, fraktur, katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi
glukokortikoid. 2
Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak
berespon dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang
sudah mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga
dapat diberikan pada poliartritis dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon
dengan OAINS. Namun, pemberian injeksi intra-artikular ini harus dibatasi,
misalnya 3 kali pada 1 sendi selama 1 tahun. Triamsinolon heksasetonid merupakan
obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar. 2

2.10.6 Fisioterapi dan Latihan Fisik

Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk


mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, dan
hidroterapi. Hidroterapi pemanasan dengan air pada suhu 96 oF sangat membantu
mengurangi nyeri. Selain itu, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan
peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif
sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif
dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga
berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan
pertumbuhan normal.2,4
Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan
mengembalikan fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak dengan
artritis aktif dianjurkan untuk beristirahat dan meningkatkan waktu tidur saat
malam hari. Pasien dengan JRA harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan yang
menyebabkan kelelahan berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari. 2,4

2.10.7 Psikoterapi

Dukungan psikologis bagi anak dan keluarganya sangat penting untuk


memperbaiki prognosis jangka panjang. Anak dengan RJA berat sering mengalami
retardasi pertumbuhan dan sering terlalu dilindungi oleh keluarga, guru dan teman
sekelasnya. Anak tersebut sering memanfaatkan hal ini untuk tidak pergi ke

25
sekolah, tidak melakukan pekerjaan di rumah ataupun tidak melakukan tugas yang
tidak menyenangkan. Terapis harus dapat meyakinkan semua orang yang
berinteraksi dengan anak pengidap RJA untuk menghadapi anak tersebut secara
normal sesuai anak seusianya dan menekankan indepedensi serta pendewasaan
sebanyak mungkin. Bila hal itu tidak dilakukan, anak mungkin akan makin
mengalami regresi atau imatur seiring dengan waktu.6
Selain itu, memiliki anak berpenyakit kronik akan menimbulkan stress
besar pada interaksi anak tersebut dengan saudara-saudaranya dan pada perkawina
orang tua. Perlunya terapi fisik akan menjadi beban bagi oang tua, sehingga
membutuhkan banyak dukungan dan dorongan. Beban biaya untuk semua penyakit
kronik mungkin sangat besar. Terapis harus bekerja sama dengan guru dan
departemen pendidikan, untuk memastikan bahwa anak diijinkan dan didorong
untuk menjadi senormal mungkin selagi di sekolah.6

2.10.8 Nutrisi

Nutrisi dan vitamin suplemen (vitamin B dan asam folat) menjadi aspek
penting dalam penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi
pertumbuhan dan kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian
kortikosteroid.2
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan
pusat pertumbuhan tulang maupun umum karena asupan nutrisi yang kurang dan
menurunnya produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi
kronis mempunyai risiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang
menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat
berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi
penurunan nafsu makan. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara
lain OAINS dan klorokuin.4
Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan karena
kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping
kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi,
dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya
ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka
diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1-10 tahun adalah vitamin D 400 IU

26
dan kalsium 400 mg, sedangkan kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari
10 tahun.4

2.10.9 Bedah

Terapi bedah dilakukan hanya pada sebagian kecil JRA yakni pada kasus
dimana terdapat deformitas sendi, ketidakmampuan bergerak atau nyeri yang
parah. Pembedahan adalah pilihan pengobatan yang harus dipertimbangkan bila
tidak ada perbaikan dengan obat maupun terapi fisik serta tidak dapat berjalan dan
mengerjakan pekerjaan sehari-hari. 1

Beberapa prosedur pembedahan yang sering digunakan untuk memperbaiki


deformitas sendi, diantaranya dengan:
 Membebaskan jaringan lunak pada kontraktur, dengan memotong otot yang
berdempet pada sendi yang bengkok. Setelah otot dan jaringan yang
memendek lainnya dibebaskan, sendi yang terlibat akan kembali ke posisi
yang lebih normal.
 Penggantian sendi total dilakukan bila terpaksa, dimana sendi yang terlibat
telah sangat rusak yakni sangat sulit atau bahkan sudah tidak bisa untuk
berjalan. Hal penting yang harus dipertimbangkan adalah umur anak,
jumlah sendi yang terlibat, dan dampaknya terhadap mobilitas anak. 1
Prosedur bedah lainnya yang telah digunakan untuk penanganan JRA, namun
hanya direkomendasikan pada beberapa kasus, yakni:
 Osteotomi, membuang jaringan pada tulang untuk memberikan struktur
yang normal pada sendi. Osteotomi dapat direkomendasikan pada anak
dengan kontraktur sendi yang parah.
 Epifisiodesis, dimana bagian dari tulang panjang tumbuh terjadi dibuang
untuk mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari tulang.
 Sinovektomi atau tenosinovektomi, prosedur ini jarang dilakukan pada
JRA. Sinovektomi adalah operasi penggantian dari sinovium
tendosinovektomi sedangkan adalah operasi pada jaringan yang
menyelimuti tendon untuk mengurangi inflamasi sendi.

27
 Artrodesis, jarang dilakukan pada anak. Prosedur ini dilakukan pada anak
yang terjadi fusi pada dua tulangnya, sehingga sendi tidak mampu bergerak
lebih luas. 1
Hal yang harus diperhatikan sebelum pembedahan dilakukan adalah usia
anak, dan apakah tulang mereka masih tumbuh. Saat mempertimbangkan
penggantian sendi total, sangat penting untuk memikirkan kebutuhan penggantian
total pada sendi lainnya dalam 10-20 tahun berikutnya. Waktunya tergantung pada
umur anak, kemungkinan hidup dengan sendi pengganti, dan kemungkinan
kehilangan kekuatan otot dan tulang bila pembedahan ditunda terlalu lama.1

2.10. Prognosis
Pada kebanyakan kasus, JRA berespon secara lambat dan berangsur-angsur
terhadap terapi yang cocok. JRA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien yang
menderita artritis hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik dari
pada mereka yang telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk
disembuhkan. Walaupun hal ini dapat menjadi masalah yang serius, namun hanya
sedikit orang yang meninggal karenanya.13
Prognosis bervariasi berdasarkan kepada bentuk JRA. Lebih dari 50% pasien
berkembang menjadi lesi sendi yang berat dengan poliartikuler seropositif, 25%
berkembang menjadi bentuk sistemik, dan 10-20% berupa poliartikuler seronegatif.
Penyebab utama morbiditas pada JRA poliartikuler dan sistemik adalah penyakit
sendi kronis.20% anak yang menderita penyakit pausiartikuler tipe I nantinya
berkembang menjadi poliartritis berat. Pada penyakit pausiartikuler, morbiditas
utama adalah iridosiklitis kronis pada penderita tipe I dan selanjutnya
spondiloartropati pada penderita tipe II. 8,14
Dalam perjalanan penyakit mungkin terdapat eksaserbasi, remisi, atau gejala-
gejala dapat berlangsung selama bertahun-tahun dengan artritis ringan atau berat
yang menyebabkan penghancuran sendi dan deformitas permanen sehingga
menyebabkan timbulnya cacat. Penyakit tidak selalu mereda pada masa pubertas.
Beberapa penderita terus menderita artritis aktif sampai dewasa, dan beberapa
penderita mengalami eksaserbasi sesudah penyakit yang dalam waktu bertahun-
tahun tampak mereda secara sempurna.8

28
Penderita dengan poliartritis faktor reumatoid-positif dan JRA sistemik
mempunyai prognosis yang paling jelek terhadap fungsi sendi. Namun, prognosis
terhadap keseluruhan baik. Sekurang-kurangnya 75% penderita JRA akhirnya
mengalami penyembuhan lama tanpa deformitas sisa atau kehilangan fungsi. Hanya
sedikit yang tetap dengan cacat deformitas sendi. Kelemehan pada penderita
terutama diakibatkan oleh penyakit sendi pinggul berat, sebagaimana hilangnya
visus karena iridosiklitis. Di Eropa, amiloidosis mengenai sekitar 5% penderita JRA
tetapi di Amerika Serikat komplikasi ini jarang ditemui.8,13
Dengan terapi yang tepat, anak dengan segala bentuk dari artritis akan selalu
membaik seiring waktu. Sebagian besar anak dengan artritis tumbuh normal tanpa
kesulitan berarti. Biasanya untuk kasus berat dengan pengobatan yang tepat, terapi
fisik dan okupasi yang tepat dan operasi yang tepat bila diperluan, sebenarnya tidak
satu pun pasien yang membutuhkan kursi roda. Anak dengan penyakit onset
sistemik cenderung berespon baik dengan pengobatan medis atau berkembang
menjadi poliartikular berat yang cenderung resisten dengan pengobatan medis,
dengan penyakit persisten hingga dewasa.13
Saat ini telah banyak kemajuan signifikan dalam pengobatan anak dengan
artritis. Kemajuan pengobatan selama 20 tahun terakhir ini terutama dengan
ditemukannya steroid intraartikular, metotreksat, dan pengobatan biologik telah
didapatkan kemajuan dramatis dari prognosis anak dengan artritis. Hampir semua
anak dengan JRA dapat hidup produktif. Namun, banyak pasien, khususnya yang
memiliki penyakit poliartikular, mungkin memiliki masalah penyakit aktif saat
dewasa, dengan mencapai remisi terus-menerus pada sebagian kecil pasien.13

2.11. Komplikasi
Beberapa komplikasi penting dapat terjadi akibat JRA. Namun dengan tetap
memantau keadaan anak dan pemberian pengobatan dapat menurunkan resiko dari
komplikasi-komplikasi berikut:13

1. Komplikasi pada mata

Uveitis (inflamasi pada mata) merupakan komplikasi yang sering tanpa


gejala. Biasanya terjadi pada anak perempuan yang memiliki hasil ANA
positif. Bila kondisi ini tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan

29
terjadinya katarak, glaukoma bahkan kebutaan. Uveitis terkait JRA biasanya
asimptomatik. Skrining terhadap uveitis telah dilakukan selama beberapa
tahun dan telah membantu menurunkan prevalensi pasien yang kehilangan
penglihatan.13

2. Deformitas tulang

Inflamasi sinovitis dan efek destruksinya pada sendi dapat menyebabkan


berbagai komplikasi neurologis pada pasien rheumatoid arthritis. Kompresi
yang berlokasi pada saraf median di pergelangan tangan merupakan neuropati
yang paling banyak dilaporkan pada pasien rheumatoid arthritis dewasa.
Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa saraf median tidak terpengaruh
pada pasien dengan JRA. Namun, perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel
lebih besar sehingga dapat mengevaluasi struktur pada carpal tunner. 13

3. Gangguan pertumbuhan

JRA dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tulang anak.


Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati JRA, terutama
kortikosteroid dapat menghambat pertumbuhan, menyebabkan diskrepensi
panjang tungkai, kaki tidak sama panjang, dan deformitas tulang. 13

4. Kontraktur sendi

Pada lutut, dapat terjadi kekakuan lutut, deformitas sendi dan kerusakan
sendi. Komplikasi pada tulang leher mengakibatkan anak mengalami
kesulitan menekukkan kepala ke depan. Komplikasi pada tulang punggung
berupa keterbatasan gerakan punggung. 13

5. Lainnya

Perkarditis dapat terjadi dengan gejala terseringnya berupa nafas pendek yang
tidak dapat dijelaskan. Dapat juga terjadi anemia atau kelainan darah
sejenisnya. Inflamasi dari arteri pada tangan dan kaki yang dapat
mengganggu sirkulasi dan menyebabkan kerusakan serius pada jari tangan
dan jari kaki. Selain itu pernah juga dilaporkan terjadinya inflamasi hepar. 13

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Juvenile rheumatoid arthritis (JRA) adalah peradangan kronis pada sendi
yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6 minggu.
Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit kronis yang merusak dan
menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang
menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak pada sendi. Peradangan sering
mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh. Jika peradangan tidak dihambat atau
dihentikan, akhirnya akan menghancurkan sendi yang terkena dan jaringan lainnya.
Angka kematian tertinggi pada anak-anak dengan JRA terjadi pada pasien
JRA sistemik yang menunjukkan gejala-gejala sistemik. Dasar pengobatan JRA
adalah suportif, bukan kuratif. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi
maupun non farmakologi. Modalitas farmakologi diantaranya obat anti inflamasi
nonsteroid (OAINS), analgetik, imunosupresan, obat antireumatik kerja lambat,
dan kortikosteroid. Sedangkan modalitas non farmakologi yaitu fisioterapi, latihan
fisik, nutrisi, dan terapi bedah.
Pada kebanyakan kasus, JRA berespon secara lambat dan berangsur-angsur
terhadap terapi yang cocok. JRA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien yang
menderita artritis hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik
daripada mereka yang telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk
disembuhkan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.


Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010.

2. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munasir Z,


Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: IDAI.
2008; hal 322-44.

3. Arwin AP Akib, Artritis Idiopatik Juvenil Kesepakatan Baru Klasifikasi dan


Kriteria Diagnosis Penyakit Artritis pada Anak, Sari Pediatri Vol 5 No 2
September 2003: 40-48

4. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A.
Artritis Reumatoid Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam: Kliegman
Robert M ... [et al.]. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition.
Philadelphia: Elsevier. 2011; 2671-2689.

5. Yuliasih. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2010; 2520-5.

6. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil


(AIJ) Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism
(ILAR). Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri.2008; 9
(6) : 40-8.

7. Rudolph MA. Artritis Reumatoid Juvenilis. Dalam: Buku Ajar Pediatrik


Rudolph. Vol. 1. Ed : 20. Deborah Welt Kredich. Jakarta: EGC. 2006; 537-
8.

8. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile


reumathoid arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30.

9. Saxena N. Is the enthesitis-related arthritis subtype of juvenile idiopathic


arthritis a form of chronic reactive arthritis?. Oxford University Press on
behalf of the British Society for Rheumatology. 2006; 1129-32.

10. Woo P, Laxer RM, Sherry DD. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA). Dalam:
Pediatric Rheumatology in Clinical Practice. London: Springer. 2007; 23-
46.

11. Schaller JG. Juvenil Reumatoid Artritis. American Academy of Pediatrics.


1997; 9-11.

32
12. Cantani A. Autoimmnune Diseases. Dalam: Dr. Ute Heilmann, Heidelberg,
Germany. Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Roma: Springer.
2007; 1075-84.

13. Shiel, William C. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Diunduh dari:


http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_em
.htm tanggal 19 September 2012

14. Cantani A. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Pediatric Allergy,


Asthma, and Immunology. Springer Berlin Heidelberg New
York.2008:1085-100.

33

Anda mungkin juga menyukai