Anda di halaman 1dari 19

FISIOLOGI DAN MANAJEMEN

TRANSFUSI MASIF

Oleh :
DEVAR INDIRAN
dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn.M.Si

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FK UNUD/RSUP SANGLAH
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
KATA PENGANTAR ......................................................................................ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF .................................1
PATOFISIOLOGI ABNORMALITAS HEMOSTASIS YANG
BERHUBUNGAN DENGAN TRAUMA .........................................................2
TRAUMA DAN DISFUNGSI ENDOTELIAL .................................................2
TRANSFUSI MASIF .........................................................................................3
PENDEKATAN TERAPI UNTUK TRANSFUSI MASIF DAN
KOAGULOPATI EFEK MERUGIKAN DARI TRANSFUSI..........................4
PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF ..........................................4
PERUBAHAN HEMOSTASIS PERIOPERATIF .............................................5
KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF ...........................................................6
PERAN SEL DARAH MERAH DAN ANEMIA..............................................6
PENYEBAB PERDARAHAN DALAM KONDISI
KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF ...........................................................7
HIPOTERMIA, ASIDOSIS, DAN KOAGULOPATI .......................................7
KOAGULOPATI DILUSI .................................................................................8
FIBRINOLISIS ..................................................................................................8
HIPOFIBRINOGENEMIA ................................................................................9
PEMANTAUAN HEMOSTASIS SELAMA TRANSFUSI MASIF .................10
TERAPI KOAGULOPATI SELAMA TRANSFUSI MASIF ...........................11
PLASMA/ FRESH FROZEN PLASMA............................................................12
PEMBERIAN PLATELET ................................................................................13
OBAT ANTIFIBRINOLITIK ............................................................................13
PROKOAGULAN..............................................................................................14
PERDARAHAN POSTPARTUM .....................................................................16
RESUSITASI MULTIMODAL: DAMAGE CONTROL
RESUSCITATION .............................................................................................16
KESIMPULAN ..................................................................................................17
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 31-1 .................................................................................................11


GAMBAR 31-2 .................................................................................................12
FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

Hemoragik karena perdarahan tidak terkontrol merupakan sebuah masalah klinis


yang umum dijumpai oleh dokter yang menangani luka trauma, pasien
pembedahan, dan pasien obstetrik. Terdapat banyak istilah yang digunakan untuk
menggambarkan masalah yang mengancam nyawa ini, termasuk koagulopati
transfusi masif atau trauma-induced coagulopathy. Koagulopati kompleks yang
muncul dalam situasi tersebut nantinya akan mempengaruhi efikasi terapi
hemostasis lainnya. Kerusakan jaringan karena trauma, intervensi pembedahan,
setelah persalinan pada pasien obstetrik, atau yang berhubungan dengan sirkulasi
korporeal saat bypass kardiomyopati atau oksigenasi membran ekstrakorporeal juga
berkontribusi terhadap kondisi koagulopati.

Hemostasis merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan vaskuler dan


gangguan endotel vaskuler serta telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Setelah
pembedahan atau trauma dimana terdapat kerusakan jaringan luas, sebagai
tambahan dari hilangnya darah secara masif, integritas endotel juga terganggu;
koagulopati yang terjadi setelah kerusakan jaringan serta kehilangan darah
memproduksi perubahan kompleks di vaskulatur yang dikenal dengan
endotelialopati. Hilangnya aspek penting dari regulasi vaskuler juga dapat tampak
sebagai disseminated intravascular coagulation (DIC), sebuah gangguan
keseimbangan pada efek antikoagulan dan prokoagulan.

Manajemen hemostasis setelah luka trauma dan perdarahan yang mengancam


nyawa telah berubah seiring waktu dari resusitassi awal dengan kristaloid/ koloid
dan sel darah merah (RBC) menjadi pemberian plasma/ fresh frozen plasma (FFP)
dan platelet sebagai tambahan terhadap RBC. Pengalaman belajar dari studi medan
perang dan sipil merupakan hal penting untuk perkembangan pendekatan terapi
multipel yang telah dikombinasikan dalam protokol transfusi masif yang rasional.
Studi retrospektif melaporkan peningkatan survial dengan penggunaan plasma dan
platelet secara dini sebagai bagian dari protokol tersebut. Bab ini akan membahas
fisiologi dari transfusi masif serta pendekatan terapi modern.
PATOFISIOLOGI ABNORMALITAS HEMOSTASIS YANG BERHUBUNGAN
DENGAN TRAUMA
Hemoragik merupakan penyebab mortalitas utama yang muncul setelah luka
trauma dan bertanggungjawab setidaknya pada 50% kematian dalam 24 jam setelah
mengalami luka dan 80% kematian trauma intraoperatif. Evolusi resusitasi cairan
yang pada mulanya melibatkan kristaloid, dan diikuti oleh transfusi RBC, serta
FFP/ plaasma, platelet, dan cryoprecipitate sebagai tambahan baik secara empiris
atau sesuai dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Terapi terdahulu berdasar
pada terapi koagulopati setelah resusitasi awal dan stabilisasi pasien. Observasi
terkini terhadap pasien trauma dan pada medan perang ditemukan bahwa pemberian
plasma secara dini akan menghasilkan perbaikan yang lebih awal, dimana beberapa
studi melaporkan bahwa penggunaan kristaloid dalam volume besar berhubungan
dengan peningkatan perdarahan dan survival yang lebih rendah.

TRAUMA DAN DISFUNGSI ENDOTELIAL


Efek syok hemoragik pada fungsi endotelial telah dijabarkan dan istilah trauma
endoteliopati diajukan untuk mengambbarkan kerusakan dan disfungsi endotelial
sistemik yang berkontribusi terhadap koagulopati, inflamasi, permeabilitas
vaskuler, edema jaringan, dan disfungsi sistem multi organ. Disfungsi endotel
terjadi secara sekunder karena kerusakan vaskuler dan beberapa faktor lainnya yang
muncul akibat syok, iskemik, dan pelepasan mediator inflamasi. Plasma secara
menyeluruh memiliki fungsi restoratif pada endothelial tight junction agar dapat
melakukan modulasi integritas vaskular yang lebih baik dibandingkan dengan
kristaloid dalam studi model in vitro. Plasma mengandung serine protease inhibitor
multipel yang memiliki efek anti inflamasi. Endotelium menjadi permeabel pada
syok hemoragik dan cairan ekstravaskuler berpindah ke intravaskuler. Plasma
mengandung protein untuk mempertahankan osmolaritas namun juga terdapat serin
protease inhibitor multipel yang mencakup antithrombin (juga dikenal sebagai
antithrombin III), C1 esterase inhibitor, tissue factor pathwayinhibitor (TFPI),
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), α2-antiplasmin, dan beberapa inhibitor
penting lainnya dalam respon antiinflamasi. Kristaloid memiliki faktor tersebut
secara minimal dan diperkirakan meningkatkan edema interstisial, kerusakan paru,
dan memicu disfungsi sistem multi organ.
Aktivasi inflamasi yang diikuti kerusakan jaringan berkontribusi terhadap disfungsi
endotelial dan juga memiliki peran penting dalam fibrinolisis. Dengan adanya
kerusakan jaringan, sistem fibrinolitik teraktivasi merubah plasminogen menjadi
plasmin, sebuah enzim penting yang memecah fibrin. Plasmin dan generasinya
dihambat oleh PAI-1, thrombin-activafibrinolysis inhibitor (TAFI), dan α2-
antiplasmin. Sehingga, fibrinolisis diatur oleh berbagai serin protease inhibitor
yang bersirkulasi dibawah kondisi fisiologis yang dapat terkuras karena perdarahan
masif. Sebagai hasil dari aktivasi patologis ini, terapi antifibrinolitik merupakan
komponen penting dalam pendekatan multimodal, dimana keberhasilan telah
dilaporkan dalam berbagai populasi pasien yang menjalani pembedahan. Sebagai
tambahan terhadap kontribusi diatesis perdarahan, generasi plasmin menyebabkan
beberapa efek lainnya, termasuk cell signalling, respon proinflamasi, dan aktivasi
kaskade komplemen.

TRANSFUSI MASIF
Transfusi masif didefinisikan sebagai transfusi yang menggunakan lebih dari 10
unit RBC dalam 24 jam setelah terapi awal dan muncul pada setidaknya 10%
trauma militer dan 5% pasien trauma sipil. Pasien yang mengalami perdarahan
akutan menerima lebih dari 10 unit RBC dalam 6 jam trauma memiliki mortalitas
yang lebih tinggi. Transfusi masif sendiri tampaknya merupakan sebuah penanda
kerusakan yang lebih berat daripada efek langsung transfusi. Perkekmbangan
strategi transfusi masif dan penggunaan protokol meningkatkan survival dan telah
menjadi evolusi penting dalam manajemen pasien trauma, luka perang, dan bahkan
perdarahan masif di rumahsakit yang muncul setelah perdarahan postpartum atau
perdarahan masif saat pembedahan.

PENDEKATAN TERAPI UNTUK TRANSFUSI MASIF DAN KOAGULOPATI


Layanan transfusi, bank darah, dokter, dan rumahsakit telah mengembangkan dan
menerapkan protokol untuk secara cepat menyediakan produk darah bagi pasien
yang mengalami perdarahan akut dan masif. Studi observasional dan analisis
retrospektif dari trauma militer dan sipil melaporkan perbaikan hasil dengan
pemberian whole blood atau whole blood yang setara dengan transfusi masif yang
melibatkan rasio transfusi 1:1:1 untuk RBC, plasma, dan platelet. Namun juga
terdapat data bertentangan yang mengatakan adanya peningkatan morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan transfusi produk plasma. Studi terkini
mengevaluasi rasio plasma kritis dalam trauma dan akan dipertimbangkan secara
detail dalam bab ini.

EFEK MERUGIKAN DARI TRANSFUSI


Seluruh transfusi memiliki risiko dan perhatian khusus karena plasma merupakan
hal penting. Risiko utama yang mengancam nyawa dari pemberian plasma
mencakup kerusakan paru yang berkaitan dengan transfusi, kelebihan cairan
sirkuler yang berkaitan dengan transfusi, reaksi transfusi hemolitik, dan anafilaksis
(fenomena tersebut telah dipaparkan pada bab sebelumnya, Bab 28, Blood Products
and Blood Components). Menguraikan penyebab efek merugikan setelah transfusi
merupakan hal sulit karena pasien yang lebih kritis memiliki prognosis yang lebih
buruk dan juga membutuhkan transfusi yang lebih banyak, serta alasan yang
mendasari kebutuhan transfusi beragam akan selalu mempengaruhi interpretasi
hasil klinis.

PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF
Abnormalitas hemostasis setelah transfusi masif dan/ atau trauma dapat muncul
sebagai hasil dari berbagai faktor dan tidak secara langsung berhubungan dengan
pemberian darah. Bersama dengan koagulopati, hipotermia dan asidosis
melengkapi trias yang memberikan mortalitas lebih tinggi dalam manajemen
trauma akut. Faktor tersebut berperan dalam berkurangnya atau penurunan fungsi
lokal dari faktor hemostasis yang disebabkan kehilangan darah, kerusakan jaringan,
dan/ atau konsumsi faktor-faktor tersebut. resusitasi volume dengan kristaloid,
koloid, dan RBC atau penggunaan sistem pemecah sel setelah kehilangan darah
dapat menyebabkan dilusi koagulopati. Keseimbangan hemostasis antara
antikoagulan dengan aktivitas prokagulan dapat menghilang karena kerusakan
jarignan setelah trauma (termasuk trauma kepala), hipoksia jaringan/ asidosis,
combusio/ sepsis, atau kejadian fisik lainnya khususnya dalam kondisi intraoperatif
dari suction serta reinnfusi debris.
Hipotermia dapat menjadi faktor penting yang memicu atau memperburuk
koagulopati, karena kaskade enzim terganggu, kerusakan ini tampak pada awal
pada sedikit penurunan temperatur tubuh, meskipun 35˚C. Fungsi platelet juga
terganggu dengan hipotermia, serta disfungsi platelet dapat muncul karena
peningkatan fibrinogen degradation products (FDP) dan kadar D-dimer.
Pertimbangan penting lainnya adalah faktor yang mempengaruhi anemia, yaitu
penurunan RBC adenosine disphosphate dan penurunan kemampuan difusi platelet;
dan efek acidemia, dimana mencakup hikalsemia dengan transfusi masif.

PERUBAHAN HEMOSTASIS PERIOPERATIF


Pasien trauma dan pembedahan memiliki beragam derajat kerusakan vaskular dan
kekurangan darah. Hilangnya darah hingga 30% dari volume total darah secara
umum dapat ditoleransi hanya dengan resusitasi cairan. Faktor koagulan secara
progresif mengalami dilusi hingga 30% normal setelah kehilangan volume darah,
dan turun hingga 15% setelah kehilangan dua volume darah. Dengan hemodilusi
berat, generasi thrombin, langkah penting dalam pembentukan kloot terganggu
dengan penurunan kadar prokoagulan. Generasi thrombin juga terganggu dengan
thrombositopenia. Fibrinogen dan faktor XIII, bahan penting untuk pembentukan
klot juga menurun tanpa faktor pengganti yang sessuai selama resusitasi cairan.
Meskipun klot dapat terbentuk, rendahnya kadar fibrinogen dan/ atau faktor XIII
akan menyebabkan penurunan kekuatan klot, temuan yang sering dipantau
menggunakan thromboelastography atau thromboelastometry. Rendahnya kadar
protein klot mempengaruhi kemampuan fibrin untuk melakukan polimerasi.

KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF


Karena standart pemeriksaan laboratorium seringkali membutuhkan waktu lama,
dan dengan perdarahan berat, beberapa volume darah mungkin dapat digantikan
pada saat hasil tersedia, pemeriksaan laboratorium memiliki peran yang tidak pasti
dalam membuat keputusan dalam berbagai kondisi dimana transfusi masif
dibutuhkan. Sehingga, protokol transfusi telah dikembangkan dimana dosis pasti
FFP dan platelet diberikan setelah sejumlah unit RBC telah diberikan, seringkali
dengan rasio 1:1:1. Apakah rasio pasti ini mencegah berkembangnya koagulopati
atau memperbaiki perdarah masih belum pasti dalam pembedahan jantung, namun
pada pasien trauma dan kondisi pembedahan non kardiak, terdapat perkembangan
data yang menyatakan rasio tetap tersebut memperbaiki survival.

Dengan perdarahan yang mengancam nyawa, seperti yang terlihat pada pasien
trauma, transfusi dengan rasio tetap dari RBC, FFP, dan platelet sebaiknya
diberikan. Transfusi dengan rasio plasma/FFP: platelet” RBC memberikan nilai
positif terhadap survival. Sebagai hasil, Army Surgeon General membentuk
ketentuan klinis dimana 1:1:1 (plasma/FFP: platelet: RBC) untuk korban perang
yang direncanakan menerima transfusi masif. Satu studi besar yang melibatkan
pasien warga sipil yang menerima transfusi masif menunjukkan perbaikan survival
dengan penggingkatan penggunaan platelet. Praktik resusitasi militer AS kini
menggunakan pendekatan seimbang, menggunakan 1:1:1 sebagai cairan resusitasi
primer untuk sebagian besar kasus trauma. Studi terkini sedang berjalan untuk
menentukan berapa rasio optimal yang sebaiknya digunakan dalam berbagai
kondisi klinis.

PERAN SEL DARAH MERAH DAN ANEMIA


Anemia juga berkontribusi terhadap perdarahan seperti yang dilaporkan pada
pasien non pembedahan karena mekanisme multipel yang mencakup deposit nitric
oxide, margination of platelet, serta kontribusi terhadap proses hemostasis,
meskipun hematokrit ideal untuk menekan risiko ini belum jelas. Transfusi RBC
diberikan untuk berbagai alasan dan hal ini semakin dikenal karena peran
pentingnya dalam hemostasis. RBC dapat melepaskan adenosine diphosphate,
aktivator penting bagi platelet. Platelet juga berkontribusi sebagai dasar inisiasi klot
dengan memfasilitasi pembentukan thrombin. Studi menunjukkan bahwa aktivasi
FXIII dan fibrin cross-linking mungkin berperan penting dalam mediasi retensi
RBC antar klot.

PENYEBAB PERDARAHAN DALAM KONDISI KOAGULOPATI


TRANSFUSI MASIF
Faktor risiko untuk berkembangnya koagulopati transfusi masif umumnya
berkaitan dengan luka pembedahan atau trauma yang menyebabkan hemoragik.
Pasien sebaiknya dievaluasi penggunaan obat tambahan yang dapat mempengaruhi
koagulasi, termasuk obat antiplatelet (clopidogrel, prasugrel, ticagrelor), obat
antikoagulan (dabigatran, rivaroxaban, apixaban, warfarin), atau obat parenteral
seperti low-molecular-weight heparin. Pemantauan obat tersebut telah dibahas
dalam bab sebelumnya. Banyak pemeriksaan koagulasi standart yang digunakan
untuk evaluasi hemoragik tidak dapat menentukan secara pasti efek obat antiplatelet
(seperti aspirin, clopidogrel, prasugrel, atau ticagrelor) seperti pemeriksaan
kompleks fungsi platelet yang digunakan secara klinis umumnya tidak efektif
dengan perdarahan yang signifikan.

HIPOTERMIA, ASIDOSIS, DAN KOAGULOPATI


Hipotermia memiliki efek multipel karena koagulasi merupakan proses enzimatik.
Saat temperatur pasien menurun, proses enzimatik yang berfungsi maksimal pada
temperatur tubuh normal menjadi terganggu. Hipotermia dapat menghasilkan
berbagai defek hemostasis yang mencakup disfungsi platelet reversibel dan
peningkatan fibrinolisis. Sebagai tambahan, prothrombin time (PT) dan activated
partial thromboplastin time (aPTT) menjadi memanjang pada suhu 34˚C atau lebih
rendah bila dibandingkan dengan pengukuran pada suhu 37˚C. Saat sampel darah
diambil dari pasien hipotermia, pemeriksaan sebenarnya dilakukan pada suhu 37˚C,
sehingga pengaruh hipotermia pada koagulopati dan perdarahan mungkin tidak
diketahui oleh para klinisi. Secara keseeluruhan, hipotermia merupakan faktor
penentu yang penting terhadap defek perdarahan dalam koagulopati yang terjadi
pada pasien trauma dan merupakan trias letal yang dijabarkan sebagai hipotermia,
asidosis, dan koagulopati. Hipotermia dan asidosis juga dapat mencegah
pembentukan thrombin, komponen penting dalam pembentukan klot. Hipotermia
diperkirakan menghambat fase inisiasi, dimana asidosis menghambat fase
penyebaran (propagation) pembentukan thrombin. Mempertahankan normothermia
merupakan hal penting yang menjadi bagian dari rencana terapi multimodal untuk
menekan kehilangan darah dalam kasus hemoragik signifikan pada kasus trauma,
pembedahan, atau koagulopati yang muncul karena sebab apapun. Dalam kondisi
perioperatif, alat penghangat darah dan alat penghangat lainnya sebaiknya
digunakan untuk mencegah dan menterapi hipotermia.

KOAGULOPATI DILUSI
Sebelum pembentukan protokol transfusi masif, koagulopati dilusi merupakan
penyebab umum perdarahan pada pasien dengan perdarahan aktif. Perdarahan dan
koagulopati berhubungan dengan transfusi masif pada 21 tentara yang mengalami
trauma akut yang muncul setelah transfusi 20 hingga 25 unit stored whole blood.
Dalam laporan ini, thrombositopenia dilusi merupakan penyebab utama perdarahan
dan diperkirakan terjadi karena penurunan kadar platelet pada stored blood.
Transfusi sekitar 15 hingga 20 unit menyebabkan dilusi volume darah yang
signifikan,dan penurunan kritis pada jumlah platelet sekitar 20.000 hingga
30.000/mm3, jauh dibawah target rekomendasi platelet untuk pasien perdarahan
akut.

FIBRINOLISIS
Fibrinolisis merupakan komponen penting untuk mencegah pembentukan klot
berlebih dan keseimbangan hemostasis namun fibrinolisis berlebih seperti yang
umum muncul pada pasien trauma dapat menyebabkan perdarahan. Fibrinolisis
dimulai oleh mekanisme yang mencakup stimulasi tissue plasminogen activator
yang dilepaskan sebagai respon kerusakan endotel vaskular, respon stress, dan
mekanisme lainnya. Plasmin memecah fibrinogen dan von Willebrand’s factor
(vWF), memecah reseptor dari platelet (glycoprotein Ib), dan membentuk produk
degradasi yan gmengikat glycoprotein reseptor IIb/IIIa, kemudian mengganggu
fungsi platelet. Aktivasi kontak yang berhubungan dengan kerusakan jaringan dan
aktivasi hemostasis juga mengaktifkan kallikrein yang memicu pembentukan
plasmin namun juga terlibat pada tahapan proinflamasi yang mencakup kemotaksis
dan kemokinesis. Aktivasi kontak menyebabkan pemecahan glycoprotein reseptor
Ib dari platelet dan pembentukan FDP yang menghasilkan pembentukan multimer
yang berikatan dengan glycoprotein reseptor IIb/IIIa untuk mencegah platelet-
fibrinogen cross-linking, serupa dengan efek glycoprotein reseptor inhibitor
IIb/IIIa, abciximab. Perubahan Th dalam fibrinolisis memberikan pengaruh negatif
pada fungsi platelet.

HIPOFIBRINOGENEMIA.
Fibrinogen merupakan komponen penting dalam pembentukan klot dan merupakan
protein reaktan fase akut. Fibrinogen bersirkulasi dalam konsentrasi tertinggi dari
faktor koagulasi lainnya, dan nilai normal kadar plasma berkisar 200 hingga
400mg/dL namun peningkatan pada kehamilan dan seperti pada respon non-
specific anabolic postoperatif yang diikuti dengan kerusakan jaringan. Pada
trimester akhir kehamilan, respon fisiologis normal adalah kemampuan
hiperkoagulan untuk menurunkan risiko komplikasi perdarahan selama persalinan.
Meskipun sering terjadi thrombositopenia dilusi benign, dengan jumlah platelet
80.000 hingga 150.000/mm3, kadar fibrinogen meningkat berkisar 400 hingga
600mg/dL. Selama persalinan, keadaan hemostasis sistemik terbentuk dengan
konsumsi platelet dan faktor koagulasi (termasuk fibrinogen) untuk memungkinkan
terjadinya pembekuan; hemostasis kemudian menjadi normal kembali dalam 4
hingga 6 minggu postpartum.

Bila kadar fibrinogen yang turun sekitar 80 hingga 100mg/dL, pemeriksaan standart
clot-based coagulation termasuk PT dan partial thromboplastin time (PTT) dapat
terpengaruh. Perubahan tersebut tidak dapat dikoreksi dengan transfusi
FFP/plasma; namun, cryoprecipitate digunakan atau konsentrat fibrinogen di
negara yang tidak memiliki cryopercipitate (lihat bab sebelumnya mengenai blood
and hemostasis). Alogaritma transfusi terdahulu hanya direkomendasikan untuk
terapi awal saat kadar fibrinogen kurang dari 100mg/dL dan akan sulit untuk
mengembalikan efek rendahnya kadar tersebut dalam fungsi hemostasis. Pedoman
Eropa terfokus pada peran kadar fibrinogen normal pada pasien perdarahan, dan
studi terkini juga mendukung efek potensial blood-sparing dari konsentrat
fibrinogen.

PEMANTAUAN HEMOSTASIS SELAMA TRANSFUSI MASIF


PT dan aPTT seringkali digunakan untuk pemantauan koagulopati selama transfusi
masif. PT dipertimbangkan sebanding dengan hilangnya faktor koagulan dan/ atau
hemodilusi namun faktor lain juga bertanggungjawab. Pemeriksaan standart
koagulasi tersebut memiliki keterbatasan dalam evaluasi perdarahan karena defek
koagulasi multipel yang muncul. Pemeriksaan standart plasma-based coagulation
juga tidak memberikan informasi mengenai fungsi platelet atau interaksi dengan
faktor koagulan dan dapat tampak memanjang bahkan dengan kadar faktor
koagulan normal karena defisiensi vitamin C. sebagai hasil, pemeriksaan koagulasi
lainnya juga digunakan untuk mengelola transfusi masif.

Pengukuran whole blood viscoelastic dilanjutkan untuk memperluas pengelolahan


trauma, perdarahan perioperatif, dan koagulopati transfusi masif serta mencakup
thromboelastography (TEG; Hemonetics Corporation, Braintree, MA) atau
thromboelastometry (ROTEM; TEM International, Cary, NC). Beberapa
keuntungan menggunakan sistem tersebut adalah kemampuan mendapatkan
informasi secara cepat untuk diagnosis dan manajemen koagulopati serta
memberikan metode untuk alogaritma dan manajemen yang menuju kearah
keberhasilan. Thromboelastometry memberikan informasi mengenai pembentukan
klot dan polimerasi fibrin serta penggunaannya telah dilaporkan untuk evaluasi
koagulasi abnormal yang dipicu oleh trauma. Kekuatan klot ditentukan oleh
amplitudo maksimal TEG dan kekuatan klot maksimal pada ROTEM dipengaruhi
oleh kadar fibrinogen namun juga oleh kontribusi platelet terhadap klot. Sebagai
tambahan, penggunaan ROTEM FIBTEM assay, kadar fibrinogen sistemik dapat
dengan cepat ditentukan. Peran pemeriksaan penunjang ini dalam transfusi masif
berlangsung untuk mengembangkan strategi terapi untuk transfusi dan
pembentukan alogaritma terapi. Di negara Eropa dimana cryoprecipitate mungkin
tidak tersedia, assay digunakan sebagai panduan terapi baik untuk konsentrat
fibrinogen dan pemberian konsentrat kompleks prothrombin.

TERAPI KOAGULOPATI SELAMA TRANSFUSI MASIF


Bagan alir dan contoh aktivasi serta protokol institusi untuk transfusi masif
ditunjukkan dalam Gambar 31-1 dan 31-2. Pertimbangan spesifik untuk manajemen
telah didiskusikan dan juga dimasukkan dalam perspektif tersebut dengan
mempertimbangkan komponen terapi individual.

PLSMA/ FRESH FROZEN PLASMA


Secara keseluruhan, protokol transfusi masif merupakan alat terapi penting untuk
menangani perdarahan mengancam nyawa setelah trauma. Plasma/ FFP
mengandung beragam faktor untuk hemostasis dan kini lebih banyak
dipertimbangkan sebagai komponen penting. Sebagian besar penelitian yang
melaporkan efek menguntungkan dari rasio plasma yang tinggi adalah penelitian
retrospektif dan melibatkan plasma/ transfusi FFP: RBC dengan rasio 1:1 atau lebih
untuk trauma. Rasio optimal dari plasma/ FFP: RBC belum diketahui, namun studi
prospektif yang mencakup penelitian terkini dari North American Pragmatic,
Randomized Optimal Platelets and Plasma Ratios study (ClinicalTrials.gov
number, NCT01545232) akan memberikan informasi terbati. Uji acak ini berasal
dari 12 rumahsakit berbeda yang mengevaluasi hasil dari pasien trauma yang
membutuhkan transfusi masif yang didefinisikan dengan pemberian RBC lebih dari
10 unit dalam waktu 24 ja, dan mortalitas secara keseluruhan akan dinilai. Terdapat
perbedaan utama dalam manajemen perdarahan berat di AS dan Eropa. Berdasar
pedoman Eropa terkini, dokter saat ini menggunakan faktor konsentrat berdasar
panduan thromboelastometry (ROTEM), dengan konsentrat kompleks
prothrombin, fibrinogen, dan faktor XIII. Fibrinogen dan konsentrat faktor lainnya
telah digunakan selama bertahun-tahun di Eropa, karena cryoprecipitate tidak selalu
tersedia di seluruh negara. Terapi berupa multimodal dan membutuhkan dukungan
hemodinamik dan hemostasis serta usaha untuk menentukan sumber perdarahan.
Sebuah contoh protokol transfusi masif tercantum dalam Gambar 31-3.

PEMBERIAN PLATELET
Setelah terjadi luka trauma atau perdarahan postoperatif yang signifikan, jumlah
platelet kritis untuk transfusi seringkali berdasar terapi konsensus daripada data
objektif yang sesungguhnya. Meskipun dianjurkan pada 50.000 atau lebih, ambang
batas untuk pemberian platelet, terutama pada kasus koagulopati dilusi, masih
belum jelas seperti rasio ideal untuk platelet terhadap komponen darah lainnya.
Sebagian besar usaha protokol untuk mengembangkan strategi yang menyerupai
penggantian whole blood dengan RBC:plasma/FFP: platelet dengan rasio 1:1:1
dengan perdarahan masif.

Penilaian fungsi platelet pada pasien perdarahan merupaka hal yang tidak mungkin;
oleh karena itu, pemberian platelet empirik masih jarang dilakukan. Bila pasien
menerima obat antiplatelet dalam jangka waktu dekat, bahkan platelet dan hitung
jumlah platelet tidak membantu. Bila pasien telah menerima obat antiplatelet atau
mengalami perdarahan setelah pemisahan dari bypass kardiopulmoner, maka
disfungsi platelet sebaiknya dicurigai dan pemberian konsentrat platelet
dipertimbangkan. Terdapat hal merugikan yang signifikan dan potensial yang
berhubungan dengan pemberian platelet.

OBAT ANTIFIBRINOLITIK
Karena peran penting fibrinolisis pada perdarahan dan trauma, obat antifibrinolitik
asam tranexamat semakin sering digunakan sebagai strategi terapi. Penghambatan
fibrinolisis selama perdarahan akut memiliki berbagai keuntungan termasuk
memfasilitasi pembentukan klot awal pada lokasi perdarahan yang mudah hancur,
serupa dengan destruksi klot yang terlihat pada pasien hemofilia. Studi Clinical
Randomization of an Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH 2) yang
terfokus pada asam tranexamat yang digunakan sebagai obat terapi bagi pasien
trauma dalam prospective randomized placebo-controlled trial menggunakan
loading 1 gram diikuti dengan 1 gram setiap 8 jam pada 20.211 pasien trauma.
Mortalitas secara keseluruhan menurun dari 14.5% hingga 16.0% (relative risk,
0.91; P=0.0035), dimana kematian sebelumnya karena perdarahan (4.9%
berbanding 5.7%; relative risk, 0.85; P=0.0077). Asam tranexamat juga disetujui di
Amerika Serikat untuk perdarahan menstruasi yang berlebih dengan dosis 1.3 gram
tiga kali sehari (dosis total ~4 gram), tanpa laporan masalah keamanan yang
signifikan. Disamping efikasi dan keamanan asam tranexamat, dokter sering kali
mengganti epsilon-aminocaproic acid, analog lysine lainnya, meskipun obat ini
masih belum dipelajari sejauh asam tranexamat dan tidak tersedia di beberapa
negara Eropa.

PROKOAGULAN
Berbagai jenis obat telah digunakan atau dipelajari pada trauma dan koagulopati
transfusi masif, termasuk recombinant activated factor VII dan konsentrat
kompleks prothrombin. Penggunaan obat diluar label untuk meningkatkan
pembentukan klot setelah pembedahan mator dan atau luka trauma merupakan hal
yang rasional namun pendekatan empirik untuk terapi perdarahan yang mengancam
nyawa dan sering digunakan sebagai “usaha terakhir” bagi pasien yang sedang
mengalami perdarahan dan berada dalam risiko kematian atau kejadian merugikan
lainnya. Saat dokter menerima pasien yang terus mengalami perdarahan disamping
intervensi terapi standart, mereka memiliki dua pilihan. Mereka dapat melanjutkan
untuk memberikan intervensi standart (yang telah gagal) atau memberikan
prokoagulan seperti recombinant activated factor VII dan konsentrat kompleks
prothrombin. Dokter dibenarkan dalam memilih rencana pemberian prokoagulan
untuk beberapa alasan. Pertama, terdapat bukti klinis bahwa pasien dengan
perdarahan refrakter akan mengalami prognosis buruk kecuali kehilangan darah
dapat dikontrol dalam waktu cepat. Kedua, bertahan dengan intervensi standart
tampaknya tidak akan mencapai tujuan ini dan akan memaparkan pasien terhadap
risiko pemberian produk darah yang tidak diperlukan. Ketiga, data efikasi dan
keamanan dari sebagian besar uji acak tidak dapat digunakan pada kondisi tersebut
karena pasien dengan perdarahan refrakter tidak ditelliti. Keempat, meskipun data
keamanan dari uji acak menggunakan hal tersebut, dimana keseluruhan
menyarankan prokoagulan berdasarkan pada efeknya dalam meningkatkan risiko
komplikasi thromboemboli, risiko ini relatif terhadap membiarkan perdarahan dan
kehilangan darah untuk terjadi. Kelima, data pengamatan dari Eropa dan beberapa
data uji acak pada pasien perdarahan menyarankan bahwa penggunaan terapi
prokoagulan dan konsentrat efektif untuk kehilangan darah yang bersifat refrakter
menggunakan faktor konsentrat sesuai dengan alogaritma. Implikasi etik dan hal
yang tidak praktis seperti percobaan, tidak memungkinkan data tambahan dari
placebo-controlled randomized trials untuk mengevaluasi hemoragik yang
mengancam nyawa dapat dilakukan.
PERDARAHAN POSTPARTUM
Perdarahan postpartum merupakan penyebab penting perdarahan yang mengancam
nyawa dan masih menjadi penyebab utama mortalitas maternal. Laporan publikasi
terkini dari ahli obstetrik internasional, ginekologi, anestesiologi, hematologi, dan
transfusion medicine melakukan review literatur komprehensif untuk
mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi prognosis buruk. Mereka
mendefinisikan perdarahan postpartum persisten berat sebagai “perdarahan akut
yang lebih dari 1.000 ml dalam 24 jam setelah persalinan yang berlangsung terus
meskipun telah diberikan penanganan awal seperti obat uterotonik lini pertama dan
masase uterin.” Seperti pada perdarahan mengancam nyawa secara keseluruhan,
alogaritma terapi yang mencakup protokol transfusi masif merupakan hal penting.
Kelompok tersebut menyarankan pemeriksaan koagulasi untuk dilakukan untuk
mengarahkan terapi. Bila terapi awal gagal untuk menghentikan perdarahan dan
atonia uteri masih terjadi, intervensi lini kedua dan ketiga, termasuk manuver
mekanik dan pembedahan, yaitu intrauterine ballon tamponade atau hemostatic
brace suture dengan histerektomi merupakan pilihan akhir pembedahan untuk
perdarahan yang tidak terkontrol. Pilihan farmakologi mencakup obat hemostatik,
termasuk asam tranexamat bersama dengan protokol transfusi masif untuk
pemberian produk darah juga merupakan hal penting untuk menekan kehilangan
darah dan mengoptimalkan prognosis dalam manajemen wanita dengan perdarahan
postpartum persisten berat.

RESUSITASI MULTIMODAL: DAMAGE CONTROL RESUSCITATION


Menangani perdarahan yang mengancam nyawan dan tidak terkontrol merupakan
masalah klinis yang muncul setelah luka trauma, selama prosedur pembedahan
mayor, dan setelah persalinan. Dari informasi yang dipelajari dari pertempuran dan
korban medan oerang, pendekatan multimodal dan multispesialistik telah dilibatkan
yang mencakup perspektif dari ahli bedah, anestesi, ahli kedokteran gawat darurat,
dan spesialis transfusion medicine untuk pendekatan resusitasi optimal terhadap
syok hemoragik. Dokter dan peneliti dari berbagai spesialistik telah menciptakan
istilah damage control resuscitation, sebuah strategi multimodal. Konsep ini
digunakan hanya untuk (a) fase awal dan peningkatan penggunaan plasma, platelet,
dan RBC sementara meminimalisir penggunaan kristaloid; (b) strategi resusitasi
hipotensif; (c) menghindari hipotermia dan asidosis yang dapat menyebabkan
koagulopati; (d) penggunaan terapi tambahan seperti kalsium, THAM
(trishydroxymethyl aminomethane, alternatif alkalizing agent dari sodium
bikarbonat), dan asam tranxamat serta penggunaan obat prokoagulan off label; dan
(d) kontrol perdarahan definit awal.

KESIMPULAN
Koagulopati yang berhubungan dengan transfusi masif merupakan hal kompleks,
masalah klinis multifaktorial. Saat melakukan evaluasi kasus koagulopati dalam
kondisi ini, farmakoterapi terdahulu termasuk riwayat penggunaan antikoagulan
harus dipertimbangkan. Peran hipotermia, koagulopati dilusi, disfungsi platelet dan
fibrinolisis sebaiknya dipertimbangkan. Evaluasi kadar fibrinogen menunjukkan
aspek penting bagi seluruh alogaritma transfusi, khususnya bagi pasien dengan
transfusi masif dan perdarahan yang mengancam nyawa. Alogaritma transfusi
merupakan aspek penting dan relatif baru dalam manajemen perioperatif; mereka
berusaha untuk menyediakan faktor adekuat dan penggantian hemostasis, meskipun
rasio ideal berbagai komponen darah dan faktor konsentrat masih dalam penentuan.
Perubahan signifikan dalam manajemen telah menjadi hal penting dalam strategi
resusitasi dan kristaloid tidak lahi menjadi hal primer dalam resusitasi; strategi
primer kini menggantikan kehilangan darah akutdengan plasma atau produk yang
mengandung plasma disamping sejumlah besar kristaloid dan RBC. Contoh
protokol transfusi masif dan aktivasi protokol transfusi masif dicantumkan dalam
Gambar 31-1 dan 31-2. Beberapa review tersedia sebagai bahan bacaan tambahan
dalam subjek ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pamela F, James PR, Steven S. Pharmacology & Physiology in Anesthetic


Practice : Physiology and Management of Massive Transfusion. 5th ed. 2015.

Anda mungkin juga menyukai