Anda di halaman 1dari 18

1

I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Limbah peternakan adalah semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan
usaha peternakan baik berupa limbah padat dan cairan, gas, maupun sisa pakan.
Limbah yang berasal dari peternakan berupa kotoran ternak, urine, sisa pakan, dan
gas metan CH4 baik yang berasal dari kotoran maupun enteric fermentasi (sistem
pencernaan dalam rumen) setiap tahun selalu bertambah seiring dengan
pertambahan populasi ternak dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani.
Limbah peternakan akan sangat menganggu jika tidak dikelola secara baik, karena
dapat mencemari udara yang disebabkan oleh aroma kotoran yang kurang sedap,
mencemari air karena kotoran dibuang ke sungai selain itu juga dapat
menyebabkan penyakit. Oleh karena hal tersebut, alangkah bijaknya setiap pelaku
usaha peternakan baik skala rumah tangga maupun besar harus memiliki rasa
tanggung jawab untuk mengelola limbah hasil ternak dengan baik.
Limbah tersebut diolah menjadi pupuk organik, pakan untuk organisme
lain, biogas. Tetapi pengolahan limbah yang dilakukan peternak masih dilakukan
secara parsial atau terpisah sesuai dengan tujuan masing-masing. Sehingga
memerlukan tambahan biaya. Selain itu, sumber daya yang dimanfaatkannya
hanya limbah ternak, padahal dalam proses tersebut ada sumber daya lain yang
sebenarnya mungkin lebih potensial. Sumber daya tersebut adalah organisme
pengurai yang apabila diketahui potensinya dan tepat pengelolaannya dapat
dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Untuk dapat memanfaatkan semua sumber
daya tersebut, baik limbah ternak maupun organisme pengurai menjadi produk
yang bermanfaat cara pengolahan tersebut harus terpadu. Pengolahan limbah
peternakan secara terpadu maksudnya adalah dengan memperhatikan hubungan
timbal balik secara terpadu antara limbah peternakan dan organisme pengurai,
sehingga pengolahan limbah tersebut dilakukan secara tepat (efektif), murah
2

(efisien), produk yang dihasilkan banyak (produktif), dan ramah lingkungan yang
berarti pengolahan tersebut tidak lagi menimbulkan limbah.
Pengolahan limbah dengan cara yang benar dan tepat waktu secara terpadu
dapat menghasilkan produk pupuk organik (baik berupa pupuk organik
padat/POP, maupun berupa pupuk organik cair/POC), biogas, pakan imbuhan,
bahkan menjadi bahan pakan, pangan dan suplemen kesehatan. Limbah jerami
dan feses dapat diolah karena pada limbah tersebut aktivitas mikroorganisme
tanah dapat memperbaiki ketersediaan hara, siklus hara, dan pembentuka pori
mikro dan makro tanah sehingga dalam pengolahanya sering dijadikan kompos,
pupuk organik cair maupun biogas.

1.2. Maksud dan Tujuan


1. Mengetahui pengolahan limbah peternakan secara terpadu.
2. Mengetahui pemanfaatan dari pengolahan limbah peternakan secara
terpadu.

1.3. Waktu dan Tempat


Waktu : 27 Oktober – 22 November 2016

Tempat : Laboratorium Mikrobioogi dan Pengolahan Limbah Peternakan,

Fakultas peternakan Universitas Padjadjaran


3

II
ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

2.1. Pembuatan Dekomposisi


2.1.1. Alat
1. Talenan
2. Golok
3. Baki/wadah
4. Terpal
5. Timbangan
6. Karung
7. Bambu

2.1.2. Bahan
1. Feses Sapi perah
2. Jerami padi

2.1.3. Prosedur Kerja


1. Mencacah jerami padi kering sampai ukuran 3-5 cm.
2. Jerami padi dan feses sapi perah ditimbang dengan perbandingan
1:0,45.
3. Jerami padi sebanyak 1 kg dan feses sapi perah sebanyak 0,45 kg
dihomogenkan diatas terpal.
4. Jerami padi yang masih kering dimasukan kedalam karung (karung
telah diikat antar ujungnya dan dibalik sehingga karung dapat
diberdirikan) sebagai lapisan awal setinggi ±5 cm.
5. Jerami padi dan feses sapi perah yang telah dihomogenkan dimasukan
kedalam karung dan dipadatkan sedikit demi sedikit.
4

6. Setelah tingginya mencapai seperempat bagian karung, pemadatan


dilakukan dengan bantuan tusuk bambu, guna untuk memerangkap
oksigen.
7. Karung yang telah terisi penuh disimpan dan dilakukan pengecekan
suhu setiap hari selama satu minggu.
8. Setelah proses fermentasi selesai, dekomposan yang telah stabil
suhunya, dikeringkan dengan cara dihamparkan di atas plastik
kemudian diangin-anginkan selama satu atau dua minggu.

2.2. Ekstraksi
2.2.1. Alat
1. Baki
2. Drum
3. Gayung
4. Ember
5. Timbangan

2.2.2. Bahan
1. Dekomposan kering
2. Air panas
3. Molases

2.2.3. Prosedur Kerja


2.2.3.1. Proses Ekstraksi
1. Dekomposan yang telah kering ditimbang sebanyak 1,5 kg dan
masukan kedalam wadah.
2. Dekomposan direndam dengan air panas.
3. Dekomposan dihomogenkan dengan air.
4. Dekomposan yang telah direndam dengan air kemudian difiltrasi.
5

2.2.4. Pembuatan Pupuk Organik Cair


1. Hasil ekstraksi berupa suspensi kental dimasukan kedalam baki
2. Lalu dilakukan proses aerasi untuk menghasilkan pupuk organik cair.

2.2.5. Pembuatan Biogas


1. Hasil filtrasi berupa padatan, dimasukan kedalam drum.
2. Tutup rapat drum hingga terbentuk gas methan.
3. Penutupan dilapisi dengan karet agar drum menjadi kedap udara,
sehingga tercipta kondisi anaerob yang baik.

2.2.6. Pembuatan Vermikompos


1. Sisa dari pembuatan biogas adalah sludge yang dapat digunakan
sebagai pupuk organik padat.
2. Pembuatan pupuk organik padat melalui proses vermicomposting.
3. Cacing tanah dari hasil vermicultur dipanen.
4. Cacing yang telah dipanen sebanyak 1 kg dibagi untuk empat
kelompok (masing-masing 250 gram).
5. Cacing tanah yang telah dipanen dimasukan kedalam wadah, pada
seperempat bagian wadah.
6. Proses berlangsung selama pertumbuhan cacing ± 4 minggu.
7. Hasil dari sisa pencernaan cacing (kascing) merupakan pupuk organik
padat yang siap digunakan pada tanaman.

2.2.7. Pembuatan Feed Additive


1. Hasil dari filtrasi berupa suspensi cair dimasukkan kedalam ember.
2. Kemudian tambahkan molases 5%.
6

III
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Pengamatan


3.1.1. Perhitungan Nisbah C/N dan Kadar Air Substrat
Tanggal praktikum : 27 Oktober 2016
a. Nisbah C/N
Terdapat dua bahan campuran yaitu feses sapi perah dan jerami padi untuk
dibuat sebagai substrat biogas dan kompos/vermikompost. Masing-masing bahan
mempunyai komposisi nutrisi sebagai berikut :

Tabel 1. Komposisi Nutrisi (kandungan C dan N serta kadar air) Feses Sapi
Perah dan Jerami Padi
Bahan Organik Kandungan C Kandungan N Kadar Air
…………………….………%.........................................
Feses Sapi Perah 43,2 2,9 40
Jerami Padi 44,5 0,6 20

Rumus untuk memperoleh nisbah C/N 20 maka diperlukan imbangan feses


sapi perah dan jerami padi sebagai berikut :

𝐶𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑎ℎ + 𝐶𝑗𝑒𝑟𝑎𝑚𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑖


C/N = 𝑁𝑓𝑒𝑠𝑒𝑠 𝑠𝑎𝑝𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑎ℎ+𝑁𝑗𝑒𝑟𝑎𝑚𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑖
(𝐹𝑆 𝑥 43,2) +(𝐽𝑃 𝑥 44,5)
20 = (𝐹𝑆 𝑥 2,9) + (𝐽𝑃 𝑥 0,6)

43,2 𝐹𝑆+44,5 𝐽𝑃
= 2,9 𝐹𝑆+0,6
𝐽𝑃

20 (2,9 FS + 0,6 JP) = 43,2 FS + 44,5 JP


58 FS + 12 JP = 43,2 FS + 44,5 JP
58 FS - 43,2 FS = 44,5 JP - 12 JP
7

14,8 FS = 32,5 JP

Misalnya bagian FS adalah 1 kg, maka

14,8 FS x 1 kg = 32,5 JP

32,5
JP = 32,5

= 0,45 kg

Total campuran = 1,45 kg

Berdasarkan perhitungan di atas, untuk mendapatkan campuran bahan dengan


nisbah C/N 20 diperlukan 1 kg feses dengan 0,45 kg jerami padi.

Tanggal praktikum : 29 September 2014


Berikut data penimbangan feses sapi perah dan jerami padi :
Wadah plastik = 550 gr
Feses sapi perah = 1000 gr
Jerami padi = 450 gr
Total = 550 gr + 1000 gr + 450 gr = 2000 gr
Campuran tanpa wadah = 1000 gr + 450 gr = 1450 gr
Jumlah tersebut penimbangannya diulang sebanyak 23 kali, maka total bobot
campuran feses sapi perah dan jerami padi adalah
1450 gr x 34 = 33, 350 gr = 33,35 kg

b. Kadar Air Substrat


Dari perhitungan C/N di atas, diperoleh imbangan campuran feses sapi perah
dengan jerami padi sebagai berikut :
Feses : 1 kg
Jerami : 0,45 kg
0,4 +0,09
Kadar air campuran = x 100% = 33,8 %
1,45
8

= (100% - 33,8%) x 1,45 = 0,9599 kg

X = 0,9599 : 45 = 2,133

Jadi, untuk mencapai kadar air campuran 55% perlu ditambahkan air sebagai
berikut :

Air ditambahkan = 2,133 – (0,9599+0,49)

= 0, 6831 kg air

0,6831+0,49
Pembuktian = x 100%
2,133

= 54,997% = 55%

3.1.2. Proses Dekomposisi Awal


Tanggal praktikum : 06 Oktober 2014
Setiap hari dilakukan pemeriksaan suhu sampai hari ke 7 dan didapat hasil
sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Pengamatan Suhu
Hari ke 1 2 3 4 5 6 7
Suhu 63˚C 64˚C 65˚C 58˚C 50˚C 40˚C 40˚C

Setelah 7 hari, hasil dekomposisi dibagi menjadi dua bagian. Satu untuk
substrat biogas, satu lagi untuk diproses lanjut sebagai pupuk organik cair (POC)
dan pupuk organic padat (POP). Untuk POC dan POP, substrat diangin-angin di
dekat jendela laboratorium dengan alas koran. Sedangkan untuk biogas, substrat
langsung masuk ke dalam digester.
Berdasarkan pengamatan fisik substrat dari hasil penyimpanan selama 7 hari,
warnanya tidak seragam pada seluruh bagian. Kapang yang tumbuh paling banyak
ditemukan pada area tengah hingga hamper bawah. Bau yang muncul tercium
khas seperti bau tanah serta strukturnya lebih rapuh saat digemburkan. Warna dan
9

keberadaan kapang yang tidak merata adalah indikasi bahwa gas oksigen yang
berada di dalam kompos tidak merata. Dilakukan penimbangan terhadap substrat
dan didapatkan hasil sebanyak 24,8 kg. Kadar air awal 60%
60
Berat air = 100 x 24,8 kg = 14,88 kg

Berat sisa yang dikerigkan = 8 kg


Berat timbang akhir = 14,57 kg
Berat akhir = 22,57 kg
Berat susutan air = 24,8 kg- 22,57 kg = 2,23 kg

Berat akhir air = 14,88 kg – 2,23 kg = 12,65

12,65 𝑘𝑔
% Air = 22,57 𝑘𝑔 x 100% = 56,05%

3.1.3. Pembuatan Biogas


Tanggal praktikum : 13 Oktober 2014
Hasil substrat yang diangin-angin

Berat awal = 8 kg

Berat kering = 8 kg - 5,42 kg = 2,675 kg

56,05
BK = x 8 kg = 4,484 kg (sebelum diangin-angin)
100

Berat Air = 4,484 kg – 2,675 kg = 1,809 kg

1,089
% Air = 5,425 x 100% = 20,07 %

3.1.4. Pembuatan Pupuk Organik Cair


Tanggal praktikum : 20 Oktober 2014
Substrat diambil sebanyak 1,5 kg kemudian direndam dengan air panas
selama ± 60 menit, sisanya dimasukkan kembali ke dalam karung. Rendaman
ditekan-tekan dengan tongkat bambu untuk membantu biomassa kapang
10

tersuspensi seluruhnya dengan air. hasil rendaman disaring dengan rangkaian alat
penyaring sehingga diperoleh ± 6,6 liter suspensi kental/hitam pekat dan 3,6 liter
untuk suspensi encer untuk setiap 1 kg substrat kering. 6,6 liter suspensi kental
disiapkan untuk POC dan 3,6 liter suspensi encer dipersiapkan untuk pakan
imbuhan (feed supplement). Karakteristik fisik suspense kental adalah hitam pekat
sedikit cokelat, bau khas limbah dekomposisi. Suspensi encer diberi molases 5%.
Dilakukan pengomposan terhadap suspensi kental sampai menjadi larutan (POC).
Untuk mempercepat dilakukan aerasi. Padatan hasil ekstraksi dari proses awal
disiapkan untuk POP.

3.1.5. Pembuatan Vermicompost


Tanggal Praktikum : 27 Oktober dan 10 November 2014
Substrat ekstraksi POC diletakkan di dekat jendela Laboratorium untuk
diangin-angin selama 1 minggu. Setelah dikondisikan, dapat difungsikan sebagai
media sekaligus pakan cacing tanah. Padatan hasil ekstraksi dimasukkan pada
wadah plastik. Lalu dimasukkan cacing tanah sebanyak 250 gram. Ditutup dengan
karton tebal dengan sedikit lubang untuk menutup permukaan wadah lalu
disimpan di tempat yang aman.cacing tanah dipanen satu minggu setelah
penyimpanan.
Setelah satu minggu, cacing tanah dipisahkan dengan hati-hati dari substrat
lalu ditimbang. Berikut hasilnya :
Berat awal = 250 gram
Berat akhir = 320 gram
Peningkatan = 70 gram

3.1.6. Pembuata Pakan (Suplemen Pakan)


Tanggal Praktikum : 27 Oktober dan 10 November 2014
Penambahan molasses sebanyak 5% dari berat suspensi encer. Campuran
suspensi encer dan molasses difermentasi secara anaerob selama 1 minggu.
11

Dilakukan pengamatan terhadap tampilan fisik, warna, dan bau. Hasilnya


diuraikan sebagai berikut :
Tampilan fisik : campuran menjadi kental
Warna ; lebih gelap dari sebelumnya
Bau : aroma khas molasses cukup mendominasi

2.2. Pembahasan
2.2.1. Dekomposisi Awal
Kompos adalah hasil akhir suatu proses dekomposisi hasil penguraian
parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat
secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan
yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Keberlangsungan proses
dekomposisi ditandai dengan nisbah C/N bahan yang menurun sejalan dengan
waktu (Sutedjo, 2002).
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian
secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan
organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses
ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup,
pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Dekomposisi awal merupakan proses penguraian senyawa kompleks menjadi
lebih sederhana. Bahan yang diperlukan adalah sisa pakan yang sudah kering dan
feses sapi perah dengan kadar air 60%. Pada perhitugan nisbah C/N diperoleh
kebutuhan feses sapi sebanyak 1 kg dan jerami padi sebanyak 0,45 kg. Sisa pakan
yang digunakan adalah jerami padi. Jerami padi diperlukan sebagai sumber
karbon untuk mengidealkan nisbah C/N.
Suatu proses fermentasi yang terkendali, suhu akan meningkat secara
bertahap mulai dari suhu mesofilik atau suhu awal yaitu <40°C kemudian
meningkat sampai suhu thermofilik (40-70°C) dan kemudian turun kembali
menjadi <40°C. Peningkatan suhu tersebut menyebabkan proses fermentasi
12

mampu membunuh bakteri yang bersifat thermofilik dan patogen (Rusdi dan
Kurnani, 1994 dikutip oleh Marlina dkk., 2006).
Pada hasil pengamatan diperoleh data pada hari ke 2 suhu mencapai 64°C dan
hari berikutnya mengalami penurunan suhu hingga pada hari ke 6 dan ke 7 suhu
menunjukkan angka 40°C yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi telah
selesai. Proses dekomposisi ini berlangsung setelah bahan yang digunakan
dicampur. Dekomposisi awal secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses,
oksigendan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan
olehmikroba mesofilik.
Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan
diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50°-
70°C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada
kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi.
Pada saat ini terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-
mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen (aerobik) akan
menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas.
Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur
mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompostingkat lanjut,
yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai
30–40% dari volume/bobot awal bahan (Isroi, 2008). Hasil dekomposisi awal ini
dapat digunakan lagi dalam pembuatan biogas, vermicompost, pupuk organik cair,
dan feed additive setelah mengalami proses ekstraksi.

2.2.2. Pembuatan Biogas


Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan
proses fermentasi (pembusukan) dari limbah secara anaerobik (tanpa udara) oleh
bakteri metan sehingga dihasilkan gas metan (Nandiyanto, 2007). Menurut
Haryati (2006), proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas
13

yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan
bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara, bakteri ini secara alami terdapat
dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang,
manusia, dan sampah organik rumah tangga.
Gas metan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H
yangmemiliki sifat mudah terbakar. Gas metan yang dihasilkan kemudian dapat
dibakar sehinggadihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan
sebagai bahan baku industri iniadalah sampah organik, limbah yang sebagian
besar terdiri dari kotoran dan potongan-potongankecil sisa-sisa tanaman, seperti
jerami dan sebagainya serta air yang cukup banyak.Proses fermentasi memerlukan
kondisi tertentu seperti rasio C : N, temperatur, keasaman jugajenis digester yang
dipergunakan. Kondisi optimum yaitu pada temperatur sekitar 32–35° C atau 50-
55° C dan pH antara 6,8–8. Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah bahan
organik dengan adanya air menjadi energi gas.
Pada praktikum berat kering bahan sebanyak 4,484 kg (sebelum diangin-
angin), berat air 1,809 kg, dan persentase air sebayak 20,07%.

2.2.3. Pembuatan Pupuk Organik Cair


Pupuk organik cair merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak beredar di
pasaran. Pupuk organik cair kebanyakan diaplikasikan melalui daun atau disebut
sebagai pupuk cair foliar yang mengandung hara makro dan mikro esensial (N, P,
K, S, Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe, Mn, dan bahan organik).
Pupuk organik cair selain dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah, juga membantu meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan kualitas
produk tanaman, mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan sebagai alternatif
pengganti pupuk kandang (Sarjana Parman, 2007).
Proses pembentukan biogas meliputi tiga tahap, yaitu :
1. Hidrolisis, yaitu pemecahan bahan organik oleh air.
14

2. Non metanogenik, yaitu proses pemecahan senyawa organik kompleks


(protein, lemak, karbohidrat) senyawa sederhana (asam amino, asam lemak,
sakarida) dan CO2 oleh bakteri non metanogenik.
3. Metanogenik, yaitu pemecahan senyawa organik sederhana menjadi gas
metana (CH4) dan gas-gas lain. Padatan hasil pemisahan ekstraksi PObbC masih
mengandung senyawa organik sehingga masih memungkinkan dapat digunakan
sebagai substrat pembuatan biogas bahkan pembentukan gas metana dapat lebih
cepat karena senyawa organiknya berupa senyawa organik sederhana.
Pada praktikum substrat diambil sebanyak 1,5 kg direndam dengan air panas
selama sebanyak 12 L dengan waktu selama 60 menit. Hasil rendaman disaring
dengan rangkaian alat penyaring sehingga diperoleh sebanyak 6,6 liter suspensi
kental/hitam pekat dan 3,6 liter. Suspensi kental sebanyak liter suspensi kental
disiapkan untuk POC dan 3,6 liter suspensi encer dipersiapkan untuk pakan
imbuhan (feed supplement). Suspensi encer diberi tambahan molases sebanyak
5%.
Tetes Tebu (molasses) adalah sejenis sirup yang merupakan sisa dari proses
pengkristalan gula pasir. Molases tidak dapat dikristalkan karena mengandung
glukosa dan fruktosa yang sulit untuk dikristalkan. Komposisi tetes tebu
(molasses) mempunyai rentangan batas yang luas dan sulit untuk menentukan
mengenai nilai atau jumlah persentasenya.

2.2.4. Vermicompost
Vermikompos merupakan produk kompos yang dihasilkan dari
perombakan/dekomposisi bahan-bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah.
Vermikompos terdiri dari campuran kotoran cacing tanah dengan sisa-sisa media
atau pakan dalam budidaya cacing tanah. Dengan demikian, vermikompos
memiliki sifat yang sangat ramah lingkungan dan memiliki keunggulan tersendiri
dibandingkan dengan kompos lain yang dikenal selama ini (Edwards and
Neuhauser, 1988).
15

Vermikompos memiliki kandungan yang sangat berguna bagi kesuburan


tanah maupun tanaman. Vermikompos kaya akan kandungan humus, hormon
pertumbuhan, dan juga mikroba tanah. Humus memiliki kandungan senyawa yang
kompleks diantaranya (asam humik, asam fulfik dan humin) serta zat-zat organik
yang larut dalam air. Kesuburan tanah ditentukan oleh kadar humus pada lapisan
olah tanah. Makin tinggi kadar humus (humic acid) maka tanah tersebut akan
semakin subur. Kesuburan seperti ini dapat diwujudkan dengan menggunakan
pupuk organik berupa vermikompos.
Selain humus, vermikompos juga mengandung hormon tumbuh tanaman.
Hormon tersebut dapat memacu pertumbuhan akar tanaman di dalam tanah,
memacu pertunasan ranting-ranting baru pada batang dan cabang pohon, serta
memacu pertumbuhan daun. Vermikompos seperti halnya kompos lain pada
umumnya juga mengandung banyak mikroba tanah yang sangat berguna, seperti
aktinomisetes, bakteri dan fungi.
Salah satu contohnya yaitu bakteri Azotobacter sp. yang merupakan bakteri
penambat N non simbiotik yang akan membantu memperkaya N di dalam
vermikompos. Di samping itu Azotobacter sp. juga mengandung vitamin dan
asam pantotenat. Selain berasal dari mikroba penambat N, kandungan N dalam
vermikompos juga berasal dari perombakan bahan-bahan organik yang kaya N
dan ekskresi mikroba yang bercampur dengan tanah dalam sistem pencernaan
cacing tanah. Peningkatan kandungan N dalam bentuk vermikompos selain
disebabkan adanya proses mineralisasi bahan organik dari cacing tanah yang telah
mati, juga oleh urin yang dihasilkan dan ekskresi mukus dari tubuhnya yang kaya
N (Adiprasetyo dan Hidayat, 2001).
Pada praktikum ini, jumlah cacing awal seberat 250 gram, kemudian pada
saat panen jumlahnya bertambah sebanyak 70 gram menjadi 320 gram, dan cacing
terlihat menyebar hampir merata pada media yang menunjukkan bahwa media
hasil penyaringan (filtrasi) untuk pembuatan pupuk organik cair cocok atau sesuai
untuk berkembangnya cacing tersebut, namun keaadaan media sedikit kurang
lembab sehingga cacing kurang menyebar rata.
16

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Subler et al., (1998), bahwa cacing tanah
memerlukan lingkungan yang lembab. Hampir seluruh tubuh cacing terdiri dari
air, kandungan airnya mencapai 75-90% dari bobotnya. Untuk itu kelembaban
yang cukup sangat diperlukan untuk menjaga agar tidak kehilangan air dari
tubuhnya yang mungkin dapat mengganggu pertumbuhan dan hidupnya.
Kelembaban yang optimum sangat bergantung dengan jenis cacingnya.

2.2.5. Pembuatan Pakan (Suplemen Pakan)


Bahan baku pembuatan bahan pakan/pangan/suplemen kesehatan dapat
berupa padatan dari proses ekstraksi POC atau sludge biogas melalui proses
vermicomposting. Vermicomposting menghasilkan kascing dan biomassa cacing
tanah yang dapat digunakan sebagai bahan pakan atau bahan pangan atau sebagai
suplemen kesehatan. Hal ini disebabkan karena bentuk fisik pakan yang berubah
akibat proses pengolahan. Selain itu enzim yang ada dalam sistem pencernaan
menghendaki bentuk fisik yang mudah dipecah dari komposisi zat kimia yang
kompleks menjadi komposisi yang lebih sederhana, sehingga mudah diabsorbsi
dan menghasilkan energi yang tinggi (Nusantara dan Bertham, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan energi metabolis dalam ransum
adalah kemampuan ternak memenfaatkan energi bruto dari protein yang tersedia.
Perubahan tingkat protein ransum yang diberikan pada unggas menyebabkan
perbedaan jumlah protein yang diretensi, sehingga menghasilkan nilai metabolis.
Keseimbangan zat-zat makanan dalam bahan pakan juga mempengaruhi energi
yang hilang dari tubuh hewan. Kehilangan energi lebih sedikit bila keseimbangan
zat-zat makanan proporsional. Sebaliknya, kehilangan energi lebih besar pada
bahan pakan dengan zat-zat makanan yang tidak seimbang terutama bila
kandungan protein pakan lebih rendah. Risetbaik cacing tanah segar maupun
dalam menujukkan bentuk tepung mengandung energi metabolis yang baik
sebagai sumber energi pakan. Selain itu kascing yang merupakan bekas media
budidaya cacing tanah pun mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan
pakan alternatif (Nusantara dan Bertham, 2001).
17

V
KESIMPULAN

1. Pengolahan limbah peternakan secara terpadu maksudnya adalah dengan


memperhatikan hubungan timbal balik secara terpadu antara limbah peternakan
dan organisme pengurai, sehingga pengolahan limbah tersebut dilakukan
secara tepat (efektif), murah (efisien), produk yang dihasilkan banyak
(produktif), dan ramah lingkungan.
2. Pemanfaatan pengolahan limbah peternakan secara terpadu dapat dilakukan
dengan cara pembuatan kompos, biogas, pupuk organik cair, vermicomposting,
serta pembuatan suplemen pakan dengan berbahan dasar feses sapi perah serta
jerami padi dan cacing tanah.
18

DAFTAR PUSTAKA

Adiprasetyo, T., Handajaningsih, M., dan Hidayat. 2001. Makalah Budidaya


Cacing Tanah untuk Memproduksi Vermikompos. Seminar Pengembangan
Pertanian Organik di Propinsi Bengkulu. Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu.
Edwards, C. A. and E. F. Neuhauser. 1988. Earthworms in Waste and
Environmental Management. SPB Academic Publishing. The Hague, The
Netherlands.
Haryati, T. 2006. Biogas : Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. Balai Penelitian Ternak. Wartazoa Vol. 16.
Isroi, M. 2008. Makalah Kompos. Balai Penelitian Biotrknologi Perkebunan
Indoesia. Bogor.
Kurnani, B.A., dan Rusdi. 2001. Radikal Bebas Dalam Polutan Lingkungan.
Seminar Nasional dan Lokakarya. Pemahaman Konsep Radikal Bebas
Dalam Meningkatkan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Pusat
Penelitian Kesehatan UNPAD Bandung.
Nandiyanto, A. B. 2007. Biogas Sebagai Peluang Pengembangan Energi
Alternatif. Jurnal Energi Alternatif.
Nusantara, A. D. dan Bertham, Y. H. 2001. Biologi Cacing Tanah dan Perannya.
Makalah. Seminar Pengembangan Pertanian Organik di Propinsi Bengkulu.
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu.
Subler, S., C. Edwards, and J. Metzger. 1998. Comparing Vermicomposts and
Composts. Biocycle. Juli.
Sutedjo, D., 2002. Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi. Penerbit
Andi, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai