Anda di halaman 1dari 5

PT.

NEWMONT MINAHASA RAYA PENCEMAR TELUK BUYAT

PT. NEWMONT MINAHASA RAYA

PENCEMAR TELUK BUYAT

PT. Newmont Minahasa Raya merupakan perusahaan pertambangan yang berkerja


sama dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka Penanaman Modal
Asing. Markas Induk PT. NMR, selanjutnya dikenal dengan Newmont Gold
Company (NGC) berada di Denver, Colorado, Amerika Serikat. NGC menempati
posisi lima produsen emas dunia. Selain PT. NMR, di Indonesia perusahaan ini
juga berkegiatan di Sumbawa, Nusa Tengara Barat dengan nama PT. Newmont
Nusa Tenggara. Proyek Newmont antara lain tersebar di Kazakhtan, Kyryzstan,
Uzbekistan, Peru, Brasilia, Myanmar dan Nevada.

PT. NMR menandatangani kontrak karya dengan Pemerintah Republik Indonesia


pada tanggal 6 November 1986 melalui surat persetujuan Presiden RI No. B-
3/Pres/11/1986. Jenis bahan galian yang diijinkan untuk di olah adalah emas dan
mineral lain kecuali migas, batubara, uranium, dan nikel dengan luas wilayah
527.448 hektar untuk masa pengolahan selama 30 tahun terhitung mulai 2
Desember 1986. Tahap produksi diawali pada Juli 1995 dan pengolahan bijih
dimulai Maret 1996. Dalam tahap eksplorasi, PT. NMR menemukan deposit emas
pada tahun 1988. Kemudian kegitan penambangan akan direncanakan dengan luas
26.805,30 hektar yang akan dilakukan di Messel, Ratatotok kecamatan Ratatotok
kabupaten Minahasa yang berjarak 65 mil barat daya Manado atau 1.500 mil timur
laut Jakarta.

Pencemaran dan Dampak akibat kegiatan penambangan PT. NMR terjadi


mulai tahun 1996–1997 dengan 2000-5000 kubik ton limbah setiap hari di buang
oleh PT. NMR ke perairan di teluk Buyat yang di mulai sejak Maret 1996.
Menurut PT. NMR, buangan limbah tersebut, terbungkus lapisan termoklin pada
kedalaman 82 meter. Nelayan setempat sangat memprotes buangan limbah
tersebut. Apalagi diakhir Juli 1996, nelayan mendapati puluhan bangkai ikan mati
mengapung dan terdampar di pantai. Kematian misterius ikan-ikan ini berlangsung
sampai Oktober 1996. Kasus ini terulang pada bulan juli 1997. Kematian ikan-ikan
yang mati misterius ini, oleh beberapa nelayan dan aktivis LSM di bawa ke
laboratorium Universitas Sam Ratulangi Manado dan Laboratorium Balai
Kesehatan Manado, tetapi kedua laboratorium tersebut menolak untuk meneliti
penyebab kematian ikan-ikan tersebut. Hal yang sama PT. NMR berjanji untuk
membawa contoh ikan mati tersebut ke Bogor dan Australia untuk diteliti tetapi
dalam kenyataannya penyebab kematian dan terapungnya ratusan ikan tersebut
belum pernah di sampaikan pada masyarakat. Padahal PT. NMR sendiri, mulai
melakukan analisis dalam daging dan hati beberapa jenis ikan di Teluk Buyat sejak
1 November 1995. Ini rutin tercatat setiap bulannya.

Kemudian pada tanggal 19 juni 2004, Yayasan Suara Nurani (YSN) dengan dr.
Jane Pangemanan, Msi bersama-sama dengan 8 mahasiswa Pasca Sarjana
Kedokteran jurusan Kesehatan Masyarakat melalui Program Perempuan,
melaksanakan kegiatan program pengobatan gratis untuk warga korban tambang
khususnya di Buyat pante (Lakban) Ratatotok Timur Kab. Minahasa Selatan, dan
dari hasil pemeriksaan tersebut menyatakan bahwa 93 orang yang diteliti
menunjukkan keluhan atau penyakit yang diderita seperti sakit kepala, batuk,
beringus, demam, gangguan daya ingat, sakit perut, sakit maag, sesak napas, gatal-
gatal dan lain-lain. Diagnosa yang disimpulkan oleh dr Jane Pangemanan, adalah
warga Buyat Pantai menderita keracunan logam berat. Keracunan yang di derita
warga desa Buyat Pantai ini, ternyata sudah dibuktikan oleh penelitian seorang
Dosen Fakultas Perikanan Ir. Markus Lasut MSc, dimana pada bulan Februari
2004, dari hasil penelitian terhadap 25 orang (dengan mengambil rambut warga)
terbukti bahwa, 25 orang tersebut sudah ada kontaminasi merkuri dalam tubuh
mereka. Polemik tentang Penyakit akibat limbah NMR ini berkembang menjadi
tajam, karena pihak Pemerintah dan Dinas Kesehatan terang-terangan membela
PT. NMR dengan mengatakan tidak ada pencemaran.

“Jangan jadikan kami musuh, jangan jadikan kami kelinci percobaan. Seperti batu
kami adalah penonton atas perubahan yang tidak kami kehendaki.”
Kemudian pihak pemerintah didalamnya Menteri Negara Lingkungan Hidup
menyelesaikan permasalahan ini memalui jalur non – litigasi terhadap PT. NMR
dengan meminta ganti kerugian sebesar 124 juta dolar AS sebagai ganti rugi
akibat turunnya mutu lingkungan dan kehidupan warga Buyat yang menjadi
korban akibat kegiatan tambang newmont. Pihak PT. NMR hanya sanggup
membayar 30 juta dolar AS, dan penyelesaian melalui jalur non litigasi tersebut
pun dianggap sebagai jalan keluar yang tepat. Namun pada tahun 2005 kasus ini
masuk ke jalur pidana, dimana surat pelimpahan perkara dari Kejaksaan Negeri
Tondano atas perkara No. Reg. B1436R112. TP207/2005 yang diterima oleh
Panitera Pengadilan Negeri Manado pada tanggal 11 Juli 2005 dan hal ini telah
sesuai berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No.
KMA033/SK04/2005 yang menyatakan bahwa kewenangan mengadili
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Manado.

Selanjutnya persidangan kasus ini dimulai pada tanggal 5 Agustus 2005


dengan agenda pembacaan Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dan
berakhir pada tanggal 24 April 2007 dengan agenda pembacaan Putusan oleh
Majelis Hakim. Kasus ini menarik perhatian publik karena merupakan kasus
dengan masa sidang terlama untuk kasus pencemaran lingkungan di Indonesia
serta menghadirkan sekitar 61 orang saksi serta ahli, dengan perincian 34 saksi/ahli
dihadirkan JPU dan 27 saksi/ahli dihadirkan oleh terdakwa. Selain saksi dihadirkan
juga alat bukti berupa surat, ada 42 alat bukti surat dari JPU dan 107 alat bukti
surat yang dihadirkan oleh kedua terdakwa. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 dikenal
dengan adanya pembuktian terbalik dimana terdakwalah yang dikenai beban untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah sebagaimana yang disangkakan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Walaupun demikian, di Indonesia pembuktian terbalik itu
tidak murni sebagaimana terlihat dalam kasus ini, dimana Jaksa Penuntut Umum
juga memberikan pembuktian dengan menghadirkan saksi ahli dan beberapa alat
bukti surat berupa hasil penelitian yang dilakukan. Kemudian dalam Tuntutannya
Jaksa Penuntut Umum menuntut PT. NMR telah melanggar Pasal 41 Ayat 1 Junto
Pasal 45, Pasal 46 Ayat 1, dan Pasal 47 UU No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hukum pidana yang dianut oleh Indonesia,
bukan hanya orang yang bisa didakwa tetapi juga badan, sehingga ini juga
merupakan kasus kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.
Sementara pada Richard Bruce Ness, selaku Presiden Direktur yang bertanggung
jawab terhadap setiap langkah yang dilakukan oleh PT. NMR, di tuntut dengan
Pasal 41 Ayat 1 dan Pasal 42 Ayat 2 UU No. 23 Tahun 1997.

Namum pada tanggal 24 April 2007 Majelis Hakim Pengadilan Negeri


Manado memvonis bebas murni Terdakwa I PT. Newmont Minahasa Raya dan
Terdakwa II Richard B. Ness dari tuntutan pencemaran lingkungan. Dalam Amar
Putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa I PT Newmont Minahasa
Raya dan Terdakwa II, Richard Bruce Ness, tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dawaan primair, dakwaan
subsidair, dakwaan lebih subsidair, dakwaan lebih subsidair lagi, dan tuntutan
jaksa penuntut umum, menyatakan membebaskan terdakwa I PT. Newmont
Minahasa Raya dan Terdakwa II Richard Bruce Ness dari seluruh dakwaan dan
tuntutan jaksa penuntut umum, menyatakan memulihkan hak Terdakwa I PT.
Newmont Minahasa Raya dan terdakwa II Richard Bruce Ness dalam kemampuan,
kedudukan, dan harkat serta

Martabatnya, dan membebankan biaya perkara kepada negara.

Tinjauan kasus PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) dari instrumen hukum
lingkungan.

1. Instrumen Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara memandang bahwa penegakan hukum lingkungan


berawal dari perijinan sebagai instrumen. Tolak ukur dari suatu perijinan
adalah pendirian atau penyelenggaraan kegiatan yang diperkirakan akan
menimbulkan dampak terhadap lingkungan harus disertai Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL). Dalam kasus ini permintaan ijin dilakukan secara
simultan dalam artian permintaan ijin setelah dilakukannya persiapan
pengoperasian PT. NMR sehingga informasi ijin tersebut tidak diketahui
berdampak positif atau negatif terhadap lingkungan. Disini letak kelemahan
instrumen Hukum Administrasi Negara yang memberikan ijin secara represif
bukan secara preventif atau bersifat bukan hukuman melainkan suatu
pengendalian.

2. Instrument Hukum Pidana

Instrumen Hukum Lingkungan Pidana memandang telah terjadi tindak pidana


pencemaran lingkungan apabila telah terjadi Pencemaran lingkungan hidup adalah
masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan Pasal 1 ayat 12 Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam bab VII
Undang-undang ini diatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup jadi
berlaku asas subsidiaritas yang berarti penyelesaian hukum pidana dilakukan hanya
apabila sanksi-sanksi lain tidak memadai untuk menangani masalah lingkunan
hidup, namun dalam perkara ini belum cukup untuk masuk ke penyelesaian pidana
sebagai upaya terakhir dari asas subsidiaritas.

3. Instrumen Hukum Perdata

Pada prinsipnya penegakan melalui jalur litigasi yaitu melalui jalur hukum
khususnya instrumen hukum perdata telah mengakomodir dalam penyelesaian
masalah ini dengan membayar ganti kerugian dan pemulihan lingkungan, akan
tetapi pemerintah lebih cenderung menyelesaikan permasalahan ini melalui jalur
non litigasi.

Anda mungkin juga menyukai