Anda di halaman 1dari 16

“ANALISIS KONDISI EKONOMI POLITIK INDONESIA TAHUN 1945 - 2007"

OLEH : EDDY PRAYITNO

BAB I. PENDAHULUAN

Negara Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini
(Oktober 2007) masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga
dimaksudkan sebagai sebutan untuk kelompok negara – negara yang
terbelakang. Istilah ini mulai populer sejak tahun 1960-an sebagai hasil rumusan
dalam berbagai pertemuan Politik Internasional seperti Konferensi Bandung
(1955) dan Konferensi Belgrado (1961). Dunia pada saat itu dilihat dari pola
kemajuannya yang ditandai dengan klasifikasi tiga kelompok negara yaitu :
Dunia Pertama (Dunia Bebas atau Blok Antlantik meliputi Eropa Non Komunis
dan Amerika Utara), Dunia Kedua (meliputi negara – negara Eropa Timur dan
Blok Uni Sovyet), dan Dunia Ketiga (meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin).
Dunia Pertama dan Kedua bersama – sama berpenduduk 30% dari jumlah
penduduk seluruh dunia (15 milyard, 2001) dan menghuni 40% daratan dunia
seluruhnya (total luas bumi 510.074.600 km2, daratan 148.940.540 km2 atau 30%
dan lautan 361.134.060 km2 atau 70%). Selebihnya 60% adalah sejumlah besar
negara merdeka yang pada umumnya baru melepaskan diri dari penjajahan
(tercatat dalam atlas tahun 1991 jumlah negara dunia 206 negara). Ada
beberapa nama tambahan yang diberikan kepada negara – negara yang
termasuk Dunia Ketiga (the third world) antara lain, negara terbelakang
(backward countries), negara yang belum maju termasuk Indonesia saat ini
(under developed countries), negara selatan, dan nama negara – negara miskin
(un-developing countries). Umumnya nama yang diberikan memiliki tiga ciri
umum yaitu 3K, Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan yang diukur dari
indikator GNP per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian
energi per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per
kepala, tingkat melek huruf, tingkat kematian bayi dan ukuran – ukuran sosial
lainnya.

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 1
Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak
konflik politiknya daripada agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara
kaum borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok – kelompok
nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah dengan ditandai
tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih
mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.

Indonesia sejak tahun 1967, dibawah pemerintahan militer (Soeharto,


1965 - 1998), menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow dalam melakukan
pembangunan ekonominya. Dalam teori ini, ada lima tahap pertumbuhan
ekonomi yaitu, tahap pertama ‘Masyarakat Tradisional’ (The Traditional Society),
tahap kedua ‘Pra Kondisi untuk Tinggal Landas’ (The Preconditions for Take-off),
tahap ketiga ‘Tinggal Landas’ (The Take-off), tahap keempat ‘Menuju
Kedewasaan’ (The Drive to Maturity) dan tahap kelima ‘Konsumsi Massa Tinggi’
(The Age of High Mass-Consumption). Pembangunan di Indonesia dilaksanakan
secara berkala untuk waktu lima tahunan yang dikenal dengan PELITA
(Pembangunan Lima Tahunan). PELITA I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
memprioritaskan sektor pertanian dan industri, PELITA II (1 April 1974 – 31
Maret 1979) memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan dititikberatkan
pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku. PELITA III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) memprioritaskan
pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang mengolah
bahan baku menjadi barang jadi dalam rangka menyeimbangkan struktur
ekonomi Indonesia. PELITA IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989) memperioritaskan
pembangunan ekonomi dengan titikberat pada sektor pertanian untuk
memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang
menghasilkan mesin – mesin industri berat dan ringan, pembangunan bidang
politik, sosbud, pertahanan dan keamanan seimbang dengan pembangunan
ekonomi. PELITA V (1 April 1989 – 31 Maret 1999) memprioritaskan
pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 2
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian serta
industri yang menghasilkan barang ekspor, menyerap tenaga kerja, pegolahan
hasil pertanian dan menghasilkan mesin – mesin industri, meningkatkan
pembangunan bidang politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Namun
pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami Krisis Moneter yang membuat
Soeharto lengser (runtuhnya rezim Orde Baru). Indonesia belum sempat tinggal
landas malah kemudian meninggalkan landasannya hingga lupa pijakan
ekonominya rapuh dan mudah hancur.

Periode Orde Reformasi (1998 – 2007/sekarang) berjalan tak jelas


arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke Orde
Reformasi yang ditandai dengan silih bergantinya Presiden Republik Indonesia
dalam waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999),
Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23
Juli 2001 – 20 Oktober 2004), semuanya belum menunjukkan pembangunan
ekonomi yang berarti. Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok
sebagai akibat kebijakan Rezim yang lalu (Orde Baru) yang membuat
pijakan/pondasi ekonominya sangat rapuh dan mudah hancur tersebut, disambut
dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde
Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini.
Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba
menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal
biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan
pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode
2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala
Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di
berbagai daerah di wilayah nusantara ini.

Wal hasil, proses pembangunan di Indonesia sudah dilakukan selama 62


tahun, namun masih banyak rakyatnya yang miskin, kebodohan masih banyak
ditemui terutama di wilayah pedesaan, pengangguran dimana – mana, nilai

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 3
rupiah terhadap dolar terpuruk, dan sebagainya. Sebenarnya apa yang salah
dalam proses pembangunan di Indonesia? Mengapa semua itu terjadi?
Pertanyaan ini menarik untuk dikaji dan dianalisis. Dan dengan maksud itulah
tulisan ini dibuat.

BAB II. HASIL ANALISIS

Good Governance adalah cara mengatur pemerintahan yang


memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan
dan administrasinya bertanggung jawab pada publik (Meier, 1991:299-300). Dan
dalam pemerintahan seperti ini mekanisme pasar merupakan pertimbangan
utama dalam proses pembuatan keputusan mengenai alokasi sumber daya.
Dua tipe ideal ekonomi yang diletakkan dalam 2 kutub berlawanan, yakni:

1. Kutub “Laissez-Faire, cenderung penciptaan “good governance”;


2. Kutub Dirigisme / Hegemoni, negara intervensi penuh dalam ekonomi.

Dalam kutub LAISSEZ-FAIRE, negara membiarkan mekanisme dan


lembaga-lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dikendalikan
oleh swasta. Dan dalam Dirigisme / hegemoni, negara mengendalikan
sepenuhnya mekanisme dan lembaga-lembaga itu. Dua kutub “laissez-faire” –
“hegemoni“ adalah gambaran yang ideal .

Tidak ada negara yang sepenuhnya bersifat “laissez-faire” ataupun


“hegemoni”. Artinya tidak ada negara yang sepenuhnya berlepas tangan,
sebaliknya juga tidak ada yang mampu sepenuhnya mengendalikan segala segi
kegiatan ekonomi masyarakatnya. Semua negara bersifat campuran. Contoh
kasus dalam konteks ini, “Debirokratisasi” berarti proses menjauhi kutub
“hegemoni” dan mendekati kutub “laissez-faire”. Secara lebih spesifik kita bisa
menunjukkan sifat peran negara itu dengan melihat bekerjanya mekanisme dan
lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dalam negara itu. Lebih
jelas lihat tabel di bawah ini.

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 4
Tabel 1. Dimensi – dimensi Sistem Ekonomi

Kutub
NO. Pertanyaan
Laisser-Faire Dirigisme
Siapa pembuatan keputusanDesentralisasi
1. Sentralisasi (negara)
investasi, produksi, dan distribusi?(individu)
Bagaimana transaksi informasi
2. alokasi sumberdaya dan koord.Pasar Proses administrasi
keputusan dilakukan?
Siapa berhak memiliki faktor
3. produksi dan menentukanPemilikan Pribadi Pemilikan kolektif
penggunaannya?
Bgmn mekanisme memotivasi
4. Insentif Ekonomi Komando
individu & prshn?
Bagaimana sifat interaksi aktor-2
5. Kompetitif Non-kompetitif
ekonomi?
Bagaimana interaksi ekonomi
6. domestik dengan sistemInternasionalis Nasionalis
internasional?

Dalam rangka menganalisis kondisi ekonomi politik di Indonesia,


kondisinya dibagi dalam 3 periode yaitu periode Orde Lama (1945 – 1966),
periode Orde Baru (1966 – 1998), dan periode Reformasi (1998 – 2007). Analisis
per periode sebagai berikut :

1. Periode Orde Lama (1945 – 1966), Pandangan strukturalis tentang


pembangunan berlaku dari tahun 1940-an hingga awal tahun 1960-an.
Pandangan ini berasumsi negara – negara sedang berkembang ditandai oleh
kelompok budaya, sosial dan kelembagaan yang menghambat atau
mencegah perubahan, sumber daya cenderung mandek (persediaan barang
dan jasa tidak elastis). Pandangan ini juga mementingkan kuantitas
manajemen dibandingkan harga. Umumnya mengalami kegagalan, kadang –
kadang target tercapai namun sering pelaksanaannya buruk dan prestasi
yang kurang baik. Bank Dunia memberikan pinjaman pertamanya kepada
negara di luar Eropa pada tahun 1948. Saat itu banyak negara yang sedang
berkembang sudah sibuk dalam beberapa bentuk perencanaan ekonomi
terpusat. Pada tahun 1950-an, gelombang antusiasme mencapai puncaknya

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 5
dalam rangka perencanaan yang komprehensif. Sedangkan yang terjadi di
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Pemimpin yang ada saat itu terdiri dari kaum elit yang
berpendidikan Barat dan orang – orang militer yang dilatih Jepang. Secara
ekonomi, Belanda masih menguasai perusahaan – perusahaan di sektor
perkebunan dan menguasai perdagangan internasional {Konferensi Meja
Bundar (KMB), 1949}. Periode 1945 – 1949 adalah periode Indonesia
berjuang untuk status negara merdeka dan diakui oleh dunia yang ditandai
dengan pengakuan Belanda di KMB dengan syarat perusahaan Belanda di
Indonesia tidak dinasionalisasikan. Di sisi lain, Cina menguasai perdagangan
dalam negeri dan mayoritas orang Indonesia pribumi masih tetap menjadi
petani, hanya sedikit elit politik (kaum elit terpelajar dan militer) yang
menguasai negara. Elit politik itu berperan sebagai birokrat negara tanpa
basis ekonomi, tak ada pengusaha pribumi yang berarti dan tak ada borjuasi
yang berperan dalam ekonomi. Demokrasi Parlementer (1949 – 1959),
menghasilkan kebijakan “Politik Benteng” yang bertujuan menciptakan
pengusaha pribumi. Akumulasi modal pengusaha pribumi terjadi melalui jalur
politik benteng dan jalur perusahaan – perusahaan negara, namun masih
relatif kecil dibandingkan akumulasi modal pengusaha asing dan Cina.
Demokrasi Liberal (1957 - 1959), menghasilkan gejolak politik yang cukup
serius yaitu Sumatera Barat dan Sulawesi Utara melakukan perlawanan
bersenjata sebagai reaksi dominasi Jawa dan ketimpangan ekonomi antara
daerah dan pusat, akibatnya Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia
dibubarkan. Pada masa ini, politisi kelas menengah ke atas menguasai
ekonomi politik Indonesia sedangkan rakyat Indonesia belum berubah, masih
miskin. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), Dekrit Presiden 1959 (yang
mendapat dukungan dari militer dan PKI) adalah upaya Soekarno menggeser
dominasi politisi kelas menengah ke atas dan sekaligus upaya
mengembalikan kekuasaan Presiden yang selama ini dipegang Perdana
Menteri dan DPR. Pada masa ini, Soekarno menguasai penuh birokrasi
negara. Pada tahun 1957, perusahaan – perusahaan Belanda

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 6
dinasionalisasikan, setelah tahun 1959, proses nasionalisasi perusahaan
asing makin meluas. Pada tahun 1963, perusahaan – perusahaan Inggris
juga diambil alih, milik Amerika Serikat juga diambil alih di tahun 1965.
Semua perusahaan tersebut dikelola oleh perwira – perwira militer namun
bisnis masih dikuasai pengusaha Cina. Konflik antara PKI dan Militer
mencapai klimaksnya pada 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan
kemenangan Militer dimana Soeharto sebagai simbolnya. Kondisi ekonomi
sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara
tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.
Jadi periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya,
sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti
prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub
“Dirigisme/hegemoni”.

2. Periode Orde Baru (1966 – 1998), pemerintah didukung kuat Militer dan
kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politk kelas
menengah ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga
mengalir melalui bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga
industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal
1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde
Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Stabilitas politik dilakukan kaum
militer dengan membuat “Golongan Karya” (Golkar) yang tidak berkoalisi
dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol bergabung hingga hanya
ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk
sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non
pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara
banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 7
terus berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha
pribumi berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan
dengan petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat
rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang
hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi
Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :

a. Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas)

Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi


anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi
pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan
menurunnya pendapatan negara.

b. Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri

Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan


penjadualan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada,
terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan
peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta
peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara – negara maju.
Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang
dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat. Ironisnya, di tahun
1986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar
hutang lama ditambah bunganya.

Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market


failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya
merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama
disebabkan oleh “market failure”.

Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga


non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 8
pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan
penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan
pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural
adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :

1. Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan


dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan
tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah
melakukan berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong
atau menghapus berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan
uang ketat) demi mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang
realistik (terutama melalui devaluasi September 1986).

2. Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi


dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat
pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan,
tarif maupun non tarif. Kebijakan “Paknov 1988” yang menghapus monopoli
impor untuk beberapa produk baja dan bahan baku penting lain, telah
mendorong mekanisme pasar berfungsi efektif pada saat itu.

3. Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan


tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi
fiskal, meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial
dan menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan
melonggarkan pembatasan. Kebijakan “Pakdes I/1987” yang menggalakkan
penarikan pajak sehingga menghidupkan kembali pasar modal, “Pakto
27/1988” yang menyebabkan menjamurnya bank – bank swasta, “Pakdes
II/1988” yang menderegulasikan bisnis asuransi dan berbagai jasa finansial.
“Pakem 1986” dan “Pakjun 3/1991” yang mengurangi hambatan perdagangan
internasional dan memberi insentif yang sangat menarik pada investor asing
dan terakhir “Pakjul 1993” yang bertujuan mempermudah perijinan investasi.

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 9
4. Kebijakan menciptakan lingkungan legal dan institusional yang bisa
mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak
milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan
peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai
program yang memungkinkan lingkungan seperti itu. Pemberlakuan Undang
– Undang Hak Cipta dan Hak Milik Intelektual juga merupakan bagian dari
berbagai paket di atas (Pangestu, 1989:3-8, dan 1992:196-197; Nelson,
1990:3-5).

Reformasi besar – besaran dalam mekanisme kerja administrasi negara


Indonesia seperti yang disebutkan di atas, menimbulkan dampak positif terhadap
pertumbuhan sektor industri ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya.
Dalam ekonomi mikro terjadi penurunan hambatan masuk ke pasar (entry
barrier), pelonggaran kendala terhadap kegiatan sektor bisnis dan swastanisasi
terbatas yaitu perpindahan pemilikan BUMN dari pemerintah ke swasta.
(Nasution, 1991:14-17)

Dampaknya cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti investasi asing


terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan sistem pajak,
produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga meningkat.
Namun hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar
adalah hutang komersial swasta) dan debt-service rationya sudah melewati 30%.
Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Rezim Orde Baru runtuh akibat
krisis moneter (penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dari
2.000-an menjadi 10.000-an per 1 US$). Rezim Orde Baru membangun ekonomi
hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian
inflasi tanpa memperhatikan pondasi ekonomi. Kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan
untuk mendukung proses industrialisasi. Barang – barang impor (berasal dari
luar negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri
sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut.
Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 10
seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta
pengusaha – pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang
menikmati hasil pembangunan. Jadi periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto
lebih kuat peran pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya
nepotisme/non kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan
kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-
Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.

3. Periode Orde Reformasi (1998 – 2007)

Tahun 1998 adalah tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di


Indonesia sebagai akibat krisis moneter di ASIA yang dampaknya sangat terasa
di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar
Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah
terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai
dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang
Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk
dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki
berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi
dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai
syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).
Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar
adalah hutang komersial swasta).

Pembangunan ekonomi periode Orde Reformasi (1998 – 2004) berjalan


tak jelas arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru
ke Orde Reformasi yang ditandai dengan silih bergantinya Presiden RI dalam
waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999),
Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23
Juli 2001 – 20 Oktober 2004). Pembangunan ekonominya berjalan terseok –
terseok, disambut dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang
selama masa Orde Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 11
Reformasi ini. Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali
dengan mencoba menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata
sangat mahal biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk
pembiayaan pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES,
periode 2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan
Kepala Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini
di berbagai daerah di wilayah nusantara ini.

Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua


tahun masa pemerintahan SBY. Sedikit demi sedikit dana subsidi MIGAS ditarik
oleh pemerintah mulai dari Bensin, Solar kemudian Minyak Tanah yang selama
ini membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang
pada mekanisme pasar. Interaksi ekonomi domestiknya berwawasan
internasional dan mengikuti sistem ekonomi internasional. Secara ekonomi
memang menunjukkan kondisi membaik, namun rakyat Indonesia masih banyak
yang miskin, pengangguran belum bisa diatasi pemerintah, nilai rupiah masih
sekitar 9.000-an per 1 US$, kemampuan daya beli masyarakat Indonesia masih
rendah, korupsi masih tinggi tercatat Indonesia termasuk dalam peringkat kelima
negara terkorup di dunia (TEMPO, 20 Oktober 2004), dan sebagainya.

Secara politis, kondisi Indonesia memasuki periode Orde Reformasi


semakin membaik. Demokrasi bisa berjalan baik, seluruh rakyat Indonesia
mendapatkan haknya untuk memilih dan dipilih dengan bebas tanpa tekanan dari
siapapun serta dijamin keamanannya di masa reformasi ini. Partai politik tumbuh
subur, tercatat sebanyak 42 partai politik peserta pemilu tahun 2004, yang
kemudian bertambah lagi dari tahun ke tahun. Setiap warga negara bebas
berbicara dan menyampaikan pendapatnya baik melalui media massa maupun
aksi – aksi demonstrasi dengan dibingkai aturan hukum yang berlaku. Semua itu
tidak didapat di rezim Orde Baru. Proses otonomi daerah (desentralisasi
kekuasaan) sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, sudah dilaksanakan dengan proses pemilihan

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 12
kepala daerah melalui PILKADA, praktek nepotisme sedikit demi sedikit
berkurang sehingga aktor ekonominya berusaha secara kompetitif. Jadi periode
Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya diserahkan
pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha menghapuskan nepotisme),
desentralisasi, internasionalis, melalui insentif ekonomi dan kepemilikan individu
dijamin, sehingga bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “
Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 13
BAB III. KESIMPULAN

Dari hasil analisis di BAB II., dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya,


sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti
prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub
“Dirigisme/hegemoni”.

2. Periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto lebih kuat peran


pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya nepotisme/non
kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan kepemilikan kolektif
bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan
mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.

3. Periode Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya
diserahkan pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha
menghapuskan nepotisme), desentralisasi, internasionalis, melalui insentif
ekonomi dan kepemilikan individu dijamin bisa disimpulkan berarti prosesnya
menjauhi kutub “ Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.

4. Pemerintahan Soekarno bermaksud untuk membangun Indonesia secara


mandiri namun tidak didukung kualitas SDM yang tangguh. Jadi seharusnya
investasi yang dilakukan Orde Lama lebih banyak investasi SDM dan
investasi pada sarana / prasarana penunjang ekonomi. Soekarno termasuk
agak terburu – buru menasionalisasikan perusahaan – perusahaan asing
tanpa disertai kesiapan sarana dan prasarana penunjang aktifitas ekonomi
baik di dalam negeri yang dikuasai Cina maupun di luar negeri yang dikuasai
Belanda, Inggris dan Amerika. Pandangannya untuk mandiri dalam
membangun sudah baik namun proses pembangunan yang mandiri tersebut
tidak berjalan dengan baik.

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 14
5. Pemerintahan Soeharto yang berjalan lebih dari tiga puluh tahun membuat
Negara Indonesia semakin miskin. Soeharto hanya membangun ekonomi di
tingkat permukaan saja tidak sampai di tingkat akar. Soeharto hanya
mementingkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan
hasil pembangunan dan mengendalikan inflasi tanpa memperhatikan
kemampuan daya beli rakyat Indonesia. Soeharto bisa dibilang tidak
membangun meskipun dikenal sebagai ”Bapak Pembangunan” karena
proses pembangunan yang terjadi lebih banyak dibantu dari harga minyak
bumi yang tinggi. Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama
bagi anggaran belanja negara. Di akhir masa jabatannya, Soeharto hanya
membuat hutang Indonesia semakin besar. Negara Indonesia semakin miskin
sehingga masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga namun Soeharto dan
kroni – kroninya semakin kaya dan makmur.

6. Di masa reformasi inilah harapan bergantung, meskipun masih banyak


kekurangan demi kekurangan terjadi, namun proses demokrasi sudah
berjalan dengan baik. Yang masih menjadi penghambat proses reformasi
adalah sisa – sisa kekuatan Orde Baru yang masih memiliki pengaruh baik
dalam proses politik maupun dalam bidang ekonomi. Mereka hanya berubah
bajunya saja namun gerakan maupun pemikiran – pemikirannya masih sama
baik dari kaum borjuis, militer maupun dari kalangan birokrasinya. Salah satu
solusi agar proses reformasi di Indonesia berjalan dengan baik adalah
mengurangi peran sisa – sisa kekuatan Orde Baru baik di bidang ekonomi
maupun politik dengan tidak mengabaikan hak – hak politik mereka. Hal ini
bisa terjadi jika Presiden Indonesia atau para Kepala Daerah adalah seorang
”reformis sungguhan” bukan ”reformis gadungan”. Semua pimpinan sekarang
dipilih melalui proses demokrasi, artinya alam demokrasi telah dibuka lebar –
lebar sehingga pemegang kekuasaan adalah rakyat Indonesia. Mendidik
rakyat Indonesia menjadi rakyat yang cerdas berpolitik dan menguasai
perekonomian adalah bagian solusi agar proses reformasi berjalan di relnya.

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 15
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan, Studi tentang Indonesia dan
Korea Selatan. Indonesia: Yayasan Padi dan Kapas.

Effendi Siregar, Amir. 1991. Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Yogyakarta: PT.
TIARA WACANA YOGYA.

Mas’oed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan.

Rachbini, Didik J. 2004. Ekonomi Politik, Kebijakan dan Strategi Pembangunan.

Suryono, Agus. 2006. Ekonomi Politik Pembangunan Dalam Perspektif Teori


Ilmu Sosial.. Jawa Timur: Universitas Negeri Malang.

/opt/scribd/conversion/tmp/scratch4846/42759157.doc 16

Anda mungkin juga menyukai