Anda di halaman 1dari 17

PENGANGGARAN DI ERA (PASCA)-REFORMASI

(PERIODE 1999-2004)

Pada periode ini merupakan masa reformasi dengan ditandai jatuhnya

rezim orde baru yang relah berkuasa selama 32 tahun. Gerakan reformasi ini tidak

hanya sekadar menghasilkan pergantian kekuasaan, melainkan juga diikuti

gerakan reformasi di segala bidang, tcrmasuk reformasi di bidang pemerintahan

dan pengelolaan keuangan ncgara. Reformasi sistem pemerintahan terjadi dengan

adanya perubahan dari pemerinrahan yang sentralistik ke desentralisasi. Sistem

desentralisasi melahirkan oronomi daerah. Otonomi daerah adalah wewenang

yang dimiliki daerah otonom untuk mengatur masyarakatnya menurut kehendak

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Pertimbangan yang mendasari perlunya diselenggarakan

otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam dan luar negeri. Kondisi

di dalam negeri mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan

kemandirian. Di lain pihak, keadaan di luar negeri menunjukkan semakin

maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk daya saing

pemerintah daerah (pemda) (Halim dan Kusufi, 2012: 1).

Pelaksanaan otonomi daerah diarur oleh dua undang-undang yairu UU

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerinrah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Setelah kedua

undang-undang tersebut, pemerintah mengeluarkan aturan pelaksanaan

pendukung otonomi pengelolaan keuangan lainnya, yaitu sebagai berikut.


1. PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.

2. PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

3. PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.

4. PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban

Kepala Daerah.

5. Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Tanggal 17

November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum

Penyusunan dan Pelaksanaan APBD lahun Anggaran 2001.

6. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 rentang Pedoman Pengurusan,

Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata

Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah,

serta Penyusunan Perhitungan APBD.

7. UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

8. UU Nomor 1 lahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, pengelolaan keuangan

daerah pada masa reformasi ini memiliki beberapa perbedaan dengan pada saat

masa prarerormasi, yaitu sebagai berikut (Halim dan Kusuti. 2012).

1. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat lainnva,

sebagai badan eksekutif, sedangkan DPRD sebagai badan legislative.

Jadi, terdapat pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif dan

eksekutif. Akibatnva, Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah

pada akhir tahun anggaran yang bentuknya Laporan Perhicungan


APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap

masa jabatan kepala daerah apabila dua kali mengakimi penolakan

dari DPRD. Namun demikian, perubahan perjalanan politik di

lapangan mendorong posisi eksekutif sejajar dengan legislatif,

sehingga legislatif tidak dapat begitu saja menjatuhkan posisi kepala

daerah hanya karena pengelolaan APBD.

2. Bentuk Laporan Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran terdiri

atas:

a. Laporan Perhitungan APBD;

b. Nota Perhitungan APRD;

c. Laporan Aliran Kas;

d. Neraca Daerah;

dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur rencana

strategis (renstra).

3. Pinjaman APBD tidak lagi masuk dalam pos Pendapatan, melainkan

masuk dalam pos Penerimaan (yang belum tentu menjadi hak pemda).

4. Proses penyusunan APBD melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat,

selain pemda dan DPRD.

5. Bentuk dan susunan APBD terdiri atas tiga bagian yaitu pendapatan,

belanja, dan pembiayaan. Pendapatan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu

pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain

daerah yang sah. Sedangkan belanja dibagi menjadi belanja aparatur

daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan


keuangan, dan belanja tidak terduga. Pembiayaan adalah sumber-

sumber penerimaan dan pengeluaran daerah yang digunakan untuk

menutupi defisit anggaran atau sebagai alokasi surplus anggaran.

Rincian bentuk dan susunan APBD lebih lengkap terdapat pada

Gambar 6.1.
APBD

Pendapatan Belanja Pembiayaan

PAD Belanja Aparatur Belanja Pelayanan Penerimaan


Daerah Publik

Dana Perimbangan Belanja Adm. Umum Belanja Adm. Pengeluaran


Belanja Operasi dan Umum,
Pemeliharaan Belanja Operasi dan
Belanja Modal/ Pemeliharaan
Pendapatan Lain-lain Pembiayaan Belanja Modal
Daerah yang Sah

Belanja Bagi Hasil Belanja Tidak


dan Bantuan Terduga
Keuangan

Gambar 6.1. Bentuk dan Susunan APBD Berdasarkan Kepmendagri Nomor 29

Tahun 2002

6. Indikator kinerja pemda tidak hanya mencakup tiga hal sebagaimana

pada masa prareformasi, tetapi juga meliputi standar pelayanan yang

diharapkan.

7. Terdapat perubahan mendasar dalam pengelolaan anggaran dengan

dikeluarkannya PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri Nomor

29 Tahun 2002 yang menuntut akan akuntabilitas dan transparansi

yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran, sehingga terjadi

pergeseran, yaitu:
a. dari pertanggungjawaban secara vertikal (kepada pemerintahan di

atasnya) menjadi pertanggungjawaban horizontal (kepada

masyarakat melalui DPRD);

b. dari sistem anggaran tradisional (dengan menggunakan

pendekatan incremental dan line item yang lebih menekankan

pertanggungjawaban input yang dialokasikan) menjadi anggaran

kinerja (tidak sekadar menekankan pertanggungjawaban pada

input, melainkan juga pada output dan outcome);

c. dari pengendalian dan audit keuangan, menjadi ditambah dengan

audit kinerja;

d. lebih menerapkan konsep value for money (ekonomis, efisiensi,

dan efektif);

e. penerapan konsep pusat pertanggungjawaban (pusat pendapatan,

pusat biava, pusat laba, dan pusat investasi;

f. perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintahan (dari single

entry dan berbasis kas, menjadi double entry dan berbasis kas

modifikasian).

8. Sebagaimana disebutkan poin 1, bahwa perubahan pada sistem

pencatatan yaitu dengan dilaksanakannya “akunransi” dalam

pengelolaan keuangan daerah dan bukan “pembukuan” sebagaimana

yang dilaksanakan selama masa prareformasi. Akuntansi memiliki

peranan penting dalam pengelolaan keuangan daerah dibandingkan

sebelum reformasi yang lebih mementingkan kegiatan


perbendaharaan, yaitu kegiatan administrasi penerimaan dan

pengeluaran. Namun demikian, kegiatan akuntansi keuangan daerah

pada masa ini masih bersifat sentralisasi di tingkat satuan kerja

pengelolaan keuangan daerah (SKPKD), sehingga penyajian laporan

keuangan masih hanya pada tingkat pemerintah daerah, belum pada

tingkat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) (Ritonga, 2010). Pada

masa ini juga belum ada standar akuntansi pemerintahan sehingga

terjadi kebingungan dan ketidakseragaman pelaksanaan akuntansi

pada tingkat pemerintah daerah.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, keuangan daerah mengisyaratkan agar

pelaporan keuangan daerah agar lebih informatif. Misalnya pada poin 3, pinjaman

daerah tidak lagi masuk dalam pos Pendaparan melainkan pos Penerimaan yang

belum tenru menjadi hak pemerintah daerah. Oleh karena itu, bentuk APBD

terdiri atas tiga bagian, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan (poin 5).

Adanya pos Pembiayaan ini sebagai upaya menjadikan agar APBD semakin

informatif. Selain pinjaman daerah yang masuk dalam pos Penerimaan

Pembiayaan, jika terdapat surplus juga dialokasikan ke dalam pembiayaan untuk

menutupi jika terjadi defisit anggaran.


PENGANGGARAN DI ERA PASCA-REFORMASI LANJUTAN

(PERIODE 2004-SEKARANG)

Periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya yaitu

melanjutkan reformasi pengelolaan keuangan negara (daerah), dengan

diterbitkannya tiga paket undang-undang tentang keuangan negara, yakni UU

Nomor 17 Fahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Javvab Keuangan Negara. Implikasi dari

tiga paket undang-undang tersebut adalah perlu disesuaikan dan diamandemennya

aturan perundang-undangan sebelumnya, terutama yang tcrkait dengan

pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerah, sehingga diterbitkan UU Nomor

32 Tahun 2004 sebagai pengganti dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintah Daerah, dan UU Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti dari UU

Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan

Daerah. Selain itu, UU Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan untuk membuat

standar akuntansi pemerintahan, maka pada tanggal 13 Juni 2005 pemerintah

-menetapkan PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

(SAP) Peraturan pemerintah tersebut menjadi acuan bagi penyusunan laporan

kenangan, pemeriksa laporan keuangan, dan pengguna laporan keuangan daerah

(Ritonga, 2010). Sedangkan pada APBN dengan adanva peraturan pemerintah

tersebut, menyebabkan pencatatan pembukuan berubah dari berbasis kas menjadi

berangsur-angsur berbasis akrual.


Adanya paket undang-undang tentang keuangan negara yang baru dan

amandemen sejumlah undang-undang vang terkait juga. maka perlu mengubah

atau merevisi peraturan pemerintah dan acuran di bawahnya vang berpayung

hukum pada undang-undang tersebut. Misalnva PPNomor 105 Tahun 2000 diganti

dengan PP Nomor 58 lahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,

sehingga berdampak pada berubahnya aturan terknis di bawahnya yaitu

Kepmendagri Nomor 29 lahun 2002 diganti dengan Permendagri Nomor 13 Tahun

2006 tentane Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada tahun 2007,

Permendagri Nomor 13 lahun 2006, kembali direvisi oleh Permendagri Nomor 59

tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 13 lahun 2006 dan

kemudian di tahun 2011, Permendagri Nomor 13 tahun 2006 kembali diubah

untuk kedua kalinya dengan diterbitkannya Permendagri Nomor 21 lahun 2011

rentang Perubahan Kedua Permendagri Nomor 13 tahun 2006. Selain itu juga

untuk melengkapi dan memperjelas pelaksanaan Permendagri Nomor 13 tahun

2006 dan perubahannva, diterbitkan sejumlah aturan teknis seperti Permendagri

Nomor 55 lahun 2008 untuk menjelaskan penerapan penatausahaan keuangan

daerah dan menerbitkan Permendagri setiap tahun sebagai pedoman penyusunan

APBD rahun anggaran berikutnya. Perubahan aturan perundang-undangan ini

akan terus berlanjut sebagaimana dikatakan oleh Halim dan Kusufi (2012: 8).

.Peraturan perundang-undangannya masih terus mengalami proses revisi

dan/atau penyempurnaan, dan akan selalu mengalami revisi, tetapi tampaknya

tidak akan mengubah aplikasi konsep dasar akuntansi.


Beberapa perubahan mendasar yang terjadi pada periode ini adalah sebagai

berikut.

a. Dikenalkan kembali bendahara penerimaan dan bendahara

pengeluaran untuk mengadministrasikan penerimaan dan pengeluaran

anggaran.

b. Pengelompokan belanja diganti dari belanja aparatur, belanja

pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan

belanja tidak terduga; menjadi belanja langsung dan belanja tidak

langsung yang dikaitkan dengan keterkaitan langsung maupun tidak

langsung dengan program dan kegiatan.

c. Diterapkannya konsep multi terms expenditure framework (MTEF).

d. Perlunya penyusunan sistem akuntansi keuangan daerah yang

mensyaratkan adanya standar akuntansi pemerintahan dan prosedur

akunransi keuangan daerah untuk menjamin konsistensi dalam

pelaporan keuangan. Pada periode ini pengakuan pendapatan, belanja,

dan pembiayaan menggunakan basis cash toward accrual. Basis

akuntansi ini berimplikasi pada penggunaan dua basis akuntansi yang

berbeda pada beberapa pos atau akun dan penyajian laporan keuangan.

Basis kas digunakan untuk mengakui pos Pendapatan, Belanja, dan

Pembiayaan dalani I.aporan Realisasi Anggaran (LRA) dan basis

akrual digunakan untuk mengakui pos Aset. Kewajiban, dan Ekuitas

dalam Neraca.
e. Konsekuensi dari diterbitkannya PP Nomor 24 tahun 2005 dan PP

Nomor 58 Tahun : 2005 adalah pengelolaan keuangan daerah bergeser

dari sentralisasi ke desentralisasi atas proses pengelolaan keuangan

daerah dan tanggung jawab pengelolaannya yang telah didelegasikan

dari Kepala Daerah kepada masing-masing Kepala SKPD. Oleh

karena itu, SKPD menjadi entitas akunransi yang harus melaksanakan

akuntansi sebagai bagian dari entitas pelaporan.

Setelah PP Nomor 24 Tahun 2005 berlaku selama lima tahun, pada tahun

2010 KSAP menerbitkan SAP Berbasis Akrual yang ditetapkan dengan PP Nomor

71 tahun 2010 dan menggantikan PP Nomor 24 tahun 2005. Namun demikian,

penulis berpendapat : bahwa berlakunya PP Nomor 71 Tahun 2010 bukan

merupakan tahapan tersendiri dari perkembangan pengelolaan keuangan negara,

melainkan bagian dari tahap periode pascareformasi lanjutan. yang dipengaruhi

oleh keberadaan UU Nomor 17 tahun 2003. Penerapan akuntansi pemerintahan

berbasis akrual, sebagaimana yang tertuang dalam PP Nomor 71 Tahun 2010,

merupakan amanat dari UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 36. Standar akuntansi

yang ditetapkan pada PP Nomor 24 lahun 2005 adalah standar akuntansi yang

ditujukan untuk masa transisi menuju akuntansi pemerintahan berbasis akyual.

Selain itu, PP Nomor 71 lahun 2010 hanya rnemberlakukan basis akyual pada

sistem akuntansinya dan tidak berlaku pada sistem penganggaran PP Nomor 71

fahun 2010 masih memberlakukan basis kas untuk penyusunan Laporan

Pelaksanaan Anggaran, serta entitas pemerintah yang belum siap melaksanakan

basis akrual secara penuh masih diperkenankan untuk menggunakan basis kas
menuju akyual. Oleh karena itu, penerapan akuntansi berbasis akrual berdasarkan

PP Nomor 71 Tahun 2010 merupakan agenda di masa mendatang bagi entitas

pemerintah (baik pusat maupun daerah).

AGENDA DI MASA MENDATANG

Upaya peningkatan kualitas penganggaran dalam pemerintahan di

Indonesia harus tetap dilakukan secara terus-menerus untuk mengembanekan

konsep dan praktik penganggaran dalam organisasi pemerintahan.

Pengembangan dilakukan secara hati-hati dengan cara melakukan kajian

yang mendalam dan pembahasan yang komprehensif. Pengembangan konsep dan

praktik penganggaran terjadi sebagai upaya untuk memenuhi amanat aturan

perundang-undangan, atau konsekuensi dari diterapkannya praktik pengelolaan

keuangan daerah lainnya, seperti amanat untuk melaksanakan akuntansi

pemerintahan yang berbasis akrual, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU

Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 36, yang mempersyaratkan diterapkannya

penganggaran berbasis akrual. Atau, pengembangan harus dilakukan karena

adanya tuntutan publik dan/atau terdapat permasalahan di dalam praktik

penganggaran selama ini, sehingga diperlukan perbaikan dan penvempurnaan

yang nantinya dapat meningkatkan kinerja pemerintahan.

Pengembangan konsep dan praktik penganggaran yang dianggap

mendesak dan harus disegerakan pelaksanaannva saat ini adalah penerapan

anggaran dan akuntansi berbasis akrual, karena telag diamanatkan oleh UU

Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 36. Pada Pasal 16 avat 1 UU Nomor 1 Tahun 2003
menyatakan bahwa pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja

menggunakan basis akrual selambat-lambatnva dilaksanakan lima tahun setelah

UUU 17 Tahun 2003 diberlakukan. Pernyataan vang sama juga diulangi kembali

pada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 70 ayat 2.

Kedua pasal tersebut menyiratkan agar Pemerintah segera melaksanakan

penerapan sistem keuaugan negara berdasarkan basis akrual, tidak hanya sistem

akuntansi melainkan sistem penganggarannya juga harus menerapkan basis

akrual. Amanat UU untuk menerapkan sistem keuangan pemerintahan yang

berbasis akrual penuh bukanlah perkara vang mudah karena contoh terbaik dan

penerapan basis akrual di sejumlah negara menunjukkan hasil yang berbeda-beda

dan hanya sedikit Negara yang berhasil menerapkan basis akrual secara penuh.

Berlakunya SAP Berbasis Akrual dengan diterbitkannya PP Nomor 71 lahun 2010

tenranu Standar Akuntansi Pemerintahan, belum menunjukkan bahwa pemerintah

akan menerapkan sistem keuangan berbasis akrual secara penuh. Hal ini

dikarenakan pada SAP Berbasis Akrual, penerapan basis akrual hanya pada sistem

akuntansinya saja melainkan sistem anggaran (mulai penganggaran sampai

dengan pelaporannya) masih menggunakan basis kas. Oleh karena itu, setelah

lebih dari satu dasawarsa diterbitkannya UU Nomor 17 tahun 2003, pemerintah

belum mampu melaksanakan amanah UU tersebut secara penuh dan menyeluruh.

Namun demikian, penerapan sistem keuangan pemerintahan berbasis akrual

secara penuh tidaklah mudah dan akan menghadapi berbagai macam kendala di

lapangan vang akhirnya akan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi

pemerintah. Keputusan untuk menerapkan sistem penganggaran berbasis akrual


perlu dilakukan terlebih dahnlu kajian dan pertimbangan yang masak dan

mendalam berkaitan dengan kompleksitas konsep dan praktiknya, serta kondisi

kesiapan SDM dan sarana pendukung di bidang pengelolaan keuangan daerah.

Diskusi dan pembahasan mengenai kelemahan dan kelebihan serta pro dan kontra

penerapan basis akrual secara penuh dalam sistem keuangan pemerintah akan

dijelaskan pada bab tersendiri.

KESIMPULAN

Perjalanan sejarah penganggaran dalam pemerintahan di Indonesia tidak

bisa lepas dari perubahan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Perkembangan politik dan sistem pemerintahan memengaruhi juga perkembangan

penganggaran karena terkait dengan perubahan pengelolaan keuangan negara.

Keuangan negara tidak hanya berkaitan dengan keuangan pemerintahan pusat

melainkan juga keuangan pemerintah daerah atau keuangan daerah.

Jika dilihat dari aspek historis, perjalanan perkembangan penganggaran di

Indonesia, terutama untuk pengelolaan keuangan daerah, dibagi menjadi tiga fase,

yaitu sebagai berikut.

1. Era Praretormasi (sebelum otonomi daerah)

2. Era (Pasca)-reformasi (era otonomi daerah) (periode 1999-2004)

3. Era Pasca-reformasi Lanjutan (periode 2004-sekarang)

Pengelolaan keuangan Indonesia, sejak kemerdekaan tahun 1945 masih

menggunakan aturan warisan pemerintah kolonial. Peraturan perundangan

tersebut terdiri atas Indische Comptfibiliteitswet (ICW) Indische Bedrijvenwet


(IBW) dan Reglement voor bet Administratief Beheer (RAB). ICW ditetapkan

pada tahun 1864 dan rnulai berlaku tahun 1867, Indische Bedrijvenwct (IBW)

Stbl. 1927 Nomor 4 19 jo. Stbl. 1936 Nomor 445 dan Rcglement voor bet

Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381. Ciri mendasar dari

pengelolaan keuangan pada masa sebelum reformasi yaitu pengertian pemerintah

daerah adalah kepala daerah dan DPRD sehingga proses penyusunan APBD

disusun oleh DPRD bersama-sama dengan kepala daerah. Konsekuensinya

pertanggungjawaban APBD bersifat vertikal (verticalaccountability), yaitu tidak

ditujukan kepada DPRD sebagai lembaga perwakilan masyarakat (lembaga

legislatif), melainkan ditujukan kepada pemerintahan yang lebih tinggi. Selain itu

juga, APBD disusun dengan sistem tradisional yang menggunakan pendekatan

inkremental dan line item yang menekankan pada pertanggungjawaban setiap

input yang dialokasikan. Dalam pendekatan ini, anggaran disusun berdasarkan

jenis penerimaan dan pengeluaran. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk

mengendalikan setiap pengeluaran yang dilakukan.

Pada era awal otonomi daerah, perubahan mendasar dari pengelolaan

keuangan daerah yaitu terdapat pemisahan yang tegas antara kepala daerah

sebagai lembaga eksekutif dengan DPRD sebagai lembaga legislatif, sehingga

kepala daerah mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah kepada

DPRD (horizontalaccountability). Sedangkan, proses penyusunan APBD sudah

melibatkan masyarakat, di samping kepala daerah dan DPRD. APBD tidak lagi

disusun dengan pendekatan inkremental dan line item, melainkan dengan

pendekatan kinerja yang tidak hanya menekankan pada pertanggungjawaban input


yang dialokasikan, tetapi juga pada output dan outcome yang dihasilkan dari

program dan kegiatan vang telah dianggarkan. Pemerintah daerah hams

menerapkan konsep value for money (ekonomis, efisien, dan efektif) dalam

rnenyusun dan melaksanakan anggaran. Pada rnasa ini juga dikenalkan konsep

pusat pertanggungjawaban yang memengaruhi pengelolaan keuangan daerah.

Perubahan mendasar juga terjadi pada sistem akuntansi keuangan daerah, yaitu

dari yang awalnya menggunakan basis kas dan tata buku tunggal, menjadi

menggunakan basis kas modifikasian dan tata buku berpasangan.

Periode selanjutnya, yaitu era reformasi lanjutan perubahan pengelolaan

keuangan daerah lebih kepada penyempurnaan penganggaran berbasis kinerja,

dari segi penyusunan maupun bentuk APBD, serta diberlakukannya standar

akuntansi pemerintahan. Pada masa ini kembali dikenalkan dengan bendahara

penerimaan dan bendahara pengeluaran. Selain itu juga, proses dan tanggung

jawab pengelolaan keuangan didelegasikan dari kepala daerah kepada kepala

SKIM) sehingga menjadikan SKIM sebagai entitas akunransi yang wajib

menyajikan laporan keuangan.

Agenda masa mendatang adalah bagaimana menyusun konsep dan aplikasi

penganggaran berbasis akrual vang merupakan syarat diterapkannya akuntansi

pemerintahan berbasis akrual. Jika anggaran pendaparan, belanja, dan

pembiayaannya masih berbasis kas sedangkan realisasinya berbasis akrual, maka

antara anggaran dan realisasinya ridak dapat diperbandingkan. Selain pembahasan

konsep dan aplikasinya sangat rumit dalam lingkungan pemerintahan, jika

diperlukan dukungan SDM yang banyak yang benar-benar berkompeten dan ahli
(memahami) dalam pengelolaan keuangan pemerintahan. Oleh karena itu, perlu

adanya komitmen dan dukungan politik dari para pengambil keputusan dalam

pemerintah daerah, karena upaya penerapan akuntansi berbasis akrual

memerlukan dana yang besar dan waktu yang panjang, bahkan lebih panjang

daripada masa periode jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.

Anda mungkin juga menyukai