This paper explains about language function with functionalism approach. In general eth-
nic group is known as a tribe or community with the same identity or tradition. Identity of
the ethnic group includes patterns of kinship, marital, religion, home architecture, settle-
ment, language etc. Language is one of the identity and becomes a collective identity of
ethnic. But language can be a nation identity not just an ethnic identity. One of the charac-
teristic of Indonesia is Bahasa Indonesia as a national identity or national language. The
mass media like television broadcasting (TVRI and private TV) are the important channels
to promote the socialization of using Bahasa Indonesia correctly.
Key words: language, function, integration, identity
17
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
diadakan pada abad ke-5 Masehi dinyatakan banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara
bahwa perempuan tidak memiliki ruh yang tentang kekerasan terhadap perempuan.
suci. Pada abad ke-6 sebuah konsili Uslub (gaya bahasa) yang digunakan
menyimpulkan bahwa perempuan adalah beragam; ada yang menyuruh berbuat baik
manusia yang diciptakan semata-mata terhadap perempuan, ada yang melarang
untuk melayani laki-laki.1 praktik-praktik yang merugikan perempuan;
Pada masa Pra-Islam, dalam tradisi ada yang dikemukakan sebagai langkah
Arab Jahiliyah perempuan dihalalkan untuk preventif untuk melindungi perempuan dari
dibunuh hanya gara-gara terlahir sebagai tindak kekerasan, ada pula yang dinyatakan
bayi perempuan. Pada acara pernikahan, sebagai langkah kuratif terhadap praktik
para tamu memberi ucapan kepada kekerasan yang dialami perempuan,
mempelai bi al-hanna’ wa al-banin (selamat, misalnya Q.S. An-Nisa’:19, 34 – 35, dan 129;
semoga memperoleh keturunan laki-laki). Q.S. Al-Baqarah:232, 228, dan 231; Q.S.
Setelah menikah, perempuan menjadi hak Ath-Thalaq:6, dan Q.S. An-Nur:33. Dari ayat-
penuh suami dan keluarganya. Ketika ayat Al-Qur’an tersebut diketahui banyak
suaminya meninggal, ia tidak bisa menjadi persoalan kekerasan terhadap perempuan
pewaris melainkan benda yang diwariskan.2 yang disinggung oleh Al-Qur’an,
Artinya, sejarah telah mencatat bahwa menyangkut persoalan kekerasan fisik dan
sebelum Islam datang posisi wanita seksual, juga menyangkut pemukulan
hanyalah sebagai obyek, bahkan sering terhadap isteri yang nusyuz, ishlah
dijadikan komoditas perbudakan dan (rekonsiliasi) sebagai solusi, larangan
“seksual”. Asumsi yang berkembang saat mengeksploitasi perempuan untuk menjadi
itu memandang wanita sebagai penghalang pekerja seks, dan larangan melakukan
kemajuan, terutama di kala peperangan, pelecehan seksual. Menyangkut persoalan
karenanya lebih baik dikubur hidup-hidup jika kekerasan psikis, Al-Qur’an berbicara
ada bayi perempuan. Asumsi ini diluruskan tentang larangan melakukan adhal dan
Allah SWT dalam firman-Nya: memperlakukan perempuan sebagai benda
warisan, larangan menyia-nyiakan isteri dan
“Sesunggunhya laki-laki dan
mantan isteri.4
perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan Namun, banyaknya ayat Al-Qur’an yang
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, berbicara mengenai kekerasan terhadap
laki-laki dan perempuan yang benar, laki- perempuan dalam konteks ini menjadi bukti
laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan bahwa Islam sangat memberikan perhatian
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan terhadap upaya penghapusan kekerasan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan terhadap perempuan. Terma perempuan (An-
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara 1
Quraish Shihab dalam Badriyah Fayumi
kehormatannya serta laki-laki dan “Islam dan Masalah Kekerasan Terhadap
perempuan yang banyak menyebut asma Perempuan”, Tubuh, Seksualitas, dan
Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai
Allah, Allah telah menyediakan mereka
Pemikiran Ulama Muda, Cetakan ke-1, LKiS,
ampunan dan pahala yang besar”3 Yogyakarta, 2002, hlm. 103 – 104.
Sementara di dalam Al-Qur’an sebagai 2
Fuad Hashem dalam Ibid.
3
kitab suci yang dipercaya oleh umat Islam Q. S. Al-Ahzab:35.
4
dunia merupakan wahyu Allah, di dalamnya Badriyah Fayumi dalam Ibid., hlm. 105 – 106.
18
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
Nisa’) dalam Al-Qur’an dipergunakan realitas yang terjadi pada saat ini di berbagai
sebanyak 57 kali, sama dengan kata ar-rajul negeri yang mayoritas muslim justeru
/ ar-rijal (laki-laki)5 atau al-untsa yang menampilkan pemandangan yang
berpasangan dengan al-dzakar, terma ini kontradiktif. Pemasungan hak-hak wanita
digunakan oleh Al-Qur’an lebih dari 10 dalam berbagai sektor kehidupan dengan
(sepuluh) kali.6 Perimbangan ini menurut dalih mengaplikasikan ajaran Islam, justeru
Said Aqiel Siradj,7 selintas memberikan yang sering didengungkan oleh mereka.
suatu indikasi bahwa antara kedua jenis Wanita tidak boleh menjadi pemimpin
kelamin tersebut —sungguh pun memiliki (presiden), tidak boleh menduduki jabatan
perbedaan—diperlakukan dan diperhatikan strategis, haram menuntut hak-hak sosial-
secara berimbang (sama) oleh Islam. politik dan lain sebagainya. Jelas, ini suatu
Kesetaraan ini hingga berkali-kali Allah SWT pen-distorsi-an terhadap ajaran Islam.9
menyebutkan keduanya secara Fenomena yang serupa juga terjadi di
berdampingan dan berpasang-pasangan, Indonesia, setidaknya sejak bergulirnya era
seperti dalam ayat ke-40 Surat Ghafir, Ali otonomi daerah hingga akhir Juli 2006
Imran:195, An-Nahl:97, Al-Ahzab:35 dan lain tercatat 56 produk kebijakan daerah dalam
sebagainya. Bahkan menurutnya, di berbagai bentuk; Peraturan Daerah
beberapa hadits, Rasulullah SAW justeru (PERDA), qanun, surat edaran, dan
sangat memuliakan dan menghormati Keputusan Kepala Daerah. Dalam
wanita daripada laki-laki. Misalnya pada saat pandangan Siti Musdah Mulia,10 sebagian
baginda Nabi SAW ditanya seorang Perda tersebut secara struktural dan
sahabat perihal “siapa di antara manusia spesifik mengatur kaum perempuan.
yang paling utama untuk dihormati ?”, jawab Sayangnya, pengaturan terhadap kaum
beliau, “ibumu”. Kemudian siapa lagi ?, perempuan bukan dalam rangka
jawab Nabi ibumu. Kemudian siapa lagi ?, perlindungan dan pemberdayaan, melainkan
jawab Nabi SAW ibumu. Kemudian siapa lebih dimaksudkan sebagai pengecualian
lagi ? Jawab Nabi SAW “Bapakmu”.8 Hadits dan pembatasan. Perda-perda tersebut
ini dikuatkan pula dengan sabda beliau, “al- meneguhkan sub-ordinasi perempuan;
Jannatu tahta aqdamil ummahat”, surga itu membatasi hak kebebasan perempuan
di bawah telapak kaki ibu. Oleh karena itu,
menurutnya, eksistensi perempuan dalam
Islam benar-benar mendapat tempat yang 5
Lihat: Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-
mulia, dia adalah menjadi mitra sejajar laki- Mufahrash li al-Alfadzil Qur’an al-Karim, Dar
laki, tidak seperti dituduhkan oleh sementara el-Fikr, Beirut, 1991, hlm. 871 dan hlm. 384 –
masyarakat, bahwa Islam tidak 385.
6
Ibid., hlm. 118 – 119.
menempatkan perempuan sebagai unsur 7
Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan
sub-ordinat dalam pranata sosial. Dengan Fiqih Demokratik Kaum Santri, Cetakan ke-1,
demikian, kehadiran Islam justeru Fatma Press, Jakarta, 1999, hlm. 17.
menlenyapkan diskriminasi pria-wanita. 8
HR. Bukhari Muslim.
9
Persoalan yang muncul kemudian, Said Aqiel Siradj, Op. Cit., hlm. 18.
10
betapa pun Islam dan DUHAM telah Siti Musdah Mulia, “Peminggiran
mendasari penyadaran integratif tentang Perempuan dalam Perda Syari’at”, dalam
Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran
eksistensi perempuan —dalam beberapa Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 20
hal— sebagai mitra sejajar laki-laki, namun Tahun 2006, hlm. 21 – 22.
19
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
dalam berbusana; membatasi ruang gerak dalam sistem konstitusi Negara Indonesia
dan mobilitas perempuan; serta membatasi yang mendasari adanya egalitarianisme
waktu beraktivitas perempuan pada malam kedudukan setiap warga negara secara
hari. Secara eksplisit Perda-perda itu konstitusional.
mengekang hak dan kebebasan asasi
manusia kaum perempuan; menempatkan B. Gender: Implementasi
perempuan hanya sebagai obyek hukum dan Perlindungan Konstitusional di
bahkan lebih rendah lagi sebagai obyek Indonesia
seksual. Perda-perda yang mengandung
pembatasan terhadap kedaulatan Indonesia, sebagai negara yang terlahir
perempuan dan juga berpotensi melahirkan pada abad modern melalui Proklamasi 17
perilaku kekerasan terhadap perempuan,11 Agustus 1945 “mengklaim” dirinya sebagai
harus digugat dan direvisi karena menyalahi negara hukum. Hal ini terindikasikan dari
prinsip-prinsip dasar Negara Indonesia, yakni adanya suatu ciri negara hukum yang
Pancasila dan UUD 1945.12 prinsip-prinsipnya dapat dilihat pada
Konstitusi Negara R. I. (sebelum dilakukan
Selain itu, menurutnya, produk
perubahan), yaitu dalam Pembukaan UUD
kebijakan tersebut mengingkari nilai-nilai
1945, Batang Tubuh (non Pasal-pasal
hak asasi manusia (HAM) sebagaimana
tentang HAM), dan Penjelasan UUD 1945
dijabarkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1984
dengan rincian sebagai berikut:13
Tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Diskriminasi Terhadap 11
Ia memberikan contoh Perda Kota
Perempuan, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang
Tentang HAM, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Larangan Pelacuran, yang dalam
Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional implementasinya telah menimbulkan
mengenai Hak-hak Sipil dan Politik. Bahkan, kriminalisasi terhadap perempuan yang
lebih parah lagi Perda-perda tersebut bekerja di malam hari. Menurutnya, perlakuan
ini menyalahi asas “Praduga Tak Bersalah”
menyimpang dari esensi ajaran Islam yang dalam hokum. Korban pertama dari Perda
menempatkan manusia, perempuan dan diskriminatif ini adalah seorang perempuan
laki-laki sama-sama sebagai mahluk bernama Lia yang hidup di tengah kemiskinan
terhormat dan bermartabat, serta memiliki dan harus berjuang mencari nafkah di malam
hak dan kebebasan dasar yang harus hari bukanlah suatu kebetulan, melainkan
konsekuensi logis dari budaya hukum yang
dihormati. Pembatasan dan pengekangan bias gender dan bias nilai-nilai patriarki
terhadap perempuan berarti menegasikan sehingga memposisikan perempuan sebagai
keutuhan kemanusiaan perempuan dan obyek hukum dan pola ini akan terus berulang
Tuhan pasti “tersinggung” melihat dan berulang di tempat lain.
12
perempuan, makhluk ciptaan-Nya Ia berargumentasi bahwa Amandemen
dimarjinalkan. Lalu, benarkah telah terjadi ke-4 UUD 1945, pasal-pasal 28c, 28d, 28h,
dan 28i menyebutkan secara jelas hak-hak
diskriminasi gender terhadap kaum setiap warga negara, termasuk perempuan
perempuan dalam Perda-perda bernuansa untuk mengembangkan diri sebagai manusia
syari’ah di Indonesia ? bermartabat, hak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan dan hak
Sebelum masuk pada pembahasan untuk bebas dari semua bentuk perlakuan
yang lebih rinci dalam persoalan tersebut di diskriminatif.
atas, perlu dikemukakan terlebih dahulu 13
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat,
mengenai cita negara (staatsidee) hukum Negara Hukum, dan Konstitusi, Cetakan ke-
20
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
21
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
Negara yang berbentuk Republik Kesatuan, tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi
berdasar pengakuan Ketuhanan Yang Maha dalam penjelasannya ditegaskan bahwa In-
Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial untuk 14
Perlindungan terhadap HAM di dalam UUD
mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, 1945 (sebelum perubahan) selain telah dijamin
perdamaian, dan kemerdekaan dalam pengaturannya pada Pembukaan UUD 1945, juga
masyarakat dan negara hukum Indonesia telah diatur dalam Batang Tubuh UUD 1945 yaitu
Merdeka yang berdaulat sempurna. dalam Pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, dan Pasal 34.
Kemudian setelah UUD 1945 dilakukan
Kemudian di dalam Pasal 1 ayat (1) perubahan, perlindungan terhadap HAM telah
UUDS 1950 disebutkan; Republik Indone- dijamin pengaturannya lebih komprehensif lagi jika
sia yang merdeka dan berdaulat ialah negara dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum
hukum yang demokratis dan berbentuk perubahan yang dituangkan dalam pasal-pasal
HAM pada bab tersendiri yaitu Bab X A dengan judul
kesatuan. Setelah UUD 1945 dilakukan “Hak Asasi Manusia”, dan di dalamnya terdapat 10
perubahan, rumusan negara hukum Indone- (sepuluh) pasal tentang HAM ditambah 1 (satu)
sia yang semula hanya dimuat secara im- pasal (pasal 28) dari bab sebelumnya (Bab X)
plicit baik di dalam Pembukaan maupun tentang “Warga Negara dan Penduduk”, sehingga
Batang Tubuh UUD 1945 dan secara ada 11 (sebelas) pasal tentang HAM mulai dari
Pasal 28, 28 A sampai dengan Pasal 28 J.
eksplisit dimuat di dalam Penjelasan UUD 15
UUD 1945 sebelum perubahan
1945, penempatan rumusan negara hukum menganut faham pembagian kekuasaan secara
Indonesia telah bergeser kedalam Batang vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang
Tubuh UUD 1945 yang secara tegas bersifat horizontal. Dalam hal ini kedaulatan rakyat
dinyatakan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR
1945 yang berbunyi: Negara Indonesia yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi
ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-
adalah Negara Hukum. Jika dikaitkan fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan
dengan unsur-unsur negara hukum kewenangan lembaga-lembaga tinggi Negara
sebagaimana yang dikenal dalam teori yang ada di bawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA,
negara hukum pada umumnya, maka dapat dan seterusnya. Akan tetapi, dalam Perubahan
ditemukan pengaturan unsur-unsur negara Pertama dan Kedua UUD 1945, prinsip
pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas
hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 mulai dianut oleh para perumus Perubahan UUD
sebagai berikut: 1945 seperti tercermin dalam Perubahan Pasal
1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai ayat (5).
16
manusia (HAM);14 Sebagai suatu negara hukum
berdasarkan UUD 1945, Presiden RI
2. Pemisahan / pembagian kekuasaan;15 memegang kekuasaan pemerintahan menurut
3. Pemerintahan berdasarkan undang- UUD, Presiden berhak mengajukan RUU
undang;16 dan kepada DPR. Presiden menetapkan PP untuk
4. Peradilan administrasi yang berdiri menjalankan UU sebagaimana mestinya.
sendiri.17 Semua ketentuan UUD 1945 itu merupakan
hukum positif yang menjadi dasar konstitusional
Dengan demikian, dalam sistem (Constitutionale atau Grondweteljke Grondslag)
konstitusi Negara Indonesia cita negara dari adanya sifat wetmatigheid van het bestuur,
(staatsidee) hukum itu menjadi bagian yang seperti yang telah termuat di dalam Pasal 4 ayat
tak terpisahkan dari perkembangan gagasan (1) dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
17
kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun keberadaan peradilan
Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 administrasi (administrative court) merupakan
ciri khas Negara hokum liberal yang lebih
sebelum perubahan, ide negara hukum itu
22
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
donesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan diberikan jaminan hak konstitusional dalam
‘machtsstaat’. Sementara dalam Konstitusi UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan di
RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu atas. Selain itu, terdapat pula ketentuan
bahkan tegas dicantumkan, demikian pula mengenai jaminan HAM tertentu yang hanya
dalam UUDS 1950, kembali rumusan bahwa berlaku bagi warga negara atau setidaknya
Indonesia adalah negara hukum bagi warga negara diberikan kekhususan
dicantumkan dengan tegas. Bahkan dalam atau keutamaan-keutamaan tertentu, mis-
Perubahan Ketiga pada tahun 2001 sal, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan
terhadap UUD Negara R. I. Tahun 1945, dan lain-lain yang secara timbal balik
ketentuan mengenai negara hukum ini menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk
kembali dicantumkan secara tegas dalam memenuhi hak-hak itu khusus bagi warga
Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara In- negara Indonesia. Artinya, Negara Republik
donesia adalah Negara Hukum”. Oleh Indonesia tidak wajib memenuhi tuntutan
karena itu, secara teoritis gagasan warga negara asing untuk bekerja di Indo-
kenegaraan Indonesia telah memenuhi nesia. Hak-hak tertentu yang dapat
persyaratan sebagai negara hukum modern, dikategorikan sebagai hak konstitusional
yaitu negara hukum yang demokratis dan warga negara adalah sebagai berikut:18
bahkan menganut pula faham negara
kesejahteraan (welfare-state). mengutamakan perlindungan terhadap hak
asasi individu, namun dalam negara hukum
1) Hak dan Kewajiban Indonesia yang berdasarkan cita Negara
Konstitusionalitas Warga Negara (staatsidee) Pancasila peradilan administrasi
bukanlah unsur utama, melainkan unsur
Sebagai konsekuensi dianutnya cita turunannya yang diturunkan dari unsur utama
negara (staatsidee) hukum Indonesia tentu karena dalam cita Negara (staatsidee)
Pancasila lebih mengutamakan masyarakat
dalam memandang kedudukan setiap warga
daripada individu, tetapi tidak berarti bahwa
negara tidak ada perlakuan yang bersifat individu tidak mendapatkan tempat sama
diskriminatif, melainkan harus sekali melainkan harkat dan martabat
memperlakukannya dengan prinsip manusia tetap diperhatikan. Dengan
kesetaraan gender sesuai jaminan demikian, keberadaan peradilan administrasi
Negara di Indonesia merupakan salah satu
perlindungan yang telah menjadi materi-
sarana untuk memberikan perlindungan
muatan dari bebabagi konstitusi yang pernah terhadap hak asasi manusia (HAM) dengan
berlaku di republik ini. cara melakukan pengawasan atau kontrol ju-
UUD 1945 mengakui dan menghormti dicial terhadap pemerintahan sebagai wujud
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-
hak asasi setiap individu manusia yang hak warga negara. Maka, kepada rakyat harus
berada dalam wilayah Negara Republik In- diberi kesempatan untuk menggugat pegawai
donesia. Bahkan, penduduk Indonesia atau instansi pemerintahan yang melakukan
apakah berstatus sebagai warga negara In- kesalahan dan yang menurut mereka
donesia atau bukan diperlakukan sebagai dianggap merugikan hak-hak mereka,
sehingga adanya peradilan administrasi
manusia yang memilki hak dasar yang diharapkan dapat memberikan jaminan
diakui universal. Prinsip-prinsip HAM itu tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara.
berlaku pula bagi setiap individu warga 18
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum
negara Indonesia. Di samping jaminan HAM Yang Demokratis, Cetakan ke-1, Sekretariat
itu, setiap warga negara Indonesia juga Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 559 – 561.
23
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
24
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
25
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
keamanan negara sebagaimana dimaksud nesia juga memiliki berbagai aturan hukum
dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. tentang HAM tersebut. Misalnya, sebelum
UUD 1945 dilakukan perubahan ada beberapa
2) Kesenjangan Implementatif UU yang dianggap sebagai pelengkap untuk
terhadap Pemenuhan Hak-hak memenuhi kekurangan pasal-pasal tentang
Kaum Perempuan HAM dalam UUD 1945 antara lain; UU No. 14
Tahun 1970, UU No. 8 Tahun 1981, UU No. 39
Dalam rangka mengimplementasikan hak
Tahun 1999, TAP MPR No. XVII / MPR / 1998,
dan kewajiban konstitusionalitas warga negara
dan KEPPRES No. 50 Tahun 1993. Kemudian
di atas, apa yang secara konstitusional telah
setelah UUD 1945 dilakukan perubahan lahir
mendapatkan jaminan perlindungan di
satu produk UU yaitu UU No. 26 Tahun 2000.
dalamnya jaminan tersebut juga harus terdapat
Sedangkan di bidang ratifikasi terhadap instru-
di dalam peraturan perundang-undangan
ment-instrumen HAM internasional, Indonesia
lainnya (Pasal 29 I ayat [5] UUD 1945). Bahkan,
baru sebagian kecil melakukan ratifikasi
harus pula meratifikasi instrument-instrumen
terhadap instrument-instrumen HAM
HAM internasional bila dipandang perlu. Maka,
internasional tersebut di antaranya adalah
selain apa yang sudah dijelaskan di atas Indo-
sebagai berikut:20
Konvensi UURatifikasi
Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 UU No. 59 Tahun 1958
Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan (Convention of Political Rights UU No. 68 Tahun 1958
of Women)
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap UUNo. 7 Tahun 1984
Perempuan (Convention on The Elimination of Discrimination Against Women)
Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) Keppres No. 36 Tahun 1990
Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpangan Senjata Keppres No. 58 Tahun 1991
Biologis dan Penyimpanannya serta Pemusnahannya (Convention on The
Prohibition of Development, Production and Stocpilling of Becteriological /
Biological and Toxic Weapons and on Their Destruction)
Anti Apartheid dalam Olah Raga (International Convention Againts Apartheid in UU No. 48 Tahun 1993
Sports )
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang UU No 5 Tahun 1998
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Torture
Convention)
Konvensi Anti Penyiksaan UUNo. 5 Tahun 1998
Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 87 Tahun 1998 Tentang UU No. 83 Tahun 1998
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi – ILO
(International Labour Organisation – Convention Association and Protection on
The Rights to Organise)
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial UU No. 29 Tahun 1999
(Convention on The Elimination of The Racial Discrimination)
Konvensi Hak Ekonomi dan Sosial Budaya UU No. 11 Tahun 2005
Konvensi Hak Sipil dan Hak Politik UU No. 12 Tahun 2005
20
Imam Kabul, Paradigma Pembangu-nan Hukum di Indonesia, Cetakan ke-1, Kurnia
Kalam, Yogyakarta, 2005, hlm. 100 – 102. Lihat juga: Muntoha, “Institusionalisasi Penegakan
HAM di Indonesia”, dalam Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. DR. Moh. Mahfud MD.,
SH., Cetakan ke-1, FH-UII Press dan Pascasarjana FH-UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 218 — 219.
26
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
27
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
Selain itu, dalam melaksanakan fungsi kasus HAM, Komnas HAM akan
seperti tersebut dalam Pasal 76 UU 39 melanjutkan dengan memberi rekomendasi
Tahun 1999, Komnas HAM bertugas dan untuk diselesaikan melalui lembaga yang
berwenang melakukan hal-hal sebagai ditunjuk dan berwenang untuk
berikut:24 menyelesaikannya dan berkas tertutup;
1. Perdamaian kedua belah pihak; kemudian jika kasus itu merupakan kasus
2. Penyelesaian perkara melalui cara HAM, Komnas HAM akan melanjutkan
konsultasi, negosiasi, mediasi, melalui prosedur sebagai berikut:25
konsiliasi, dan penilaian ahli; 1. Untuk kasus HAM yang tidak dapat
3. Pemberian saran kepada para pihak dibuktikan, karenanya Komnas HAM
untuk menyelesaikan sengketa melalui akan menghentikan investigasi dan
pengadilan; berkasnya ditutup;
4. Menyampaikan rekomendasi atas 2. Untuk kasus HAM yang belum dapat
suatu kasus pelanggaran HAM kepada dibuktikan, Komnas HAM akan
pemerintah untuk ditindaklanjuti menindaklanjuti dengan investigasi
penyelesaiannya; dan penuh, jika perlu juga melalui
5. Penyampaian rekomendasi atas suatu investigasi tertulis. Jika tidak ada
kasus pelanggaran HAM kepada DPR- tanggapan dari responden sebanyak 3
RI untuk ditindaklanjuti. (tiga) kali, maka Komnas HAM akan
Sebagai panduan Komnas HAM dalam melakukan panggilan. Jika tanggapan
menangani kasus-kasus HAM, Komnas diterima responden, Komnas HAM
HAM telah membuat klasifikasi HAM tidak perlu melakukan pemanggilan,
berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang dan setelah itu akan dilakukan analisis.
HAM sebagai berikut: Jika analisis telah selesai, Komnas
HAM akan melakukan langkah-langkah
1. Hak untuk hidup;
alternatif. Berkas ditutup, rekomendasi
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan
(referrel), dan mediasi; serta
keturunan;
3. Untuk kasus HAM yang dapat
3. Hak mengembangkan diri;
dibuktikan kebenaraanya, Komnas
4. Hak memperoleh keadilan;
HAM akan memberikan rekomendasi
5. Hak atas kebebasan pribadi;
(referrel) dan selanjutnya dapat
6. Hak atas rasa aman;
dilakukan upaya mediasi.
7. Hak atas kesejahteraan;
Sedangkan di dalam Pasal 19 UU No.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan;
26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
9. Hak wanita; dan
pada bagian keempat, penyidikan, ayat (1)
10. Hak anak.
menyatakan bahwa penyidikan terhadap
Pengklasifikasian kasus-kasus HAM di
pelanggaran HAM berat dilakukan oleh
atas, dimaksudkan untuk membedakan
Komnas HAM, ayat (2) Komnas HAM dalam
antara kasus HAM dan bukan kasus HAM
melaksanakan penyidikan sebagaimana
karena dalam kenyataannya, tidak semua
dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk
kasus yang diadukan ke Komnas HAM
tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM
merupakan kasus HAM. Oleh karena itu,
dalam proses menangani pengaduan
24
kasus-kasus HAM Komnas HAM A. Masyhur Effendi, Ibid., hlm. 135 – 136.
25
melakukan penilaian; jika bukan merupakan Sri Hastuti PS., Op. Cit., hlm. 24 – 25.
28
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
dan unsur masyarakat. Sekarang, terdapat sejumlah peraturan daerah (Perda) yang
institusionalisasi perlindungan dan secara struktural dan spesifik mengatur kaum
penegakan HAM di Indonesia tidak hanya perempuan, bukan dalam rangka perlindungan dan
memunculkan Komnas HAM dan Peradilan pemberdayaan, tetapi justeru Perda-perda tersebut
HAM ad hoc, tetapi kini terdapat Komnas semakin meneguhkan subordinasi perempuan,
Perempuan yang mempunyai komitmen membatasi hak kebebasan perempuan, serta
terhadap hak asasi kaum perempuan, dan membatasi waktu beraktivitas perempuan pada
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) malam hari. Secara eksplisit Perda-perda tersebut
yang mempunyai komitmen terhadap hak mengekang hak dan kebebasan asasi kaum
asasi anak. perempuan, menempatkan perempuan hanya
Meskipun instrumen normatif maupun sebagai obyek hokum, dan bahkan lebih rendah
institusi sebagai perangkat utama pemenuhan lagi sebagai obyek seksual. Dengan mengutip
hak-hak warga negara telah sangat memadai di pendapat Siti Musdah Mulia, Perda-perda
negeri ini, namun khususnya dalam pemenuhan semacam ini disebutnya sebagai “Perda-perda
hak-hak kaum perempuan terlihat masih ada yang memarjinalkan kaum perempuan”. Perda-
kesenjangan yang cukup signifikan. Sebagai perda tersebut di antaranya adalah sebagai
contoh telah disebutkan pada bagian pendahuluan berikut:26
dari tulisan ini bahwa pada era otonomi daerah ini
26
Siti Musdah Mulia, Op. Cit., hlm. 41 – 42.
29
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
30
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
31
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
P31: Membeli media yang bergambar porno * P32: Membeli media yang bergambar porno
Crosstabulation
32
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
33
UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Besar 638 31,8 32,6 32,6
Netral 1095 54,6 56,0 88,6
Kecil 224 11,2 11,4 100,0
Total 1957 97,5 100,0
Missing System 50 2,5
Total 2007 100,0
Sebesar 54,6% responden bersikap dijamin oleh konstitusi untuk setiap warga
kurang jelas terhadap indikator anggaran negara bagi laki-laki maupun perempuan.
publik (APBN/APBD) berpihak terhadap laki- Penegasan UUD 1945 sangat jelas
laki dan perempuan. Apabila dikaitkan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari
dengan paling banyaknya responden yang perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
tidak mengisi indikator ini, menunjukkan dasar apa pun dan berhak mendapatkan
bahwa indikator sulit ditangkap maknanya perlindungan terhadap perlakuan yang
atau membingungkan responden. bersifat diskriminatif itu”. Bahkan,
Sementara responden yang cenderung pentingnya menghapuskan diskriminasi
bersikap positif sebesar 31,8%. terhadap perempuan diupayakan melalui
Dari data hasil penelitian PSI – UII di perlakuan khusus untuk memperoleh
atas, menunjukkan betapa signifikannya kesempatan dan manfaat yang sama guna
perlakuan diskriminatif terhadap kaum mencapai persamaan dan keadilan juga
perempuan yang notabene baru dalam skala telah dijamin oleh UUD 1945 dalam Pasal
local di wilayah Provinsi DIY. Bagaimana jika 28 H ayat (2) yang menyatakan “Setiap rang
ditarik kedalam skala nasional tentu akan berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
memperoleh kesimpulan yang sama, karena khusus untuk memperoleh kesempatan dan
struktur sosial yang berkembang cenderung manfaat yang sama guna mencapai
memarjinalkan kaum perempuan dan hal ini persamaan dan keadilan”. Hal ini juga telah
dilanggengkan oleh struktur masyarakat diakui secara internasional yang diwujudkan
patriarkis. Padahal dalam uraian di atas dalam konvensi tersendiri, yaitu Convention
telah ditegaskan bahwa hak konstitusional on The Elimination of All Forms of Discrimi-
warga negara yang meliputi HAM dan hak nation Againts Women (Cedaw)
warga negara yang telah dijamin dalam UUD sebagaimana telah disebutkan dalam daftar
1945 berlaku bagi setiap warga negara In- table konvensi internasional di atas.27
donesia. Artinya, hak konstitusional itu
dimiliki oleh setiap individu warga negara 27
Menurut Jimly Asshiddiqie,
tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, penghapusan diskriminasi melalui pemajuan
agama, keyakinan politik, atau pun jenis perempuan menuju kesetaraan jender
kelamin. Hak-hak tersebut diakui dan bahkan dirumuskan sebagai kebutuhan dasar
34
Islam, Gender, dan HAM; Muntoha
rrr
35