Penyelesaiannya
(2001—2006)
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Kampus UI Depok Jawa Barat 16424 Indonesia
Email: rinchia90@gmail.com
Abstrak
Skripsi ini menjelaskan tentang konflik etnis yang terjadi di Sampit. Kalimantan
Tengah pada 18 Februari 2001 yang melibatkan dua kelompok etnis yaitu Suku
Dayak dan Madura. Konflik antara dua kelompok etnis ini telah berulang kali
terjadi pada masa Orde Baru, tetapi konflik terbuka baru meledak pada era
Reformasi. Banyak faktor yang menjadi pemicu konflik diantaranya yang utama
adalah sosial-budaya. Benturan antara kedua kelompok etnis ini telah
menyebabkan banyak korban jiwa dari pihak Suku Madura dan membuat mereka
harus meninggalkan Kalimantan Tengah. Mereka harus tinggal di tempat-tempat
pengungsian di Jawa Timur. Pemerintah telah melakukan beberapa usaha
rekonsiliasi untuk kedua pihak yang berkonflik. Setelah melakukan beberapa
perjanjian perdamaian, warga dari suku Madura boleh kembali lagi ke Kalimantan
Tengah dengan beberapa persyaratan. Mereka yang diijinkan kembali tersebut
diantaranya haruslah yang tidak terlibat tindak kriminal dan telah lahir dan tinggal
di Kalimantan Tengah dalam waktu yang lama.
Kata Kunci : Konflik Etnis; Suku Dayak; Suku Madura; Sampit; Kalimantan
Tengah.
The Ethnic Conflict Between Madurese and Dayaks In Sampit and The
Settlement (2001—2006)
Abstract
This thesis describes about an ethnic conflict which occured in Sampit, Central
Kalimantan on February 18th 2001, involving two ethnic groups which were
Madurese and Dayaks. The conflict had been many times happened in the New
Order era, but exploded in the Reformation era. There were motives on the
conflict, including socio-culture. The clash between the two causing many victims
from Madurese. They also had to leave Central Kalimantan. They had to live in
evacuation areas in East Java. The government tried some efforts to do
reconciliation for them. After some agreements they have done, the Madurese
could come back to Central Kalimantan with conditions. They who were allowed
to coming back were They who were not involved in crime and have born and
lived in Central Kalimantan for a very long time.
Keywords: The Ethnic Conflict; Masacre; Madurese; Sweeping; kayau; Central
Kalimantan.
2
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
Latar Belakang
1
“Dendam Dayak Bisa Tujuh Turunan”, Kompas, 04 Maret 2001
2
Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun, Transmigrasi di Indonesia 1905-1985, Jakarta: UI
Press. 1985, hlm. 57
3
ICG, “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”, Jakarta/Brussel: International
Crisis Group, 2001, hlm. 7 (Terjemahan)
3
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
etnik didahulukan serta harus membela sesama orang Madura bukan dari benar
atau salahnya.4
Pada masa Orde Baru, hal-hal yang menyangkut SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antar Golongan) sangat tabu untuk dibicarakan sehingga setiap terjadi ketegangan
yang disebabkan faktor ini langsung diselesaikan dengan cara hukum formal
maupun kesepakatan damai melalui hukum adat setempat. Meskipun telah ada
kesepakatan damai, konflik masih sering muncul kembali karena ada pihak yang
melanggar kesepakatan damai tersebut. Konflik-konflik ini memunculkan stigma
terhadap masing-masing pihak yang tidak bisa hilang begitu saja. Perbedaan latar
belakang budaya menjadi salah satu faktor kuat terjadinya konflik tersebut.
Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah (LMMDD-
KT) telah mencatat sejumlah konflik besar antara Suku Madura dan Dayak yang
terjadi, antara lain adalah perkelahian, perkosaan, dan pembunuhan yang sebagian
besar korbannya adalah dari Suku Dayak dan pelakunya ditengarai dari Suku
Madura.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab konflik etnis antara Madura dan Dayak
adalah adanya persaingan elit politik lokal akibat diberlakukannya Otonomi
Daerah tahun 1999. Fakta di lapangan memperlihatkan munculnya persaingan
yang tinggi di kalangan elite lokal di Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur)
untuk menguasai pemerintahan dan kekayaan daerah. Elit-elit lokal ini seringkali
menggunakan sentimen anti Madura untuk memperoleh dukungan politik dari
masyarakat. 5 Sentimen anti Madura ini digunakan oleh elit-elit politik lokal
karena telah berkembang luas di masyarakat.
Pada Era Reformasi, semangat kesatuan menjadi pudar dan semangat kedaerahan
menjadi semakin dominan sebagaimana dengan diterapkannya otonomi daerah.
Hal-hal yang berbau SARA yang pada era Orde Baru menjadi hal tabu dan
dilarang bahkan dikecam, pada era reformasi mulai didengung-dengungkan. Di
daerah-daerah banyak terjadinya konflik-konflik yang menyangkut SARA dan
salah satunya yang dalam skala besar adalah konflik etnis di Kalimantan Tengah
4
Ibid.
5
Eriyanto, Media dan Konflik Etnis: Bagaimana suratkabar di Kalimantan meliput dan
memberitakan konflik di Sampit tahun 2001, Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta. Februari
2004, hlm. 23
4
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
antara etnis Dayak dan Madura. Era reformasi dijadikan sebagai era yang tepat
untuk memperjuangkan hal-hal yang dilarang dan tidak boleh dilakukan pada
masa Orde Baru.
Metode Penelitian
Proses penyusunan makalah penelitian ini menggunakan metode sejarah sebagai
metode dalam pencarian data, pengolahan data, serta dalam penulisan akhir.
Metode sejarah yang dimaksud meliputi heuristik, kritik, verifikasi, dan
historiografi.
Tahap yang pertama ialah tahap pengumpulan data atau heuristik. Pada tahap ini
dilakukan usaha-usaha untuk mencari sumber-sumber tertulis yang relevan
dengan tujuan penelitian. Selain itu juga dilakukan usaha untuk mencari sumber
primer berupa dokumen-dokumen dan arsip di Kota Sampit dan Palangka Raya.
Untuk sumber primer, pencarian data dilakukan di Kota Sampit dan Palangkaraya.
Untuk sumber sekunder dilakukan penelitian kepustakaan guna mendapatkan
sumber-sumber terkait yang penulis peroleh di Perpustakaan Pusat Universitas
Indonesia dan Perpustakaan Nasional.
Selanjutnya tahap verifikasi data atau sumber-sumber yang ditemukan. Data-data
yang telah terkumpul penulis verifikasi lalu diinterpretasikan. Tahap ini
merupakan tahap kajian mengenai permasalahan yang diangkat sehingga
menghasilkan interpretasi baru yang berupa sintesis dari analisis.
Tahap terakhir adalah tahap historiografi atau penulisan sejarah yang meliputi
metode, teori, serta suasana zaman sewaktu peristiwa terjadi. Pada proses akhir ini
dilakukan rekonstruksi fakta-fakta menjadi sebuah tulisan sejarah.
Pembahasan
5
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
cukup dekat, kesempatan kerja juga lebih bervariatif terutama di sektor informal
seperti menjadi penjual makanan keliling, buruh kasar, buruh pabrik dan lain-
lain.6 Semakin lama migrasi orang-orang Madura sudah semakin meluas, tidak
terbatas hanya ke Jawa Timur saja, tetapi juga ke pulau lainnya di Indonesia.
Pulau Kalimantan menjadi salah satu tujuan migrasi orang-orang Madura. Para
imigran dari Pulau Madura ini bermigrasi melalui program transmigrasi
pemerintah dan tidak sedikit bermigrasi atas keinginan sendiri.
Migrasi awal terjadi pada masa pemerintahan Hindia-Belanda dan sempat terhenti
pada masa kependudukan Jepang. Kemudian pada masa Presiden Soekarno
program transmigrasi dimulai lagi dan dilanjutkan oleh Orde Baru melalui
program Pelita I—VI. Orang-orang Madura bermigrasi ke Kalimantan dengan dua
alasan pokok. Pertama, sumber daya alam di Kalimantan sangat melimpah,
wilayahnya luas dengan jumlah penduduknya yang sedikit. Kekayaan alam pulau
Kalimantan ini memungkinkan untuk perkembangan kegiatan ekonomi di bidang
pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, dan perdagangan. Kedua, Pulau
Kalimantan dikelilingi oleh sungai-sungai besar yang memungkinkan bagi orang-
orang yang ingin bermigrasi dengan menggunakan transportasi laut.
Di Kalimantan Tengah, para transmigran Madura ini di tempatkan di areal-areal
perkebunan sebagai tenaga upahan atau buruh kontrak. Mereka diberikan tempat
tinggal sederhana oleh pemerintah untuk ditinggali bersama keluarganya.
Sedangan imigran Madura yang bermigrasi atas keinginan sendiri banyak
menempati area-area sekitar pesisir seperti Kotawaringin karena akses dan
letaknya mudah untuk dicapai.7 Mereka membawa hewan ternak untuk dipelihara
di tanah yang baru. Mata pencaharian awal mereka di Kalimantan Tengah adalah
petani atau pekerjaan-pekerjaan kasar seperti kuli bongkar pasang muatan di
pelabuhan Sampit dan sekitarnya.8
Penyebaran para imigran Madura di wilayah Kalimantan Tengah seperti di Sampit,
Palangka Raya, Kasongan, dan Tewah dilakukan dengan menyeberangi sungai-
sungai besar seperti Sungai Kapuas, Mentaya, dan Katingan. Penyebaran para
6
Suhandadji, “Migrasi dan Adaptasi Orang Madura di Surabaya: Kajian Perilaku Ekonomi
Migran Madura di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir Kotamadya Surabaya”, Jakarta: UI,
1998, hlm. 152
7
Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam,
Jakarta: PT Gramedia, hlm.25
8
Sri Edi Swasono, Op. Cit, hlm. 55
6
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
imigran Madura ini semakin pesat setelah jalan penghubung antar-daerah selesai
dibuat. Selain itu, semakin bermunculannya perusahaan-perusahaan pertambangan
dan karet juga menjadi pemicu berkembang pesatnya persebaran para imigran
Madura ke Sampit dan sekitarnya. Perpindahan penduduk Madura ke Sampit
secara signifikan terjadi saat Proyek Jalan Kalimantan, jalan raya yang
menghubungkan Sampit dengan Palangkaraya (220 km) pada 1957 dimulai.9
9
Bektiati, dkk, “Mencari Akar, Mencari Jawaban: Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D”, Koran
Tempo edisi 01/30 hlm. 23
10
Eriyanto, Media dan Konflik Etnis: Bagaimana Surat Kabar di Kalimantan Meliput dan
Memberitakan Konflik Sampit tahun 2001, Jakarta: ISAI, 2004, hlm. 21
11
Ibid.
12
Prof. Dr. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura: 1850-1940,
Yogyakarta: Matabangsa, 2002, hlm. 333
7
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
lepas dari kemiskinan hidup. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial bagi etnis
lokal.
Dari aspek sosial-budaya, orang Madura yang datang ke Kalimantan Tengah
membawa budaya aslinya sambil berinteraksi dengan penduduk lokal maupun
etnis pendatang lainnya. Jika pada masa-masa awal tidak terlihat adanya gesekan,
lain halnya pada masa Orde Baru ketika banyak imigran Madura mulai
berdatangan dan hidup berdampingan dengan penduduk setempat.
Dalam interaksi dengan warga sekitar, kebanyakan Orang Madura dianggap
sangat temperamental dan sering membawa senjata tajam kemana pun mereka
pergi sehingga dianggap dekat dengan budaya kekerasan.13 Jika terjadi konflik
dengan pihak lain, mereka seringkali cepat marah dan menggunakan cara
kekerasan, bukan menyelesaikannya dengan kepala dingin. Stigma-stigma
mengenai perangai Orang Madura mulai bermunculan dan banyak ditemukan di
tengah masyarakat.14 Di mata Orang-orang Dayak, kekerasan sudah menjadi ciri
khas Orang Madura ketika berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Jika melihat
ke dalam masyarakat Dayak, mereka juga memiliki sistem kekerabatan yang kuat.
Jika terjadi sesuatu yang menimpa seseorang dalam suku Dayak, hal tersebut akan
menyangkut keseluruhan keluarga pihak ayah maupun ibu bahkan sampai suku.
Sistem kekerabatan ini berlaku bagi orang Dayak yang tinggal di pedesaan
maupun perkotaan.15
Kerukunan antara kedua kelompok etnis ini semakin tercoreng setelah imigran
Madura tahun 1990-an mulai berdatangan yang memiliki watak berbeda dengan
pendahulunya. Kebanyakan imigran Madura yang datang ke Kalimantan Tengah
pada masa ini dianggap sebagai “preman” atau mereka yang suka melakukan
tindak kekerasan. Mereka bermigrasi bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi
karena tindakan kriminal yang mereka lakukan sehingga mendapat penolakan di
tempat asal mereka.
Ketegangan antara kedua kelompok etnik ini berulang kali terjadi pada masa Orde
Baru. Akar ketegangan tidak hanya permasalahan budaya yang saling berbenturan,
namun juga marjinalisasi secara tidak langsung oleh pemerintah dalam bidang
13
Eriyanto, Op. Cit. hlm. 21
14
Ibid.
15
Ibid.
8
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
ekonomi, politik, dan hukum yang terjadi pada masa Orde Baru. 16 Perasaan
seperti ini berkembang semakin besar dan menyebabkan konflik berulangkali
terjadi dan tidak pernah benar-benar selesai. Puncaknya adalah konflik yang
terjadi di Sampit pada Februari 2001 yang berdampak sangat serius bagi
kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah. Konflik bernuansa etnis ini
memakan banyak korban jiwa dari pihak Madura dan membuat mereka harus
meninggalkan Kalimantan Tengah.
Sebelum konflik terbuka di Sampit pecah, ada beberapa peristiwa yang menjadi
pemicunya sehingga membuat situasi antara kedua kelompok etnis ini memanas,
diantaranya peristiwa perkelahian di Desa Kereng Pangi yang menewaskan
seorang Dayak bernama Sendung. Peristiwa ini memunculkan solidaritas etnis
sesama orang Dayak menjadi semakin kuat. Selain itu penemuan sejumlah bahan
peledak yang diyakini sebagai bom rakitan di beberapa rumah warga Madura turut
memanaskan suasana. Ditambah dengan isu ditemukannya Dokumen Haji
Marlinggi semakin memperkuat isu rencana penguasaan wilayah oleh etnis
Madura. Ketidak tegasan aparat dalam menangkap pelaku pembunuhan Sendung
serta pemilik bom-bom rakitan di rumah-rumah warga juga turut menjadi pemicu
kemarahan etnis Dayak yang pada akhirnya membuat mereka bertindak sendiri
melakukan penghakiman terhadap warga Madura.
Konflik bermula pada 18 Februari 2001 dini hari sekitar pukul 00.30 WIB.17
Berawal dari penyerangan dan pembunuhan terhadap 4 anggota keluarga dari
warga etnis Madura bernama Matayo di Kecamatan Baamang, Sampit.18Motif
penyerangan terhadap rumah warga Madura tersebut terkait balas dendam
terhadap peristiwa yang terjadi di Kereng Pangi. Tuduhan diarahkan kepada orang
Dayak. Warga etnis Madura yang marah kemudian mendatangi rumah Timil yang
dianggap telah menyembunyikan pelaku pembunuhan keluarga Matayo. Mereka
yang tidak berhasil menemukan pelaku yang dicari ini lalu membakar rumah
16
“Luka Itu Terbuka!”, Kompas, 4 Maret 2001
17
Rusli Haudy, Tangisan Anak Pulau: Sebuah Catatan Tragedi Sampit. Jakarta: CV. DIharfin
Jaya, 2001, hlm. 27
18
“Dendam Yang Tak Kunjung Padam”, Kompas, 4 Maret 2001
9
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
Timil beserta isinya. Tidak hanya itu, para warga etnis Madura yang marah
tersebut kemudian menuju rumah Dahur, saudara Timil yang di tinggal di Jalan
Padat Karya, lalu membakar rumah tersebut beserta para penghuninya. Dahur
beserta anak dan seorang cucunya tewas terpanggang di dalam rumahnya. Berita
mengenai peristiwa ini langsung menyebar dengan cepat di kalangan warga etnis
Dayak. Kondisi semakin memanas ketika sekelompok warga etnis Dayak yang
merasa tidak terima terhadap aksi pembakaran melakukan aksi balasan kepada
pihak Madura. Akhirnya, sekelompok warga Dayak membakar rumah warga
Madura di Jalan Tidar.19
Dalam peristiwa tersebut, ada tokoh intelektual yang menjadi dalang utamanya.
Tokoh intelektual tersebut adalah pejabat Kotawaringin Timur, yaitu Fedlik Asser
dan Lewis yang sehari-harinya menjabat di Dinas Kehutanan dan Kantor Bappeda.
Fedlik Asser juga merupakan tokoh paguyuban Etnis Dayak.20 Target mereka
adalah untuk menggagalkan pelantikan pejabat Eselon I, II, dan III yang akan
mengisi struktur baru otonomi daerah pada 19 Februari 2001.21 Fedlik dan Lewis
merasa tidak puas karena pejabat yang akan dilantik tersebut semuanya beragama
Islam. Keduanya ingin Wahyudi K. Anwar, Bupati Kotawaringin Timur pada saat
itu, untuk turun dari jabatannya.22 Mereka berdua membayar sejumlah provokator
untuk menyulut kerusuhan dengan melakukan penyerangan ke rumah warga
Madura.
Pada kerusuhan awal tanggal 18 dan 19 Februari 2001, etnis Madura melakukan
sweeping23 terhadap rumah-rumah orang Dayak. Selama melakukan sweeping,
warga Madura juga melemparkan bom-bom rakitan seperti yang terjadi di Jalan
Baamang Tengah I , Baamang Tengah II, dan Baamang Tengah III.24 Pembakaran
dan perusakan di Sampit terus dilakukan, seperti pembakaran yang terjadi di
Perumahan Karyawan Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah Cabang
Sampit di Jalan HM. Arsyad Gang Mangga Dua, rumah beberapa orang Dayak di
19
Kompas, 26 Februari 2001
20
“Konflik Sampit Tidak Berdiri Sendiri. Bersifat Laten dan Bisa Menjadi Wabah”, Tempo, 11
Maret 2001
21
Heru Cahyono, Op. Cit., hlm. 79
22
“Konflik Sampit Tidak Beridiri Sendiri. Sifatnya Laten dan Bisa Menjadi Wabah”, Loc. Cit
23
Istilah sweeping sering digunakan saat terjadi kerusuhan. Istilah ini mengacu pada tindakan
pencarian dan pembunuhan terhadap pihak lawan
24
“Kesepakatan Warga Antar Etnis di Sampit Tentang Solusi Tragedi Sampit Kelabu”, hlm. 4
10
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
25
Ibid.
26
Ibid.
27
“Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D.: Dalam Konflik Sampit, yang Bertanggung Jawab Nayau",
Wawancara Tempo dengan Prof.Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D, 20 Mei 2001
11
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
yang banyak orang-orang Madura, lalu berlanjut ke seluruh Kota Sampit. Korban
tidak terbatas hanya orang dewasa saja, tetapi anak kecil dan lansia pun turut
menjadi sasaran pembunuhan.28 Gelombang pengungsi warga Madura semakin
besar. Warga etnis Madura yang tidak berhasil mengungsi keluar Sampit atau
yang sudah ketakutan dan terdesak memilih hutan di dekat rumah sebagai
alternatif tempat persembunyian. Mereka yang melarikan diri ke hutan hanya
membawa harta benda seadanya demi menghindari pembunuhan terhadap
keluarganya. Selain hutan, Kantor Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur di
Jalan Jenderal Sudirman yang berhadapan dengan Kantor Polres Sampit turut
menjadi pilihan untuk menghindari pembunuhan sambil menunggu waktu untuk
diungsikan keluar Sampit.
Selama melakukan sweeping dan eksekusi terhadap warga etnis Madura, mereka
yang sudah “kalap” ini berusaha menghindar dari aparat supaya tidak ditangkap.
Aparat menyita senjata-senjata tajam yang dipergunakan untuk sweeping tersebut
kepada yang berhasil ditangkap. Meskipun demikian, orang-orang Dayak ini tetap
tidak menghentikan aksi sweeping terhadap orang Madura sehingga sempat
membuat aparat dan pemerintah daerah kewalahan. Ketegangan akibat konflik
mulai mereda setelah keinginan orang-orang Dayak terpenuhi, yakni seluruh
warga Madura dianggap telah meninggalkan tanah Kalimantan Tengah. Kegiatan
kayau pun mulai dihentikan meskipun masih tetap siaga.
Dampak Konflik
12
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
Penyelesaian Konflik
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah telah memfasilitasi pertemuan-pertemuan,
baik formal maupun informal, dari para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh
adat, dan tokoh pemuda dari kedua etnis untuk melakukan proses perdamaian. Di
Kalimantan Tengah telah diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh paguyuban dari
30
Ibid.
31
LMMDD-KT, “Konflik Etnik Sampit: Kronologi, Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis,
Saran”, Kalimantan Tengah: Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan
Tengah, 2001
32
“ Madura ke Kalteng Bisa Bentrok Lagi”, Kalteng Pos, 21 Oktober 2001
13
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
warga pendatang dengan tokoh-tokoh adat Dayak pada 4 Maret 2001. Pertemuan
tersebut memfokuskan pada pernyataan sikap terhadap warga Madura.
Pada Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) yang berlangsung pada 4—7
Juni 2001 di Palangkaraya menghadirkan peserta dari dua kubu yang dominan,
yakni Dayak garis keras dan Dayak garis lemah. 33 Dua kubu ini memiliki
pendapat yang saling berlawanan. Dayak garis keras menolak sama sekali etnis
Madura yang saat itu sedang mengungsi di Madura untuk kembali lagi ke
Kalimantan Tengah. Sementara itu, Dayak arus lemah memperbolehkan mereka
untuk kembali, namun dengan banyak persyaratan yang harus disanggupi oleh
pengungsi Madura. Salah satu syaratnya adalah mereka yang kembali harus
membayar denda adat dan selama enam bulan mendapat pengawasan.34
Pada akhirnya Kongres Rakyat Kalimantan Tengah tersebut mengambil sejumlah
keputusan berdasarkan jalan tengah, yaitu; (1) Warga Masyarakat Kalimantan
Tengah siap menerima ajakan damai dan permintaan maaf dari warga Madura
pada umumnya; (2) Jika kedua pihak telah saling memaafkan dan bertekad untuk
hidup berdampingan secara damai, maka langkah-langkah re-evakuasi, rehabilitasi,
dan penegakan hukum dapat dilakukan sejalan dengan peraturan; (3) Masyarakat
Madura yang akan kembali ke Kalimantan Tengah harus menjalani seleksi dan
persyaratannya diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) perihal kependudukan; (4)
Mengingat proses re-evakuasi harus dilakukan melalui perundingan-perundingan,
kesiapan mental dari kedua belah pihak, maka masih diperlukan masa
pendinginan (cooling down) yang cukup hingga situasi dan kondisi mental kedua
belah pihak mampu introspeksi diri untuk mencapai suatu kerukunan.
Warga etnis Madura yang berada di pengungsian berharap dapat kembali
meskipun masih ada rasa trauma dan takut jika konflik yang sewaktu-waktu dapat
terulang kembali. Berdasarkan hasil pendataan Forum Komunikasi Korban
Kerusuhan Kalimantan Tengah (FK-4), 90% lebih pengungsi menginginkan untuk
kembali lagi ke Kalimantan Tengah. 35 Mereka lebih memilih kembali ke
Kalimantan Tengah dengan risiko nyawa terancam dan mengabaikan rasa trauma
terhadap konflik daripada bertahan di pengungsian dan hanya berharap pada
33
“Soal Kongres Rakyat Kalteng…”, diunduh dari http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0106/20/daerah/jemb28.htm
34
Ibid.
35
Ibid., hlm. 12
14
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
bantuan pemerintah maupun pihak-pihak yang peduli pada nasib mereka tanpa
dapat melakukan apa-apa. 36 Alasan lainnya karena kebanyakan mereka tidak
memiliki aset atau usaha yang dapat menunjang keberlangsungan hidup mereka di
Pulau Madura.37 Rasa tertekan selama di pengungsian juga membuat mereka ingin
kembali lagi ke Kalimantan Tengah.
FK-4 telah menyusun langkah-langkah konkret mengenai nasib para pengungsi.
Mereka membuat acara pertemuan akbar pengungsi, yaitu Musyawarah Besar
Pengungsi Kalimantan Tengah (MBPKT) di Kecamatan Ketapang, Kabupaten
Sampang, Madura. Secara garis besar, pertemuan ini bertujuan untuk menampung
aspirasi pengungsi yang mayoritas ingin kembali ke Kalimantan Tengah.
Pertemuan tersebut juga menghasilkan komitmen pengungsi Kalimantan Tengah,
yakni mereka siap menaati segala peraturan dan aspirasi masyarakat Kalimantan
Tengah yang ada di Kalimantan Tengah supaya mereka bisa kembali.38
Langkah awal dari usaha-usaha konkret yang dilakukan oleh FK-4 yaitu dengan
melakukan pendataan-pendataan terhadap para pengungsi, yakni mendata siapa
saja yang menginginkan untuk kembali ke Kalimantan Tengah. Sebagian besar
pengungsi, yakni sekitar 95% diantara total keseluruhan, mengatakan ingin
kembali ke Kalimantan Tengah. Setelah pendataan, kemudian dilakukan
pembinaan mental terhadap para pengungsi etnis Madura dengan tujuan untuk
menghapus rasa traumatis atas konflik yang telah dialami. Selama berada di
pengungsian ini, peran kiai dan pemuka agama memiliki andil besar dalam proses
penyembuhan rohani pengungsi dari rasa frustrasi dan tertekan selama di
pengungsian.39
Upaya rekonstruksi pasca konflik juga dilakukan sebagai tahap lanjutan dari
resolusi konflik di Kalimantan Tengah. Upaya ini dilakukan atas kesadaran bahwa
tidak semua etnis Madura dan Dayak yang berkonflik, mereka hanya korban
generalisasi penyebaran konflik.40 Wilayah-wilayah pemukiman warga keturunan
Madura di Kalimantan Tengah yang tidak mengalami konflik secara masif ini
36
Wawancara dengan Bapak Sohibul Hidayat, 27 April 2014
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Wawancara dengan Bapak Abdul Wahid, 25 April 2014
40
Abdul Wahid dan Mohammad Ilyas, Berdamai Dengan Sejarah: Panduan Praktis Mengelola
Konflik, Yogyakarta: Alenia Press
15
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
kemudian menjadi sasaran eksplorasi potensial dalam upaya dan proses repatriasi
pengungsi warga keturunan Madura ke Kalimantan Tengah.
FK-4 kemudian melakukan penelitian lapangan di Madura dan Kalimantan
Tengah untuk menghimpun bahan dan masukan dalam menyusun rencana
strategis, efektif, dan aman. Data-data yang berhasil ditemukan dalam penelitian
tersebut selanjutnya diolah dan dikonsepkan. FK-4 menyusun sembilan langkah
repatriasi pengungsi41, yaitu; (1) Tahap Konsolidasi; (2) Tahap Pemetaan Wilayah
Konflik; (3) Tahap Negosiasi; (4) Tahap Pendampingan dan Pendidikan; (5)
Tahap Pendataan; (6) Tahap Sosialisasi; (7) Tahap Seleksi; (8) Tahap Realisasi; (9)
Tahap Pemantauan
Dari sejumlah pertemuan dan kesepakatan yang dilakukan kedua pihak, baik
secara internal maupun eksternal tersebut menghasilkan Peraturan Daerah No. 5
tahun 2004 yang mengatur masalah pengungsi korban kerusuhan etnis di
Kalimantan Tengah. Tidak hanya itu, pemerintah juga melibatkan masyarakat
dalam menentukan Peraturan Daerah (Perda) dengan menyebarkan angket berisi
43 pertanyaan dengan lima pilihan jawaban yang harus diisi oleh masyarakat.
Hasilnya sangat membantu dalam menentukan tindakan pemerintah selanjutnya
yang lebih konkret. Peraturan Daerah tersebut terdiri atas enam bab. Dalam bab
dua pasal dua Perda tersebut, terdapat poin penting mengenai rekonsiliasi. Poin
tersebut antara lain etnik yang kembali ke Kalimantan Tengah harus menjunjung
tinggi falsafah “Belom Bahadat”42 dan falsafah “dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung”. Sementara itu, pasal tiga membahas perihal penanganan dan penataan,
yaitu pemberian bantuan dalam bentuk pelayanan dan pembinaan mental, serta
melakukan penataan tempat pemukiman yang ditinggalkan akibat konflik.43
Dalam tahap awal proses pemulangan warga etnis Madura ke Kalimantan Tengah,
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah memprioritaskan anggota DPRD,
mahasiswa, dosen, dan PNS sebagai pihak-pihak yang pertama kali dipulangkan
ke Kalimantan Tengah. Tindakan ini dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa
kalangan tersebut bukanlah pihak yang akan membuat masalah yang bisa
menyebabkan kerusuhan susulan.
41
Abdul Wahid dan Mohammad Ilyas, Op, Cit
42
Belom Bahadat berasal dari Bahasa Dayak yang artinya hidup yang berbudaya atau beradab
43
Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 5 Tahun 2004 (data terlampir)
16
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
Kesimpulan
Konflik antara Etnis Dayak dan Etnis Madura di Sampit telah berlangsung sejak
lama dan paling terlihat mencolok terjadi pada masa Orde Baru. Ketegangan-
ketegangan yang terjadi antara kedua kelompok etnis ini terutama dilatari karena
faktor pergesekan nilai budaya yang kemudian merambat kepada faktor-faktor
lainnya seperti politik dan sosial. Ketegangan-ketegangan ini berlangsung
berulang kali dan tidak pernah berkembang menjadi konflik terbuka karena
kontrol pemerintah Orde Baru sangat kuat sehingga dapat mencegah hal-hal yang
sifatnya destruktif terhadap persatuan Negara Republik Indonesia. Meskipun
demikian, konflik-konflik tertutup tersebut masih menyisakan kemarahan-
kemarahan yang tertahan dan menumpuk di pihak Dayak.
Setelah Orde Baru runtuh, Indonesia mengalami masa peralihan yaitu era
Reformasi. Kontrol pemerintah pusat terhadap daerah sangat lemah sehingga
menyebabkan konflik terbuka dan lebih besar dari sebelumnya terjadi di Sampit
pada 18 Februari 2001 antara Etnis Dayak dan Madura. Ada kepentingan politik
yang turut menjadi penyebab pecahnya konflik. Konflik terbuka ini terjadi sebagai
akibat perubahan yang belum mapan dari Orde Baru ke era Reformasi. Pada
konflik terbuka ini, masyarakat golongan awam dipolitisi untuk kepentingan
tertentu dan memantik kerusuhan besar antara Etnis Dayak dan warga pendatang,
Madura. Kemarahan warga etnis Dayak yang sudah pada puncaknya tidak bisa
dibendung lagi.
Kemarahan dilampiaskan kepada Etnis Madura karena dianggap tidak bisa
menyesuaikan diri dengan budaya Dayak. Etnis Madura dianggap sarat dengan
nuansa kekerasan dalam interaksinya dengan Etnis Dayak sehingga membuat
mereka tidak disukai. Konflik terbuka awalnya terjadi sebagai reaksi spontan
untuk membela diri untuk menghindari ancaman “penguasaan” wilayah yang akan
dilakukan oleh Etnis Madura. Bukti-bukti seperti penemuan bom-bom rakitan di
rumah-rumah warga Etnis Madura sebelum kerusuhan maupun saat kerusuhan
terjadi, spanduk-spanduk dan yel-yel provokatif, serta Dokumen Haji Marlinggi,
memperkuat tindakan mereka untuk memunculkan budaya kayau yang telah
ditinggalkan ratusan tahun lalu sejak Perjanjian Tumbang Anoi tahun 1884.
17
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
Daftar Referensi
• Buku dan Jurnal
De Jonge, Huub. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan
Islam. Jakarta: PT Gramedia. 1989
Edi Swasono, Sri dan Masri Singarimbun. Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta:
UI Press. 1985
Haudy, Rusli. Tangisan Anak Pulau: Sebuah Catatan Tragedi Sampit. Jakarta: CV.
DIharfin Jaya. 2001 Eriyanto, Media dan Konflik Etnis: Bagaimana Suratkabar di
Kalimantan Meliput dan Memberitakan Konflik di Sampit Tahun 2001. Jakarta: Institut Studi
Arus Informasi (ISAI). 2004
Abdul Wahid dan Mohammad Ilyas, Berdamai Dengan Sejarah: Panduan Praktis
Mengelola Konflik, Yogyakarta: Alenia Press
Achwan, Rochman dkk. “Overcoming Violent Conflict: Volume 1 Peace and Development
Analysis In West Kalimantan, Central Kalimantan, And Madura”. Jakarta: Crisis Prevention
and Recovery Unit (CPRU). 2005
_______. “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”. Jakarta/Brussel:
International Crisis Group. 2001. (Terjemahan)
_______. “Konflik Etnik Sampit: Kronologi, Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis,
Saran”. Kalimantan Tengah: Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah
Kalimantan Tengah. 2001 Suhandadji. “Migrasi dan Adaptasi Orang Madura di
Surabaya: Kajian Perilaku Ekonomi Migran Madura di Kelurahan Sidotopo
Kecamatan Semampir Kotamadya Surabaya”. Jakarta: UI Press. 1998
• Koran Sejaman
“Mencari Akar, Mencari Jawaban: Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D”. Koran Tempo edisi
01/30
“Konflik Sampit Tidak Berdiri Sendiri. Bersifat Laten dan Bisa Menjadi Wabah”. Tempo,
11 Maret 2001
“Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D.: Dalam Konflik Sampit, yang Bertanggung Jawab
Nayau", Wawancara Tempo dengan Prof.Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D, 20 Mei 2001
“Stok Pangan Menipis, Harga Mencekik”. Kompas, 4 Maret 2001
“Provokator Kerusuhan Sampit Tertangkap”. Liputan6.com, 24 Februari 2001
18
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
• Wawancara
Wawancara dengan Bapak Abdul Wahid pada 25 April 2014
Wawancara dengan Bapak Sohibul Hidayat, 27 April 2014
Wawancara dengan Bapak Anto, pada 14 April 2014
19
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
14
Universitas Indonesia
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
60
Universitas Indonesia
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014
Konflik etnis..., Rinchi Andika Marry, FIB UI, 2014