DAN TA'DIL
Terjemahan :
تأليف :
1
PENDAHULUAN
الحمد هلل رب العلمين و الصالة و السالم على رسوله االمين وعلى اله و صحبه
2
pertama : hakikat jarh wat ta’dil .
Kedua : kontradiksi atau pertentangan jarh wat ta’dil
3
para penuntut ilmu syar’iy nantinya sebagai sarana yang
menunjukkan secara detail kepada ilmu ini.
Aku juga banyak terima kasih kepada mereka yang ikut andil dalam
melakukan muraja’ah, dan taujiihat terhadap asal kitab ini , mereka
adalah saudara -saudara yang mulia :
4
BAB PERTAMA
Hakikat Jarh Wat Ta’dil
Pada bab ini terdapat dua fasal:
Pertama : hakikat jarh wat ta’dil.
Kedua : kontradiksi atau pertentangan jarh wat ta’dil.
FASAL PERTAMA
2 Taajul Lughah Wa shihaahul Arabiyah 1/358 dan , Mujmalul Lughah 1/186 kat
kunci ( jim rak hak)
5
Dan kata ( ) الجرحdengan fathah adalah luka yang timbul dengan
lisan pada makna-makna dan harga diri,dan semacamnya3.
6
tertentu , jadi kedha’ifan riwayatnya hanya khusus pada yang ditaqyid
( dibatasi kriterianya ) tidak pada yang lain.
Ke tiga : berupa pentadh’ifan secara nisbiy. Dan ini terjadi ketika
saling mengunggulkan antara dua rawi atau lebih . Dan bentuk seperti
ini tidak melazimkan tetapnya dha’if secara mutlak pada seorang
rawi ,tetapi hukumnya berbeda-beda menurut qarinah hal ( keadaan)
pada pengunggulan rawi tadi .
Adapun Pensifatan yang mengakibatkan ditolak riwayatnya , maka
itulah yang dinamakan dengan dha’iif jiddan dan yang berada derajat
di bawahnya. Seperti ini tidak bisa menguatkan riwayat lain atau
dikuatkan dengan riwayat lain .
Pengertian Ta’dil
7
1. Rawi- rawi yang diterima riwayatnya dan dikelompokkan pada
martabat shahih lidzatihi .
2. Rawi-rawi yang diterima riwayatnya dan dikelompokkan pada
martabat hasan lidzatihi 7 .
Mereka ini adalah para rawi yang riwayat-riwayatnya bisa dijadikan
hujjah meskipun tingkatan-tingkatan martabatnya tidak sama.
Asal kalimat ta’dil adalah memvonis adil seorang rawi, hanya saja
kadang dipakai di dalam pembahasan ini lebih umum dari sekedar
tautsiiq , maksudnya yaitu memvonis adil dan dhabt seorang rawi
secara bersamaan , karena keduanya merupakan asas diterimanya
khabar rawi .
Dan yang dimaksud dengan ‘adaalah :
ٌ ََ
8
َملكة تحمل املرء على مالزمة التقوى واملروءة
Pembawaan yang menjadikan seseorang selalu melazimi ketaqwaan
dan menjaga muru’ah.
8
Dan ( العدلal ‘adl ) adalah seorang muslim yang baligh, berakal, yang
selamat dari sebab-sebab kefasikan9 dan pencemaran muru’ah 10.
Islam dan baligh adalah syarat dalam ada’ ( )االداء11 dan bukan
merupakan syarat tahammul ( ) التحمل12. Karena dulu para sahabat
sebelum masuk islam juga melakukan tahammul kemudian mereka
melakukan ada’ setelah mereka masuk islam , dan para sahabat yang
masih kecil ( belum usia dewasa) dulu juga mereka melakukan
tahammul ketika dalam keadaan masih bocah dan mereka
menyampaikan riwayat ketika mereka baligh 13.
Dan baligh serta berakal adalah merupakan tumpuan taklif syar’iy 14
( pembebanan syariat ). hanya saja kadang anak kecil mumayyiz
mampu menghafal sebagian apa yang pernah ia dengar atau saksikan .
Karena itulah penyampaiannya- terhadap berita atau kejadian di saat
masih kecil 15- bisa diambil i’tibar ketika usia baligh.
Dan selamat dari sebab sebab kefasikan ,pencemaran muruah hanya
terjadi pada dzahir yang nampak di keadaan seorang rawi . Hanya saja
9
pentadh’ifan seorang rawi dikarenakan ia menerabas muru’ah ini tidak
banyak 16.
Dhabt shadr ضبط الصدر: kondisi dimana rawi terjaga dan tidak lena
bahkan ia menghafal apa yang ia dengar dan meresapinya secara detail
sehingga ia mampu menceritakan kapan saja ia mau, dengan catatan
ia punya pengetahuan akan kalimat-kalimat yang bisa merubah makna
apabila nantinya ia meriwayatkan secara makna.
10
2. majhuul ‘ain ()مجهههول العين, rawi yang meriwayatkan darinya hanya
seorang dan tidak didapati tautsiiq ( komentar tsiqah) .
5. Fasiq فاسق, orang yang dikenal dengan perbuatan dosa besar atau
terus menerus dalam melakukan dosa kecil .
19 Tertuduh berdusta.
11
menutupi kesadarannya secara total atau kambuhan apabila
berpengaruh pada kesadarannya 20, keempat karena bid'ahnya21,
kelima dan ke enam dan ke tujuh karena tampak kefasikannya, dan ke
delapan karena kekurangan muru’ahnya.
3. Buruk hafalan 26
( )سوء الحفظ, sehingga tidak bisa rajih sisi mana
yang benar hadits yang diriwayatkan rawi tersebut dan mana yang
salah27, bahkan kedua kemungkinan tersebut tidak bisa ditentukan.
12
4. Syiddatul ghaflah 28()شدة الغفلة, ketika rawi tidak memiliki ingatan
dan itqan ( memahami detail riwayat) sebagai patokan membedakan
mana yang benar dari kesalahan riwayatnya29.
5. Fuhsyul ghalath 30
()فحش الغلط, dimana intensitas keliru rawi
31
masuk bilangan parah melebihi jumlah – hadits - benar yang ia
riwayatkan.
6. Bodohnya seorang rawi terhadap makna yang ditunjukkan lafadz -
lafadz dan maksud- maksudnya , dan juga terhadap perkara-perkara
yang bisa merubah makna – ketika meriwayatkan dengan makna-
sehingga jelas baginya -ketika menyampaikan hadits -apa lafadz yang
pernah ia dengar yang semestinya ia pertahankan supaya tidak
terjerumus kepada merubah hadits dari makna yang diinginkan32.
7. bermudah-mudahannya seorang rawi dalam melakukan muqaabalah
kitab 33,tashiih dan penjagaannya.
28 شدة الغفلة
29 Syarah Nukhbatul Fikar 121.
30 فحش الغلط
31 Lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 44-45 , Syarah Nukhbatul Fikar 121.
32 'Uluumul Hadits 331.
33 Maksudnya adalah mencocokkan kitabnya dengan kitab syaikhnya yang darinya
ia meriwayatkan hadits .
34 Pada kondisi dan keadaan tertentu.
13
Namun disana ada perkara yang lain yang membuat seorang rawi
dikritik bukan dari sisi ‘adaalah dan dhabt mereka , seperti tadliis 35
dan banyak memursalkan36 hadits, dan tidak pilih-pilih guru.
14
sedangkan asal dalam i'tibar dhabt adalah hadits mutawatir 40:
حامل فقه غير فقيه ُور َّب فر َّب ّ امرءا سمع مقالتي فحفظها ووعاها
ُ ،وأداها َّ َن
ً ضر هللا
ِ
...حامل فقه إلى من هو أفقه منه
ِ
“Allah senang kepada seseorang yang mendengar perkataanku
kemudian ia menghafal, menjaga dan menyampaikannya. Karena
kadang pembawa fiqh bukan merupakan orang faqih dan kadang
orang yang membawa fiqh datang kepada orang yang lebih faqih dari
dirinya”41.
Dan disebagian riwayat :
َّ ً
سمع منا شيئا فبلغه كما سمع
فحفظها
15
“ dan ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar “ nash dalam
i'tibar dhabt ketika ada’ ( menyampaikan hadits).
c. Hadits ini telah datang dengan lafadz-lafadz yang bermacam, yang
menunjukkan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan secara makna
dan itu merupakan satu dari dua bentuk ada' ( menyampaikan hadits) .
Dan menjarh rawi sebatas hajat yang dibutuhkan tidaklah terhitung
dalam kategori ghibah yang diharamkan . An Nawawy rahimahullah
menyebutkan bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar
secara syara’ yang tidak memungkinkan cara lain kecuali dengan cara
tersebut43 . Dan diantara tujuan-tujuan tersebut adalah
memperingatkan kaum muslimin dari keburukan dan menasihati
mereka supaya menghindari, dan demikian ditinjau dari beberapa segi
, diantaranya :
Menjarh orang - orang yang terjarh dari rawi-rawi hadits,dan para
saksi ( syahiid) dan yang demikian adalah boleh secara ijma kaum
muslimin . Bahkan bisa wajib jika memang diperlukan , karena
dengan menjarh di haknya rawi-rawi memberikan dampak guna
membedakan antara antara hadits -hadits yang tsaabit ( shahiih ) dari
yang riwayat-riwayat yang dha'if , wahiy44 dan maudhu45’ yang tidak
tsabit ( tetap) keabsahannya ( keshahihannya ) karena sebab di
keadaan rawi-rawinya ada beberapa catatan yang menafikan46
'adaalah ( ketaqwaan) dan dhabt .
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya ghibah karena alasan
syar'iy beberapa dalil berikut ini :
43 Lihat Riyadhus Shalihiin 575, Syarah Shahiih Muslim 16/110) Fathul Baary 10/
472.
44 Jika diterjemahkan artinya rapuh . Riwayat waahiy adalah tingkatan dha'if lebih
ringan dari maudhu' atau palsu.
45 Lihat kitab Raf’ur Raibah ‘Ammaa Yajuuzu Wamaa Laa Yajuuzu Minal Ghiibah
halaman 24.
46 Di beberapa riwayat ada yang tidak tsabit keabsahannya dengan sebab terputus -
jalur sanadnya atau karena menyelisihi – riwayat lain- itu sebagian dari
beberapa aspek yang menetapkan dugaan cacat pada rawi bahkan hal itu terjadi
adalah karena dha'if- nya rawi tersebut -.
16
1. hadits yang disepakati Asy Syaikhany (Al Bukhaary dan Muslim )
dari hadits 'Aisyah radhiallaahu 'anha :
ً
فلما، بئس أخو العشيرة وبئس ابن العشيرة:أن رجال استأذن على النبي فلما رآه قال
َّ
يهها رسههول:جلس تطلق النههبي في وجهههه وانبسههط إليههه فلمهها انطلههق الرجههل قههالت عائشة
َّ
فق ههال،هللا حين رأيت الرج ههل قلت ل ههه ك ههذا وك ههذا ثم تطلقت في وجه ههه وانبس ههطت إلي ههه
ّ ً
يا عائشة متى َع ِهدتني فاحشهها؟ إن شه ّهر النههاس عنههد هللا منزلههة يههوم القيامههة: رسول هللا
ّ َم ْن تركه الناس اتقاء
شره
“menghindari kekejiannya 48 “.
47 Kitab Al Jaami' As Shahiih lil Bukhaary kitab: األدبbab: لم يكن النبي فاحشا وال
متفاحشا.
48 Al Jaami' As Shahiih lil Bukhaary kitab األدبbab: باب ما يجوز من اغتياب أهل الفساد
والل ّ ِلريبdan Fathul Baary 10/ 471, dan juga bab: املداراة مللع الن للاسbersamaan Fathul
Baary 10/ 528,dan Shahiih Muslim kitab : البر والصلة واآلدابbab: مداراة من ُي َّتقى فحشه
bersamaan dengan Syarah Shahiih Muslim karangan An Nawawy 16/144.
17
Dan sisi penunjukan hadits di atas adalah :
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam membicarakan mengenai laki-laki
tersebut dalam konteks mencela demi maslahat syar'iy, yakni
peringatan akan buruk akhlaqnya supaya yang mendengar
menjauhinya sebagamaina ini disimpulkan dari perkataan beliau
shallallaahu 'alaihi wasallam : “seburuk-buruk manusia di sisi Allah
kedudukannya pada hari qiyamat adalah yang ditinggalkan orang-
orang karena menghindari keburukannya”. Oleh karena itu berseri
wajah beliau kepada laki-laki tadi dalam rangka bermudaarah
kepadanya bukan mudaahanah49.
2. Hadits yang dikeluarkan Muslim dari hadits Fatimah binti Qais :
ََ ّ ّ
: قهالت.» فٍإذا َحلل ِت فآذنيني...« فقال النبي،أن أبا عمرو ابن حفص طلقها البتة
: فقههال رسههول هللا.فلما حللت ذكرت له أن معاوية ابن أبي سههفيان وأبهها َج ْه ٍم خطبههاني
انكحي، وأمهها معاويههة فصههعلوك ال مههال لههه،«أمهها أبههو َج ْه ٍم فال يضههع عصههاه عن عاتقههه
»...أسامة بن زيد
“ Bahwa Abu 'Amr bin Hafsh telah mentalaknya secara battah , maka
berkatalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam : jika engkau telah halal
maka beri tahu diriku . Ia berkata : ketika telah halal aku memberitahu
kepada beliau bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm telah
mengkhitbahku. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
berkata : Abu Jahm ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari
49 Mudaarah : mencurahkan dunia dengan tujuan maslahat dunia dan agama atau
keduanya secara bersamaan ,sedangkan mudaahanah meninggalkan agama
dalam rangka kesuksesan dunia. Dan sisi mudarah di hadits di atas : nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam mencurahkan dunianya dengan membaguskan
pergaulannya dan bersikap lembut berbicara bersamanya ,meskipun begitu
beliau tidak memujinya dengan perkataan. Dan perkataan beliau mengenainya
tidak berbenturan dengan perbuatannya . Karena perkataan beliau adalah
perkataan benar dan perbuatan beliau menyikapi laki-laki tersebut adalah dalam
rangka berbuat baik dalam pergaulan. Fathul Baary 10/454.
18
pundaknya sedangkan Muawiyah maka ia miskin tidak memiliki harta
, menikahlah dengan Usaamah binZaid “50.
Dan di riwayat lain :
ّ و أما أبو َج ْهم فرجل،أما معاوية فرجل َتر ٌب ال مال له
و لكن أسامة،ضراب للنساء ٍ ِ
»...بن زيد
Di sisi yang berbeda ada beberapa perkara lain yang tidak kembali
kepada 'adaalah ( ketaqwaan) dan dhabt rawi dan dimungkinkan
dipecah menjadi dua pembagian :
1. perkara yang tidak disyaratkan dengan ijma' yakni status merdeka
seorang rawi . Khatiib Al Bagdady menghikayatkan ijma'
( kesepakatan ulama) perihal diterimanya khabar budak52 .
50 Shahiih Muslim di : 10/97 باب املطلقة البائن ال نفقة لها،كتاب الطالق.
51 Shahiih Muslim di :10/104 باب املطلقة البائن ال نفقة لها،كتاب الطالق
52 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman: 157
19
2. perkara yang tidak disyaratkan menurut pendapat yang rajih
menurut jumhur ulama , di antaranya adalah yang berkaitan dengan
rawi itu sendiri dan hal ini ada lima perkara :
a. Keharusan yang meriwayatkan harus seorang laki-laki, pensyaratan
meriwayatkan harus seorang laki-laki ternuqilkan dari Imam Abu
Hanifah ,hanya ia mengecualikan khabar – khabar 'Aisyah dan Umu
Salamah 53radhiallaahu 'anhuma .
b. Paham fiqh. Telah masyhur dari Imam Abu Hanifah beliau
mensyaratkan fiqh rawi ketika khabarnya menyelisihi quyas ushul54.
Sedangkan yang lain mensyaratkannya ketika seorang rawi
bersendirian 55dalam meriwayatkan hadits , sedangkan Ibnu Hibban
mensyaratkan fiqh ketika rawi menyampaikan riwayat dari
hafalannya . Ia berkata :
حدث من حفظه وليس بفقيه ال يجوز عندي االحتجاج ّ الثقة الحافظ إذا
َّ فرَّبما قلب املتن
ُ وحدث من حفظه ً
ّ فقيها
وغير فٍإذا كان الثقة الحافظ لم يكن...بخبره
يء ليس منههه وهههو ال يعلم/املعههنى حههتى يههذهب الخههبر عن معههنى مهها جههاء فيههه ويقلب إلى شهه
53 Adaabul Qaadhiy 1/385, fathul Mughiits 1/289.
54 Fathul Mughiits 1/289, Tadriibu Ar Raawiy 1/70. ‘Alaa_u Addien Al Bukhaary
menyebutkan bahwa pendapat yang mensyaratkan fiqh rawi sebelum
mendahulukan khabarnya daripada qiyas merupakan pendapat Isa bin Abbaan,
dan kebanyakan mutaaakhirin dari kalangan Hanafiyah. Sedangkan
mutaqaddimun ( orang -orang sebelumnya ) dari kalangan mereka yang
ternuqilkan adalah mendahulukan khabar wahid ( satu orang rawi) daripada
qiyas tanpa membedakan antara khabar orang faqih maupun yang bukan . Lihat
Kasyful Asraar 2/383.
Mengenai yang datang dari Abu Hanifah bahwa beliau mendahulukan khabar wahid
dari qiyas adalah berikut ini:
1. beliau mengambil hadits perihal qahqahah ( tertawa terbahak) padahal itu
menyelisihi qiyas.
2. beliau mengamalkan hadits Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu :
ْ
من أكل أو شرب ناسيا فل ُي ِّتم صومه
“ Siapa yang makan minum dalam keadaan lupa maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya “.
20
ّ ُ َ
فال يج ه ههوز عن ه ههدي االحتج ه ههاج بخ ه ههبر من ه ه ههذا ن ْعته ههه إال أن ُي َه هحه ِّدث من كت ه ههاب أو يواف ه ههق
الثقات فيما يرويه من متون األخبار
21
Dan ini sejalan dengan yang telah disyaratkan para imam di dalam
dhabt shadr.
c. Masyhur di dalam sima’ 58( mendengarkan ) hadits (dari para
masyaikh).
d. Bisa melihat dan tidak buta59.
e. Dikenal nasabnya.60
Perkara- perkara ini tidak disyaratkan menurut pendapat yang rajih
( kuat) karena perkataan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam :
ّ ً نضر هللا
...امرءا سمع مقالتي فحفظها ووعاها وأداها
َّ َ
22
b. Tidak ada pengingkaran terhadap riwayat fare’ oleh ashl pada
situasi lupa63.
Kedua hal ini tidak disyaratkan menurut pendapat yang rajih karena
banyaknya dalil yang menunjukkan diterimanya khabar satu orang
rawi yang tsiqah64, dan karena pengingkaran dalam situasi lupa bukan
kemudian artinya penafian terjadinya tahdits (penyampaian hadits)
bahkan paling maksimal -yang bisa disimpulkan – adalah tidak ingat.
Sedangkan perkataan mutsbit adalah lebih didahulukan daripada naafy
karena ia memastikan secara jazm ( definit ) perihal apa yang ia
riwayatkan dari syaikhnya65.
23
amanah . Maka demikian sudah cukup tanpa perlu data yang
menunjukkan bahwa ia seorang yang adil . Seperti haknya para
pembesar semisal Imam Malik, Syu’bah, dua Sufyan( Sufyan bin
Uyainah dan Sufyan At Tsauriy) ,Imam As Syafi'iy , Ahmad bin
Hanbal , Yahya Bin Ma'in , 'Ali bin Al Madiny ... dan orang - orang
yang sejajar mereka di dalam keagungan sebutan -di mata orang -,dan
juga keistiqamahan perkara , kemasyhuran, kejujuran bicara ,
bashiirah ( ilmu) dan dalam pemahaman66.
Hal itu jelas dengan dasar argumen berikut:
a. Popularitas dan kemasyhuran seperti itu kedudukan adalah lebih
kuat di jiwa daripada ta’dil se-orang atau dua orang.
b. Setinggi-tingginya yang bisa diambil faedah dari tazkiyah mu’addil
adalah sampai sebatas menyingkapkan jati diri rawi dan tidak sampai
pada mengangkat derajat ke tingkatan itu -kemasyhuran – selamanya.
Jadi kemasyhuran tidak perlu ta’dil karena 'adaalah ( ketaqwaan)
tersebut sudah begitu mengemuka dan sudah masyhur67.
Yang ke dua : nash Aimmah Al Mu’addiliin yang menilai
ke’adaalahan rawi tersebut 68.
Adalah cukup dengan ta’dil seorang imam menurut pendapat yang
rajih diqiyaskan dengan diterimanya khabar rawi tsiqah ketika
bersendiriannya69.
Ada yang mengatakan harus dita’dil oleh dua orang70 . Dan kenapa
demikian adalah karena dua alasan berikut.
a. Karena tazkiyah merupakan pensifatan, jadi dalam penetapannya
butuh kepada dua orang adil sebagaimana permasalahan arrusd
(kematangan berfikir) dan al kafaa_ah ( kemampuan )71.
66 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 147, 'Uluumul Hadits 218-219.
67 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 148.
68 'Uluumul Hadits 218.
69 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 160-161.
70 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 160.
71 Fathul Mughiits 1/290.
24
b. dan diqiyaskan dengan kesaksian dikaitkan dengan hak-hak adami (
sesama umat bani Adam)72.
2. Metode yang digunakan oleh Abu Bakar Al Al Bazzaar di dalam
musnadnya mengenai tsabitnya 'adaalah ( ketaqwaan) rawi , yakni
dengan diambil periwayatan darinya oleh sekelompok dari para
pembesar- ahli hadits-73. Dan seperti demikian juga yang dikatakan Ad
Dzahaby :
ْ
والجمهور على أن من كان من املشايخ قد روى عنه جماعة ولم يأت بما ُينكر عليه
أن حديثه صحيح
كل حامل لهذا العلم معروف العناية به فهو عدل محمول في أمره على العدالة حتى
َّ َي
تبين جرحه
25
“Dibawa ilmu ini dari setiap generasi oleh orang - orang adilnya “.77
Sisi Pendalilan
Hadits ini mengabarkan ke’adaalahan pembawa ilmu ini dari setiap
generasi.
4. Perkataan Ibnu Hibban :
Kemudian riwayat yang ke dua : dari hadits Usaamah bin Zaid radhiallaahu 'anhu .
26
ْ
فمن لم ُي ْه هج رح فه ههو، إذ التج ههريح ض ههد التع ههديل،إن الع ههدل من لم ُي ْعههرف في ههه الج ههرح
يتبين جرحه ّ عدل حتى
Dikeluarkan oleh Khatiib Al Bagdaady di Syarafu Ashaabil Hadits hal 28, dengan
sanadnya dari 'Amr bin Hisyam Al Bayrutiy ( shaduuq yukhthi’) dari
Muhammad bin Sulaiman -Ibnu Abi Kariimah-( dan ia telah didha’ifkan oleh
Abu Haatim dari Mu’aan bin Rifaa’ah ( layyinul hadits) dari Abu 'Utsman An
Nahdiy dari Usaamah bin Zaid dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam .
Dan dari jalurnya dikeluarkan oleh Ibnu 'Asaakir di Taarikh Dimasyqa 2/233.
Kemudian yang ke tiga : dari hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallaahu 'anhu .
Dikeluarkan oleh Khatiib Al Bagdaady di Syarafu Ashaabil Hadits hal 28, dengan
sanadnya dari Abi Shaalih Abdullah bin Shaalih Kaatibu Al Laits ( shaduuq
ktsiirul galath tsabtun fy kitaabihi wa kaanat fiihi ghaflah ) ia berkata :
حدثنا الليث بن سعد عن يحيى بن سعيد (األنصاري) عن سعيد بن املسيب عن عبد هللا بن مسعود
“ Telah berkata kepada kami Al Laits bin Sa’ed dari Yahya bin Said ( Al Anshariy)
dari Said bin Al Musayyib dari 'Ali bin Al Abdullah bin Mas'ud “ .
Sedangkan Abdullah bin Mas'ud tidak disebutkan Al Mizziy di sederetan nama yang
Ibnu Al Musayyab meriwayatkan hadits darinya . Lihat Tahdziibul Kamaal fy
Asmaairr Rijaal 11/67-68.
27
Seperti itu juga yang diutarakan Khatiib Al Bagdady dengan
perkataannya :
،وزعم أهل العراق أن العدالة هي إظهار اإلسالم وسالمة املسلم من فسق ظاهر
فمتى كانت هذه حاله وجب أن يكون عد
Dan telah hilang dari isnad Ibnu 'Adiy penyebuitan Baqiyah bin Al Waliid , dan
telah berkata Muhammad bin Abdul ‘Aziiz Ar Ramaly : “telah berkata kepada
kami Baqiyah “. dan ini di riwayat Al Uqaily .
Ke tujuh : dari hadits Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu , dan telah datang dari
banyak jalan di antaranya adalah :
1. Dari jalan Abu Hazim Sulaiman Al Asyjaa’iy .
Dikeluarkan oleh Ibnu 'Adiy di Al Kaamil -makhthuth- 1/90, dari jalan Dawud bin
Sulaiman Al Ghassaaniy Al Madiiny dari Marwan Al Fazaariy dari Yaziid bin
Kaisan ( shaduuq yukhti’) dari Abu Haazim .
Berkata Ibnu 'Adiy : “aku tidak melihat hadits ini dimiliki oleh Marwan Al
Fazaariy dengan isnad seperti ini kecuali dari jalur ini “.
2. dari jalur Abu Shaalih Al Asy’ariy ( maqbuul) dikeluarkan Ibnu 'Adiy di Al
Kaamil -makhthuth- 1/90, dan Khatiib Al Bagdady di Syarafu Ashaabil Hadits
hal 24, keduanya dari jalur Abdurrahman bin Yazid As Sulamiy dari 'Ali bin
Muslim Al Bakriy dari Abu Shaalih Al Asy’ariy
3. dari jalur Abu Qabiil Huyaiy bin Haani’ , dikeluarkan oleh Al Bazzaar ( lihat di
Kasyful Astaar 1/86) dan Al Uqailiy di Ad Du’afa -makhthuth- 1/2, keduanya
dari jalur Khalid bin Amru Al Amawiy Al Qurasyiy ( Yahya Bin Ma'in
menuduhnya dengan sebutan kaddzaab dan shalih Jazarah dan yang lainnya
menisbahinya memalsukan hadits ) dati Al Laits bin Saed dari Yazid bin Abi
Hubaib dari Abu qabiil .
Dan juga dari jalan Al ‘Uqailiy , dikeluarkan oleh Ibnu 'Abdil Barr di At Tamhiid
1/59,
Ke delapan : dari hadits Abdullah bin Umar bin Al Khatthab radhiallaahu 'anhuma ,
dikeluarkan oleh Ibnu 'Adiy Al Kaamil -makhthuth- 1/90, dari jalur Khalid bin
Amru Al Qurasyiy (Yahya Bin Ma'in menuduhnya dengan sebutan kaddzaab
dan shalih Jazarah dan yang lainnya menisbahinya memalsukan hadits) dari
28
“ Ahli Iraq telah mengira bahwa 'adaalah ( ketaqwaan) adalah
menampakkan keislaman dan selamatnya seorang muslim dari
kefasikan yang nampak . Jadi orang yang seperti ini keadaannya maka
wajib adil “79.
Dalil dalil pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hadits Ibnu 'Abbas ia berkata :
laits bin Sa’ed dari Yazid bin Abi Habiib dari Saalim dari Ibnu Umar
radhiallaahu 'anhuma dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam .
Berkata Ibnu 'Adiy : hadits dengan isnad ini aku tidak tahu orang yang
meriwayatkan ini dari Laits selain Khalid dan 'Amr .
Ke sembilan: hadits Abdullah bin 'Amr bin Al ‘Ash radhiallaahu 'anhu dikeluarkan
oleh Al ‘Uqailiy di Ad Dhu’afa -makhthuth- 1/2, dari jalur Khalid bin Amru Al
Qurasyiy (Yahya Bin Ma'in menuduhnya dengan sebutan kaddzaab dan shalih
Jazarah dan yang lainnya menisbahinya memalsukan hadits) dari Laits bin
Sa’ed dario Yazid bin Abi Habiib dari Abu Qabiil ( Huyaiy bin Haani’) dari
Abdullah bin 'Amr dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.
Dari jalur Al Uqailiy dikeluarkan oleh Ibnu 'Abdil Barr di At Tamhiid 1/59,
Kedha’ifan yang sangat di dalam sanad-sanad ini hanya terbatas di hadits Mu’adz
dan yang dikeluarkan oleh Al Bazzar dan Al Uqailiy dari jalur Abi Qabiil dari
Abu Hurairah dan dua hadits Abdullah bin Umar dan Abdullah bin 'Amr,
sedangkan selain itu kedha’fannya tidak terlalu parah .
Di sana juga ada jalur lain yang aku tidak mampu mendapatkannya , yakni :
1. hadits Jaabir bin Samurah radhiallaahu 'anhu , lihat Taqyiid wal Iidhah halaman
139.
2. hadits Ibnu Abbas radhiallaahu 'anhuma lihat fathul Mughiits 1/294.
3. apa yang di isyaratkan Al Burhaan Fauriy kepada Ibnu 'Asaakir dari hadits Anas ,
dan juga kepada Ad Dailamiy dari hadits Ibnu Umar radhiallaahu 'anhuma .
Lihat Kanzul Ummaal 10/176.
Dan pandangan ulama telah berbeda-beda di dalam hukum terhadap status hadits ini
dengan uraian berikut :
29
ّ
. نعم: أتشههد أن ال إلههه إال هللا؟ قهال: قههال. إني رأيت الهالل:جاء أعرابي إلى النبي ه فقهال
ْ ّ ً
يهها بالل ِأذن في النههاس فليص ههوموا: قههال. نعم: أتشهههد أن محمههدا رسههول هللا؟ قههال:ق ههال
ً
غدا
»يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الجاهلين وانتحال املبطلين وتأويل الغالين
“Dipikul ilmu ini di setiap generasi oleh orang adilnya, mereka menolak tahriif
orang - orang jahil dan kepincangannya orang orang yang menebar kebatilan
dan ta’wilnya orang - orang yang melampaui batas “ kemudian aku katakan
kepada Ahmad : sepertinya itu perkataan palsu , ia berkata : bukan , itu shahiih
, maka ku katakan padanya: dari mana engkau mendengarkan hadits ini? Ia
berkata : dari tidak sekedar seorang saja, aku berkata : siapa mereka ? Ia
berkata telah berkata kepadaku Miskiin dengan hadits ini hanya ia
mengatakan : Mu’aan dari Qasim bin Abdurrahman . Berkata Ahmad : Mu’an
bin Rifa’ah “laa ba’sa bih”, Syarafu Ashaabil Hadits halaman 29.
Dan ini disepakati oleh perkataan Ad Dzahaby : “ Mu’aan bukanlah ‘umdah terlebih
lagi ia datang datang- meriwayatkan hadits - dari satu orang yang tidak
diketahui siapa jati dirinya “, Miizaanul I'tidal 1/45.
Berkata Al Iraaqiy : “Hadits ini telah diriwayatkan secara muttashil dari riwayat
jamaa’ah kalangan sahabat 'Ali bin Abi Thaalib , Ibnu Umar , Abu Hurairah ,
Abdullah bin 'Amr , Jaabir bin Samurah , Abu Umaamah , semuanya adalah
lemah tidak ada dari riwayat itu semua sesuatu yang tsaabit dan juga yang bisa
menguatkan hadits mursal yang tadi disebutkan “.lihat Taqyiid wal Iidhah
halaman 139.
30
engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah ? Ia berkata :
benar . Maka beliau berkata : Wahai Bilal berikan pemberitahuan
kepada orang - orang bahwa supaya besuk mereka melakukan puasa
“80.
Sisi pendalilan dari hadits tersebut :
80 Poros hadits ini adalah pada Simak bin Harb dari Ikrimah muala Ibnu 'Abbas .
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar : “ Simaak bin Harb .... shaduuq dan riwayatnya
dari Ikrimah secara khusus adalah mudhtarib ( guncang) ia telah berubah
hafalannya di akhir umur dan kadang kadang ditalqin “. Taqriibut Tahdziib
halaman 255.
Dan rawi-rawi hadits ini dari Simaak , sebagiannya ada yang meriwayatkan secara
maushul dengan berkata : dari Simak dari Ikriimah dari Ibnu 'Abbas : “ Datang
Arab baduwi...”, dan sebagiannya ada yang meriwayatkan secara mursal dengan
berkata : “dari Simaak dari Ikrimah : “ Datang Arab baduwi kepada Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam ...”.
Dan di antara mereka ada yang kacau atasnya . Sehingga diriwayatkan dari jalurnya
ada yang maushul dan ada yang mursal .
2. Haazim bin Ibrahim AL Bajaly ( Berkata Ibnu 'Adiy : Aku berharap ia la ba’sa
bihi) Al Kaamil 2/850.
Dan riwayatnya dikeluarkan oleh :
a. Ad Daruquthny As Sunan 2/157, dari jalur Abu Qutaibah dari Haazim dari
Simaak...
b. At Thabaraany di Al Mu'jam Al Kabiir 11/295, dari jalur Muslim bin Ibrahim dari
Haazim dari Simaak ...
31
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menerima khabar orang Arab
baduwi dengan tanpa menguji ke’adaalahan sedikitpun selain dzahir
islamnya81 .
2. Para sahabat radhiallaahu 'anhum mereka mengamalkan khabar
para wanita dan para sahaya dan orang yang melakukan tahammul
terhadap hadits ketika masih bocah dan menyampaikannya ketika
3. Al Waliid bin Abdullah bin Abu Tsaur ( dha'if ) . Riwayatnya dikeluarkan oleh :
a. Abu Dawud di As Sunan 2/302. Dari jalur Muhammad bin Bukar bin Ar Rayyan .
b. At Tirmidzy di As Sunan 3/74, dari jalur Muhammad bin As Shabbaah .
c. Ad Daruquthny di As Sunan 2/158, dari Jalur ‘Abbad bin Ya’quub.
Sedangkan yang meriwayatkan dari Simaak secara mursal adalah Israil bin
Yunus bin Abi Ishaq As Sabi’iy , dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam
Al Mushannaf 3/67, dan terjadi perbedaan atas Sufyan At Tsaury dan Hammad
bin Salamah di dalam meriwayatkan dari Simaak .
Adapun Sufyan At Tsaury maka meriwayatkan hadits ini darinya dari Simaak dari
Ikrimah dari Ibnu 'Abbas secara maushuul dua orang rawi yakni :
sedangkan 5 dan 6 : Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Nu’aim Al Fadhl bin Dukkain
, disebutkan oleh Ad Daruquthny riwayat keduanya secara mursal di As Sunan
2/158,namun aku tidak mendapatinya .
32
masa baligh , dan mereka bersandar di dalam beramal dengan khabar-
khabar di atas dzahir islam 82 .
3. bahwa manusia tidaklah dibebani mengetahui perkara yang
tersembunyi darinya ,tetapi mereka hanya dibebani hukum dengan
yang dzahir ( tampak) dari perkara-perkara yang tidak tersembunyi
dari mereka83.
Sedangkan Hammad bin Salamah , maka yang meriwayatkan darinya adalah Musa
bin Ismail , akan tetapi terdapat perbedaan periwayatan darinya:
'Utsman bin Sa’id Ad Daarimy meriwayatkan dari Musa dari dari Hammad dari
Simaak dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas secara maushuul . Riwayatnya
dikeluarkan oleh Al Haakim di Al Mustadrak 1/424, dan melalui jalurnya Al
Baihaqy meriwayatkan di As Sunan Al Kubra 4/212, dan diselisihi oleh Abu
Dawud As Sijistany , karena ia meriwayatkan dari Musa dari Hammad bin
Salamah dari Ikrimah secara mursal di As Sunan 2/302, dan dari jalurnya
dikeluarkan oleh Ad Daruquthny di As Sunan 2/159, dan Al Baihaqy di As
Sunan Al Kubra 4/212.
Dan kesimpulannya adalah berikut ini:
1. irsal adalah riwayat Israail bin Yunus dari Simaak , dan itu adalah yang paling
kuat ditinjau dari dua sisi di riwayat Sufyan dari Simaak ketika meriwayatkan
darinya enam orang rawi dari murid-muridnya. Dan itu merupakan satu dari dua
sisi riwayat milik Hammad bin Salamah.
2. Sedangkan maushul adalah riwayat Zaidah bin Qudamah dan Haazim bin Ibrahim
dan Waliid bin Abdullah bin Abi Tsaur dari Simaak , dan itu adalah sisi yang
lemah di riwayat Sufyan , yakni ketika meriwayatkan darinya dua orang . dan
itu adalah sisi lain dari riwayat Hammad bin Salamah . Dan sisi mursal ini telah
dirajihkan oleh para imam. Di antara mereka adalah :
a. At Tirmidzy , karena ia telah mengeluarkan hadits ini dari Simaak melalui jalur
Al Waliid bin Abi Tsaur dan Zaidah bin Qudamah secara mushuul , kemudian ia
mengnashkan vonis mursal ketika mengatakan: “ Telah meriwayatkan Sufyan
At Tsaury dan yang lainnya dari Simaak dari Ikrimah dari Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam secara mursal . Dan sebagian besar murid Simaak mereka
meriwayatkan dari Simaak dari Ikrimah dari Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam secara mursal “ Sunan At Tirmidzy 3/75.
b. An Nasaa'i . ia mengeluarkan riwayat Al Fadhl bin Musa dari Sufyan dari Simaak
dengan hadits ini secara maushuul , kemudian ia mengeluarkan hadits dari
Ibnu Al Mubaarak dari Sufyan dari Simaak secara mursal seraya mengatakan :
dan inilah yang lebih aula sebagai yang benar karena Simaak ia di talqin –
hadits - dan tertalqiin sedangkan Ibnu Al Mubaarak lebih tsabit di dalam
riwayat Sufyan dari Al Fadhl. , lihat Nashbu Ar Raayah 2/ 443-444.
33
Dan yang rajih adalah madzhab jumhuur ulama karena itu merupakan
tuntutan ihtiyath (kehati-hatian) di dalam meriwayatkan . Karena
tujuannya adalah tautsiiq rawi bukan hanya mengenal saja .
Sedangkan pendapat-pendapat yang lain , maka memungkinkan
dijawab dengan uraian berikut ini:
Pertama : beberapa jawaban yang menyanggah pendapat pertama.
1. Berkata Khatiib Al Bagdady:
ً
يجوز أن يكون العدل ال يعرف عدالة من روى عنه فال تكون روايته عنه تعديال وال
ً
كي ههف و ق ههد ُوج ههد جماع ههة من، ب ههل ي ههروي عن ههه ألغ هراض يقص ههدها، خ ههبرا عن ص ههدقه
العدول الثقات رووا عن قوم أحاديث أمسكوا في بعضها عن ذكر أحوالهم مع علمهم
بأنها غير مرضية وفي بعضها شهدوا عليهم بالكذب في الرواية وبفساد اآلراء واملذاهب
“Boleh saja seorang yang adil tidak tahu 'adaalah ( ketaqwaan) orang
yang ia meriwayatkan hadits darinya , jadi tidaklah periwayatan
darinya merupakan bentuk ta’dil tidak pula merupakan bentuk
pengkhabaran mengenai kejujurannya, bahkan bisa jadi ia
meriwayatkan haditsnya karena alasan-alasan yang ia inginkan .
Bagaimana itu tidak mungkin , padahal disana juga didapati ada
jamaah dari kalangan orang-orang adil laqi tsiqah meriwayatkan dari
suatu kaum hadits -hadits yang sebagiannya mereka menahan diri
mengomentari keadaan rawi-rawinya padahal mereka tahu bahwa
riwayat tersebut tidak diridhai ,bahkan sebagiannya mereka
menyaksikan kedustaan dalam periwayatan dan juga kerusakan
pandangan dan madzhab-madzhab’’84.
2. Bahwa apa yang dihikayatkan Ad Dzahaby dari jumhur adalah
disanggah oleh Ibnu Hajar . Ia berkata :
34
ّ
نعم هههو حه ٌهق،صه ِّر ْح بههه أحههد من أئمههة النقههد إال ابن حبههان
َ وهههذا الههذي نسههبه للجمهههور لم ُي
ً ّ في
...حق من كان مشهورا بطلب الحديث واالنتساب إليه ِ
“ Madzhab yang dinisbahkan kepada jumhuur ini sama sekali tidak
ada ungkapan secara terang-terangan oleh kalangan para imam Naqd
kecuali Ibnu Hibban , dan hal itu adalah betul di haknya rawi yang
memang masyhur di dalam mencari ,dan menisbahkan diri kepada
hadits ... . 85
35
c. Sungguhpun jika dii’tibarkan maknanya sebagaimana makna
dzahirnya, maka mungkin saja itu dibawa kepada makna ghaalib
( umumnya ) orang - orang yang membawa ilmu ini karena mereka
adalah tempat yang kuat sangkaan 'adaalah ( ketaqwaan) 89 .
Ke tiga , beberapa jawaban untuk dalil-dalil pendapat ke empat.
1. perihal hadits Ibnu 'Abbas maka dijawab dengan uraian berikut:
a. Ditinjau dari sisi isnadnya maka para imam mereka merajihkan
mursal 90.
b. Sedangkan dari sisi istidlal - seandainya statusnya tsaabit (shahiih)
– maka mengandung kemungkinan bisa jadi khabar orang Arab
baduwi tersebut terjadi ketika tidak lama setelah ia masuk islam , dan
pada waktu itu suci dari setiap dosa karena islam menghapus dosa-
dosa sebelumnya.
2. Khatiib Al Bagdady memberikan sanggahan mengenai i’timadnya
sebagian shahabat – Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam – dalam
beramal bersandar pada khabar-khabar dengan sebatas dzahir islam –
rawi yang membawa berita - . ia berkata :
ّ
وال نعلم الصحابة قبلوا خبر أحد إال بعد اختبار حاله والعلم،هذا غير صحيح
ُ
وهه ه ههذه صه ه ههفة جميه ه ه ِهع أزواج النه ه ههبي، وصه ه ههالح طرائقه ه ههه، واسه ه ههتقامة مذاهبه ه ههه،بسه ه ههداده
َ ّ وغه هr
وكه ه ِ ّهل ُمت َح َّم ٍل للحه ههديث عنه ههه صه ههبيا ثم رواه،هيرهن من النسه ههوة الالتي روين عنه ههه
خبره في أحكام الدين ُ عبد ُقب َل ّ ،كبيرا
ِ ٍ وكل ِ
“ Ini tidak benar , kami tidak mengetahui shahabat ada yang menerima
khabar seorang kecuali setelah menguji , mengetahui kejujuran dan
istiqamah keadaannya, keshalihan madzhabnya . Dan inilah sifat
seluruh istri-istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan selain mereka
dari kalangan para wanita yang mereka meriwayatkan dari beliau
2/129.
89 Fathul Mughiits 1/295.
90 Mengenai takhrij hadits bisa dilihat di catatan kaki sebelumnya .
36
shallallaahu 'alaihi wasallam dan juga orang-orang yang melakukan
tahammul hadits dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam ketika masih
kecil kemudian meriwayatkannya ketika dewasa dan ,setiap budak
yang diterima khabarnya di dalam perkara hukum-hukum agama”91.
Kemudian ia berkata :
يدل على صحة ما ذكرناه أن عمر بن الخطاب ّرد خبر فاطمة بنت قيس في إسقاط ّ
ً ّ ّ
مع ظهور إسالمها واستقامة أمرها،نفقتها وسكناها ملا طلقها زوجها ثالثا
37
Ahli ilmu berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi beberapa
pendapat , dan yang paling masyhur adalah sebagai berikut:
1. Pendapat kebanyakan ulama dari kalangan ahli hadits dan yang
lainnya : bahwa riwayat orang yang adil terhadap hadits orang yang ia
meriwayatkan darinya tersebut tidak dimaknai dengan ta’dil. Dan
alasannya adalah : bisa jadi seorang yang adil meriwayatkan dari
orang yang tidak adil ,jadi riwayatnya dari orang yang tersebut tidak
mengandung makna ta’dil .
2. Pendapat sebagian ahli hadits dan sebagian pengikut madzhab As
Syafi'iy : bahwa riwayat orang yang adil adalah merupakan ta'dil
terhadap orang yang ia riwayatkan hadits darinya. Dan alasannya
adalah : karena riwayat mengandung makna ta'dil 93dari sisi alasan
bahwa orang yang adil seandainya ia tahu perihal jarh orang yang ia
meriwayatkan hadits darinya tentu akan menyebutkannya supaya
tidak menjadi bentuk penipuan di dalam agama94.
3. Pendapat yang ke tiga : jika orang yang adil tersebut diketahui tidak
meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah maka periwayatannya
adalah bentuk tautsiiq terhadap rawi yang ia meriwayatkan hadits
tersebut darinya, namun jika tidak maka tidak dimaknai dengan
tautsiiq95.
Berkata As Sakhaawy :
“ Rincian seperti ini lah yang benar menurut ahli ushul seperti As Saif
Al Aamidy dan Ibnu Haajib dan yang lainnya bahkan telah
93 'Uluumul Hadits hal 225.
94 'Uluumul Hadits 225.
95 Ikhtishar Uluumil Hadits hal 80, fathul Mughiits 1/313.
38
berpendapat seperti ini sekelompok dari ahli hadits dan kepada
pendapat inilah kecenderungan Syaikhaini dan Ibnu Khuzaimah di
dalam kitab shahiih mereka dan juga Al Haakim di AL Mustadrak ...”
96
.
Dan pendapat ke dua bisa disanggah dengan uraian sebagai berikut:
a. Kemungkinan rawi tersebut tidak tahu 'adaalah ( ketaqwaan) orang
yang ia meriwayatkan darinya dan juga tidak tahu ihwal jarhnya97.
b. Sesungguhnya riwayat adalah sebatas ta’rif ( mengenalkan) yang
membuka kemajhuulan ‘ain dengan syaratnya ,sedangkan 'adaalah
( ketaqwaan) hanya bisa diketahui dengan khibrah sebagaimana yang
dikatakan oleh Abu Bakar As Shairafy 98.
Dua perkara di atas tidak mengena pendapat yang ke tiga , karena rawi
tersebut dikenal dengan seleksi syaikh. Oleh karena itu berkata Ibnu
Hajar :
ّ ُ
رجل ُو ِصف بكونه ثقة
ٍ فٍإنه إذا روى عن،من ع ِرف من حاله أنه ال يروي إال عن ثقة
وابن مهدي وطائفة ممن بعدهم، والقطان، وشعبة، كمالك،عنده
39
Ketiga : jika seorang alim mengamalkan atau
berfatwa putusan yang menyepakati suatu
hadits , apakah yang demikian itu merupakan
bentuk tashiih terhadap hadits tersebut dan
sekaligus ta'dil terhadap rawi-rawinya?
إذا عمل العالم بخبر من روى عنه ألجله فٍإن ذلك تعديل له يعتمد عليه
40
“ Amalan seorang alim ataupun fatwanya yang menyepakati hadits
tidaklah merupakan hukum penshahihan terhadap hadits tersebut -
olehnya- “103.
Berkata Ibnu Katsiir :
أو تعرض لالحتجاج به في فتياه.إذا لم يكن في الباب غير ذلك الحديث:وفي هذا نظر
أو استشهد به عند العمل بمقتضاه.أو حكمه
41
pernyataan Ibnu Shalah ketika suatu amalan menyepakati suatu hadits
tertentu.
Adapun jika amalan seorang alim menyelisihi hadits yang ia
riwayatkan pakah hal itu dimaknai mencacat terhadap keshahihannya
atau bentuk jarh terhadap rawinya?
Berkata Khatiib Al Bagdady :
ً ً
لم يكن ذلك،ي حكما من األحكام فلم يعمل به/إذا روى رجل عن شيخ حديثا يقتض
ً
جرحا منه للشيخ
42
2. Atau karena dihapus hukumnya ( atau mansukh) menurutnya .
3. Atau karena mengamalkan qiyas adalah lebih utama menurutnya109.
Berkata Al Khatiib :
ً
وإذا احتمل ذلك لم نجعله قدحا في راويه
من كثر غلطه من املحدثين ولم يكن له أصل كتاب صحيح لم نقبل حديثه
“ Siapa yang banyak kelirunya dari kalangan ahli hadits dan ia tidak
memiliki ashl kitab yang shahiih maka tidak diterima haditsnya “113.
43
2. Menguji rawi dengan bermacam-macam cara 114. Diantaranya :
a. Dibacakan kepadanya hadits yang disisipi isi riwayatnya untuk
diperhatikan apa rawi tersebut menyadarinya atau ia menerima saja ?
Sebagimana yang dilakukan Yahya Bin Ma'in ketika menguji Abu
Nu’aim Al Fadhl bin Dukain 115.
b. Membolak-balik sanad dengan menyusunnya tidak pada matan-
matan haditsnya . Sebagaimana yang dilakukan oleh ahli hadits
Bagdad ketika mereka menguji hafalan Al Bukhaary116 .
Menguji seperti ini adalah diperselisihkan para ahli ilmu dalam boleh
atau dilarangnya , Yahya bin Said Al Qatthan berkata :
ّ
ال أستحله
44
dengan itu dapat diketahui tingkatan rawi-rawi di dalam dhabt dengan
singkat waktu, dengan syarat tidak melakukan terus-menerus ,bahkan
mengakhirinya ketika selesai kebutuhan121.
45
1. Madzhab jumhuur :
129
Diterima ta'dil mubham dan tidak diterima jarh kecuali mufassar .
Itu karena berikut :
a. Karena sebab-sebab ta'dil banyak sekali dan berat untuk disebutkan.
Seandainya mu’addil130 dibebani menyebutkan, tentu lazim baginya
berkata : rawi tersebut melakukan ini itu seraya menghitung yang
mana wajib bagi mu’adal131 melakukannya, dan juga meninggalkan ini
itu seraya menghitung yang mana wajib bagi mu’adal
meninggalkannya132. Berbeda keadaanya dengan jarh karena ia
terhasilkan dengan satu kasus saja133.
b. Karena berbeda-bedanya manusia dalam alasan menjarh. Bisa jadi
sebagian mereka menyematkan jarh karena didasari perkara yang
diyakininya merupakan jarh padahal sebenarnya bukan134. Terlebih
lagi jika Imam tersebut mutasyaddid , muta’annit yang mana ia biasa
menjarh rawi dengan sesuatu yang bukan merupakan sebab-sebab jarh
menurut yang lain135. Dengan menyebutkan sebab akan menepis
kemungkinan seperti ini dan menampakkan dengan jelas jarh tersebut
qaadih atau ghairu qaadih136.
2. Pendapat ke dua : Diterima jarh secara mubham dan tidak diterima
ta'dil kecuali secara mufassar 137.
Dan itu dengan alasan berikut:
46
a. Karena jarh hanya diambil dari imam yang tahu dengan sebab-
sebab jarh dan ta'dil 138.
b. Karena sebab-sebab ta'dil banyak dibuat-buat dan ditampak-
tampakkan dan kadang orang yang menta’dil bersegera memuji karena
tertipu dengan dzahir keadaan 139.
3. Pendapat ketiga : Keduanya tidak diterima kecuali secara mufassar .
Demikian dengan alasan yang telah tadi disebutkan dari pensyaratan
menafsirkan140 jarh terlebih lagi jika dipadu dengan perselisihan
pandang orang - orang di alasan yang menyebabkan rawi dita’dil.
Kadang mu’adil mentautsiiq rawi dengan alasan yang bukan
merupakan ciri 'adaalah ( ketaqwaan)141 .
4. Pendapat ke empat : Keduanya diterima secara mubham 142 . Hal itu
dengan uraian yang telah lalu dari alasan diterima keduanya meskipun
secara mubham.
5. Pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar : diterima ta'dil secara mubham dan
dirinci di dalam penerimaan jarh dengan beberapa ketentuan berikut :
a. jika rawi yang terjarh secara mujmal tersebut ternyata ditautsiiq
oleh salah satu dari kalangan para imam yang memang berkecimpung
di dalam ilmu ini, maka tidak bisa diterima jarh mengenai rawi
tersebut dari siapapun orangnya kecuali secara mufassar. Karena telah
138 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 178.
139 Diantara contoh itu adalah perkataan imam Malik ketika ditanya perihal
periwayatannya dari Abdul Kariim bin Abi Al Mukhaariq : “ seringnya ia duduk
di masjid telah membuatku tertipu “.
140 Menjelaskan.
141 Diantara yang demikian adalah apa yang diriwayatkan Ya’qub bin Sufyan ia
berkata : aku pernah mendengan seseorang berkata kepada Ahmad bin Yunus : “
Abdullah Al ‘Umary dha'if ? Ia berkata : yang mendha’ifkannya adalah seorang
rafidhy yang sangat benci dengan bapak-kakeknya , seandainya engkau lihat
jenggotnya dan juga khidhabnya ( semiran warna pada jenggot atau
rambut) ,keadaannya sungguh engkau akan tahu ia adalah tsiqah”. Al Ma’rifah
wa At Taarihk 2/665. , lihat Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 165,
fathul Mughiits 1/302 .
47
tetap baginya martabat tsiqah jadi tidak bisa diturunkan dari derajat
tersebut kecuali dengan alasan yang jelas143.
Dan pendapat ini diambil dari perkataan imam Ahmad :
كل رجل ثبتت عدالته لم يقبل فيه تجريح أحد حتى يبين ذلك عليه بأمر ال يحتمل
غير جرحه
48
qaadih 150 toh jahalah ihwal rawi tersebut juga menghalangi untuk bisa
dipakai berhujjah151.
“Kami tidak meminta penjelasan jarh dari setiap orang ,tetapi kami
hanya menuntut penjelasan ketika keadaan menuntut ragu, bisa karena
perbedaan dalam ijtihad atau karena tuduhan ringan dari yang menjarh
atau yang semacamnya dari hal-hal yang tidak mengharuskan gugur
qoul orang yang menjarh dan tidak selesai 152 dengan mengambil
i'tibar perkataannya secara mutlak bahkan -ditempuh -pertengahan”.
Adapun jika tertiadakan prasangka-prasangka dan kecurigaan,di sisi
lain orang yang menjarh adalah habr al ummah 153, yang terbebaskan
150 Mencederai.
151 Lisaanul Miizan 1/16.
152 Maksudnya mencukupkan diri ...
153 Tokoh umat dalam fan jarh wat ta'dil .
49
dari kecurigaan (tuduhan) atau orang yang terjarh adalah orang yang
masyhuur dengan dha'if , ditinggalkan oleh oleh para kritikus hadits
maka kita tidak perlu mempertimbangkan secara seksama ketika
)dijarh juga tidak meminta yang menjarh menjelaskan alasan( tafsir
nya. Bahkan meminta penjelasan dari orang yang menjarh – dengan
keadaan rawi seperti ini – adalah ghibah dan tidak ada hajat dengan
hal itu.
ورد حديثهم على الكتب التي ولقائل أن يقول :إنما يعتمد الناس في جرح الرواة ّ
ّ ّ
ص ههنفها أئم ههة الح ههديث في الج ههرح أو في الج ههرح والتع ههديل ،وقلم هها يتعرض ههون فيه هها لبي ههان
الس ههبب ،ب ههل يقتص ههرون على مج ههرد ق ههولهم :فالن ض ههعيف ،وفالن ليس بش هه /يء ...ونح ههو
ذل ههك ،أو ه ههذا ح ههديث ض ههعيف ،وه ههذا ح ههديث غ ههير ث ههابت ...ونح ههو ذل ههك ،فاش ههتراط بي ههان
وسد باب الجرح في األغلب األكثر. السبب يفض/ي إلى تعطيل ذلك ّ
قههال :وجوابههه أن ذلههك وإن لم نعتمههده في إثبههات الجههرح والحكم بههه ،فقههد اعتمههدناه في
أن توقفنهها عن قبههول حههديث من قههالوا فيههه مثههل ذلههك ،بنههاء على أن ذلههك أوقههع عنههدنا
مثلهه هها ّ ُ ُ ُ
التوقه ههف ،ثم من ان ه هزاحت عنه ههه الريبه ههة منهم ببحث عن هوجب
فيهم ريبه ههة قويه ههة هيه ِ
حاله ه ههه أوجب الثقه ه ههة بعدالته ه ههه قبلنه ه هها حديثه ه ههه ولم نتوقه ه ههف كاله ه ههذين احتج بهم صه ه ههاحبا
مسهم مثل هذا الجرح من غيرهم الصحيحين وغيرهما ممن ّ
50
mencukupkan sebatas berkata : fulan dha'if , fulan laisa bisyai’ ...dan
yang semacam itu , atau perkataan ini adalah hadits dha'if , ini adalah
hadits yang tidak tsaabit ,.. dan semacam itu . Jadi pensyaratan
menjelaskan sebab akan berdampak membuang itu semua dan
menutup pintu jarh di secara umum dan kebanyakan”.
Ia berkata : “ Dan jawabannya : seperti itu, biarpun kita tidak
bersandar di dalam menetapkan jarh dan memvonis hukum dengannya
kita tetap bersandar padanya dalam bertawaqquf untuk tidak
menerima hadits orang yang mereka katakan dengan penilaian
seperti itu dibangun di atas alasan bahwa seperti itu membuat kami
merasa ragu mengenai mereka dengan keraguan yang sangat yang
mana memaksa kami tawaqquf dengan hal semacam itu. Kemudian
orang yang tidak ada keraguan mengenainya melalui mencari ihwal
jati dirinya, mewajibkan tsiqah atas ihwal 'adaalah ( ketaqwaan) nya ,
maka kami terima haditsnya dan kami tidak bertawaqquf . mereka
adalah seperti rawi-rawi yang dijadikan hujjah oleh dua penyusun
kitab shahiih dan lainnya dari sederetan rawi-rawi yang terkena model
jarh seperti ini dari mereka.
Dan jawaban seperti ini disanggah dengan uraian berikut ini:
1. Perkataan Al Hafidz Ibnu Katsiir :
ً َّ
أما كالم هؤالء اآلئمة املنتصبين لهذا الشأن فينبغي أن يؤخذ مسلما من غير ذكر
واتصه ههافهم، واطالعهم واضه ههطالعهم في هه ههذا الشه ههأن، وذله ههك للعلم بمعه ههرفتهم،أسه ههباب
باإلنصه ههاف والديانه ههة والخه ههبرة والنصه ههح؛ ال سه ههيما إذا أطبقه ههوا على تضه ههعيف الرجه ههل أو
ِ
ً ً
فاملحدث املاهر ال يتخالجه في مثل هذا وقفههة في. أو نحو ذلك... أو كذابا،كونه متروكا
وله ههذا يق ههول الش ههافعي في كث ههير من كالم ههه على.م ههوافقتهم لص ههدقهم وأم ههانتهم ونص ههحهم
ويرده وال يحتج به بمجرد ذلك ّ ." "ال يثبته أهل العلم بالحديث:األحاديث
51
akan ma’rifah ( pengetahuan ), pengamatan, dan pengkajian mereka di
dalam ilmu ini, juga keinshafan , diyanah , khibrah( pengalaman) ,
dan keikhlasan mereka . Terlebih lagi ketika mereka melakukan vonis
mendha’ifkan seseorang atau menyematkan matruk pada haqnya atau
kaddzaab ( pendusta) atau yang semacamnya . Seorang muhaddits
yang mahir tidak akan bimbang dalam pendapatnya di dalam semisal
perkara ini karena kejujuran ,amanah, dan ketulusan mereka.
Oleh karena itu As Syafi'iy berkata di banyak perkataannya ketika
mengomentari hadits -hadits : “ Ini tidak ditetapkan ketsabitannya
oleh ahli ilmu hadits”. Ia kemudian menolak dan tidak berhujjah
dengan hadits tersebut dengan sebatas alasan seperti itu”.
2. Perkataan Al Hafidz Ibnu Hajar :
ً ُ
إن خال املجروح عن التعديل ق ِب َل الجرح فيه مجمال غير مبين السبب إذا صدر من
عارف
“ jika orang yang terjarh kosong dari ta'dil maka jarh pada orang
tersebut yang bersifat mujmal tidak dijelaskan sebab-sebabnya adalah
diterima jika datang dari seorang yang arif ( berpengetahuan) “.
Dengan itu menjadi terbatas ihtimal (kemungkinan) gugurnya
keraguan di haknya orang yang di-tsiqahkan oleh para imam dan
didha’ifkan yang lain selain rawi yang mereka sepakat kedha’ifannya
atau kosong dari ta'dil tapi terdapat jarh padanya.
52
FASAL KE DUA
Pertentangan Jarh Dan Ta'dil
Pertentangan dan ta'dil ada dua gambaran :
1. Pertentangan datang dari dua imam atau lebih.
2. pertentangan datang dari satu orang imam .
Dan yang dimaksudkan dengan jarh di pembahasan ini adalah jarh
mufassar . Jika jarh mufassar bertentangan dengan ta'dil yang mana
muncul dari dua imam atau lebih , maka madzhab jumhur adalah
mendahulukan jarh154 dari pada ta'dil secara mutlaq 155 sungguhpun
jumlah orang yang menta’dil melebihi orang yang menjarh atau lebih
sedikit atau sama156.
Seperti itu karena orang yang menjarh memiliki ilmu lebih perihal
sesuatu yang tidak nampak pada rawi yang mana tidak dicermati oleh
orang yang menta’dil . Yang menjarh membenarkan yang menta'dil di
53
keadaan yang tampak ( dzahir) sekaligus menjelaskan keadaan rawi
yang tidak tampak157.
Di sisi lain ada tiga pendapat yang lain di situasi apabila jumlah orang
yang menta'dil melebihi jumlah orang yang menjarh , yaitu sebagai
berikut :
1. Apa yang dihikayatkan oleh Khatiib Al Bagdady dari kelompok ahli
ilmu , bahwa didahulukan ta'dil daripada jarh158 .
Demikian karena banyaknya orang yang menta'dil menguatkan ihwal
jati diri mereka dan mewajibkan beramal dengan khabar mereka ,
karena jumlah yang banyak adalah memberikan faidah ghalabatut
dzan ( kemungkinan besar ) bahwa hukum mereka adalah yang tetap
( di atas kenyataannya ) sedangkan sedikitnya orang yang menjarh
melemahkan khabar mereka159.
2. Apa yang dihikayatkan oleh Al Bilqiiny yakni : didahulukan
pendapat orang yang lebih ahfadz160 dari antara kalangan ulama yang
berselisih .
Dan memungkinkan dijelaskan dengan – uraian sebagai berikut-:
karena para imam tidaklah sederajat kedudukannya di dalam menelaah
keadaan-keadaan para rawi secara umum , di antara mereka ada yang
berbicara menngomentari keadaan di kebanyakan ( hampir secara
umum ) para rawi seperti Ibnu Ma’in , Abu Hatim . Sebagian mereka
ada yang berbicara mengomentari banyak rawi seperti Imam Malik
Syu’bah bin Al Hajjaj ,dan sebagian mereka ada yang mengomentari
orang per orang seperti Sufyan bin Uyainah dan juga Imam As
Syafi'iy161 . Sehingga tidak menutup kemungkinan pada sebagian
mereka ada yang lebih banyak pengetahuannya perihal seorang rawi
secara khusus.
54
3. Apa yang dihikayatkan oleh As Sakhawy dari Ibnu Haajib , yakni :
keduanya saling bertentangan jadi tidak didahulukan salah satu dari
pendapat dari yang lain kecuali dengan murajjih ( penguat)162 .
Demikian adalah karena pada orang yang menta'dil ada tambahan
kekuatan dengan sebab banyaknya jumlah mereka , sedangkan
bersama orang yang menjarh ada tambahan kekuatan dengan sebab
penelaahan dari sisi batin (yang tidak tampak)163.
Dan yang rajih : Secara asal adalah mendahulukan jarh mufassar
daripada ta'dil , akan tetapi tidak diaplikasikan secara mutlak bahkan
direlkan pada dhabt – dhabt jarh dan ta'dil ( sebagaimana akan segera
datang dengan pertolongannya Allah ta'aala ) .
Adapun jika saling bertentangan jarh mubham dan ta'dil maka As
Sakhaawy menghikayatkan dari Abu Al Hajjaj Al Mizzy dan yang lain
bahwa ta'dil lebih didahulukan dari pada jarh mubham 164, tetapi hal itu
juga tidak secara mutlak juga. Karena tautsiiq imam yang melakukan
tasaahul 165 tidak didahulukan daripada jarh imam yang inshaf 166.
162 Fathul Mughiits 1/308, sedangkan nash ungkapan Ibnu Hajib sendiri adalah : “
Adapun jika ia menta’yin sebab dan ditolak oleh Mu’addil secara yakin
kemudian menjadi bertentangan maka tarjih. Muntaha As Suaal Wa Al Amal
halaman : 80.
163 Fathul Mughiits 1/308.
164 Fathul Mughiits 1/307.
165 Bermudah-mudah dalam memberikan komentar.
166 Berada pada pertengahan.
55
Di antaranya adalah perkataan Abbas Ad Dauriy ketika mengomentari
Tsawab bin ‘Atabah :” Aku pernah mendengar Yahya berkata : شيخ
صههدقsyaikhun shidqun , dan sungguh dulu aku pernah meriwayatkan
dari Abu Zakariya ( Yahya Bin Ma'in ) : “ فيه شيئاfiihi Syaian” bahwa
ia adalah dha'if . Dan Abu Zakariya telah ruju’ dan inilah perkataan
yang paling akhir dari pendapatnya “167.
56
ditanya perihal rawi tadi secara sendirian maka menjelaskan ihwalnya
secara pertengahan ( adil ) .
'Utsman Ad Darimi pernah bertanya kepada Yahya Bin Ma'in perihal
Al ‘Alla’ bin Abdurrahman riwayatnya dari ayahnya? Maka ia
menjawab : laisa bihi ba’sun ( )ليس به باس, ia kemudian bertanya : dia
kah yang lebih engkau sukai atau Sa’id Al Maqbury ? Ia menjwab :
Sa’id lebih tsiqah sedangkan Al ‘Alla’ dha'if169 .
Komentar dha'if Yahya Bin Ma'in tentang Al ‘Alla’ adalah ditinjau
dari jika dibandingkan dengan Said Al Maqbury dan bukanlah
pendha’ifan secara mutlak170.
b.Jika tidak memungkinkan diambil langkah menjamak
( mengompromikan ) , maka dicari tarjih antara dua pendapat tadi
dengan menggunakan qarinah-qarinah171. Seperti halnya jika sebagian
murid sang Imam lebih banyak mulaazamah dari pada yang lain ,
maka didahulukan riwayat murid yang mulaazim dibandingkan
dengan riwayat lain. Sebagaimana kasus di dalam mendahulukan
riwayat Abbas Ad Daury dari Ibnu Ma’in karena lamanya ia
bermulazamah172.
c. Jika tidak didapati indikasi khusus yang menguatkan maka diambil
yang paling dekat perkataannya untuk dibandingkan dengan pendapat-
pendapat ahli naqd dan secara khusus perkataan-perkataan para imam
yang mu’tadil.
d. Jika langkah-langkah tersebut tidak bisa ditempuh semua, maka
tawaqquf sampai tampak murajjih( penguat) .
169 Tarikh 'Utsman bin Sa’id Ad Daarimy dari Abu Zakariya Yahya Bin Ma'in 173-
174.
170 Lihat fathul Mughiits 1/377.
171 Maksudnya penguat-penguat dari jalur luar.
172 Dan di antara qarinah-qarinah tarjih juga : banyaknya orang yang menukil satu
di antara dua perkataan yang diriwayatkan dari seorang imam ,dan kekuatan
satu di antara dua perkataan tadi yang diriwayatkan lebih shahiih sanadnya
bersambung kepada sang imam dari perkataan yang lainnya.
57
Dan Di Antara Dhabt- Dhabt Perbedaan Di Jarh
Dan Ta'dil :
Asal yang mu'tabar ketika terjadi pertentangan jarh dan ta'dil adalah
mendahulukan jarh mufassar daripada ta'dil,dan mendahulukan ta'dil
dari jarh mubhan . Namun asal ini ditaqyid dengan dhawaabit 173 yang
bermacam-macam -bisa dijumpai di perkataan perkataan a`immah
ketika dibanding- bandingkan perndapat yang berbeda-beda di tautsiiq
rawi dan tadh'iifnya.
Dan yang paling pentingnya adalah sebagai berikut:
1. Mengambil i'tibar terhadap manhaj a`immah di dalam jarh dan
ta'dil mereka , karena mereka terbagi menjadi tiga , yakni sebagai
berikut:
a. Seorang yang muta’annit dalam menjarh dan mutatsabbit di dalam
ta'dil ,yang menenggelamkan174 rawi dengan sebab -cuma karena- dua
tiga kesalahan, melayyinkan175 haditsnya karena itu . Diantara mereka
adalah : Syu'bah bin Al Hajjaj ( wafat : 160 H) , Yahya bin Sa’id Al
Qhatthan( wafat 198 H) , Yahya Bin Ma'in ( wafat 233 H), Abu Hatim
Ar Raazy ( wafat 277 H).
b. Orang -orang yang pertengahan di dalam tautsiiq dan adil dalam
mejarh . Di antara mereka : Sufyan At Tsaury (wafat 161),
Abdurrahman Bin Mahdi (wafat 198 H),Imam Ahmad (wafat 241 H),
Al Bukhaary (wafat 256 H) Abu Zur'ah Ar Raazy (wafat 264), Ibnu
'Adiy (wafat 365 H), Ad Daruquthny (wafat 385).
c. Dan orang - orang yang mutasaahil 176semisal: Abu Al Hasan
Ahmad bin Abdullah Al ‘Ijly177 (wafat 261 H), Abu Isa At Tirmidzy
(wafat 279 H), Ibnu Hibban (wafat 354 H) Ad Daruquthny (wafat 385
173 Kaidah.
174 Maksudnya menenggelamkan ketsiqahan rawi .
175 Maksudnya mendha'ifkan .
176 Bergampang-ganpang.
177 Berkata Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimy : “Tautsiiq Al
‘Ijliy ,dengan istiqra’ engkau akan mendapati sama halnya dengan tautsiiq Ibnu
Hibban atau lebih luas darinya” , Anwaarul Kaasyifah halaman 72.
58
H)kadang-kadang178, Abu Abdullah Al Haakim (wafat 458 H), Abu
Bakar Al Baihaqy (wafat 458 H).
Faidah dari pembagian ini adalah bisa melihat pendapat-pendapat para
imam ketika menghendaki menetapkan vonis status rawi . Jika datang
tautsiiq dari mutasyaddid maka tautsiiq tersebut hendaknya ia
pertahankan kuat-kuat dengan geraham karena mereka sangat ketat
bertatsabbut di tautsiiq kecuali pada situasi menyelisihi ijma'
( kesepakatan ulama) yang menetapkan tadh'iif rawi ,atau menyelisihi
jarh mufassar (yang memang merupakan jarh) , maka didahulukan
daripada tautsiiq . Namun jika mereka menjarh seseorang dari
kalangan rawi-rawi , maka dilihat dulu: adakah seseorang yang
menyepakatinya dalam jarh tersebut -atau tidak-? Jika ada yang
Tasaahul Ibnu Hibban adalah dipengaruhi oleh kaidahnya yang telah terdahulu
penyebutannya : “ Adil adalah rawi tidak dikenal padanya jarh “. Dan ini
mengkonsekuensikan mentautsiiq banyak sekali dari rawi-rawi majhul hal
menurut kriteria ulama lainnya . Lihat Lisaanul Miizan 1/14.
Memperjelas kalam Mu’alimi ihwal tautsiiq Al ‘Ijliy : perkataan ‘Abdul ‘Aliim Al
Bustawiy : “ ...Telah jelas bagiku setelah sebelumnya melakukan dirasah
( pembelajaran) biografi banyak dari rawi-rawi bahwa Imam Al ‘Ijliy sering
bersepakat dengan Ibnu Hibban di dalam mentautsiiq orang - orang yang
disebut Abu Hatim dan yang lainnya dengan statu majaahil ( rawi-rawi majhul)
atau yang mereka mendiamkannya dan Al ‘Ijliy memastikan ketsiqahan mereka.
Akan tetapi ia dia berbeda dengan Ibnu Hibban di : bahwa Ibnu Hibban
mutasyadid dan muta’annit di dalam menjrh beda dengan Al ‘Ijliy yang mana ia
tasaamuh dengan para rawi-rawi dha'if juga sehingga menggelari mereka
dengan martabat ( tingkatan yang ) lebih tinggi dari yang telah disematkan pada
mereka oleh para kritikus rawi yang lain. Tasaahulnya Al ‘Ijliy akan tampak
pada perkara-perkara berikut ini:
Pertama, ia memutlakkan kata tsiqah untuk rawi shaduuq dan yang lebih rendah
kedudukannya .
Kedua, memutlakkan kata la ba’sa bihi kepada rawi yang dha'if .
Ketiga, memutlakkan kata dha'if kepada rawi yang dha'if jiddan atau matruuk.
Ke empat , mentsiqahkan rawi majhuul hal dan yang tidak ada yang meriwayatkan
darinya kecuali seorang saja ( tahqiiq kitab ma’rifati At Tsiqaat 1/125-127.
178 Batasan ini disebutkan oleh Ad Dzahaby . Lihat Al Muqidzah halaman 83,
memperjelas hal ini adalah yang dinuqilkan As Sakhawiy dari perkataan Ad
Daruquthny : “ orang yang diriwayatkan haditsnya oleh dua tsiqah maka
menjadi terangkat jahalahnya dan menjadi tetap ‘adaalahnya “. fathul Mughiits
1/320.
59
menyepakati dalam tadh'iif tersebut dan kebetulan ia tidak ditautsiiq
oleh seorangpun dari para pakar hadits maka ia dha'if . Namun jika
tidak ada yang menyepakati dalam tadh'iif maka perkataannya tidak
di ambil secara mutlak begitupun tidak ditolak secara mutlak. Bahkan
jika apabila tautsiiq alim mu'tabar menyelisihinya maka jarh tersebut
tidak diterima kecuali jika mufassar. Jika Ibnu Ma’iin berkata
mengomentari rawi: ia dha'if , maka tidak bisa mencukupkan dengan
mengatakan sebatas itu dengan tanpa menerangkan sebab jika lainnya
mentsiqahkannya. Bahkan rawi tersebut ditawaqqufkan dulu dari
dikatakan haditsnya shahiih dan ia lebih dekat ke jajaran rawi hasan
sebagaimana dikatakan Ad Dzahaby179 .
Jika datang tautsiiq dari ulama mutasaahilin maka perlu dilihat
dulu ,apakah tautsiiq ulama tersebut disepakati seseorang dari
a`immah yang lain atau tidak ? Jika ada yang menyepakati pendapat
mereka maka bisa diambil perkataan mereka. Namun jika bersendirian
dengan tautsiiq tersebut maka tidak bisa diterima begitu saja , karena
diantara kebiasaan Ibnu Hibban180 adalah mentautsiiq para majaahil181.
Adapun jarh maka para ulama tidak ada yang sepakat dalam satu
manhaj . Bahkan di antara mereka ada yang mutasaahil terhadap rawi-
rawi dha'if seperti Al ‘Ijly182. Sebagian mereka juga ada yang ta’annut
juga seperti Ibnu Hibban , dengan sebab itu, Ad Dzahaby mengkritik
sikapnya tersebut di banyak tempat183.
179 Lihat Dzikru Man Yu’tamadu Qouluhu Fi Al Jarh Wat Ta'diil halaman 158-159.
180 Beliau adalah satu diantara ulama yang mutasaahil.
181 Rawi-rawi yang tidak dikenal ( majhul). Dan tautsiiq Ibnu Hibban ada lima
tingkatan akan segera penyebutannya .
182 Lihat halaman sebelumnya .
183 Di antara kritika Ad Dzahaby yang dari kitab Miizaanul I'tidal ketika
mengomentari jarh Ibnu Hibban :
a. Perkataannya di tarjamah Aflah bin Sa’id Al Madaniy: “ Ibnu Hibban kadang
kadang mencaci orang tsiqah sampai sampai seolah tidak sadar apa yang telah
keluar dari kepalanya “, 1/274.
b. Dan perkataannya di biografi Sa’id bin Abdurrahman Al jumahiy : “ Adapun Ibnu
Hibban maka ia adalah khassaaf dan qusshab ( bermudah-mudah dalam
menenggelamkan orang - orang tsiqah dan banyak memaki)“1/148.
60
Adapun orang yang mu’tadilun yang munsif ,mereka dijadikan
sandaran perkataan-perkataan mereka di dalam menghukumi rawi-
rawi baik jarh maupun ta'dil selama tautsiiq mereka tidak berbenturan
dengan jarh mufassar yang independen dari ta’annut, dan tasyaddud
maka pada situasi demikian didahulukan daripada tautsiiq .
2. Setiap dari tabaqat kritikus rawi-rawi hadits tidak nihil dari orang -
orang mutasyaddid ( berlebih lebihan) dan mutawashith ( pertengahan
).
Di tabaqat pertama : Syu'bah bin Al Hajjaj dan Sufyan At Tsaury ,dan
Syu'bah adalah yang paling parah tasyaddudnya.
Di tabaqat kedua : Yahya Al Qatthan dan Abdurrahman bin Mahdi ,
Yahya lebih parah tasyaddudnya dari pada Abdurrahman .
Di tabaqat ketiga : Yahya Bin Ma'in dan imam Ahmad. Dan Yahya
lebih mutasyaddid daripada Ahmad .
Di tabaqat ke empat : Abu Hatim Ar Raazy dan Al Bukhaary . Dan
Abu Hatim adalah lebih mutasyaddid daripada Al Bukhaary 184.
Dan faidah dari mengetahui itu semua adalah untuk melakukan upaya
membandingkan pendapat-pendapat para kritikus hadits di satu
tabaqat berhubungan dengan putusan penilaian terhadap seorang rawi.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
وناهيك بهما،عبد الرحمن بن مهدي كان هو ويحيى القطان قد انتدبا لنقد الرجال
ّ ْ ً ً ً ُْ
ومن وثقههاه فهههو،هدم ُل جرحههه
ِ فمن جرحههاه ال يكههاد ه وهللا ه هين،جاللة ونبال وعلما وفضال
..اج ُتهد في أمره ونزل عن درجة الصحيح إلى الحسن ّ
ْ ومن اختلفا فيه،الحجة املقبول
61
yang ia jarh hampir-hampir tidak sembuh lukanya , orang - orang
yang mereka berdua tsiqahkan maka ia adalah hujjah yang diterima.
Sedangkan orang - orang yang mereka berdua perselisihkan perlu
untuk dilakukan ijtihad menggali ihwalnya dan turun statusnya dari
shahiih ke derajat hasan ...”185.
3. Urung dari menerima jarh jika dikhawatirkan pemicunya adalah
karena perselisihan dalam perkara i’tiqad ( keyakinan) dan rivalitas
antar saingan.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
وممن ينبغي أن يتوقف في قبول قوله في الجرح من كان بينه وبين من جرحه عداوة
ْ
سه ههببها االختالف في االعتقه ههاد فه ههٍإن الحه ههاذق إذا تأمه ههل ثلب أبي إسه ههحاق الجوزجه ههاني ألهه ههل
فه ههتراه ال،الكوفه ههة رأى العجب وذله ههك لشه ههدة انحرافه ههه في النصه ههب وشه هههرة أهلهه هها بالتشه ه ّهيع
ُ ّ
،يتوقف في جهرح من ذكهره منهم بلسهان ذلهق وعبهارة طلقة حهتى أنهه أخهذ ُي ِّلين مثهل األعمش
فه ههذا إذا عارض ههه. وأس ههاطين الح ههديث وأركههان الرواية،ى/ وعبيههد هللا بن موسهه،وأبي نعيم
ُ ّ ً ّ ُ مثله أو ُ
ويلتحق به عبد الرحمن بن يوسههف بن.ضعفه قبل التوثيق أكبر منه فوثق رجال
َّ ُ ُ
فيتههأنى في جرحههه ، بههل نسههب إلى الههرفض، فٍإنههه من غالة الشههيعة،ِهخ راش املحههدث الحافههظ
ويلتحه ههق به ههذلك مه هها يكه ههون سه ههببه املنافسه ههة في.ألهه ههل الشه ههام للعه ههداوة البينه ههة في االعتقه ههاد
ً
فكههل هههذا ينبغي، فكثههيرا مهها يقههع بين العصههريين االختالف والتبههاين لهههذا وغههيره،املراتب
َّ تأنى فيه ُوي َّ ُ
...تأمل أن ي
185 Dzikru Man Yu’tamadu Qouluhu Fi Al Jarh Wat Ta'diil halaman 167.
186 Perihal mengomentari rawi-rawi .
62
187
dan masyhurnya penduduk Kufah dengan tasyayyu’. Kamu akam
melihat ia tidak mencukupkan hanya dengan lisan yang terhunus dan
juga ungkapan tak terkendali 188di dalam menjarh rawi yang ia
sebutkan , bahkan ia melayyinkan189sosok semisal Al A’masy dan Abu
Nu’aim dan Ubaidillah bin Musa dan para asaathin ( pembesar yang
berkecimpung di dalam meriwayatkan) hadits dan pengampu riwayat .
Seperti ini jika diselisihi oleh orang yang semisalnya atau lebih tinggi
kedudukannya yang ia mentashiih rawi yang didha’ifkannya maka
yang diterima adalah tautsiiq.
Dimasukkan ke dalam contoh ini juga: Abdurrahman bin Yusuf bin
Khirasy Al Muhaddits Al Haafidz, ia termasuk ghulat syi’ah bahkan
dinisbahkan padanya rafdh. Perlu ditinjau lagi jarhnya terhadap
penduduk Syam karena terdapat permusuhan yang nyata di dalam
perkara i'tiqad.
Dan diikutkan ke kategori ini juga : jarh yang sebabnya dipicu
persaingan di dalam memperebutkan kedudukan. Tidak sedikit terjadi
di antara orang - orang belakangan perselisihan dan kesenjangan 190
karena sebab ini dan juga lainnya. Semuanya ini sepatutnya untuk
perhatian dan teliti“191.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
187 Nashibiyah.
188 Di antara ungkapan yang digunakan oleh Al Juzajaaniy adalah : زائغzaaigh
saaqith , muftar dan zaaighun ‘anil Haq .lihat Ahwal Ar Rijaal halaman 51-
52,62.
189 Mendha'ifkan.
190 Ibnu Shalah mengemukakan ta’lil keluarnya jarh pada sebagian Aqran
( sepersaingan ) dari kalangan para imam : bahwa pandangan marah membuat
melihat yang buruk-buruk di dalam batin seolah-olah jalan tempuh penyelesaian
yang benar, ia menjadi buta karena tertutup kemurkaan , hal itu muncul dari
imam secara sengaja karena cacat -sebelumnya-yang ia yakini batil”, 'Uluumul
Hadits 591.
191 Lisaanul Miizan 1/16.
63
كث ههير من كالم األق ههران بعض هههم في بعض ينبغي أن ُيط ههوى وال ُيه ْهروى ُويط ههرح وال يجع ههل
ً
طعنا ويعامل الرجل بالعدل والقسط
قد آذى ابن معين نفسه بذلك ولم يلتفت الناس إلى كالمه في الشافعي وال إلى كالمه
َّ
فٍإنا نقبه ههل قوله ههه، كمه هها لم يلتفته ههوا إلى توثيقه ههه لبعض النه ههاس،في جماعه ههة من األثبه ههات
ّ
قد ُه هم ه على كث ههير من ه ه
الحف اظ م هها لم يخ ههالف الجمه ههور في ّ دائم ه ًها في الج ههرح والتع ههديل ُون
ِ
192 Dzikru Asmaai Man Tukullima Fiihi Wa Hua Muwattsaq halaman 46.
193 Al Muqidzah halaman 84.
194 Lihat Tabaqat As Syafi'iyah Al Kubra 2/12, dan Qaa’idah fy Al Jarh wa At Ta’dil
halaman 24-28.
195 Maksudnya menjarhnya.
64
ُ َ َّ
أو بتضعيف من وثقه الجمهههور وق ِب هلهوه، فٍإذا انفرد بتوثيق من َّلينه الجمهور،اجتهاده
ّ
..فالحكم لعموم أقوال األئمة ال ملن شذ
196 Lihat Dzikru Asmaai Man Tukullima Fiihi Wa Hua Muwattsaq 49.
197 Lihat Miizaanul I'tidal 1/57.
198 Ia adalah Muhammad bin Yunus bin Musa . Lihat Tahdziibut Tahdziib 9/539,
Taqriibu At Tahdziib 515.
65
darinya ( maksudnya Aban bin Yazid Al ‘Atthar) dan ini adalah
tertolak karena Al Kudaimy adalah dha'if “199.
Dan di antara bukti yang menguatkan i'tibar hal itu pada yang
dinisbahkan kepada para imam dari perkataan-perkataan : Abu Al
Hajjaj Al Mizzy ketika menulis uraian manhaj yang ia tempuh di
mukadimah kitabnya “ Tahdziibul Kamaal “ketika berkata :
وقد ذكرنا،ولم نذكر إسناد كل قول من ذلك فيما بيننا وبين قائله خوف التطويل
اإلسههناد على عههادة من تقه ّهدمنا من
ِ يء لئال يخلههو الكتههاب من/يء بعههد الشهه/من ذلههك الشهه
ومهها لم نههذكر إس ههناده فيمهها بيننهها وبين قائل ههه فمهها كههان من ذلههك بصههيغة.األئمههة في ذلك
ً
وما كان منه بصههيغة.الجزم فهو مما ال نعلم بٍإسناده عن قائله املحكي ذلك عنه بأسا
...فرَّبما كان في إسناده إلى قائله ذلك نظر ُ التمريض
“Dan kami tidak menyebutkan isnad setiap perkataan dari itu ( jarh
dan ta'dil ) antara kita dengan orang yang mengatakannya karena
khawatir memperpanjang. Dan kami menyebutkan sebagian darinya
setelah yang lainnya supaya tidak kosong kitab ini dari isnad sebagai
peneladanan kebiasaan orang - orang yang telah mendahului kami
dari kalangan para imam di dalam masalah itu.
Dan nukilan yang kami tidak sebutkan sanad yang menyambungkan
dengan yang mengatakannya selama dalam ungkapan jazm 200, maka
itu adalah di antara nukilan yang kami tidak mendapati dha'if - rawi-
rawinya- pada sanad yang menyambung ke yang mengatakannya.
Sedangkan jika dalam ungkapan tamridh201 maka kadang terdapat di
dalam sanad yang menyambung ke yang mengatakannya hal yang
butuh ditinjau kembali”202.
66
Dan yang serupa itu ; Tidak diterima tautsiiq yang tidak shahiih
sanadnya bersambung kepada imam yang dihikayatkan perkataan
tersebut darinya . Di antara contohnya adalah yang diriwayatkan oleh
'Ali bin Abdul ‘Aziiz Al Baghawy dari Sulaiman bin Ahmad ia berkata
:
ً
ما رأيت شاميا أثبت من فرج بن فضالة:سمعت عبد الرحمن بن مهدي يقول
67
“Mungkarul hadits ghairu mardhiy206”.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
207
ي/لم يلتفت أحد إلى هذا القول بل األزدي غير مرض
68
a. Perkataan Al Azdiy di Ibrahim bin Mahdiy bin Abdurrahman Al
Ubuliy:
ْ
ال ينبغي أن ُيخرج عنه حديث وال ِذكر، مشهور بذاك،يضع الحديث
والواقدي،لم يلتفت أحد إلى ابن سعد في هذا فٍإن مادته من الواقدي في الغالب
ليس بمعتمد
69
“ Satupun tidak ada yang menoleh kepada Ibnu Ibnu Sa’ed di dalam
masalah ini karena sumberna dari Al Waaqidiy secara kebanyakan,
sedangkan Al Waaqidiy sendiri bukan mu’tamad “216.
Sumber rujukan hukum Ibnu Sa'ed terhadap rawi-rawi memungkinkan
untuk diketahui di sela-sela nukilan-nukilannya dari mutaqaddimin di
dalam tarjamah, dengan itu akan menjadi jelas sumber rujukan
hukumnya terhadap para rawi yang tidak sezaman dengannya . Namun
jika tidak- maksudnya jika terhadap para rawi yang sezaman- maka Al
Haafidz Ad Dzahaby berkata :
تكلم محمد بن سعد الحافظ في كتاب (الطبقات) له بكالم جيد مقبول
والواقدي على طريقة أهل املدينة في االنحراف على أهل،ابن سعد يقلد الواقدي
العراق
70
Diantara contoh untuk itu : Abban bin Shalih Al Qurasyi maulaahum
yang mana ia telah ditautsiiq oleh Ibnu Ma'iin 220 , Al ‘Ijliy221, Ya'qub
bin Syaibah222 Abu Zur'ah223, Abu Hatim 224, dan An Nasaa'i berkata
mengenainya : “ ليس به بأسlaisa bihi ba’sun”225.
71
“ Ia shaduuq, dan telah keliru Ibnu Hibban ketika menyebutkannya di
dalam Ad Dhu’afa “229.
Landasannya adalah perkataan Al Bukhaary :
تركناه
“ Kami meninggalkannya “.
Seperti itulah dia – Ibnu Hibban – menuqilkan , ia wahm – salah
faham- terhadap -perkataan - Al Bukhaary . Padahal Al Bukhaary
berkata :
ًّ
حيا سنة اثنتي عشرة ومائتين تركناه
“ Berkata Ibnu Hibban di dalam kitab tsiqat 231: “ia mutqin”, kemudian
ia lupa parah dan menyebutkannya di dalam Ad Dhu’afa , dan
meriwayatkan dari Al Bukhaary bahwa ia berkata : “ kami
meninggalkannya” , dan ini merupakan kesalahan dari Ibnu Hibban
yang muncul karena terhapus . Itu karena Al Bukhaary sebenarnya
berkata di dalam Tarikhnya : “ kami meninggalkannya dalam kondisi
229 Aku tidak mendapati riwayat hidup Bisyr bin Syu’aib di nuskhah yang tercetak
di kitab Al Majruuhiin .
230 Miizaanul I'tidal 1/318,At Taarikh Al Kabiir 2/76, dan di nuskhah tulisan
makhtutah di maktabah Koprulu : “ berkata Abu Abdullah : dan ia mati
sepeninggal kami”.
231 At Tsiqaat 8/141.
72
masih hidup pada tahun dua belas ( maksudnya dua ratus dua belas) ,
dan terbuang di nuskhah Ibnu Hibban lafadz “حياhayyan” yang
kemudian maknanya berubah232.
10. Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
َ ّ
َم ْن ُعرف من حاله أنه ال يروي إال عن ثقة فٍإنه إذا روى عن رجل ُو ِصف بأنه ثقة
.. كمالك وشعبة والقطان وابن مهدي،عنده
73
Penjelasannya:
Yang pertama : rawi-rawi yang dikeluarkan keduanya dalam rangka
berhujjah terbagi menjadi dua bagian :
1. Rawi- rawi yang tidak dibicarakan jarh perihal dirinya, maka ia
adalah tsiqah haditsnya lagi kuat meskipun tidak ada yang menashkan
seorangpun dengan tautsiiq, yang mana ia memperoleh tautsiiq secara
dhimniy disebabkan dikeluarkan oleh mereka berdua atau salah datu
dari mereka berdua dalam rangka berhujjah. Dan mereka berdua telah
berpegang teguh dengan prinsip shahiih . Sedangkan syarat rawi
shahiih adalah 'adaalah ( ketaqwaan) dan kesempurnaan dhabt .
2. Rawi-rawi yang dikomentari dengan jarh, dan jenis ini ada dua
keadaan :
a. Terkadang pembicaraan mengenai rawi ini adalah bersifat ta’annut (
berlebih-lebihan) di lain pihak jumhur mentautsiqnya. Maka rawi
seperti ini hadits yang diriwayatkan olehnya adalah kuat juga.
b. Terkadang pembicaraan mengenai talyin terhadap rawi ini dan
hafalannya bisa diambil i'tibar maka haditsnya tidak keluar dari
martabat hasan lidzatihi236.
Hal itu bisa dijelaskan dengan perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar :
74
dan tidak syadz dan tidak pula mu’allal. Kami mengatakan demikian
karena aku telah mempelajari banyak dari hadits -hadits shahiihain
dan kutemui tidak sempurna hukum terhadap hadits -hadits 237 dengan
shahiih kecuali dengan definisi tadi”238.
Bagian yang ke dua : Rawi-rawi yang dikeluarkan oleh keduanya
( Al Bukhaary dan Muslim ) di dalam syawaahid dan mutaaba’ah dan
ta’liq.
Mereka berbeda-beda derajatnya dari segi dhabt meskipun terhasilkan
cap shidq pada mereka239. Dan ketika didapati selain Imam nukilan
komentar cela kepada mereka , maka itu artinya celaan 240 tersebut
berbenturan dengan ta'dil sang Imam241. Jadi tidak bisa diterima
kecuali dijelaskan sebab dan diterangkan perihal perkara yang
membuat cacat 'adaalah ( ketaqwaan) rawi ini dan juga di dhabtnya
secara mutlak, atau ihwal dhabt terhadap khabar tertentu secara ta’yin.
Karena sebab-sebab yang mendorong para imam menjarh berbeda-
beda , diantaranya ada yang mencederai242 ada yang tidak243.
12. Perlu memperhatikan istilah-istilah yang digunakan para imam di
dalam lafadz-lafadz jarh wat ta'diil yang mereka pakai, di antaranya
adalah perkataan Yahya Bin Ma'in :
244
فالن ال بأس به
240 Jarh.
241 Maksudnya Al Bukhaary dan Muslim .
242 Membuatnya terjarh secara mu'tabar .
243 Hadyu As Saariy halaman 284.
244 Fulan tidak ada bencana dari sisi 'adaalah ( ketaqwaan) dan dhabt.
245 Maksudnya “bukan apa-apa”
75
maksudnya adalah hadits yang ia riwayatkan sedikit sekali246.
Demikian pula istilah para imam di kitab-kitab mereka . Seperti istilah
Imam Ad Dzahaby di dalam kitabnya Miizaanul I'tidal :
إذا كتبت (صح) أول االسم فهي إشارة إلى أن العمل على توثيق ذلك الرجل
“Jika aku menulis ( shad ha’) di awal nama rawi maka itu isyarat
kepada rekomendasi tautsiiq untuk rawi tersebut “247.
13. Kadang terjadi perbedaan di dalam penunjukan lafadz baik jarh
maupun tautsiiq dengan bermacam perbedaan dhabtnya. Semisal
perkataan :
فالن ُم ْود
ْأودى فالن
246 Akan segera datang tambahan keterangan atas istilah para imam ini di halaman
yang akan datang.
247 Lisaanul Miizan 1/9.
248 Lihat Tahdziibut Tahdziib 3/471, fathul Mughiits 1/377.
249 Lihat batasan-batasan ini beserta cotoh-contohnya di dalam Syarah Ilal At
Tirmidzy 2/733-816 . dan Ibnu Rajab talah melakukan tawassu’ dalam
pembahasan perihal rawi-rawi yang didha'ifkan hadits -hadits mereka di masa
tertentu atau tempat atau dari sebagian syaikh tertentu.
76
a. Mentautsiiq rawi pada khusus di hadits yang ia riwayatkan di suatu
negeri tertentu dan tidak berlaku di negeri yang lain.
Demikian bisa dikarenakan rawi tersebut menyampaikan hadits di
suatu daerah dalam keadaan tidak membawa buku sehingga ia
mencampur aduk hadits, dan ia menyampaikan hadits di daerah lain
dengan menggunakan bukunya sehingga ia dhabt. Atau karena
mendengar di suatu daerah tertentu dari syaikh disana dan ia tidak
dhabt terhadap hadits yang ia riwayatkan darinya, dan ia mendengar
darinya di daerah yang lain dan ia dhabt.
Dan di antara contohnya :
1) Ma'mar bin Rasyid Al Azdiy , haditsnya di kota Bashrah terdapat
idhthirab ( keguncangan) yang tidak sedikit. Karena ketika itu ia tidak
membawa bukunya, sedangkan hadits riwayatnya di Yaman jayyid
( baik).
2) Berkata Ya’qub bin Syaibah :
ُ ّ ُ
ّ ف ما
حدث به عبد الرحمن بن أبي الزناد بالعراق ضع
ِ سمعت علي بن املديني ي
ّ ويصحح ما
حدث به باملدينة
77
menyampaikan dari selain mereka maka hadits yang diriwayatkan
idhthirab ( guncang).
2) Faraj bin Fadhalah Al Himshiy ( dha'if ) . Berkata Imam Ahmad :
250 Maksudnya dengan tidak guncang atau tanpa terjadi campur aduk.
251 Keragu-raguan.
78
1) Jarir bin Haazim Al Bashriy , didha'ifkan hadits riwayatnya dari
Qatadah .
2) Jafar bin Burqan Al Jazariy , berkata Imam Ahmad :
79
berkata : Ibnu Wahab lebih mutqin terhadap yang diriwayatkannya
dan lebih hafal”252.
Berkata Ibnu Rajab :
،ومعنى هذا أن الرجل إذا جمع بين حديث جماعة وساق الحديث سياقة واحدة
ّ ْ
،فالظه ه ههاهر أن لفظهم لم يتفه ه ههق فال ُيقبه ه ه ُهل هه ه ههذا الجمه ه ه ُهع إال من حافه ه ههظ متقن لحديثه ه ههه
كمه هها كه ههان الزهه ههري يجمه ههع بين شه ههيوخ له ههه في حه ههديث،يعه ههرف اتفه ههاق شه ههيوخه واختالفهم
ْ
وكههان الجمههع بين الشههيوخ ُينكههر على الواقههدي وغههيره ممن ال يضههبط هههذا.اإلفههك وغههيره ِ
َ ُْ
.كما أنكر على ابن إسحاق وغيره
80
Dan diikutkan dalam kategori rawi mukhtalith -campur aduk
hafalannya- dua golongan :
1) Orang yang buta di akhir umurnya ,dan ia tidak begitu baik dalam
mengingat sesuatu ,dan ia menyampaikan hadits dari hafalannya atau
ia ditalqin dan tertalqin.
2) Rawi yang menjadi buruk hafalannya ketika menjabat hakim dan
sejenisnya .
Dan di antara orang - orang yang tercampur aduk hafalannya adalah :
1) Shalih bin Nabhan ( maula Tauamah). Orang yang mendengar
hadits darinya jauh masa sebelumnya seperti Muhammad bin Abi
Dzi’ib ,maka yang ia dengar adalah shahiih ,sedangkan rawi yang
mendengar haditsnya setelah mengalami ikhtilath seperti Sufyan At
Tsaury maka hadits yang didengarkannya tidak ada nilainya.
2) Sa’id bin Iyas Al Jurairiy . Diantara rawi yang mendengar darinya
sebelum terjadinya ikhtilath adalah Sufyan At Tsaury , Ibnu
‘Ulayyah ,Bisyr bin Al Mufaddhal . Sedangkan rawi-rawi yang
meriwayatkan darinya setelah ikhtilath Yazid bin Harun.
Dan diantara rawi-rawi yang kehilangan penglihatannya di akhir
umurnya dan tidak bisa dengan baik menghafal dan ia menyampaikan
hadits dari hafalannya atau ia ditalqin dan tertalqin adalah :
1) Abdurrazzaq bin Hammam As Shan’aniy . Berkata Imam Ahmad :
ّ
، كان ُيلقن أحاديث باطلة،عبد الرزاق ال ُيعبأ بحديث من سمع منه وقد ذهب بصره
ّ وقد
حدث عن الزهري أحاديث كتبناها من أصل كتابه وهو ينظر جاؤوا بخالفها
81
2) Muhammad bin Maimun As Sukariy . Berkata An Nasaa'i :
ّ
فمن كتب عنه قبل ذلك فحديثه،ال بأس به إال أنه كان ذهب بصره في آخر عمره
ّ
جيد
256 Ia menjabat hakim pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshuur . Lihat At
Tarikh Khalifah bin Khayyat halaman 434
257 Ia menjabat hakim pada masa pemerintahan Harun Ar Rasyiid lihat rujukan
sebelumnya halaman 464.
258 Bisa dipakai hujjah.
82
ك ههان ّه ه
،هم ام (بن يح ههيى بن دين ههار األزدي م ههوالهم) ال يك ههاد يرج ههع إلى كتاب ههه وال ينظ ههر في ههه
ُّ
يا عفان كنا نخطئ: ثم رجع بعد فنظر في كتبه فقال،وكان يخالف فال يرجع إلى كتابه
ً
كثيرا فنستغفر هللا
83
“ Adapun kitab-kitabnya maka shahiih , aku pernah menelusuri
ushul( buku-buku) miliknya dan menulis hadits darinya , namun jika
menyampaikan hadits dari hafalannya maka tidak 261“
15. Perlunya memperhatikan alur kalimat yang termaktub di dalamnya
lafadz-lafadz jarh dan ta'diil , dan juga memperhatikan qarinah-
qarinah keadaan yang melatar belakangi lafadz-lafadz tersebut
disematkan kepada seorang rawi .
Berkata Al Haafidz Ibnu Katsiir :
َ
والواقف على عبارات القوم يفهم مقاصدهم بما ُعرف من عباراتهم في غالب األحوال
وبقرائن ترشد إلى ذلك
“ Sesungguhnya Ibnu Abi ‘Adiy lebih aku cintai daripada Azhar “263.
2) contoh yang telah berlalu penyebutannya dari perkataan Ibnu
Ma'iin :
84
والعالء (بن عبد الرحمن) ضعيف،سعيد (املقبري) أوثق
“ Dari kalangan ahli hadits ada orang - orang yang menyendirikan jenis hasan dan
menggolongkannya pada klasifikasi jenis-jenis shahiih karena masuk pada
kategori macam hadits yang bisa dijadikan hujjah ... kemudian orang yang
menamakan hasan dengan shahiih tidak mengingkari bahwa ia masuk dalam
kategori dibawah shahiih ...jadi ini sama cuma sebatas perbedaan dalam
pengungkapan bukan dalam makna “. 'Uluumul Hadits halaman 115-116.
ولم،ى الترمذي/قسمه هذه القسمة أبو عيس ّ فهذا أول من ُعر َف ّأنه،وأما قسمة الحديث إلى صحيح وحسن وضعيف
ِ
َ
وأما من قبل الترمذي من العلماء فمهها ُهع ِرف عنهم هههذا التقسههيم الثالثي لكن...تعرف هذه القسمة عن أحد قبله
ً
ضههعيف ض ههعفا ال يمتنههع العم ههل بههه وه ههو يشههبه: والضههعيف عن ههدهم نوعههان،كههانوا يقسههمونه إلى صههحيح وض ههعيف
ً
.25 ه18/23 مجموع الفتاوى." وضعيف ضعفا يوجب تركه وهو الواهي.الحسن في اصطالح الترمذي
“ Adapun pembagian hadits menjadi shahiih hasan dan dha'if , maka awal pencetus
yang dikenal bahwa dialah yang membaginya menjadi seperti ini adalah Abu Isa At
Tirmidzy , dan tidak dikenal pembagian seperti ini dicetuskan seorangpun
85
Karena itu bisa di ambil faidah dari pengklasifikasian tingkatan-
tingkatan derajat lafadz-lafadz al jarh wat ta'diil yang disusun
mutaakhirin ini ketika melakukan tarjih antara rawi-rawi yang
berserikat orang-orang mutaqaddimin dalam pemilihan lafadz-
lafadznya baik di kategori diterima mutlak atau didha'ifkan secara
mutlak.
17 . Kadang rawi menempuh takhasshus pada fan tertentu dari fan-fan
riwayat disebabkan yang telah ia upayakan dengan sungguh-sungguh
ketika melakukan talaqqiy atau menyampaikan hadits ,sehingga ia
bisa dijadikan hujjah -secara khusus-di fan266 tersebut . Adapun
berkaitan dengan fan riwayat berhubungan perkara lain maka kadang
bisa dijadikan hujjah riwayatnya , kadang kurang mencukupi untuk
kriteria bisa dipakai berhujjah , atau kadang lebih kurang lagi untuk
bisa masuk kriteria rawi yang bisa dijadikan i'tibar riwayatnya . Di
antara contohnya adalah :
1) ‘Aashim bin Abi An Najuud Al Muqri’ Al Masyhuur . Berkata Al
Haafidz Ad Dzahaby :
sebelumnya ... adapun sebelum At Tirmidzy dari kalangan ulama , tidak dikenal
muncul dari ungkapan mereka pembagian tiga ini ,hanya saja mereka membaginya
menjadi shahiih dan dha'if . Dha'if menurut mereka ada dua : dha'if yang tidak
menghaalangi untuk diamalkan dan itu menyerupai hasan di istilah At Tirmidzy ,
dan kedua dha'if yang kedha’ifannya mewajibkan ditinggalkan ,dan itu disebut
waahiy “. Majmu’ Fatawa 18/23-25.
Ia juga mengatakan :
ً
والضعيف عندهم. صحيح وضعيف: "كان في ُع ْر ِف أحمد َوم ْن قبله من العلماء أن الحديث ينقسم إلى نوعين:وقال أيضا
."... وإلى ضعيف حسن، ضعيف متروك ال يحتج به:ينقسم إلى
“ Di kebiasaan Ahmad dan orang - orang sebelumnya dari kalangan ulama adalah :
bahwa hadits terbagi menjadi dua jenis : shahiih dan dha'if . Dan dha'if menurut
mereka terbagi menjadi : dha'if yang ditinggalkan tidak bisa dijadikan hujjah ,
dan dha'if hasan ...” . Al Qaa’dah Al Jaliilah fi At Tawasshul wa Al Washiilah
halaman 87.
266 Lihat Tahqiiq Dr. Nuur Ad Dien ‘itr pada Syarah ‘Ilal At Tirmidzy 2/554.
86
“ Aashim adalah tsabt di dalam qiraa’ah ,shaduq di dalam masalah
hadits . Ia telah ditsiqahkan Abu Zur'ah dan juga jamaa’ah267 , berkata
Abu Hatim : ( محله الصدقmahalluhu As Shidq = “Tempatnya adalah
shidq”).268
Berkata Ad Daruquthny :
“ Pada hafalannya ada sesuatu “. yang ia maksudkan untuk urusan
hadits bukan urusan huruf”269.
Dan senantiasa pada setiap masa ada seorang alim yang ia imam untuk
fan ilmu tertentu dan kurang di fan-fan ilmu yang lain . Demikian pula
pada saudaranya Hafsh bin Sulaiman ia tsabt di dalam qiraaah , wahiy
( lemah) di dalam urusan hadits . Dan adalah Al A’masy sebaliknya ia
tsabt di dalam urusan periwayatan hadits ,layyin di dalam perkara
huruf270.
Ia juga berkata :
وهو في الحديث دون الثبت، ثبت في القراءة، مولى بني أسد،عاصم بن بهدلة الكوفي
صدوق يهم
87
“ Shaduuq , memiliki banyak wahm ( keraguan) , hujjah dalam
perkara qiraa’ah sedangkan haditsnya di shahiihain disebutkan secara
maqruun272”
1) Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al Muthallibiy maulaahum .
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
ّ
بالتشيع والقدر ورمي، صدوق يدلس،إمام املغازي
272 Disandingkan dengan rawi lain dalam sanad. Taqriibu At Tahdziib halaman
285.
273 Masdar sebelumnya halaman 467.
274 Siyar A'laam An Nubala 7/41, Hadyu As Saariy halaman 458, Fathul Baary
11/163.
275 Lihat rujukan yang telah lalu 4/304-305.
88
terhadap lafadz jarh wat ta'dil tersebut adalah dalam perkara hukum
terhadap rawi baik tautsiiq maupun jarh276.
Kenyataan seperti ini maka perlu menelusuri perkataan-perkataan
tersebut dari sumber-sumbernya yang asli.
Di antara contoh meringkas dalam kasus seperti ini adalah nukilan Al
Haafidz Ad Dzahaby ketika meringkas ungkapan Abu Hatim ketika
mengomentari Syahr bin Hausyab.
Berkata Abu Hatim :
ّ شهر بن حوشب أحب
وليس بدون أبي،إلي من أبي هارون العبدي ومن بشر بن حرب
ال يحتج بحديثه،الزبير
“ Syahr bin Hausyab lebih aku sukai daripada Abu Harun Al ‘Abdiy
dan dari Bisyr bin Harb , dan ia tidaklah kedudukannya di bawah Abu
Az Zubair , ia tidak bisa dijadikan hujjah haditsnya”277.
Berkata (Ad Dzahaby ) di Miizaanul I'tidal :
89
ّ
.إبراهيم بن سويد بن حيان املديني وثقه ابن معين وأبو زرعة
ليس به باس
90
2) Az Zubair bin Junadah Al hajariy telah dinukilkan tautsiiqnya288
oleh Ibnu Al junaid dari Ibnu Ma'iin . Sedangkan Al Haafidz Ibnu
Hajar menyebutkan biografinya289 di Tahdziibut Tahdziib perkataan
Abu Hatim :“ شيخ ليس باملشهورSyaikh laisa bilmasyhuur”290,dan bahwa
Ibnu Hibban telah menyebutkannya di dalam At Tsiqaat291 , dan
perkataan Al Haakim : ” ثقةtsiqah”292 kemudian ia berkata dalam
Taqriibu At Tahdziib : ” مقبولmaqbuul”293 . Dan seandainya
dihadirkan kepadanya penuqilan Ibnu Junaid tadi dari Ibnu Ma'iin
bisajadi ia mentsiqahkannya294.
20. Tidak disyaratkan bagi rawi-rawi mutaakhirin keketatan kriteria
sebagaimana yang disyaratkan pada rawi-rawi mutaqaddimin di dalam
dhabt dan kemutqinan.
Berkata Ibnu Shalah :
91
riwayat-riwayat mereka karena terdapatnya udzur untuk memenuhi
ketentuan itu semua ...dan alasannya:.. adalah demi menjaga
kekhususan umat ini dari sanad-sanad dan menghindari dari
keterputusan silsilahnya sehingga hendaklah yang diambil i'tibar dari
syarat-syarat di atas adalah sebatas yang sepatutnya demi tujuan ini
saja. Dan hendaknya di dalam kriteria keahlian seorang syaikh diukur
dengan parameter bahwa ia berstatus muslim , baligh, berakal, tidak
menampakkan kefasikan ,dan kepandiran . Sedangkan dalam kriteria
dhabt adalah dengan tetapnya ia melakukan sima’(mendengar
langsung) dan menetapkan (mencatatnya) dengan tulisan yang tidak
membingungkan, dan juga dengan periwayatannya dari asal kitab
yang menyamai kitab asal kitab milik syaikhnya295.
Dan Al Haafidz Ad Dzahaby menetapkan i'tibar batasan yang
memisahkan antara generasi mutaqaddimin dengan mutaakhirin :
yakni awal tahun tiga ratusan hijriah296.
295 'Uluumul Hadits halaman 236.
ثم. والههذين عههرفت عههدالتهم وصههدقهم في ضههبط أسههماء السههامعين،زماننهها ليس على الههرواة بههل على املحههدثين واملفيههدين
ولههو فتحت، رأس سههنة ثالثمائههة: فالحههد الفاصههل بين املتقههدم واملتههأخر هو،من املعلوم أنه ال بد من صون الههراوي وسههتره
ّ
إذ األكثر ال يدرون ما يههروون وال يعرفههون هههذا الشههأن إنمهها ُسه ِّم ُعوا في،ي تليين هذا الباب ملا َس ِل َم معي إال القليل/على نفس
فالعمدة على من قرأ لهم وعلى من أثبت ِطباق السماع لهم.الصغر واحتيج إلى علو سندهم في الكبر
“ Seperti itu juga orang - orang yang dibicarakan ihwalnya dari kalangan
mutaakhirin , aku tidak menyebutkan dari mereka sesuatu kecuali orang dari
kalangan rawi-rawi yang benar benar tampak kedha’ifannya,dan tidak samar
perkaranya . Karena yang merupakan umdah ( inti yang dipentingkan) di zaman
kita ini tidaklah berpusat pada rawi-rawi bahkan kepada para ahli hadits dan
ulama yang memberikan faidah , dan juga orang - orang yang dikenal 'adaalah (
ketaqwaan) mereka dan juga dhabtnya di kenangan para pendengar . Kemudian
juga, sudah merupakan hal yang maklum diketahui bahwa wajib bagi kita
menjaga rawi-rawi dan menutupinya . Maka batasan pemisah antara
mutaqaddimin dan dan mutaakhirin adalah : awal tahun tiga ratus. Seandainya
92
Dan As Sakhawiy memperjelas sisi perbedaan antara mutaqaddimin
dan mutaakhirin di dalam masalah ini dengan perkataannya:
ً
ملا كان الغرض أوال معرفة التعديل والتجريح وتفاوت املقامات في الحفظ
حصههل التشههدد،ص هل بههذلك إلى التصههحيح والتحسههين والتضههعيف َّ واإلتقههان ُليتو
ِ
ً
آخ را االقتصههار في التحصههيل على مجههرد
وملا كههان الغههرض ِه.بمجموع تلك الصفات
ولكن ذل ه ههك ب ه ههالنظر إلى الغ ه ههالب في.وج ه ههود السلس ه ههلة الس ه ههندية اكتف ه ههوا بم ه هها ت ه ههرى
ّ
وإن كههان التسههاهل إلى هههذا، وإال فقههد ُيوجههد في كههل منهمهها من نمههط اآلخههر،املو ِض ه َع ْين ْ
ً
الحه ه ههد في املتقه ه ههدمين قليال وبهه ه ههذا كله ه ههه يته ه ه ّهبين أن سه ه ههبب التفرقه ه ههة بين املتقه ه ههدمين
واملتههأخرين كههون العههبرة في روايههة املتههأخرين على الكتب واألصههول الصههحيحة الههتي
بل تواتر بعضها إليهم،اشتهرت بنسبتها إلى مؤلفيها
“ Sehubungan dengan bahwa tujuan zaman awal adalah mengenal
ta'dil dan tajrih dan bertingkat-tingkatnya derajat di dalam hafalan dan
kemutqinan supaya dengan itu bisa diupayakan kepada tashiih dan
tahsin dan tadh'iif ,maka muncullah sikap tasyaddud dengan
memberlakukan sifat-sifat tersebut.
Dan sehubungan dengan bahwa tujuan jaman belakang hanya
mengupayakan sebatas kelestarian silsilah sanad , maka mereka
mencukupkan dengan – beberapa syarat -sebagaimana kamu lihat.
Hanya saja itu jika dilihat dari sudut pandang secara umum
(kebanyakan) di dua pembagian generasi tadi. Jika tidak– dilihat dari
sudut pandang itu- maka sungguh dijumpai di masing- masing dari
aku membuka pada diri ini melakukan tadh'iif pada bab ini maka tidak ada yang
selamat bersamaku kecuali sedikit sekali. Karena kebanyakan manusia tidak
mengetahui apa yang mereka riwayatkan dan tidak mengenal kepentingan
perkara ini. Mereka hanya di perdengarkan ketika masa kecil dan butuh kepada
ketinggian sanad mereka ketika dewasa . Dan yang inti adalah fokus pada orang
- orang yang membacakannya kepada mereka dan yang menetapkan kecocokan
ihwal yang didengarkan kepada mereka”. Miizaanul I'tidal 1/4.
93
keduanya ada dari bentuk297 syarat satunya298. Meskipun tasaahul
sampai pada batasan ini di generasi mutaqaddimin terhitung sedikit.
Dengan ini semua menjadi jelas bahwa alasan pembedaan antara
mutaqaddimin dan mutaakhirin adalah hal i'tibar di dalam periwayatan
mutaakhirin adalah -berfokus- pada kitab-kitab dan ushul-ushul yang
shahiih yang masyhur nisbahnya ke penyusunnya, bahkan mutawatir
sebagiannya kepada mereka299.
94
BAB KE DUA
95
Fasal Pertama
96
4. Seorang rawi menyebutkan syaiknya secara muhmal, seperti
seandainya berkata: “Telah berkata kepadaku Fulan atau Ibnu
Fulan”305.
5. Tidak terdapatnya nash para imam terhadap tautsiiq rawi yang
dimaksud ataupun tadh'iifnya .
Adapun rawi-rawi mubham – yakni yang tidak disebutkan namanya –
seperti : “ Telah berkata kepada kami seseorang “ , maka ini tidak
diterima haditsnya . Alasannya : karena syarat diterimanya riwayat
adalah diketahui 'adaalah ( ketaqwaan) rawi . Sedangkan orang yang
tidak disebutkan namanya tentu tidak dikenal jati dirinya , bagaimana
mungkin orang seperti ini bisa untuk diketahui 'adaalah ( ketaqwaan)
dan dhabtnya ? 306
Namun kadang ada ibham dengan menggunakan lafadz
tautsiiq ,seperti seorang rawi berkata: “ حدثني ثقةtelah berkata
kepadaku seorang tsiqah “. Maka ini adalah bahan perdebatan yang
menghasilkan banyak pendapat . Dan yang paling masyhur adalah
adalah sebagai berikut:
1. Perkataan Khatiib Al Bagdady, Abu Bakar Muhammad bin
Abdullah As Shairafiy : Bahwa itu tidak cukup untuk mentautsiq
rawi307 .
Alasannya : bisa jadi rawi tersebut hanya tsiqah menurut orang yang
memubhamkannya dan terjarh menurut yang lain308.
2. Pendapat yang ke dua yang ternukilkan dari Imam Abu Hanifah :
bahwa itu cukup sebagai tautsiiq terhadap rawi309.
305 Mengetahui nama mubham dan lengkap nama yang muhmal dengan melihat
jalur periwayatan yang lain yang di dalamnya disebutkan nama lengkapnya .
Lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 49.
306 Lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 49.
307 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 155, 'Uluumul Hadits 224.
308 Rujukan sebelumnya halaman 224.
309 Fathul Mughiits 1/308.
97
Alasannya : Orang yang mentausiiq adalah orang yang dipercaya
amanah dalam hal itu ( tautsiiq) , dan ini mirip dengan kasus berhujjah
dengan hadits mursal dari segi bahwa orang yang melakukan irsal
seandainya ia tidak berhujjah dengan rawi yang dihilangkan
penyebutannya tidak mungkin dia menghapus-namanya di dalam
sanad-. Seolah ia meta’dilnya . Dan penerimaan di kasus model seperti
ini adalah lebih aula , karena ibham tersebut telah terungkapkan
dengan lafadz yang sharih ( tidak samar ) : ( حدثني ثقةtelah berkata
kepadaku tsiqah)310.
Dan yang rajih adalah pendapat yang pertama . Dan alasannya adalah
sebagai berikut :
1. Karena tautsiiq rawi terhadap syaiknya tidak melazimkan seperti itu
juga statusnya menurut lain311. Karena khabar mengenai tautsiiq
adalah sama seperti khabar mengenai tashiih, tahliil ( penghalalan)
dan tahriim ( pengharaman). Tidak menutup kemungkinan terjadi
perbedaan pendapat menurut ahli diyanah dan ahli inshaf312 dalam
perkara tersebut sebatas sampai mana ijtihad mereka memberhentikan.
2. Karena Imam tersebut bisa jadi bersendirian dalam mentsiqahkan
rawi yang yang telah disepakati kedha’ifannya313 karena ia tsiqah
menurut pendapat pribadinya.
3 Karena tindakan muhaddits menghilangkan menyebutkan nama
syaikh -menghasilkan- kesangsian yang berdampak keragu-raguan di
dalam hati314.
Dan termasuk dari kaidah-kaidah pada perkaraini adalah :
98
yang mementahkan tafsiran yang lain) atas ungkapan tersebut 315, atau
dengan istiqra dalam meneliti -kebiasaan- praktik penggunaan
ungkapan- imam tersebut . Jika ia tsiqah maka tautsiqnya di hak rawi
tersebut bisa dijadikan sandaran karena menyepakati tautsiiq para
imam yang lain.
Di antara contohnya adalah :
99
dhabt . Dan maksimal ungkapan ini menunjukkan ternafikannya
tuduhan ,dan tidak sampai menjelaskan sisi kemutqinan320.
Semakin memperjelas masalah ini bahwa Abdullah bin Lahi’ah dan
Abdullah bin Ja’far bin Al Madiiniy dan Abdurrahman bin Ziyad Al
Afriqiy ,mereka semua adalah orang - orang dha'if di dalam hafalan
tidak bisa dijadikan hujjah ketika bersendirian namun mereka bukan
orang yang tertuduh321.
Adapun rawi majhuul ( tidak dikenal) , maka pandangan para ulama
perihal definisi( batasan) yang dimaksud dengan istilah tersebut ini
beragam pendapat . Dan yang maling masyhur :
1. Apa yang dihikayatkan Khatiib Al Bagdady :
وال عرفه العلماء،املجهول عند أصحاب الحديث هو كل من لم يشتهر بطلب العلم في نفسه
ّ ْ
ومن لم ُي ْعرف حديثه إال من جهة راو واحد،به
“ Majhuul menurut ahli hadits adalah setiap orang yang tidak masyhur
dengan mencari ilmu ( hadits ) pada dirinya ,ulama juga tidak
mengenalnya dengan itu, dan orang yang tidak dikenal haditsnya
kecuali dari jalur rawi seorang”322.
2. Perkataan Al Haafidz Ibnu Shalah :
ً
ب ه.أ ه مجهول العدالة من حيث الظاهر والباطن جميعا:املجهول ثالثة أقسام
ج ه مجهول العين.) وهو (املستور،مجهول العدالة في الباطن دون الظاهر
320 Lihat fathul Mughiits 1/311, dan Tadriibu Ar Raawiy 1/311. Ibnu As Subukiy
telah merajihkan persamaan ungkapan : ” حدثني من ال اتهمTelah berkata kepadaku
orang yang tidak aku tuduh” jika keluar dari semisal As Syafi'iy di dalam
maqam Ihtijaj dengan “حدثني الثقةTelah berkata kepadaku tsiqah” meskipun
tidak sama dari segi penunjukan bahasa. Lihat Tadriibu Ar Raawiy 1/312.
321 Fathul Mughiits 1/311.
322 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 149.
100
a. Majhuul 'adaalah ( ketaqwaan) baik ditinjau dari sisi dzahir dan
batin secara keseluruhan.
b. Majhuul 'adaalah ( ketaqwaan) ditinjau dari sisi batin bukan
dzahir , dan ia adalah mastuur.
c. Majhuul ( tidak dikenal) ‘ain”323.
3. Pendapat Al Haafidz Ibnu Hajar :
َّ
ب ل مجهول الحال. من لم َي ْر ِو عنه غير واحد ولم ُيوث ْق:أ ل مجهول العين:املجهول قسمان
من روى عنه اثنالن فأكثر ولمل ُي َّوثق:)(املستور
101
2. Orang yang tidak meriwayatkan hadits darinya kecuali hanya
seorang maka ia adalah majhuul ‘ain . Pembedaan yang disebutkan
dari majhuul ‘ain dan majhuul hal adalah madzhab jumhur dan itu
jelas karena ta'dil terhadap rawi tidak bisa dihasilkan sekedar dengan
karena ada yang meriwayatkan hadits darinya , bahkan harus ada
tautsiiq yang jelas .
Madzhab yang ke dua : yakni madzhab Ibnu Hibban di dalam kitab ِAt
Tsiqaat, berkata Ibnu Hibban :
َ
فكل من أذكره في هذا الكتاب األول فهو صدوق يجوز االحتجاج بخبره إذا ت َع َّرى
، فههٍإذا ُو ِهج َد خه ٌهبر منكههر عن واحههد ممن أذكههره في كتههابي هههذا،خبره عن خصال خمس
ه إمهها أن يكههون فههوق الشههيخ الههذي1:فٍإن ذلههك الخههبر ال ينفه ّهك من إحههدى خمس خصههال
ه أو يكههون دونههه2.اإلسناد رجههل ضههعيف ال ُيحتج بخههبره ِ ذكرت اسمه في كتابي هذا في
ّ ً
ه4 .الحجة ه أو الخههبر يكههون مرسههال ال يلزمنهها بههه3 .رجل واه ال يجههوز االحتجههاج بروايته
ً
اإلسناد رجههل مههدلس لم يه ّهبين ّ
ِ ه أو يكون في5 .أو يكون منقطعا ال يقوم بمثله الحجة
َ
فكههل من ذكرتههه في كتههابي هههذا إذا ت َهع َّهرى خههبره...سههماعه في الخههبر َم ْن الههذي سههمعه منه
ألن العههدل من لم،عن الخصال الخمس التي ذكرتها فهو عههدل يجههوز االحتجههاج بخههبره
إذ، فمن لم يعلم بجههرح فهههو عههدل إذا لم يته ّهبين ضهده،ُي ْعرف منه الجرح ضههد التعههديل
ُّ َّ َ
وإنمه هها ك ِلفه ههوا الحكم بالظه ههاهر من،لم ُيكلف النه ههاس من النه ههاس معرفه ههة مه هها غه ههاب عنهم
ّ األشياء غير
املغيب عنهم
102
2. Bisajadi di bawahnya ada rawi wahi ( lemah) yang tidak boleh
berhujjah dengannya.
3. Atau khabar yang diriwayatkan olehnya adalah mursal tidak
mengharuskan kepada kita menggunakannya sebagai hujjah.
4. Atau munqathi326, yang semisalnya tidak bisa dibuat tegak hujjah.
5. Atau di dalam isnadnya ada rawi mudallis yang tidak menjelaskan
sama’ (mendengar) di dalam khabar tersebut: siapa orang yang ia
dengar hadits darinya... Setiap yang aku sebutkan di dalam kitabku ini
jika kosong khabarnya dari lima hal yang telah aku sebutkan tadi
maka ia adalah ‘adil boleh berhujjah dengannya. Karena ‘adil adalah
orang yang tidak dikenal terdapat padanya jarh -kebalikan – ta'dil. Jadi
orang yang tidak diketahui terjarh maka ia adalah ‘adil jika tidak
nampak jelas kebalikannya. Karena orang tidak ditaklif (dibebani)
mengetahui yang tidak tampak di pamndangan mereka dari jati diri
manusia -yang lain-. Mereka hanya dibebani menghukumi secara
dzahir perkara bukannya yang tidak tampak”327.
Dua perkara yang pertama memberikan faidah bahwa orang yang
terjarh tidak bisa dijadikan hujjah khabarnya , bahkan itu merupakan
sebab dha'if suatu khabar. Adapun yang ke tiga sampai yang terakhir
maka memberikan faidah bahwa orang yang dilepaskan (dibuang
penyebutannya) dari sanad secara irsal, atau inqitha ataupun tadlis
maka tidak dibawa perkaranya kepada tautsiiq , seandainya
terhasilkan tautsiiq tentu akan sempurna berhujjah dengan khabar -
padahal- terputus (silsilah rawi di) sanadnya karena irsal, ataupun
munqathi’,ataupun kemungkinan munqathi’ dengan sebab tadlis
padahal tidak diketahui siapa yang dibuang dari sanad tersebut.
Dan tidak ada yang tersisa jika demikian selain kecuali orang yang
disebutkan di silsilah sanad tersebut namun tidak dikenal ada riwayat
jarh disematkan padanya. Dan orang dengan keadaan seperti ini
adalah ‘adil menurut madzhab Ibnu Hibban ,sampai jelas-jelas
326 Sanadnya terputus.
327 At Tsiqaat 1/11-13.
103
diterangkan jarh atasnya, dengan syarat syaikh dan juga muridnya
adalah tsiqah328.
“ Adapun orang - orang majhuul yang tidak meriwayatkan darinya
kecuali rawi-rawi yang dha'if maka mereka adalah ditinggalkan pada
seluruh keadaannya”329.
Al Haafidz Ibnu Hajar telah mengkritik madzhab ini dengan berkata:
وهذا الذي ذهب إليه ابن حبان من أن الرجل إذا انتفت جهالة عينه كان على
وهههذا هههو مسههلك. و الجمهههور على خالفه،العدالههة إلى أن يته ّهبين جرحههه مههذهب عجيب
َّ فٍإنههه يههذكر َخ ْلقه ًها ممن َن،ابن حبههان في كتههاب (الثقههات) الههذي ّألفههه
ص عليهم أبههو حههاتم
وكههأن عنههد ابن حبههان أن جهالههة العين ترتفههع بروايههة واحههد.وغههيره أنهم مجهولههون
و لكن جهالة حاله باقية عند غيره، و هو مذهب شيخه ابن خزيمة، مشهور
104
berpandangan bahwa jahaalah ‘ain bisa terangkat dari seorang syaikh
dengan sebab meriwayatkan darinya seorang rawi masyhur, dengan itu
maka sacara asal pada hak syaikh tersebut adalah ‘adil selama tidak
diketahui padanya jarh. Sedangkan jumhur berada di atas pendapat
bahwa bersendiriannya seorang rawi dalam meriwayatkan -hadits -
dari syaikh akan mengangkat status majhul ‘ain. Dan bahwa
periwayatan -hadits– yang dilakukan dua orang atau lebih
memberikan faidah pengenalan -dan- bukan ta'dil. Oleh karena itu ia
tetap di atas status majhuul hal sampai ia ditautsiq . Berkata Khatiib
Al Bagdady :
ً
وأقل ما ترتفع به الجهالة أن يروي عن الرجل اثنان فصاعدا من املشهورين بالعلم
ّ
إال أنه ال يثبت له حكم العدالة بروايتهما عنه...كذلك
105
، والرابعههة صهالحة، والثالثههة مقبولههة، والثانيههة قهريب منههها،لعلهها أثبت من توثيهق كثههير منهم
ْ
والخامسة ال ُيؤ َم ُن فيها الخلل
106
Ini semua adalah ditinjau dari mentautsiiq rawi majhuul ( tidak
dikenal) maupun atau tidak.
Adapun dari sisi berhujjah dengannya , maka madzhab Ibnu Hibban
adalah menerima riwayat rawi majhuul ( tidak dikenal) dan berhujjah
dengannya jika tidak diketahui pada – rawi-rawi- nya jarh, dan -
dengan catatan- syaikh dan murid yang meriwayatkan hadits darinya
keduanya tsiqah dan haditsnya tidak berstatus mungkar. Ini adalah
kesimpulan rincian beliau yang tadi telah diurai334.
Sedangkan jumhur, mereka membedakan antara majhuul ‘ain dan
majhuul hal sebagai berikut:
Pertama majhuul ‘ain. Perihal penerimaan riwayatnya ada beberapa
madzhab yaitu:
a. Madzhab kebanyakan ( jumhur) : menolak riwayat majhuul 'ain
secara mutlak335. Berkata Al Haafidz Ibnu Katsiir :
فهذا ممن ال يقبل،فأما املبهم الذي لم يسم اسمه أو من ُس ِّم َي وال تعرف عينه
روايته أحد علمناه
107
Mungkin alasannya : karena di memberlakukan secara lazim -
ketentuan persyaratan periwayatan seperti- tersebut338 merupakan
tautsiiq secara dhimniy 339 atas rawi -yang ia meriwayatkan hadits
dari-nya.
c. Perkataan Ibnu 'Abdil Barr :
ً
فٍإن اشتهر،قبول روايته إن كان مشهورا كأن يشتهر بالزهد أو النجدة أو الكرم
بالعلم فقبوله من باب أولى
“Telah sampai kepadaku berita dari Abu 'Amr bin Abdul Barr Al
Andalusiy secara wijadah, ia berkata : setiap orang yang tidak
meriwayatkan darinya kecuali rawi seorang maka menurut mereka
adalah majhuul ( tidak dikenal) kecuali seseorang yang masyhuur
dengan selain membawa ilmu ,seperti masyhurnya Malik bin Dinar
dengan kezuhudan, dan 'Amr bin Ma’dikarib dengan kedermaan”341.
Dan kemungkinan alasannya adalah: karena orang yang masyhur
dengan sifat-sifat tersebut jarang sekali samar keadaannya , dan
kesendirian rawi meriwayatkan darinya pada kondisi seperti itu
tidaklah riskan.
108
d. Pilihan Abu Al Hasan 'Ali bin Abdullah bin Al Qatthan : diterima
haditsnya -meskipun hanya rawi seorang yang meriwayatkan darinya-
jika ditazkiyah satu dari kalangan para imam jarh wat ta'dil342 .
Dan Al Haafidz Ibnu Hajar telah memilih pendapat ini dan ia
menambahkan : -juga- diterima riwayat majhuul 'ain jika ditautsiq
oleh orang yang bersendirian meriwayatkan darinya jika ia memang
ahli untuk itu343.
Dan yag rajih adalah pendapat pertama . Dan ini tidak berbenturan
dengan pendapat yang ke empat bahkan ia ditarik ke pendapat
pertama. Karena terhasilkannya tautsiiq bagi rawi dari imam yang
mu'tabar akan mengangkat jahaalah secara mutlak.
Kedua majhuul hal. Perihal penerimaan riwayatnya ada beberapa
madzhab yaitu:
a. Madzhab kebanyakan ( Jumhur ) menolak riwayat majhuul hal 344.
Dan sisi alasannya adalah karena riwayat dua orang rawi atau lebih
dari seorang syaikh adalah sebatas megenalkan bukan tautsiiq , oleh
karena itu tautsiiqnya masih belum diketahui.
b. Pendapat yang kedua dinisbahkan kepada sebagian ahli hadits
seperti Al Bazzar dan Ad Daruquthny : yakni diterima riwayatnya 345 .
As Sakhawiy telah menukilkan dari Ad Daruquthny bahwa ia berkata :
342 Lihat Nuzhatun Nadzaar 50, dan fathul Mughiits 1/318. Dan di antara
contohnya : Asfa’ bin Asla’ yang meriwayatkan dari Samurah bin Jundab .
Berkata Ad Dzahaby :
“ Aku tidak mengetahui meriwayatkan darinya selain Suwaid bin Hujair Al Bahiliy ,
meskipun begitu ia distiqahkan Ibnu Ma'iin karena tidak setiap rawi yang tidak
dikenal adalah tidak hujjah. Akan tetapi ini adalah ashl”, Miizaanul I'tidal
1/211.
343 Nuzhatun Nadzaar 50.
344 Nuzhatun Nadzaar halaman 50.
345 Fathul Mughiits 1/320.
109
“ Siapa yang meriwayatkan darinya dua orang tsiqah maka
terangkatlah jahaalahnya dan tetaplah 'adaalah ( ketaqwaan) nya”346.
Bisa jadi ini yang diisyaratkan Ad Dzahaby ketika menggolongkan Al
Haafidz Ad Daruquthny masuk dalam kategori rawi-rawi mutasaahilin
meskipun ia memberikan taqyiid dengan perkataannya dengan
perkatannya:
“ di sebagian waktu”347.
c. Pendapat Imam Haramain Abu Al Ma’aaliy Abdul Malik bin
Abdullah Al Juwainiy:
ْ ُ
،ال نط ِل ُق رد رواية املستور وال قبولها بل ُيقال رواية العدل مقبولة ورواية الفاسق مردودة
يء فههروى لنها/ و لهو كنهها على اعتقه ٍهاد في حه ّهل شه.و روايههة املسههتور موقوفههة إلى اسهتبانة حالته
فالههذي أراه وجههوب االنكفههاف ّه، مسههتور تحريمههه
عما كنهها نسههتحله إلى اسههتتمام البحث عن
..حال الراوي
110
ّ والتحقيه ههق أن روايه ههة املسه ههتور ونحه ههوه ممه هها فيه ههه االحتمه ههال ال ُي ْط َهل ه ُهق القه ههول
بردهه هها وال
كما جزم به إمام الحرمين،بقبولها بل هي موقوفة إلى استبانة حاله
و إنما يثبت،يحتجونه بخبر ينفرد بروايتهه رجله غير معروف ّه وأهله الهعلمه بالحديث ال
ً
، أو رجل قد ارتفهعه اسهمه الجهالههة عنههه، العلهم عندهمه إذا كانه راويهه عدال مشهورا
ً
فههٍإذا كههان هههذه صههفتهه، هاعدا
و ارتفاع اسمه الجهالههة عنههه أن يههروي عنههه رجالن فصه ه
ّ ً
فأمهها من لمه يههرو عنههه إال رجهله واحههد،ارتفههع عنههه اسهمه الجهالهةه وصههار حينئههذ معروفهها
ّ
انفرد بخبره وجب التهوق ف عن خبره ذلك حتى يوافقهه غيره
111
Adapun orang yang tidak meriwayatkan darinya kecuali seorang rawi
saja yang bersendirian dalam suatu khabar, maka wajib tawaquf dari
menerima khabarnya tersebut sampai berbetulan dengan yang lain”353.
Yang difahami dari perkataan ini disimpulkan bahwa riwayat rawi
majhuul ‘ain bisa terkuatkan dengan mutaaba’ah. Tetapi tidak begitu
jelas penegasannya ihwal terhasilkannya kekuatan dengan mutaaba’ah
rawi majhuul semisalnya atau rawi dha'if yang tidak matruuk.
Dan Al Haafidz Ibnu Hajar hanya membatasi secara khusus pada
riwayat mastuur – majhuul hal – dalam penyebutan di antara yang bisa
terkuatkan dengan riwayat-riwayat yang dha'if dan bukan riwayat rawi
majhuul ‘ain 354.
112
tsiqah karena hampir tidak ada yang selamat seorangpun dari
kekeliruan, tetapi itu jarang dan tidak mencacat selamanya . Karena di
atas 'adaalah ( ketaqwaan), dan penerimaan terhadap apa yang telah
mereka nukilkan-lah amalan berporos dan dengannya kita beragama
untuk Allah ta'aala”356.
2. Riwayat majhuul bertingkat-tingkat, penjelasannya adalah sebagai
berikut:
a. perkataan Al Haafidz Ad Dzahaby :
ُْ
احت ِم َل فٍإن كان الرجل من كبار التابعين أو أوساطهم:وأما املجهولون من الرواة
ّ ُُ
و إن. حديثههه و تل ِق َي بحسههن الظن إذا سههلم من مخالفههة األصههول و من ركاكههة األلفههاظ
و يختل ههف ذل ههك ب ههاختالف، ك ههان الرج ههل منهم من ص ههغار الت ههابعين فس ههائغ رواي ههة خ ههبره
ّ
وإن كه ههان املجهه ههول من أتبه ههاع الته ههابعين فمن.وتحريه ههه وعه ههدم ذلك جالله ههة اله ههراوي عنه ههه
فهو أضعف لخبره سيما إذا انفرد به،بعدهم
356 Ma’rifatu Ar Ruwat Al Mutakallamu Fihim Bima Laa Yujib Ar Rad Halaman
46.
357 Tahqiq Kitab ( Al Mughniy fi Ad Dhu’afa’ )1/ kaf- lam. Dan Diwanu Ad
Dhu’afa wa Al Matruukiin 374.
113
Dan juga perkataannya :
فٍإن جهل عينه وحاله فأولى أن ال، (مجهول) ال يلزم منه جهالة عينه:وقولهم
وإن كههان املنفههرد عنههه من كبههار األثبههات فههأقوى لحالههه ويحتج بمثلههه جماعههة.يحتجههوا به
كالنسائي وابن حبان
فهذا ممن ال يقبل روايته، أو من ُس ِم َّي و ال تعرف عينه،فأما املبهم الذي لم يسم
فٍإن ههه، ولكن ههه إذا ك ههان في عص ههر الت ههابعين والق ههرون املش هههود لهم ب ههالخير، أح ههد علمن ههاه
اإلمههام أحمههد وغههيره ُ ُ
ِ و قههد وقههع في مسههند، و ي ستضههاء بههها في مههواطن،يسههتأنس بروايتههه
من هذا القبيل كثير
114
3. Rawi-rawi yang dijadikan hujjah oleh pemilik shahiihain 360 atau
satu dari keduanya mereka memperoleh tautsiiq secara dhimniy
dengan itu. Dan menjadi terangkat pada mereka kemajhulan
meskipun tidak ada seorang -pun yang mengnashkan tautsiiq , dan itu
bisa dijelaskan dengan berikut ini:
a. Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby setelah menukilkan perkataan Ibnu
Al Qatthan ihwal Hafsh bin Bughail :
115
“ Maksudnya tidak ada seorangpun yang mengnashkan bahwa ia
adalah tsiqah, dan di rawi-rawi shahiihain ada jumlah yang banyak
yang mana kami tidak mengetahui ada seorang mangnashkan tautsiiq
untuk mereka ”362.
Al Haafidz Ad Dzahaby menginginkan berhujjah membantah Ibnu Al
Qatthan dengan rawi-rawi yang berada di shahiihain dari mereka para
rawi , dan menegaskan secara jelas terhasilkannya tautsiiq dengan itu
pada perkataannya : tsiqah adalah orang yang ditsiqahkan banyak
ulama dan tidak didha'ifkan . Dan tingkat di bawahnya: orang yang
tidak ditsiqahkan dan tidak pula didha'ifkan jika dikeluarkan hadits
orang tersebut di shahiihain maka ia mendapatkan tautsiiq dengan
itu”363.
b. Perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar :
ْ ُ
فأما جهالة الحال فمندفعة عن جميع من أخ ِر َج لهم في الصحيح؛ ألن شرط
ً ً
فمن زعم أن أح ههدا منهم مجه ههول فكأن ههه،الص ههحيح أن يك ههون راوي ههه معروف هها بالعدال ههة
َّ وال شههك أن.نههازع املصه ّهنف في دعههواه أنههه معههروف
املدعي ملعرفتههه مقه ّهدم على من يههدعي
ً
ومع ذلك فال تجد في رجال الصههحيح أحههدا.عدم معرفته ملا مع املثبت من زيادة العلم
ممن يسوغ إطالق اسم الجهالة عليه أصال
116
jumpai di rawi-rawi shahiih satupun dari kelompok rawi-rawi yang
layak dimutlakkan nama majhuul atasnya secara asal364.
4. Penetapan vonis sebagian imam dengan majhuul atas seorang rawi
tidaklah lazim kemudian ia adalah majhuul , karena kadang statusnya
diketahui -imam-lain dan ia mentsiqahkannya. Dan di antara contoh-
contohnya adalah sebagai berikut:
a. Abdullah bin Al Waliid bin Abdullah Al Muzaniy , ia ditsiqahkan
oleh Ibnu Ma'iin seraya dikomentari:
صالح الحديث
مجهوله ال أعرفهه
117
b. Al Hakam bin Abdullah Al Bashriy , Abu Hatim berkata mengenai
rawi ini : “مجهولMajhuul”370, berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
ُّ ّ
ليس بمجهول من روى عنه أربعة ثقات ووثقه الذ ْهلي
الحمال والحسنَّ ى ابن هارون/إن أراد (جهالة) العين فقد روى عنه البخاري وموس
ّ
وإن أراد (جهالة) الح ههال فقه ههد وثقه ههه عب ههد هللا بن أحم ههد بن.بن علي املعمه ههري وغ ههيرهم
فذكره بخير. سألت أبي عنه:حنبل قال
118
وإذا عرفههه غههيره ال يعتمههد، "ال أعرفه" فهههو مجهههول غههير معههروف:إذا قههال مثههل ابن معين
ُ
على معرفة غيره؛ ألن الرجال بابن معين ت ْس َب ُر أحوالهم
119
Di antara contoh hal demikia adalah Ibnu Hazm , ia berkata perihal
semua ; Abu Isa At Tirmidzy , dan Ismail bin Muhammad As Shaffar :
“مجهولMajhuul”377.
بدليل أنه قال في، "إنه مجهول" ال يريد به أنه لم يرو عنه سوى واحد:قول أبي حاتم في الرجل
مع أنه قد روى عنه جماعة." "مجهول:داود بن يزيد الثقفي
120
Dan juga perkataan As Sakhawiy : Pemutlakan Abu Hatim kata
majhuul tidaklah yang ia inginkan: rawi tersebut tidak ada yang
meriwayatkan darinya selain seorang.
Maksudnya pemutlakannya menurutnya lebih luas cakupannya dan
lebih umum yang mana mencakup semua dari dua jenis status 383 tadi
dan tidak terbatas pada majhuul 'ain .
121
“ Aku tidak tahu pada rawi-rawi wanita ada yang tertuduh dan atau
mereka meninggalkannya”387.
9. Diamnya Al Bukhaary dan Ibnu Abi Hatim dari mentautsiq rawi
ataupun mendha'ifkannya tidaklah artinya tautsiq untuk rawi tersebut
atau jarh. Dan itu dijelaskan dengan berikut ini :
a. perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar ketika berbicara perihal Yazid bin
Abdullah bin Mughaffal :
ً
ولم يذكر فيه هو وال ابن أبي حاتم جرحا،قد ذكره البخاري في تاريخه فسماه يزيد
فهو مستور
122
Oleh karena itu Al Haafidz Ibnu Katsiir berkata ketika menyebutkan
Musa bin Jubair Al Anshariy As Sulamiy maula mereka:
ً
وذكره ابن أبي حاتم في كتاب الجرح والتعديل ولم يحك فيه شيئا من هذا وال هذا.
فهو مستور الحال
أو فالن،حدثني فالن
123
Fasal Ke Dua:
124
Berkata Khatiib Al Bagdady :
والعمل في ذلك بما،العالم ِ الذي عندنا في هذا الباب ّرد خبر فاعلي املباحات إلى
ّ
ف ههٍإن غلب على ظن ههه من أفع ههال م ههرتكب املب ههاح املس ههقط للم ههروءة أنههه.يق ههوى في نفسه
مههع كون ههه ممن ال يحم ههل نفس ههه على الك ههذب في،مطبههوع على فع ههل ذل ههك والتس ههاهل ب ههه
َ
وإن ضههعفت هههذه.خههبره وشهههادته بههل يههرى إعظههام ذلههك وتحريمههه والته ّهنزه عنههه ق ِهب َهل خههبره
العالم واتهمه عندها وجب عليه ترك العمل بخبره ورد شهادته ِ الحال في نفس
“ Menurut kami di bab ini adalah mengembalikan khabar pelaku
perbuatan mubah ke penilaian seorang alim , dan ia melakukan
penilaian menurut yang kuat di pendapat pribadinya. Jika kuat dugaan
menurut pendapat pribadinya bahwa perbuatan-perbuatan pelaku
perkara mubah yang menjatuhkan muru`ah tersebut adalah tabiat
bawaan dan karena tasahul. Di sisi lain, si pelaku adalah di antara
orang - orang yang tidak mendorong dirinya melakukan kedustaan di
dalam khabar dan persaksian, bahkan ia menilai hal itu merupakan
perkara besar dan haram dan ia membersihkan dirinya dari hal itu
maka diterima khabarnya. Namun jika lemah keadaan ini menurut
penilaian seorang alim dan ia mencurigainya dengan perkara-perkara
tersebut maka wajib atasnya meninggalkan beramal menyandarkan
pada khabarnya dan ditolak persaksiannya”398.
Di antara cacat disebabkan menerabas muru`ah adalah menahan diri
dari menuliskan hadits dari orang yang memungut tarif upah ketika
menyampaikan hadits . Perbuatan ini menghalangi sebagian a`immah
seperti Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad dan Abu Hatim untuk
itu ( penulisan hadits )399. Demikian adalah karena alasan berikut :
1. Karena mengambil upah di dalam menyampaikan hadits adalah
termasuk menerabas muru`ah400 . Telah umum di kalangan ahli hadits
mereka berakhlak dengan kepentingan yang mulia , kesucian istiadat
125
dan menjaga harga diri dari melepaskan pandangan kepada
sedikitpun dari kepntingan (duniawi)401.
2. Kadang menjadi buruk persangkaan terhadap orang yang meminta
upah402.
Berkata Khatiib Al Bagdady :
ً
إنما منعوا ذلك تنزيها للراوي عن سوء الظن به؛ ألن بعض من كان يأخذ األجر على
َ َ
الرواية ُع ِث َر على ت َزُّي ِد ِه وادعائه ما لم يسمع ألجل ما كان ُي ْعطى
126
ً ً
ثبت عنه أنه كان يأخذ على الحديث شيئا قليال لفقره
127
1. Orang yang tidak dikafirkan dengan sebab bid'ahnya seperti
khawarij dan orang - orang rafidhah yang mereka tidak ghuluw
( berlebih-lebihan) dan yang selain mereka dari kelompok-kelompok
yang menyelisihi ushul ahlussunnah dengan penyelisihan yang tampak
jelas akan tetapi disandarkan pada ta’wil yang dzahirnya tampak bisa
diterima410.
2. Orang - orang yang dikafirkan dengan sebab bid'ahnya yang mana
dalam putusan pengkafiran statusnya disepakati menurut kaidah-
kaidah seluruh a`immah. Sebagaimana pada firqah ghulat rafidhah
disebabkan klaim sebagian mereka yang meyakini bersatunya ilahiyah
( tuhan) pada 'Ali radhiallaahu 'anhu , atau pada yang lain atau
mengimani bahwa ia kembali ke dunia sebelum hari qiyamah 411.
Mengenai orang yang tidak dikafirkan dengan sebab bid'ahnya , di
dalam penerimaan riwayatnya ada beberapa pendapat madzhab.
Yakni:
1) Madzhab sebagian kelompok dari kalangan salaf – di antara mereka
Muhammad bin Siriin – dan Imam Malik adalah menolak riwayat
mubtadi' secara mutlak 412.
Sandaran pengambilan pendapat ini adalah sebagai berikut:
a. Karena mubtadi' ( ahli bid'ah) adalah fasiq sebab bid'ahnya ,
sebagaimana sama kasusnya dalam perkara kafir karena ta'wiil dengan
yang bukan karena ta'wiil, maka sama juga kasusnya dalam perkara
kefasikan antara karena sebab ta'wiil dan bukan karena ta'wiil413.
b. Karena hawa ( nafsu) dan bid'ah tidak bisa aman dari dusta, terlebih
lagi jika dzahir riwayat mendukung madzhab mubtadi'414 tersebut .
128
c. Di dalam penerimaan riwayat mubtadi' sama dengan melariskan dan
memuji perkara bid'ahnya415.
2. Madzhab Imam Abu Hanifah , Imam As Syafi'iy dan Yahya bin
Sa'id Al Qatthan dan 'Ali bin Al Madiny : menerima riwayat mubtadi'
selama tidak dituduh menghalalkan dusta dalam rangka menolong
madzhabnya atau penganut madzhabnya ,tidak berbeda apakah ia
menyeru pada bid'ahnya atau tidak416.
Sandaran pengambilan pendapat ini adalah sebagai berikut:
a. Keyakinan mengharamkan dusta menghalangi melakukan hal
tersebut jadi terhasilkan kejujuran417.
b. Karena darurat membawa kepada penerimaan riwayatnya ,
sebagaimana dikatakan oleh 'Ali bin Al Madiny :
ّ
للتشيع لخربت الكتب لو تركت أهل البصرة للقدر وتركت أهل الكوفة
129
mendorongnya melakukan tahrif pada riwayat-riwayat dan
mencocokkannya menurut tuntutan madzhabnya424.
Pandangan ulama yang menempuh jalur perincian seperti ini
bermacam-macam sebagaimana berikut:
a. Sebagian ulama ada yang mencukupkan dengan rincian yang tadi
disebutkan425.
b. Di antara mereka ada yang mentafshil ( merinci) pada yang tidak
menyeru pada bid'ah , dengan berkata: jika riwayatnya mengandung
sesuatu yang menguatkan bid'ahnya , menghias-hiasi,dan membagus-
baguskannya dengan tampak jelas , maka tidak diterima , jika tidak
mengandung itu, maka diterima426.
c. Di antara mereka ada yang merinci pada orang yang menyeru
kepada bid'ahnya ,dan berkata : jika riwayatnya mengandung sesuatu
yang membantah bid'ahnya maka diterima jika tidak maka tidak
diterima427.
d. Ibnu Daqiiq Al ‘Ied di perkara orang yang menyeru bid'ahnya
merinci dari segi bersendiriannya dalam meriwayatkan hadits atau
tidak , ia berkata :
ً ً ّ
نرى أن من كان داعية ملذهبه املبتدع متعصبا له متجاهرا بباطله أن تترك الرواية
ّ ّ ً
اللهم إال أن يكههون ذلههك الحههديث غههير موجههود لنهها إال...عنههه إهانههة لههه وإخمههادا لبدعته
قدم مصلحة حفظ الحديث على مصلحة إهانة املبتدع ّ فحينئذ ُت،من جهته
130
. Maka di kondisi seperti itu didahulukan maslahat menjaga hadits
daripada maslahat menghinakan mubtadi' “428.
4. Di sisi lain ada beberapa riwayat dari Imam Ahmad yang
menunjukkan bahwa masalah hukum menerima riwayat mubtadi' atau
menolaknya berbeda-beda tergantung dengan jenis bid'ahnya.
Berkata Al Haafidz Ibnu Rajab :
ويكتب عن القدري إذا، احتملوا من املرجئة الحديث:قال أحمد ه في رواية أبي داود ه
لم يكن داعية
131
Adapun madzhab yang pertama, maka ia adalah sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Shalah :
132
melihat keagungan kejujuran dan besarnya dusta di pandangan mereka
,dan penjagaan diri mereka dari larangan-larangan baik berupa
perbuatan dan juga pengingkaran mereka terhadap ahli raib ( syubhat)
dan tarekat-tarekat yang tercela. Dan juga periwayatan mereka
terhadap hadits -hadits yang menyelisihi pendapat- pendapat mereka
yang dijadikan pegangan hujjah oleh orang - orang yang menyelisihi
mereka untuk membantah mereka sendiri432.
d. Adapun alasan meriwayatkan dari orang - orang mubtadi' sama
artinya melariskan bid'ah, memuji muji (menyebut-nyebut mereka)
maka tidak seberapa efeknya jika dibandingkan mafsadah apabila
meninggalkan meriwayatkan dari mereka meliputi terlepasnya separuh
dari sunan ( sunnah-sunnah) yang sebagiannya mereka bersendirian
dalam membawanya, dan sebagiannya di mutaba’ahi ,padahal mereka
telah memutqinkan dalam tahammul( mendengar) dan ada’
( menyampaikan).
Adapun dua madzhab sisanya ( pendapat kedua dan ketiga) maka
dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa tuntutan ihtiyath ( sikap
kehati-hatian) yang sangat di dalam menerima riwayat mubtadi' adalah
tidak bisa diterima kecuali dengan syarat-syarat berikut:
a. Jujur dapat dipercaya apa yang ia sampaikan yakni dengan tidak
menghalalkan dusta demi menolong madzhabnya .
b. Tidak menyeru kepada bid'ahnya .
c. Dzahir hadits yang diriwayatkan tidak mencocoki madzhab bid'ah .
Abu Ishaq Ibrahim bin Ya’qub Al Jurjaniy berkata :
ْ
ومنهم (يعني املبتدعة) زائغ عن الحق صدوق اللهجة قد جرى في الناس حديثه إذ
ّ ً ً
فهههؤالء عنههدي ليس فيهم حيلههة إال أن يؤخههذ،كههان مخههذوال في بدعتههه مأمونهها في روايتههه
فيتهم عند ذلك ّ يقو به بدعته ّ من حديثهم ما ُي ْع َرف إذا لم
133
“ Di antara mereka ( kelompok mubtadi’ah) ada yang melenceng dari
kebenaran tetapi jujur lisannya. Haditsnya diriwayatkan oleh orang -
orang karena meskipun ia hina disebabkan bid'ahnya tapi dapat
dipercaya riwayatnya . Mereka ini menurutku tidak ada alasan lagi
selain diambil ( maksudnya diterima) hadits mereka yang ma'ruf
(tidak mungkar) apabila dengan hadits tersebut ia tidak menguatkan
bid'ahnya yang membuat ia dicurigai ketika itu”433.
Al Haafidz Ibnu Hajar juga mentaujih pensyaratan ini ketika
mengatakan:
ٌ ّ ّ
وما قاله (يعني الجوزجاني) متجه؛ ألن العلة التي لها ُر َّد حديث الداعية واردة فيما
إذا كان ظاهر املروي يوافق مذهب املبتدع ولو لم يكن داعية
433 Ahwaalu Ar Rijaal halaman 32, dan lihat Lisaanul Miizan 1/11.
434 Nuzhatun Nadzaar halaman 51.
435 Al Ba'its Al Hatsiits halaman 84.
134
a. Perkataan Al Haafidz Ibnu Katsiir :
ّ ّ
ألنهم يرون، أقبل شهادة أهل األهواء إال الخطابية من الرافضة:وقد قال الشافعي
الشهادة بالزور ملوافقيهم
135
ً ً ً
و التقيههة و النفههاق،اآلن في هذا الضههرب رجال صههادقا و ال مأمونهها بههل الكههذب شههعارهم
ّ
فالش ههيعي الغ ههالي في زم ههان. فكي ههف ُيقب ه ُهل نق ه ُهل من ه ههذا حال ههه ؟ حاش هها وكال، دث ههارهم
َّ
السههلف و ُهع ْر ِفهم هههو من تكلم في عثمههان والزبههير وطلحههة ومعاويههة وطائفههة ممن حههارب
َّ
والغههالي في زماننهها و ُع ْر ِفنهها هههو الههذي ُيك هف ر هههؤالء.لسبهم
ّ ي هللا عنه ه وتعرض/عليا ه رض
ً
فهذا ضال مفتر،السادة ويتبرأ من الشيخين أيضا
136
Syaikhaini (Abu Bakar dan Umar radhiallaahu 'anhuma) juga, orang
seperti ini adalah sesat dan pendusta”438.
c. Perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar :
ً ً ّ التشيع في عرف املتقدمين هو اعتقاد تفضيل
وأن عليا كان مصيبا،علي على عثمان
وأن مخالفههه مخطئ مههع تقههديم الشههيخين وتفضههيلهما وربمهها اعتقههد بعضهههم،في حروبههه
ً ً ً ً ً
أن عليا أفضل الخلق بعد رسول هللا وإذا كان معتقد ذلك ورعا َد ِّينهها صههادقا مجتهههدا
ّ فال،
وأمهها التشههيع في عههرف املتههأخرين فهههو.ترد روايته بهذا ال سههيما إن كهان غههير داعية
ي الغالي وال كرامة/ فال تقبل رواية الرافض،الرفض املحض
137
وإذا تعههارض كالم الناقههد وكالم صههاحبي الصههحيحين فيمن.الكذبه والبراءة علىه الهتهمةه
ق ه ّهدم كالمهم هها و اعتبارهم هها لل ههرواي على كالم، أخ ههرج لهم الش ههيخان من أه ههل الب ههدع
غيرهما ألنهما أعرف بالرجال من غيرهما
“ jika bukan karena aku mengetahui ia adalah shaduuq tentu aku tidak
menyampaikan hadits darinya”.
Berkata Al Bukhaary :
138
ٌ
مكذوب على أبي وما سمعت منه يقول في القدر :قال عبد الصمد بن عبد الوارث
ً
قط شيئا
442 Hadyu As Saariy halaman 422, dan lihat juga At Taarikh Al Kabiir 6/118.
443 Hadyu As Saariy halaman 396.
444 Siyar A'laam An Nubala 9/333, Hadyu As Saariy halaman 393.
445 Hadyu As Saariy halaman 415.
446 Hadyu As Saariy halaman : 416, 448, 451.
139
f. Rawi-rawi yag dikeluarkan oleh para imam selain model yang
sebelumnya adalah bersandar dengan yang ma'ruf pada mereka dari
kejujuran dan amanah. Sebagaimana dikatakan oleh Al Haafidz Ad
Dzahaby :
أبان بن تغلب الكوفي شيعي جلد لكنه صدوق فلنا صدقه وعليه بدعته
140
Al Haafidz Ad Dzahaby telah menukilkan dari Al Haafidz
Muhammad Al Barqiy perkataannya :
قلت ليحيى ابن معين :أرأيت من ُيرمى بالقدر يكتب حديثه؟ قال :نعم ،قد كان قتادة و
هشام الدستوائي ،و سعيد بن أبي عروبة ،وعبد الوارث ه و ذكر جماعة ه يقولون بالقدر
،و هم ثقات ،يكتب حديثهم ما لم يدعوا إلى ش/يء.
141
kepada bid'ahnya ,apakah diambil hadits darinya? Kebanyakan
huffadz berpendapat menghindar dari hadits -haditsnya ,menghajrnya .
Dan sebagian mereka berkata : jika mengetahui jujurnya dan ia
menyeru ( mengajak) dan didapati padanya sunnah yang ia
bersendirian dengan itu , maka bagaimana boleh bagi kami
meninggalkan sunnah tersebut ? Seluruh tasharrufat para imam hadits
memberikan pengetahuan bahwa seorang mubtadi' jika bid'ahnya tidak
bisa mengeluarkan dari lingkupan islam, tidak menghalalkan
darahnya, maka penerimaan riwayatnya adalah diizinkan.
Masalah ini belum mebuktikan bagiku sebagaimana semestinya , dan
yang semakin jelas menurutku adalah orang yang terjerumus ke
dalam bid'ah dan tidak tergolong para pembesarnya dan juga tidak
perhatian di dalam bid'ahnya sebagaimana yang dipermisalkan oleh Al
Haafidz Zakariya dengan mereka-mereka yang tadi disebutkan. Dan
hadits mereka ini di kitab-kitab islam adalah karena kejujurannya dan
dhabt hafalan mereka”450.
Adapun orang yang dikafirkan dengan sebab bid'ahnya maka berkata
Al Haafidz Ibnu Katsiir:
142
فأمهها من لم يكن به ههذه الص ههفة وانضههم. وكههذا من اعتق ههد عكسه،من الههدين بالضههرورة
إلى ذلك ضبطه ملا يرويه مع ورعه وتقواه فال مانع من قبوله
ه وكذا من2.قوله َ
ِ الكفر صريحُ ه من كان1:الذي يظهر أن الذي ُي ْحكم عليه بالكفر
قول ه ُه
وأمهها من لم يلتزمههه وناضههل عنههه فٍإنههه ال.وع ِرض عليههه فالتزمه َ )كههان (الكفه ُهر
الزم ِ ه
ً
ولو كان الالزم كفرا،يكون كافرا
143
2. Demikian pula halnya orang yang kekafiran tersebut adalah lazim
dari perkataannya dan dimintai pendapat mengenai itu dan ia
beriltizam itu ( maksudnya mengamini kelaziman kufur tersebut ).
Adapun orang yang tidak beriltizam dan ia bersikukuh tidak mau
mengakui maka ia tidaklah kafir ,meskipun kelazimannya adalah
kekufuran”453.
Berkata As Sakhawiy :
144
perbuatan atau disebabkan perkataan458. Dan dinamai haditsnya
dengan istilah mungkar menurut pendapat orang yang tidak
mensyaratkan di dalam istilah mungkar terjadinya mukhaalafah
( penyelisihan) 459karena mungkar dimutlakkan untuk dua hal:
1. Hadits yang bersendirian rawi dha'if dalam meriwayatkan, yang
(dha'ifnya) tidak muhtamal (mengandung kemungkinan lain) -
demikian adalah- sebab kefasikan ( rawi )nya atau begitu parah
kesalahannya, atau banyak lupa460.
2. hadits yang diriwayatkan seorang dha'if yang menyelisihi rawi
yang lebih tsiqah darinya atau menyelisihi jama’ah dari kalangan
tsiqah461
اإلسالم الهروي
ِ ال أعرفه لكن روى عنه شيخ،أحمد بن محمد بن أحمد بن يحيى
ً ً
ورواته سواه ثقات فهو املتهم به،خبرا موضوعا
145
Harawiy khabar palsu dan rawi-rawi selainnya adalah tsiqah maka ia
lah yang terindikasi463 perkara ini464”.
2. Ma'ruf pada dirinya berdusta di dalam perkataannya meskipun
belum pernah tampak darinya berdusta di hadits nabawiy465. Hadits
rawi yang tertuduh berdusta dinamakan matruuk466.
146
Hukum Riwayat Orang Yang Taubat Dari
Berdusta Dengan Sengaja469 Di Dalam
Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
Wasallam
“Setiap yang kami campakkan khabarnya dari kalangan ahli naql karena sebab dusta
yang kami dapatkan atasnya , kami masih belum menganggap dengan taubat
yang tampak untuk menerima(khabar)nya”.
Dzahir perkataannya adalah mutlak, tidak ada bedanya apakah dustanya di hadits
nabawiy atau pada yang lain. Lihat 'Uluumul Hadits 231.
Tetapi Al ‘Iraqi berkata :
ّ
باملحدث فيما رأيته في كتابه وقد قيده.) (من أهل النقل:الظاهر أن الصيرفي إنما أراد الكذب في الحديث بدليل قوله
ّ
تعمههدت الكههذب فهههو كههاذب في األول: "وليس ُيطعن على املحههدث إال أن يقههول:املسههمى به (الههدالئل واألعالم) فقههال
وال يقبل خبره بعد ذلك
“ Dan yang dzahir As Shairafiy hanya memaksudkan dusta di dalam hadits dengan
dalil perkataannya : “Dari kalangan ahli naql “. dan ia membatasi cakupan
mutlak perkataannya dengan muhaddits di yang aku lihat di kitabnya yang
147
ً
ال تقبل روايته أبدا وإن حسنت توبته
“ Aku tidak melihat dalil madzhab mereka ini . Dan bisa jadi sisi
alasannya adalah karena demikian itu dijadikan sebagai tindakan
taghlidz dan zajr secara serius dari berdusta atas Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam karena begitu besarnya mafsadah. Karena akibatnya
adalah menjadi syariat yang terus menerus sampai hari qiyamah
berbeda dengan berdusta dan bersaksi atas selain beliau , karena
mafsadahnya terbatas dan tidak meluas”472.
2. Pendapat Abu Zakariya An Nawawy : diterima riwayatnya jika
taubatnya benar . Berkata An Nawawy :
القطع: و املختار. وهذا الذي ذكره هؤالء األئمة ضعيف مخالف للقواعد الشرعية
وهي.بصه ّهحة توبتههه في هههذا وقبههول رواياتههه بعههدها إذا صههحت توبتههه بشههروطها املعروفة
اإل قالع عن املعصههية و النههدم على فعلههها و العههزم على أن ال يعههود إليههها فهههذا هههو
ِ
ً
و، وقههد أجمعههوا على صههحة روايههة من كههان كههافرا فأسههلم.الجههاري على قواعههد الشههرع
وأجمعههوا على قبههول شهههادته وال فههرق بين الشهههادة.أكههثر الصههحابة كههانوا بهههذه الصههفة
والرواية في هذا
148
“ Pendapat yang disebutkan oleh mereka ini 473 adalah dha'if
menyelisihi kaidah-kaidah syar’iyyah, dan yang mukhtar (terpilih)
adalah tegas di dalam keabsahan taubatnya di dalam masalah ini dan
diterima riwayatnya setelah itu jika telah sah taubatnya dengan
memenuhi syarat-syaratnya yang ma'ruf dikenal. Yakni menghindari
maksiat, menyesali perbuatannya dan bertekat tidak kembali
mengulangi perbuatan tersebut dan inilah yang berjalan sesuai dengan
kaidah syara' .
Mereka telah bersepakat sahnya riwayatnya orang yang kafir
kemudian masuk islam , dan kebanyakan sahabat mereka latar
belakangnya seperti demikian , mereka juga bersepakat diterima
persaksiannya dan tidak ada perbedaan antara persaksian dan
periwayatan di dalam masalah ini”474.
Dan perkataan An Nawawy ini memberikan faidah bahwa difahami
dari kalam para imam adalah tidak diterima taubat orang yang
berdusta di hadits nabawiy , dan itu menyelisihi yang datang dari
Imam Ahmad , karena ia menegaskan menerima taubatnya di dalam
perkara antara ia dengan Allah ta'aala475 .
Akan tetapi fokus perselisihan di sini adalah penerimaan riwayatnya
setelah bertaubat . Dan yang dzahir adalah diterima sebagaimana yang
dikatakan As Shan’aniy :
ال وجه لرد رواية الكذاب في الحديث بعد صحة توبته إذ بعد صحتها قد اجتمعت
فالقياس قبوله،فيه شروط الرواية
“ Tidak ada sisi alasan apapun untuk menolak orang yang pernah
berdusta di dalam hadits (atas nama Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam) setelah sah taubatnya karena setelah sah taubatnya
149
terkumpul padanya kriteria syarat periwayatan, dan (ditinjau secara)
qiyas adalah diterima”476.
150
Fasal Ke Tiga
151
orang yang memperdengarkan - riwayat -. Kadang itu dilakukan di
haknya orang yang tidak diketahui keadaannya atau ia dikenal tidak
tidak faham.
479 Kata حديثه ضعف “ فيfi haditsihi dha’fun” maksudnya tidak bisa dijadikan hujjah
kecuali di atas kelayyinan , akan tetapi tidak bisa dihukumi bahwa ia adalah
dha'if . Karena hukum vonis dha'if butuh kepada indikasi yang menguatkan
152
Bisa hilang kedha’ifannya ketika statusnya adalah orang yang atsbat (
paling tsabt/ kokoh) dari kalangan para rawi yang meriwayatkan dari
syaikh tertentu, asalkan riwayatnya datang melalui jalur syaikh
tersebut. Karena lamanya ia melakukan mulazamah dan pengetahuan
mutqinnya terhadap haditsnya. Dan semakin bertambah dha'if jika ia
termasuk dari yang mendengar dari syaikhnya yang mukhtalith
( bercampur hafalannya) setelah mengalami ikhtilath480.
2. Buruk hafalan karena sebab tak terduga yang menimpa rawi, bisa
jadi karena kelanjutan usianya , atau karena hilangnya penglihatan
( kebutaan), atau karena kitab-kitabnya terbakar yang mana
sebelumnya ia jadikan sandaran ,setelah itu ia rujuk dengan bersandar
pada ingatannya dan buruklah hafalannya 481. Maka ini lah yang
kemudian dikenal dengan ikhtilath482.
Rawi yang Mukhtalith diterima haditsnya yang ia sampaikan sebelum
terjadi ikhtilath. Dan tidak diterima hadits rawi yang meriwayatkan
darinya setelah terjadi ikhtilath , dan juga rawi yang tidak bisa
dipastikan persoalannya sehingga tidak diketahui apakah ia
mengambil hadits darinya sebelum ikhtilath atau sesudahnya 483. Maka
ini terkuatkan dengan mutaba’ah atau syahid sehingga dengan itu
status haditsnya terangkat menjadi hasan lighairihi484.
Di antara dhabit-dhabit pada permasalahan ikhtilath adalah :
1- Penyusun shahiihain485 tidak mengeluarkn hadits -hadits dari
riwayat orang - orang mukhtalith kecuali di atas penerapan intiqa
( penyaringan yang ketat) di dua keadaan:
kedha’ifannya.
480 Maksudnya semenjak mengalami kepikunan yang membuatnya lupa dan
mencampur aduk hadits karena sebab itu.
481 Nuzhatun Nadzaar halaman 51.
482 Ikhtilath adalah rusaknya akal dan ketidak serasian antara perkataan dan
perbuatan , fathul Mughiits 3/331.cetakan As Salafiyah.
483 Lihat 'Uluumul Hadits karangan Ibnu Shalah halaman 594.
484 Nuzhatun Nadzaar halaman 51-52.
485 Al Bukhaary dan Muslim .
153
a. Datang dari jalan rawi yang mendengar mereka sebelum ikhtilath.
b. Datang melalui jalur rawi yang mendengar dari mereka setelah
ikhtilath tetapi di situasi yang banyak dari rawi-rawi saling bersepakat,
atau disepakati riwayat mereka oleh orang - orang tsiqah lagi tsabt,
sebagaimana hal demikian adalah yang dikeluarkan di dalam
mutaaba’at , atau di kondisi hadits rawi tersebut disebutkan dalam
keadaan maqrun dengan yang lainnya.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar ketika mentaujih ( menjelaskan arah
pengompromian) perihal hadits yang diriwayatkan Al Bukhaary dari
jalur Sa'id bin Abi ‘Uruubah dari Qatadah bin Di’aamah:
وأما ما أخرجه البخاري من حديثه عن قتادة فأكثره من رواية من سمع منه قبل ّ
ً
، كمحمههد بن عبههد هللا األنصههاري،االختالط وأخرج عمن سمع منههه بعههد االختالط قليال
فههٍإذا أخههرج من حههديث هههؤالء انتقى منههه مهها توافقههوا. وابن أبي عههدي،وروح بن عبههادة
عليه
كالهما عن،له في البخاري حديث واحد في الجهاد مقرون بيحيى بن سعيد األنصهاري
عياش عن أبي سعيد وذكر له حديثين آخرين متابعة في الدعواتّ النعمان بن أبي
154
“ Miliknya di- shahiih - Al Bukhaary ada satu hadits pada- bab- Jihad
dengan status maqrun ( disandingkan penyebutan namanya di sanad)
dengan Yahya bin Sa'id Al Anshariy. Keduanya dari Nu’man bin Abi
‘Ayyasy dari Abu Sa'id. Dan ia menyebutkan riwayat miliknya dua
hadits lain berstatus mutaba’aat di kitab Ad Da’awaat ”487.
2- Status seorang rawi diketahui sebagai mukhtalith atau yang berubah
hafalannya yang tidak menyampaikan hadits ketika ikhtilath atau
berubah hafalannya kadang diketahui dengan beberapa indikasi
berikut:
a. Di dihalangi oleh anak-anaknya atau sebagian muridnya dari
menyampaikan hadits . Di antara contoh kasus seperti demikian
adalah Jarir bin Hazim Al Azdiy yang mengalami ikhtilath , yang
mana anak-anaknya menghijabinya ( menutupnya )sehingga
seorangpun tidak mendengar hadits darinya ketika ikhtilath488.
B Gejala perubahan hafalan terjadi ketika menjelang wafat . Ahmad
bin Abi Khaitsamah pernah berkata :
ّ
أنكرنا عفان (بن مسلم الصفار) في صفر أليام خلون منه:سمعت أبي ويحيى يقوالن
ومات بعد أيام،سنة تسع عشرة ومائتين
تغير يوجد في مرض املوت فليس بقادح في الثقة فٍإن غالب الناس يعتريهم في املرض ّ كل
وإنمه هها املحه ههذور أن يقه ههع. َوي ِت ُّم لهم وقت السه ههياق وقبل ههه أش ههد من ذلك،الح ههاد نح ههو ذله ههك
155
االختالط بالثقههة فيحههدث في حههال اختالطههه بمهها يضههطرب في إسههناده أو متنههه فيخههالف
فيه
490 Rawi-rawi yang lain. Siyar A'laam An Nubala 10/254, dan Ad Dzahaby
merajihkan tahun wafat ‘Affan bin Muslim adalah 220 H.
491 Dicetak bersama Majmu Rasaa`il Al Kamaaliyah Fil Hadits jild 2.
492 Buku ini ditahqiq oleh Abdul Qayyum ‘Abdu RabbinNabiy di risalahnya
dalam rangka meraih predikat magister , telah diterbitkan oleh Markas Bahats
Al ‘Ilmiy di Universitas Umul Qura. Sang muhaqqiq memberikan perhatian
khusus dalam melakukan istidrak terhadap penyusun buku dan menyebutkan
banyak dari nama-nama yang luput disebutkan dari kalangan rawi-rawi yang
mendengar hadits orang - orang mukhtalith sebelum atau sesudah mengalami
campur aduk hafalan, dia menambahkan dua golongan yang disisipkan, satu
diantaranya : menyebutkan sebanyak tiga puluh delapan nama dari kalangan
mukhtalithin yang dulunya tsiqah yang tidak disebutkan oleh Ibnu Al Kayyal ,
sedangkan yang lain menyebutkan tiga belas nama rawi-rawi yang mukhtalith
dari kalangan dhu’afa` ( rawi-rawi dha'if ).
156
Sisi Kedua : Sering Menyelisihi Riwayat (Katsratul
Mukhaalafah: ) كثرةفلاخملا ة المخالفبذكلاب ة
Yang dimaksud dengan mukhaalafah ( )املخالفةadalah seorang rawi
menyelisihi rawi yang lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi jama'ah
dari kalangan tsiqat.
Riwayat yang sering terdapat padanya penyelisihan terhadap yang lain
dihukumi sekadar kedudukan yang dituntut oleh kaidah-kaidah
mustalah hadits , rinsiannya adalah sebagai berikut:
1. jika status mukhaalafah ( penyelisihan terhadap riwayat lain) adalah
secara keseluruhan dalam hal makna yakni terjadi pertentangan makna
antara dua riwayat , maka itu adalah syaadz ( )الشاذ. Dengan ketentuan
rawi tersebut berstatus tsiqah atau shaduq. Dan adalah mungkar (
)املنكرjika rawi tersebut adalah dha'if 493.
5 jika berupa menambah nama rawi di dalam sanad di sisi lain ada
penegasan jelas mendengar di jalur yang sanadnya kurang ( pendek)
di tempat tambahan maka itu disebut dengan maziid fi muttashilil
asaaniid ()مزيد في متصل االساند.
157
6. jika berkaitan dengan penggantian rawi dan tidak ada murajjih
( indikasi yang menguatan) satu dari kedua riwayat tadi dengan yang
lain maka disebut dengan muttharib ()مضطرب.
158
Sisi Ke Empat: Sangat Pelupa ( Syiddatul Ghaflah
)شدةفلاخملا ة الغفلبذكلاب ة
Ghaflah ( ) الغفلةadalah tidak cerdas dari segi seorang rawi tidak
memiliki ingatan dan ketelitian yang digunakan membedakan mana
yang benar dari yang salah di riwayat-riwayatnya.
Kadang lupa seorang rawi sangat parah hingga ketika diuraikan
kepadanya beberapa hadits, ia kemudian mengatakan bahwa itu semua
adalah hadits -hadits yang pernah didengarkanya . Tidakan seperti itu
dikenal dengan talqin. Yaitu ketika seorang rawi mengikut dengan apa
yang ditalqinkan kepadanya ,sama statusnya biarpun status hadits
tersebut termasuk dari haditsnya atau tidak.
159
Sisi Ke Lima: Parah Kekeliruannya ( Fuhsyul
Ghalath : )فحطلغلا ش الغلط
Yang dimaksud dengan Fuhsyul Ghalath ( ) فحش الغلطadalah kondisi
dimana kekeliruan rawi lebih parah jumlahnya dibanding sisi tepat
( benar) pada riwayatnya . Dan kondisi ini mengeluarkannya dari
dijadikan i'tibar mutaba’at sehingga tidak bisa menguatkan riwayat
lain dan tidak bisa terkuatkan dengan riwayat lain. Dan riwayat yang
ia bersendirian dengannya disebut dengan mungkar ( )منكر
sebagaimana itu adalah kondisi riwayat orang yang dzahir
kefasikannya dan parah lupanya500.
160
dikatakan Al Barqaaniy : “Telah mengkhabarkan kepada kami Fulan
dan aku tidak mencocokkannya dengan Ashl “504.
Abu Bakar Al Khathib menambahkan syarat lain yakni rawi tersebut
telah menuqilkan dari ashl yang mu'tabar505 .
Ibnu Shalah menambahkan syarat yang ke tiga yakni seorang yang
menuqilkan nuskhah adalah fare’ dari ashl yang shahiih: nuqilannya
sedikit kelirunya506.
161
Fasal Empat
1. التدليسTadlis 507.
2. اإلرسال
ِ كثرةKatsratul irsal (banyak memursalkan hadits).
3. كثرة الرواية عن املجهولين واملتروكينKatsratu riwayah ‘anil majhuuliin
wal matruukiin ( banyak meriwayatkan hadits dari orang - orang yang
tidak dikenal dan orang - orang yang matruk).
162
Sisi Pertama: التدليسTadlis
Dan ia terbagi tiga:
163
3. Tadlis Syuyukh تدليس الشيوخ
Seorang rawi meriwayatkan dari seorang syaikh sebuah hadits yang ia
dengar darinya , dia menamai syaikh tersebut , menguniyahinya ,
menisbahinya atau menyifatinya dengan sesuatu yang tidak makruf
disematkan padanya , dengan tujuan supaya tidak dikenal512.
Dampak dari dua jenis – tadlis yang pertama - adalah jelas di dalam
kesimpulan tidak bersambungnya isnad yang mu’an’an 513 dan yang
semodelnya .
Dan dampak model yang ketiga berhubungan pada terhasilkannya
ketetapan atas syaikh dengan kemajhulan.
Berkata Ibnu Daqiiq Al `Ied :
ً
مجهوال فيسقط العمل بالحديث لكون فٍإنه (يعني التدليس) قد َي ْخفى ويصير الراوي
ً ً ً
..الراوي مجهوال عند السامع مع كونه عدال معروفا في نفس األمر
164
diriwayatkan mudallis jika tidak mentashrih ( menegaskan )
mendengar menurut kekhususan hukum pada masing-masing
tingkatan :
Tingkatan pertama, rawi yang tidak tersifati dengan tadlis kecuali
sangat jarang sekali yang mana sepatutnya tidak perlu diperhitungkan
-sebagai catatan perhatian- pada hak mereka . Seperti Yahya bin Sa'id
Al Anshariy, Hisyam bin ‘Urwah dan Musa bin ‘Uqbah.
Tingkatan yang ke dua , rawi-rawi yang tadlisnya ditoleransi oleh
para imam , dan mereka mengeluarkan haditsnya di shahiih meskipun
tidak -dalam meriwayatkan hadits – tidak mentashrih ( menegaskan )
dengan mendengar . Seperti itu adalah karena keimamannya dan
jarangnya melakukan tadlis pada sisi apa yang ia riwayatkan. Semisal
At Tsauriy 515 . Atau rawi yang tidak melakukan tadlis kecuali dari
tsiqah. Semisal Sufyan bin ‘Uyainah .
Tingkatan yang ke tiga , rawi yang sering melakukan tsdlis dan apa
yang ia riwayatkan dari hadits -hadits tidak dijadikan hujjah oleh para
imam kecuali dengan – menyampaikan- ungkapan penegasan
( tashrih) mendengar langsung , di antara mereka ada yang menolak
haditsnya secara mutlak dan ada yang secara mutlak menerimanya.
Semisal Abu Az Zubair Muhammad bin Muslim Al Makkiy.
Tingkatan yang ke empat, rawi yang telah disepakati oleh para imam
tidak dipakai haditsnya sebagai hujjah kecuali mengungkapkan secara
tegas ia mendengar karena seringnya ia melakukan tadlis dari rawi-
165
rawi dha'if dan tidak dikenal ( majhuul) , semisal Baqiyah bin Al
Walid.
Tingkatan yang ke lima, rawi yang didha'ifkan dengan alasan lain
selain tadlis. Maka haditsnya adalah tertolak meskipun mengungkap
kan dengan tegas ia mendengar kecuali kecuali pada rawi yang
dha’ifnya sedikit dan ditautsiq. Seperti Abdullah bin Luhai’ah516.
وقتادة،الس ِب ْي ِعي
َّ وأبي إسحاق، األعمش:كفيتكم تدليس ثالثة
أنها إذا جاءت من طريق شعبة دلت،فهذه قاعدة جيدة في أحاديث هؤالء الثالثة
على السماع
“ Ini adalah kaidah yang bagus mengenai hadits -hadits tiga orang
ini : jika datang dari jalur Syu'bah maka itu menunjukkan mereka
mendengar langsung”517.
516 Lihat Jami’u At Tahshiil halaman 113, Ta’rifu Ahli Taqdis Bimaratibi Al
Maushufina Bi At Tadlis halaman 13-14.
517 Ta’rifu Ahli Taqdis Bimaratibi Al Maushufina Bi At Tadlis halaman 59.
166
2- Riwayat Laits bin Sa’ed dari Abu Az Zubair dari Jabir . Laits
tidaklah mendengar dari Abu Az Zuabair kecuali yang didengarnya
langsung dari Jabir. Sa'id bin Abi Maryam pernah berkata :
أسمعت هذا كله من جابر؟: جئت أبا الزبير فدفع لي كتابين فسألته:حدثنا الليث قال
َ َ
فهأ ْعل َم لي،هأع ِل ْم لي على مها سهمعت منهه
ْ ف: قهال. فيه ما سههمعت وفيهه مها لم أسهمع، ال:قال
“ Dan seolah ia tahu akan hal itu dengan istiqra’ dari sepak terjang Al
Qatthan atau penegasan dari perkataannya “520.
167
4- Riwayat Yahya Al Qatthan dari Sufayan At Tsauriy ( meskipun
Sufyan sedikit sekali melakukan tadlis521 ).
b. Jika riwayat tersebut adalah dari rawi yang si mudallis tadi banyak
meriwayatkan hadits darinya , di antara contoh dalam hal ini adalah
yang disebutkan oleh Al Haafidz Ad Dzahaby di dalam biografi Al
A’masy :
ّ ّ
ومتى، (حدثنا) فال كالم: فمتى قال،وربما دلس عن ضعيف وال ُي ْد َرى به ّ يدلس وهو
ّ َ َ َ
) (عن) تط َّرق إليه احتمال التدليس إال في شيوخ له أكههثر عنهم كههٍإبراهيم (النخعي:قال
ف ه ههٍإن روايت ه ههه عن ه ه ههذا الص ه ههنف،وأبي وائ ه ههل (ش ه ههقيق بن س ه ههلمة) وأبي ص ه ههالح الس ه ه ّهمان
محمولة على االتصال
168
b. Status si mudallis masuk dalam dua tingkatan dari urutan awal
( pertama, ke dua) di jajaran maratib mudallisin524.
c. Riwayat tersebut dari jalur sebagian nuqad (kritikus) yang mereka
melakukan tahqiq terhadap ihwal mendengarnya rawi yang melakukan
‘an’anah terhadap riwayat tersebut525.
d. Riwayat mudallis tersebut berasal dari salah satu syaikh-syaikhnya
yang ia banyak mengambil hadits dari mereka.
e. riwayat yang tertadlis tadi datang dalam kondisi disebutkan bersama
riwayat rawi lain ( maqrun) atau disebutkan di dalam mutaba’at dan
syawahid .
f. Kemungkinan Asy Syaikhany ( Al Bukhaary dan Muslim ) telah
melihat jalur lain yang tegas ungkapannya menunjukkan
mendengar526, hanya saja mereka berdua berpaling karena meringkas
عما وقع في الصحيحين من حديث املدلس ّ وسألته:وفي أسئلة اإلمام تقي الدين السبكي للحافظ أبي الحجاج ا ِمل ّزي
ِ ِ
ّ ّ
وإال ففيهمهها أحههاديث، كههذا يقولههون ومهها فيهه إال تحسههين الظن بهمهها: فقههال. إنهما اطلعهها على اتصههالها؟: هل نقول.معنعنا
من رواية املدلسين ما توجد من غير تلك الطريق التي في الصحيح
فيحمل كالمهم هنا على ما كان، وليست األحاديث التي في الصحيحين بالعنعنة عن املدلسين كلها في االحتجاج:قلت
وك ه ههذلك. أم ه هها م ه هها كه ههان في املتابع ه ههات فيحتم ه ههل أن يك ه ههون حص ه ههل التس ه ههامح في تخريجه ه هها كغيرها.منه ه هها في االحتج ه ههاج فقط
بل هم على مراتب،املدلسون الذين خرج حديثهم في الصحيحين ليسوا في مرتبة واحدة في ذلك
169
dengan riwayat tersebut atau karena bukan menurut syarat mereka.
Karena keduanya telah melakukan intiqa’(sortase) kitab shahiih
mereka dari ratusan ribu hadits -hadits .
“Aku katakan : Tidaklah hadits -hadits yang terdapat di shahiihain dengan bentuk
mu'an'an dari mudallis semuanya disebutkan di kategori dipakai ihtijaj . Maka kalam
mereka ini dibawa ke riwayat-riwayat mu'an'an di kategori ihtijaj saja. Adapun
berhubungan dengan mutaaba’at maka mengandung ihtimal karena sikap tasaamuh
(berlunak-lunak menyaring) dalam mengeluarkannya seperti kasus riwayat-riwayat
di kategori serupa yang lain. Seperti itu pula rawi-rawi mudallis yang hadits -hadits
mereka dikeluarkan di shahiihain tidaklah mereka dalam satu tingkatan bahkan
mereka bertingkat-tingkat”. An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni Shalah 2/636.
170
menyebutkan di tingkatan ke tiga di kitabnya An Nukat ‘Alaa Kitab
Ibni Shalah529 .
2. Ittihaafi Dzawi Ar Rusukh Biman Rumiya Bi At Tadliis Min Asy
Syuyukh susunan Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshariy dan
kitab tersebut tersusun menurut huruf dan menghimpun isi yang yang
terdapat di tiga risalah yang membahas nama rawi-rawi mudallis
susunan Al Haafidz Ibnu Hajar , Burhanudien Al Halabiy, dan As
Suyuthiy dan Jumlah mereka yang terkumpul padanya ( 161) rawi
mudallis.
irsal dzahir ( jalliy / )ارسال الظاهر الجليdan irsal khafiy ( ) ارسال خفي.
171
ً
. ممن ههوع بال خالف: الث ههاني. ج ههائز بال خالف: األول: ه ههذه أربع ههة أقس ههام.ع ههدال عن ههد غ ههيره
وكل من الثالث والرابع يحتمل الجواز وعدمههه وتههردده بينهمهها بحسههب األسههباب الحاملههة
عليه
172
3. Ia memaksudkan mengatakan suatu hadits dengan menyebutkan
hadits tersebut dalam konteks mudzakarah atau berfatwa sehingga ia
hanya menyebutkan matan , karena yang dimaksudkan dalam kondisi
seperti itu bukanlah sanad , terlebih lagi ketika yang mendengar
adalah tahu dengan yang sedang duduk di hadapannya karena
kemsyhurannya atau karena yang lain dari sebab – sebab .
Adapun orang yang memursalkan hadits dari siapapun maka kadang
pendorongnya melakukan tindakan irsal tadi adalah karena dha'ifnya
orang yang menyampaikan hadits kepadanya, tetapi seperti ini
memaksakan cacat pada pelakunya karena dampaknya yakni sikap
khiyanat533.
173
2 Kemudian mursal shahabat yang pernah melihat saja tetapi tidak
tsabit sima’nya ( riwayat pernah mendengarnya).
3. Mursalnya orang - orang mukhadram535 .
4. Mursalnya rawi-rawi mutqin seperti Sa'id bin Al Musayyib .
5. Mursalnya rawi yang ia pilih-pilih dalam di dalam menentukan
syaikh , seperti As Sya’biy dan Mujahid .
6. Kemudian mursal orang yang mengambil hadits dari setiap orang
seperti Al Hasan
Sedangkan mursal shigar tabi'iin seperti Qotadah , Az Zuhriy dan
Humaid At Thawiil maka umum kebanyakan riwayat mereka berasal
dari tabi'iin 536.
Kitab-kitab penting di dalam mengetahui rawi-rawi yang
memursalkan hadits :
1. Al Maraasiil susunan Abdurrahman bin Abi Hatim .
أما من ال يمكنه ذلك فحكم حديثه حكم غيره من املخضرمين الذين لم يسمعوا.إنما َي ْعنون بذلك من أمكنه التحمل والسماع
من النب
“ Hanya yang mereka maksudkan dengan itu adalah orang yang
memungkinkan bagi dirinya melakukan tahammul dan sima’ , adapun
yang tidak memungkinkan itu maka hukum haditsnya adalah seperti
yang lain seperti orang - orang mukhadramun yang tidak mendengar
dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam “. An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni
Shalah 2/ 541.
535 Orang – orang muslim yang pernah hidup di masa jahiliyah sezaman dengan
masa kenabian namun tidak masuk dalam jajaran kalangan sahabat karena tidak
pernah melihat dan mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam . Mereka
adalah termasuk dalam jajaran tabi'iin kubbar ( tabi’in generasi pertama).
Wallaahu a’lam.
536 Lihat fathul Mughiits 1/152.
174
2. Jami’u At Tahshiil fiy Ahkaami Al Maraasiil , susunan Al Haafidz
Shalahuddien Al ‘Allaa`iy.
Hal seperti itu dianggap sebagai kritikan atas rawi karena alasan-
alasan berikut.
1. Karena tidak komitmen dengan memilih-milih syaikh.
2. Tidak mantab di dalam pengetahuannya akan rawi-rawi majhuul.
3. Tidak terdapatnya faidah mengambil riwayat dari orang - orang
matruuk dalam konteks tujuan menguatkan riwayat- riwayat .
Sedangkan tidak pilah-pilah dalam meriwayatkan hadits
mendampakkan pengaruh pada beberapa hal di antaranya :
1. Dirajihkannya mursal rawi yang melakukan seleksi syaikh daripada
yang tidak melakukan seleksi syaikh, sebagaimana telah terdahulu
penjelasannya.
2. Rawi tersebut kadang bisa dicurigai berdusta ketika dia berbanyak-
banyak meriwayatkan dari orang - orang yang tidak didapati
biografinya di kitab nama-nama rawi , sebagaimana yang menimpa
Muhammad bin ‘Umar Al Waqidiy537.
175
ُ
يء الحفههظ بمعتههبر ه كههأن يكههون فوقههه أو مثلههه ال دونههه ه وكههذا املختلههط/ومههتى توبههع السهه
َّ
،واإلسههناد املرسههل وكههذا املدلس إذا لم ُيعههرف املحههذوف منههه ِ واملسههتور،الههذي لم يتمههيز
ً
ألن. بل وصفه بههذلك باعتبههار املجمههوع من املته ِهابع واملته َهابع،صار حديثهم حسنا ال لذاته
ً
ف ههٍإذا،م ههع ك ههل واح ههد منهم احتم ههال ك ههون روايت ههه ص ههوابا أو غ ههير ص ههواب على ح ههد س ههواء
رجح أحه ه ههد الجه ه ههانبين من االحتمه ه ههالين،جه ه ههاءت من املعته ه ههبرين روايه ه ههة موافقه ه ههة ألحه ه ههدهم
ف ههارتقى من درجههة التوق ههف إلى درجههة،ودل ذل ههك على أن الحههديث محفههوظ ّ املذكورين
ومه ههع ارتقائه ههه إلى درجه ههة القبه ههول فهه ههو منحه ههط عن رتبه ههة الحسه ههن.القبه ههول ه ه وهللا أعلم ه ه
ّ ّ ،لذاته
وربما توقف بعضهم عن إطالق اسم الحسن عليه
176
Dan riwayat dha'if di dalam dhabt hanya terkuatkan dengan tiga syarat
yakni:
1. Dha'ifnya tidak terlalu.
2. terdukung dengan mutaba’ah atau syahid semisal atau yang lebih
kuat darinya.
3. tidak menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah atau jama'ah tsiqah.
177
BAB KE TIGA
178
Fasal Pertama :
179
hukum di haknya rawi tersebut bahwa statusnya adalah pada tingkatan
tersebut 541.
األول :أن جماعة من األئمة يجمعون بينها وبين التضعيف.الثاني :أن أئمة الحديث ال
يقتصههرون على الكالم فيمن طههالت مجالسههتهم لههه وتمكنت معههرفتهم بههه ،بههل قههد يتكلم
ً ً ً ً
أح ههدهم فيمن لقي ههه م ههرة واح ههدة وس ههمع من ههه مجلس هها واح ههدا أو ح ههديثا واح ههدا ،وفيمن
عاصههره ولم يلقههه ولكنههه بلغههه شهه/يء من حديثههه ،وفيمن كههان قبلههه بمه ّهدة قههد تبلههغ مئههات
الس ههنين إذا بلغ ههه ش هه /يء من حديثه ههه ،ومنهم من يج ههاوز ذل ههك ،ف ههابن حب ههان ق ههد ي ههذكر في
الثق ههات من يج ههد البخ ههاري س ههماه في تاريخ ههه من الق ههدماء وإن لم يع ههرف مهها روى وعمن
ّ
روى ومن روى عنه ههه ،ولكن ابن حبه ههان يتشه ههدد وربمه هها تعنت فيمن وجه ههد في روايته ههه مه هها
ً ً
اسههتنكره ،وإن كههان الرجههل معروفهها مكههثرا .والعجلي قههريب منههه في توثيههق املجاهيههل من
القههدماء ،وكههذلك ابن سههعد وابن معين ،والنسههائي ،وآخههرون غههيرهم يوثقههون من كههان
من التههابعين وأتبههاعهم إذا وجههدوا روايههة أحههدهم مسههتقيمة بههأن يك ههون لههه فيم هها يههروي
ّ ّ
مت ه ههابع أو ش ه ههاهد وإن لم يه ههرو عن ه ههه إال واح ه ههد ولم يبلغهم عن ه ههه إال حه ههديث واحد ...ومن
َّ ُ ّ
تقدمه حتى َيط ِل َع على عه ّهدة أح ههاديث لههه تكههون مسههتقيمة ،وتكههثر وثق من ّ
األئمة من ال ي ِ
حههتى يغلب على ظنههه أن االستق ههامة كههانت ملكههة لههذلك ال هراوي .وهههذا كلههه يههدل على أن
ُج َّل اعتمادهم في التوثيق والجرح إنما هو على سير حديث الراوي
180
depannya dan kenal betul saja . Bahkan kadang salah satu dari
mereka kadang membicarakan orang yang ia temui sekali saja,
mendengar darinya di satu majlis dan satu hadits saja, dan
membicarakan orang yang sezaman dengannya meskipun tidak
pernah bertemu , hanyasaja sampai kepadanya sedikit dari hadits -
hadits yang diriwayatkannya , dan membicarakan orang yang telah
ada sebelum dia dengan jarak waktu yang kadang sampai ratusan
tahun , yaitu ketika sampai kepadanya beberapa dari haditsnya , dan di
antara mereka ada yang lebih lama lagi. Ibnu Hibban kadang
menyebutkan di dalam kitab At Tsiqat orang yang ia jumpai Al
Bukhaary menamainya di dalam tarikhnya dari generasi qudama
( mutaqaddimin ) meskipun tidak tahu apa yang diriwayatkan olehnya,
dari mana meriwayatkan , dan siapa yang meriwayatkan darinya.
Namun Ibnu Hibban ia tasyaddud dan kadang ta’annut pada orang
yang mendapati di riwayatnya sesuatu yang ia ingkari ( merasa aneh
dengannya) , yang pada hal orang tersebut adalah ma'ruf muktsir
(berbanyak-banyak meriwayatkan hadits).
Sedangkan Al ‘Ijliy dekat dengan dengan dia di dalam mentautsiq
rawi-rawi majhuul ( tidak dikenal) dari kalangan qudama
( mutaqaddimin ) , demikian pula Ibnu Sa'ed , Ibnu Ma'iin , An Nasaa'i
dan yang lain selain mereka , mereka mentautsiq orang yang ada di
generasi tabi'iin dan tabi’ut tabi'iin jika mendapati riwayat salah satu
dari mereka istiqamah ( tidak berubah-ubah), seperti hadits yang ia
riwayatkan mempunyai mutabi’ atau syahid meskipun tidak
meriwayatkan darinya kecuali seorang dan tidak sampai mereka
darinya kecuali satu hadits saja... Dan dari kalangan para imam ada
yang tidak mentautsiq orang yang mendahului ( sebelum mereka)
mereka sampai ia mendapati beberapa hadits riwayatnya istiqamah
( tidak berubah-ubah), dan berbilang banyak sampai kuat dugaannya
bahwa istiqamah ( tidak berubah-ubah dalam menyampaikan hadits )
merupakan malakah ( karakteristik ) yang melekat pada rawi tersebut .
Dan ini semua menunjukkan bahwa sebagian besar sandaran mereka
181
di dalam mentautsiq dan menjarh hanya berdasar pada hasil
menjelajahi hadits si rawi “543.
Dan tidak ada pertentangan antara yang telah lalu disebutkan dari
pengelompokan Ibnu Ma'iin dan An Nasaa'i ke dalam jajaran para
imam mutasyaddidin dan antara yang disebutkan Al Mu’allimiy di sini
dan itu karena dua perkara , yaitu:
1-Tasyaddud adalah asal di dalam manhaj keduanya.
2- Bahwa tautsiq terhadap orang yang tidak datang darinya kecuali
sebuah hadits riwayatnya yang dikuatkan mutabi’ atau syahid adalah -
maksudnya- menghukumi maqbul hadits tersebut karena wujud satu
dari keduanya ( mutaba’ah dan syahid). Jadi tidak melazimkan artinya
ia mentsiqahkan rawi tersebut pada seluruh apa yang ia bersendirian
meriwayatkannya dalam artian tersematkan padanya tautsiq mutlak
yang itu merupakan titik poin ajang tasyaddud tadi.
وعلى هذا فما زاد على،التأكيد الحاصل بالتكرار فيه زيادة على الكالم الخالي منه
ً
"ثق ه ههة م ه ههأمون ثبت ّه ه: كق ه ههول ابن س ه ههعد في شه ه ههعبة،م ه ههرتين مثال يك ه ههون أعلى منه ه هها
حج ه ة
صاحب حديث
182
Ia berkata :
"حدثنا عمرو بن دينار وكان ثقة ثقة:وأكثر ما وقفنا عليه من ذلك قول ابن عيينة
ََ
بتسع مرات" وكأنه سكت النقطاع نف ِسه
“Terbanyak yang pernah kami temui dalam model seperti ini adalah
perkataan Ibnu ‘Uyainah: telah berkata kepada kami 'Amru bin Dinar
dan ia adalah tsqatun,tsiqatun sebanyak sembilan kali”, dan seolah ia
terdiam karena putus nafasnya”545.
“ Dia menurutku yang paling dha'if dari seluruh rawi-rawi dha'if “549.
Hanya Ibnu Shalah berkata ketinya menyebutkan lafadz-lafadz
martabat ( tingkatan) pertama dari tingkatan ta'dil:
183
وكذا إذا قيل في العدل إنه حافظ أو ضابط
184
b. Perkataan 'Utsman bin Abi Syaibah mengomentari seorang Ahmad
bin Abdullah bin Yunus :
حدثنا أبو:حدث فقال ّ ومشهور عن عبد الرحمن بن مهدي القدوة في هذا الشأن أنه ٌ
َ
: ك ههان ص ههدوقا وك ههان مأمون هها وك ههان خ ِّيههرا ه ه وفي رواية: أك ههان ثق ههة؟ فق ههال: فقي ههل له.خل ههدة
(كان خيارا)ه الثقة شعبة وسفيان
185
lafadz ini ( tsiqah) adalah dikatakan di hak semisal Syu'bah dan
Sufyan558.
“Ismail bin Raafi’ didha'ifkan oleh sebagian ashabul hadits , dan aku
mendengar Muhammad -yakni Al Bukhaary - berkata : ia tsiqah
muqaarubul hadits “564.
186
9. ثبتdengan sukun muwahhadah 565
. Maksudnya tsaabit (tetap tidak
goyah) hati, lisan dan kitabnya dan juga hujjah566.
10. ( ال بأس بهla ba’sa bih) dan juga ( ليس به بأسlaisa bihi ba’sun)
adalah dua lafadz setingkat ( صدوقshaduuq)567 . Berkata As
Shan’aniy :
فٍإن قيل إنه ينبغي أن يكون (ال بأس به) أبلغ من (ليس به بأس) لعراقة (ال) في
به ه ههأن في العبه ه ههارة األخه ه ههرى قه ه ههوة من حيث وقه ه ههوع النكه ه ههرة في سه ه ههياق النفي: أجيب.النفي
فساوت األولى في الجملة
“Jika dikatakan bahwa semestinya laa ba’sa bih adalah lebih gamblang
dari kata laisa bihi ba’sun karena mendalamnya – huruf -la ( ) الdi
dalam penafian. Maka dijawab : bahwa di ungkapan lafadz yang lain
568
juga ada kekuatan dari tinjauan terletaknya nakirah di konteks
peniadaan , jadi tidak ada beda dengan yang pertama secara garis
besar”569.
11. Berkata Ibnu Shalah :
565 Dengan disukun huruf yang bertitik satu. Maksudnya huruf ba’ dari kata tsabtun
( ) ثبت
566 Rujukan sebelumnya 1/ 364, berkata As Sakhawiy :
ُ ْ
ألنه كالحجة عند الشخص لسماعه وسماع،وأما بالفتح فما ُيث ِبت فيه املحدث مسموعه مع أسماء املشاركين له فيه
."غيره
“ Adapun dengan huruf fathah maka adalah sesuatu yang seorang muhaddits
menetapkan yang didengarnya di dalamnya bersama dengan nama-nama orang
yang berserikat mendengarnya , karena ia seperti hujjah menurut muhaddits tadi
karena mendengarnya bersama dengan yang lain.
567 Lihat fathul Mughiits 1/365.
568 Maksudnya “laisa bihi ba’sun”
569 Taudhiihul Afkaar 2/ 265.
187
“ Perkataan mereka : fulan aku tidak tahu padanya bahaya, di dalam
ta'dil adalah berada di bawah tingkatan perkataan mereka; laa ba’sa
bih”570.
Berkata Al ‘Iraqiy :
(أرجو أنه ال بأس به) نظير (ما أعلم به بأسا) أو األولى أرفع ألنه ال يلزم من عدم
العلم حصول الرجاء بذلك
12. صالح572( shaalih) dan ( صالح الحديثshaalihul hadits 573) Ibnu Hajar
: menyebutkan bahwa :
أما حيث أريد بها الصالحية،عادة األئمة إطالق الصالحية حيث يريدون بها الديانة
في الحديث فيقيدونها به
13. ( الى الصدق ما هوila as shidq maa huwa) maksudnya tidak jauh dia
dari kejujuran /kebenaran575.
188
14. ( ش ههيخsyaikh ) adalah berada di tingkatan ke tiga di urutan ta'dil
menurut Ibnu Abi Haatim , ditulis haditsnya dan ditinjau kembali576.
Berkata Abu Al Hasan bin Al Qatthan :
ٌ
هذا ليس،) (شيخ: قول أبي حاتم وقد سئل عنه ه يعني عبد الحميد ابن محمود ه...
وإنم هها ه ههو إخب ههار بأن ههه ليس من أعالم أه ههل العلم وإنم هها ه ههو ش ههيخ وقعت ل ههه،بتض ههعيف
َ ُ
روايات أ ِخذت عنه
189
1. Berkata Ibnu Shalah :
كان عبد الرحمن بن مهدي ربما جرى ذكر:وجاء عن أبي جعفر أحمد بن سنان قال
رجل صالح الحديث: فيقول. وهو رجل صدوق،حديث الرجل فيه ضعف
“ Dan datang dari Abu Ja’far Ahmad bin Sinan ia berkata : adalah
Abdurrahman bin Mahdiy kadang terjadi dia menyebutkan hadits
seseorang yang pada ada kedha’ifan , yang ia adalah orang yang
shaduuq , dan ia mengatakan : shalihul hadits “580.
Berkata As Sakhawiy :
ي أنها ه يعني صالح الحديث ه هي والوصف بصدوق عند ابن مهدي سواء/وهذا يقتض
(ثقة) حتى يلزم منه التساوي بين: (ليس به بأس) كقولي: إن قولي:لم يقل ابن معين
وللثقه ههة م ه هراتب فه ههالتعبير عنه ههه، إن من قه ههال فيه ههه هه ههذا فهه ههو ثقه ههة: إنمه هها قه ههال،اللفظين
(ثقة) أرفع من التعبير عنه بأنه (ال بأس به) وإن اشتركا في مطلق الثقة:بقولهم
190
yang ia mengatakan seperti itu maka ia adalah tsiqah ,padahal tsiqah
sendiri beberapa tingkatan, sedangkan mengungkapkan dengan
perkataan mereka : ‘tsiqah’ adalah lebih tinggi dari pada me-
ngungkapkan dengan ‘ la ba’sa bih ‘ meskipun berserikat di di bawah
mutlak lafadz tsiqah”583.
Sekasus dalam lafadz ini juga apa yang datang dari Abdurrahman bin
Ibrahim ( Duhaim) ketika ditanya Abu Zur'ah :
ِول َم ال: فقلت: قال أبو زرعة،) (ال بأس به:ما تقول في علي بن حوشب الفزاري؟ فقال
ّ
قد قلت لك إنه ثقة:تقول (ثقة) وال تعلم إال خيرا؟ قال
583 Syarhu At Tabshirah Wa At Tadzkirah 2/7, lihat juga Tahqiq At Tarikh li Ibni
Ma'iin Biriwayati Ad Dawariy 1/113.
584 Tarikh Abi Zur'ah Ad Dimasyqiy 1/ 395.dan lihat juga Syarhu At Tabshirah Wa
At Tadzkirah 2/ 7-8.
585 Maksudnya di dalam mensifati.
586 Tahdziibul Kamaal 1/ 258, dan lihat Hasyiyah Ar Raf’u Wat Takmiil halaman
149.
191
Istilah-Istilah Umum Dalam Mengungkapkan Jarh
Dengan Lafadz
(ليس:عدة ّ وهذا النسائي قد قال في، (ليس بالقوي) واحتج به:وقد قيل في جماعات
ْ
...) قولنه ه ه هها (ليس به ه ه ههالقوي ليس بجه ه ه ههرح ُمف ِس ه ه ه هد: قه ه ه ههال.به ه ه ههالقوي) ويخه ه ه ههرج لهم في كتابه
(ليس ب ههالقوي) يري ههد به هها أن ه ههذا الش ههيخ لم يبل ههغ درج ههة:وباالس ههتقراء إذا ق ههال أب ههو ح ههاتم
القوي الثبت
192
Lafadz ini telah datang dengan model bermacam-macam, yaitu:
193
ي بمج ههرده ت ههرك روايت ههه ح ههتى تك ههثر املن ههاكير في روايت ههه و/ (روى من ههاكير) ال يقتض هه:ق ههولهم
(منكه ه ههر الح ه ههديث) ؛ ألن (منك ه ههر الحه ه ههديث) وصه ه ههف في الرج ه ههل:ينتهي إلى أن يقه ه ههال فيه
601
ي الديمومة/ والعبارة األخرى ال تقتض،يستحق به الترك لحديثه
194
c. Lafadz tersebut kadang digunakan untuk tsiqah jika meriwayatkan
hadits -hadits mungkar tersebut dari rawi-rawi dha'if . Di antaranya Al
Haakim pernah bertanya kepada Ad Daruquthny mengenai Sulaiman
bin Binti Syarahbil , ia berkata (( ثقةtsiqah)) , berkata Al Haakim :
ّ : قال. أليس عنده مناكير؟:قلت
ّ ،يحدث بها عن قوم ضعفاء
فأما هو فهو ثقة
195
Al Haafidz Ad Dzahaby menyebutkan bahwa kelakuan itu lebih
ringan daripada memalsukan hadits atau mengarang hadits dalam
dosa610.
10. ( متروكmatruuk)
إذا روى عن املعروفين ما ال يعرفه: َم ْن الذي يترك حديثه ؟ قال: قيل لشعبة
ُ ُ ُ
ط ِهر َح حديثههه وإذا اتهم بالكههذب هط ِهر َح
وإذا أكههثر الغلههط ه، املعروفههون فههأكثر هط ِهر َح حديثههه
ُ ً ً ً
وأمهها، وإذا روى حديثا غلطا مجتمعا عليه فلم يتهم نفسه عليه ط ِر َح حديثه، حديثه
غير ذلك فارو عنه
196
haditsnya. Adapun selain itu maka aku meriwayatkan hadits
darinya”613.
197
maksudnya dengan perkataannya: mereka berdua
meninggalkannya”617.
Ia berkata di tempat lain :
ّ
ٌ وإال فعطاء َّ
ي/ثبت َر ِض ، بل عنى أنهما بطال الكتابة عنه،لم َي ْعن الترك االصطالحي
198
َْ َ
فاحذر أن تغت َّر بذلك في حق من قيل فيه من الثقههات، من أهل الصدق و األمانة
ً
و يحتههاج إلى، فالكذب في الحقيقة اللغوية ينطلق على الههوهم والعمههد معهها، الرفعاء
ّ
تفسير إال أن يدل على التعمد قرينة صحيحة
“ Di antara yang termasuk sesuatu yang samar dalam ilmu di bab ini
perlu diketahuinya bahwa lafadz ( kaddzab ) kadang dimutlakkan oleh
rawi-rawi yang ta’annut di dalam menjarh orang yang melakukan
wahm dan keliru di dalam haditsnya , meskipun tidak jelas bahwa
apakah ia sengaja melakukan demikian dan meskipun tidak jelas apa
kesalahan-kesalahannya lebih banyak dari benarnya dan atau
semisalnya . Dan ini menunjukkan bahwa lafadz ini adalah termasuk
dari sederetan lafadz-lafadz yang mutlak yang belum bisa dijelaskan
sebabnya . Oleh karena itulah kadang dimutlakkan oleh tidak sedikit
dari orang - orang tsiqah dinisbahkan untuk jama'ah orang- orang
mulia dari kalangan ahli shidq dan amanah . Maka berhati-hatilah agar
tidak tertipu penisbahan lafadz tersebut di hak orang - orang yang
dikatakan padanya masuk jajaran rawi-rawi tsiqah lagi mulia. Karena
kidzb ( )الكذبsecara haqiqat lughawiyah adalah juga berlaku untuk
wahm dan kesengajaan secara bersamaan. Dan ini butuh kepada
penjelasan, kecuali qarinah yang shahiih mengarahkan penunjukannya
kepada unsur kesengajaan”620.
13. A`immah juga memakai di dalam tadh'iif nisbiy beberapa
ungkapan. Di antaranya :
620 Ar Raudh Al Baasim halaman 82, dan lihat Hasyiyah ArRaf’u wa At Takmiil
halaman 167.
199
“ Dan ia tidak semisal fulan”
dan :
ّ فالن أحب
إلي منه
“ Selainnya lebih tsiqah dari dia”, maka itu merupakan kinayah untuk
menjarh rawi , karena lafadz seperti itu adalah membandingkan
keutamaan antara dirinya dan antara rawi yang mubham yang tidak
jelas identitasnya dibarengi dengan mengutamakan mubham tadi dari
dirinya. Maka ungkapan seperti itu pas di dalam penggambarannya
menunjukkan pengutamaan terhadap seluruh rawi daripada dia , dan
karena ini ia merupakan jarh mutlak622.
1. Berkata As Sakhawiy :
ً
"يا: فقال لي. فالن كذاب: سمعني الشافعي يوما وأنا أقول: ُر ّ ِوينا عن املزني قال
ّ ُ إبراهيم ُأ ْك
)يء/ (حديثه ليس بش: ولكن قل، كذاب: ال تقل، س ألفاظك أحسنها
200
Ini memberikan kesimpulan bahwa lafadz tersebut dimanapun kamu
jumpai di kalam As Syafi'iy623 maka itu statusnya berada pada
tingkatan pertama 624, dan itu merupakan yang paling parah dari
tingkatan -tingkatan jarh.
2. Berkata Abdullah bin Ahmad :
“ Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang Yunus bin Abi Ishaq , ia
berkata : kadza wa kadza “.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
ً
وهي باالستقراء،هذه العبارة يستعملها عبد هللا بن أحمد كثيرا فيما يجيبه به والده
عمن فيه ِل ْين
ّ كناية
201
Demikian itu diketahui dengan melakukan istiqra' terhadap
keadaanya”626.
b. Al Bukhaary menegaskan istilahnya ketika mengatakan :
َ
(منكر الحديث) فال ت ِحل الرواية عنه:من قلت فيه
يكتب حديثه
202
‘Ditulis haditsnya ‘, maka yang diinginkannya adalah bahwa rawi
tersebut termasuk dari jajaran rawi-rawi dha'if yang ditulis haditsnya
631
.
c. Jika ia berkata : laisa bisyai’ maka yang diinginkan adalah bahwa
hadits rawi tersebut adalah sedikit632. Dan kadang diinginkan dengan
ungkapan itu jarh yang keras633 , yang mana itu bisa diketahui dengan
melakukan tatabbu’ terhadap perkataan perkataannya dan juga
perkataan-perkataan para a`immah yang lain ketika mengomentari
rawi tersebut . Jika rawi yang dikatakan Ibnu Ma'iin dengan ‘laisa
bisyai’ ‘ adalah sedikit haditsnya dan ternyata orang tersebut
ditsiqahkan olehnya di dalam riwayat-riwayat lain atau ditautsiq oleh
a`immah maka jelaslah kalimat Ibnu Ma'iin tadi dibawa ke makna
sedikit haditsnya dan bukan jarh.
Adapun jika kita dapati dari seorang rawi seperti Abu Al ‘Athuuf Al
Jarraah bin Al Minhaal , yang Ibnu Ma'iin berkata mengenainya ‘ laisa
bisyai’ , dan di sisi lain para imam juga bersepakat menjarhnya dengan
jarh yang keras maka itu adalah qarinah yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud oleh Ibnu Ma'iin adalah yang mencocoki maksud para
a`immah tadi634.
5. Di antara istilah-istilah Al Bukhaary :
a. Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
203
َ
(منكر الحديث) فال ت ِح ُّل الرواية عنه:من قلت فيه
وعلمنا، (سكتوا عنه) ظاهرها أنهم ما تعرضهوا له بجرح وال تعديل:قول البخاري
)مقصده بهها باالستقراء أنها بمعنى (تركوه
البخاري إذا قال في الرجل (سكتوا عنه) أو (فيه نظر) فٍإنه يكون في أدنى املنازل وأردئها
عنده ولكنه لطيف العبارة في التجريح
204
ً ّ
(فيه نظر) وال يقول هذا إال فيمن ّيتهمه غالبا:قد قال البخاري
205
‘fiihi nadzar’ sedangkan keadaan mereka masih diperselisihkan di
dalam jarh dan ta'dil, kadang ta'dil bagi mereka datang dari para imam
mutasyaddid , sebagaimana datang juga tadh'iif atas mereka ,hanya
saja dari sisi dhabt bukan dari sisi 'adaalah ( ketaqwaan). Di antara
mereka:
1- Harb bin Suraij bin Al Mundzir Al Munqariy646.
2- Yahya bin Sulaim Abu Balj Al Fazaariy Al Wasithiy647.
206
e. Perkataannya: (في حديث ه ه ههه نظرfi haditsihi nadzar)648 memberikan
pengertian bahwa rawi tersebut secara pribadinya adalah shalih649
hanya saja yang kurang ada pada haditsnya karena lupa, atau
buruknya hafalan650.
6. Istilah-istilah Abu Hatim :
“ Sungguh aku pernah melihat Abu Balj dan dulu ia adalah tetangga kami , ia
memelihara beberapa burung merpati dan menyukainya , dan ia banyak
berdzikir kepada Allah “.
b. Berkata Ibnu Sa'ed , Ibnu Ma'iin , An Nasaa'i , Ad Daruquthny :
ثقة
“ Tsiqah”
c. Berkata Imam Ahmad :
ً
روى حديثا منكر
“ Ia pernah meriwayatkan hadits mungkar”.
d. Berkata Al Juzajaaniy , dan Abu Al Fath Al Azdiy :
كان ثقة
“ Ia adalah tsiqah”.
e. Berkata Abu Hatim :
صالح الحديث ال بأس به
“ shalihul hadits tiada bencana padanya”.
f. Berkata Ya'qub bin Sufyan :
كوفي ال بأس به
“ Ia adalah seorang Kufiy ( nisbah ke Kufah) tidak ada bencana padanya “.
g. Disebutkan Ibnu Hibban di At Tsiqaat dan ia berkata :
يخطئ
“ Dia melakukan kesalahan”.
h. Ibnu 'Abdil Barr dan Ibnu Al Jauziy menuqilkan bahwa Ibnu Ma'iin telah
mendha'ifkannya “.
lihat Tahdziibut Tahdziib 12/47.
648 Artinya : Pada haditsnya perlu tinjauan.
649 Ini adalah kesimpulan dari pembedaan antara dua lafadz ( فيه نظرpada rawi
ini perlu tinjauan) dan ( في حديثه نظرpada haditsnya perlu tinjauan) .
Akan tetapi berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
فالن (في حديثه نظر) فهو متهم واه: إذا قلت:)قال (البخاري
“ Telah berkata Al Bukhaary : jika aku katakan bahwa fulan: ( في حديث لله نظرpada
haditsnya perlu tinjauan) maka ia adalah tertuduh lagi wahin ( lemah)”.
207
a. Perkataannya ( فالن ال يحتج بهfulanu la yuhtajju bihi)651. Berkata
Abdurrahman bin Abi Hatim :
إبراهيم بن مهاجر ليس بقوي هو وحصين بن عبد الرحمن وعطاء:سمعت أبي يقول
يكتب ح ههديثهم وال، محلهم عن ههدنا مح ههل الص ههدق،بن الس ههائب ق هريب بعض هههم من بعض
ً
ك ههانوا قوم هها ال يحفظ ههون: (ال يحتج بح ههديثهم)؟ ق ههال: م هها مع ههنى: قلت ألبي.يحتج بح ههديثهم
ترى في أحاديثهم اضطرابا ما شئت،فيحدثون بما ال يحفظون فيغلطون
208
(يكتب حديثه وال يحتج به) فأبو حاتم يقول مثههل هههذا في كثههير من:وأما قول أبي حاتم
والحج ة في اص ههطالحه ليسّه ، وذل ههك أن ش ههرطه في التع ههديل ص ههعب،رج ههال الص ههحيحين
ّ هو
الحجة في اصطالح جمهور أهل العلم
قول أبي حاتم هذا ليس بصيغة توثيق وال هو بصيغة إهدار
“ Perkataan Abu Hatim ini bukanlah sighah tautsiq juga bukan shighah
ihdar 657“.
Ia juga berkata :
ّ ليس هو: أي.) (يكتب حديثه:قوله
بحجة
209
َ
ال: قههال. (فالن ل ِّين) أيش تريههد بههه؟: إذا قلت:س ههألت أبهها الحسههن الههدارقطني قلت لهه
ُ ً ً
يء ال ُي ْس ِقط عن العدالة/يكون ساقطا متروك الحديث ولكن يكون مجروحا بش
659 Sualaat Hamzah bin Yusuf As Sahmiy li Ad Daruquthny halaman 72, dan lihat
juga 'Uluumul Hadits halaman 239.
660 Artinya: “Fulan adalah orang yang buta sebelah di antara para tuna netra”.
661 At Tankiil 1/361.
662 Artinya : “ Fulan bisa diambil i'tibar”.
663 Ikhtishar Uluumil Hadits halaman 50.
664 Artinya : “ Fulan tidak bisa dijadikan i'tibar “.
665 Rujukan sebelumnya .
666 Lihat lafadz-lafadz ini di kitab Syarah Alfadzut Tajriih An Naadirah Aw
Qalilatul Isti’mal milik Doktor Sa’diy Al Haasyimiy .
210
Adapun lafadz-lafadz yang sedikit sekali atau jarang dipakai , maka di
antaranya :
211
3. ( ك ههان فسالkaana faslan) dengan fathah huruf fa’ dan sukun huruf
sin , dan kata al faslu ( ) الفسلdi dalam bahasa maknanya adalah
( الرذلar radzlu: buruk ) ( النذلan nadzlu : rendah )673 yang tidak
punya muru’ah pada dirinya674.
212
أودى فالن
يعني يكذب
“ yakni ia berdusta”688.
213
9. ( يثبج الحديثyatsbijul hadits ) 689
. adalah kinayah untuk pemalsuan
terhadap hadits690.
214
tanganmu maka menurutku engkau telah membinasakannya697 . Ia
berkata : ia menurutku bukan di antara rawi-rawi yang aku jadikan
sandaran , namun ia tidak ada bencana dengannya (terjemahan dari
kalimat : ‘laa ba’sa bih’)”698.
2 . Menggerak-gerakkan kepala. Berkata Abdullah bin 'Ali bin Al
Madiny :
ّ سئل أبي عن سويد األنباري
...يء/ ليس بش:فحرك رأسه وقال
“ Aku pernah bertanya kepada Yahya bin Sa'id perihal Saif bin Wahb
kemudian Yahya memasamkan700 wajahnya, dan ia mengatakan:
adalah Saif binasa dan termasuk dari deretan orang - orang binasa
701
”.
4. Memuramkan wajah702, berkata Al Bardza’iy :
215
ّ
فكلح وجهه وأساء الثناء عليه،ذكرت ألبي زرعة عمرو بن عثمان الكالبي
216
Fasal Ke Dua
Tingkatan-Tingkatan Lafadz-Lafadz
Jarh Dan Ta'dil
:مراتب الرواة
217
َ َ
الج ْه ِهبهذ الناقههد للحههديث فهههذا الههذي ال ُي ه
ختلهف 1ه فمنهم الثبت الحافظ الو ِر ع املتقن ِ
فيه ُويعتمد على جرحههه وتعديلههه ُويحتج بحديثههه وكالمههه في الرجههال 2.ه ومنهم العههدل في
نفسههه الثبت في روايتههه الصههدوق في نقلههه اله َهو ِر ع في دينههه الحافههظ لحديثههه املتقن فيههه،
َّ
ف ههذلك الع ههدل ال ههذي ُيحتج بحديث ههه ُويوثق في نفسه 3.ه ه ومنهم الص ههدوق ال ه َهو ِرع الثبت
ّ َ َ ً
النق اد ه فهههذا ُيحتج بحديثه 4.ه ومنهم الصههدوق الههذي َي ِه ُم أحيانهها ه وقههد ق ِب هل ُهه الجهابههذة ه
اله َهو ِر ع املغفههل الغههالب عليههه الههوهم والخطههأ والغلههط والسهههو ،فهههذا يكتب من حديثههه
الههترغيب والههترهيب والزهههد واآلداب ،وال ُيحتج بحديثههه في الحالل والحههرام 5.ه وخه ٌ
هامس
ّ
قد ألصق نفسه بهم ودل سها بينهم ممن ليس من أهل الصدق واألمانة ،ومن قههد ظهههر
الكذب ،فهذا يترك حديثه وتطرح روايته ُ للنقاد العلماء بالرجال أولي املعرفة منهم
(atالثبت في روايته (al‘adl jiwanya) ,العدل في نفسه 2. Di antara mereka :
(as shaduuq di dalam diالصدوق في نقله tsabt di dalam riwayatnya) ,
الحافظ َ (al ware’ di dalam beragama),
الو ِر ع في دينه dalam menuqil),
(al haafidz lagi mutqin terhadap haditsnya), makaلحديث ل لله املتقن فيه
itulah al ‘adl yang dijadikan hujjah haditsnya dan ditautsiq.
الثبت الذي َ al ware’,
الو ِرع as shaduuq ,الصدوق 3.Di antara mereka ada
ً
َ at tsabt yang kadang wahmي ِه ُم أحيان للا 705
, dan ia masih diterima oleh
218
para jahabidzah (pakar dalam ilmu ini)yang ia kritikus , maka ini bisa
dijadikan hujjah haditsnya .
َ al ware’ , املغفل
4. Di antara mereka ada الصدوقas shaduuq , الو ِر ع
الغههالب عليههه الههوهم والخههط أ والغلههط و السهههوpelupa yang kebanyakan
kondisinya adalah membuat was-was ( ragu) , keliru, salah, lupa.
Maka mereka ini boleh ditulis dari haditsnya yang meliputi
hubungannya dengan : targhiib , tarhiib, zuhud, dan adab , dan ia tidak
bisa dijadikan hujjah haditsnya dalam perkara halal dan haram.
5. Dan jenis yang ke lima, memasukkan dan mentadlis dirinya ke
dalam kelompok mereka yang mana bukan dari kalangan ahli shidq
dan amanah , dan juga kalangan manusia yang telah tampak di
pandangan para kritikus (yang mereka berpengetahuan dengan rijal –
rawi-rawi -) yang mempunyai marifah tampak pada mereka dusta,
maka mereka ini ditinggalkan haditsnya dan dibuang riwayatnya “706.
Maka tingkatan yang pertama adalah yang khusus membicarakan
a`immah sedangkan sisanya untuk rawi-rawi selain mereka.
ه وإذا قيل2. فهو ممن ُيحتج بحديثه.) أو (متقن ثبت،) إنه (ثقة: ه إذا قيل للواحد1
َ ْ َْ
أو (ال بههأس به) فهههو ممن ُيكت ُب حديثههه ُوين ه،) أو (محلههه الصههدق،) إنههه (صههدوق:له
ظ ُهر
219
َ ْ َْ
فهههو باملنزلههة الثالثههة ُيكت ُب حديثههه ُوين ه.) (شههيخ: ه وإذا قيل3.فيههه وهي املنزلههة الثانية
ظ ُهر
َْ ّ
فٍإنه ُيكت ُب حديثه لالعتبار.) (صالح الحديث: ه وإذا قيل4.فيه إال أنه دون الثانية
” Antara mereka ada (as shaduuq) ,(al ware’), (at tsabt yang kadang
wahm) 708 , dan ia masih diterima oleh para jahabidzah (pakar dalam
ilmu ini)yang ia kritikus , maka ini bisa dijadikan hujjah haditsnya”
dan antara perkataannya :
َْ
فههو ممن ُيكت ُب حديثه.) أو (ال بأس به،)إذا قيهل له (صدوق) أو (محله الصدق
َ ْ
ُوينظ ُر فيه
220
“ jika dikatakan : bahwa ia shaduuq atau mahalluhu as shidqu atau laa
ba’sa bih maka ia adalah diantara yang ditulis haditsnya dan perlu
ditinjau”. Demikian adalah karena berikut ini:
1. Karena berhujjah dengan yang disebutkannya di tingkatan rawi-
rawi adalah tertaqyid- terkhususkan - dengan sifat rawi-rawi yang
diterima oleh pakar kritikus hadits .
2. Karena telah ditegaskan dengan jelas oleh beliau di tingkatan yang
pertama bisa dipakai berhujjah dan di dalam status rawi ‘ shaalihul
hadits ‘ yakni tingkatan ke empat , bahwa ia ditulis haditsnya sebagai
i'tibar. Jadi tersisa-lah dua tingkatan yakni: ke dua dan ke tiga, yang
merupakan butuh peninjauan kembali. Dan tidak ada keraguan, bahwa
rawi yang diterima oleh pakar kritikus hadits dari kalangan rawi-rawi
yang di tingkatan keduanya (dua dan tiga) adalah dalam rangka dibuat
berhujjah ( ihtijaj). Jadi rawi tersebut adalah diantara deretan yang
dijadikah hujjah haditsnya. Hanya saja diketahui mereka diterima
haditsnya sebagai hujjah adalah dengan melakukan tatabbu’
(penelitian) terhadap pendapat-pendapat ahli kritik para rawi:- di
dalam - tautsiq mereka atas rawi tersebut ,atau dari sisi tashih dan
tahsin terhadap hadits yang ia bersendirian meriwayatkan haditsnya.
3. Al Haafidz Ibnu Shalah telah memberikan catatan terhadap
keputusan hukum Ibnu Abi Hatim , yaitu di perkataan “ maka ia
adalah diantara yang ditulis haditsnya dan perlu ditinjau” :
فينظر في حديثه ُويختبر ُ هذا كما قال؛ ألن هذه العبارات ال ُت ْشع ُر بشريطة الضبط
ِ
ُ َ َ
وإن لم ُي ْسه هت ْوف النظه ههر املعه ه ّ ِهرف لكه ههون ذله ههك املحه ه ّهدث في نفسه ههه...حه ههتى يعه ههرف ضه ههبطه
ً ً
واحتجنهها إلى حههديث من حديثههه اعتبرنهها ذلههك الحههديث ونظرنهها هههل لههه،ضههابطا مطلقهها
أصل من رواية غيره؟
221
Dan jika tidak bisa sepenuhnya diupayakan peninjauan yang bisa
mengenalkan bahwa status muhaddis tersebut adalah seorang yang
dhabt mutlak , maka kita perlu kepada hadits yang berasal dari
haditsnya, kita i'tibar dan kita meninjau apakah haditsnya tersebut
mempunyai asal dari riwayat selain dia? “.709
Pernyataan ini memberikan faidah bahwa meninjau yang disebutkan
tadi adalah guna mengetahui kemutlakan dhabt rawi tadi, maksudnya
apa ia sempurna dhabtnya , atau lebih ringan dhabtnya sedikit tetapi
masih lolos bisa dijadikan hujjah . Dan hal itu bisa diketahui dengan
beberapa perkara , di anataranya:
1- Melakukan perbandingan antara riwayat - riwayatnya dengan
riwayat- riwayat rawi lain dari kalangan rawi-rawi tsiqah.
2- Penerimaan para pakar kritik hadits terhadap dirinya dengan
mentautsiqnya ,atau tashih atau tahsin terhadap hadits yang ia
bersendirian meriwayatkannya.
3- Rawi tersebut haditsnya dikeluarkan oleh Asy Syaikhany di dalam
ushul di shahiihnya.
4- Diketahuinya tidak meriwayatkan dari hafalannya, bahkan ia
bersandar kepada kitab.
Dan yang semisal itu dari antara qarinah-qarinah yang menguatkan
sisi ihtijaj ( bisa dijadikan hujjah riwayatnya di hak statusnya_pent).
Dan jika masih tidak bisa sepenuhnya diupayakan peninjauan yang
bisa menyimpulkan bahwa ia adalah seorang yang dhabt mutlak maka
kita tidak bisa menjadikannya hujjah sasuatupun dari haditsnya
kecuali memiliki asal dari hadits rawi selainnya.
Perkataan Ibnu Shalah memutuskan dua hal :
a. Melihat seluruh riwayat-riwayat rawi shaduuq tersebut untuk
mengetahui derajat dhabtnya .
222
b. orang yang tidak sepenuhnya bisa diperhatikan dalam hal yang tadi
sudah disebutkan di haknya, maka ia harus melihat hadits apa saja
yang kita butuhkan dari hadits -haditsnya , apakah ia memiliki asal
dari hadits riwayat rawi-rawi lain atau tidak?
223
saja diketahui bersama bahwa tingkatan rawi kaddzab adalah yang
paling rendah dan di atasnya ada ( متهم بالكذبmuttahamun bil kadzib)
dan di atasnya ada matruuk.
Demikian pula jika seorang rawi dikatakan :( ثبتtsabt) atau حجة
( hujjah) , dan demikian pula jika seorang yang ‘adl disifati dengan
( حافظhaafidzun ) atau ( ضابطdhaabithun)711.
224
Yang masuk di jajaran tingkatan ke dua: ( فالن ال يحتج بهfulan la
yuhtajju bih), ( فالن مضطرب الحديثfulan mudhtharibul hadits ).
Yang masuk jajaran tingkatan ke tiga : يء/( فالن ال شfulan laa syai’) ,
( فالن مجهولfulan majhuul)712.
2. Kemudian ( ثقةtsiqatun).
712 Lihat rujukan sebelumnya halaman 240, Taqyiid wal Iidhah halaman 161.
225
( syaikhun wasthun) , ( شههيخ حسههن الحههديثsyaikhun hasanul hadits ) ,
( صدوق ان شاء هللاshaduuqun in syaa Allah), ( صويلحshuwailih) dan
yang semakna dengan itu713.
Kemudian beliau menyebutkan lafadz-lafadz jarh diawali dengan yang
paling keras kemudian tingkatan-tingkatan di bawahnya. Hanya saja
urutannya diawali dari yang paling ringan sebagai berikut :
226
6. ( دج ه ههالDajjaalun), ( ك ه ههذابkaddzaabun), ( وض ه ههاعwaddha’un),يض ه هع
( الحديثyadha’ul hadits ) 715.
227
Atau dari bolehnya berhujjah dengan – riwayat – mereka , karena
kedha’ifan mereka tidak sedikit ( tidak banyak).
Dan diketahui bahwa kebimbangan seringnya terjadi di haknya rawi
yang menempati tingkatan terakhir di dalam ta'dil dan yang paling
pertama di dalam jarh.
Pertama tambahan-tambahan:
a. Di dalam tingkatan ta'dil :
228
ي/ ( ليس باملرضlaisa bil mardhiy), ( للضههعف مهها هوliddha’fi maa huwa) ,
( فيه خلفfiihi khulfun), ( طعنوا فيهtha’anuu fih), مطعون فيه
( math’uunun fih) , ( لين الح ه ههديثlayyinul hadits ) , ( في ه ههه لينfiihi
layyin) , ( تكلموا فيهtakallamuu fih).
229
kedudukannya menurut Ad Dzahaby . ( ال يحتج بهla yuhtajju bih) di
tingkatan ( فيه ضعفfiihi dha’fun) dan kata ( ضعفوهdha’afuuh) di
tingkatan ( ضعيف جداdha'if jiddan).
1 Para shahabat .
230
5. Rawi yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan ke empat
sedikit :يء الحفظ/( صدوق سshaduuqun sayiul hifdz), صدوق يهم
( shaduqun yahim) , atau ( له ه ههه أوهه ه ههامlahuu auhaamun), atau يخطئ
(yukhthi’) atau ( تغههير بههأخرةtaghayyara bi aakharah). Di-kategorikan di
tingkatan ini : rawi-rawi dituduh dengan kebid'ahan seperti tasyayyu’,
keyakinan qadar, nashab ( nashibiyah), irja’, dan tajahhum ( keyakinan
jahmiyah).
6. Rawi yang tidak memiliki hadits kecuali sedikit dan tidak tsabit
(tetap) bahwa dengan sebab tersebut ditinggalkan haditsnya : مقبول
(maqbuul) dalam situasi dikuatkan mutabi’ dan jika tidak maka لين
( الحديثlayyinul hadits ).
9. Rawi tidak ada yang meriwayatkan darinya selain seorang saja dan
tidak mendapat rekomendasi tautsiq : ( مجهولmajhuul).
10. Rawi yang tidak mendapat rekomendasi tautsiq sama sekali dan
justru didha’ifkan dengan sebab yang mencacat : ( متروكmatruuk),
atau ( متروك الحديثmatruukul hadits ),atau ( واهي الحديثwaahiyul
hadits ), atau ( ساقطsaaqith ).
231
12. Orang yang disematkan padanya pemutlakan nama ( الك ه ههذبal
kadzib ) dan ( الوضعal wadhe’)720.
232
‘anhu), ( الى الصههدق مهها هوila as shidqi maa huwa), ( شههيخ وسطsyaikhun
wasthun), ( وسطwasthun), ( شيخsyaikhun), ( مقارب الحديثmuqaaribul
hadits) , ( صالح الحديثshaalihul hadits) , ( يعتبر بهyu’tabaru bih), يكتب
( حديثهyuktabu haditsuhu), ( جيد الحديثjayyidul hadits) , حسن الحديث
(hasanul hadits) ,( م ه ه ه هها أق ه ه ه ههرب حديثهmaa aqraba haditsuhu),
ص ه ه ه ههويلح
(shuwailih) , ( صههدوق ان شههاء هللاshaduuqun in syaa Allah) , أرجههو ان ليس
( به بأسarju an laisa bihi ba’sun)721.
233
( اوثق منهghairuhu autsaq minhu), يء/( في حديثه شfii haditsihi syai’), فالن
( مجهههولfulaanun majhuul) 724, ( فيههه جهالةfiihi jahaalatun), ال ادري من هو
(laa adri man huwa), ( للضعف ما هوliddha’fi ma huwa) , ( فيه طعنfiihi
khulfun), ( طعنوا فيهtha’anuu fiih) , ( مطعون فيهmath’uunun fiih), نزكوه
(nazakuuh), ( س ه ه ههيئ الحفظsayyiul hifdzi), ( لينlayyinun), لين الح ه ه ههديث
(layyinul hadits), ( في ه ههه لينfiihi layyin), ( تكلم ه ههوا فيهtakallamuu fiih),
( سكتوا عنهsakatuu ‘anhu), ( فيه نظرfiihi nadzar) ( selain istilah Al
Bukhaary )
724 Kata majhuul menurut Ibnu Hajar ada dua : ( مجهول الحالmajhuul hal) dan ia
tingkatannya di atas ( ضعيفdha'if) , dan ( مجهول العينmajhuul ‘ain) dan
tingkatannya berada di bawah ( ضعيفdha'if) dan di atas ( متروكmatruk).
234
Tingakatan ke empat : ( يس ه ههرق الح ه ههديثyasriqul hadits), متهم بالك ه ههذب
(muttahamun bil kadzib), ( متهم بالوضعmuttahamun bil wadhe’), سههاقط
(saaqithun), ( هالكhaalikun), ( ذاهبdzaahibun), ذاهب الحه ه ه ه ه ه ه ه ههديث
( مه ه ه ه ههتروكmatruukun), ( مه ه ه ه ههتروك الحه ه ه ه ههديثmatruukul
(dzaahibul hadits),
hadits), ( تركوهtarakuuh), ( مجمع على تركهmujma’un ‘alaa tarkihi), هو على
( يدي عدلhuwa ‘ala yadai ‘adlin), ( مودmudin), ( ال يعتبر بهlaa yu’tabaru
bih), ( ال يعتبر بحديثهlaa yu’tabaru bihaditsihi), ليس بثقة (laisa
bitsiqatin),ليس بالثقة (laisa bits tsiqah), ( غير ثقة وال مأمونghairu
tsiqatin wa laa ma’muunin), ( سكتوا عنهsakatuu ‘anhu), ( فيه نظرfiihi
nadzarun) ( selain istilah Al Bukhaary ).
Berkata As Sakhawiy :
725 Lihat fathul Mughiits 1/ 371- 375. As Sakhawiy telah menyebutkan tambahan
untuk nadzam alfiyah Al 'Iraqiy tingkatan-tingkatan jarh diawali dengan
seburuk-buruk lafadz ( أكذب الناسakdzabun naas) dan menyebut bahwa yang
paling ansab ( pas) adalah mengurutkannya sebagaimana contoh yang
disebutkan di sini , dan supaya tingkatan dua bagian ini ( ta'dil dan tajrih ) bisa
tertata pada satu garis yang mana diawali dengan yang tertinggi dari ta'dil dan
akhirnya adalah yang paling tinggi dari tingkatan tajrih . Lihat fathul Mughiits
1/371.
235
وأم هها ال ههتي بع ههدها فٍإن ههه ال.ثم إن الحكم في أه ههل ه ههذه املراتب االحتج ههاج ب ههاألربع األولى منها
ّ ُي
به ههل ُيكتب حه ههديثهم،حتج بأحه ههد من أهلهه هها لكه ههون ألفاظهه هها ال تشه ههعر بشه ههريطة الضه ههبط
وفي بعضهههم من،وأمهها السادسههة فههالحكم في أهلههها دون أهههل الههتي قبلههها. ..........ويختههبر
يكتب حديثه لالعتبار دون اختبار ضبطهم لوضوح أمرهم فيه
236
adalah ‘ shaduuq yukhthi’’, tetapi ia adalah rawi yang paling tsiqah
ketika meriwayatkan dari syaikh -tertentu - tersebut karena lamanya
melakukan mulazamah, dan -banyaknya -pengetahuan terhadap hadits
-haditsnya sehingga ia terkuatkan dengan itu.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahullah :
ً ً ّ ً ُْ
فأما املقبول إطالقا فال ُب َّد أن يكون مأمون.مقيدا الراوي إما تقبل روايته مطلقا أو
ُُ
الك ههذب باملظن ههة وش ههرط ذل ههك العدال ههة وخله ُّهوه عن األغه هراض والعقائ ههد الفاس ههدة ال ههتي
ُّ َ ُ
ِ وأن يك ههون م ههأمون الس هههو بالحف ههظ والض ههبط،يظن معه هها ج ههواز الوض ههع
وأم هها.واإلتق ههان
املقيد فيختلف باختالف القرائن ولكل حديث ذوق ويختص بنظر ليس لآلخر َّ
237
disebutkan di dua tingkatan pertama tadi) adalah lolos , dan tidak ada
bentuk munaafat (penyangkalan) terhadap nya 732.
---####--
238
DAFTAR ISI
KAIDAH-KAIDAH JARH DAN TA'DIL............................................1
Terjemahan :..........................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................2
BAB PERTAMA...................................................................................5
Hakikat Jarh Wat Ta’dil........................................................................5
FASAL PERTAMA...............................................................................5
Hakikat Jarh Wat Ta’dil.........................................................................5
Pengertian Jarh ()الجرح.....................................................................5
Pengertian Jarh ( )الجرحSecara Bahasa :......................................5
Pengertian Jarh ( )الجرحSecara Istilah :........................................6
Pengertian Ta’dil...............................................................................7
Ta’dil ( ) التعديلSecara Bahasa..................................................7
Ta’dil secara istilah......................................................................7
Penggunaan Kalimat Ta’dil Secara Istilah Bermakna Tautsiiq....8
Pengertian Dhabt ( )الضبط.............................................................10
Yang Keluar Dari Deskripsi ‘adaalah Dan Pensyaratan Dhabt..10
Ketiga: Yang Keluar Dari Diskripsi Dhabt................................12
Beberapa Perkara Yang Membuat Seorang Rawi Dikritik Bukan
Dari Sisi ‘adaalah Dan Dhabt....................................................13
Asal Syar'iy Dalam I'tibar ‘adaalah Dan Dhabt Di Seleksi Rawi
...................................................................................................14
Adakah Syarat Yang Lain Selain 'Adaalah ( Ketaqwaan) Dan
Dhabt..........................................................................................19
Beberapa Indikasi Yang Membuktikan Ke’adaalahan Seseorang
...................................................................................................23
...................................................................................................23
Ketiga : jika seorang alim mengamalkan atau berfatwa putusan
yang menyepakati suatu hadits , apakah yang demikian itu
merupakan bentuk tashiih terhadap hadits tersebut dan sekaligus
ta'dil terhadap rawi-rawinya?.....................................................40
Yang Menunjukkan Dhabt Seorang Rawi..................................43
Syarat Syarat Yang Harus Dipenuhi Kriterianya Oleh Mu’adil
Dan Jaarih..................................................................................45
Diterimanya Jarh Dan Ta’dil Secara Mufassar Atau Mubham. .45
239
Catatan Mengenai Dhabt Tafsir Jarh..........................................49
Jawaban Ibnu Shalah Perihal Jarh-Jarh Yang Mubham Yang
Terdapat Di Dalam Kitab Jarh Wat Ta'dil..................................50
FASAL KE DUA.................................................................................53
Pertentangan Jarh Dan Ta'dil..........................................................53
Adapun Jika Jarh Dan Ta'dil Bertentangan Yang Mana Datang
Keduanya Dari Satu Orang Imam , Maka Ada Dua Keadaan :. 55
Keadaan yang pertama:..............................................................55
Keadaan yang ke dua :...............................................................56
Dan Di Antara Dhabt- Dhabt Perbedaan Di Jarh Dan Ta'dil :.. .58
Penjelasannya:...........................................................................74
BAB KE DUA.....................................................................................95
Segi-Segi Pencacatan Pada Rawi........................................................95
Fasal Pertama......................................................................................96
Sisi-Sisi Yang Berhubungan Dengan Jahaalah Rawi..........................96
Apakah Riwayat Majhuul Terkuatkan Dengan Mutaaba’ah....111
Di Antara Kaidah Berkaitan Dengan Pembahasan Jahaalah....112
Fasal Ke Dua:....................................................................................124
Sisi-Sisi Yang Berhubungan Dengan 'Adaalah ( Ketaqwaan) Rawi. 124
Sisi Yang Pertama : Menerabas Muru`ah.....................................124
Sisi Ke Dua : االبتداعBerbuat Bid'ah...........................................127
Pandangan Ulama Mengenai Hukum Riwayat Mubtadi’ ( Ahli
Bid'ah ).....................................................................................127
Sisi Yang Ke Tiga: الفسقKefasikan...........................................144
Sisi Ke Empat: التهمبذكلاب ة بالكذبTertuduh Berdusta........................145
Sisi Ke Lima : الكذبDusta.........................................................146
Hukum Riwayat Orang Yang Taubat Dari Berdusta Dengan Sengaja
Di Dalam Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam.........147
Fasal Ke Tiga.....................................................................................151
Sisi-Sisi Yang Khusus Berhubungan Dengan Dhabt.........................151
1.Bagian Yang Berhubungan Dengan Dhabt Shadr Dan Dhabt
Kitab Secara Bersamaan..........................................................151
Di Antara Kaidah-Kaidah Masalah Ini....................................151
2.Bagian yang Berhubungan Dengan Dhabt Shadr ( Hafalan
Dada -Maksudnya Di Luar Kepala- )......................................152
Sisi Yang Pertama : سوظفحلا ء الحفظBuruk Hafalan....................152
240
Sisi Kedua : Sering Menyelisihi Riwayat (Katsratul
Mukhaalafah: ) كثرةفلاخملا ة المخالفبذكلاب ة.................................................157
Sisi Ke Tiga : Banyak Melakukan Wahm Atau Kekeliruan ( كثرةفلاخملا ة
)الوهم......................................................................................158
Sisi Ke Empat: Sangat Pelupa ( Syiddatul Ghaflah )شدةفلاخملا ة الغفلبذكلاب ة1
59
Perbedaan Antara Wahm الوهمDan Ghaflah الغفلبذكلاب ة..............159
Sisi Ke Lima: Parah Kekeliruannya ( Fuhsyul Ghalath : فحطلغلا ش
)الغلط.......................................................................................160
2. Bagian Yang Berhubungan Dengan Dhabt Kitab................160
Fasal Empat.......................................................................................162
Sisi-Sisi Yang Tidak Berhubungan Dengan 'Adaalah ( Ketaqwaan)
Dan Dhabt.........................................................................................162
Bagian Pertama: Hal-Hal Yang Tidak Berkaitan Dengan 'adaalah
( Ketaqwaan) Dan Dhabt Secara Galib....................................162
Sisi Pertama: التدليسTadlis....................................................163
1.Tadlis Isnad تدليس اإلِسناد....................................................163
2. Tadlis Taswiyah تدليس التسويبذكلاب ة...........................................163
3. Tadlis Syuyukh تدليس الشيوخ.............................................164
Beberapa Kaidah Berkaitan Dengan Tadlis.............................164
Dan termasuk dari kaidah-kaidah dalam pembaha- san tadlis
yang pertama :..........................................................................164
Kaidah ke dua, riwayat rawi mudallis dihukumi bersambung
meskipun datang dalam bentuk mu'an'an pada dua keadaan:. .166
Kaidah ke tiga : beberapa kemungkinan yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan hadits rawi-rawi mudallis yang datang di kitab
shahiihain dengan kondisi mu'an'an :......................................168
Kitab-kitab yang paling penting dijadikan rujukan mengetahui
tingkatan-tingkatan mudallis....................................................170
Sisi Ke Tiga, Katsratul Irsaal ( ) كثرةفلاخملا ة االرسالBanyak
Memursalkan Hadits................................................................171
Bolehkan bersengaja dalam memursalkan hadits ?.................171
Sebab-Sebab Seorang Rawi Memursalkan Hadits...................172
241
Hadits - hadits mursal yang diriwayatkan para rawi ditinjau dari
sisi kekuatannya bertingkat-tingkat , dengan rincian sebagai
berikut:.....................................................................................173
Sisi Ke Tiga: Banyak Mengambil Riwayat Dari Rawi-Rawi
Majhuul Dan Matruk...............................................................175
Yang Bisa Terkuatkan Dari Riwayat-Riwayat Yang Dha'if.....175
BAB KE TIGA..................................................................................178
Ungkapan-Ungkapan Yang Muncul Di Dalam Jarh Dan Ta'diil.......178
Pada bab ini ada dua fasal :......................................................178
Fasal pertama : makna-makna dari sebagian beberapa ungkapan
jarh dan ta'dil............................................................................178
Fasal ke dua: tingkatan kedudukan lafadz-lafadz jarh dan ta'dil.
.................................................................................................178
Fasal Pertama :..................................................................................179
Makna - Makna Dari Beberapa Di Antara Ungkapan Jarh Dan Ta'dil.
...........................................................................................................179
Pertama: Dengan lafadz-lafadz................................................179
Istilah-Istilah Khusus Milik Sebagian A`Immah Di Dalam
Tautsiq Dengan Menggunakan Lafadz....................................189
Istilah-Istilah Umum Dalam Mengungkapkan Jarh Dengan
Lafadz......................................................................................192
Istilah-Istilah Khusus Milik Sebagian A`Immah Di Dalam Jarh
Dengan Menggunakan Lafadz.................................................200
Lafadz - Lafadz Yang Sedikit Sekali Atau Sangat Jarang
Digunakan................................................................................210
Ke Dua , Gerakan-Gerakan Bahasa Tubuh..............................214
Fasal Ke Dua.....................................................................................217
Tingkatan-Tingkatan Lafadz-Lafadz Jarh Dan Ta'dil.......................217
Tingkatan-Tingkatan Rawi Menurut Abu Hatim.....................217
Tingkatan Lafadz-Lafadz Ta'dil Menurut Abu Hatim..............219
.................................................................................................219
Tingkatan Jarh Menurut Abu Hatim........................................223
Tambahan Ibnu Shalah Dari Lafadz-Lafadz Jarh Dan Ta'dil...224
Tingkatan Jarh Dan Ta'dil Menurut Al Haafidz Ad Dzahaby. .225
Yang Ditambahkan Al 'Iraqiy Di Pembagian Ad Dzahaby , Dan
Yang Di Selisihinya.................................................................228
Tingkatan Jarh Dan Ta'dil Menurut Al Haafidz Ibnu Hajar.....230
Tingkatan Lafadz-Lafadz Ta'dil Menurut As Sakhawiy..........232
Tingkatan Lafadz-Lafadz Jarh Menurut As Sakhawiy............233
242
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ta'dil Di Atas Menurut As
Sakhawiy..................................................................................235
Hukum Tingkatan-Tingkatan Jarh Di Atas Menurut As
Sakhawiy..................................................................................237
DAFTAR ISI.....................................................................................239
CATATAN.........................................................................................244
243
CATATAN
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
244
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
245