Anda di halaman 1dari 245

‫‪KAIDAH-KAIDAH JARH‬‬

‫‪DAN TA'DIL‬‬

‫‪Terjemahan :‬‬

‫ضوابط الجرح و التعديل‬

‫تأليف ‪:‬‬

‫الشيخ عبد العزيز بن محمد بن ابراهيم العبد اللطيف‬

‫‪Alih Bahasa :‬‬


‫‪Abine Ilyasin‬‬

‫‪1‬‬
PENDAHULUAN
‫الحمد هلل رب العلمين و الصالة و السالم على رسوله االمين وعلى اله و صحبه‬

Telah disandarkan kepada saya tanggung jawab mengajar materi jarh


wat ta’dil di kuliyah hadits syarif universitas islam semenjak tahun
1404 H. Terbenaklah dalam hatiku untuk menulis buku metode yang
mencakup intisari kaidah- kaidah jarh wat ta’dil, mengumpulkan
serba-serbinya dari kitab-kitab yang telah ditulis dalam mustalah
hadits ,jarh wat ta’dil dan ilmu ilal hadits dengan uslub yang bisa
dicerna para mahasiswa universitas dan difahami dhabit-dhabit yang
bermacam-macam bentuknya oleh mereka, dan aku mencukupkan
dengan dengan yang ditulis Fadhilah Doktor Akram Dhiya’ Al Umary
dari pengajaran yang lengkap seputar “ Al Isnad wa dzuhuuru ‘Ilmir
Rijaal’’ dan “ Nasy’atu ilmi jarh wat ta’dil “ di kitabnya “ Al Buhuuts
fi taarikhis sunnah Al Musyarrafah “ , kemudian aku berfokus kepada
kaidah -kaidah juga dhabit- dhabitnya dengan mengambil faidah dari
beberapa pertanyaan pertanyaan para murid dan diskusi bersama
mereka di selal-sela tahun tersebut dengan memperbaharui metodenya
dan penambahan dan pengenalan yang paling mudah dalam
pemaparan. Kemudian setelah terkumpul padaku semua materi yang
bisa jadi bahan mewujudkan tujuan, aku kemudian berazem
menyusunnya dalam sebuah kitab yang sehingga mudah diedarkan .
Dan tampaklah bagiku bahwa mencapai tujuan itu mendorongku
memecah bagian buku ini menjadi tiga bab yakni :

Bab Pertama : hakikat jarh wat ta’dil dan dhabit-dhabit kontradiksinya


dan pada bab ini ada dua fasal :

2
pertama : hakikat jarh wat ta’dil .
Kedua : kontradiksi atau pertentangan jarh wat ta’dil

Bab Kedua : sisi tha’en ( komentar yang mencacat ) rawi .


Dan pada bab ini ada empat fasal :

fasal pertama: yang berkaitan dengan jahalah ( tidak dikenalnya )


seorang rawi .
Fasal ke dua :Yang berkaitan khusus dengan dengan ‘adalah
( ketaqwaan) .
Fasal ke tiga: Yang berkaitan khusus dengan dhabt (ketelitian dalam
detail).
Fasal ke empat : Dan yang tidak berhubungan dengan ‘adalah dan
dhabt secara umum.

Bab Ke Tiga : ungkapan-ungkapan jarh wat ta’dil .


Dan pada bab ini ada dua fasal :

Fasal pertama: makna sebagian ungkapan ungkapan jarh wat ta’dil.


Fasal ke dua : urutan tingkatan jarh wat ta’dil.

Aku bercita-cita penyusunan buku ini sebagai peruntukan bagi


mereka yang bermutakhasshish di dalam ilmu hadits nantinya sebagai
asas yang bagus dalam mengembangkan keilmuan, dan juga bagi
mereka yang tidak bermutakhasshish di dalam ilmu ini dari kalangan

3
para penuntut ilmu syar’iy nantinya sebagai sarana yang
menunjukkan secara detail kepada ilmu ini.

Aku juga banyak terima kasih kepada mereka yang ikut andil dalam
melakukan muraja’ah, dan taujiihat terhadap asal kitab ini , mereka
adalah saudara -saudara yang mulia :

Dr. Hafidz Muhammad Al Hakamiy,


Dr . Abdurrahman Shalih Al ‘Abd Al Lathief ,
Dr. Shaalih Haamid Ar Rifaa’iy ,
Dr. Muhammad bin Mathaar Az Zahraaniy .

Dan harapanku adalah mendapatkan arahan para afaadhil mengenai


apa saja yang menurut pandangan mereka pada buku tersebut
merupakan keliru , kekurangan,dan juga cacat. Dan tidaklah taufiqku
kecuali dari Allah kepadanya aku bersandar dan ber inaabah.

Madinah Nabawiyah , Jumat , 15 Safar 1410H


Dr. Abdul ‘Aziiz bin Muhammad bin Ibrahim Al Abd Al lathief.

4
BAB PERTAMA
Hakikat Jarh Wat Ta’dil
Pada bab ini terdapat dua fasal:
Pertama : hakikat jarh wat ta’dil.
Kedua : kontradiksi atau pertentangan jarh wat ta’dil.

FASAL PERTAMA

Hakikat Jarh Wat Ta’dil

Pengertian Jarh (‫)الجرح‬

Pengertian Jarh (‫ )الجرح‬Secara Bahasa :


1. jarh (‫ )الجرح‬dengan harakat fathah maksudnya mencederai jism
( badan) dengan pedang 1.

Dan kata (‫ )الجرح‬dengan harakat dommah adalah nama untuk luka 2.

Sebagian Fuqaha bahasa ada yang berkata : kata ( ‫ ) الجرح‬dengan


harakat dhammah adalah luka yang terdapat pada badan dengan sebab
besi dan yang semacamnya.

1 Lihat di Lisanul Arab 2/ 422 pada madah ( jim ra hak)

2 Taajul Lughah Wa shihaahul Arabiyah 1/358 dan , Mujmalul Lughah 1/186 kat
kunci ( jim rak hak)

5
Dan kata ( ‫ ) الجرح‬dengan fathah adalah luka yang timbul dengan
lisan pada makna-makna dan harga diri,dan semacamnya3.

Pengertian Jarh (‫ )الجرح‬Secara Istilah :


Yakni :

‫ي تليين روايته أو تضعيفها أو َّردها‬/‫وصف الراوي بما يقتض‬


Mensifati rawi dengan yang mengakibatkan talyin ( dilayyinkan )
terhadap riwayatnya atau tad’iif ( didha’ifkan) atau ditolak 4.
Pensifatan yang mengakibatkan talyin ( dilayyinkan ) riwayatnya ia
adalah kata : ‫يء الحفظ‬/‫ صدوق س‬, bisa terkuatkan riwayatnya dengan
adanya qariinah yang menguatkan sisi dhabt ( ketelitian detail )
terhadap hadits tertentu.
Pensifatan yang mengakibatkan tadh’if (didha’ifkan) riwayatnya ,
tidak keluar dari dari tiga keadaan :
pertama: berupa pentadh’ifan secara mutlaq , pada kondisi seperti ini
seorang rawi tidak diterima riwayatnya ketika bersendirian ,hanya ia
menjadi kuat dengan adanya mutaaba’ah yang sederajat dengannya,
dan terangkat derajatnya ke jajaran hasan lighairihi.
Kedua: berupa pentadh’ifan secara muqayyad . Maksudnya
didha’ifkan hanya pada riwayat yang dari beberapa syaikh atau
sebagian hadits yang ia riwayatkan di kota tertentu atau pada masa

3 Taajul Urs 2/130 kata kunci : jim ra ha.


Berkata Az Zubaidiy : ( ini) adalah yang tersebar di kalangan mereka meskipun
secara bahasa satu makna Taajul Urs 2/130.
4 Berkata Ibnu Al Atsiir : ( ‫ ) الجرح‬adalah pensifatan kapan apabila menempel
pada seorang rawi atau syaahid maka jatuhlah kedudukannya (dari derajat
pantas ) diambil faedah i’tibar dan batal beramal dengan dasar perkataannya,
jaami’ul Ushul 1/126.

6
tertentu , jadi kedha’ifan riwayatnya hanya khusus pada yang ditaqyid
( dibatasi kriterianya ) tidak pada yang lain.
Ke tiga : berupa pentadh’ifan secara nisbiy. Dan ini terjadi ketika
saling mengunggulkan antara dua rawi atau lebih . Dan bentuk seperti
ini tidak melazimkan tetapnya dha’if secara mutlak pada seorang
rawi ,tetapi hukumnya berbeda-beda menurut qarinah hal ( keadaan)
pada pengunggulan rawi tadi .
Adapun Pensifatan yang mengakibatkan ditolak riwayatnya , maka
itulah yang dinamakan dengan dha’iif jiddan dan yang berada derajat
di bawahnya. Seperti ini tidak bisa menguatkan riwayat lain atau
dikuatkan dengan riwayat lain .

Pengertian Ta’dil

Ta’dil ( ‫ ) التعديل‬Secara Bahasa


Adalah bermakna ( ‫ ) التسوية‬taswiyah , menilai sesuatu dan
membandingkannya dengan yang lain 5

Ta’dil secara istilah


Yakni :

‫ي قبول روايته‬/‫وصف الراوي بما يقتض‬


Menshifati rawi dengan sifat yang menyebabkan riwayatnya diterima6
.
Diterima di pengertian ini maksudnya adalah secara mutlaq . Jadi
mencakup :

5 Al Washiith Fy Uluumi Wa Mustholaahil Hadits halaman 385, dan lihat juga


Lisanul Arab 11/432 di kata kunci ( ‘ain dal lam ) .

6 Al Mukhtashar Fi ‘ilmi Rijaalil Atsar halaman : 43.

7
1. Rawi- rawi yang diterima riwayatnya dan dikelompokkan pada
martabat shahih lidzatihi .
2. Rawi-rawi yang diterima riwayatnya dan dikelompokkan pada
martabat hasan lidzatihi 7 .
Mereka ini adalah para rawi yang riwayat-riwayatnya bisa dijadikan
hujjah meskipun tingkatan-tingkatan martabatnya tidak sama.

Penggunaan Kalimat Ta’dil Secara Istilah


Bermakna Tautsiiq

Asal kalimat ta’dil adalah memvonis adil seorang rawi, hanya saja
kadang dipakai di dalam pembahasan ini lebih umum dari sekedar
tautsiiq , maksudnya yaitu memvonis adil dan dhabt seorang rawi
secara bersamaan , karena keduanya merupakan asas diterimanya
khabar rawi .
Dan yang dimaksud dengan ‘adaalah :
ٌ ََ
8
‫َملكة تحمل املرء على مالزمة التقوى واملروءة‬
Pembawaan yang menjadikan seseorang selalu melazimi ketaqwaan
dan menjaga muru’ah.

7 Lihat Taudhiihul Afkar 2/ 120.

8 Nuzhatun Nadzaar halaman 29 .

8
Dan ‫ ( العدل‬al ‘adl ) adalah seorang muslim yang baligh, berakal, yang
selamat dari sebab-sebab kefasikan9 dan pencemaran muru’ah 10.

Islam dan baligh adalah syarat dalam ada’ ( ‫)االداء‬11 dan bukan
merupakan syarat tahammul ( ‫) التحمل‬12. Karena dulu para sahabat
sebelum masuk islam juga melakukan tahammul kemudian mereka
melakukan ada’ setelah mereka masuk islam , dan para sahabat yang
masih kecil ( belum usia dewasa) dulu juga mereka melakukan
tahammul ketika dalam keadaan masih bocah dan mereka
menyampaikan riwayat ketika mereka baligh 13.
Dan baligh serta berakal adalah merupakan tumpuan taklif syar’iy 14
( pembebanan syariat ). hanya saja kadang anak kecil mumayyiz
mampu menghafal sebagian apa yang pernah ia dengar atau saksikan .
Karena itulah penyampaiannya- terhadap berita atau kejadian di saat
masih kecil 15- bisa diambil i’tibar ketika usia baligh.
Dan selamat dari sebab sebab kefasikan ,pencemaran muruah hanya
terjadi pada dzahir yang nampak di keadaan seorang rawi . Hanya saja

9 Dan yang diinginkan dengan ketaqwaan adalah :


‫اجتناب األعمال السيئة من شرك أو فسق أو بدعة‬
meninggalkan amalan-amalan buruk seperti kesyirikan, kafasikan, bidah , Nuzhatun
Nadzaar 29.
Adapun muru’ah :
َ ُ
‫ ُوي ْر َج ُع‬.‫مراعاتها اإلنسان على الوقوف عند محاسن األخالق وجميل العادات‬ ‫فآداب نفسانية تحمل‬
‫العرف وذلك يختلف باختالف األشخاص والبلدان‬ْ ُ ‫في معرفتها إلى‬
Budi pekerti yang mengantarkan seorang insan berada pada mahasin akhlaq dan
keindahan perilaku. Dan ini dikembalikan kepada urf yang berlaku , dan itu
berbeda-beda ditinjau dari sisi masing-masing orang dan daerah , Al Mishbah
Al Munir : 2/234 dengan kata kunci ( mim ra hamzah) . Fathul Mughiits 1/288.
10 'Uluumul Hadits halaman : 218.
11 Artinya menyampaikan hadits kepada orang lain.
12 Menelaah hadits dari orang lain.
13 Lihat sumber sebelumnya.
14 Al Ihkam fi Ushuulil Ahkaam 1/ 150-151,Raudhatun Naadzir 1/137, fathul
Mughiits 1/287.
15 'Uluumul Hadits halaman 243-244.

9
pentadh’ifan seorang rawi dikarenakan ia menerabas muru’ah ini tidak
banyak 16.

Pengertian Dhabt ( ‫)الضبط‬


Dhabt ada dua : dhabt shadr ‫ ضبط الصدر‬,dan dhabt kitab ‫ ضبط كتاب‬.

Dhabt shadr ‫ ضبط الصدر‬: kondisi dimana rawi terjaga dan tidak lena
bahkan ia menghafal apa yang ia dengar dan meresapinya secara detail
sehingga ia mampu menceritakan kapan saja ia mau, dengan catatan
ia punya pengetahuan akan kalimat-kalimat yang bisa merubah makna
apabila nantinya ia meriwayatkan secara makna.

Sedangkan dhabt kitab ‫ ضبط الكتاب‬adalah penjagaan apa yang ia


dengar dan meresapinya secara detail semenjak didengarnya dan ia
mentashiih sampai waktu ada' ( menyampaikan )17.

Yang Keluar Dari Deskripsi ‘adaalah Dan


Pensyaratan Dhabt

Pertama : berhubungan dengan jahalahnya18 rawi (‫)جهالة الراوي‬

1. rawi mubham (‫)مبهم‬, yakni rawi yang tidak disebutkan namanya .

16 Di antaranya adalah yang datang dari Syu'bah bahwa ia meninggalkan hadits


seseorang gara-gara ia pernah melihatnya menaiki kuda pembawa beban,
Mahaasinul ishthilah 218.

17 'Uluumul Hadits 218, fathul Mughiits 1/286.


berkata Ibnu Al Atsiir : “ dhabt dua jenis : dzaahir dan bathin . Dzahir maksudnya
dhabt terhadap makna hadits dari segi lafadz bahasanya . Sedangkan bathin
maksudnya dhabt terhadap makna dari segi digantungkannya hukum syari’i
menurut makna tersebut, dan itu adalah fiqh. Sedangkan mutlak dhabt yang
merupakan syarat pada rawi adalah dhabt dzahir menurut kebanyakan
18 Tidak dikenalnya.

10
2. majhuul ‘ain (‫)مجهههول العين‬, rawi yang meriwayatkan darinya hanya
seorang dan tidak didapati tautsiiq ( komentar tsiqah) .

3. majhuul hal ( ‫)مجهول الحال‬, rawi yang meriwayatkan darinya dua


orang atau lebih namun tidak didapati tautsiiq ( komentar tsiqah).
Mereka keluar dari diskripsi karena tidak dikenalnya keadaan mereka
di dalam ‘adaalah dan dhabt.
Kedua : rawi rawi yang keluar dari diskripsi ‘adl :
1. Kafir.
2. Anak kecil.

3. Orang gila ‫مجنون‬.

4. Mubtadi’ ‫مبتدع‬, maksudnya adalah yang meyakini sesuatu yang


tidak merupakan hal yang ma’ruf di zaman Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam yang merupakan perkara yang tidak diperintahkan olehnya
juga oleh para sahabatnya.

5. Fasiq ‫فاسق‬, orang yang dikenal dengan perbuatan dosa besar atau
terus menerus dalam melakukan dosa kecil .

6. Muttahamun bil kadzib19 ‫متهم بالكذب‬, orang yang pernah melakukan


perbuatan dusta dan sungguhpun belum pernah diketahui pernah
melakukan kedustaan atas Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

7. Kaddzaab ‫ كذاب‬, yaitu orang yang pernah berdusta atas Nabi


shallallaahu 'alaihi wasallam dengan sengaja meskipun cuma sekali.

8 . Orang yang tercela muru’ahnya (‫)مخروم املروؤة‬.

Yang pertama keluar dari cakupan diskripsi karena kekufurannya ,


kedua karena masih kecilnya, ketiga karena gila, jika keadaannya

19 Tertuduh berdusta.

11
menutupi kesadarannya secara total atau kambuhan apabila
berpengaruh pada kesadarannya 20, keempat karena bid'ahnya21,
kelima dan ke enam dan ke tujuh karena tampak kefasikannya, dan ke
delapan karena kekurangan muru’ahnya.

Ketiga: Yang Keluar Dari Diskripsi Dhabt

1. Katsratul wahm22( ‫ )كثرة الوهم‬, yaitu ketika seorang rawi - hadits -


sering melakukan periwayatan keliru : memaushulkan sanad yang
mursal, memarfu’kan atsar mauquf dan yang semacamnya 23 .

2. Seringnya seorang rawi melakukan mukhaalafah24 (‫)كثرة املخالفة‬


terhadap rawi lain yang lebih tsiqah dari pada dirinya, atau terhadap
beberapa rawi yang tsiqah25.

3. Buruk hafalan 26
(‫ )سوء الحفظ‬, sehingga tidak bisa rajih sisi mana
yang benar hadits yang diriwayatkan rawi tersebut dan mana yang
salah27, bahkan kedua kemungkinan tersebut tidak bisa ditentukan.

20 Fathul Mughiits 1/30, Tadriibu Ar Raawiy 1/300.


21 Sebagian A’immah ahli hadits mengambil periwayatan dari sekelompok ahli
bid'ah dan meninggalkan riwayat-riwayat golongan ahli bid'ah yang lain karena
beberapa pertimbangan tertentu yang itu memberikan gambaran betapa jelinya
metode yang mereka – para imam ahli hadits - pakai dalam menganalisis
keadaan- keadaan para rawi dan memutuskan - hukum mengenai -mereka
dengan ketentuan hal tersebut.
22 ‫كترة الوهم‬
23 Lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 44-45.
24 ‫ كثرة املخالفة‬banyak datang membawa riwayat yang berbeda.
25 Lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 35-36.
26 ‫سوء الحفظ‬
27 Nuzhatun Nadzaar halaman 51.

12
4. Syiddatul ghaflah 28(‫)شدة الغفلة‬, ketika rawi tidak memiliki ingatan
dan itqan ( memahami detail riwayat) sebagai patokan membedakan
mana yang benar dari kesalahan riwayatnya29.

5. Fuhsyul ghalath 30
(‫)فحش الغلط‬, dimana intensitas keliru rawi
31
masuk bilangan parah melebihi jumlah – hadits - benar yang ia
riwayatkan.
6. Bodohnya seorang rawi terhadap makna yang ditunjukkan lafadz -
lafadz dan maksud- maksudnya , dan juga terhadap perkara-perkara
yang bisa merubah makna – ketika meriwayatkan dengan makna-
sehingga jelas baginya -ketika menyampaikan hadits -apa lafadz yang
pernah ia dengar yang semestinya ia pertahankan supaya tidak
terjerumus kepada merubah hadits dari makna yang diinginkan32.
7. bermudah-mudahannya seorang rawi dalam melakukan muqaabalah
kitab 33,tashiih dan penjagaannya.

Beberapa Perkara Yang Membuat Seorang Rawi


Dikritik Bukan Dari Sisi ‘adaalah Dan Dhabt

Ibnu shalah menghikayatkan ijma dari kebanyakan besar para imam


ahli hadits dan ahli fiqh bahwa : disyaratkan pada rawi yang dijadikan
hujjah – riwayatnya- hendaknya ‘adil dan dhabt dalam periwayatan.
Sehingga setiap perkara yang menafikan dua syarat ini maka
merupakan jarh terhadap rawi tersebut, sama saja apakah datang
secara mutlak atau secara muqayyad 34.

28 ‫شدة الغفلة‬
29 Syarah Nukhbatul Fikar 121.
30 ‫فحش الغلط‬
31 Lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 44-45 , Syarah Nukhbatul Fikar 121.
32 'Uluumul Hadits 331.
33 Maksudnya adalah mencocokkan kitabnya dengan kitab syaikhnya yang darinya
ia meriwayatkan hadits .
34 Pada kondisi dan keadaan tertentu.

13
Namun disana ada perkara yang lain yang membuat seorang rawi
dikritik bukan dari sisi ‘adaalah dan dhabt mereka , seperti tadliis 35
dan banyak memursalkan36 hadits, dan tidak pilih-pilih guru.

Asal Syar'iy Dalam I'tibar ‘adaalah Dan Dhabt Di


Seleksi Rawi

Asal di dalam i'tibar 'adaalah ( ketaqwaan) rawi perkataan Allah


ta'aala :
ْ ‫ين َآم ُنوا إ ْن َج َاء ُك ْم َفاس ٌق ب َن َبٍإ َف َت َب َّي ُنوا َأ ْن ُتص ُيبوا َق ْو ًما ب َج َه َالة َف ُت‬
‫ص ِب ُحوا‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها َّالذ‬
ٍ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ
َ َ ْ َُْ َ َ ٰ ََ
‫على ما فعلتم ن ِاد ِمين‬

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik


membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu”, Al Hujuurat:6.
Sisi pendalilan : ayat ini merupakan nash wajibnya melakukan
tabayyun37 dan tatsabbut38 di haqiqat khabar orang fasiq 39.

35 Tadlis maksudnya menyamarkan penyampaian hadits dari seorang rawi yang ia


tidak pernah mendengar darinya seolah-olah mendengarkan langsung.
36 Dua perkara ini menjadikan cacat 'adaalah ( ketaqwaan) rawi jika ia sengaja
memotong rawi yang diyakini kedha’ifannya di dalam rawi-rawi sanad.
37 Mencari kejelasan bukti.
38 Di dalam qiraa’ah hamzah dan Al Kasaa’i :
‫فتثبتوا‬
“ maka tatsabbutlah”. Lihat Al Jaami' Li Ahkaami Al Qur'an 16/312.

39 Lihat Al Jaami' Li Ahkaami Al Qur'an 16/312, Tafsir Al Qur'an Al 'Adziim


4/208.
dan ayat ini juga dijadikan hujjah oleh orang yang menerima khabar majhuul ( tidak
dikenal) hal , karena Allah ta'aala hanya memerintah kita -menurut mereka-
melakukan tatsabbut dalam berita yang dibawa orang fasiq. Dan majhuul hal
bukanlah berarti fasiq . Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Adziim 4/208.

14
sedangkan asal dalam i'tibar dhabt adalah hadits mutawatir 40:

‫حامل فقه غير فقيه ُور َّب‬ ‫فر َّب‬ ّ ‫امرءا سمع مقالتي فحفظها ووعاها‬
ُ ،‫وأداها‬ َّ ‫َن‬
ً ‫ضر هللا‬
ِ
...‫حامل فقه إلى من هو أفقه منه‬
ِ
“Allah senang kepada seseorang yang mendengar perkataanku
kemudian ia menghafal, menjaga dan menyampaikannya. Karena
kadang pembawa fiqh bukan merupakan orang faqih dan kadang
orang yang membawa fiqh datang kepada orang yang lebih faqih dari
dirinya”41.
Dan disebagian riwayat :
َّ ً
‫سمع منا شيئا فبلغه كما سمع‬

“...mendengar dari kami sesuatu kemudian ia menyampaikannya


sebagaimana yang ia dengar... “42.
sisi pendalilan :
a. Bahwa perkataan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam:

‫فحفظها‬

“kemudian ia menghafalnya” , merupakan nash atas menghafal dan


i'tibar dhabt dan itu mencakup dhabt shadr ( dalam hati) dan dengan
kitab ( mencatat).
b. Dan perkataan beliau :
َّ
‫فبلغه كما سمع‬

40 Lihat jalan hadits di atas di Diraasatu Hadits Naddharallaahu Imra’an Sami’a


Maqaalaaty secara riwayat dan dirayah . Dan jalan hadits di atas bermuara
sampai kepada dua puluh empat sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam .
41 Lihat catatan kaki di atas.
42 Lihat Diraasatu Hadits Naddharallaahu Imra’an Sami’a Maqaalaaty halaman
212.

15
“ dan ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar “ nash dalam
i'tibar dhabt ketika ada’ ( menyampaikan hadits).
c. Hadits ini telah datang dengan lafadz-lafadz yang bermacam, yang
menunjukkan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan secara makna
dan itu merupakan satu dari dua bentuk ada' ( menyampaikan hadits) .
Dan menjarh rawi sebatas hajat yang dibutuhkan tidaklah terhitung
dalam kategori ghibah yang diharamkan . An Nawawy rahimahullah
menyebutkan bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar
secara syara’ yang tidak memungkinkan cara lain kecuali dengan cara
tersebut43 . Dan diantara tujuan-tujuan tersebut adalah
memperingatkan kaum muslimin dari keburukan dan menasihati
mereka supaya menghindari, dan demikian ditinjau dari beberapa segi
, diantaranya :
Menjarh orang - orang yang terjarh dari rawi-rawi hadits,dan para
saksi ( syahiid) dan yang demikian adalah boleh secara ijma kaum
muslimin . Bahkan bisa wajib jika memang diperlukan , karena
dengan menjarh di haknya rawi-rawi memberikan dampak guna
membedakan antara antara hadits -hadits yang tsaabit ( shahiih ) dari
yang riwayat-riwayat yang dha'if , wahiy44 dan maudhu45’ yang tidak
tsabit ( tetap) keabsahannya ( keshahihannya ) karena sebab di
keadaan rawi-rawinya ada beberapa catatan yang menafikan46
'adaalah ( ketaqwaan) dan dhabt .
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya ghibah karena alasan
syar'iy beberapa dalil berikut ini :

43 Lihat Riyadhus Shalihiin 575, Syarah Shahiih Muslim 16/110) Fathul Baary 10/
472.
44 Jika diterjemahkan artinya rapuh . Riwayat waahiy adalah tingkatan dha'if lebih
ringan dari maudhu' atau palsu.
45 Lihat kitab Raf’ur Raibah ‘Ammaa Yajuuzu Wamaa Laa Yajuuzu Minal Ghiibah
halaman 24.
46 Di beberapa riwayat ada yang tidak tsabit keabsahannya dengan sebab terputus -
jalur sanadnya atau karena menyelisihi – riwayat lain- itu sebagian dari
beberapa aspek yang menetapkan dugaan cacat pada rawi bahkan hal itu terjadi
adalah karena dha'if- nya rawi tersebut -.

16
1. hadits yang disepakati Asy Syaikhany (Al Bukhaary dan Muslim )
dari hadits 'Aisyah radhiallaahu 'anha :
ً
‫ فلما‬،‫ بئس أخو العشيرة وبئس ابن العشيرة‬:‫أن رجال استأذن على النبي فلما رآه قال‬
َّ
‫ يهها رسههول‬:‫جلس تطلق النههبي في وجهههه وانبسههط إليههه فلمهها انطلههق الرجههل قههالت عائشة‬
َّ
‫ فق ههال‬،‫هللا حين رأيت الرج ههل قلت ل ههه ك ههذا وك ههذا ثم تطلقت في وجه ههه وانبس ههطت إلي ههه‬
ّ ً
‫ يا عائشة متى َع ِهدتني فاحشهها؟ إن شه ّهر النههاس عنههد هللا منزلههة يههوم القيامههة‬: ‫رسول هللا‬
ّ ‫َم ْن تركه الناس اتقاء‬
‫شره‬

“ Pernah ada seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi shallallaahu


'alaihi wasallam , ketika beliau melihatnya beliau berkata : dia adalah
seburuk buruk saudara bagi keluarganya , dia adalah seburuk-buruk
anak bagi keluarganya. Ketika duduk, Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam kemudian cerah dan berseri-seri wajah beliau kepadanya
dan ketika telah berlalu pergi maka 'Aisyah -radhiallaahu 'anha-
berkata : wahai Rasulullah ketika engkau melihat laki-laki tadi engkau
berkata demikian dan demikian namun kemudian wajahmu berseri-
seri dan cerah kepadanya ? Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam berkata : wahai 'Aisyah kapan engkau dapati diriku sebagai
orang yang keji ? Sungguh seburuk-buruk manusia di sisi Allah
kedudukannya pada hari qiyamat adalah yang ditinggalkan orang-
orang karena menghindari keburukannya” 47.
Di dalam riwayat lain :
ُ
‫اتقاء ف ْح ِشه‬

“menghindari kekejiannya 48 “.

47 Kitab Al Jaami' As Shahiih lil Bukhaary kitab: ‫ األدب‬bab: ‫لم يكن النبي فاحشا وال‬
‫ متفاحشا‬.
48 Al Jaami' As Shahiih lil Bukhaary kitab ‫ األدب‬bab: ‫باب ما يجوز من اغتياب أهل الفساد‬
‫ والل ّ ِلريب‬dan Fathul Baary 10/ 471, dan juga bab: ‫ املداراة مللع الن للاس‬bersamaan Fathul
Baary 10/ 528,dan Shahiih Muslim kitab : ‫ البر والصلة واآلداب‬bab: ‫مداراة من ُي َّتقى فحشه‬
bersamaan dengan Syarah Shahiih Muslim karangan An Nawawy 16/144.

17
Dan sisi penunjukan hadits di atas adalah :
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam membicarakan mengenai laki-laki
tersebut dalam konteks mencela demi maslahat syar'iy, yakni
peringatan akan buruk akhlaqnya supaya yang mendengar
menjauhinya sebagamaina ini disimpulkan dari perkataan beliau
shallallaahu 'alaihi wasallam : “seburuk-buruk manusia di sisi Allah
kedudukannya pada hari qiyamat adalah yang ditinggalkan orang-
orang karena menghindari keburukannya”. Oleh karena itu berseri
wajah beliau kepada laki-laki tadi dalam rangka bermudaarah
kepadanya bukan mudaahanah49.
2. Hadits yang dikeluarkan Muslim dari hadits Fatimah binti Qais :
ََ ّ ّ
:‫ قهالت‬.»‫ فٍإذا َحلل ِت فآذنيني‬...« ‫ فقال النبي‬،‫أن أبا عمرو ابن حفص طلقها البتة‬
: ‫ فقههال رسههول هللا‬.‫فلما حللت ذكرت له أن معاوية ابن أبي سههفيان وأبهها َج ْه ٍم خطبههاني‬
‫ انكحي‬،‫ وأمهها معاويههة فصههعلوك ال مههال لههه‬،‫«أمهها أبههو َج ْه ٍم فال يضههع عصههاه عن عاتقههه‬
»...‫أسامة بن زيد‬

“ Bahwa Abu 'Amr bin Hafsh telah mentalaknya secara battah , maka
berkatalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam : jika engkau telah halal
maka beri tahu diriku . Ia berkata : ketika telah halal aku memberitahu
kepada beliau bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm telah
mengkhitbahku. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
berkata : Abu Jahm ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari

49 Mudaarah : mencurahkan dunia dengan tujuan maslahat dunia dan agama atau
keduanya secara bersamaan ,sedangkan mudaahanah meninggalkan agama
dalam rangka kesuksesan dunia. Dan sisi mudarah di hadits di atas : nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam mencurahkan dunianya dengan membaguskan
pergaulannya dan bersikap lembut berbicara bersamanya ,meskipun begitu
beliau tidak memujinya dengan perkataan. Dan perkataan beliau mengenainya
tidak berbenturan dengan perbuatannya . Karena perkataan beliau adalah
perkataan benar dan perbuatan beliau menyikapi laki-laki tersebut adalah dalam
rangka berbuat baik dalam pergaulan. Fathul Baary 10/454.

18
pundaknya sedangkan Muawiyah maka ia miskin tidak memiliki harta
, menikahlah dengan Usaamah binZaid “50.
Dan di riwayat lain :
ّ ‫ و أما أبو َج ْهم فرجل‬،‫أما معاوية فرجل َتر ٌب ال مال له‬
‫ و لكن أسامة‬،‫ضراب للنساء‬ ٍ ِ
»...‫بن زيد‬

“ Adapun Mu’awiyah maka ia melarat tidak memiliki harta sedangkan


Abu Jahm maka ia laki-laki yang sering memukul wanita , tapi
pilihlah Usamah bin Zaid “51.
Dan sisi pendalilan hadits di atas :
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menyebutkan Mu’awiyah dan Abu
Jahm radhiallaahu 'anhuma kekurangan mereka supaya terwujud
maslahat yakni musyawarah kepada yang diajak berbicara -Fatimah-
menentukan mana yang paling bermaslahat . Oleh karena itulah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya :
“Nikahilah Usamah bin Zaid “

Adakah Syarat Yang Lain Selain 'Adaalah


( Ketaqwaan) Dan Dhabt

Di sisi yang berbeda ada beberapa perkara lain yang tidak kembali
kepada 'adaalah ( ketaqwaan) dan dhabt rawi dan dimungkinkan
dipecah menjadi dua pembagian :
1. perkara yang tidak disyaratkan dengan ijma' yakni status merdeka
seorang rawi . Khatiib Al Bagdady menghikayatkan ijma'
( kesepakatan ulama) perihal diterimanya khabar budak52 .
50 Shahiih Muslim di : 10/97 ‫ باب املطلقة البائن ال نفقة لها‬،‫كتاب الطالق‬.
51 Shahiih Muslim di :10/104 ‫ باب املطلقة البائن ال نفقة لها‬،‫كتاب الطالق‬
52 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman: 157

19
2. perkara yang tidak disyaratkan menurut pendapat yang rajih
menurut jumhur ulama , di antaranya adalah yang berkaitan dengan
rawi itu sendiri dan hal ini ada lima perkara :
a. Keharusan yang meriwayatkan harus seorang laki-laki, pensyaratan
meriwayatkan harus seorang laki-laki ternuqilkan dari Imam Abu
Hanifah ,hanya ia mengecualikan khabar – khabar 'Aisyah dan Umu
Salamah 53radhiallaahu 'anhuma .
b. Paham fiqh. Telah masyhur dari Imam Abu Hanifah beliau
mensyaratkan fiqh rawi ketika khabarnya menyelisihi quyas ushul54.
Sedangkan yang lain mensyaratkannya ketika seorang rawi
bersendirian 55dalam meriwayatkan hadits , sedangkan Ibnu Hibban
mensyaratkan fiqh ketika rawi menyampaikan riwayat dari
hafalannya . Ia berkata :

‫حدث من حفظه وليس بفقيه ال يجوز عندي االحتجاج‬ ّ ‫الثقة الحافظ إذا‬
َّ ‫فرَّبما قلب املتن‬
ُ ‫وحدث من حفظه‬ ً
ّ ‫فقيها‬
‫وغير‬ ‫فٍإذا كان الثقة الحافظ لم يكن‬...‫بخبره‬
‫يء ليس منههه وهههو ال يعلم‬/‫املعههنى حههتى يههذهب الخههبر عن معههنى مهها جههاء فيههه ويقلب إلى شهه‬
53 Adaabul Qaadhiy 1/385, fathul Mughiits 1/289.
54 Fathul Mughiits 1/289, Tadriibu Ar Raawiy 1/70. ‘Alaa_u Addien Al Bukhaary
menyebutkan bahwa pendapat yang mensyaratkan fiqh rawi sebelum
mendahulukan khabarnya daripada qiyas merupakan pendapat Isa bin Abbaan,
dan kebanyakan mutaaakhirin dari kalangan Hanafiyah. Sedangkan
mutaqaddimun ( orang -orang sebelumnya ) dari kalangan mereka yang
ternuqilkan adalah mendahulukan khabar wahid ( satu orang rawi) daripada
qiyas tanpa membedakan antara khabar orang faqih maupun yang bukan . Lihat
Kasyful Asraar 2/383.
Mengenai yang datang dari Abu Hanifah bahwa beliau mendahulukan khabar wahid
dari qiyas adalah berikut ini:
1. beliau mengambil hadits perihal qahqahah ( tertawa terbahak) padahal itu
menyelisihi qiyas.
2. beliau mengamalkan hadits Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu :
ْ
‫من أكل أو شرب ناسيا فل ُي ِّتم صومه‬
“ Siapa yang makan minum dalam keadaan lupa maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya “.

55 Fathul Mughiits 1/289.

20
ّ ُ َ
‫فال يج ه ههوز عن ه ههدي االحتج ه ههاج بخ ه ههبر من ه ه ههذا ن ْعته ههه إال أن ُي َه هحه ِّدث من كت ه ههاب أو يواف ه ههق‬
‫الثقات فيما يرويه من متون األخبار‬

“ Seorang yang tsiqah hafidz jika meriwayatkan dari hafalannya dan


ia tidak merupakan orang faqih, tidak boleh menurutku berhujjah
dengan khabarnya ... jika seorang tsiqah hafidz dan tidak faqih
kemudian menyampaikan hadits dari hafalannya , maka bisa jadi ia
membolak balik matan dan merubah makna sehingga khabar ( hadits )
tersebut kehilangan makna yang terkandung di dalamnya dan beralih
ke makna yang lain yang bukan dari makna -otentik-nya sedang ia
dalam keadaan tidak sadar akan hal itu . Jadi tidak boleh menurutku
berhujjah dengan khabar rawi yang seperti demikian hal ihwalnya .
Kecuali jika ia menyampaikan hadits dari kitab atau mencocoki rawi-
rawi lain yang tsiqah di dalam periwayatannya terhadap matan-matan
khabar “56.
Dan perkataan beliau ini muqayyad (dibatasi lingkupannya) dengan
apa yang telah ia katakan mengenai syarat-syarat rawi yang bisa
dijadikan hujjah , yakni ketika mengatakan :
ً
‫ هو أن يعلم من الفقه بمقدار ما إذا ّأدى خبرا‬:‫والعلم بما يحيل من معاني ما يروي‬
ْ
‫حل ُهه عن معنههاه الههذي أطلقههه رسههول هللا إلى معههنى‬
‫أو رواه من حفظههه أو اختصههره لم ُي ه‬
57
‫آخر‬

pengetahuan mengenai perkara yang merubah makna hadits yang ia


riwayatkan maksudnya adalah mengetahui dari persoalan fiqh sebatas
yang apabila ia menyampaikan suatu khabar atau meriwayatkannya
dari hafalannya atau meringkasnya ia tidak merubah dari kandungan
maknanya yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam kepada makna lain “.

56 Ma’rifatul Majruuhiin Minal Muhadditsiin Wad Dhu’afaa Wal Matrukiin 1/93.


57 Shahiih Ibnu Hibban 1/140.

21
Dan ini sejalan dengan yang telah disyaratkan para imam di dalam
dhabt shadr.
c. Masyhur di dalam sima’ 58( mendengarkan ) hadits (dari para
masyaikh).
d. Bisa melihat dan tidak buta59.
e. Dikenal nasabnya.60
Perkara- perkara ini tidak disyaratkan menurut pendapat yang rajih
( kuat) karena perkataan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam :
ّ ً ‫نضر هللا‬
...‫امرءا سمع مقالتي فحفظها ووعاها وأداها‬
َّ َ

“Allah senang kepada seseorang yang mendengar perkataanku


kemudian ia menghafal, menjaga dan menyampaikannya” , di hadits
tersebut tidak dibedakan antara orang yang memenuhi syarat-syarat
ini dan yang tidak . Sedangkan perkataan beliau :

...‫حامل فقه إلى من هو أفقه منه‬


ِ ‫حامل فقه غير فقيه ُور َّب‬
ِ ‫فر َّب‬
ُ

Karena kadang pembawa fiqh bukan merupakan orang faqih dan


kadang orang yang membawa fiqh datang kepada orang yang lebih
faqih dari dirinya”, begitu jelas tidak disyaratkannya pengetahuan
fiqh seorang rawi61 .
Dan di antaranya adalah yang berkaitan dengan riwayat rawi, dan
yang paling penting :
a. Tidak bersendirian meriwayatkan hadits62.
58 Lisaanul Mizan 1/19, fathul Mughiits 1/289.
59 Fathul Mughiits /289.
60 Lisaanul Mizan 1/19.
61 Lisaanul Mizan 1/19, fathul Mughiits 1/289.
62 Masalah ini adalah pensyaratan berbilangnya rawi sebagai acuan di dalam
penerimaan riwayat , dan dari kalangan pendahulu dalam berpendapat demikian
adalah Ibrahim bin Isma’il bin ‘Ulaiyah Al Mu’taziliy ketika mensyaratkan
penerimaan riwayat dengan status hadits diriwayatkan oleh dua rawi dari dua
rawi . Lihat di An Nukat 'Alaa Kitaabi Ibni Shalah 1/241, Tadriibu Ar Raawiy
1/72.

22
b. Tidak ada pengingkaran terhadap riwayat fare’ oleh ashl pada
situasi lupa63.
Kedua hal ini tidak disyaratkan menurut pendapat yang rajih karena
banyaknya dalil yang menunjukkan diterimanya khabar satu orang
rawi yang tsiqah64, dan karena pengingkaran dalam situasi lupa bukan
kemudian artinya penafian terjadinya tahdits (penyampaian hadits)
bahkan paling maksimal -yang bisa disimpulkan – adalah tidak ingat.
Sedangkan perkataan mutsbit adalah lebih didahulukan daripada naafy
karena ia memastikan secara jazm ( definit ) perihal apa yang ia
riwayatkan dari syaikhnya65.

Beberapa Indikasi Yang Membuktikan


Ke’adaalahan Seseorang

Ulama dalam indikasi yang membuktikan ke’adaalahan rawi terbagi


menjadi beberapa kelompok :
1. Madzhab jumhuur : tetapnya 'adaalah ( ketaqwaan) rawi dengan
dua perkara :
Yang pertama : kemasyhuran, yang mana seorang rawi terkenal
dengan kebaikan dan meluas pujian atasnya dengan ketsiqahan dan

63 Lihat Lisaanul Mizan 1/120.


Syarat seperti ini telah diberlakukan oleh jamaah dari kalangan Hanafiyah dan di
antara contohnya : hadits Rabi’ah Ar Raiy dari Suhail bin Abi shaalih dari
bapaknya dari Abu Hurairah :
‫ى بشاهد ويمين‬/‫ قض‬: ‫أن النبي صلى هللا عليه و سلم‬

“ Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menetapkan putusan hukum dengan


seorang syahid dan sumpah”.
Abdul ‘Aziiz Ad Daraawardiy berkata: “Aku pernah menjumpai Suhail kutanyakan
kepadanya mengenai hadits tersebut, ia tidak mengenalnya dan Suhail setelah itu
berkata : telah berkata kepadaku Rabi’ah ( hadits tersebut adalah ) dariku dari
bapakku”.
64 Ar Risaalah 401 ,458.
65 'Uluumul Hadits 234.

23
amanah . Maka demikian sudah cukup tanpa perlu data yang
menunjukkan bahwa ia seorang yang adil . Seperti haknya para
pembesar semisal Imam Malik, Syu’bah, dua Sufyan( Sufyan bin
Uyainah dan Sufyan At Tsauriy) ,Imam As Syafi'iy , Ahmad bin
Hanbal , Yahya Bin Ma'in , 'Ali bin Al Madiny ... dan orang - orang
yang sejajar mereka di dalam keagungan sebutan -di mata orang -,dan
juga keistiqamahan perkara , kemasyhuran, kejujuran bicara ,
bashiirah ( ilmu) dan dalam pemahaman66.
Hal itu jelas dengan dasar argumen berikut:
a. Popularitas dan kemasyhuran seperti itu kedudukan adalah lebih
kuat di jiwa daripada ta’dil se-orang atau dua orang.
b. Setinggi-tingginya yang bisa diambil faedah dari tazkiyah mu’addil
adalah sampai sebatas menyingkapkan jati diri rawi dan tidak sampai
pada mengangkat derajat ke tingkatan itu -kemasyhuran – selamanya.
Jadi kemasyhuran tidak perlu ta’dil karena 'adaalah ( ketaqwaan)
tersebut sudah begitu mengemuka dan sudah masyhur67.
Yang ke dua : nash Aimmah Al Mu’addiliin yang menilai
ke’adaalahan rawi tersebut 68.
Adalah cukup dengan ta’dil seorang imam menurut pendapat yang
rajih diqiyaskan dengan diterimanya khabar rawi tsiqah ketika
bersendiriannya69.
Ada yang mengatakan harus dita’dil oleh dua orang70 . Dan kenapa
demikian adalah karena dua alasan berikut.
a. Karena tazkiyah merupakan pensifatan, jadi dalam penetapannya
butuh kepada dua orang adil sebagaimana permasalahan arrusd
(kematangan berfikir) dan al kafaa_ah ( kemampuan )71.
66 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 147, 'Uluumul Hadits 218-219.
67 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 148.
68 'Uluumul Hadits 218.
69 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 160-161.
70 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 160.
71 Fathul Mughiits 1/290.

24
b. dan diqiyaskan dengan kesaksian dikaitkan dengan hak-hak adami (
sesama umat bani Adam)72.
2. Metode yang digunakan oleh Abu Bakar Al Al Bazzaar di dalam
musnadnya mengenai tsabitnya 'adaalah ( ketaqwaan) rawi , yakni
dengan diambil periwayatan darinya oleh sekelompok dari para
pembesar- ahli hadits-73. Dan seperti demikian juga yang dikatakan Ad
Dzahaby :
ْ
‫والجمهور على أن من كان من املشايخ قد روى عنه جماعة ولم يأت بما ُينكر عليه‬
‫أن حديثه صحيح‬

“Dan jumhur berada pada pendapat bahwa syaikh-syaikh yang


diriwayatkan haditsnya oleh jama’ah dan tidak membawa sesuatu
yang diingkari maka haditsny shahiih 74“
Perkataan ini memaksakan kesimpulan bahwa periwayatan seorang
yang adil dari rawi lain adalah bentuk ta’dil baginya . Karena orang
yang adil jika ia mengetahui pada rawi tersebut jarh tentu akan
menyebutkannya75.
3. Perkataan Ibnu Abdil Barr :

‫كل حامل لهذا العلم معروف العناية به فهو عدل محمول في أمره على العدالة حتى‬
َّ ‫َي‬
‫تبين جرحه‬

“Setiap yang membawa ilmu ini yang dikenal memiliki perhatian


maka ia adalah adil dibawa keadaannya ke status 'adaalah
( ketaqwaan) sampai jelas jarhnya”76.
Dan Ibnu 'Abdil Barr berdalil dengan hadits :
ُ ََ
‫ف ُعدوله‬ ْ َ
ٍ ‫يح ِم ُل هذا العلم من كل خل‬
72 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 160
73 Fathul Mughiits 1/293.
74 Mahaasinul ishthilah 2/426 dan fathul Mughiits 1/293.
75 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 150
76 'Uluumul Hadits 219.

25
“Dibawa ilmu ini dari setiap generasi oleh orang - orang adilnya “.77
Sisi Pendalilan
Hadits ini mengabarkan ke’adaalahan pembawa ilmu ini dari setiap
generasi.
4. Perkataan Ibnu Hibban :

77 Lihat rujukan sebelumnya pada tempat yang juga disebutkan di situ.


Hadits ini datang dari jalan yang bercabang. Dan yang paling masyhur adalah
riwayat Ibrahim Abdurrahman Al Udzary secara mursal .
Ad Dzahaby berkata menilai keadaan Ibrahim : “tidak diketahui siapa dia “,
Miizaanul I'tidal 1/45.
Sedangkan meriwayatkan dari Ibrahim beberapa rawi berikut :
1. Al Waliid bin Muslim dari tsiqah dari syaikh-syaikhnya dari Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam ...
Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adiy di dalam Al Kaamil , makhtutah,1/91, dari dua jalan
dari Walid .Dan Walid di dalam salah satu dari dua jalan tadi mentashrih dengan
sama’ ( mendengar) dari Ibrahim. Dan dari jalan Ibnu 'Adiy dikeluarkan oleh Al
Baihaqy di dalam Sunanul Kubra 10/209. dan juga Ibnu 'Asaakir di Taarikh
Dimasyqa 2/233.
2 . Mu’aan bin Rifaa’ah As Sulaamiy ( layyinul hadits) dari Ibrahim dari Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam ...
Dan riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di At Tsiqaat 4/10, dan Ibnu 'Adiy di
dalam Al Kaamil -makhtuth-1/91, dan Abu Nu'aim di Ma’rifatus Shahaabah
1/53, dan Ibnu 'Abdil Barr di At Tamhiid 1/59, dan Khatiib Al Bagdaady di
Syarafu Ashaabil hadits hal 29, dan Ibnu 'Asaakir di Taarikh Dimasyqa 2/233,
dari beberapa jalan dari Abu Ar Rabii’ Az Zahraaniy dari Hammad bin Zaid dari
Baqiyah bin Al Waliid dari Mu’aadz bin Rifaa’ah dari Ibrahim dari Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam .
a. Al Uqailiy di Ad Dhu’afa 4/256, dan Ibnu Abi Haatim di Al Jarh wat Ta’dil 2/17,
dan Ibnu 'Adiy Al Kaamil -makhtuth- 1/91, dan Ibnu 'Asaakir di Taarikh
Dimasyqa 2/233, dari beberapa jalan dari Ismail bin Iyyasy dari Mu’aan dengan
khabar ini . Dan sedangkan dari jalur Al Uqailiy sendiri dikeluarkan Ibnu 'Abdil
Barr di dalam At Tamhiid 1/59.
b. Ibnu Abi Haatim di Al Jarh wat Ta'diil 2/17, dan Ibnu 'Adiy di Al Kaamil -
makhtuth-1/91, keduanya dari dua jalan dari Mubasyir bin Ismail dari Mu’an
dengan hadits ini.
Dan riwayat ini di Ibnu Abi Haatim dengan ungkapan perintah :
ُ َ
"‫لف ُعدوله‬
ٍ ‫“ليحمل هذا العلم من كل خ‬
“Hendaklah memikul ilmi dari setiap generasi orang - orang adilnya “.

Kemudian riwayat yang ke dua : dari hadits Usaamah bin Zaid radhiallaahu 'anhu .

26
ْ
‫ فمن لم ُي ْه هج رح فه ههو‬،‫ إذ التج ههريح ض ههد التع ههديل‬،‫إن الع ههدل من لم ُي ْعههرف في ههه الج ههرح‬
‫يتبين جرحه‬ ّ ‫عدل حتى‬

“Sesungguhnya adil adalah orang yang tidak dikenal dalam dirinya


memiliki jarh , karena jarh adalah kebalikan dari ta’dil siapa yang
tidak terjarh maka ia adalah adil sampai benar jelas jarhnya”78.

Dikeluarkan oleh Khatiib Al Bagdaady di Syarafu Ashaabil Hadits hal 28, dengan
sanadnya dari 'Amr bin Hisyam Al Bayrutiy ( shaduuq yukhthi’) dari
Muhammad bin Sulaiman -Ibnu Abi Kariimah-( dan ia telah didha’ifkan oleh
Abu Haatim dari Mu’aan bin Rifaa’ah ( layyinul hadits) dari Abu 'Utsman An
Nahdiy dari Usaamah bin Zaid dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam .
Dan dari jalurnya dikeluarkan oleh Ibnu 'Asaakir di Taarikh Dimasyqa 2/233.

Kemudian yang ke tiga : dari hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallaahu 'anhu .
Dikeluarkan oleh Khatiib Al Bagdaady di Syarafu Ashaabil Hadits hal 28, dengan
sanadnya dari Abi Shaalih Abdullah bin Shaalih Kaatibu Al Laits ( shaduuq
ktsiirul galath tsabtun fy kitaabihi wa kaanat fiihi ghaflah ) ia berkata :

‫حدثنا الليث بن سعد عن يحيى بن سعيد (األنصاري) عن سعيد بن املسيب عن عبد هللا بن مسعود‬

“ Telah berkata kepada kami Al Laits bin Sa’ed dari Yahya bin Said ( Al Anshariy)
dari Said bin Al Musayyib dari 'Ali bin Al Abdullah bin Mas'ud “ .
Sedangkan Abdullah bin Mas'ud tidak disebutkan Al Mizziy di sederetan nama yang
Ibnu Al Musayyab meriwayatkan hadits darinya . Lihat Tahdziibul Kamaal fy
Asmaairr Rijaal 11/67-68.

Ke empat dari hadits 'Ali bin Abi Thalib radhiallaahu 'anhu .


Dikeluarkan oleh Ibnu 'Adiy di Al Kaamil -makhtuth- 1/90, dari jalam Musa bin
Ja’far ( Al Kaadziim) dari ayahnya ( Ja’far As Shaadiq ) dari kakeknya
( Muhammad Al Baaqir ) dari 'Ali radhiallaahu 'anhu dari Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam .
Hadits ini mu’dhal . Berkata Al ‘Allaa_iy di biografi Muhammad Baqir :
“Ia memursalkan dari kedua kakeknya Hasan dan Husain dan Kakek paling atas 'Ali
radhiallaahu 'anhum “, Jaami’ut Tahshiil halaman 266.
Ke lima: hadits Abu Umaamah Al Baahily radhiallaahu 'anhu .
Dikeluarkan oleh Al Uqailiy di Ad Dhu’afa- almakhtuth- 1/2,dan Ibnu 'Adiy Al
Kaamil -makhthuth- 1/90-91, keduanya dari jalan Muhammad bin Abdul ‘Aziiz
Ar Ramaly ( shaduuq yahim) dari Baqiyah bin Al Waliid ( shaduuq katsiirut
tadliis anid Dhu’afa) dari Zuraiq Abu Abdullah Al Alhaaniy (shaduuq lahu
auhaam) dari Al Qaasim bin Abdurrahman (shaduuq yughribu katsiiran) dari
Abu Umaamah radhiallaahu 'anhu dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam .

27
Seperti itu juga yang diutarakan Khatiib Al Bagdady dengan
perkataannya :

،‫وزعم أهل العراق أن العدالة هي إظهار اإلسالم وسالمة املسلم من فسق ظاهر‬
‫فمتى كانت هذه حاله وجب أن يكون عد‬

Dan telah hilang dari isnad Ibnu 'Adiy penyebuitan Baqiyah bin Al Waliid , dan
telah berkata Muhammad bin Abdul ‘Aziiz Ar Ramaly : “telah berkata kepada
kami Baqiyah “. dan ini di riwayat Al Uqaily .

Ke enam : dari hadits Mu’adz bin Jabal radhiallaahu 'anhu .


Dikeluarkan oleh Khatib Al Bagdaady di Syarafu Ashaabil hadits hal 11 , dari jalan
Abdullah bin Khirasy bin Hausyab ( dan para ulama telah mendha’ifkannya ,dan
dimutlakkan oleh Ibnu ‘Ammar mengenai rawi ini dengan sebutan Al
Kaddzaab)dari Al ‘Awwaam bin Hausyab dari Syahr bin Al Hausyab dari
Mu’adz bin Jabal radhiallaahu 'anhu dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam .

Ke tujuh : dari hadits Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu , dan telah datang dari
banyak jalan di antaranya adalah :
1. Dari jalan Abu Hazim Sulaiman Al Asyjaa’iy .
Dikeluarkan oleh Ibnu 'Adiy di Al Kaamil -makhthuth- 1/90, dari jalan Dawud bin
Sulaiman Al Ghassaaniy Al Madiiny dari Marwan Al Fazaariy dari Yaziid bin
Kaisan ( shaduuq yukhti’) dari Abu Haazim .
Berkata Ibnu 'Adiy : “aku tidak melihat hadits ini dimiliki oleh Marwan Al
Fazaariy dengan isnad seperti ini kecuali dari jalur ini “.
2. dari jalur Abu Shaalih Al Asy’ariy ( maqbuul) dikeluarkan Ibnu 'Adiy di Al
Kaamil -makhthuth- 1/90, dan Khatiib Al Bagdady di Syarafu Ashaabil Hadits
hal 24, keduanya dari jalur Abdurrahman bin Yazid As Sulamiy dari 'Ali bin
Muslim Al Bakriy dari Abu Shaalih Al Asy’ariy
3. dari jalur Abu Qabiil Huyaiy bin Haani’ , dikeluarkan oleh Al Bazzaar ( lihat di
Kasyful Astaar 1/86) dan Al Uqailiy di Ad Du’afa -makhthuth- 1/2, keduanya
dari jalur Khalid bin Amru Al Amawiy Al Qurasyiy ( Yahya Bin Ma'in
menuduhnya dengan sebutan kaddzaab dan shalih Jazarah dan yang lainnya
menisbahinya memalsukan hadits ) dati Al Laits bin Saed dari Yazid bin Abi
Hubaib dari Abu qabiil .
Dan juga dari jalan Al ‘Uqailiy , dikeluarkan oleh Ibnu 'Abdil Barr di At Tamhiid
1/59,

Ke delapan : dari hadits Abdullah bin Umar bin Al Khatthab radhiallaahu 'anhuma ,
dikeluarkan oleh Ibnu 'Adiy Al Kaamil -makhthuth- 1/90, dari jalur Khalid bin
Amru Al Qurasyiy (Yahya Bin Ma'in menuduhnya dengan sebutan kaddzaab
dan shalih Jazarah dan yang lainnya menisbahinya memalsukan hadits) dari

28
“ Ahli Iraq telah mengira bahwa 'adaalah ( ketaqwaan) adalah
menampakkan keislaman dan selamatnya seorang muslim dari
kefasikan yang nampak . Jadi orang yang seperti ini keadaannya maka
wajib adil “79.
Dalil dalil pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hadits Ibnu 'Abbas ia berkata :

laits bin Sa’ed dari Yazid bin Abi Habiib dari Saalim dari Ibnu Umar
radhiallaahu 'anhuma dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam .
Berkata Ibnu 'Adiy : hadits dengan isnad ini aku tidak tahu orang yang
meriwayatkan ini dari Laits selain Khalid dan 'Amr .

Ke sembilan: hadits Abdullah bin 'Amr bin Al ‘Ash radhiallaahu 'anhu dikeluarkan
oleh Al ‘Uqailiy di Ad Dhu’afa -makhthuth- 1/2, dari jalur Khalid bin Amru Al
Qurasyiy (Yahya Bin Ma'in menuduhnya dengan sebutan kaddzaab dan shalih
Jazarah dan yang lainnya menisbahinya memalsukan hadits) dari Laits bin
Sa’ed dario Yazid bin Abi Habiib dari Abu Qabiil ( Huyaiy bin Haani’) dari
Abdullah bin 'Amr dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.
Dari jalur Al Uqailiy dikeluarkan oleh Ibnu 'Abdil Barr di At Tamhiid 1/59,

Kedha’ifan yang sangat di dalam sanad-sanad ini hanya terbatas di hadits Mu’adz
dan yang dikeluarkan oleh Al Bazzar dan Al Uqailiy dari jalur Abi Qabiil dari
Abu Hurairah dan dua hadits Abdullah bin Umar dan Abdullah bin 'Amr,
sedangkan selain itu kedha’fannya tidak terlalu parah .
Di sana juga ada jalur lain yang aku tidak mampu mendapatkannya , yakni :
1. hadits Jaabir bin Samurah radhiallaahu 'anhu , lihat Taqyiid wal Iidhah halaman
139.
2. hadits Ibnu Abbas radhiallaahu 'anhuma lihat fathul Mughiits 1/294.
3. apa yang di isyaratkan Al Burhaan Fauriy kepada Ibnu 'Asaakir dari hadits Anas ,
dan juga kepada Ad Dailamiy dari hadits Ibnu Umar radhiallaahu 'anhuma .
Lihat Kanzul Ummaal 10/176.
Dan pandangan ulama telah berbeda-beda di dalam hukum terhadap status hadits ini
dengan uraian berikut :

a. Dishahihkan oleh Imam Ahmad telah berkata Khatiib Al Bagdady :


“ Telah dikatakan kepadaku dari Abdul ‘Aziiz bin Ja’far Al Faqiih , ia berkata telah
berkata kepada kami Abu Bakar Al Khallal ia berkata aku membacakan sebuah
hadits kepada Zuhair bin Shaalih bin Ahmad ia berkata : telah berkata kepada
kami Mahn – yakni Ibnu Yahya – ia berkata aku pernah bertanya kepada
Ahmad – bin Hanbal – mengenai hadits Mu’an bin Rifaa’ah dari Ibrahim bin
Abdurrahman Al ‘Udzariy, ia berkata : berkata Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam :

29
ّ
.‫ نعم‬:‫ أتشههد أن ال إلههه إال هللا؟ قهال‬:‫ قههال‬.‫ إني رأيت الهالل‬:‫جاء أعرابي إلى النبي ه فقهال‬
ْ ّ ً
‫ يهها بالل ِأذن في النههاس فليص ههوموا‬:‫ قههال‬.‫ نعم‬:‫ أتشهههد أن محمههدا رسههول هللا؟ قههال‬:‫ق ههال‬
ً
‫غدا‬

“ Datang Arab baduwi kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam


kemudian ia berkata : Aku telah melihat hilal beliau berkata : apakah
engkau bersaksi : laa ilaaha illallaah ( tiada ilah yang berhak diibadahi
kecuali hanya Allah ) ia berkata : benar . Beliau berkata : apakah

»‫يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الجاهلين وانتحال املبطلين وتأويل الغالين‬
“Dipikul ilmu ini di setiap generasi oleh orang adilnya, mereka menolak tahriif
orang - orang jahil dan kepincangannya orang orang yang menebar kebatilan
dan ta’wilnya orang - orang yang melampaui batas “ kemudian aku katakan
kepada Ahmad : sepertinya itu perkataan palsu , ia berkata : bukan , itu shahiih
, maka ku katakan padanya: dari mana engkau mendengarkan hadits ini? Ia
berkata : dari tidak sekedar seorang saja, aku berkata : siapa mereka ? Ia
berkata telah berkata kepadaku Miskiin dengan hadits ini hanya ia
mengatakan : Mu’aan dari Qasim bin Abdurrahman . Berkata Ahmad : Mu’an
bin Rifa’ah “laa ba’sa bih”, Syarafu Ashaabil Hadits halaman 29.

b. Abu Al Hasan bin Al Qatthan mendha’ifkan riwayat Ibrahim Al ‘Adzariy ,


ia berkata ini : “Adalah mursal atau mu’dhal dan Ibrahim yang memursalkan
tidak tahu sedikitpun dari ilmu ini selain hanya hadits ini “.

Dan ia menyanggah Imam Ahmad di perkara Rifa’ah dengan berkata : “ Telah


samar bagi Ahmad perkara rawi -Ri’fa’ah-tersebut yang mana -yang samar
tadi - diketahui oleh selainnya “, Taqyiid wal Iidhah halaman 139.

Dan ini disepakati oleh perkataan Ad Dzahaby : “ Mu’aan bukanlah ‘umdah terlebih
lagi ia datang datang- meriwayatkan hadits - dari satu orang yang tidak
diketahui siapa jati dirinya “, Miizaanul I'tidal 1/45.

Berkata Al Iraaqiy : “Hadits ini telah diriwayatkan secara muttashil dari riwayat
jamaa’ah kalangan sahabat 'Ali bin Abi Thaalib , Ibnu Umar , Abu Hurairah ,
Abdullah bin 'Amr , Jaabir bin Samurah , Abu Umaamah , semuanya adalah
lemah tidak ada dari riwayat itu semua sesuatu yang tsaabit dan juga yang bisa
menguatkan hadits mursal yang tadi disebutkan “.lihat Taqyiid wal Iidhah
halaman 139.

78 At Tsiqaat 1/13, Lisaanul Mizan 1/14.


79 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah hal 141.

30
engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah ? Ia berkata :
benar . Maka beliau berkata : Wahai Bilal berikan pemberitahuan
kepada orang - orang bahwa supaya besuk mereka melakukan puasa
“80.
Sisi pendalilan dari hadits tersebut :

80 Poros hadits ini adalah pada Simak bin Harb dari Ikrimah muala Ibnu 'Abbas .
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar : “ Simaak bin Harb .... shaduuq dan riwayatnya
dari Ikrimah secara khusus adalah mudhtarib ( guncang) ia telah berubah
hafalannya di akhir umur dan kadang kadang ditalqin “. Taqriibut Tahdziib
halaman 255.
Dan rawi-rawi hadits ini dari Simaak , sebagiannya ada yang meriwayatkan secara
maushul dengan berkata : dari Simak dari Ikriimah dari Ibnu 'Abbas : “ Datang
Arab baduwi...”, dan sebagiannya ada yang meriwayatkan secara mursal dengan
berkata : “dari Simaak dari Ikrimah : “ Datang Arab baduwi kepada Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam ...”.
Dan di antara mereka ada yang kacau atasnya . Sehingga diriwayatkan dari jalurnya
ada yang maushul dan ada yang mursal .

Periwayatan dari Simaak secara maushul tiga mereka adalah :

1. Zaaidah bin Qudaamah -tsiqatun tsabtun - .

Dan riwayatnya dikeluarkan oleh:


a. Abu Dawud di dalam As Sunan 2/302, dan At Tirmidzy di dalam As Sunan 3/74,
An Nasaa'i di dalam As Sunan 4/132, Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf
3/68, Ad Daarimy di dalam As Sunan 1/337, Ibnu Jaarud dalam Al Muntaqa
halaman 138, dan Ibnu Khuzaimah di dalam As Shahiih 3/308, Ad Daruquthny
di As Sunan 2/158, Al Haakim di Al Mustadrak 1/424, dan melalui jalurnya Al
Baihaqy di dalam As Sunan Al Kubra 4/211.
Semuanya dari jalur Husain Al Ju’fy dari Zaidah bin Qudaamah dari Simaak .
b. Ibnu Majah di As Sunan 1/529, dan Ibnu Khuzaimah di As Shahiih 3/207, dan Ad
Daruquthny As Sunan 2/158, semuanya dari jalur Abu Usaamah Hammad bin
Usaamah dari Zaidah bin Qudamah dari Simaak

2. Haazim bin Ibrahim AL Bajaly ( Berkata Ibnu 'Adiy : Aku berharap ia la ba’sa
bihi) Al Kaamil 2/850.
Dan riwayatnya dikeluarkan oleh :
a. Ad Daruquthny As Sunan 2/157, dari jalur Abu Qutaibah dari Haazim dari
Simaak...
b. At Thabaraany di Al Mu'jam Al Kabiir 11/295, dari jalur Muslim bin Ibrahim dari
Haazim dari Simaak ...

31
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menerima khabar orang Arab
baduwi dengan tanpa menguji ke’adaalahan sedikitpun selain dzahir
islamnya81 .
2. Para sahabat radhiallaahu 'anhum mereka mengamalkan khabar
para wanita dan para sahaya dan orang yang melakukan tahammul
terhadap hadits ketika masih bocah dan menyampaikannya ketika

3. Al Waliid bin Abdullah bin Abu Tsaur ( dha'if ) . Riwayatnya dikeluarkan oleh :
a. Abu Dawud di As Sunan 2/302. Dari jalur Muhammad bin Bukar bin Ar Rayyan .
b. At Tirmidzy di As Sunan 3/74, dari jalur Muhammad bin As Shabbaah .
c. Ad Daruquthny di As Sunan 2/158, dari Jalur ‘Abbad bin Ya’quub.

Sedangkan yang meriwayatkan dari Simaak secara mursal adalah Israil bin
Yunus bin Abi Ishaq As Sabi’iy , dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam
Al Mushannaf 3/67, dan terjadi perbedaan atas Sufyan At Tsaury dan Hammad
bin Salamah di dalam meriwayatkan dari Simaak .

Adapun Sufyan At Tsaury maka meriwayatkan hadits ini darinya dari Simaak dari
Ikrimah dari Ibnu 'Abbas secara maushuul dua orang rawi yakni :

1. Al Fadhl bin Musa , riwayatnya dikeluarkan oleh An Nasaa'i di dalam As Sunan


4/131-132, dan Ibnu Jaarud di Al Muntaqa hal 138, dan Ad Daruquthny di
dalam As Sunan 2/158, dan Al Haakim di Al Mustadrak 1/424, dan melalui
jalurnya : Al Baihaqy di As Sunan Al Kubra 4/212.
2. Abu ‘Aashim Ad Dhahhaq bin Makhlad . Riwayatnya dikeluarkan oleh Ad
Daruquthny di dalam As Sunan 2/158, dan Al Haakim di dalam Al Mustadrak
1/424.
Sedangkan yang meriwayatkan dari Sufyan dari Simaak dari Ikrimah secara mursal
ada enam rawi , mereka adalah :
1. Syu'bah bin Al Hajjaj , riwayatnya dikeluarkan oleh Ad Daruquthny di dalam As
Sunan 2/159.
2. Abdullah bin Al Mubaarak , riwayatnya dikeluarkan oleh An Nasaa'i di As Sunan
4/132.
3. Abu Dawud Umar bin Sa’ad Al Hafary , riwayatnya dikeluarkan oleh An Nasaa'i
di As Sunan 4/132.
4. Abdurrazzaq bin Hamam di dalam Al Mushannaf 4/166.

sedangkan 5 dan 6 : Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Nu’aim Al Fadhl bin Dukkain
, disebutkan oleh Ad Daruquthny riwayat keduanya secara mursal di As Sunan
2/158,namun aku tidak mendapatinya .

32
masa baligh , dan mereka bersandar di dalam beramal dengan khabar-
khabar di atas dzahir islam 82 .
3. bahwa manusia tidaklah dibebani mengetahui perkara yang
tersembunyi darinya ,tetapi mereka hanya dibebani hukum dengan
yang dzahir ( tampak) dari perkara-perkara yang tidak tersembunyi
dari mereka83.

Sedangkan Hammad bin Salamah , maka yang meriwayatkan darinya adalah Musa
bin Ismail , akan tetapi terdapat perbedaan periwayatan darinya:
'Utsman bin Sa’id Ad Daarimy meriwayatkan dari Musa dari dari Hammad dari
Simaak dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas secara maushuul . Riwayatnya
dikeluarkan oleh Al Haakim di Al Mustadrak 1/424, dan melalui jalurnya Al
Baihaqy meriwayatkan di As Sunan Al Kubra 4/212, dan diselisihi oleh Abu
Dawud As Sijistany , karena ia meriwayatkan dari Musa dari Hammad bin
Salamah dari Ikrimah secara mursal di As Sunan 2/302, dan dari jalurnya
dikeluarkan oleh Ad Daruquthny di As Sunan 2/159, dan Al Baihaqy di As
Sunan Al Kubra 4/212.
Dan kesimpulannya adalah berikut ini:
1. irsal adalah riwayat Israail bin Yunus dari Simaak , dan itu adalah yang paling
kuat ditinjau dari dua sisi di riwayat Sufyan dari Simaak ketika meriwayatkan
darinya enam orang rawi dari murid-muridnya. Dan itu merupakan satu dari dua
sisi riwayat milik Hammad bin Salamah.

2. Sedangkan maushul adalah riwayat Zaidah bin Qudamah dan Haazim bin Ibrahim
dan Waliid bin Abdullah bin Abi Tsaur dari Simaak , dan itu adalah sisi yang
lemah di riwayat Sufyan , yakni ketika meriwayatkan darinya dua orang . dan
itu adalah sisi lain dari riwayat Hammad bin Salamah . Dan sisi mursal ini telah
dirajihkan oleh para imam. Di antara mereka adalah :
a. At Tirmidzy , karena ia telah mengeluarkan hadits ini dari Simaak melalui jalur
Al Waliid bin Abi Tsaur dan Zaidah bin Qudamah secara mushuul , kemudian ia
mengnashkan vonis mursal ketika mengatakan: “ Telah meriwayatkan Sufyan
At Tsaury dan yang lainnya dari Simaak dari Ikrimah dari Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam secara mursal . Dan sebagian besar murid Simaak mereka
meriwayatkan dari Simaak dari Ikrimah dari Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam secara mursal “ Sunan At Tirmidzy 3/75.
b. An Nasaa'i . ia mengeluarkan riwayat Al Fadhl bin Musa dari Sufyan dari Simaak
dengan hadits ini secara maushuul , kemudian ia mengeluarkan hadits dari
Ibnu Al Mubaarak dari Sufyan dari Simaak secara mursal seraya mengatakan :
dan inilah yang lebih aula sebagai yang benar karena Simaak ia di talqin –
hadits - dan tertalqiin sedangkan Ibnu Al Mubaarak lebih tsabit di dalam
riwayat Sufyan dari Al Fadhl. , lihat Nashbu Ar Raayah 2/ 443-444.

81 Lihat Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 141.

33
Dan yang rajih adalah madzhab jumhuur ulama karena itu merupakan
tuntutan ihtiyath (kehati-hatian) di dalam meriwayatkan . Karena
tujuannya adalah tautsiiq rawi bukan hanya mengenal saja .
Sedangkan pendapat-pendapat yang lain , maka memungkinkan
dijawab dengan uraian berikut ini:
Pertama : beberapa jawaban yang menyanggah pendapat pertama.
1. Berkata Khatiib Al Bagdady:
ً
‫يجوز أن يكون العدل ال يعرف عدالة من روى عنه فال تكون روايته عنه تعديال وال‬
ً
‫ كي ههف و ق ههد ُوج ههد جماع ههة من‬،‫ ب ههل ي ههروي عن ههه ألغ هراض يقص ههدها‬، ‫خ ههبرا عن ص ههدقه‬
‫العدول الثقات رووا عن قوم أحاديث أمسكوا في بعضها عن ذكر أحوالهم مع علمهم‬
‫بأنها غير مرضية وفي بعضها شهدوا عليهم بالكذب في الرواية وبفساد اآلراء واملذاهب‬

“Boleh saja seorang yang adil tidak tahu 'adaalah ( ketaqwaan) orang
yang ia meriwayatkan hadits darinya , jadi tidaklah periwayatan
darinya merupakan bentuk ta’dil tidak pula merupakan bentuk
pengkhabaran mengenai kejujurannya, bahkan bisa jadi ia
meriwayatkan haditsnya karena alasan-alasan yang ia inginkan .
Bagaimana itu tidak mungkin , padahal disana juga didapati ada
jamaah dari kalangan orang-orang adil laqi tsiqah meriwayatkan dari
suatu kaum hadits -hadits yang sebagiannya mereka menahan diri
mengomentari keadaan rawi-rawinya padahal mereka tahu bahwa
riwayat tersebut tidak diridhai ,bahkan sebagiannya mereka
menyaksikan kedustaan dalam periwayatan dan juga kerusakan
pandangan dan madzhab-madzhab’’84.
2. Bahwa apa yang dihikayatkan Ad Dzahaby dari jumhur adalah
disanggah oleh Ibnu Hajar . Ia berkata :

82 Lihat catatan kaki di atas.


83 At Tsiqaat 1/13.

84 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah hal 150.

34
ّ
‫ نعم هههو حه ٌهق‬،‫صه ِّر ْح بههه أحههد من أئمههة النقههد إال ابن حبههان‬
َ ‫وهههذا الههذي نسههبه للجمهههور لم ُي‬
ً ّ ‫في‬
...‫حق من كان مشهورا بطلب الحديث واالنتساب إليه‬ ِ
“ Madzhab yang dinisbahkan kepada jumhuur ini sama sekali tidak
ada ungkapan secara terang-terangan oleh kalangan para imam Naqd
kecuali Ibnu Hibban , dan hal itu adalah betul di haknya rawi yang
memang masyhur di dalam mencari ,dan menisbahkan diri kepada
hadits ... . 85

Kedua , Jawaban untuk dalil pendapat yang ke tiga .


1. Sanad-sanad hadits tersebut lemah 86.
2. Dan seandainya shahiih sekalipun maka itu hanya khabar dengan
makna perintah ,dan itu ditunjukkan dengan :
a. Telah datang di salah satu riwayatnya dengan lafadz :

‫ليحمل هذا العلم‬

“Hendaklah memikul ilmu ini “.


Maksudnya: “wahai orang - orang adil pikullah ilmu ini “87.
b. Hadits tersebut tidak sah jika dimaknai menurut makna hakikatnya
karena pada kenyataannya ada juga yang membawa ilmu ini padahal
ia bukan seorang yang adil , karena sebab itu Ibnu Ibnu 'Abdil Barr
berkata : “ sampai jelas tampak jarhnya “88.
85 Lihat Lisaanul Miizan -makhthuth- 1/3, dan fathul Mughiits 1/293.
86 Lihat takhrij hadits sebelumnya .
87 Ia adalah riwayat mubasyir bin Ismail dari Mu’an dari Ibrahim lihat takhrij
catatan kaki sebelumnya dan juga fathul Mughiits 1/295.
88 Lihat rujukan sebelumnya 1/295.
Berkata Al Biqaa’iy :
“Perkataan Ibnu 'Abdil Barr : sampai tampak jelas jarhnya , adalah aneh padahal ia
berdalil dengan hadits tersebut , karena hadits tidak menunjukkan akan hal itu
kecuali jika berupa khabar . Jika berupa khabar maka kandungannya tetap, jadi
tidak tercacat orang yang ia ta’dil dengan jarh siapapun dimanapun
kapanpun .An Nukat Al Waafiyah hal 197, dan lihat juga Taudhiihul Afkaar

35
c. Sungguhpun jika dii’tibarkan maknanya sebagaimana makna
dzahirnya, maka mungkin saja itu dibawa kepada makna ghaalib
( umumnya ) orang - orang yang membawa ilmu ini karena mereka
adalah tempat yang kuat sangkaan 'adaalah ( ketaqwaan) 89 .
Ke tiga , beberapa jawaban untuk dalil-dalil pendapat ke empat.
1. perihal hadits Ibnu 'Abbas maka dijawab dengan uraian berikut:
a. Ditinjau dari sisi isnadnya maka para imam mereka merajihkan
mursal 90.
b. Sedangkan dari sisi istidlal - seandainya statusnya tsaabit (shahiih)
– maka mengandung kemungkinan bisa jadi khabar orang Arab
baduwi tersebut terjadi ketika tidak lama setelah ia masuk islam , dan
pada waktu itu suci dari setiap dosa karena islam menghapus dosa-
dosa sebelumnya.
2. Khatiib Al Bagdady memberikan sanggahan mengenai i’timadnya
sebagian shahabat – Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam – dalam
beramal bersandar pada khabar-khabar dengan sebatas dzahir islam –
rawi yang membawa berita - . ia berkata :
ّ
‫ وال نعلم الصحابة قبلوا خبر أحد إال بعد اختبار حاله والعلم‬،‫هذا غير صحيح‬
ُ
‫ وهه ه ههذه صه ه ههفة جميه ه ه ِهع أزواج النه ه ههبي‬،‫ وصه ه ههالح طرائقه ه ههه‬،‫ واسه ه ههتقامة مذاهبه ه ههه‬،‫بسه ه ههداده‬
َ ّ ‫ وغه ه‬r
‫ وكه ه ِ ّهل ُمت َح َّم ٍل للحه ههديث عنه ههه صه ههبيا ثم رواه‬،‫هيرهن من النسه ههوة الالتي روين عنه ههه‬
‫خبره في أحكام الدين‬ ُ ‫عبد ُقب َل‬ ّ ،‫كبيرا‬
ِ ٍ ‫وكل‬ ِ
“ Ini tidak benar , kami tidak mengetahui shahabat ada yang menerima
khabar seorang kecuali setelah menguji , mengetahui kejujuran dan
istiqamah keadaannya, keshalihan madzhabnya . Dan inilah sifat
seluruh istri-istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan selain mereka
dari kalangan para wanita yang mereka meriwayatkan dari beliau

2/129.
89 Fathul Mughiits 1/295.
90 Mengenai takhrij hadits bisa dilihat di catatan kaki sebelumnya .

36
shallallaahu 'alaihi wasallam dan juga orang-orang yang melakukan
tahammul hadits dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam ketika masih
kecil kemudian meriwayatkannya ketika dewasa dan ,setiap budak
yang diterima khabarnya di dalam perkara hukum-hukum agama”91.
Kemudian ia berkata :

‫يدل على صحة ما ذكرناه أن عمر بن الخطاب ّرد خبر فاطمة بنت قيس في إسقاط‬ ّ
ً ّ ّ
‫ مع ظهور إسالمها واستقامة أمرها‬،‫نفقتها وسكناها ملا طلقها زوجها ثالثا‬

“Dan menunjukkan akan absahnya yang kami sebutkan adalah bahwa


Umar bin Al Khatthab radhiallaahu 'anhu pernah menolak khabar
Fatimah binti Qais perihal terputusnya nafkah yang diberikan
kepadanya dan juga tempat tinggal ketika ditalak suaminya tiga kali ,
padahal keislamannya tampak dan keadaannya istiqamah “92.
3. Sedangkan alasan mengenai bahwa takliif hanya khusus pada dzahir
keadaan, maka dijawab bahwa majhuul ‘ain dan hal tidak
memungkinkan dihukumi fasik pada 'adaalah ( ketaqwaan) dan juga
bukan berarti dimaknai dengan pelupa dari sisi dhabt yang mana hal
itu tidak nampak dari keadaan dua orang dengan status tadi: indikasi
yang mengarah ke situ. Hanya saja dua keadaan tersebut adalah
mungkin saja melekat pada dua rawi tersebut. Jadi kemungkinan dua
tadi ( kemungkinan adil atau tidak, dhabt atau pelupa) tidak bisa
ditetapkan kecuali dengan tautsiiq yang benar-benar jelas.
Kemudian ada dua masalah yang diperselisihkan di dalam proses
tautsiiq keduanya ,yakni :
Pertama: jika seorang yang adil meriwayatkan dari seseorang dan ia
menyebutkan namanya , apakah riwayatnya tersebut diartikan dengan
ta’dil dari rawi tersebut?

91 Al Khatiib menghikayatkan ihtimal kemungkinan ini dari orang lain , dan


tampak bagiku itulah yang paling kuat dari apa yang disebutkan dari
kemungkinan-kemungkinan sebagai jawaban terhadap pendalilan hadits tadi.
Rujuk Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 141,142.
92 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 142.

37
Ahli ilmu berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi beberapa
pendapat , dan yang paling masyhur adalah sebagai berikut:
1. Pendapat kebanyakan ulama dari kalangan ahli hadits dan yang
lainnya : bahwa riwayat orang yang adil terhadap hadits orang yang ia
meriwayatkan darinya tersebut tidak dimaknai dengan ta’dil. Dan
alasannya adalah : bisa jadi seorang yang adil meriwayatkan dari
orang yang tidak adil ,jadi riwayatnya dari orang yang tersebut tidak
mengandung makna ta’dil .
2. Pendapat sebagian ahli hadits dan sebagian pengikut madzhab As
Syafi'iy : bahwa riwayat orang yang adil adalah merupakan ta'dil
terhadap orang yang ia riwayatkan hadits darinya. Dan alasannya
adalah : karena riwayat mengandung makna ta'dil 93dari sisi alasan
bahwa orang yang adil seandainya ia tahu perihal jarh orang yang ia
meriwayatkan hadits darinya tentu akan menyebutkannya supaya
tidak menjadi bentuk penipuan di dalam agama94.

3. Pendapat yang ke tiga : jika orang yang adil tersebut diketahui tidak
meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah maka periwayatannya
adalah bentuk tautsiiq terhadap rawi yang ia meriwayatkan hadits
tersebut darinya, namun jika tidak maka tidak dimaknai dengan
tautsiiq95.
Berkata As Sakhaawy :

‫ بل وذهب‬،‫هذا هو الصحيح عند األصوليين كالسيف اآلمدي وابن الحاجب وغيرهما‬


‫ والحههاكم في‬،‫ وابن خزيمههة في صههحاحهم‬،‫ وإليههه َم ْهي ُهل الشههيخين‬.‫إليههه جمههع من املحههدثين‬
...‫مستدركه‬

“ Rincian seperti ini lah yang benar menurut ahli ushul seperti As Saif
Al Aamidy dan Ibnu Haajib dan yang lainnya bahkan telah
93 'Uluumul Hadits hal 225.
94 'Uluumul Hadits 225.
95 Ikhtishar Uluumil Hadits hal 80, fathul Mughiits 1/313.

38
berpendapat seperti ini sekelompok dari ahli hadits dan kepada
pendapat inilah kecenderungan Syaikhaini dan Ibnu Khuzaimah di
dalam kitab shahiih mereka dan juga Al Haakim di AL Mustadrak ...”
96
.
Dan pendapat ke dua bisa disanggah dengan uraian sebagai berikut:
a. Kemungkinan rawi tersebut tidak tahu 'adaalah ( ketaqwaan) orang
yang ia meriwayatkan darinya dan juga tidak tahu ihwal jarhnya97.
b. Sesungguhnya riwayat adalah sebatas ta’rif ( mengenalkan) yang
membuka kemajhuulan ‘ain dengan syaratnya ,sedangkan 'adaalah
( ketaqwaan) hanya bisa diketahui dengan khibrah sebagaimana yang
dikatakan oleh Abu Bakar As Shairafy 98.
Dua perkara di atas tidak mengena pendapat yang ke tiga , karena rawi
tersebut dikenal dengan seleksi syaikh. Oleh karena itu berkata Ibnu
Hajar :
ّ ُ
‫رجل ُو ِصف بكونه ثقة‬
ٍ ‫ فٍإنه إذا روى عن‬،‫من ع ِرف من حاله أنه ال يروي إال عن ثقة‬
‫ وابن مهدي وطائفة ممن بعدهم‬،‫ والقطان‬،‫ وشعبة‬،‫ كمالك‬،‫عنده‬

“ Orang yang dikenal keadaannya tidak meriwayatkan kecuali dari


orang yang tsiqah jika ia meriwayatkan dari seseorang maka ia disifati
dengan tsiqah menurutnya ,seperti Malik , Syu'bah , Al Qatthan , Ibnu
Mahdy , dan orang yang setelah mereka”99.

Perkataannya : ‫ “بكونه ثقة عنده‬disifati dengan tsiqah menurutnya “


maksudnya tautsiiq terhadap rawi tersebut tidak memberikan faidah
kecuali hanya tsiqah menurut Imam yang ma’ruf dikenal dengan
seleksi rawi tadi.

96 Fathul Mughiits 1/313.


97 Al Kifaayah 105.
98 Fathul Mughiits 1/313.
99 Lisaanul Miizan 1/15, dan yang disebutkan Ibnu Hajar adalah dibangun di atas
ghalib ( yang berlaku kebanyakan).

39
Ketiga : jika seorang alim mengamalkan atau
berfatwa putusan yang menyepakati suatu
hadits , apakah yang demikian itu merupakan
bentuk tashiih terhadap hadits tersebut dan
sekaligus ta'dil terhadap rawi-rawinya?

Berkata Khatiib Al Bagdady :

‫إذا عمل العالم بخبر من روى عنه ألجله فٍإن ذلك تعديل له يعتمد عليه‬

“ Jika seorang alim mengamalkan khabar ( hadits) seorang yang ia


meriwayatkan hadits darinya karena khabar tersebut100 maka itu
merupakan ta'dil untuknya dan bisa dijadikan sandaran”101.
Alasannya :
a. Karena ia tidaklah mengamalkan khabar ( hadits) nya kecuali
diridhai disisinya dan adil ( menurutnya) dan perbuatannya tegak
dengan dasar khabarnya seolah berkata: “ dia adalah adil dan diterima
khabarnya “.
b. Seandainya seorang alim mengamalkan khabar ( hadits) orang
yang tidak adil menurutnya, tentu ia tidak disebut adil yang mana
boleh diambil perkataan dan dirujuk komentar ta’dilnya -perihal rawi
-. Karena andaikata amanahnya memungkinkan mengamalkan khabar
orang yang tidak adil menurutnya maka mungkin juga amanahnya
mendorong mentazkiyah dan menta'dil orang yang tidak adil102.
2. Berkata Ibnu Shalah :
ً ْ
‫حديث ليس حكما منه بصحة ذلك الحديث‬
ٍ ‫عمل العالم أو فتياه على َوف ِق‬

100 Maksudnya mengamalkan karena khabar tersebut .


101 Al Kifaayah halaman 155.
102 Al Kifayah halaman 155.

40
“ Amalan seorang alim ataupun fatwanya yang menyepakati hadits
tidaklah merupakan hukum penshahihan terhadap hadits tersebut -
olehnya- “103.
Berkata Ibnu Katsiir :

‫أو تعرض لالحتجاج به في فتياه‬.‫إذا لم يكن في الباب غير ذلك الحديث‬:‫وفي هذا نظر‬
‫أو استشهد به عند العمل بمقتضاه‬.‫أو حكمه‬

“Pada perkataan ini butuh ditinjau – catatan- : jika tidak terdapat di


bab selain hadits tersebut , jika ia menyampaikan hadits tersebut
dalam rangka berhujjah di fatwa atau hukum putusannya , atau
beristisyhad ketika beramal sesuai tuntutannya “104.
Dan pernyataan Ibnu Katsiir ini disanggah sebagai berikut :
a. Tidak melazimkan ketika bab tidak ada di dalamnya kecuali hanya
hadits tersebut kemudian tidak ada di sana dalil lain berup ijma’ atau
qiyas , bisa saja disana ada dalil lain, hanya saja si alim tersebut
isti’nas – cenderung kepada hadits tersebut karena sejalan dengan
dalil tadi .
b. Kadang seorang mufti atau hakim adalah di antara golongan yang
beramal dengan hadits dha'if dan lebih mendahulukannya daripada
qiyas105 .
c. Bisa saja perbuatan alim mengamalkan hadits tersebut adalah
dalam rangka ihtiyath ( ke hati-hatian) darinya106.
Dan kemudian tampak bagiku, bahwa tidak ada pertentangan pendapat
antara Al Khatiib dan perkataan Ibnu Shalah , karena Al Khatiib telah
mentaqyid ( membatasi cakupan) ucapannya dengan mengatakan : “
orang yang ia meriwayatkan darinya karena hadits “ . jadi hukumnya
di sini adalah khusus pada hadits rawi tertentu berbeda dengan

103 'Uluumul Hadits halaman 225.


104 Ikhtishar Uluumil Hadits 81.
105 Taqyiid wal Iidhah 144, dan fathul Mughiits 1/311.
106 Rujukan sebelumnya 1/311.

41
pernyataan Ibnu Shalah ketika suatu amalan menyepakati suatu hadits
tertentu.
Adapun jika amalan seorang alim menyelisihi hadits yang ia
riwayatkan pakah hal itu dimaknai mencacat terhadap keshahihannya
atau bentuk jarh terhadap rawinya?
Berkata Khatiib Al Bagdady :
ً ً
‫ لم يكن ذلك‬،‫ي حكما من األحكام فلم يعمل به‬/‫إذا روى رجل عن شيخ حديثا يقتض‬
ً
‫جرحا منه للشيخ‬

“ Jika seseorang meriwayatkan hadits dari seorang syaikh yang mana


hadits tersebut memberikan faidah hukum dari hukum-hukum tetapi
ia tidak mengamalkannya , maka seperti itu tidaklah maknanya jarh
kepada syaikh tersebut”107.
Demikian juga yang dikatakan Ibnu Shalah :
ً ْ
‫حديث ليس حكما منه بصحة ذلك‬ٍ ‫ إن عمل العالم أو فتياه على َوف ِق‬:‫وهكذا نقول‬
ً
‫ وكذلك مخالفته للحديث ليست قدحا منه في صحته وال في راويه‬،‫الحديث‬

“ Dan seperti ini kami katakan: sesungguhnya amalan seorang alim


atau fatwanya dalam menyepakati hadits tidaklah artinya putusan
darinya atas keshahihan hadits tersebut , demikian pula ketika
menyelisihi hadits bukan maknanya mencacat keshahihannya dan
tidak pula pada rawinya “108.
Ta’lil
Kemungkinan seorang rawi meninggalkan beramal dengan khabar
tersebut karena beberapa alasan berikut :
1. Karena khabar yang lain yang menyelisihinya atau karena umum
atau karena qiyas.

107 Al Kifayah 186.


108 'Uluumul Hadits 225.

42
2. Atau karena dihapus hukumnya ( atau mansukh) menurutnya .
3. Atau karena mengamalkan qiyas adalah lebih utama menurutnya109.
Berkata Al Khatiib :
ً
‫وإذا احتمل ذلك لم نجعله قدحا في راويه‬

“ jika mengandung kemungkinan alasan tersebut maka kami tidak


memaknai mencacat pada rawinya “110.

Yang Menunjukkan Dhabt Seorang Rawi


Dhabt seorang rawi bisa diketahui dengan beberapa indikasi
diantaranya :
1. Membandingkan riwayat-riwayatnya dengan riwayat para tsiqat
yang dikenal dengan dhabt lagi mutqin . Jika riwayat-riwayatnya
menyamai -walau dalam makna – dengan riwayat-riwayat mereka
atau pada kebanyakan keadaan dan penyelisihannya sangat jarang
maka ia dhabt tsabtun111.-sebaliknya – Jika riwayat-riwayatnya banyak
terdapat perbedaan dengan riwayat-riwayat mereka maka ia kurang
dhabt, tidak bisa dijadikan hujjah haditsnya112.
Hanya jika seorang rawi mempunyai ashl kitab shahiih dan ia
beriltizam menyampaikan hadits dari kitab tersebut tanpa
menyamdarkan pada hafalannya maka diterima riwayatnya .
Berkata Imam As Syafi'iy rahimahullah :

‫من كثر غلطه من املحدثين ولم يكن له أصل كتاب صحيح لم نقبل حديثه‬

“ Siapa yang banyak kelirunya dari kalangan ahli hadits dan ia tidak
memiliki ashl kitab yang shahiih maka tidak diterima haditsnya “113.

109 Lihat Al Kifayah 186, fathul Mughiits 1/312.


110 Al Kifayah 186.
111 Sebuah penyifatan yang digunakan untuk menta’dil seorang rawi .
112 'Uluumul Hadits halaman 220.
113 Ar Risaalah halaman 382, dan juga lihat fathul Mughiits 1/298.

43
2. Menguji rawi dengan bermacam-macam cara 114. Diantaranya :
a. Dibacakan kepadanya hadits yang disisipi isi riwayatnya untuk
diperhatikan apa rawi tersebut menyadarinya atau ia menerima saja ?
Sebagimana yang dilakukan Yahya Bin Ma'in ketika menguji Abu
Nu’aim Al Fadhl bin Dukain 115.
b. Membolak-balik sanad dengan menyusunnya tidak pada matan-
matan haditsnya . Sebagaimana yang dilakukan oleh ahli hadits
Bagdad ketika mereka menguji hafalan Al Bukhaary116 .
Menguji seperti ini adalah diperselisihkan para ahli ilmu dalam boleh
atau dilarangnya , Yahya bin Said Al Qatthan berkata :
ّ
‫ال أستحله‬

“ Aku tidak menghalalkannya “117.


Dilarangnya hal seperti ini dita’lil dengan dua alasan:
a. Dampak yang terjadi dari taghlith( menyalahkan) yang dilakukan
orang yang menguji kepada orang yang diuji , dan kadang seperti itu
dilakukan terus menerus terhadap riwayatnya karena ia menyangka
hal itu benar.
b. Bisa jadi didengar orang yang tidak punya pengalaman dan
diriwayatkan olehnya, dianggapnya riwayat tersebut adalah benar118.
Syu'bah bin Al Hajjaj dan Yahya Bin Ma'in pernah menguji beberapa
rawi dengan maksud menguji dhabt mereka119.
Al Hafidz Ibnu Hajar merajihkan boleh menguji dengan alasan
maslahatnya lebih banyak dibanding mafsadahnya120, yang mana

114 Lihat rujukan sebelumnya 1/299.


115 Tarikh Bagdad 12/353.
116 Catatan kaki sebelumnya 2/20.
117 Fathul Mughiits 1/272.
118 An Nukat ‘Alaa Kitabi Ibni Shalah 2/866.
119 An Nukat ‘ Ala Kitabi Ibni Shalah 2/866.
120 Sumber yang sama dengan catatan kaki sebelumnya.

44
dengan itu dapat diketahui tingkatan rawi-rawi di dalam dhabt dengan
singkat waktu, dengan syarat tidak melakukan terus-menerus ,bahkan
mengakhirinya ketika selesai kebutuhan121.

Syarat Syarat Yang Harus Dipenuhi Kriterianya


Oleh Mu’adil122 Dan Jaarih 123
Disyaratkan bagi orang yang menta’dil dan menjarh empat hal .
Yakni :
1. Adil.
2. Wara’, yang mana sifat wara’ tersebut menahan dirinya dari ta'ashub
dan mengikuti hawa nafsu.
3. Teliti tidak lengah sehingga ia tidak terpedaya dengan keadaan
dzahir rawi.
4. Tahu dengan sebab-sebab jarh dan ta’dil sehingga nantinya ia tidak
menjarh rawi adil dan tidak menta’dil rawi yang pantas dijarh124 .

Diterimanya Jarh Dan Ta’dil Secara Mufassar Atau


Mubham
Maksud dari tafsir jarh dan ta'dil 125adalah dijelaskan sebab-
sebabnya126 dan yang dimaksud dengan ibham127 keduanya 128 adalah
tidak tidak dijelaskan sebab- sebabnya .
Ulama telah berselisih di dalam pensyaratan tafsir jarh maupun ta'dil
menjadi lima pendapat :

121 Fathul Mughiits 1/274.


122 Orang yang menta’dil.
123 Orang yang menjarh.
124 Lihat Al Mauqidzah fi ilmi Mushthalahi Al hadits halaman 82.
125 Maksudnya jarh dan ta'dil secara mufassar.
126 Sebab-sebab dijarh maupun dita’dil.
127 Kadang kalimat mujmal digunakan sebagai ganti dari kalimat mubham
sebagaimana akan segera datang di rincian Ibnu Hajar di dalam diterimanya
jarh .
128 Jarh dan ta'dil secara mubham.

45
1. Madzhab jumhuur :
129
Diterima ta'dil mubham dan tidak diterima jarh kecuali mufassar .
Itu karena berikut :
a. Karena sebab-sebab ta'dil banyak sekali dan berat untuk disebutkan.
Seandainya mu’addil130 dibebani menyebutkan, tentu lazim baginya
berkata : rawi tersebut melakukan ini itu seraya menghitung yang
mana wajib bagi mu’adal131 melakukannya, dan juga meninggalkan ini
itu seraya menghitung yang mana wajib bagi mu’adal
meninggalkannya132. Berbeda keadaanya dengan jarh karena ia
terhasilkan dengan satu kasus saja133.
b. Karena berbeda-bedanya manusia dalam alasan menjarh. Bisa jadi
sebagian mereka menyematkan jarh karena didasari perkara yang
diyakininya merupakan jarh padahal sebenarnya bukan134. Terlebih
lagi jika Imam tersebut mutasyaddid , muta’annit yang mana ia biasa
menjarh rawi dengan sesuatu yang bukan merupakan sebab-sebab jarh
menurut yang lain135. Dengan menyebutkan sebab akan menepis
kemungkinan seperti ini dan menampakkan dengan jelas jarh tersebut
qaadih atau ghairu qaadih136.
2. Pendapat ke dua : Diterima jarh secara mubham dan tidak diterima
ta'dil kecuali secara mufassar 137.
Dan itu dengan alasan berikut:

129 'Uluumul Hadits halaman 220, dan fathul Mughiits 1/299.


130 Orang yang menta’dil.
131 Orang yang di ta’dil.
132 Lihat dua sumber rujukan sebelumnya.
133 Fathul Mughiits 1/299, Tadriibu Ar Raawiy 1/305.
134 'Uluumul Hadits 220.
135 Diantara contoh untuk itu adalah perkataan Syu'bah ketika ditanya : “Kenapa
engkau meninggalkan hadits fulan?:Aku melihatnya memacu kuda muatannya
kemudian aku meninggalkannya “. lihat Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah
halaman 182.
136 Fathul Mughiits 1/299.
137 Lihat rujukan sebelumnya 1/301.

46
a. Karena jarh hanya diambil dari imam yang tahu dengan sebab-
sebab jarh dan ta'dil 138.
b. Karena sebab-sebab ta'dil banyak dibuat-buat dan ditampak-
tampakkan dan kadang orang yang menta’dil bersegera memuji karena
tertipu dengan dzahir keadaan 139.
3. Pendapat ketiga : Keduanya tidak diterima kecuali secara mufassar .
Demikian dengan alasan yang telah tadi disebutkan dari pensyaratan
menafsirkan140 jarh terlebih lagi jika dipadu dengan perselisihan
pandang orang - orang di alasan yang menyebabkan rawi dita’dil.
Kadang mu’adil mentautsiiq rawi dengan alasan yang bukan
merupakan ciri 'adaalah ( ketaqwaan)141 .
4. Pendapat ke empat : Keduanya diterima secara mubham 142 . Hal itu
dengan uraian yang telah lalu dari alasan diterima keduanya meskipun
secara mubham.
5. Pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar : diterima ta'dil secara mubham dan
dirinci di dalam penerimaan jarh dengan beberapa ketentuan berikut :
a. jika rawi yang terjarh secara mujmal tersebut ternyata ditautsiiq
oleh salah satu dari kalangan para imam yang memang berkecimpung
di dalam ilmu ini, maka tidak bisa diterima jarh mengenai rawi
tersebut dari siapapun orangnya kecuali secara mufassar. Karena telah
138 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 178.
139 Diantara contoh itu adalah perkataan imam Malik ketika ditanya perihal
periwayatannya dari Abdul Kariim bin Abi Al Mukhaariq : “ seringnya ia duduk
di masjid telah membuatku tertipu “.
140 Menjelaskan.
141 Diantara yang demikian adalah apa yang diriwayatkan Ya’qub bin Sufyan ia
berkata : aku pernah mendengan seseorang berkata kepada Ahmad bin Yunus : “
Abdullah Al ‘Umary dha'if ? Ia berkata : yang mendha’ifkannya adalah seorang
rafidhy yang sangat benci dengan bapak-kakeknya , seandainya engkau lihat
jenggotnya dan juga khidhabnya ( semiran warna pada jenggot atau
rambut) ,keadaannya sungguh engkau akan tahu ia adalah tsiqah”. Al Ma’rifah
wa At Taarihk 2/665. , lihat Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 165,
fathul Mughiits 1/302 .

142 Lihat fathul Mughiits 1/302.

47
tetap baginya martabat tsiqah jadi tidak bisa diturunkan dari derajat
tersebut kecuali dengan alasan yang jelas143.
Dan pendapat ini diambil dari perkataan imam Ahmad :

‫كل رجل ثبتت عدالته لم يقبل فيه تجريح أحد حتى يبين ذلك عليه بأمر ال يحتمل‬
‫غير جرحه‬

“ Setiap orang yang telah tetap pada dirinya 'adaalah ( ketaqwaan)


tidak diterima jarh mengenai dirinya sampai dijelaskan dengan alasan
yang tidak mengandung kemungkinan kecuali perkara yang
menyebabkan ia dijarh “144.
Demikian dikarenakan para imam yang berkecimpung di dalam
perkara ini 145 tidaklah mereka mentautsiiq kecuali terhadap orang
yang mereka telah beri’tibar pada keadaan di agamanya kemudian di
haditsnya dan telah mereka nilai secara patut dan mereka adalah yang
paling teliti di kalangan manusia , jadi tidak bisa digugurkan vonis 146
seorang dari kalangan mereka kecuali dengan alasan yang jelas147.
b. Jika rawi yang dijarh dengan jarh yang mubham dan kosong dari
ta'dil maka diterima jarh tersebut meskipun mubham jika keluar vonis
jarh tersebut dari imam yang ‘aarif148.
Alasannya karena rawi jika tidak dita’dil maka ia berada pada sisi
majhul sehingga mengamalkan perkataan orang yang menjarh di rawi
yang seperti ini lebih utama daripada menyia-nyiakannya 149 .
Mengenai tidak perlunya dituntut menafsirkan jarh maka alasannya
adalah seandainya pun dijelaskan alasan jarh dan ternyata ghairu

143 Tadriibu Ar Raawiy 1/308.


144 Tahdziibut Tahdziib 7/273.
145 Jarh wat ta’dil .
146 Dalam hal ini ta'dil .
147 Tadriibu Ar Raawiy 1/308.
148 Berilmu dalam jarh wat ta'dil .
149 Nuzhatun Nadzaar halaman 73, dan Tadriibu Ar Raawiy 1/308.

48
qaadih 150 toh jahalah ihwal rawi tersebut juga menghalangi untuk bisa
dipakai berhujjah151.

Catatan Mengenai Dhabt Tafsir Jarh


Jarh di dalam kitab jarh dan ta'dil datang kebanyakannya berupa
mubham ,dan tidak ada jalan lain -selain- dari mengambil i'tibar jarh
mubham tersebut supaya tidak hilang naqd ( kritik hadits ). Akan
tetapi menjadi benar-benar butuh dengan tafsir jarh ketika didapati
dorongan yang menuntut demikian. Sebagaimana dikatakan oleh
Abdul Wahhab bin 'Ali As Subuki :
ًّ
‫الختالف في‬
ٍ ‫ بل إنما نطلبه حيث يحتمل الحال شكا إما‬،‫ال نطلب التفسير من كل أحد‬
‫ أو نحو ذلك مما ال يوجب سقوط قول الجههارح وال‬،‫لتهمة يسيرة في الجارح‬ ٍ ‫ أو‬،‫االجتهاد‬
َ َ
.‫ بل يكون َب ْين َب ْين‬،‫ينتهي إلى االعتبار به على اإلطالق‬
ً ً
‫ مه ههبرأ عن‬،‫ وكه ههان الجه ههارح َح ْبه ه را من أحبه ههار األمه ههة‬،‫الت ُهم‬
ُّ ‫أمه هها إذا انتفت الظنه ههون وانتفت‬
ً ً
‫ فال نتلعثم عنههد‬،‫ أو كههان املجههروح مشهههورا بالضههعف متروكهها بين النقههاد‬،‫مظههان التهمههة‬
ٌ ‫ بههل طلب التفسههير منههه ه والحالههة هههذه ه‬،‫جرحه وال ُن ْحو ُج الجارح إلى تفسير‬
‫طلب لغيبههة‬ ِ
..‫ال حاجة إليها‬

“Kami tidak meminta penjelasan jarh dari setiap orang ,tetapi kami
hanya menuntut penjelasan ketika keadaan menuntut ragu, bisa karena
perbedaan dalam ijtihad atau karena tuduhan ringan dari yang menjarh
atau yang semacamnya dari hal-hal yang tidak mengharuskan gugur
qoul orang yang menjarh dan tidak selesai 152 dengan mengambil
i'tibar perkataannya secara mutlak bahkan -ditempuh -pertengahan”.
Adapun jika tertiadakan prasangka-prasangka dan kecurigaan,di sisi
lain orang yang menjarh adalah habr al ummah 153, yang terbebaskan

150 Mencederai.
151 Lisaanul Miizan 1/16.
152 Maksudnya mencukupkan diri ...
153 Tokoh umat dalam fan jarh wat ta'dil .

49
‫‪dari kecurigaan (tuduhan) atau orang yang terjarh adalah orang yang‬‬
‫‪masyhuur dengan dha'if , ditinggalkan oleh oleh para kritikus hadits‬‬
‫‪maka kita tidak perlu mempertimbangkan secara seksama ketika‬‬
‫)‪dijarh juga tidak meminta yang menjarh menjelaskan alasan( tafsir‬‬
‫‪nya. Bahkan meminta penjelasan dari orang yang menjarh – dengan‬‬
‫‪keadaan rawi seperti ini – adalah ghibah dan tidak ada hajat dengan‬‬
‫‪hal itu.‬‬

‫‪Jawaban Ibnu Shalah Perihal Jarh-Jarh Yang‬‬


‫‪Mubham Yang Terdapat Di Dalam Kitab Jarh Wat‬‬
‫‪Ta'dil‬‬
‫‪Berkata Ibnu Shalah :‬‬

‫ورد حديثهم على الكتب التي‬ ‫ولقائل أن يقول‪ :‬إنما يعتمد الناس في جرح الرواة ّ‬
‫ّ‬ ‫ّ‬
‫ص ههنفها أئم ههة الح ههديث في الج ههرح أو في الج ههرح والتع ههديل‪ ،‬وقلم هها يتعرض ههون فيه هها لبي ههان‬
‫الس ههبب‪ ،‬ب ههل يقتص ههرون على مج ههرد ق ههولهم‪ :‬فالن ض ههعيف‪ ،‬وفالن ليس بش هه‪ /‬يء‪ ...‬ونح ههو‬
‫ذل ههك‪ ،‬أو ه ههذا ح ههديث ض ههعيف‪ ،‬وه ههذا ح ههديث غ ههير ث ههابت‪ ...‬ونح ههو ذل ههك‪ ،‬فاش ههتراط بي ههان‬
‫وسد باب الجرح في األغلب األكثر‪.‬‬ ‫السبب يفض‪/‬ي إلى تعطيل ذلك ّ‬

‫قههال‪ :‬وجوابههه أن ذلههك وإن لم نعتمههده في إثبههات الجههرح والحكم بههه‪ ،‬فقههد اعتمههدناه في‬
‫أن توقفنهها عن قبههول حههديث من قههالوا فيههه مثههل ذلههك‪ ،‬بنههاء على أن ذلههك أوقههع عنههدنا‬
‫مثلهه هها ّ‬ ‫ُ ُ‬ ‫ُ‬
‫التوقه ههف‪ ،‬ثم من ان ه هزاحت عنه ههه الريبه ههة منهم ببحث عن‬ ‫هوجب‬
‫فيهم ريبه ههة قويه ههة هيه ِ‬
‫حاله ه ههه أوجب الثقه ه ههة بعدالته ه ههه قبلنه ه هها حديثه ه ههه ولم نتوقه ه ههف كاله ه ههذين احتج بهم صه ه ههاحبا‬
‫مسهم مثل هذا الجرح من غيرهم‬ ‫الصحيحين وغيرهما ممن ّ‬

‫‪“ Orang boleh berkata : di dalam menjarh rawi-rawi dan menolak‬‬


‫‪hadits -hadits mereka , manusia hanya menyandarkan kepada kitab-‬‬
‫‪kitab yang telah dikarang para imam ahli hadits di dalam jarh wat‬‬
‫‪ta'dil dan sedikit sekali mereka menjelaskan sebab-sebabnya ,bahkan‬‬

‫‪50‬‬
mencukupkan sebatas berkata : fulan dha'if , fulan laisa bisyai’ ...dan
yang semacam itu , atau perkataan ini adalah hadits dha'if , ini adalah
hadits yang tidak tsaabit ,.. dan semacam itu . Jadi pensyaratan
menjelaskan sebab akan berdampak membuang itu semua dan
menutup pintu jarh di secara umum dan kebanyakan”.
Ia berkata : “ Dan jawabannya : seperti itu, biarpun kita tidak
bersandar di dalam menetapkan jarh dan memvonis hukum dengannya
kita tetap bersandar padanya dalam bertawaqquf untuk tidak
menerima hadits orang yang mereka katakan dengan penilaian
seperti itu dibangun di atas alasan bahwa seperti itu membuat kami
merasa ragu mengenai mereka dengan keraguan yang sangat yang
mana memaksa kami tawaqquf dengan hal semacam itu. Kemudian
orang yang tidak ada keraguan mengenainya melalui mencari ihwal
jati dirinya, mewajibkan tsiqah atas ihwal 'adaalah ( ketaqwaan) nya ,
maka kami terima haditsnya dan kami tidak bertawaqquf . mereka
adalah seperti rawi-rawi yang dijadikan hujjah oleh dua penyusun
kitab shahiih dan lainnya dari sederetan rawi-rawi yang terkena model
jarh seperti ini dari mereka.
Dan jawaban seperti ini disanggah dengan uraian berikut ini:
1. Perkataan Al Hafidz Ibnu Katsiir :
ً َّ
‫أما كالم هؤالء اآلئمة املنتصبين لهذا الشأن فينبغي أن يؤخذ مسلما من غير ذكر‬
‫ واتصه ههافهم‬،‫ واطالعهم واضه ههطالعهم في هه ههذا الشه ههأن‬،‫ وذله ههك للعلم بمعه ههرفتهم‬،‫أسه ههباب‬
‫باإلنصه ههاف والديانه ههة والخه ههبرة والنصه ههح؛ ال سه ههيما إذا أطبقه ههوا على تضه ههعيف الرجه ههل أو‬
ِ
ً ً
‫ فاملحدث املاهر ال يتخالجه في مثل هذا وقفههة في‬.‫ أو نحو ذلك‬...‫ أو كذابا‬،‫كونه متروكا‬
‫ وله ههذا يق ههول الش ههافعي في كث ههير من كالم ههه على‬.‫م ههوافقتهم لص ههدقهم وأم ههانتهم ونص ههحهم‬
‫ويرده وال يحتج به بمجرد ذلك‬ ّ ."‫ "ال يثبته أهل العلم بالحديث‬:‫األحاديث‬

“ Adapun perkataan mereka -para imam- yang merupakan tokoh


dalam bidang ini maka sepatutnya diambil dengan pasrah meskipun
tanpa penyebutan sebab-sebabnya , demikian adalah karena kita tahu

51
akan ma’rifah ( pengetahuan ), pengamatan, dan pengkajian mereka di
dalam ilmu ini, juga keinshafan , diyanah , khibrah( pengalaman) ,
dan keikhlasan mereka . Terlebih lagi ketika mereka melakukan vonis
mendha’ifkan seseorang atau menyematkan matruk pada haqnya atau
kaddzaab ( pendusta) atau yang semacamnya . Seorang muhaddits
yang mahir tidak akan bimbang dalam pendapatnya di dalam semisal
perkara ini karena kejujuran ,amanah, dan ketulusan mereka.
Oleh karena itu As Syafi'iy berkata di banyak perkataannya ketika
mengomentari hadits -hadits : “ Ini tidak ditetapkan ketsabitannya
oleh ahli ilmu hadits”. Ia kemudian menolak dan tidak berhujjah
dengan hadits tersebut dengan sebatas alasan seperti itu”.
2. Perkataan Al Hafidz Ibnu Hajar :
ً ُ
‫إن خال املجروح عن التعديل ق ِب َل الجرح فيه مجمال غير مبين السبب إذا صدر من‬
‫عارف‬

“ jika orang yang terjarh kosong dari ta'dil maka jarh pada orang
tersebut yang bersifat mujmal tidak dijelaskan sebab-sebabnya adalah
diterima jika datang dari seorang yang arif ( berpengetahuan) “.
Dengan itu menjadi terbatas ihtimal (kemungkinan) gugurnya
keraguan di haknya orang yang di-tsiqahkan oleh para imam dan
didha’ifkan yang lain selain rawi yang mereka sepakat kedha’ifannya
atau kosong dari ta'dil tapi terdapat jarh padanya.

52
FASAL KE DUA
Pertentangan Jarh Dan Ta'dil
Pertentangan dan ta'dil ada dua gambaran :
1. Pertentangan datang dari dua imam atau lebih.
2. pertentangan datang dari satu orang imam .
Dan yang dimaksudkan dengan jarh di pembahasan ini adalah jarh
mufassar . Jika jarh mufassar bertentangan dengan ta'dil yang mana
muncul dari dua imam atau lebih , maka madzhab jumhur adalah
mendahulukan jarh154 dari pada ta'dil secara mutlaq 155 sungguhpun
jumlah orang yang menta’dil melebihi orang yang menjarh atau lebih
sedikit atau sama156.
Seperti itu karena orang yang menjarh memiliki ilmu lebih perihal
sesuatu yang tidak nampak pada rawi yang mana tidak dicermati oleh
orang yang menta’dil . Yang menjarh membenarkan yang menta'dil di

154 Lihat Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 175,177,dan 'Uluumul Hadits 224.


155 Fuqaha memberikan pengecualian dua keadaan yang mana ta'dil lebih
didahulukan dari pada jarh mufassar , sebagai berikut:
a. jika seorang mu'addil berkata : aku tahu sebab yang disebutkan oleh jaarih pada
rawi tersebut. Akan tetapi ia telah taubat dari itu dan menjadi baik keadaannya”(
meskipun terjadi perselisihan pada orang yang taubat dari berdusta atas Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam)
b. jika mu'addil menolak kalam jaarih dengan alasan yang mu'tabar yang
menunjukkan secara yakin bahwa alasan yang dibawa jarih adalah batil , dan
bahwa jaarihmelakukan wahm dalam perkataannya, seperti seandainya jika
Jaarih berkata : Sesungguhnya Fulan telah membunuh Fulan pada hari tersebut ,
kemudian mu'addil mengatakan : Aku melihatnya masih hidup setelah kejadian
hari itu . Lihat Mahaashinul Ishthilaah 224, fathul Mughiits 1/307, Tadriibu Ar
Raawiy 1/310.
156 Fathul Mughiits 1.305.

53
keadaan yang tampak ( dzahir) sekaligus menjelaskan keadaan rawi
yang tidak tampak157.
Di sisi lain ada tiga pendapat yang lain di situasi apabila jumlah orang
yang menta'dil melebihi jumlah orang yang menjarh , yaitu sebagai
berikut :
1. Apa yang dihikayatkan oleh Khatiib Al Bagdady dari kelompok ahli
ilmu , bahwa didahulukan ta'dil daripada jarh158 .
Demikian karena banyaknya orang yang menta'dil menguatkan ihwal
jati diri mereka dan mewajibkan beramal dengan khabar mereka ,
karena jumlah yang banyak adalah memberikan faidah ghalabatut
dzan ( kemungkinan besar ) bahwa hukum mereka adalah yang tetap
( di atas kenyataannya ) sedangkan sedikitnya orang yang menjarh
melemahkan khabar mereka159.
2. Apa yang dihikayatkan oleh Al Bilqiiny yakni : didahulukan
pendapat orang yang lebih ahfadz160 dari antara kalangan ulama yang
berselisih .
Dan memungkinkan dijelaskan dengan – uraian sebagai berikut-:
karena para imam tidaklah sederajat kedudukannya di dalam menelaah
keadaan-keadaan para rawi secara umum , di antara mereka ada yang
berbicara menngomentari keadaan di kebanyakan ( hampir secara
umum ) para rawi seperti Ibnu Ma’in , Abu Hatim . Sebagian mereka
ada yang berbicara mengomentari banyak rawi seperti Imam Malik
Syu’bah bin Al Hajjaj ,dan sebagian mereka ada yang mengomentari
orang per orang seperti Sufyan bin Uyainah dan juga Imam As
Syafi'iy161 . Sehingga tidak menutup kemungkinan pada sebagian
mereka ada yang lebih banyak pengetahuannya perihal seorang rawi
secara khusus.

157 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 175, 'Uluumul Hadits 224.


158 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 177.
159 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 177, dan fathul Mughiits 1/307.
160 Lebih kuat dalam hafalan. Mahaasinul ishthilah halaman 224.
161 Lihat Dzikru Man Yu’tamadu Qouluhu Fi Al Jarh Wat Ta'dil halaman 158.

54
3. Apa yang dihikayatkan oleh As Sakhawy dari Ibnu Haajib , yakni :
keduanya saling bertentangan jadi tidak didahulukan salah satu dari
pendapat dari yang lain kecuali dengan murajjih ( penguat)162 .
Demikian adalah karena pada orang yang menta'dil ada tambahan
kekuatan dengan sebab banyaknya jumlah mereka , sedangkan
bersama orang yang menjarh ada tambahan kekuatan dengan sebab
penelaahan dari sisi batin (yang tidak tampak)163.
Dan yang rajih : Secara asal adalah mendahulukan jarh mufassar
daripada ta'dil , akan tetapi tidak diaplikasikan secara mutlak bahkan
direlkan pada dhabt – dhabt jarh dan ta'dil ( sebagaimana akan segera
datang dengan pertolongannya Allah ta'aala ) .
Adapun jika saling bertentangan jarh mubham dan ta'dil maka As
Sakhaawy menghikayatkan dari Abu Al Hajjaj Al Mizzy dan yang lain
bahwa ta'dil lebih didahulukan dari pada jarh mubham 164, tetapi hal itu
juga tidak secara mutlak juga. Karena tautsiiq imam yang melakukan
tasaahul 165 tidak didahulukan daripada jarh imam yang inshaf 166.

Adapun Jika Jarh Dan Ta'dil Bertentangan Yang


Mana Datang Keduanya Dari Satu Orang Imam ,
Maka Ada Dua Keadaan :

Keadaan yang pertama:


Tampak perubahan ijtihad dari imam tersebut di dalam memberikan
penilaian terhadap rawi tersebut , maka yang dipegang untuk di
amalkan ketika itu adalah penilaian paling belakangan dari dua
pendapatnya tadi.

162 Fathul Mughiits 1/308, sedangkan nash ungkapan Ibnu Hajib sendiri adalah : “
Adapun jika ia menta’yin sebab dan ditolak oleh Mu’addil secara yakin
kemudian menjadi bertentangan maka tarjih. Muntaha As Suaal Wa Al Amal
halaman : 80.
163 Fathul Mughiits 1/308.
164 Fathul Mughiits 1/307.
165 Bermudah-mudah dalam memberikan komentar.
166 Berada pada pertengahan.

55
Di antaranya adalah perkataan Abbas Ad Dauriy ketika mengomentari
Tsawab bin ‘Atabah :” Aku pernah mendengar Yahya berkata : ‫شيخ‬
‫ صههدق‬syaikhun shidqun , dan sungguh dulu aku pernah meriwayatkan
dari Abu Zakariya ( Yahya Bin Ma'in ) : ‫“ فيه شيئا‬fiihi Syaian” bahwa
ia adalah dha'if . Dan Abu Zakariya telah ruju’ dan inilah perkataan
yang paling akhir dari pendapatnya “167.

Keadaan yang ke dua :


Tidak terjelaskan perubahan ijtihad Imam di dalam menghukumi
rawi . Maka langkah yang ditempuh adalah dengan urutan sebagai
berikut :
a. Dicari penjamakan (kompromi) antara dua qoul jika
memungkinkan, seperti seandainya tautsiiq atau tadh’if sifatnya nisbi
tidak secara mutlak. Karena kadang seorang mu‘addil ( menta'dil )
kadang mengatakan fulan tsiqah padahal ia tidak menghendaki
dengan perkataan demikian untuk menyimpulkan bahwa rawi tersebut
adalah termasuk dari yang dipakai sebagai hujjah hadits -haditsnya,
namun hanya sebatas jawaban perihal posisi rawi tersebut dan arah
pertanyaan yang disodorkan kepadanya . Karena kadang ia ditanya
tentang seseorang yang fadhil ( utama) yang pertengahan dalam
haditsnya kemudian disandingkan dengan rawi yang lemah ,
kemudian dikatakan kepadanya : apa pendapat kamu mengenai Fulan,
Fulan, dan Fulan ? Maka ia berkata : Fulan tsiqah, ia memaksudkan
dengan perkataan itu bahwa rawi tadi tidak dalam deretan rawi-rawi
yang disandingkan dengannya 168 . Dan kadang seorang rawi
disandingkan dengan yang lebih tsiqah ,kemudian ia mengatakan si
fulan dha'if , maksudnya jika dibandingkan dengan rawi yang
disandingkan dengan dirinya di dalam pertanyaan tersebut , jika

167 At Tarikh 4/272.


168 Lisaanul Mizan 1/17.

56
ditanya perihal rawi tadi secara sendirian maka menjelaskan ihwalnya
secara pertengahan ( adil ) .
'Utsman Ad Darimi pernah bertanya kepada Yahya Bin Ma'in perihal
Al ‘Alla’ bin Abdurrahman riwayatnya dari ayahnya? Maka ia
menjawab : laisa bihi ba’sun ( ‫ )ليس به باس‬, ia kemudian bertanya : dia
kah yang lebih engkau sukai atau Sa’id Al Maqbury ? Ia menjwab :
Sa’id lebih tsiqah sedangkan Al ‘Alla’ dha'if169 .
Komentar dha'if Yahya Bin Ma'in tentang Al ‘Alla’ adalah ditinjau
dari jika dibandingkan dengan Said Al Maqbury dan bukanlah
pendha’ifan secara mutlak170.
b.Jika tidak memungkinkan diambil langkah menjamak
( mengompromikan ) , maka dicari tarjih antara dua pendapat tadi
dengan menggunakan qarinah-qarinah171. Seperti halnya jika sebagian
murid sang Imam lebih banyak mulaazamah dari pada yang lain ,
maka didahulukan riwayat murid yang mulaazim dibandingkan
dengan riwayat lain. Sebagaimana kasus di dalam mendahulukan
riwayat Abbas Ad Daury dari Ibnu Ma’in karena lamanya ia
bermulazamah172.
c. Jika tidak didapati indikasi khusus yang menguatkan maka diambil
yang paling dekat perkataannya untuk dibandingkan dengan pendapat-
pendapat ahli naqd dan secara khusus perkataan-perkataan para imam
yang mu’tadil.
d. Jika langkah-langkah tersebut tidak bisa ditempuh semua, maka
tawaqquf sampai tampak murajjih( penguat) .

169 Tarikh 'Utsman bin Sa’id Ad Daarimy dari Abu Zakariya Yahya Bin Ma'in 173-
174.
170 Lihat fathul Mughiits 1/377.
171 Maksudnya penguat-penguat dari jalur luar.
172 Dan di antara qarinah-qarinah tarjih juga : banyaknya orang yang menukil satu
di antara dua perkataan yang diriwayatkan dari seorang imam ,dan kekuatan
satu di antara dua perkataan tadi yang diriwayatkan lebih shahiih sanadnya
bersambung kepada sang imam dari perkataan yang lainnya.

57
Dan Di Antara Dhabt- Dhabt Perbedaan Di Jarh
Dan Ta'dil :
Asal yang mu'tabar ketika terjadi pertentangan jarh dan ta'dil adalah
mendahulukan jarh mufassar daripada ta'dil,dan mendahulukan ta'dil
dari jarh mubhan . Namun asal ini ditaqyid dengan dhawaabit 173 yang
bermacam-macam -bisa dijumpai di perkataan perkataan a`immah
ketika dibanding- bandingkan perndapat yang berbeda-beda di tautsiiq
rawi dan tadh'iifnya.
Dan yang paling pentingnya adalah sebagai berikut:
1. Mengambil i'tibar terhadap manhaj a`immah di dalam jarh dan
ta'dil mereka , karena mereka terbagi menjadi tiga , yakni sebagai
berikut:
a. Seorang yang muta’annit dalam menjarh dan mutatsabbit di dalam
ta'dil ,yang menenggelamkan174 rawi dengan sebab -cuma karena- dua
tiga kesalahan, melayyinkan175 haditsnya karena itu . Diantara mereka
adalah : Syu'bah bin Al Hajjaj ( wafat : 160 H) , Yahya bin Sa’id Al
Qhatthan( wafat 198 H) , Yahya Bin Ma'in ( wafat 233 H), Abu Hatim
Ar Raazy ( wafat 277 H).
b. Orang -orang yang pertengahan di dalam tautsiiq dan adil dalam
mejarh . Di antara mereka : Sufyan At Tsaury (wafat 161),
Abdurrahman Bin Mahdi (wafat 198 H),Imam Ahmad (wafat 241 H),
Al Bukhaary (wafat 256 H) Abu Zur'ah Ar Raazy (wafat 264), Ibnu
'Adiy (wafat 365 H), Ad Daruquthny (wafat 385).
c. Dan orang - orang yang mutasaahil 176semisal: Abu Al Hasan
Ahmad bin Abdullah Al ‘Ijly177 (wafat 261 H), Abu Isa At Tirmidzy
(wafat 279 H), Ibnu Hibban (wafat 354 H) Ad Daruquthny (wafat 385
173 Kaidah.
174 Maksudnya menenggelamkan ketsiqahan rawi .
175 Maksudnya mendha'ifkan .
176 Bergampang-ganpang.
177 Berkata Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimy : “Tautsiiq Al
‘Ijliy ,dengan istiqra’ engkau akan mendapati sama halnya dengan tautsiiq Ibnu
Hibban atau lebih luas darinya” , Anwaarul Kaasyifah halaman 72.

58
H)kadang-kadang178, Abu Abdullah Al Haakim (wafat 458 H), Abu
Bakar Al Baihaqy (wafat 458 H).
Faidah dari pembagian ini adalah bisa melihat pendapat-pendapat para
imam ketika menghendaki menetapkan vonis status rawi . Jika datang
tautsiiq dari mutasyaddid maka tautsiiq tersebut hendaknya ia
pertahankan kuat-kuat dengan geraham karena mereka sangat ketat
bertatsabbut di tautsiiq kecuali pada situasi menyelisihi ijma'
( kesepakatan ulama) yang menetapkan tadh'iif rawi ,atau menyelisihi
jarh mufassar (yang memang merupakan jarh) , maka didahulukan
daripada tautsiiq . Namun jika mereka menjarh seseorang dari
kalangan rawi-rawi , maka dilihat dulu: adakah seseorang yang
menyepakatinya dalam jarh tersebut -atau tidak-? Jika ada yang
Tasaahul Ibnu Hibban adalah dipengaruhi oleh kaidahnya yang telah terdahulu
penyebutannya : “ Adil adalah rawi tidak dikenal padanya jarh “. Dan ini
mengkonsekuensikan mentautsiiq banyak sekali dari rawi-rawi majhul hal
menurut kriteria ulama lainnya . Lihat Lisaanul Miizan 1/14.
Memperjelas kalam Mu’alimi ihwal tautsiiq Al ‘Ijliy : perkataan ‘Abdul ‘Aliim Al
Bustawiy : “ ...Telah jelas bagiku setelah sebelumnya melakukan dirasah
( pembelajaran) biografi banyak dari rawi-rawi bahwa Imam Al ‘Ijliy sering
bersepakat dengan Ibnu Hibban di dalam mentautsiiq orang - orang yang
disebut Abu Hatim dan yang lainnya dengan statu majaahil ( rawi-rawi majhul)
atau yang mereka mendiamkannya dan Al ‘Ijliy memastikan ketsiqahan mereka.
Akan tetapi ia dia berbeda dengan Ibnu Hibban di : bahwa Ibnu Hibban
mutasyadid dan muta’annit di dalam menjrh beda dengan Al ‘Ijliy yang mana ia
tasaamuh dengan para rawi-rawi dha'if juga sehingga menggelari mereka
dengan martabat ( tingkatan yang ) lebih tinggi dari yang telah disematkan pada
mereka oleh para kritikus rawi yang lain. Tasaahulnya Al ‘Ijliy akan tampak
pada perkara-perkara berikut ini:

Pertama, ia memutlakkan kata tsiqah untuk rawi shaduuq dan yang lebih rendah
kedudukannya .
Kedua, memutlakkan kata la ba’sa bihi kepada rawi yang dha'if .
Ketiga, memutlakkan kata dha'if kepada rawi yang dha'if jiddan atau matruuk.
Ke empat , mentsiqahkan rawi majhuul hal dan yang tidak ada yang meriwayatkan
darinya kecuali seorang saja ( tahqiiq kitab ma’rifati At Tsiqaat 1/125-127.

178 Batasan ini disebutkan oleh Ad Dzahaby . Lihat Al Muqidzah halaman 83,
memperjelas hal ini adalah yang dinuqilkan As Sakhawiy dari perkataan Ad
Daruquthny : “ orang yang diriwayatkan haditsnya oleh dua tsiqah maka
menjadi terangkat jahalahnya dan menjadi tetap ‘adaalahnya “. fathul Mughiits
1/320.

59
menyepakati dalam tadh'iif tersebut dan kebetulan ia tidak ditautsiiq
oleh seorangpun dari para pakar hadits maka ia dha'if . Namun jika
tidak ada yang menyepakati dalam tadh'iif maka perkataannya tidak
di ambil secara mutlak begitupun tidak ditolak secara mutlak. Bahkan
jika apabila tautsiiq alim mu'tabar menyelisihinya maka jarh tersebut
tidak diterima kecuali jika mufassar. Jika Ibnu Ma’iin berkata
mengomentari rawi: ia dha'if , maka tidak bisa mencukupkan dengan
mengatakan sebatas itu dengan tanpa menerangkan sebab jika lainnya
mentsiqahkannya. Bahkan rawi tersebut ditawaqqufkan dulu dari
dikatakan haditsnya shahiih dan ia lebih dekat ke jajaran rawi hasan
sebagaimana dikatakan Ad Dzahaby179 .
Jika datang tautsiiq dari ulama mutasaahilin maka perlu dilihat
dulu ,apakah tautsiiq ulama tersebut disepakati seseorang dari
a`immah yang lain atau tidak ? Jika ada yang menyepakati pendapat
mereka maka bisa diambil perkataan mereka. Namun jika bersendirian
dengan tautsiiq tersebut maka tidak bisa diterima begitu saja , karena
diantara kebiasaan Ibnu Hibban180 adalah mentautsiiq para majaahil181.
Adapun jarh maka para ulama tidak ada yang sepakat dalam satu
manhaj . Bahkan di antara mereka ada yang mutasaahil terhadap rawi-
rawi dha'if seperti Al ‘Ijly182. Sebagian mereka juga ada yang ta’annut
juga seperti Ibnu Hibban , dengan sebab itu, Ad Dzahaby mengkritik
sikapnya tersebut di banyak tempat183.

179 Lihat Dzikru Man Yu’tamadu Qouluhu Fi Al Jarh Wat Ta'diil halaman 158-159.
180 Beliau adalah satu diantara ulama yang mutasaahil.
181 Rawi-rawi yang tidak dikenal ( majhul). Dan tautsiiq Ibnu Hibban ada lima
tingkatan akan segera penyebutannya .
182 Lihat halaman sebelumnya .
183 Di antara kritika Ad Dzahaby yang dari kitab Miizaanul I'tidal ketika
mengomentari jarh Ibnu Hibban :
a. Perkataannya di tarjamah Aflah bin Sa’id Al Madaniy: “ Ibnu Hibban kadang
kadang mencaci orang tsiqah sampai sampai seolah tidak sadar apa yang telah
keluar dari kepalanya “, 1/274.
b. Dan perkataannya di biografi Sa’id bin Abdurrahman Al jumahiy : “ Adapun Ibnu
Hibban maka ia adalah khassaaf dan qusshab ( bermudah-mudah dalam
menenggelamkan orang - orang tsiqah dan banyak memaki)“1/148.

60
Adapun orang yang mu’tadilun yang munsif ,mereka dijadikan
sandaran perkataan-perkataan mereka di dalam menghukumi rawi-
rawi baik jarh maupun ta'dil selama tautsiiq mereka tidak berbenturan
dengan jarh mufassar yang independen dari ta’annut, dan tasyaddud
maka pada situasi demikian didahulukan daripada tautsiiq .
2. Setiap dari tabaqat kritikus rawi-rawi hadits tidak nihil dari orang -
orang mutasyaddid ( berlebih lebihan) dan mutawashith ( pertengahan
).
Di tabaqat pertama : Syu'bah bin Al Hajjaj dan Sufyan At Tsaury ,dan
Syu'bah adalah yang paling parah tasyaddudnya.
Di tabaqat kedua : Yahya Al Qatthan dan Abdurrahman bin Mahdi ,
Yahya lebih parah tasyaddudnya dari pada Abdurrahman .
Di tabaqat ketiga : Yahya Bin Ma'in dan imam Ahmad. Dan Yahya
lebih mutasyaddid daripada Ahmad .
Di tabaqat ke empat : Abu Hatim Ar Raazy dan Al Bukhaary . Dan
Abu Hatim adalah lebih mutasyaddid daripada Al Bukhaary 184.
Dan faidah dari mengetahui itu semua adalah untuk melakukan upaya
membandingkan pendapat-pendapat para kritikus hadits di satu
tabaqat berhubungan dengan putusan penilaian terhadap seorang rawi.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :

‫ وناهيك بهما‬،‫عبد الرحمن بن مهدي كان هو ويحيى القطان قد انتدبا لنقد الرجال‬
ّ ْ ً ً ً ُْ
‫ ومن وثقههاه فهههو‬،‫هدم ُل جرحههه‬
ِ ‫ فمن جرحههاه ال يكههاد ه وهللا ه هين‬،‫جاللة ونبال وعلما وفضال‬
..‫اج ُتهد في أمره ونزل عن درجة الصحيح إلى الحسن‬ ّ
ْ ‫ ومن اختلفا فيه‬،‫الحجة املقبول‬

“ Abdurrahman bin Mahdi dan Yahya bin Al Qatthan keduanya


terlahir untuk mengkritik rawi-rawi . Sudah cukup bagimu dengan
keduanya keagungan, kecerdikan, keilmuan, dan keutamaan. Orang
c. Perkataannya di biografi Suwaid bi 'Amr Al Kalabiy : “Adapun Ibnu Hibban maka
ia telah melampaui batas dan berbuat kezaliman”,2/253.
184 An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni Shalah 1/482.

61
yang ia jarh hampir-hampir tidak sembuh lukanya , orang - orang
yang mereka berdua tsiqahkan maka ia adalah hujjah yang diterima.
Sedangkan orang - orang yang mereka berdua perselisihkan perlu
untuk dilakukan ijtihad menggali ihwalnya dan turun statusnya dari
shahiih ke derajat hasan ...”185.
3. Urung dari menerima jarh jika dikhawatirkan pemicunya adalah
karena perselisihan dalam perkara i’tiqad ( keyakinan) dan rivalitas
antar saingan.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :

‫وممن ينبغي أن يتوقف في قبول قوله في الجرح من كان بينه وبين من جرحه عداوة‬
ْ
‫سه ههببها االختالف في االعتقه ههاد فه ههٍإن الحه ههاذق إذا تأمه ههل ثلب أبي إسه ههحاق الجوزجه ههاني ألهه ههل‬
‫ فه ههتراه ال‬،‫الكوفه ههة رأى العجب وذله ههك لشه ههدة انحرافه ههه في النصه ههب وشه هههرة أهلهه هها بالتشه ه ّهيع‬
ُ ّ
،‫يتوقف في جهرح من ذكهره منهم بلسهان ذلهق وعبهارة طلقة حهتى أنهه أخهذ ُي ِّلين مثهل األعمش‬
‫ فه ههذا إذا عارض ههه‬.‫ وأس ههاطين الح ههديث وأركههان الرواية‬،‫ى‬/‫ وعبيههد هللا بن موسهه‬،‫وأبي نعيم‬
ُ ّ ً ّ ُ ‫مثله أو‬ ُ
‫ويلتحق به عبد الرحمن بن يوسههف بن‬.‫ضعفه قبل التوثيق‬ ‫أكبر منه فوثق رجال‬
َّ ُ ُ
‫فيتههأنى في جرحههه‬ ،‫ بههل نسههب إلى الههرفض‬،‫ فٍإنههه من غالة الشههيعة‬،‫ِهخ راش املحههدث الحافههظ‬
‫ويلتحه ههق به ههذلك مه هها يكه ههون سه ههببه املنافسه ههة في‬.‫ألهه ههل الشه ههام للعه ههداوة البينه ههة في االعتقه ههاد‬
ً
‫ فكههل هههذا ينبغي‬،‫ فكثههيرا مهها يقههع بين العصههريين االختالف والتبههاين لهههذا وغههيره‬،‫املراتب‬
َّ ‫تأنى فيه ُوي‬ َّ ُ
...‫تأمل‬ ‫أن ي‬

“Diantara yang sepatutnya untuk diurungkan diterima pendapatnya


186
di dalam jarh adalah orang yang terjadi permusuhan antara dirinya
dengan yang ia jarh dengan sebab perbedaan dalam perkara i’tiqad.
Orang yang cerdas jika memperhatikan cercaan Abu Ishaq Al
Juzajaany terhadap penduduk Kufah ia akan melihat fenomena tidak
biasa , demikian itu dikarenakan dia sangat melenceng ke firqah nasb

185 Dzikru Man Yu’tamadu Qouluhu Fi Al Jarh Wat Ta'diil halaman 167.
186 Perihal mengomentari rawi-rawi .

62
187
dan masyhurnya penduduk Kufah dengan tasyayyu’. Kamu akam
melihat ia tidak mencukupkan hanya dengan lisan yang terhunus dan
juga ungkapan tak terkendali 188di dalam menjarh rawi yang ia
sebutkan , bahkan ia melayyinkan189sosok semisal Al A’masy dan Abu
Nu’aim dan Ubaidillah bin Musa dan para asaathin ( pembesar yang
berkecimpung di dalam meriwayatkan) hadits dan pengampu riwayat .
Seperti ini jika diselisihi oleh orang yang semisalnya atau lebih tinggi
kedudukannya yang ia mentashiih rawi yang didha’ifkannya maka
yang diterima adalah tautsiiq.
Dimasukkan ke dalam contoh ini juga: Abdurrahman bin Yusuf bin
Khirasy Al Muhaddits Al Haafidz, ia termasuk ghulat syi’ah bahkan
dinisbahkan padanya rafdh. Perlu ditinjau lagi jarhnya terhadap
penduduk Syam karena terdapat permusuhan yang nyata di dalam
perkara i'tiqad.
Dan diikutkan ke kategori ini juga : jarh yang sebabnya dipicu
persaingan di dalam memperebutkan kedudukan. Tidak sedikit terjadi
di antara orang - orang belakangan perselisihan dan kesenjangan 190
karena sebab ini dan juga lainnya. Semuanya ini sepatutnya untuk
perhatian dan teliti“191.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :

187 Nashibiyah.
188 Di antara ungkapan yang digunakan oleh Al Juzajaaniy adalah : ‫زائغ‬zaaigh
saaqith , muftar dan zaaighun ‘anil Haq .lihat Ahwal Ar Rijaal halaman 51-
52,62.
189 Mendha'ifkan.
190 Ibnu Shalah mengemukakan ta’lil keluarnya jarh pada sebagian Aqran
( sepersaingan ) dari kalangan para imam : bahwa pandangan marah membuat
melihat yang buruk-buruk di dalam batin seolah-olah jalan tempuh penyelesaian
yang benar, ia menjadi buta karena tertutup kemurkaan , hal itu muncul dari
imam secara sengaja karena cacat -sebelumnya-yang ia yakini batil”, 'Uluumul
Hadits 591.
191 Lisaanul Miizan 1/16.

63
‫كث ههير من كالم األق ههران بعض هههم في بعض ينبغي أن ُيط ههوى وال ُيه ْهروى ُويط ههرح وال يجع ههل‬
ً
‫طعنا ويعامل الرجل بالعدل والقسط‬

”...Tidak sedikit dari perkataan Aqraan ( orang - orang


sedrajat )sebagian mereka mengomentari sebagian yang lain untuk
sepatutnya digulung, tidak diriwayatkan dan dibuang dan tidak
dijadikan sebagai kritikan dan semestinya bersikap berimbang dan
adil192”.
Semodel demikian di dalam tautsiq adalah apa yang disebutkan oleh
Al Haafidz Ad Dzahaby bahwa bisa jadi perasaan hati seorang imam
di dalam menyikapi atau menilai perkara yang menyepakati
madzhabnya dan juga dalam mauqifnya terhadap syaikhnya lebih
lunak dibanding sikapnya ketika menilai seseorang yang berbeda193.
4. Jarh tidak bisa diterima di haknya tokoh yang telah masyhur
'adaalah ( ketaqwaan) dan tersohor keimamannya. Karena sebab itu,
tidak perlu dihiraukan perkataan Ibnu Abi Dzi’ib ketika menjarh
Imam Malik, juga perkataan An Nasaa'i menjarh Ahmad bin Shalih Al
Mishry. Karena mereka adalah imam-imam yang masyhur ( terkenal)
sehingga orang yang menjarh di hak mereka seperti orang yang
datang dengan khabar yang gharib karena seandainya shahiih tentu
akan banyak pendorong menuqilkan194.
Dan telah shahiih dari Ibnu Ma'iin bahwa ia berbicara di hak Imam As
Syafi'iy 195 , oleh karena itu berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :

‫قد آذى ابن معين نفسه بذلك ولم يلتفت الناس إلى كالمه في الشافعي وال إلى كالمه‬
َّ
‫ فٍإنا نقبه ههل قوله ههه‬،‫ كمه هها لم يلتفته ههوا إلى توثيقه ههه لبعض النه ههاس‬،‫في جماعه ههة من األثبه ههات‬
ّ
‫قد ُه هم ه على كث ههير من ه ه‬
‫الحف اظ م هها لم يخ ههالف الجمه ههور في‬ ّ ‫دائم ه ًها في الج ههرح والتع ههديل ُون‬
ِ

192 Dzikru Asmaai Man Tukullima Fiihi Wa Hua Muwattsaq halaman 46.
193 Al Muqidzah halaman 84.
194 Lihat Tabaqat As Syafi'iyah Al Kubra 2/12, dan Qaa’idah fy Al Jarh wa At Ta’dil
halaman 24-28.
195 Maksudnya menjarhnya.

64
ُ َ َّ
‫ أو بتضعيف من وثقه الجمهههور وق ِب هلهوه‬،‫ فٍإذا انفرد بتوثيق من َّلينه الجمهور‬،‫اجتهاده‬
ّ
..‫فالحكم لعموم أقوال األئمة ال ملن شذ‬

“Ibnu Ma'iin telah mengaibkan dirinya sendiri dengan sebab tersebut


dan orang - orang menjadi tidak menoleh terhadap perkataannya di
hak Imam As Syafi'iy juga di hak jamaah dari kalangan rawi-rawi
atsbat. Sebagaiamana orang - orang juga tidak menoleh kepada
tautsiiqnya kepada sebagian orang. Jadi kami menerima perkataannya
selalu di dalam masalah jarh wat ta'dil dan mendahulukannya daripada
kebanyakan para hafidz selama tidak menyelisihi jumhur di dalam
ijtihadnya . Seandainya ia bersendirian dalam mantautsiiq rawi yang
dilayyinkan jumhur atau bersendirian dalam mentadh’iif rawi yang
ditautsiiq oleh jumhur dan diterima mereka maka hukum adalah milik
mayoritas pendapat para imam bukan dari orang yang syadz”196.
Sebaliknya ditak bisa diambil tautsiiq seorang imam kepada seorang
rawi yang telah disepakati para imam ditinggalkan , oleh karena itu
mereka berpaling dari tautsiiq Imam As Syafi'iy terhadap Ibrahim bin
Muhammad bin Abi Yahya Al Aslamy maula mereka197.
5. Tidak butuh diambil i'tibar jarh yang tidak sah sanadnya
bersambung kepada imam yang dihikayatkan perkataannya .
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
ُ
ْ ‫الك‬
‫ "أنا ال‬:‫ديمي عن ابن املديني عن القطان أنه قال‬ ‫ونقل ابن الجوزي من طريق‬
ُ
ْ ‫الك‬
‫ديمي ضعيف‬ ‫ وهذا مردود ألن‬-‫يعني أبان بن يزيد العطار‬- "‫أروي عنه‬

“ Ibnu Al Jauzy menukilkan dari jalur Al Kudaimy 198 dari Ibnu Al


Madiny dari Al Qatthan ia berkata : Aku tidak meriwayatkan hadits

196 Lihat Dzikru Asmaai Man Tukullima Fiihi Wa Hua Muwattsaq 49.
197 Lihat Miizaanul I'tidal 1/57.
198 Ia adalah Muhammad bin Yunus bin Musa . Lihat Tahdziibut Tahdziib 9/539,
Taqriibu At Tahdziib 515.

65
darinya ( maksudnya Aban bin Yazid Al ‘Atthar) dan ini adalah
tertolak karena Al Kudaimy adalah dha'if “199.
Dan di antara bukti yang menguatkan i'tibar hal itu pada yang
dinisbahkan kepada para imam dari perkataan-perkataan : Abu Al
Hajjaj Al Mizzy ketika menulis uraian manhaj yang ia tempuh di
mukadimah kitabnya “ Tahdziibul Kamaal “ketika berkata :

‫ وقد ذكرنا‬،‫ولم نذكر إسناد كل قول من ذلك فيما بيننا وبين قائله خوف التطويل‬
‫اإلسههناد على عههادة من تقه ّهدمنا من‬
ِ ‫يء لئال يخلههو الكتههاب من‬/‫يء بعههد الشهه‬/‫من ذلههك الشهه‬
‫ومهها لم نههذكر إس ههناده فيمهها بيننهها وبين قائل ههه فمهها كههان من ذلههك بصههيغة‬.‫األئمههة في ذلك‬
ً
‫ وما كان منه بصههيغة‬.‫الجزم فهو مما ال نعلم بٍإسناده عن قائله املحكي ذلك عنه بأسا‬
...‫فرَّبما كان في إسناده إلى قائله ذلك نظر‬ ُ ‫التمريض‬

“Dan kami tidak menyebutkan isnad setiap perkataan dari itu ( jarh
dan ta'dil ) antara kita dengan orang yang mengatakannya karena
khawatir memperpanjang. Dan kami menyebutkan sebagian darinya
setelah yang lainnya supaya tidak kosong kitab ini dari isnad sebagai
peneladanan kebiasaan orang - orang yang telah mendahului kami
dari kalangan para imam di dalam masalah itu.
Dan nukilan yang kami tidak sebutkan sanad yang menyambungkan
dengan yang mengatakannya selama dalam ungkapan jazm 200, maka
itu adalah di antara nukilan yang kami tidak mendapati dha'if - rawi-
rawinya- pada sanad yang menyambung ke yang mengatakannya.
Sedangkan jika dalam ungkapan tamridh201 maka kadang terdapat di
dalam sanad yang menyambung ke yang mengatakannya hal yang
butuh ditinjau kembali”202.

199 Hadyu As Saariy halaman 387.

200 Seperti kata : di berkata dll


201 Seperti kata : dikatakan , dihikayatkan , dll
202 Tahdziibul Kamaal 1/153.

66
Dan yang serupa itu ; Tidak diterima tautsiiq yang tidak shahiih
sanadnya bersambung kepada imam yang dihikayatkan perkataan
tersebut darinya . Di antara contohnya adalah yang diriwayatkan oleh
'Ali bin Abdul ‘Aziiz Al Baghawy dari Sulaiman bin Ahmad ia berkata
:
ً
‫ ما رأيت شاميا أثبت من فرج بن فضالة‬:‫سمعت عبد الرحمن بن مهدي يقول‬

“Aku pernah mendengar Abdurrahman bin Mahdy berkata : Aku


belum pernah melihat penduduk Syam yang lebih tsabit daripada Faraj
bin Fadhalah” .
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
ّ ‫ال‬
‫يغتر أحد بالحكاية املروية في توثيقه عن ابن مهدي؛ فإنها من رواية سليمان بن أحمد ل‬
203
‫وهو الواسطي ل وهو كذاب‬

“Hendaknya seorangpun jangan tertipu dengan hikayat yang


diriwayatkan -ihwal tautsiiq untuknya – dari Ibnu Mahdy , karena itu
dari riwayat Sulaiman bin Ahmad – Al Washithy – dan ia adalah
kaddzab ( pendusta) “.
6. tidak perlu menghiraukan jarah yang keluar dari orang yang majruh
204
kecuali jika yang menjarah adalah seorang imam yang memiliki
perhatian terhadap perkara ini 205 dan rawi yang dijarahnya nihil dari
tautsiiq dan juga tidak tampak qorinah yang menunjukkan upaya
memaksakan diri dari yang menjarh di dalam jarhnya.
Diantara yang tertolak karena bertentangan dengan tautsiiq :
a. perkataan Abu Al fath Al Azdy ketika menjarh Ahmad bin Syabiib
Al Habathy :

‫ي‬/‫منكر الحديث غير مرض‬

203 Tahdziibut Tahdziib 8/262.


204 Orang yang terjarh.
205 Perkara jarh wat ta'dil .

67
“Mungkarul hadits ghairu mardhiy206”.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
207
‫ي‬/‫لم يلتفت أحد إلى هذا القول بل األزدي غير مرض‬

“Seorangpun tidak memperhatikan perkataan ini bahkan Al Azdiy lah


yang ghairu mardhiy208”. Ia juga berkata di tempat lain :

‫ فكيف ُيعتمد في تضعيف الثقات‬.‫ال عبرة بقول األزدي ألنه هو ضعيف‬

“ Tidak ada ibrah dengan perkataan Al Azdiy karena ia adalah


dha'if ,jadi bagaimana mungkin dijadikan sandaran perkataannya
dalam tadh'iif orang - orang tsiqah?”209.
b. Perkataan Abdurrahman bin Yusuf bin Khirasy ketika menjarh 'Amr
bin Syuraih Az Zuraqy :

‫ثقة في حديثه اختالط‬

“ Tsiqatun fi haditsihi ikhtilath210”.


Berkata Ibnu Hajar : “

‫ابن ِخراش مذكور بالرفض والبدعة فال يلتفت إليه‬


211
Ibnu Khirasy disebut-sebut dengan rafdh , bid'ah sehingga tidak
perlu ditoleh “212.
Dan di antara contoh bahwa Ibnu Hajar bersandar dengan jarh Al
Azdiy karena tidak adanya tautsiiq terhadap rawi tersebut adalah
berikut ini:

206 Artinya : haditsnya adalah mungkar dan ia tidak diridhai.


207 Tahdziibut Tahdziib 1/36.
208 Artinya : tidak diridhai. Sumber sebelumnya 1/36
209 Hadyu As Saariy halaman 386.
210 Atinya tsiqah di hadits periwayatannya ada campur aduk”.
211 Berfaham rafidhah.
212 Hadyu As Saariy halaman 431.

68
a. Perkataan Al Azdiy di Ibrahim bin Mahdiy bin Abdurrahman Al
Ubuliy:
ْ
‫ ال ينبغي أن ُيخرج عنه حديث وال ِذكر‬،‫ مشهور بذاك‬،‫يضع الحديث‬

“ Ia memalsukan hadits ,masyhur dengan itu, tidak sepatutnya


dikeluarkan hadits yang diriwayatkan olehnya dan tidak sepatutnya
disebut-sebut “213.
Berkata Ibnu Hajar :
ّ
‫كذبوه‬

“ Mereka mendustakannya “214.


b. perkataan beliau perihal Ibrahim bin Isma'iil bin Abdul Malik bin
Abi Mahdzuurah :
ّ ،‫مجهول‬
‫ضعفه األزدي‬

“Majhuul , didha'ifkan oleh Al Azdiy”215.


7. Tidak menoleh kepada jarh yang kuat dugaan sumbernya dha'if .
Diantara contoh untuk itu : Abdurrahman bin Syuraih Al Mu’aafiriy
adalah tsiqah secara ittifaq ( kesepakatan ) hanya Ibnu Sa’ed telah
berpendapat tidak biasa , ia mengatakan : ‫“منكر الحديث‬mungkarul
hadits “ .
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :

‫ والواقدي‬،‫لم يلتفت أحد إلى ابن سعد في هذا فٍإن مادته من الواقدي في الغالب‬
‫ليس بمعتمد‬

213 Tarikh Bagdad 6/179, dan lihat Tahdziibut Tahdziib 1/170.


214 Taqriibu At Tahdziib halaman 94.
215 Sumber sebelumnya halaman 87, dan lihat juga Tahdziibut Tahdziib 1/105.

69
“ Satupun tidak ada yang menoleh kepada Ibnu Ibnu Sa’ed di dalam
masalah ini karena sumberna dari Al Waaqidiy secara kebanyakan,
sedangkan Al Waaqidiy sendiri bukan mu’tamad “216.
Sumber rujukan hukum Ibnu Sa'ed terhadap rawi-rawi memungkinkan
untuk diketahui di sela-sela nukilan-nukilannya dari mutaqaddimin di
dalam tarjamah, dengan itu akan menjadi jelas sumber rujukan
hukumnya terhadap para rawi yang tidak sezaman dengannya . Namun
jika tidak- maksudnya jika terhadap para rawi yang sezaman- maka Al
Haafidz Ad Dzahaby berkata :
‫تكلم محمد بن سعد الحافظ في كتاب (الطبقات) له بكالم جيد مقبول‬

“Telah berbicara Muhammad bin Sa’ed Al Haafidz di dalam kitab At


Thabaqaat miliknya dengan kalam yang bagus dan diterima”217.
Namun jika Ibnu Sa'ed berbicara mengenai rawi dari ahli Iraq dan
tampak bahwa sumber perkataannya adalah menukil dari Al
Waaqidiy ,maka pada kondisi tersebut bisa dipastikan perlu tatsabbut
yang sangat, karena Al Haafidz Ibnu Hajar pernah berkata :

‫ والواقدي على طريقة أهل املدينة في االنحراف على أهل‬،‫ابن سعد يقلد الواقدي‬
‫العراق‬

“ Ibnu Sa'ed taqlid dengan Al Waaqidiy , sedangkan Al Waaqidiy


sendiri di atas tariqah ahli Madinah di dalam kemelencengan
menyikapi ahli Iraq “ 218.
8. Perlu meninjau ulang sebelum mengambil jarh imam belakangan
jika ternyata membentur tautsiiq para imam mutaqaddimiin sampai
jelas alasannya , dengan apa ia menjarh rawi secara mutlak?219
216 Hadyu As Saariy 417.
217 Dzikru Man Yu’tamadu Qouluhu Fi Al Jarh Wat Ta'diil halaman 172.
218 Hadyu As Saariy 443.
219 Jika datang jarh yang bersifat mubham maka tidak bisa diterima, jika datang
dalam keadaan tertafsir ( mufassar) yang mana hal itu mengkonsekwensikan
tadh'iif rawi pada riwayat tertentu, maka itu khusus hanya pada riwayat tersebut
.

70
Diantara contoh untuk itu : Abban bin Shalih Al Qurasyi maulaahum
yang mana ia telah ditautsiiq oleh Ibnu Ma'iin 220 , Al ‘Ijliy221, Ya'qub
bin Syaibah222 Abu Zur'ah223, Abu Hatim 224, dan An Nasaa'i berkata
mengenainya : ‫“ ليس به بأس‬laisa bihi ba’sun”225.

Sedangkan Ibnu 'Abdil Barr berkata : ‫ “ضعيف‬dha'if 226


“ dan berkata
Ibnu Hazm :‫ “ ليس باملشهور‬laisa bil masyhuur “227.

Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :


ً
ٌ ‫أبانا هذا‬ ّ ‫ فلم ُي‬،‫وهذه غفلة منهما وخطأ تواردا عليه‬
‫أحد قبلهما ويكفي فيه قول‬ ‫ضعف‬
ّ ‫ابن معين ومن‬
‫تقدم معه‬

“ Ini merupakan bentuk kelalaian mereka berdua dan juga kesalahan


yang mereka lakukan . Karena tidak ada yang mendha'ifkan Abban
(rawi) ini seorangpun sebelum mereka berdua . Dan ihwal mengenai
dia cukup dengan perkataan Ibnu Ma'iin dan orang - orang yang telah
mendahului yang sezaman dengannya228.
9. Terkadang jarh terjadi disebabkan kekeliruan di dalam nuskhah dari
buku-buku.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby mengenai biografi Bisyr bin Syu’aib
bin Abi Hamzah Al Himshy :

‫ أخطأ ابن حبان بذكره في الضعفاء‬،‫صدوق‬

220 Tarikh 'Utsman bin Sa’id Ad Daarimy halaman 72.


221 Ma’rifatu At Tsiqaat 1/198.
222 Tahdziibu Al Kamaal 2/11.
223 Al Jarh wat Ta'diil 2/297.
224 Sumber sebelumnya 2/297.
225 Tahdziibu Al Kamaal 2/11.
226 At Tamhiid 1/312.
227 Al Muhalla 1/198, dan ia berkata di 7/137: ‫“ ليس بالقوي‬laisa bilqawiy “
228 Tahdziibut Tahdziib 1/95.

71
“ Ia shaduuq, dan telah keliru Ibnu Hibban ketika menyebutkannya di
dalam Ad Dhu’afa “229.
Landasannya adalah perkataan Al Bukhaary :

‫تركناه‬

“ Kami meninggalkannya “.
Seperti itulah dia – Ibnu Hibban – menuqilkan , ia wahm – salah
faham- terhadap -perkataan - Al Bukhaary . Padahal Al Bukhaary
berkata :
ًّ
‫حيا سنة اثنتي عشرة ومائتين‬ ‫تركناه‬

“ Kami meninggalkan ia dalam keadaan masih hidup tahun dua ratus


dua belas ( 212) “230.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar:
ً ْ
‫ "كان ُمتقنا" ثم غفل غفلة شديدة فذكره في‬:‫وقال ابن حبان في كتاب الثقات‬
‫ "تركن ههاه" وه ههذا خط ههأ من ابن حب ههان نش ههأ عن‬:‫ وروى عن البخ ههاري أن ههه ق ههال‬،‫الض ههعفاء‬
ًّ
‫ "تركنههاه ه‬:‫ وذلههك أن البخههاري إنمهها قههال في تاريخه‬،‫حههذف‬
‫يعههني‬- "‫حيها سههنة اثنههتي عشههرة‬
ًّ
‫حيا) فتغير املعنى‬ ( :‫ فسقط من نسخة ابن حبان لفظة‬،-‫ومائتين‬

“ Berkata Ibnu Hibban di dalam kitab tsiqat 231: “ia mutqin”, kemudian
ia lupa parah dan menyebutkannya di dalam Ad Dhu’afa , dan
meriwayatkan dari Al Bukhaary bahwa ia berkata : “ kami
meninggalkannya” , dan ini merupakan kesalahan dari Ibnu Hibban
yang muncul karena terhapus . Itu karena Al Bukhaary sebenarnya
berkata di dalam Tarikhnya : “ kami meninggalkannya dalam kondisi

229 Aku tidak mendapati riwayat hidup Bisyr bin Syu’aib di nuskhah yang tercetak
di kitab Al Majruuhiin .
230 Miizaanul I'tidal 1/318,At Taarikh Al Kabiir 2/76, dan di nuskhah tulisan
makhtutah di maktabah Koprulu : “ berkata Abu Abdullah : dan ia mati
sepeninggal kami”.
231 At Tsiqaat 8/141.

72
masih hidup pada tahun dua belas ( maksudnya dua ratus dua belas) ,
dan terbuang di nuskhah Ibnu Hibban lafadz ‫ “حيا‬hayyan” yang
kemudian maknanya berubah232.
10. Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
َ ّ
‫َم ْن ُعرف من حاله أنه ال يروي إال عن ثقة فٍإنه إذا روى عن رجل ُو ِصف بأنه ثقة‬
..‫ كمالك وشعبة والقطان وابن مهدي‬،‫عنده‬

“ Orang yang dikenal dari kebiasaannya bahwa ia tidak meriwayatkan


kecuali dari tsiqah , maka jika ia meriwayatkan dari seseorang maka
disifati bahwa orang tersebut adalah tsiqah menurutnya seperti Malik
dan Syu'bah dan Al Qatthan dan Ibnu Mahdiy ...” 233.
Dan juga imam Ahmad , Baqi bin Makhlad , Hariiz bin 'Utsman,
Sulaiman bin Harb dan Sya’bi234.
Apa yang ia sebutkan adalah dibangun di atas galibnya, di dalam rawi-
rawi mereka meriwayatkan darinya dan yang semisal mereka. Karena
Syu'bah pernah meriwayatkan dari Jabir Al Ju’fy dan Ibrahim Al
Hajariy dan Muhammad bin Ubaidillah Al ‘Arzamy dan tidak cuma
satu rawi dari kalangan mereka yang didha’ifkan di dalam hadits 235.
Sebagaimana Imam Malik dari Abdul Kariim bin Abi Al Mukhaariq
dan ia adalah dha'if.
11. Rawi-rawi yang dikeluarkan oleh Syaikhani ( Al Bukhaary dan
Muslim ) atau satu dari keduanya terbagi dua bagian :
Satu di antaranya : rawi-rawi yang ia berhujjah dengan rawi-rawi
tersebut di dalam ushul .
Kedua : Rawi-rawi yang dikeluarkan sebagai mutaaba’ah dan
istisyhad dan i'tibar.

232 Hadyu As Saariy 393.


233 Lisaanul Miizan 1/15.
234 Fathul Mughiits 1/214.
235 ‘Uyuunu Al Atsar 1/14.

73
Penjelasannya:
Yang pertama : rawi-rawi yang dikeluarkan keduanya dalam rangka
berhujjah terbagi menjadi dua bagian :
1. Rawi- rawi yang tidak dibicarakan jarh perihal dirinya, maka ia
adalah tsiqah haditsnya lagi kuat meskipun tidak ada yang menashkan
seorangpun dengan tautsiiq, yang mana ia memperoleh tautsiiq secara
dhimniy disebabkan dikeluarkan oleh mereka berdua atau salah datu
dari mereka berdua dalam rangka berhujjah. Dan mereka berdua telah
berpegang teguh dengan prinsip shahiih . Sedangkan syarat rawi
shahiih adalah 'adaalah ( ketaqwaan) dan kesempurnaan dhabt .
2. Rawi-rawi yang dikomentari dengan jarh, dan jenis ini ada dua
keadaan :
a. Terkadang pembicaraan mengenai rawi ini adalah bersifat ta’annut (
berlebih-lebihan) di lain pihak jumhur mentautsiqnya. Maka rawi
seperti ini hadits yang diriwayatkan olehnya adalah kuat juga.
b. Terkadang pembicaraan mengenai talyin terhadap rawi ini dan
hafalannya bisa diambil i'tibar maka haditsnya tidak keluar dari
martabat hasan lidzatihi236.
Hal itu bisa dijelaskan dengan perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar :

‫ هو الحديث الذي يتصل إسناده بنقل‬:‫ينبغي أن ُيزاد في التعريف بالصحيح فيقال‬


‫العههدل التههام الضههبط أو القاصههر عنههه إذا اعتضههد عن مثلههه إلى منتهههاه وال يكههون شههاذا‬
ً
‫وإنمهها قلت ذلههك ألنههني اعتههبرت كثههيرا من أحههاديث الصههحيحين فوجههدتها ال ي ِت ُّم‬.‫وال معلال‬
ّ
‫الحكم عليها بالصحة إال بذلك‬

“ Sepatutnya ditambah di dalam ta’riif mengenai hadits shahiih ,dan


dikatakan : Ia adalah hadits yang isnadnya bersambung dengan
nukilan rawi yang sempurna dhabtnya atau yang sedikit kurang dari
itu jika dikuatklan dengan dari rawi di atasnya sampai akhir sanad

236 Al Mauqidzoh 79-80.

74
dan tidak syadz dan tidak pula mu’allal. Kami mengatakan demikian
karena aku telah mempelajari banyak dari hadits -hadits shahiihain
dan kutemui tidak sempurna hukum terhadap hadits -hadits 237 dengan
shahiih kecuali dengan definisi tadi”238.
Bagian yang ke dua : Rawi-rawi yang dikeluarkan oleh keduanya
( Al Bukhaary dan Muslim ) di dalam syawaahid dan mutaaba’ah dan
ta’liq.
Mereka berbeda-beda derajatnya dari segi dhabt meskipun terhasilkan
cap shidq pada mereka239. Dan ketika didapati selain Imam nukilan
komentar cela kepada mereka , maka itu artinya celaan 240 tersebut
berbenturan dengan ta'dil sang Imam241. Jadi tidak bisa diterima
kecuali dijelaskan sebab dan diterangkan perihal perkara yang
membuat cacat 'adaalah ( ketaqwaan) rawi ini dan juga di dhabtnya
secara mutlak, atau ihwal dhabt terhadap khabar tertentu secara ta’yin.
Karena sebab-sebab yang mendorong para imam menjarh berbeda-
beda , diantaranya ada yang mencederai242 ada yang tidak243.
12. Perlu memperhatikan istilah-istilah yang digunakan para imam di
dalam lafadz-lafadz jarh wat ta'diil yang mereka pakai, di antaranya
adalah perkataan Yahya Bin Ma'in :
244
‫فالن ال بأس به‬

maksudnya adalah “tsiqah”. Dan perkataannya :


245
‫يء‬/‫فالن ليس بش‬

237 Di dalam dua kitab shahiih tersebut .


238 An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni Shalah 1/417.
239 Secara dhimniy karena dikeluarkan mereka berdua ( Al Bukhaary dan Muslim)
dalam syarat shahiih riwayatnya.

240 Jarh.
241 Maksudnya Al Bukhaary dan Muslim .
242 Membuatnya terjarh secara mu'tabar .
243 Hadyu As Saariy halaman 284.
244 Fulan tidak ada bencana dari sisi 'adaalah ( ketaqwaan) dan dhabt.
245 Maksudnya “bukan apa-apa”

75
maksudnya adalah hadits yang ia riwayatkan sedikit sekali246.
Demikian pula istilah para imam di kitab-kitab mereka . Seperti istilah
Imam Ad Dzahaby di dalam kitabnya Miizaanul I'tidal :

‫إذا كتبت (صح) أول االسم فهي إشارة إلى أن العمل على توثيق ذلك الرجل‬

“Jika aku menulis ( shad ha’) di awal nama rawi maka itu isyarat
kepada rekomendasi tautsiiq untuk rawi tersebut “247.
13. Kadang terjadi perbedaan di dalam penunjukan lafadz baik jarh
maupun tautsiiq dengan bermacam perbedaan dhabtnya. Semisal
perkataan :

‫فالن ُم ْود‬

maka kata mudun dengan takhfiif adalah bermakna binasa. Berasal


dari kata :

‫ْأودى فالن‬

yakni maksudnya :‫ ( هلك‬binasa). Sedangkan dengan tasydiid ditambah


ّ
ُ maka maksudnya bagus dalam ada’( menyampaikan
hamzah: "‫"مؤد‬
hadits )248.
14. Tautsiiq dan tadh'iif dari kalam a`immah kadang bersifat
muqayyad249, jadi tidak bisa seorang rawi dihukumi dengan satu dari
keduanya secara mutlak , bahkan sebatas yang dituntut dari keduanya
secara bersamaan dari berupa jarh dan tautsiiq .
Dan gambarannya adalah berikut :

246 Akan segera datang tambahan keterangan atas istilah para imam ini di halaman
yang akan datang.
247 Lisaanul Miizan 1/9.
248 Lihat Tahdziibut Tahdziib 3/471, fathul Mughiits 1/377.
249 Lihat batasan-batasan ini beserta cotoh-contohnya di dalam Syarah Ilal At
Tirmidzy 2/733-816 . dan Ibnu Rajab talah melakukan tawassu’ dalam
pembahasan perihal rawi-rawi yang didha'ifkan hadits -hadits mereka di masa
tertentu atau tempat atau dari sebagian syaikh tertentu.

76
a. Mentautsiiq rawi pada khusus di hadits yang ia riwayatkan di suatu
negeri tertentu dan tidak berlaku di negeri yang lain.
Demikian bisa dikarenakan rawi tersebut menyampaikan hadits di
suatu daerah dalam keadaan tidak membawa buku sehingga ia
mencampur aduk hadits, dan ia menyampaikan hadits di daerah lain
dengan menggunakan bukunya sehingga ia dhabt. Atau karena
mendengar di suatu daerah tertentu dari syaikh disana dan ia tidak
dhabt terhadap hadits yang ia riwayatkan darinya, dan ia mendengar
darinya di daerah yang lain dan ia dhabt.
Dan di antara contohnya :
1) Ma'mar bin Rasyid Al Azdiy , haditsnya di kota Bashrah terdapat
idhthirab ( keguncangan) yang tidak sedikit. Karena ketika itu ia tidak
membawa bukunya, sedangkan hadits riwayatnya di Yaman jayyid
( baik).
2) Berkata Ya’qub bin Syaibah :
ُ ّ ُ
ّ ‫ف ما‬
‫حدث به عبد الرحمن بن أبي الزناد بالعراق‬ ‫ضع‬
ِ ‫سمعت علي بن املديني ي‬
ّ ‫ويصحح ما‬
‫حدث به باملدينة‬

“ Aku pernah mendengan 'Ali bin Al Madiiniy mendha'ifkan hadits


yang disampaikan Abdurrahman bin Abi Zinad di Iraq dan
menshahihkan hadits yang ia sampaikan di Madinah”.
b. Tausiq rawi terhadap hadits yang ia sampaikan dari riwayat ahli
iklim tertentu dan tidak berlaku bagi ahli iklim yang lainnya.
Demikian karena rawi kadang mendengar dari penduduk kota atau
ahli iklim tertentu dan ia menghafal dengan baik hadits hadits -hadits
mereka , dan di sisi lain ia mendengar hadits dari penduduk atau ahli
iqlim lain sedangkan ia tidak menghafal dengan baik hadits -
haditsnya. Dan di antara contohnya:
1) Isma'iil bin ‘Ayyasy Al Himshiy , jika ia menyampaikan hadits dari
rawi-rawi orang Syam maka haditnya jayyid ,namun jika

77
menyampaikan dari selain mereka maka hadits yang diriwayatkan
idhthirab ( guncang).
2) Faraj bin Fadhalah Al Himshiy ( dha'if ) . Berkata Imam Ahmad :

)‫ وأما ما روى عن يحيى بن سعيد (األنصاري‬،‫ما روى عن الشاميين فصالح‬


‫فمضطرب‬

“ Hadits yang ia riwayatkan dari penduduk Syam maka


shaalih ,sedangkan yang ia riwayatkan dari Yahya bin Sa'id ( Al
Anshaariy) maka mudhtharib (guncang) “
c. Mentautsiiq riwayat rawi jika datang dari ahli iqlim tertentu dan
tidak berlaku bagi ahli iqlim yang lain. Demikian bisa jadi karena rawi
tersebut disampaikan haditsnya oleh ahli iqlim tertentu dan mereka
menghafal baik riwayatnya dan disampaikan ahli iqlim lain namun
mereka tidak baik dalam menghafal haditsnya.
Diantara contohnya :
1) Zuhair bin Muhammad Al Khurasaaniy kemudian Al Makkiy. Ahli
Iraq meriwayatkan haditsnya dengan mustaqim250, di sisi lain
penduduk Syam meriwayatkan darinya hadits -hadits mungkar .
2) Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Dzi’ib , pendengaran orang -
orang Hijaz terhadap hadits -hadits yang dia sampaikan adalah shahiih
. Sedangkan pada hadits -hadits orang Iraq yang meriwayatkan
darinya terdapat wahm251yang tidak sedikit.
d. Mendha'ifkan hadits yang disampaikan rawi tsiqah yang ia
riwayatkan dari sebagian syaiknya. Demikian karena meskipun tsiqah
adalah sifat yang terdapat pada dirinya akan tetapi di hadits yang ia
riwayatkan dari sebagian syaikhnya tertentu terdapat kelemahan. Dan
hal ini tidak berlaku pada riwayatnya dari syaikh yang lain. Di antara
contohnya adalah :

250 Maksudnya dengan tidak guncang atau tanpa terjadi campur aduk.
251 Keragu-raguan.

78
1) Jarir bin Haazim Al Bashriy , didha'ifkan hadits riwayatnya dari
Qatadah .
2) Jafar bin Burqan Al Jazariy , berkata Imam Ahmad :

‫ فأما عن الزهري فال‬،‫يؤخذ من حديثه ما كان عن غير الزهري‬

“ Bisa diambil dari hadits yang ia riwayatkan selama dari bukan


Zuhry. Namun jika dari Zuhriy maka tidak”.
e. Mendha'ifkan riwayat rawi jika di satu sanad ia mengumpulkan
penyebutan beberapa syaikhnya, dan tadh'iif ini tidak berlaku jika ia
menyendirikannya dalam sanad.
Berkata Al Haafidz Abu Ya'la Al Khaliliy:
ّ ً
‫ البخاري لم يخرج حديث حماد بن سلمة في‬:‫ذاكرت يوما بعض الحفاظ فقلت‬
:‫ ألنه ههه جمه ههع بين جماعه ههة من أصه ههحاب أنس فيقه ههول‬:‫الصه ههحيح وهه ههو زاهه ههد ثقه ههة؟ فقه ههال‬
ّ ،‫حه ههدثنا قته ههادة وثه ههابت وعبه ههد العزيه ههز بن صه هههيب‬
:‫ فقلت‬.‫وربمه هها يخه ههالف في بعض ذلك‬
‫ حههدثنا مالههك وعمههرو بن‬:‫ فيقههول‬،‫أليس ابن وهب اتفقههوا عليههه وهههو يجمههع بين أسههانيد‬
‫ ابن‬:‫ فقههال‬.‫الحههارث والليث بن س ههعد واألوزاعي بأح ههاديث ويجمههع بين جماع ههة غ ههيرهم؟‬
‫وهب أتقن ملا يرويه وأحفظ له‬

“Suatu hari aku melakukan mudzakarah meneliti beberapa hafidz ,dan


aku mengatakan : Al Bukhaary tidak mengeluarkan hadits Hammad
bin Salamah di dalam shahiihnya padahal ia zuhud lagi tsiqah ? Maka
ia berkata : karena ia telah mengumpulkan beberapa rawi dari murid-
murid Anas dan mengatakan: telah berkata kepada kami
Qatadah ,Tsaabit, Abdul ‘Aziiz bin Shuhaib ,dan kadang menyelisihi
di sebagian -kasus-riwayat. Maka aku katakan : bukankah Ibnu Wahb
telah disepakati mereka padahal ia juga mengumpulkan beberapa rawi
di sanad-sanad ? Ia berkata : telah berkata kepada kami Malik , 'Amr
bin Al Haarits ,Laits bin Sa’ed dan Al Auza’iy dengan beberapa hadits
dan ia menggabungkan beberapa jama’ah rawi selain mereka. Ia

79
berkata : Ibnu Wahab lebih mutqin terhadap yang diriwayatkannya
dan lebih hafal”252.
Berkata Ibnu Rajab :

،‫ومعنى هذا أن الرجل إذا جمع بين حديث جماعة وساق الحديث سياقة واحدة‬
ّ ْ
،‫فالظه ه ههاهر أن لفظهم لم يتفه ه ههق فال ُيقبه ه ه ُهل هه ه ههذا الجمه ه ه ُهع إال من حافه ه ههظ متقن لحديثه ه ههه‬
‫ كمه هها كه ههان الزهه ههري يجمه ههع بين شه ههيوخ له ههه في حه ههديث‬،‫يعه ههرف اتفه ههاق شه ههيوخه واختالفهم‬
ْ
‫ وكههان الجمههع بين الشههيوخ ُينكههر على الواقههدي وغههيره ممن ال يضههبط هههذا‬.‫اإلفههك وغههيره‬ ِ
َ ُْ
.‫كما أنكر على ابن إسحاق وغيره‬

“ Maknanya bahwa seseorang jika mengumpulkan antara hadits -


hadits jama’ah dan menyampaikan hadits dengan satu siyaq , dan
tampak bahwa lafadz mereka tidak sama, maka penggabungan ini
tidak bisa diterima kecuali dari seorang hafidz mutqin terhadap hadits
yang diriwayatkannya, yang paham sisi persamaan dan perbedaan
hadits yang diriwayatkan syaikh-syaikhnya. Sebagaimana yang
dilakukan Zuhriy yang menggabungkan masyaikhnya di dalam hadits
ifki253 dan yang lainnya”254.
Dan penggabungan beberapa syaikh juga pernah diingkarkan terhadap
Al Waqidiy dan lainnya dari kalangan rawi-rawi yang tidak dhabt ,
dan juga sebagaimana pernah diingkarkan terhadap Ibnu Ishaq dan
yang lainnya...”.
f. Mentautsiq hadits rawi di masa tertentu dan tidak pada masa yang
lain. Demikian karena seorang rawi yang tsiqah kadang ia campur-
aduk255hafalannya di akhir umurnya . Dan rawi-rawi yang campur
aduk hafalannya bertingkat-tungkat. Di antara mereka ada yang sangat
parah ,ada yang sedikit ( tidak terlalu parah).
252 Al Irsyaad Fi Ma’rifati ‘Ulamai Al Hadits 1/417-418.
253 Hadits berhubungan dengan dibebaskannya Aisyah dari tuduhan keji para kaum
munafiqun.
254 Syarah Ilal At Tirmidzy 2/815-816.
255 Dalam istilah Al Jarh wat Ta'diil dinamakan ikhthilath dan rawi yang
mengalaminya disebut mukhtalith.

80
Dan diikutkan dalam kategori rawi mukhtalith -campur aduk
hafalannya- dua golongan :
1) Orang yang buta di akhir umurnya ,dan ia tidak begitu baik dalam
mengingat sesuatu ,dan ia menyampaikan hadits dari hafalannya atau
ia ditalqin dan tertalqin.
2) Rawi yang menjadi buruk hafalannya ketika menjabat hakim dan
sejenisnya .
Dan di antara orang - orang yang tercampur aduk hafalannya adalah :
1) Shalih bin Nabhan ( maula Tauamah). Orang yang mendengar
hadits darinya jauh masa sebelumnya seperti Muhammad bin Abi
Dzi’ib ,maka yang ia dengar adalah shahiih ,sedangkan rawi yang
mendengar haditsnya setelah mengalami ikhtilath seperti Sufyan At
Tsaury maka hadits yang didengarkannya tidak ada nilainya.
2) Sa’id bin Iyas Al Jurairiy . Diantara rawi yang mendengar darinya
sebelum terjadinya ikhtilath adalah Sufyan At Tsaury , Ibnu
‘Ulayyah ,Bisyr bin Al Mufaddhal . Sedangkan rawi-rawi yang
meriwayatkan darinya setelah ikhtilath Yazid bin Harun.
Dan diantara rawi-rawi yang kehilangan penglihatannya di akhir
umurnya dan tidak bisa dengan baik menghafal dan ia menyampaikan
hadits dari hafalannya atau ia ditalqin dan tertalqin adalah :
1) Abdurrazzaq bin Hammam As Shan’aniy . Berkata Imam Ahmad :
ّ
،‫ كان ُيلقن أحاديث باطلة‬،‫عبد الرزاق ال ُيعبأ بحديث من سمع منه وقد ذهب بصره‬
ّ ‫وقد‬
‫حدث عن الزهري أحاديث كتبناها من أصل كتابه وهو ينظر جاؤوا بخالفها‬

“ Abdurrazzaaq tidak perlu diperhatikan hadits -hadits dari rawi-rawi


yang mendengar darinya , ia telah kehilangan penglihatannya , dan
ditalqin dengan hadits -hadits bathil , ia menyampaikan hadits dari
Zuhriy hadits -hadits yang kami telah menulisnya dari asal kitabnya
ketika masih bisa melihat , dan rawi-rawi tersebut mereka datang
dengan sesuatu yang lain “.

81
2) Muhammad bin Maimun As Sukariy . Berkata An Nasaa'i :
ّ
‫ فمن كتب عنه قبل ذلك فحديثه‬،‫ال بأس به إال أنه كان ذهب بصره في آخر عمره‬
ّ
‫جيد‬

“Tidak mengapa dengan haditsnya ,hanya saja ia kemudian kehilangan


penglihatannya di akhir umurnya , rawi-rawi yang menulis hadits
darinya sebelum kehilangan penglihatannya maka shahiih “.
Di antara rawi-rawi yang memburuk hafalannya ketika menjabat
hakim :
1) Syariik bin Abdullah An Nakha’iy, hakim Kufah 256. Ia memburuk
hafalannya setelah menjabat sebagai hakim . Dan hadits -hadits yang
ia sampaikan sebelum itu adalah shahiih .
2) Hafsh bin Ghiyats An Nakha’iy hakim Kufah257. Berkata Abu
Zur’ah :
ّ ُْ ْ
‫ وإال فهو كذا‬،‫ فمن كتب عنه من كتابه فهو صالح‬،‫ي‬/‫استق ض‬ ‫ساء حفظه بعد ما‬
‫وكذا‬

“ Menjadi memburuk hafalannya setelah diminta menjabat hakim .


Rawi-rawi yang meriwayatkan hadits darinya dari kitabnya maka
shalih258 jika tidak maka ia begini-begitu”.
Kadang datang beberapa keadaan yang menuntut dikuatkan hadits
yang diriwayatkan belakangan oleh rawi daripada yang diriwayatkan
sebelumnya , di antaranya adalah apa yang diriwayatkan Al Hasan bin
'Ali Al Halwaaniy dari ‘Affan bin Muslim ia berkata :

256 Ia menjabat hakim pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshuur . Lihat At
Tarikh Khalifah bin Khayyat halaman 434
257 Ia menjabat hakim pada masa pemerintahan Harun Ar Rasyiid lihat rujukan
sebelumnya halaman 464.
258 Bisa dipakai hujjah.

82
‫ك ههان ّه ه‬
،‫هم ام (بن يح ههيى بن دين ههار األزدي م ههوالهم) ال يك ههاد يرج ههع إلى كتاب ههه وال ينظ ههر في ههه‬
ُّ
‫ يا عفان كنا نخطئ‬:‫ ثم رجع بعد فنظر في كتبه فقال‬،‫وكان يخالف فال يرجع إلى كتابه‬
ً
‫كثيرا فنستغفر هللا‬

“ Hammam ( bin Yahya bin Dinar Al Azdiy maulahun ) hampir hampir


tidak pernah melakukan muraja’ah dan melihat kepada kitabnya dan
ia menyelisihi karena tidak merujuk kepada kitabnya . Kemudian ia
rujuk kembali setelah itu, dan melihat kepada kitabnya , seraya
mengatakan : Wahai ‘Affan dulu kami banyak melakukan kesalahan ,
maka kami beristighfar kepada Allah “259.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
ً
ّ ‫ وقد‬،‫قديما‬ ُّ ‫همام بأخرة‬
ّ ‫ي أن حديث‬/‫وهذا يقتض‬
‫نص على ذلك‬ ‫أصح ممن سمع منه‬
‫أحمد بن حنبل‬

“Ini menyimpulkan bahwa hadits Hammam pada akhir masanya


adalah lebih shahiih daripada hadits -hadits yang didengarkan orang -
orang darinya pada waktu sebelumnya . Dan hal ini telah ditegaskan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal”260 .
g. Didha’ifkannya riwayat rawi jika dari hafalannya dan
ditsiqahkannya jika ia menyampaikan hadits dari kitabnya . Dan di
antara contohnya :
1)Yunus bin Yazid Al Ailiy . Berkata Abu Zur'ah :
ّ ‫ فٍإذا‬،‫كان صاحب كتاب‬
‫يء‬/‫حدث من حفظه لم يكن عنده ش‬

“ Ia adalah shahibu kitab , jika ia menyampaikan hadits dari


hafalannya maka ia tidak punya apa-apa”.
2) Suwaid bin Sa’id Al Hadtsaniy . Berkata Abu Zur'ah :
ّ ‫ كنت أتتبع أصوله وأكتب منها فأما إذا‬،‫أما كتبه فصحاح‬
‫حدث من حفظه فال‬
259 Tahdziibut Tahdziib 11/70.
260 Rujukan sebelumnya 11/70.

83
“ Adapun kitab-kitabnya maka shahiih , aku pernah menelusuri
ushul( buku-buku) miliknya dan menulis hadits darinya , namun jika
menyampaikan hadits dari hafalannya maka tidak 261“
15. Perlunya memperhatikan alur kalimat yang termaktub di dalamnya
lafadz-lafadz jarh dan ta'diil , dan juga memperhatikan qarinah-
qarinah keadaan yang melatar belakangi lafadz-lafadz tersebut
disematkan kepada seorang rawi .
Berkata Al Haafidz Ibnu Katsiir :
َ
‫والواقف على عبارات القوم يفهم مقاصدهم بما ُعرف من عباراتهم في غالب األحوال‬
‫وبقرائن ترشد إلى ذلك‬

“ Orang yang berdiri memperhatikan ungkapan-ungkapan suatu kaum


perlu memahami maksud-maksud mereka dengan ungkapan-
ungkapan yang ma’ruf -digunakan- oleh mereka di kebanyakan
kebiasaan tersebut dan -memahami maksud-maksud mereka- dengan
qarinah-qarinah yang bisa memberikan petunjuk kepada hal itu”262.
Di antara kejadian yang terjadi : kadang tautsiiq dan tadh'iif datang
secara nisbi sehingga hal itu perlu didatangkan dalam rangka
dikompromikan antar qoul dan tarjih antar rawi-rawi .
Di antara contohnya :
1) Muhammad bin Ibrahim bin Abi adiy dan Azhar bin Sa’ad As
Samman adalah dua rawi tsiqah , diko,emtari oleh Imam Ahmad :
ّ ‫ابن أبي عدي‬
ّ ‫أحب‬
‫إلي من أزهر‬

“ Sesungguhnya Ibnu Abi ‘Adiy lebih aku cintai daripada Azhar “263.
2) contoh yang telah berlalu penyebutannya dari perkataan Ibnu
Ma'iin :

261 Maksudnya tidak sebagaimana demikian .


262 Ikhtishar Uluumil Hadits halaman 89. ,dan lihat juga fathul Mughiits 1/363.
263 Tahdziibut Tahdziib 1/203.

84
‫ والعالء (بن عبد الرحمن) ضعيف‬،‫سعيد (املقبري) أوثق‬

“Sa’iid (Al Maqburiy) lebih tsiqah sedangkan Al ‘Alla’ ( bin


Abdurrahman ) adalah dha'if “264.
16. Pemutlakan kata tsiqah dari kalangan a`immah mutaqaddimin
kadang bersifat lebih mencakup daripada tautsiiq menurut mutaakhirin
.dan menurut mutaakhirin adalah lebih banyak pembatasannya untuk
derajat-derajat rawi .
Di antara perkara ini juga bahwa sebagian mutaqadimin kadang
memutlakkan kata tsiqah untuk rawi yang tsiqah dan shaduuq.
Mereka kadang juga menyebutkan bergandengan penyebutan dua
lafadz ini secara bersamaan ketika menghukumi seorang rawi .
Hal itu bisa dijelaskan bahwa hadits menurut mutaqaddimin terbatas
pada shahiih dan dha'if 265.
264 Lihat halaman 47.
265 Berkata Al Haafidz Abu 'Amr Ibnu Shalah :
ً ْ
ُ ‫مندرجا في أنواع الصحيح الندراجه في أنواع ما ُي‬
‫ ثم إن من‬...‫حتج به‬ ‫من أهل الحديث من ال ُيف ِر ُد نوع الحسن ويجعله‬
ً ْ ً
‫ فهذا إذا اختالف في العبارة دون املعنى‬...‫سمى الحسن صحيحا ال ُين ِك ُر أنه دون الصحيح‬
ّ

“ Dari kalangan ahli hadits ada orang - orang yang menyendirikan jenis hasan dan
menggolongkannya pada klasifikasi jenis-jenis shahiih karena masuk pada
kategori macam hadits yang bisa dijadikan hujjah ... kemudian orang yang
menamakan hasan dengan shahiih tidak mengingkari bahwa ia masuk dalam
kategori dibawah shahiih ...jadi ini sama cuma sebatas perbedaan dalam
pengungkapan bukan dalam makna “. 'Uluumul Hadits halaman 115-116.

Berkata Ibnu Taimiyah :

‫ ولم‬،‫ى الترمذي‬/‫قسمه هذه القسمة أبو عيس‬ ّ ‫ فهذا أول من ُعر َف ّأنه‬،‫وأما قسمة الحديث إلى صحيح وحسن وضعيف‬
ِ
َ
‫ وأما من قبل الترمذي من العلماء فمهها ُهع ِرف عنهم هههذا التقسههيم الثالثي لكن‬...‫تعرف هذه القسمة عن أحد قبله‬
ً
‫ ضههعيف ض ههعفا ال يمتنههع العم ههل بههه وه ههو يشههبه‬:‫ والضههعيف عن ههدهم نوعههان‬،‫كههانوا يقسههمونه إلى صههحيح وض ههعيف‬
ً
.25 ‫ ه‬18/23 ‫ مجموع الفتاوى‬."‫ وضعيف ضعفا يوجب تركه وهو الواهي‬.‫الحسن في اصطالح الترمذي‬
“ Adapun pembagian hadits menjadi shahiih hasan dan dha'if , maka awal pencetus
yang dikenal bahwa dialah yang membaginya menjadi seperti ini adalah Abu Isa At
Tirmidzy , dan tidak dikenal pembagian seperti ini dicetuskan seorangpun

85
Karena itu bisa di ambil faidah dari pengklasifikasian tingkatan-
tingkatan derajat lafadz-lafadz al jarh wat ta'diil yang disusun
mutaakhirin ini ketika melakukan tarjih antara rawi-rawi yang
berserikat orang-orang mutaqaddimin dalam pemilihan lafadz-
lafadznya baik di kategori diterima mutlak atau didha'ifkan secara
mutlak.
17 . Kadang rawi menempuh takhasshus pada fan tertentu dari fan-fan
riwayat disebabkan yang telah ia upayakan dengan sungguh-sungguh
ketika melakukan talaqqiy atau menyampaikan hadits ,sehingga ia
bisa dijadikan hujjah -secara khusus-di fan266 tersebut . Adapun
berkaitan dengan fan riwayat berhubungan perkara lain maka kadang
bisa dijadikan hujjah riwayatnya , kadang kurang mencukupi untuk
kriteria bisa dipakai berhujjah , atau kadang lebih kurang lagi untuk
bisa masuk kriteria rawi yang bisa dijadikan i'tibar riwayatnya . Di
antara contohnya adalah :
1) ‘Aashim bin Abi An Najuud Al Muqri’ Al Masyhuur . Berkata Al
Haafidz Ad Dzahaby :

sebelumnya ... adapun sebelum At Tirmidzy dari kalangan ulama , tidak dikenal
muncul dari ungkapan mereka pembagian tiga ini ,hanya saja mereka membaginya
menjadi shahiih dan dha'if . Dha'if menurut mereka ada dua : dha'if yang tidak
menghaalangi untuk diamalkan dan itu menyerupai hasan di istilah At Tirmidzy ,
dan kedua dha'if yang kedha’ifannya mewajibkan ditinggalkan ,dan itu disebut
waahiy “. Majmu’ Fatawa 18/23-25.

Ia juga mengatakan :
ً
‫ والضعيف عندهم‬.‫ صحيح وضعيف‬: ‫ "كان في ُع ْر ِف أحمد َوم ْن قبله من العلماء أن الحديث ينقسم إلى نوعين‬:‫وقال أيضا‬
."...‫ وإلى ضعيف حسن‬،‫ ضعيف متروك ال يحتج به‬:‫ينقسم إلى‬
“ Di kebiasaan Ahmad dan orang - orang sebelumnya dari kalangan ulama adalah :
bahwa hadits terbagi menjadi dua jenis : shahiih dan dha'if . Dan dha'if menurut
mereka terbagi menjadi : dha'if yang ditinggalkan tidak bisa dijadikan hujjah ,
dan dha'if hasan ...” . Al Qaa’dah Al Jaliilah fi At Tawasshul wa Al Washiilah
halaman 87.
266 Lihat Tahqiiq Dr. Nuur Ad Dien ‘itr pada Syarah ‘Ilal At Tirmidzy 2/554.

86
“ Aashim adalah tsabt di dalam qiraa’ah ,shaduq di dalam masalah
hadits . Ia telah ditsiqahkan Abu Zur'ah dan juga jamaa’ah267 , berkata
Abu Hatim : ‫ ( محله الصدق‬mahalluhu As Shidq = “Tempatnya adalah
shidq”).268
Berkata Ad Daruquthny :
“ Pada hafalannya ada sesuatu “. yang ia maksudkan untuk urusan
hadits bukan urusan huruf”269.
Dan senantiasa pada setiap masa ada seorang alim yang ia imam untuk
fan ilmu tertentu dan kurang di fan-fan ilmu yang lain . Demikian pula
pada saudaranya Hafsh bin Sulaiman ia tsabt di dalam qiraaah , wahiy
( lemah) di dalam urusan hadits . Dan adalah Al A’masy sebaliknya ia
tsabt di dalam urusan periwayatan hadits ,layyin di dalam perkara
huruf270.
Ia juga berkata :

‫ وهو في الحديث دون الثبت‬،‫ ثبت في القراءة‬،‫ مولى بني أسد‬،‫عاصم بن بهدلة الكوفي‬
‫صدوق يهم‬

“ ‘Aashim bin Bahdalah Al Kufiy , maula Baniy Asad ia tsabt di


dalam perkara qiraa’ah sedangkan ia dalam perkara hadits adalah di
bawah tsabt ; shaduuq yahim 271“.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar ketika berbicara perihal ‘Aashim :
ّ ،‫صدوق له أوهام‬
‫ وحديثه في الصحيحين مقرون‬،‫حجة في القراءة‬
267 Lihat Tahdziibu Al Kamaal 13/476-477.
268 Dan ungkapan yang digunakan Abu Hatim :

‫محله عندي محل الصدق صالح الحديث لم يكن بذاك الحافظ‬


“ Tempatnya adalah shidq ,shalih haditsnya, dan tidaklah dengan itu - sebutan - Al
Haafidz )
lihat Al Jarh wat Ta'diil 6/341.
269 Sualaat Al Barqaaniy 49.
270 Siyar A'laam An Nubala 5/260.
271 Menyampaikan hadits yang meragukan. Miizaanul I'tidal 2/357.

87
“ Shaduuq , memiliki banyak wahm ( keraguan) , hujjah dalam
perkara qiraa’ah sedangkan haditsnya di shahiihain disebutkan secara
maqruun272”
1) Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al Muthallibiy maulaahum .
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
ّ
‫بالتشيع والقدر‬ ‫ ورمي‬،‫ صدوق يدلس‬،‫إمام املغازي‬

“ Imam dalam maghaaziy ( riwayat-riwayat berkaitan dengan


peperangan) ,shaduuq, melakukan tadlis dan dilempari tuduhan
tasyayyu’ dan pemikiran qadar”273.
Al Bukhaary telah mengeluarkan haditsnya secara mu’allaq ,
sedangkan Muslim di dalam mutaaba’at , ia adalah imam dalam
maghaaziy adapun di hadits -hadits hukum statusnya hasan jika ia
mentasrih ( menegaskan) mendengar dan tidak menyelisihi rawi yang
lebih tsiqah“274.
Di sana ada beberapa rawi yang masyhur dengan fan periwayatan ilmu
tertentu akan tetapi riwayat-riwayat mereka tidak dipandang
mengingat mereka adalah rawi-rawi dengan 'adaalah ( ketaqwaan)
terjarh seperti Abu Mihnaf Luth bin Yahya Al Azdiy , dan Hisyam bin
Muhammad bin As Sa’ib Al Kalbiy275.
18. Kadang lafadz-lafadz jarh wat ta'dil yang ternukil dari kitab-kitab
mutaqaddimin terringkas atau terhikayatkan dengan makna disebutkan
di kitab -kitab mutakhirin karena didesak kebutuhan mereka
mengumpulkan sebagian besar jumlah rawi-rawi di dalam satu kitab .
Dan ringkasan tersebut memberikan pengaruh. Sedangkan hikayat

272 Disandingkan dengan rawi lain dalam sanad. Taqriibu At Tahdziib halaman
285.
273 Masdar sebelumnya halaman 467.
274 Siyar A'laam An Nubala 7/41, Hadyu As Saariy halaman 458, Fathul Baary
11/163.
275 Lihat rujukan yang telah lalu 4/304-305.

88
terhadap lafadz jarh wat ta'dil tersebut adalah dalam perkara hukum
terhadap rawi baik tautsiiq maupun jarh276.
Kenyataan seperti ini maka perlu menelusuri perkataan-perkataan
tersebut dari sumber-sumbernya yang asli.
Di antara contoh meringkas dalam kasus seperti ini adalah nukilan Al
Haafidz Ad Dzahaby ketika meringkas ungkapan Abu Hatim ketika
mengomentari Syahr bin Hausyab.
Berkata Abu Hatim :
ّ ‫شهر بن حوشب أحب‬
‫ وليس بدون أبي‬،‫إلي من أبي هارون العبدي ومن بشر بن حرب‬
‫ ال يحتج بحديثه‬،‫الزبير‬

“ Syahr bin Hausyab lebih aku sukai daripada Abu Harun Al ‘Abdiy
dan dari Bisyr bin Harb , dan ia tidaklah kedudukannya di bawah Abu
Az Zubair , ia tidak bisa dijadikan hujjah haditsnya”277.
Berkata (Ad Dzahaby ) di Miizaanul I'tidal :

‫ ليس هو بدون أبي الزبير وال يحتج به‬:‫قال أبو حاتم‬

“ Berkata Abu Hatim: Tidaklah ia di bawah Abu Zubair , dan ia tidak


bisa dijadikan hujjah”278.
Ia berkata di dalam Al Kaasyif:

‫ ليس بدون ابي الزبير‬:‫قال ابو حاتم‬

“Berkata Abu Hatim : ia tidak berada di bawah tingkatan Abu Zubair


“279.
di antara contoh penghikayatan dengan makna adalah perkataan Al
Haafidz Ibnu Hajar :

276 Lihat At Tankiil 1/64-65.


277 Al Jarh wat Ta'diil 4/383.
278 2/383.
279 2/16.

89
ّ
.‫إبراهيم بن سويد بن حيان املديني وثقه ابن معين وأبو زرعة‬

“ Ibrahim bin Suwaid bin Hayyan Al Madiiniy telah ditsiqahkan Ibnu


Ma'iin dan Abu Zur'ah ...“280.
Ungkapannya ini benar dalam menerangkan kalam Ibnu Ma'iin, yaitu
ketika Ishaq bin Manshur Al Kausyaj meriwayatkan darinya
( perkataannya) : ‫“ ثقة‬tsiqah” , adapun Abu Zur'ah maka ia sebenarnya
mengatakan:

‫ليس به باس‬

“ laisa bihi ba’sun”281.


19. Jarh dan ta'dil yang keluar dari imam-imam mutaakhirin memiliki
bobot nilai sekadar penelitian mereka terhadap perkataan-perkataan
para imam mutaqaddimin di dalam menghukumi rawi-rawi .
Di antara contoh untuk ini adalah :
1) Abdullah bin Abi Sulaiman Al Amawiy maula mereka , telah
dinuqilkan oleh 'Utsman bin Sa’id Ad Daarimy dari Ibnu Ma'iin ihwal
tautsiiqnya282. Hanya Al Haafidz Ibnu Hajar di dalam Tahdziibut
Tahdziib283 ketika mengulas biografinya tidak menyebutkan selain
perkataan Abu Hatim : ‫ “ شيخ‬Syaikh”284 , dan bahwa Ibnu Hibban
menyebutkannya di dalam At Tsiqaat285, di tempat lain Al Haafidz di
dalam Taqriibu At Tahdziib mengomentari: ‫ “ صدوق‬Shaduuq”286. Dan
andai saja dihadirkan kepadanya nukilan Ad Daarimy dari Ibnu Ma'iin
tadi tentu ia akan mentsiqahkannya287.
280 Hadyu As Saariy halaman 388.
281 Al Jarh wat Ta'diil 2/104, dan lihat juga At Tankiil 1/ 64-65.
282 Lihat Tarikh 'Utsman bin Sa’id Ad Daarimy biografi rawi nomor 485.
283 Lihat di : 5/246.
284 Al Jarh wat Ta'diil 5/75-76.
285 Lihat 5/33.
286 Halaman 317.
287 Lihat tahqiq Dr. Ahmad Muhammad Nur Saif terhadap kitab Taarikh 'Utsman
Ad Daarimy halaman : 28-29.

90
2) Az Zubair bin Junadah Al hajariy telah dinukilkan tautsiiqnya288
oleh Ibnu Al junaid dari Ibnu Ma'iin . Sedangkan Al Haafidz Ibnu
Hajar menyebutkan biografinya289 di Tahdziibut Tahdziib perkataan
Abu Hatim :‫“ شيخ ليس باملشهور‬Syaikh laisa bilmasyhuur”290,dan bahwa
Ibnu Hibban telah menyebutkannya di dalam At Tsiqaat291 , dan
perkataan Al Haakim : ‫” ثقة‬tsiqah”292 kemudian ia berkata dalam
Taqriibu At Tahdziib :‫ ” مقبول‬maqbuul”293 . Dan seandainya
dihadirkan kepadanya penuqilan Ibnu Junaid tadi dari Ibnu Ma'iin
bisajadi ia mentsiqahkannya294.
20. Tidak disyaratkan bagi rawi-rawi mutaakhirin keketatan kriteria
sebagaimana yang disyaratkan pada rawi-rawi mutaqaddimin di dalam
dhabt dan kemutqinan.
Berkata Ibnu Shalah :

‫ الشروط في رواة‬....‫أعرض الناس في هذه األعصار املتأخرة عن اعتبار مجموع‬


‫ فلم ّه‬،‫الحههديث ومشههايخه‬
....‫ ووجههه ذلك‬...‫يتقيهدوا بههها في روايههاتهم لتعههذر الوفههاء بههذلك‬
‫كههون املقصههود املحافظههة على خصيصههة هههذه األمههة في األسههانيد واملحههاذرة من انقطههاع‬
ُ .‫ مهها يليههق بهههذا الغههرض على تجههرده‬...‫فلي ْعته ْهبر من الشههروط‬
‫وليكتههف في أهلي ههة‬ ُ ‫سلسههلتها‬
ً ً ً
‫الشههيخ بكونههه مسههلما بالغهها عههاقال غههير متظههاهر بالفسههق وال ّس هخف و في ضههبطه بوجههود‬
ً
‫ وبروايته من أصل موافق ألصل شيخه‬، ‫سماعه مثبتا بخط غير متهم‬

“ Manusia pada masa belakangan ini telah berpaling dari mengambil


i'tibar yang terhimpun ...dari syarat-syarat di dalam rawi-rawi hadits
dan masyaikhnya . Mereka tidak terkekang dengan itu di dalam

288 Lihat Sualaat Ibnu Junaid tarjamah nomer : 28.


289 Lihat 3/313.
290 Artinya: Syaikh, bukan orang yang masyhuur. Al Jarh wat Ta'diil 3/582.
291 Lihat 6/333.
292 Tahdziibut Tahdziib 6/314.
293 Halaman 214.
294 Lihat tahqiq Dr. Ahmad Muhammad Nur Saif terhadap kitab Sualaat Ibnu
Junaid halaman: 25.

91
riwayat-riwayat mereka karena terdapatnya udzur untuk memenuhi
ketentuan itu semua ...dan alasannya:.. adalah demi menjaga
kekhususan umat ini dari sanad-sanad dan menghindari dari
keterputusan silsilahnya sehingga hendaklah yang diambil i'tibar dari
syarat-syarat di atas adalah sebatas yang sepatutnya demi tujuan ini
saja. Dan hendaknya di dalam kriteria keahlian seorang syaikh diukur
dengan parameter bahwa ia berstatus muslim , baligh, berakal, tidak
menampakkan kefasikan ,dan kepandiran . Sedangkan dalam kriteria
dhabt adalah dengan tetapnya ia melakukan sima’(mendengar
langsung) dan menetapkan (mencatatnya) dengan tulisan yang tidak
membingungkan, dan juga dengan periwayatannya dari asal kitab
yang menyamai kitab asal kitab milik syaikhnya295.
Dan Al Haafidz Ad Dzahaby menetapkan i'tibar batasan yang
memisahkan antara generasi mutaqaddimin dengan mutaakhirin :
yakni awal tahun tiga ratusan hijriah296.
295 'Uluumul Hadits halaman 236.

296 Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby di dalam menjelaskan manhajnya di kitab


Miizaanul I'tidal :

ُ ّ ‫ ال ْأور ُد منهم ّإال من قد‬،‫وكذلك من قد ُت ُك ّلم فيه من املتأخرين‬


‫ إذ العمدة في‬،‫ واتضح أمره من الرواة‬،‫تبين ضعفه‬ ِ ِ

‫ ثم‬.‫ والههذين عههرفت عههدالتهم وصههدقهم في ضههبط أسههماء السههامعين‬،‫زماننهها ليس على الههرواة بههل على املحههدثين واملفيههدين‬

‫ ولههو فتحت‬،‫ رأس سههنة ثالثمائههة‬:‫ فالحههد الفاصههل بين املتقههدم واملتههأخر هو‬،‫من املعلوم أنه ال بد من صون الههراوي وسههتره‬
ّ
‫ إذ األكثر ال يدرون ما يههروون وال يعرفههون هههذا الشههأن إنمهها ُسه ِّم ُعوا في‬،‫ي تليين هذا الباب ملا َس ِل َم معي إال القليل‬/‫على نفس‬

‫ فالعمدة على من قرأ لهم وعلى من أثبت ِطباق السماع لهم‬.‫الصغر واحتيج إلى علو سندهم في الكبر‬

“ Seperti itu juga orang - orang yang dibicarakan ihwalnya dari kalangan
mutaakhirin , aku tidak menyebutkan dari mereka sesuatu kecuali orang dari
kalangan rawi-rawi yang benar benar tampak kedha’ifannya,dan tidak samar
perkaranya . Karena yang merupakan umdah ( inti yang dipentingkan) di zaman
kita ini tidaklah berpusat pada rawi-rawi bahkan kepada para ahli hadits dan
ulama yang memberikan faidah , dan juga orang - orang yang dikenal 'adaalah (
ketaqwaan) mereka dan juga dhabtnya di kenangan para pendengar . Kemudian
juga, sudah merupakan hal yang maklum diketahui bahwa wajib bagi kita
menjaga rawi-rawi dan menutupinya . Maka batasan pemisah antara
mutaqaddimin dan dan mutaakhirin adalah : awal tahun tiga ratus. Seandainya

92
Dan As Sakhawiy memperjelas sisi perbedaan antara mutaqaddimin
dan mutaakhirin di dalam masalah ini dengan perkataannya:
ً
‫ملا كان الغرض أوال معرفة التعديل والتجريح وتفاوت املقامات في الحفظ‬
‫ حصههل التشههدد‬،‫ص هل بههذلك إلى التصههحيح والتحسههين والتضههعيف‬ َّ ‫واإلتقههان ُليتو‬
ِ
ً
‫آخ را االقتصههار في التحصههيل على مجههرد‬
‫ وملا كههان الغههرض ِه‬.‫بمجموع تلك الصفات‬
‫ ولكن ذل ه ههك ب ه ههالنظر إلى الغ ه ههالب في‬.‫وج ه ههود السلس ه ههلة الس ه ههندية اكتف ه ههوا بم ه هها ت ه ههرى‬
ّ
‫ وإن كههان التسههاهل إلى هههذا‬،‫ وإال فقههد ُيوجههد في كههل منهمهها من نمههط اآلخههر‬،‫املو ِض ه َع ْين‬ ْ
ً
‫الحه ه ههد في املتقه ه ههدمين قليال وبهه ه ههذا كله ه ههه يته ه ه ّهبين أن سه ه ههبب التفرقه ه ههة بين املتقه ه ههدمين‬
‫واملتههأخرين كههون العههبرة في روايههة املتههأخرين على الكتب واألصههول الصههحيحة الههتي‬
‫ بل تواتر بعضها إليهم‬،‫اشتهرت بنسبتها إلى مؤلفيها‬
“ Sehubungan dengan bahwa tujuan zaman awal adalah mengenal
ta'dil dan tajrih dan bertingkat-tingkatnya derajat di dalam hafalan dan
kemutqinan supaya dengan itu bisa diupayakan kepada tashiih dan
tahsin dan tadh'iif ,maka muncullah sikap tasyaddud dengan
memberlakukan sifat-sifat tersebut.
Dan sehubungan dengan bahwa tujuan jaman belakang hanya
mengupayakan sebatas kelestarian silsilah sanad , maka mereka
mencukupkan dengan – beberapa syarat -sebagaimana kamu lihat.
Hanya saja itu jika dilihat dari sudut pandang secara umum
(kebanyakan) di dua pembagian generasi tadi. Jika tidak– dilihat dari
sudut pandang itu- maka sungguh dijumpai di masing- masing dari

aku membuka pada diri ini melakukan tadh'iif pada bab ini maka tidak ada yang
selamat bersamaku kecuali sedikit sekali. Karena kebanyakan manusia tidak
mengetahui apa yang mereka riwayatkan dan tidak mengenal kepentingan
perkara ini. Mereka hanya di perdengarkan ketika masa kecil dan butuh kepada
ketinggian sanad mereka ketika dewasa . Dan yang inti adalah fokus pada orang
- orang yang membacakannya kepada mereka dan yang menetapkan kecocokan
ihwal yang didengarkan kepada mereka”. Miizaanul I'tidal 1/4.

93
keduanya ada dari bentuk297 syarat satunya298. Meskipun tasaahul
sampai pada batasan ini di generasi mutaqaddimin terhitung sedikit.
Dengan ini semua menjadi jelas bahwa alasan pembedaan antara
mutaqaddimin dan mutaakhirin adalah hal i'tibar di dalam periwayatan
mutaakhirin adalah -berfokus- pada kitab-kitab dan ushul-ushul yang
shahiih yang masyhur nisbahnya ke penyusunnya, bahkan mutawatir
sebagiannya kepada mereka299.

297 Maksudnya bentuk seleksi rawi-rawi secara ketat maupun tasaahul.


298 Maksudnya masing masing genarsi ada yang mutasyaddid ,ada yang
mutasaahil .
299 Penyusunnya. Al Ba'its Al Hatsiits halaman 90.

94
BAB KE DUA

Segi-Segi Pencacatan Pada Rawi


Pada bab ini terdapat empat fasal :
Fasal pertama : sisi-sisi yang berhubungan dengan jahaalah rawi.
Fasal kedua : sisi-sisi yang khusus berkaitan dengan 'adaalah
( ketaqwaan).
Fasal ketiga : sisi-sisi yang khusus berkaitan dengan dhabt.
Fasal ke empat : sisi-sisi yang tidak berkaitan dengan 'adaalah
( ketaqwaan) dan dhabt secara umum .

95
Fasal Pertama

Sisi-Sisi Yang Berhubungan Dengan


Jahaalah300 Rawi

Yang dimaksud dengan jahaalah rawi : tidak diketahui padanya ta'dil


dan tidak pula tajriih yang bersifat mu’ayyan 301 . Masuk dalam
cakupan pengertian ini : memubhamkan ( menyamarkan) nama rawi,
jahalah ‘ain , dan jahaalah hal.
Sebab-sebab Jahaalah adalah :
1. Seorang rawi menamai syaiknya atau menyebut kuniyahnya atau
menisbahkannya pada suatu qabilah atau kota atau profesi yang tidak
dikenal masyhur pada syaiknya tersebut , hingga dikiranya syaikh lain
, dan terhasilkanlah jahaalah 302. Dan itu sering terjadi dalam kasus
tadlis syaikh.
2. Seorang rawi tergolong sedikit dalam meriwayatkan hadits dan dan
tidak banyak hadits yang diambil periwayatan darinya, sehingga ia
tidak dikenal303.
3. Seorang rawi memubhamkan nama syaikhnya seperti seandainya
mengatakan : “Telah berkata kepadaku seseorang”, “ telah berkata
kepadaku sebagian mereka” atau , telah mengabarkan kepada kami
syaikh kami”304.

300 Ketidaktahuan akan identitas rawi atau keadaannya.


301 Nuzhatun Nadzaar halaman 44.
302 Khatiib Al Bagdady menyusun untuk jenis ini : kitabnya Al Maudhi’ li auhaami
Al Jam’ wa At Tafriiq, lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 49.
303 Imam Muslim dan Al Hasan bin Sufyan menyusun perihal mereka-mereka
para rawi muqillin(yang sedikit haditsnya) dengan nama “Al Wuhdan” lihat
Nuzhatun Nadzaar 49.
304 Lihat catatan kaki setelah ini.

96
4. Seorang rawi menyebutkan syaiknya secara muhmal, seperti
seandainya berkata: “Telah berkata kepadaku Fulan atau Ibnu
Fulan”305.
5. Tidak terdapatnya nash para imam terhadap tautsiiq rawi yang
dimaksud ataupun tadh'iifnya .
Adapun rawi-rawi mubham – yakni yang tidak disebutkan namanya –
seperti : “ Telah berkata kepada kami seseorang “ , maka ini tidak
diterima haditsnya . Alasannya : karena syarat diterimanya riwayat
adalah diketahui 'adaalah ( ketaqwaan) rawi . Sedangkan orang yang
tidak disebutkan namanya tentu tidak dikenal jati dirinya , bagaimana
mungkin orang seperti ini bisa untuk diketahui 'adaalah ( ketaqwaan)
dan dhabtnya ? 306
Namun kadang ada ibham dengan menggunakan lafadz
tautsiiq ,seperti seorang rawi berkata: ‫“ حدثني ثقة‬telah berkata
kepadaku seorang tsiqah “. Maka ini adalah bahan perdebatan yang
menghasilkan banyak pendapat . Dan yang paling masyhur adalah
adalah sebagai berikut:
1. Perkataan Khatiib Al Bagdady, Abu Bakar Muhammad bin
Abdullah As Shairafiy : Bahwa itu tidak cukup untuk mentautsiq
rawi307 .
Alasannya : bisa jadi rawi tersebut hanya tsiqah menurut orang yang
memubhamkannya dan terjarh menurut yang lain308.
2. Pendapat yang ke dua yang ternukilkan dari Imam Abu Hanifah :
bahwa itu cukup sebagai tautsiiq terhadap rawi309.

305 Mengetahui nama mubham dan lengkap nama yang muhmal dengan melihat
jalur periwayatan yang lain yang di dalamnya disebutkan nama lengkapnya .
Lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 49.
306 Lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 49.
307 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah halaman 155, 'Uluumul Hadits 224.
308 Rujukan sebelumnya halaman 224.
309 Fathul Mughiits 1/308.

97
Alasannya : Orang yang mentausiiq adalah orang yang dipercaya
amanah dalam hal itu ( tautsiiq) , dan ini mirip dengan kasus berhujjah
dengan hadits mursal dari segi bahwa orang yang melakukan irsal
seandainya ia tidak berhujjah dengan rawi yang dihilangkan
penyebutannya tidak mungkin dia menghapus-namanya di dalam
sanad-. Seolah ia meta’dilnya . Dan penerimaan di kasus model seperti
ini adalah lebih aula , karena ibham tersebut telah terungkapkan
dengan lafadz yang sharih ( tidak samar ) : ‫ ( حدثني ثقة‬telah berkata
kepadaku tsiqah)310.
Dan yang rajih adalah pendapat yang pertama . Dan alasannya adalah
sebagai berikut :
1. Karena tautsiiq rawi terhadap syaiknya tidak melazimkan seperti itu
juga statusnya menurut lain311. Karena khabar mengenai tautsiiq
adalah sama seperti khabar mengenai tashiih, tahliil ( penghalalan)
dan tahriim ( pengharaman). Tidak menutup kemungkinan terjadi
perbedaan pendapat menurut ahli diyanah dan ahli inshaf312 dalam
perkara tersebut sebatas sampai mana ijtihad mereka memberhentikan.
2. Karena Imam tersebut bisa jadi bersendirian dalam mentsiqahkan
rawi yang yang telah disepakati kedha’ifannya313 karena ia tsiqah
menurut pendapat pribadinya.
3 Karena tindakan muhaddits menghilangkan menyebutkan nama
syaikh -menghasilkan- kesangsian yang berdampak keragu-raguan di
dalam hati314.
Dan termasuk dari kaidah-kaidah pada perkaraini adalah :

a. Rawi yang ditsiqahkan dengan ungkapan : ‫ ( حدثني ثقة‬telah berkata


kepadaku tsiqah) kadang diketahui dengan nash ( penegasan yang

310 Fathul Mughiits 1/308.


311 'Uluumul Hadits 224.
312 Tankiihul Andzaar 2/172.
313 Oleh para ulama.
314 Lihat 'Uluumul Hadits 224.

98
yang mementahkan tafsiran yang lain) atas ungkapan tersebut 315, atau
dengan istiqra dalam meneliti -kebiasaan- praktik penggunaan
ungkapan- imam tersebut . Jika ia tsiqah maka tautsiqnya di hak rawi
tersebut bisa dijadikan sandaran karena menyepakati tautsiiq para
imam yang lain.
Di antara contohnya adalah :

jika Imam As Syafi'iy berkata : ‫ ( حدثني ثقة عن اليث بن سعد‬telah


berkata kepadaku tsiqah dari Laits bin Sa’ed) maka tsiqah di sini
adalah Yahya bin Hassaan316 At Tininiisiy Al Bakriy317.
Jika derajatnya di bawah martabat tsiqah . Maka bersandar mengenai
ihwalnya dengan derajat yang layak disandangkan kepadanya.

Contohnya : Jika berkata Imam As Syafi'iy : ‫حدثني ثقة عن ابن جريج‬


( Telah berkata kepadaku tsiqah dari Ibnu Juraij), maka maksud beliau
dengan ungkapan tsiqah tersebut adalah Muslim bin Khalid Al
Makhzuumiy maulaahum318. Dan ia adalah shaduuq dan banyak
wahmnya319.

b. Ada perbedaan antara mubham dengan lafadz ‫ ( حدثني ثقة‬telah


berkata kepadaku tsiqah) dengan perkataan ‫ ( حدثني من ال اتهم‬telah
berkata kepadaku orang yang tidak aku curigai). Karena lafadz
ungkapan pertama ‫ حدثني ثقة‬jauh lebih tinggi penunjukan derajatnya
karena tegas di dalam tautsiiq , berbeda halnya dengan kalimat ‫حدثني‬
‫ من ال اتهم‬yang mana tidak memberikan faidah bahwa rawi tersebut
mencapai kedudukan tsiqah. Karena ketiadaan seorang rawi dari
tuduhan macam-macam tidak melazimkan tautsiiq baginya dari segi

315 Oleh yang mengatakannya.


316 Fathul Mughiits 1/310, Tadriibu Ar Raawiy 1/312.
317 Taqriibu At Tahdziib 589.
318 Fathul Mughiits 1/310, Tadriibu Ar Raawiy 1/312.
319 Taqriibu At Tahdziib 529.

99
dhabt . Dan maksimal ungkapan ini menunjukkan ternafikannya
tuduhan ,dan tidak sampai menjelaskan sisi kemutqinan320.
Semakin memperjelas masalah ini bahwa Abdullah bin Lahi’ah dan
Abdullah bin Ja’far bin Al Madiiniy dan Abdurrahman bin Ziyad Al
Afriqiy ,mereka semua adalah orang - orang dha'if di dalam hafalan
tidak bisa dijadikan hujjah ketika bersendirian namun mereka bukan
orang yang tertuduh321.
Adapun rawi majhuul ( tidak dikenal) , maka pandangan para ulama
perihal definisi( batasan) yang dimaksud dengan istilah tersebut ini
beragam pendapat . Dan yang maling masyhur :
1. Apa yang dihikayatkan Khatiib Al Bagdady :

‫ وال عرفه العلماء‬،‫املجهول عند أصحاب الحديث هو كل من لم يشتهر بطلب العلم في نفسه‬
ّ ْ
‫ ومن لم ُي ْعرف حديثه إال من جهة راو واحد‬،‫به‬

“ Majhuul menurut ahli hadits adalah setiap orang yang tidak masyhur
dengan mencari ilmu ( hadits ) pada dirinya ,ulama juga tidak
mengenalnya dengan itu, dan orang yang tidak dikenal haditsnya
kecuali dari jalur rawi seorang”322.
2. Perkataan Al Haafidz Ibnu Shalah :
ً
‫ب ه‬.‫أ ه مجهول العدالة من حيث الظاهر والباطن جميعا‬:‫املجهول ثالثة أقسام‬
‫ج ه مجهول العين‬.)‫ وهو (املستور‬،‫مجهول العدالة في الباطن دون الظاهر‬

“ Majhuul ( tidak dikenal) terbagi menjadi tiga :

320 Lihat fathul Mughiits 1/311, dan Tadriibu Ar Raawiy 1/311. Ibnu As Subukiy
telah merajihkan persamaan ungkapan : ‫ ” حدثني من ال اتهم‬Telah berkata kepadaku
orang yang tidak aku tuduh” jika keluar dari semisal As Syafi'iy di dalam
maqam Ihtijaj dengan ‫“حدثني الثقة‬Telah berkata kepadaku tsiqah” meskipun
tidak sama dari segi penunjukan bahasa. Lihat Tadriibu Ar Raawiy 1/312.
321 Fathul Mughiits 1/311.
322 Al Kifaayah Fi Ilmi Ar Riwaayah 149.

100
a. Majhuul 'adaalah ( ketaqwaan) baik ditinjau dari sisi dzahir dan
batin secara keseluruhan.
b. Majhuul 'adaalah ( ketaqwaan) ditinjau dari sisi batin bukan
dzahir , dan ia adalah mastuur.
c. Majhuul ( tidak dikenal) ‘ain”323.
3. Pendapat Al Haafidz Ibnu Hajar :
َّ
‫ب ل مجهول الحال‬.‫ من لم َي ْر ِو عنه غير واحد ولم ُيوث ْق‬:‫أ ل مجهول العين‬:‫املجهول قسمان‬
‫ من روى عنه اثنالن فأكثر ولمل ُي َّوثق‬:)‫(املستور‬

“Majhul terbagi menjadi dua:


a. Majhuul ‘ain : orang yang tidak ada yang meriwayatkan darinya
kecuali hanya seorang saja dan tidak mendapat tautsiiq.
b. Majhuul hal ( mastur ) yakni orang yang haditsnya diriwayatkan
dua orang atau lebih dan tidak mendapat tautsiiq 324.
Kesimpulannya adalah sebagai berikut:
1. Orang yang tidak masyhur dengan mencari ilmu (yakni: hadits )
pada dirinya dan tidak dikenal oleh ulama maka ia adalah majhuul.
Sebagaimana dihikayatkan oleh Khatiib , dan golongan ini terbagi
menjadi dua menurut Ibnu Shalah :
“ Orang yang tidak dikenal oleh ulama perihal 'adaalah ( ketaqwaan)
nya secara mutlaq , dan orang yang dikenal ‘adaalahnya secara dzahir
bukan batin “. Dan karena berserikatnya dua pembagian majhul ini di
sisi tidak diketahui 'adaalah ( ketaqwaan) nya secara batin , maka
Ibnu Hajar menyimpulkan menjadi satu macam : mastur (majhul
hal)325.

323 'Uluumul Hadits 225-226.


324 Nuzhatun Nadzaar halaman 50, Taqriibu At Tahdziib : 74.
325 Fathul Mughiits 1/324.

101
2. Orang yang tidak meriwayatkan hadits darinya kecuali hanya
seorang maka ia adalah majhuul ‘ain . Pembedaan yang disebutkan
dari majhuul ‘ain dan majhuul hal adalah madzhab jumhur dan itu
jelas karena ta'dil terhadap rawi tidak bisa dihasilkan sekedar dengan
karena ada yang meriwayatkan hadits darinya , bahkan harus ada
tautsiiq yang jelas .

Madzhab yang ke dua : yakni madzhab Ibnu Hibban di dalam kitab ِAt
Tsiqaat, berkata Ibnu Hibban :
َ
‫فكل من أذكره في هذا الكتاب األول فهو صدوق يجوز االحتجاج بخبره إذا ت َع َّرى‬
،‫ فههٍإذا ُو ِهج َد خه ٌهبر منكههر عن واحههد ممن أذكههره في كتههابي هههذا‬،‫خبره عن خصال خمس‬
‫ ه إمهها أن يكههون فههوق الشههيخ الههذي‬1:‫فٍإن ذلههك الخههبر ال ينفه ّهك من إحههدى خمس خصههال‬
‫ ه أو يكههون دونههه‬2.‫اإلسناد رجههل ضههعيف ال ُيحتج بخههبره‬ ِ ‫ذكرت اسمه في كتابي هذا في‬
ّ ً
‫ ه‬4 .‫الحجة‬ ‫ ه أو الخههبر يكههون مرسههال ال يلزمنهها بههه‬3 .‫رجل واه ال يجههوز االحتجههاج بروايته‬
ً
‫اإلسناد رجههل مههدلس لم يه ّهبين‬ ّ
ِ ‫ ه أو يكون في‬5 .‫أو يكون منقطعا ال يقوم بمثله الحجة‬
َ
‫ فكههل من ذكرتههه في كتههابي هههذا إذا ت َهع َّهرى خههبره‬...‫سههماعه في الخههبر َم ْن الههذي سههمعه منه‬
‫ ألن العههدل من لم‬،‫عن الخصال الخمس التي ذكرتها فهو عههدل يجههوز االحتجههاج بخههبره‬
‫ إذ‬،‫ فمن لم يعلم بجههرح فهههو عههدل إذا لم يته ّهبين ضهده‬،‫ُي ْعرف منه الجرح ضههد التعههديل‬
ُّ َّ َ
‫ وإنمه هها ك ِلفه ههوا الحكم بالظه ههاهر من‬،‫لم ُيكلف النه ههاس من النه ههاس معرفه ههة مه هها غه ههاب عنهم‬
ّ ‫األشياء غير‬
‫املغيب عنهم‬

“ Setiap yang aku sebutkan namanya di kitab ini: pertama , maka ia


adalah shaduuq yang boleh berhujjah dengan khabarnya jika
khabarnya kosong dari lima perkara, jika didapati khabar mungkar
dari satu di nama yang aku sebutkan di kitabku ini , maka itu tidak
lepas dari lima kemungkinan alasan:
1. bisajadi di atas syaikh yang kami sebutkan namanya di kitabku
tersebut adalah rawi dha'if yang tidak bisa dipakai hujjah dengan
khabarnya.

102
2. Bisajadi di bawahnya ada rawi wahi ( lemah) yang tidak boleh
berhujjah dengannya.
3. Atau khabar yang diriwayatkan olehnya adalah mursal tidak
mengharuskan kepada kita menggunakannya sebagai hujjah.
4. Atau munqathi326, yang semisalnya tidak bisa dibuat tegak hujjah.
5. Atau di dalam isnadnya ada rawi mudallis yang tidak menjelaskan
sama’ (mendengar) di dalam khabar tersebut: siapa orang yang ia
dengar hadits darinya... Setiap yang aku sebutkan di dalam kitabku ini
jika kosong khabarnya dari lima hal yang telah aku sebutkan tadi
maka ia adalah ‘adil boleh berhujjah dengannya. Karena ‘adil adalah
orang yang tidak dikenal terdapat padanya jarh -kebalikan – ta'dil. Jadi
orang yang tidak diketahui terjarh maka ia adalah ‘adil jika tidak
nampak jelas kebalikannya. Karena orang tidak ditaklif (dibebani)
mengetahui yang tidak tampak di pamndangan mereka dari jati diri
manusia -yang lain-. Mereka hanya dibebani menghukumi secara
dzahir perkara bukannya yang tidak tampak”327.
Dua perkara yang pertama memberikan faidah bahwa orang yang
terjarh tidak bisa dijadikan hujjah khabarnya , bahkan itu merupakan
sebab dha'if suatu khabar. Adapun yang ke tiga sampai yang terakhir
maka memberikan faidah bahwa orang yang dilepaskan (dibuang
penyebutannya) dari sanad secara irsal, atau inqitha ataupun tadlis
maka tidak dibawa perkaranya kepada tautsiiq , seandainya
terhasilkan tautsiiq tentu akan sempurna berhujjah dengan khabar -
padahal- terputus (silsilah rawi di) sanadnya karena irsal, ataupun
munqathi’,ataupun kemungkinan munqathi’ dengan sebab tadlis
padahal tidak diketahui siapa yang dibuang dari sanad tersebut.
Dan tidak ada yang tersisa jika demikian selain kecuali orang yang
disebutkan di silsilah sanad tersebut namun tidak dikenal ada riwayat
jarh disematkan padanya. Dan orang dengan keadaan seperti ini
adalah ‘adil menurut madzhab Ibnu Hibban ,sampai jelas-jelas
326 Sanadnya terputus.
327 At Tsiqaat 1/11-13.

103
diterangkan jarh atasnya, dengan syarat syaikh dan juga muridnya
adalah tsiqah328.
“ Adapun orang - orang majhuul yang tidak meriwayatkan darinya
kecuali rawi-rawi yang dha'if maka mereka adalah ditinggalkan pada
seluruh keadaannya”329.
Al Haafidz Ibnu Hajar telah mengkritik madzhab ini dengan berkata:

‫وهذا الذي ذهب إليه ابن حبان من أن الرجل إذا انتفت جهالة عينه كان على‬
‫ وهههذا هههو مسههلك‬.‫ و الجمهههور على خالفه‬،‫العدالههة إلى أن يته ّهبين جرحههه مههذهب عجيب‬
َّ ‫ فٍإنههه يههذكر َخ ْلقه ًها ممن َن‬،‫ابن حبههان في كتههاب (الثقههات) الههذي ّألفههه‬
‫ص عليهم أبههو حههاتم‬
‫ وكههأن عنههد ابن حبههان أن جهالههة العين ترتفههع بروايههة واحههد‬.‫وغههيره أنهم مجهولههون‬
‫ و لكن جهالة حاله باقية عند غيره‬، ‫ و هو مذهب شيخه ابن خزيمة‬، ‫مشهور‬

“ Pendapat yang dinyatakan Ibnu Hibban tersebut bahwa seseorang


jika tertiadakan darinya jahaalah ‘ain maka ia di atas 'adaalah
( ketaqwaan) sampai benar-benar terjelaskan jarhnya adalah madzhab
yang aneh dan jumhur menyelisihinya. Ini adalah metode tempuh
yang dilalui Ibnu Hibban di dalam kitabnya At Tsiqaat yang ia susun.
Karena ia menyebutkan beberapa orang yang telah dinashkan oleh
Abu Hatim dan yang lainnya bahwa mereka adalah majhuul ( tidak
dikenal) . Seolah menurut Ibnu Hibban jahaalah ‘ain bisa terangkat
dengan sekedar meriwayatkan hadits darinya seorang yang masyhuur,
dan itu merupakan madzhab syaiknya Ibnu Khuzaimah, hanya saja
jahalah hal pada rawi tersebut masih ada menurut selainnya”330.
Paparan Al Haafidz Ibnu Hajar yang diurai tadi menjelaskan batas
perbedaan antara perkataan Ibnu Hibban dan jumhur. Ibnu Hibban
328 Memperjelas masalah ini ketika Ibnu Hibban menyebutkan Ayub Al Anshariy di
At Tsiqaat 6/60 ia berkata :
“ Ia telah meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair , meriwayatkan darinya Mahdiy bin
Maimun . Aku tidak tahu siapa dia ? Anak siapa dia?”. Lihat fathul Mughiits
1/316.
329 Lisaanul Miizan 1/14.
330 Rujukan sebelumnya 1/14.

104
berpandangan bahwa jahaalah ‘ain bisa terangkat dari seorang syaikh
dengan sebab meriwayatkan darinya seorang rawi masyhur, dengan itu
maka sacara asal pada hak syaikh tersebut adalah ‘adil selama tidak
diketahui padanya jarh. Sedangkan jumhur berada di atas pendapat
bahwa bersendiriannya seorang rawi dalam meriwayatkan -hadits -
dari syaikh akan mengangkat status majhul ‘ain. Dan bahwa
periwayatan -hadits– yang dilakukan dua orang atau lebih
memberikan faidah pengenalan -dan- bukan ta'dil. Oleh karena itu ia
tetap di atas status majhuul hal sampai ia ditautsiq . Berkata Khatiib
Al Bagdady :
ً
‫وأقل ما ترتفع به الجهالة أن يروي عن الرجل اثنان فصاعدا من املشهورين بالعلم‬
ّ
‫ إال أنه ال يثبت له حكم العدالة بروايتهما عنه‬...‫كذلك‬

“ Paling minimal standar kriteria yang bisa mengangkat kemajhulan


seseorang adalah meriwayatkan darinya dua orang atau lebih dari
kalangan orang - orang yang masyhur dengan ilmu ...hanya saja tidak
tetap hukum adil disematkan padanya dengan sekedar meriwayatkan
darinya dua rawi -masyhur – tadi”331.
Mempertimbangkan betapa meluasnya efek pengaplikasian kaidah
tautsiiq yang ditempuh Ibnu Hibban di kitabnya At Tsiqaat tadi, maka
masyhurlah ia dengan tasaahul di dalam mentautsiiq rawi-rawi. Hanya
saja hal itu tidak secara mutlak. Bahkan Syaikh Abdurrahman bin
Yahya Al Mu’allimiy berkata :
ً َ ‫ أن ُي‬:‫ األولى‬:‫التحقيق أن توثيقه على درجات‬
‫ (كان متقنا) أو (مستقيم‬:‫ص ِّرح به كأن يقول‬
َ
.‫ أن يكون الرجل من شيوخه الذين جالسهم وخ َب َرهم‬:‫ الثانية‬.‫ أو نحو ذلك‬.... )‫الحديث‬
َ
‫ بحيث ُي ْعلم أن ابن حبه ههان وقه ههف له ههه‬،‫ أن يكه ههون من املعه ههروفين بك ههثرة الح ههديث‬:‫الثالثة‬
‫ أن يظهه ههر من سه ههياق كالمه ههه أنه ههه قه ههد عه ههرف ذله ههك الرجه ههل‬:‫ الرابعة‬.‫على أحه ههاديث كثه ههيرة‬
َ
‫ ب ههل‬،‫ ف ههاألولى ال ت ِ هق ُّل عن توثي ههق غ ههيره من األئم ههة‬.‫ م هها دون ذلك‬:‫ الخامسة‬.‫معرف ههة جي ههدة‬

331 Al Kifayah 150.

105
،‫ والرابعههة صهالحة‬،‫ والثالثههة مقبولههة‬،‫ والثانيههة قهريب منههها‬،‫لعلهها أثبت من توثيهق كثههير منهم‬
ْ
‫والخامسة ال ُيؤ َم ُن فيها الخلل‬

“Dan tahqiq yang sebenarnya bahwa tautsiqnya terdapat beberapa


tingkatan : Pertama, ia menegaskan dengan tashrih seperti berkata :
‫ ( كان متقنا‬ia mutqin) atau ‫ ( مستقيم الحديث‬haditsnya mustaqim)...dan
yang semisal itu. Kedua, rawi-rawi tersebut adalah sederetan dari
syaikh-syaikhnya yang ia duduk di majlisnya dan ia mengetahui jati
dirinya. Ketiga, orang-orang yang dikenal dengan banyaknya
meriwayatkan hadits, yang mana diketahui bahwa Ibnu Hibban
banyak menyebutkan hadits -hadits yang banyak miliknya. Empat,
tampak dari alur perkataannya bahwa ia kenal dengan rawi tersebut
dengan secara baik. Lima , derajat di bawah itu semua. Tingkatan
tautsiiq pertama tidak bisa – dinilai- remeh – i'tibarnya – dibanding
tautsiiq yang lain dari kalangan Imam. Bahkan barangkali tautsiiq
tersebut adalah yang paling tsabit dibandingkan tautsiiq kebanyakan
mereka. Sedangkan yang kedua mendekati, ketiga maqbuul, keempat
shaalih dan, kelima tidak aman dari pencacatan”332.
Apa yang beliau rahimahullah sebutkan di dua tingkatan pertama dan
kedua adalah begitu jelas. Yang mana tuntutan tautsiiq pada kedua
tingkatan tadi bukan merupakan hasil dari kaidah “ ‘adil adalah orang
yang tidak dikenal padanya ada jarh”, bahkan karena tahu benar
perihal keadaan rawi-rawi.
Sedangkan dua tingkatan ( ketiga dan keempat) maka keputusan
mengikuti tuntutan tautsiiq -beliau terhadap- rawi-rawi - di At
Tsiqaat- butuh kepada tatsabbut dan peninjauan ulang di dalam
memastikan per masing-masing rawi .
Adapun yang ke lima maka di tingkatan tersebutlah titik letak tasaahul
-beliau – sebagaimana ditunjukkan beliau dengan perkataan : “Tidak
aman dari kekeliruan ”333.
332 At Tankiil 1/438-438
333 At Tankiil 1/438-438.

106
Ini semua adalah ditinjau dari mentautsiiq rawi majhuul ( tidak
dikenal) maupun atau tidak.
Adapun dari sisi berhujjah dengannya , maka madzhab Ibnu Hibban
adalah menerima riwayat rawi majhuul ( tidak dikenal) dan berhujjah
dengannya jika tidak diketahui pada – rawi-rawi- nya jarh, dan -
dengan catatan- syaikh dan murid yang meriwayatkan hadits darinya
keduanya tsiqah dan haditsnya tidak berstatus mungkar. Ini adalah
kesimpulan rincian beliau yang tadi telah diurai334.
Sedangkan jumhur, mereka membedakan antara majhuul ‘ain dan
majhuul hal sebagai berikut:
Pertama majhuul ‘ain. Perihal penerimaan riwayatnya ada beberapa
madzhab yaitu:
a. Madzhab kebanyakan ( jumhur) : menolak riwayat majhuul 'ain
secara mutlak335. Berkata Al Haafidz Ibnu Katsiir :

‫ فهذا ممن ال يقبل‬،‫فأما املبهم الذي لم يسم اسمه أو من ُس ِّم َي وال تعرف عينه‬
‫روايته أحد علمناه‬

“ Adapun -rawi- mubham yang tidak disebutkan namanya atau yang


disebut namanya hanya tidak diketahui perihal identitasnya maka rawi
seperti ini adalah diantara yang tidak diterima riwayatnya oleh
siapapun yang kami ketahui”336.
Alasannya : karena rawi yang tidak diketahui identitasnya tentu mim
babil aula ( lebih tidak mungkin lagi) bisa diketahui keadaannya dari
sisi 'adaalah ( ketaqwaan) dan dhabt .
b. Pendapat yang kedua: menerima riwayatnya jika rawi yang
bersendirian meriwayatkan darinya mensyaratkan tidak meriwayatkan
kecuali dari orang yang ‘adil seperti Abdurrahman bin Mahdiy337.

334 Fathul Mughiits 1/315-316.


335 Lihat sumber sebelumnya 1/319.
336 Ikhtishar Uluumil Hadits 81, dan lihat lengkap perkataannya di halaman 87.
337 Fathul Mughiits 1/316.

107
Mungkin alasannya : karena di memberlakukan secara lazim -
ketentuan persyaratan periwayatan seperti- tersebut338 merupakan
tautsiiq secara dhimniy 339 atas rawi -yang ia meriwayatkan hadits
dari-nya.
c. Perkataan Ibnu 'Abdil Barr :
ً
‫ فٍإن اشتهر‬،‫قبول روايته إن كان مشهورا كأن يشتهر بالزهد أو النجدة أو الكرم‬
‫بالعلم فقبوله من باب أولى‬

“ diterima riwayatnya jika statusnya kenamaan( masyhur),seperti


masyhur dengan kezuhudan, kedermaan, dan kemuliaan akhlak. Dan
jika ia masyhur dengan ilmu maka penerimaan riwayatnya mim baabil
aula ( lebih pantas lagi)340.
Berkata Ibnu Shalah :
ّ ً
‫ كل من لم يرو عنه إال رجل‬:‫ي ِو َج َادة قال‬/‫بلغني عن أبي عمر بن عبد البر األندلس‬
ً ً ّ
‫ كاشه ههتهار‬،‫واحه ههد فهه ههو عنه ههدهم مجهه ههول إال أن يكه ههون رجال مشه هههورا في غه ههير حمه ههل العلم‬
‫ وعمرو بن معدي كرب بالنجدة‬،‫مالك بن دينار بالزهد‬

“Telah sampai kepadaku berita dari Abu 'Amr bin Abdul Barr Al
Andalusiy secara wijadah, ia berkata : setiap orang yang tidak
meriwayatkan darinya kecuali rawi seorang maka menurut mereka
adalah majhuul ( tidak dikenal) kecuali seseorang yang masyhuur
dengan selain membawa ilmu ,seperti masyhurnya Malik bin Dinar
dengan kezuhudan, dan 'Amr bin Ma’dikarib dengan kedermaan”341.
Dan kemungkinan alasannya adalah: karena orang yang masyhur
dengan sifat-sifat tersebut jarang sekali samar keadaannya , dan
kesendirian rawi meriwayatkan darinya pada kondisi seperti itu
tidaklah riskan.

338 Maksudnya tidak meriwayatkan kecuali dari orang tsiqah .


339 kesimpulan konsekuensi pensyaratan yang ditetapkan oleh rawi tadi.
340 Fathul Mughiits 1/316.
341 'Uluumul Hadits 1/496.

108
d. Pilihan Abu Al Hasan 'Ali bin Abdullah bin Al Qatthan : diterima
haditsnya -meskipun hanya rawi seorang yang meriwayatkan darinya-
jika ditazkiyah satu dari kalangan para imam jarh wat ta'dil342 .
Dan Al Haafidz Ibnu Hajar telah memilih pendapat ini dan ia
menambahkan : -juga- diterima riwayat majhuul 'ain jika ditautsiq
oleh orang yang bersendirian meriwayatkan darinya jika ia memang
ahli untuk itu343.
Dan yag rajih adalah pendapat pertama . Dan ini tidak berbenturan
dengan pendapat yang ke empat bahkan ia ditarik ke pendapat
pertama. Karena terhasilkannya tautsiiq bagi rawi dari imam yang
mu'tabar akan mengangkat jahaalah secara mutlak.
Kedua majhuul hal. Perihal penerimaan riwayatnya ada beberapa
madzhab yaitu:
a. Madzhab kebanyakan ( Jumhur ) menolak riwayat majhuul hal 344.
Dan sisi alasannya adalah karena riwayat dua orang rawi atau lebih
dari seorang syaikh adalah sebatas megenalkan bukan tautsiiq , oleh
karena itu tautsiiqnya masih belum diketahui.
b. Pendapat yang kedua dinisbahkan kepada sebagian ahli hadits
seperti Al Bazzar dan Ad Daruquthny : yakni diterima riwayatnya 345 .
As Sakhawiy telah menukilkan dari Ad Daruquthny bahwa ia berkata :

‫َم ْن روى عنه ثقتان فقد ارتفعت جهالته وثبتت عدالته‬

342 Lihat Nuzhatun Nadzaar 50, dan fathul Mughiits 1/318. Dan di antara
contohnya : Asfa’ bin Asla’ yang meriwayatkan dari Samurah bin Jundab .
Berkata Ad Dzahaby :
“ Aku tidak mengetahui meriwayatkan darinya selain Suwaid bin Hujair Al Bahiliy ,
meskipun begitu ia distiqahkan Ibnu Ma'iin karena tidak setiap rawi yang tidak
dikenal adalah tidak hujjah. Akan tetapi ini adalah ashl”, Miizaanul I'tidal
1/211.
343 Nuzhatun Nadzaar 50.
344 Nuzhatun Nadzaar halaman 50.
345 Fathul Mughiits 1/320.

109
“ Siapa yang meriwayatkan darinya dua orang tsiqah maka
terangkatlah jahaalahnya dan tetaplah 'adaalah ( ketaqwaan) nya”346.
Bisa jadi ini yang diisyaratkan Ad Dzahaby ketika menggolongkan Al
Haafidz Ad Daruquthny masuk dalam kategori rawi-rawi mutasaahilin
meskipun ia memberikan taqyiid dengan perkataannya dengan
perkatannya:

‫في بعض األوقات‬

“ di sebagian waktu”347.
c. Pendapat Imam Haramain Abu Al Ma’aaliy Abdul Malik bin
Abdullah Al Juwainiy:
ْ ُ
،‫ال نط ِل ُق رد رواية املستور وال قبولها بل ُيقال رواية العدل مقبولة ورواية الفاسق مردودة‬
‫يء فههروى لنها‬/‫ و لهو كنهها على اعتقه ٍهاد في حه ّهل شه‬.‫و روايههة املسههتور موقوفههة إلى اسهتبانة حالته‬
‫ فالههذي أراه وجههوب االنكفههاف ّه‬، ‫مسههتور تحريمههه‬
‫عما كنهها نسههتحله إلى اسههتتمام البحث عن‬
..‫حال الراوي‬

“ Kami tidak memutlakkan riwayat rawi mastur tertolak atau diterima,


bahkan dikatakan : bahwa riwayat ‘adil adalah diterima dan riwayat
fasiq ditolak dan riwayat mastur adalah didiamkan sampai ditemukan
kejelasan keadaannya . Seandainya kami di atas keyakinan halalnya
sesuatu , di sisi lain seorang yang mastur meriwayatkan kepada kita
khabar perihal keharamannya , maka yang kami pandang adalah wajib
menahan diri dari melakukan apa yang telah kami halalkan sampai
sempurna pembahasan ihwal si rawi tersebut ...“348.
Al Haafidz Ibnu Hajar memilih pendapat tawaqquf sebagaimana
pendapat ini , ia berkata :

346 Fathul Mughiits 1/320.


347 Sudah lewat di pembahasan sebelumnya.
348 Al Burhan 1/615.

110
ّ ‫والتحقيه ههق أن روايه ههة املسه ههتور ونحه ههوه ممه هها فيه ههه االحتمه ههال ال ُي ْط َهل ه ُهق القه ههول‬
‫بردهه هها وال‬
‫كما جزم به إمام الحرمين‬،‫بقبولها بل هي موقوفة إلى استبانة حاله‬

“ Dan tahqiqnya : bahwa riwayat mastur dan sejenisnya yang mana


mengandung kemungkinan349 tidak bisa dimutlakkan secara pasti
ditolak tidak juga diterima bahkan statusnya mauquf sampai
menemukan kejelasan ihwal keadaannya350 sebagaimana ditegaskan
oleh Imam Haramain”351.

Apakah Riwayat Majhuul Terkuatkan Dengan


Mutaaba’ah
Berkata Al Haafidz Ad Daruquthny :

‫ و إنما يثبت‬،‫يحتجونه بخبر ينفرد بروايتهه رجله غير معروف‬ ‫ّه‬ ‫وأهله الهعلمه بالحديث ال‬
ً
، ‫ أو رجل قد ارتفهعه اسهمه الجهالههة عنههه‬، ‫العلهم عندهمه إذا كانه راويهه عدال مشهورا‬
ً
‫ فههٍإذا كههان هههذه صههفتهه‬، ‫هاعدا‬
‫و ارتفاع اسمه الجهالههة عنههه أن يههروي عنههه رجالن فصه ه‬
ّ ً
‫ فأمهها من لمه يههرو عنههه إال رجهله واحههد‬،‫ارتفههع عنههه اسهمه الجهالهةه وصههار حينئههذ معروفهها‬
ّ
‫انفرد بخبره وجب التهوق ف عن خبره ذلك حتى يوافقهه غيره‬

“Ahli ilmu dalam perkara hadits mereka tidak berhujjah dengan


khabar yang bersendirian diriwayatkan oleh seorang rawi yang tidak
ma’ruf ( dikenal). Menurut mereka, faidah ilmu 352adalah jika rawinya
‘adil dan masyhuur, atau rawi yang terangkat jahalah dari dirinya. Dan
terangkatnya jahaalah adalah dengan diriwayatkan riwayatnya oleh
dua orang rawi atau lebih. Jika keadaannya seperti demikian sifatnya
maka terangkatlah jahaalah pada dirinya, dan beralih menjadi ma’ruf.
349 Dha'if atau tsiqah.
350 Nuzhatun Nadzaar halaman 50.
351 Perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar bisa jadi maksudnya menyepakati perkataan
imam Haramain di dalam pengaruh tawaqquf tersebut atau mengandung
kemungkinan sisi maksud lain yakni tawaqquf yang haqiqatnya adalah jenis dari
radd ( menolak) yang mana mengkonsekuensikan tidak mengamalkan riwayat
tersebut meskipun tidak menghukumi tertolak.
352 Pada sebuah khabar.

111
Adapun orang yang tidak meriwayatkan darinya kecuali seorang rawi
saja yang bersendirian dalam suatu khabar, maka wajib tawaquf dari
menerima khabarnya tersebut sampai berbetulan dengan yang lain”353.
Yang difahami dari perkataan ini disimpulkan bahwa riwayat rawi
majhuul ‘ain bisa terkuatkan dengan mutaaba’ah. Tetapi tidak begitu
jelas penegasannya ihwal terhasilkannya kekuatan dengan mutaaba’ah
rawi majhuul semisalnya atau rawi dha'if yang tidak matruuk.
Dan Al Haafidz Ibnu Hajar hanya membatasi secara khusus pada
riwayat mastuur – majhuul hal – dalam penyebutan di antara yang bisa
terkuatkan dengan riwayat-riwayat yang dha'if dan bukan riwayat rawi
majhuul ‘ain 354.

Di Antara Kaidah Berkaitan Dengan Pembahasan


Jahaalah

1. Perbedaan di dalam penerimaan riwayat majhuul hanya pada rawi


yang selain sahabat radhiallaahu 'anhum . Adapun sahabat, maka
kemajhuulan mereka tidaklah mencederai ( menyebabkan cacat pada
riwayatnya) karena mereka adalah orang - orang adil dengan
rekomendasi ta'dil Allah atas mereka355.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
ُ َ ْ ُ
‫ وإن غ ِلطوا كما‬،‫فب َساطهم َمطو ٌّي وإن جرى ما جرى‬ ِ ‫ي هللا عنهم ه‬/‫فأما الصحابة ه رض‬
ً َ
‫ إذ‬،‫ لكنههه غلهط نهادر ال يضهر أبهدا‬،‫غلط غيرهم من الثقات فما يكهاد يسهلم أحهد من الغلهط‬
‫على عدالتهم وقبول ما نقلوه العمل وبه ندين هللا تعالى‬

“ Adapun shahabat radhiallaahu 'anhum maka tikar mereka terhampar


meskipun terjadi pada mereka sesuatu yang terjadi meskipun mereka
melakukan kesalahan sebagaimana dilakukan selainnya dari kalangan
353 As Sunan 3/ 173.
354 Nuzhatun Nadzaar halaman 51-52.
355 'Uluumul Hadits halaman 142.

112
tsiqah karena hampir tidak ada yang selamat seorangpun dari
kekeliruan, tetapi itu jarang dan tidak mencacat selamanya . Karena di
atas 'adaalah ( ketaqwaan), dan penerimaan terhadap apa yang telah
mereka nukilkan-lah amalan berporos dan dengannya kita beragama
untuk Allah ta'aala”356.
2. Riwayat majhuul bertingkat-tingkat, penjelasannya adalah sebagai
berikut:
a. perkataan Al Haafidz Ad Dzahaby :
ُْ
‫احت ِم َل‬ ‫ فٍإن كان الرجل من كبار التابعين أو أوساطهم‬:‫وأما املجهولون من الرواة‬
ّ ُُ
‫ و إن‬. ‫حديثههه و تل ِق َي بحسههن الظن إذا سههلم من مخالفههة األصههول و من ركاكههة األلفههاظ‬
‫ و يختل ههف ذل ههك ب ههاختالف‬، ‫ك ههان الرج ههل منهم من ص ههغار الت ههابعين فس ههائغ رواي ههة خ ههبره‬
ّ
‫ وإن كه ههان املجهه ههول من أتبه ههاع الته ههابعين فمن‬.‫وتحريه ههه وعه ههدم ذلك‬ ‫جالله ههة اله ههراوي عنه ههه‬
‫ فهو أضعف لخبره سيما إذا انفرد به‬،‫بعدهم‬

“ Adapun rawi-rawi yang majhuul : jika mereka di kalangan taabiin


kabir ( kubbarut taabi’iin ) atau pertengahan maka haditsnya
muhtamal dan disikapi dengan husnudzan jika selamat dari
penyelisihan terhadap ushul atau dari ketidak fasihan lafadz....”.
Seandainya seorang rawi di antara mereka ( majhuulin) adalah dari
kalangan shighar tabi’in maka boleh menerima riwayat -khabar-nya.
Dan hal itu berbeda-beda tergantung dengan situasi perbedaan kadar
kemuliaan rawi yang meriwayatkan darinya dan juga kehati-
hatiannya- dalam meriwayatkan -ataupun sebaliknya.
Jika rawi majhuul adalah dari kalangan taabi’ut taabi’iin dan orang -
orang yang setelahnya maka ia lebih lemah terhadap khabarnya
terlebih lagi jika bersendirian dalam meriwayatkan 357.

356 Ma’rifatu Ar Ruwat Al Mutakallamu Fihim Bima Laa Yujib Ar Rad Halaman
46.
357 Tahqiq Kitab ( Al Mughniy fi Ad Dhu’afa’ )1/ kaf- lam. Dan Diwanu Ad
Dhu’afa wa Al Matruukiin 374.

113
Dan juga perkataannya :

‫ فٍإن جهل عينه وحاله فأولى أن ال‬،‫ (مجهول) ال يلزم منه جهالة عينه‬:‫وقولهم‬
‫وإن كههان املنفههرد عنههه من كبههار األثبههات فههأقوى لحالههه ويحتج بمثلههه جماعههة‬.‫يحتجههوا به‬
‫كالنسائي وابن حبان‬

“ Dan perkataan mereka “ majhuul” tidak melazimkan ia majhuul


'ain ,dan jika 'ainnya tidak diketahui dan juga haal nya maka lebih
pantas lagi untuk tidak dijadikan hujjah.
Dan jika orang yang bersendirian meriwayatkan darinya adalah di
antara kalangan pembesar penyandang predikat “tsabt” maka akan
menguatkan keadaannya dan semisal rawi dengan status tersebut
dijadikan hujjah oleh sebagian jamaa’ah seperti An Nasaa'i dan Ibnu
Hibban “358.
b. Perkataan Al Haafidz Ibnu Katsiir :

‫ فهذا ممن ال يقبل روايته‬،‫ أو من ُس ِم َّي و ال تعرف عينه‬،‫فأما املبهم الذي لم يسم‬
‫ فٍإن ههه‬،‫ ولكن ههه إذا ك ههان في عص ههر الت ههابعين والق ههرون املش هههود لهم ب ههالخير‬، ‫أح ههد علمن ههاه‬
‫اإلمههام أحمههد وغههيره‬ ُ ُ
ِ ‫ و قههد وقههع في مسههند‬، ‫ و ي ستضههاء بههها في مههواطن‬،‫يسههتأنس بروايتههه‬
‫من هذا القبيل كثير‬

“ Adapun rawi mubham yang tidak disebutkan namanya, atau


disebutkan namanya tapi tidak diketahui identitasnya, maka seperti
ini tidak ada satupun -dari kalangan ulama- yang kami kenal
menerima riwayatnya. Namun jika berada di generasi tabi’iin dan
abad-abad yang dipersaksikan dengan kebaikan maka bisa diharap
disambut riwayat mereka, dijadikan penerang di beberapa bidang
ilmu. Dan telah tercantum di musnad Ahmad dan yang lainnya model
seperti ini banyak sekali“359.

358 Al Mauqidzah 79.


359 Ikhtishar Uluumil Hadits 81.

114
3. Rawi-rawi yang dijadikan hujjah oleh pemilik shahiihain 360 atau
satu dari keduanya mereka memperoleh tautsiiq secara dhimniy
dengan itu. Dan menjadi terangkat pada mereka kemajhulan
meskipun tidak ada seorang -pun yang mengnashkan tautsiiq , dan itu
bisa dijelaskan dengan berikut ini:
a. Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby setelah menukilkan perkataan Ibnu
Al Qatthan ihwal Hafsh bin Bughail :

‫ال يعرف له حال وال يعرف‬

“ Tidak diketahui ihwal keadaannya dan identitasnya”:


ّ
ّ ‫القطان يتكلم في‬
‫كل من لم يقل فيه إمام عاصر ذاك الرجل أو أخذ عمن‬ ‫ابن‬
‫ ففي الصههحيحين من هههذا النمههط خلههق‬،‫يء كثههير‬/‫عاصههره مهها يههدل على عدالتههه وهههذا شهه‬
‫ضعفهم أحد وال هم بمجاهيل‬ ّ ‫كثير مستورون ما‬

“ ... Ibnu Al Qatthan berbicara mengomentari seluruh orang yang tidak


dikomentari oleh imam yang hidup sezaman dengan rawi tersebut
ataupun yang mengambil dari orang yang sezaman dengannya
berkaitan sesuatu yang menunjukkan ke’adalahannya, dan ini adalah
banyak. Dan di shahiihain rawi seperti ini banyak sekali: mastuur
mereka tidak didha'ifkan siapapun tapi mereka bukan orang - orang
majhuul ( tidak dikenal) “361.
Dan juga perkatannya setelah menukilkan perkataan Ibnu Al Qatthan
ketika membicarakan Malik bin Al Khair :

‫هو ممن لم تثبت عدالته‬

“ Dia adalah di antara rawi yang tidak tsabit ke’adaalahnnya “:


ً ّ ّ ‫يريد أنه ما‬
‫ وفي رواة الصحيحين عدد كثير ما علمنا أن أحدا‬،‫نص أحد على أنه ثقة‬
ّ
.‫نص على توثيقهم‬

360 Al Bukhaary dan Muslim .


361 Miizaanul I'tidal 1/556.

115
“ Maksudnya tidak ada seorangpun yang mengnashkan bahwa ia
adalah tsiqah, dan di rawi-rawi shahiihain ada jumlah yang banyak
yang mana kami tidak mengetahui ada seorang mangnashkan tautsiiq
untuk mereka ”362.
Al Haafidz Ad Dzahaby menginginkan berhujjah membantah Ibnu Al
Qatthan dengan rawi-rawi yang berada di shahiihain dari mereka para
rawi , dan menegaskan secara jelas terhasilkannya tautsiiq dengan itu
pada perkataannya : tsiqah adalah orang yang ditsiqahkan banyak
ulama dan tidak didha'ifkan . Dan tingkat di bawahnya: orang yang
tidak ditsiqahkan dan tidak pula didha'ifkan jika dikeluarkan hadits
orang tersebut di shahiihain maka ia mendapatkan tautsiiq dengan
itu”363.
b. Perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar :
ْ ُ
‫فأما جهالة الحال فمندفعة عن جميع من أخ ِر َج لهم في الصحيح؛ ألن شرط‬
ً ً
‫ فمن زعم أن أح ههدا منهم مجه ههول فكأن ههه‬،‫الص ههحيح أن يك ههون راوي ههه معروف هها بالعدال ههة‬
َّ ‫ وال شههك أن‬.‫نههازع املصه ّهنف في دعههواه أنههه معههروف‬
‫املدعي ملعرفتههه مقه ّهدم على من يههدعي‬
ً
‫ ومع ذلك فال تجد في رجال الصههحيح أحههدا‬.‫عدم معرفته ملا مع املثبت من زيادة العلم‬
‫ممن يسوغ إطالق اسم الجهالة عليه أصال‬

“ Adapun jahaalah terhadap hal rawi maka tertolak di haknya seluruh


rawi yang dikeluarkan di dalam shahiih . Karena pensyaratan shahiih :
dikenal rawinya dengan 'adaalah ( ketaqwaan) . Siapa yang mengira
ada seorang rawi dari mereka berstatus majhuul maka seolah ia
membantah penyusun (buku shahiih ) di dalam klaimnya bahwa ia
adalah ma’ruf ( dikenal bukan majhuul). Dan tidak ada keraguan lagi
bahwa orang yang menetapkan klaim mengenal indentitas – rawi –
adalah lebih didahulukan dari pada yang mengeklaim tidak
mengenalnya ,karena bersama orang yang menetapkan ada tambahan
ilmu ( ziyaadatu ‘ilmin) . Dan meskipun demikian engkau tidak akan

362 Miizaanul I'tidal 3/426.


363 Al Mauqidzah 78.

116
jumpai di rawi-rawi shahiih satupun dari kelompok rawi-rawi yang
layak dimutlakkan nama majhuul atasnya secara asal364.
4. Penetapan vonis sebagian imam dengan majhuul atas seorang rawi
tidaklah lazim kemudian ia adalah majhuul , karena kadang statusnya
diketahui -imam-lain dan ia mentsiqahkannya. Dan di antara contoh-
contohnya adalah sebagai berikut:
a. Abdullah bin Al Waliid bin Abdullah Al Muzaniy , ia ditsiqahkan
oleh Ibnu Ma'iin seraya dikomentari:

‫كان من خيار املسلمين‬

“ Adalah ia termasuk dari terbaik kalangan kaum muslimin”365.


Dan juga ditsiqahkan An Nasaa'i 366, dan berkata Abu Hatim :

‫صالح الحديث‬

“ Shaalih haditsnya”367, dan berkata 'Ali bin Al Madiny :

‫مجهوله ال أعرفهه‬

“Majhuul aku tidak mengenalnya”368 .


Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
ّ
‫قد عرفهه جماعهة ووثقوه فالهعبرة بهم‬

“ Ia telah dikenal oleh jama’ah dan mereka mantsiqahkannya dan


ibrah adalah pada mereka”369.

364 Hadyu As Saariy 384.


365 Lihat Ma'rifatu Ar Rijaal ( riwayat dari Muhriz dari Ibnu Ma'iin )1/452.
366 Tahdziibu Al Kamaal -makhthuth- 2/ 752.
367 Al Jarh wat Ta'diil 5/187.
368 Tahdziibu Al Kamaal -makhthuth- 2/752.
369 Miizaanul I'tidal 2/521.

117
b. Al Hakam bin Abdullah Al Bashriy , Abu Hatim berkata mengenai
rawi ini : ‫ “مجهول‬Majhuul”370, berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
ُّ ّ
‫ليس بمجهول من روى عنه أربعة ثقات ووثقه الذ ْهلي‬

“ Ia bukan majhuul , yang meriwayatkan darinya ada empat orang


tsiqah dan ia ditsiqahkan Ad Dzuhliy”371.
c. Abbas bin Al Husain Al Qinthariy berkata mengenainya Abu
Hatim : ‫“مجهول‬Majhuul “372.

Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :

‫الحمال والحسن‬َّ ‫ى ابن هارون‬/‫إن أراد (جهالة) العين فقد روى عنه البخاري وموس‬
ّ
‫ وإن أراد (جهالة) الح ههال فقه ههد وثقه ههه عب ههد هللا بن أحم ههد بن‬.‫بن علي املعمه ههري وغ ههيرهم‬
‫ فذكره بخير‬.‫ سألت أبي عنه‬:‫حنبل قال‬

“ jika yang ia inginkan adalah 'ain identitasnya , maka sungguh Al


Bukhaary telah meriwayatkan darinya, dan Musa bin Harun Al
Hammal dan Al Hasan bin 'Ali Al Ma’mariy dan selain mereka .
Namun jika yang ia maksudkan adalah majhuul hal , maka ia telah
ditautsiq Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Ia berkata : “Aku pernah
bertanya ayahku perihal dirinya ,dan ia menyebutkannya dengan
kebaikan “373.
Adapun pernyataan Ibnu 'Adiy - setelah menukilkan perkataan Ibnu
Ma'iin perihal Abdurrahman bin Abdullah Al Ghaafiqiy dan
Abdurrahman bin Adam–ketika mengatakan-: “aku tidak mengenal
keduanya 374“dan Ibnu 'Adiy mengatakan:

370 Al Jarh wat Ta'diil 3/122.


371 Hadyu As Saariy 398.
372 Al Jarh wat Ta'diil 6/215.
373 Hadyu As Saariy 413.
374 Lihat At Taarikh 'Utsman bin Sa’id Ad Daarimy biografi nomor (481)-(600).

118
‫ وإذا عرفههه غههيره ال يعتمههد‬،‫ "ال أعرفه" فهههو مجهههول غههير معههروف‬:‫إذا قههال مثههل ابن معين‬
ُ
‫على معرفة غيره؛ ألن الرجال بابن معين ت ْس َب ُر أحوالهم‬

“Jika semisal Ibnu Ma'iin berkata : Aku tidak mengenalnya, maka ia


adalah majhuul dan tidak ma’ruf. Dan jika dikenal oleh selain dia
( Ibnu Ma'iin ) maka tidak perlu dijadikan sandaran . Karena orang -
orang adalah diukur ihwal keadaan mereka dengan -pendapat-Ibnu
Ma'iin375.
Maka ini dijawab oleh Al Haafidz Ibnu Hajar di biografi Abdurrahman
bin Abdullah Al Ghafiqiy, ia berkata :
ً ّ
‫ فرب رجل لم يعرفه ابن معين بالثقة والعدالة وعرفه غيره فضال‬،‫ى في كل األحوال‬/‫ال يتمش‬
‫ و هههذا الرجههل قههد عرفههه ابن يههونس و إليههه املرجههع في‬. ‫عن معرفهة العين ال مهانع من ههذا‬
ً ً
‫ "كههان رجال صههالحا‬:‫ وقههد ذكههره ابن خلفههون في الثقههات وقههال‬،‫معرفة أهل مصههر واملغههرب‬
."‫جميل السيرة‬

“Ini tidak menyentuh pada setiap keadaan-keadaan. Kadang ada


seseorang tidak dikenal Ibnu Ma'iin dengan tsiqah dan ‘adalah namun
dikenal yang lainnya dengan lebih dekat dari sekedar kenal 'ainnya ,
dan tidak ada penghalang untuk terjadi seperti ini”.
Dan orang ini dikenal oleh Ibnu Yunus dan kepada dia-lah tempat
merujuk untuk mengenal penduduk Mesir dan Maghrib . Dan Ibnu
Khalfun menyebutkannya di dalam At Tsiqaat dan ia mengatakan: “
Dia adalah seorang yang shalih dan bagus riwayat perjalanan
hidupnya...”376.
5. Kadang penetapan hukum majhuul oleh seorang imam menyasar
kepada imam imam yang masyhur . Dan itu tidak mencacat mereka
sedikitpun.

375 Al Kaamil Fi Dhu'afaai Ar Rijaal 4/1607.


376 Tahdziibut Tahdziib 6/218.

119
Di antara contoh hal demikia adalah Ibnu Hazm , ia berkata perihal
semua ; Abu Isa At Tirmidzy , dan Ismail bin Muhammad As Shaffar :
‫ “مجهول‬Majhuul”377.

Al Haafidz Ibnu Katsiir memberikan komentar perihal tajhiil 378 Ibnu


Hazm terhadap At Tirmidzy bahwa komentar majhulnya (Ibnu Hazm)
kepadanya (At Tirmidzy)tidak menurunkan kadar kedudukannya di
sisi ahli ilmu. Bahkan menjadi turun kedudukan Ibnu Hazm di sisi
huffadz”379.
6. Berkata As Sakhawiy :

‫ بدليل أنه قال في‬،‫ "إنه مجهول" ال يريد به أنه لم يرو عنه سوى واحد‬:‫قول أبي حاتم في الرجل‬
‫ مع أنه قد روى عنه جماعة‬."‫ "مجهول‬:‫داود بن يزيد الثقفي‬

perkataan Abu Hatim perihal seseorang “ ia adalah majhuul ia tidak


menginginkan dengan ungkapan perkataan tersebut bahwa orang
tersebut tidak ada meriwayatkan hadits darinya kecuali hanya seorang.
Dengan dalil ia berkata perihal Dawud bin Yazid At Tsaqfiy ;
“majhuul” 380. Padahal telah meriwayatkan hadits darinya jamaah381 .
Oleh karena itu Ad Dzahaby berkata setelahnya :
ً ّ ‫هذا القول ُي َو‬
‫ ولو روى عنه‬،‫ض ُح لك أن الرجل قد يكون مجهوال عند أبي حاتم‬ِ
‫ يعني أنه مجهول الحال‬.‫جماعة ثقات‬

“ Perkataan ini memperjelas kepadamu bahwa seseorang kadang ia


majhuul menurut Abu Hatim meskipun meriwayatkan darinya jama’ah
tsiqah , ia memaksudkan majhuul hal”382.

377 Al Muhalla 9/296, 344, dan Qawaa’idu Uluumil Hadits 267-272.


378 Menilai majhuul.
379 Al Bidaayah Wa An Nihaayah 11/67.
380 Al Jarh wat Ta'diil 3/428.
381 Mereka yang disebut jamaah disini adalah : Qutaibah bin Sa’id , Hisyam bin
Ubaidillah Ar Raaziy, Muhammad bin Abi Bakr Al Muqaddamiy, dan Al Hakam
bin Al Mubaarak Al Khaasyitiy. Lihat suber sebelumnya 3/428.
382 Fathul Mughiits 1/318.

120
Dan juga perkataan As Sakhawiy : Pemutlakan Abu Hatim kata
majhuul tidaklah yang ia inginkan: rawi tersebut tidak ada yang
meriwayatkan darinya selain seorang.
Maksudnya pemutlakannya menurutnya lebih luas cakupannya dan
lebih umum yang mana mencakup semua dari dua jenis status 383 tadi
dan tidak terbatas pada majhuul 'ain .

Dan batasan yang diinginkan di perkataan Abu Hatim ; ‫“ فالن مجهول‬


fulan majhuul” bisa dicari detail hasilnya dengan melihat biografi rawi
tersebut , apa bersendirian seseorang dalam meriwayatkan hadits
darinya sehingga dia disebut majhuul 'ain atau telah meriwayatkan
darinya dua rawi atau lebih sehingga dikatakan majhuul hal.
7. Di antara kebiasaan para imam: tidak memutlakkan kalimat “
majhuul” kecuali pada rawi yang kuat dugaan ststusnya majhul yang
tidak dikenal secara mutlak . Dan kebanyakan bahwa pemutlakan ini
tidak muncul kecuali dari seorang imam yang mutthali’ 384. Adapun
jika seorang imam menginginkan mengungkapkan bahwa ia tidak
kenal seseorang tersebut maka ia akan mengatakan:

‫مجهول ال أعرفه أو ال أعرف حاله‬

“ Majhuul, aku tidak mengenalnya , atau aku tidak mengenal


keadaannya “385.
8. Seluruh rawi-rawi dari kalangan wanita tidaklah mereka didha'ifkan
kecuali karena majhul386.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :

‫ما علمت في النساء من اتهمت وال من تركوها‬

383 Status majhuul .


384 Kenyang melakukan penelitian perihal maslah ini- jarh wat ta'dil -.
385 Lisaanul Miizan 1/432.
386 Tadriibu Ar Raawiy 1/321.

121
“ Aku tidak tahu pada rawi-rawi wanita ada yang tertuduh dan atau
mereka meninggalkannya”387.
9. Diamnya Al Bukhaary dan Ibnu Abi Hatim dari mentautsiq rawi
ataupun mendha'ifkannya tidaklah artinya tautsiq untuk rawi tersebut
atau jarh. Dan itu dijelaskan dengan berikut ini :
a. perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar ketika berbicara perihal Yazid bin
Abdullah bin Mughaffal :
ً
‫ ولم يذكر فيه هو وال ابن أبي حاتم جرحا‬،‫قد ذكره البخاري في تاريخه فسماه يزيد‬
‫فهو مستور‬

“ Al Bukhaary telah menyebutkannya di Tarikhnya388 dan menamainya


dengan Yazid , dia dan juga Ibnu Abi Hatim389 tidak menyebutkan jarh
terhadapnya , ia mastur”390.
b. perkataan Ibnu Abi Haatim ketika menjelaskan manhajnya di dalam
kitab Al Jarh wat Ta'diil :
ّ
‫ عهلهىه أهنه اه قهده ذكهرهنهاه أهسهاهمهيه كهثهيهرةه مههمهلهةه مهن اهلهجهرحه واهلهتهعهدهيهله كهتهبهنهاهههاه لهيشهتهمهله‬...
‫ه فهنهحهنه‬،‫ه رهج ه هاهءه وج ه هوهده اهلهج ه هرهحه وهاهلهتهع ه هدهيهله فهيهههمه‬،‫اهلهكهت ه هاهبه عهلهىه ك ه هله مهنه ُهرهو َهيه عهن ه ههه اهلهعهلهمه‬
‫مهلهحهقهوهههاه بههمه مهنه بهعهده إهنه شهاهءه هللاه تهعهاهلهىه‬

“ Bahwa kami juga menyebutkan banyak nama-nama yang kosong


dari jarh dan ta'dil , kami menulisnya supaya buku ini mencakup
semua orang yang ilmu ini diriwayatkan darinya, berharap terdapatnya
jarh dan ta'dil pada mereka. Dan kami akan menyusulkan setelahnya
insyaa’ Allah ta'aala “391.

387 Miizaanul I'tidal 4/604.


388 At Taarikh Al Kabiir 8/441.
389 Al Jarh wat Ta'diil 9/324.
390 An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni Shalah 2/769, dan lihat juga Al Buhuts Fy Taarikhi
As Sunnah Al Musyarrafah halaman 114.
391 Al Jarh wat Ta'diil 2/38.

122
Oleh karena itu Al Haafidz Ibnu Katsiir berkata ketika menyebutkan
Musa bin Jubair Al Anshariy As Sulamiy maula mereka:
ً
‫ وذكره ابن أبي حاتم في كتاب الجرح والتعديل ولم يحك فيه شيئا من هذا وال هذا‬.
‫فهو مستور الحال‬

“Ibnu Abi Haatim menyebutkannya di kitab Al Jarh wat Ta'diil dan ia


tidak menghikayatkan sesuatupun dari ini itu dan ia adalah mastur
hal”392.
10. Jahaalah ta’yiin 393 adalah ketika rawi mengatakan :

‫ أو فالن‬،‫حدثني فالن‬

“Telah berkata kepadaku fulan atau fulan”dan ia menamainya . Dan


jika keduanya tsiqah maka hujjah tegak dengan itu , jika tidak
diketahui haal satu dari keduanya meskipun namanya disebutkan
secara jelas atau dimubhamkan maka tidak bisa dijadikan hujjah
dengan itu394 karena bisa jadi yang mengabarkan adalah yang
majhuul395.

392 Tafsir Al Qur'an Al 'Adziim 1/138.


393 Menentukan mana rawi yang sebenarnya menyampaikan hadits tersebut . Si
fulan yang pertama atau yang satunya?
394 Fathul Mughiits 1/319-320.
395 Tadriibu Ar Raawiy 1/322.

123
Fasal Ke Dua:

Sisi-Sisi Yang Berhubungan Dengan


'Adaalah ( Ketaqwaan) Rawi

Yang berhubungan dengan 'adaalah ( ketaqwaan) ada lima sisi:


1. Menerabas muru`ah.
2. bid'ah.
3. Kefasikan.
4. Tuduhan berdusta.
5. Dusta.

Sisi Yang Pertama : Menerabas Muru`ah


Muru`ah adalah adab yang bersifat kepribadian dengan menjaganya
akan menahan seorang insan tegak di atas akhlak-akhlak mulia dan
baiknya adat kebiasaan396.
Berhubung muru`ah adalah berkaitan dengan akhlak dan adat
kebiasaan, maka standar penilaiannya adalah dikembalikan ke 'urf .
Dan perkara-perkara yang bersifat 'urf sedikit sekali terdefinisikan,
bahkan ia berbeda-beda penilaiannya menurut masing-masing orang
dan masing-masing daerah. Kadang berlaku kebiasaan penduduk suatu
daerah melakukan perkara-perkara yang seandainya dilakukan di
daerah yang lain melakukan perkara tersebut di anggap menerabas
muru`ah, meskipun secara syara' hukumnya mubah( boleh)397. Seperti
makan di pasar , senang bermain dan bersendau gurau dan yang
sejenisnya.

396 Al Misbaah Al Muniir 2/234.


397 Fathul Mughiits 1/288.

124
Berkata Khatiib Al Bagdady :

‫ والعمل في ذلك بما‬،‫العالم‬ ِ ‫الذي عندنا في هذا الباب ّرد خبر فاعلي املباحات إلى‬
ّ
‫ ف ههٍإن غلب على ظن ههه من أفع ههال م ههرتكب املب ههاح املس ههقط للم ههروءة أنههه‬.‫يق ههوى في نفسه‬
‫ مههع كون ههه ممن ال يحم ههل نفس ههه على الك ههذب في‬،‫مطبههوع على فع ههل ذل ههك والتس ههاهل ب ههه‬
َ
‫وإن ضههعفت هههذه‬.‫خههبره وشهههادته بههل يههرى إعظههام ذلههك وتحريمههه والته ّهنزه عنههه ق ِهب َهل خههبره‬
‫العالم واتهمه عندها وجب عليه ترك العمل بخبره ورد شهادته‬ ِ ‫الحال في نفس‬
“ Menurut kami di bab ini adalah mengembalikan khabar pelaku
perbuatan mubah ke penilaian seorang alim , dan ia melakukan
penilaian menurut yang kuat di pendapat pribadinya. Jika kuat dugaan
menurut pendapat pribadinya bahwa perbuatan-perbuatan pelaku
perkara mubah yang menjatuhkan muru`ah tersebut adalah tabiat
bawaan dan karena tasahul. Di sisi lain, si pelaku adalah di antara
orang - orang yang tidak mendorong dirinya melakukan kedustaan di
dalam khabar dan persaksian, bahkan ia menilai hal itu merupakan
perkara besar dan haram dan ia membersihkan dirinya dari hal itu
maka diterima khabarnya. Namun jika lemah keadaan ini menurut
penilaian seorang alim dan ia mencurigainya dengan perkara-perkara
tersebut maka wajib atasnya meninggalkan beramal menyandarkan
pada khabarnya dan ditolak persaksiannya”398.
Di antara cacat disebabkan menerabas muru`ah adalah menahan diri
dari menuliskan hadits dari orang yang memungut tarif upah ketika
menyampaikan hadits . Perbuatan ini menghalangi sebagian a`immah
seperti Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad dan Abu Hatim untuk
itu ( penulisan hadits )399. Demikian adalah karena alasan berikut :
1. Karena mengambil upah di dalam menyampaikan hadits adalah
termasuk menerabas muru`ah400 . Telah umum di kalangan ahli hadits
mereka berakhlak dengan kepentingan yang mulia , kesucian istiadat

398 Al Kifaayah 182.


399 Lihat rujukan sebelumnya 241.
400 'Uluumul Hadits 235.

125
dan menjaga harga diri dari melepaskan pandangan kepada
sedikitpun dari kepntingan (duniawi)401.
2. Kadang menjadi buruk persangkaan terhadap orang yang meminta
upah402.
Berkata Khatiib Al Bagdady :
ً
‫إنما منعوا ذلك تنزيها للراوي عن سوء الظن به؛ ألن بعض من كان يأخذ األجر على‬
َ َ
‫الرواية ُع ِث َر على ت َزُّي ِد ِه وادعائه ما لم يسمع ألجل ما كان ُي ْعطى‬

“ Hanya mereka menahan diri adalah dalam rangka membersihkan


seorang rawi dari buruk sangka mengenainya , karena sebagian yang
pernah mengambil upah di dalam periwayatan didapati memaksakan
diri dan mengeklaim sesuatu yang belum didengar dengan tujuan agar
diberi”403.
Akan tetapi Ibnu Shalah mengecualikan kondisi tersebut pada orang
yang berbetulan mengambil upah karena didasari udzur yang
menafikan buruk sangka dan terbela dari menerabas muru`ah .
Sebagaimana yagn terjadi pada Abu Al Husain Ibnu An Naquur ,
ketika dia melakuakan tindakan tersebut karena Syaikh Abu Ishaq As
Syairaziy berfatwa boleh mengambil upah di dalam menyampaikan
hadits , karena ashabul hadits waktu itu menahannya dari melakukan
usaha bekerja menafkahi keluarganya404 .
Dan kadang sebagian a`immah mengambil keringanan mengambil
upah, dan itu serupa dengan kasus mengambil upah karena
mengajarkan Al Qur`an dan sejenisnya405. Di antara mereka
a`immah :
1. Abu Nu’aim Al Fadl bin Dukkain . Berkata Ad Dzahaby :

401 Fathul Mughiits 1/346.


402 'Uluumul Hadits 235.
403 Al Kifaayah 241.
404 'Uluumul Hadits 235.
405 'Uluumul Hadits 235.

126
ً ً
‫ثبت عنه أنه كان يأخذ على الحديث شيئا قليال لفقره‬

“ Telah tetap perihal dirinya bahwa ia mengambil untuk sebuah hadits


sedikit ( upah) karena kefaqirannya”406.
2. 'Ali bin Abdul ‘Aziiz Al Baghawiy Al Makkiy . Berkata Ad
Dzahaby :
ً
‫ وال شك أنه كان فقيرا‬،‫أما النسائي فمقته لكونه كان يأخذ على الحديث‬

“ Adapun An Nasaa'i maka ia berang dengannya karena ia pernah


mengambil -upah – menyampaikan hadits dan tidak diragukan lagi ia
adalah orang yang faqir “407.
Ia juga berkata :

‫ثقة لكنه يطلب على التحديث ويعتذر بأنه محتاج‬

“ Tsiqah hanya saja ia mengambil upah ketika menyampaikan hadits


dan ia meminta udzur dengan alasan butuh”408.

Sisi Ke Dua : ‫ االبتداع‬Berbuat Bid'ah


Yang dimaksud dengan ‫ االبتداع‬adalah meyakini sesuatu yang
muhdats menyelisihi yang ma'ruf dari Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam dan para sahabatnya bukan karena menentang namun karena
jenis syubhat409.

Pandangan Ulama Mengenai Hukum Riwayat


Mubtadi’ ( Ahli Bid'ah )
Mubtadi’ah ( orang - orang ahli bid'ah) terbagi dua :

406 Siyar A'laam An Nubala 10/152.


407 Tadzkiratul Huffadz 2/623.
408 Miizaanul I'tidal 3/143.
409 Nuzhatun Nadzaar halaman 44, Ijtinaut Tsamaar Fi Musthalahi Ahli Al Atsar
halaman 41.

127
1. Orang yang tidak dikafirkan dengan sebab bid'ahnya seperti
khawarij dan orang - orang rafidhah yang mereka tidak ghuluw
( berlebih-lebihan) dan yang selain mereka dari kelompok-kelompok
yang menyelisihi ushul ahlussunnah dengan penyelisihan yang tampak
jelas akan tetapi disandarkan pada ta’wil yang dzahirnya tampak bisa
diterima410.
2. Orang - orang yang dikafirkan dengan sebab bid'ahnya yang mana
dalam putusan pengkafiran statusnya disepakati menurut kaidah-
kaidah seluruh a`immah. Sebagaimana pada firqah ghulat rafidhah
disebabkan klaim sebagian mereka yang meyakini bersatunya ilahiyah
( tuhan) pada 'Ali radhiallaahu 'anhu , atau pada yang lain atau
mengimani bahwa ia kembali ke dunia sebelum hari qiyamah 411.
Mengenai orang yang tidak dikafirkan dengan sebab bid'ahnya , di
dalam penerimaan riwayatnya ada beberapa pendapat madzhab.
Yakni:
1) Madzhab sebagian kelompok dari kalangan salaf – di antara mereka
Muhammad bin Siriin – dan Imam Malik adalah menolak riwayat
mubtadi' secara mutlak 412.
Sandaran pengambilan pendapat ini adalah sebagai berikut:
a. Karena mubtadi' ( ahli bid'ah) adalah fasiq sebab bid'ahnya ,
sebagaimana sama kasusnya dalam perkara kafir karena ta'wiil dengan
yang bukan karena ta'wiil, maka sama juga kasusnya dalam perkara
kefasikan antara karena sebab ta'wiil dan bukan karena ta'wiil413.
b. Karena hawa ( nafsu) dan bid'ah tidak bisa aman dari dusta, terlebih
lagi jika dzahir riwayat mendukung madzhab mubtadi'414 tersebut .

410 Hadyu As Saariy halaman 385.


411 Lihat Hadyu As Saariy halaman 385.
412 Lihat Al Kifaayah halaman 194, 'Uluumul Hadits 228, Syarah 'Ilal At
Tirmidziy 1/356.
413 'Uluumul Hadits halaman 228, lihat fathul Mughiits 1/326.
414 Lihat Syarah 'Ilal At Tirmidziy 1/357.

128
c. Di dalam penerimaan riwayat mubtadi' sama dengan melariskan dan
memuji perkara bid'ahnya415.
2. Madzhab Imam Abu Hanifah , Imam As Syafi'iy dan Yahya bin
Sa'id Al Qatthan dan 'Ali bin Al Madiny : menerima riwayat mubtadi'
selama tidak dituduh menghalalkan dusta dalam rangka menolong
madzhabnya atau penganut madzhabnya ,tidak berbeda apakah ia
menyeru pada bid'ahnya atau tidak416.
Sandaran pengambilan pendapat ini adalah sebagai berikut:
a. Keyakinan mengharamkan dusta menghalangi melakukan hal
tersebut jadi terhasilkan kejujuran417.
b. Karena darurat membawa kepada penerimaan riwayatnya ,
sebagaimana dikatakan oleh 'Ali bin Al Madiny :
ّ
‫للتشيع لخربت الكتب‬ ‫لو تركت أهل البصرة للقدر وتركت أهل الكوفة‬

“Seandainya aku meninggalkan orang - orang Bashrah karena sebab


qadar 418, meninggalkan orang - orang Kufah karena tasyayyu’
419
maka robohlah kitab-kitab” 420. Maksudnya akan hilang hadits421 .
3. Madzhab kebanyakan -atau yang terbanyak-dari kalangan ulama:
dirinci. Dengan menerima riwayat orang tidak menyeru pada
bid'ahnya dan menolak hadits orang yang menyeru422 pada bid'ahnya.
Sandaran pengambilan pendapat ini adalah sebagai berikut:
Mubtadi' yang menyeru kepada bid'ahnya timbul dorongan pada
dirinya meriwayatkan yang menguatkan bid'ahnya423, dan itu
415 Nuzhatun Nadzaar halaman 50.
416 Lihat Al Kifaayah halaman 194, 'Uluumul Hadits halaman 228, Syarah 'Ilal At
Tirmidziy 1/356, Lisaanul Miizan 1/10.
417 Fathul Mughiits 1/327.
418 Keyakinan bid'ah dalam perkara takdir.
419 Paham syi’ah.
420 Lihat Al Kifaayah halaman 206, Syarah ‘ilal At Tirmidzy 1/356.
421 Al Kifaayah halaman 206.
422 'Uluumul Hadits halaman 229.
423 Lisaanul Miizan 1/10

129
mendorongnya melakukan tahrif pada riwayat-riwayat dan
mencocokkannya menurut tuntutan madzhabnya424.
Pandangan ulama yang menempuh jalur perincian seperti ini
bermacam-macam sebagaimana berikut:
a. Sebagian ulama ada yang mencukupkan dengan rincian yang tadi
disebutkan425.
b. Di antara mereka ada yang mentafshil ( merinci) pada yang tidak
menyeru pada bid'ah , dengan berkata: jika riwayatnya mengandung
sesuatu yang menguatkan bid'ahnya , menghias-hiasi,dan membagus-
baguskannya dengan tampak jelas , maka tidak diterima , jika tidak
mengandung itu, maka diterima426.
c. Di antara mereka ada yang merinci pada orang yang menyeru
kepada bid'ahnya ,dan berkata : jika riwayatnya mengandung sesuatu
yang membantah bid'ahnya maka diterima jika tidak maka tidak
diterima427.
d. Ibnu Daqiiq Al ‘Ied di perkara orang yang menyeru bid'ahnya
merinci dari segi bersendiriannya dalam meriwayatkan hadits atau
tidak , ia berkata :
ً ً ّ
‫نرى أن من كان داعية ملذهبه املبتدع متعصبا له متجاهرا بباطله أن تترك الرواية‬
ّ ّ ً
‫ اللهم إال أن يكههون ذلههك الحههديث غههير موجههود لنهها إال‬...‫عنههه إهانههة لههه وإخمههادا لبدعته‬
‫قدم مصلحة حفظ الحديث على مصلحة إهانة املبتدع‬ ّ ‫ فحينئذ ُت‬،‫من جهته‬

“ Kami memandang bahwa orang yang menyeru kepada madzhabnya


yang bid'ah ia ta’ashub terhadapnya, terang-terangan dengan
kebatilannya adalah ditinggalkan meriwayatkan hadits darinya sebagai
bentuk memandang rendah,dan upaya memadamkan bid'ahnya ... ya
Allah , kecuali hadits tersebut tidak kami dapatkan selain dari jalurnya

424 Nuzhatun Nadzaar halaman 50.


425 Hadyu As Saariy halaman 385.
426 Rujukan sebelumnya halaman 385.
427 Rujukan sebelumnya halaman 385.

130
. Maka di kondisi seperti itu didahulukan maslahat menjaga hadits
daripada maslahat menghinakan mubtadi' “428.
4. Di sisi lain ada beberapa riwayat dari Imam Ahmad yang
menunjukkan bahwa masalah hukum menerima riwayat mubtadi' atau
menolaknya berbeda-beda tergantung dengan jenis bid'ahnya.
Berkata Al Haafidz Ibnu Rajab :

‫ ويكتب عن القدري إذا‬،‫ احتملوا من املرجئة الحديث‬:‫قال أحمد ه في رواية أبي داود ه‬
‫لم يكن داعية‬

“ Telah berkata Ahmad di riwayat Abu Dawud : “Mereka membawa


hadits dari kelompok murji`ah , dan menulis dari orang - orang
Qodariyah jika tidak menyeru- pada bid'ahnya -””.
Berkata Al Marwaziy :
ً
ّ ‫داعيا ولم نقف على‬ ّ ‫كان أبو عبد هللا‬
‫نص لهه في الجهمي أنه‬ ‫يحدث عن املرجئ إذا لم يكن‬
ً
‫ أنه ال يروى عنه‬،‫ بل كالمه فيه عام‬،‫يروي عنه إذا لم يكن داعيا‬

“ Adalah Abu Abdillah ia menyampaikan hadits dari orang murji’ jika


tidak menyeru , dan kami tidak temukan nash dari beliau kaitannya
dengan orang Jahmiyah bahwa ia meriwayatkan darinya jika tidak
menyeru. Bahkan perkataannya adalah umum tidak meriwayatkan
darinya”.
Maka keluar kesimpulan dari uraian ini : bahwa bid'ah yang ghalidzah
(tebal -berat bahayanya-) seperti tajahhum ( keyakinan jahmiyah)
adalah ditolak riwayat dengan sebab itu secara mutlak. Sedangkan
yang bersifat pertengahan seperti keyakinan dalam perkara qadar
adalah ditolak riwayat orang yang menyeru kepadanya . Sedangkan
yang ringan seperti pemikiran irja’ , apakah riwayat hadits bersama
keyakinan tersebut diterima secara mutlak atau ditolak dari orang
yang menyeru kepada bid'ahnya ? Maka ada dua riwayat “429.
428 Al Iqtirah fy Bayaanil Isthilah halaman 336-337.
429 Syarah ‘Ilal At Tirmidzy 1/ 358.

131
Adapun madzhab yang pertama, maka ia adalah sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Shalah :

‫ فٍإن كتبهم طافحة بالرواية عن املبتدعة غير‬،‫مباع ٌد للشائع من أئمة الحديث‬


ِ ‫بعيد‬
ّ
‫ وفي الصحيحين كثير من أحاديثهم في الشواهد واألصول‬،‫الدعاة‬

“ Jauh dan menjauhi perkara yang sudah menyebar dari a`immah


hadits , karena kitab mereka sarat dengan periwayatan dari orang -
orang ahli bid'ah yang mereka tidak meyeru -kepada bid'ah mereka-,
dan di shahiihain banyak sekali dari hadits -hadits mereka -
dicantumkan - dalam syawaahid dan ushul”430.
Dan sedangkan dalil-dalil pendapat ini dijawab dengan berikut:
a. Tidak selalu lazim bahwa kesamaan hukum di haknya orang kafir
adalah sama dengan kesamaan hukum di haknya orang fasiq dari
kalangan ahli kiblat.
b. Mengqiyaskan orang fasiq mutaawwil dengan yang tidak
mutaawwil adalah qiyas faariq . Karena orang fasiq yang tidak
mutaawwil kadang menceburkan diri kepada kefasikan karena
kesengajaan berbuat dosa dan karena penentangan, sedangkan
mutaawwil ia meyakini keyakinannya sebagai diyaanah ( menjalankan
agama)431.
c. Pembatasan dalam penerimaan riwayat mubtadi' dengan status tidak
terindikasi menghalalkan berdusta mempunyai asal landasan dari
perbuatan para sahabat yang mana dulu mereka juga menerima khabar
orang - orang khawarij dan juga persaksian mereka dan orang-orang
yang sejalan dengan mereka dari kalangan fussaq karena sebab ta'wiil.
Demikian juga terus menerusnya amalan tabi'iin dan orang
belakangan setelah generasi mereka di dalam hal ini, ketika mereka

430 'Uluumul Hadits halaman 230.


431 Lihat Al Kifaayah halaman 200. Al Khatiib telah menukilkan itu hanya ia tidak
meridhainya sebagai jawaban karena tidak ada perbedaan menurut pendapatnya
antara mutaawwil dari kalangan orang - orang fasiq dengan tidak mutaawwil
diqiyaskan dengan persamaan dua hal tadi hi hak orang kafir.

132
melihat keagungan kejujuran dan besarnya dusta di pandangan mereka
,dan penjagaan diri mereka dari larangan-larangan baik berupa
perbuatan dan juga pengingkaran mereka terhadap ahli raib ( syubhat)
dan tarekat-tarekat yang tercela. Dan juga periwayatan mereka
terhadap hadits -hadits yang menyelisihi pendapat- pendapat mereka
yang dijadikan pegangan hujjah oleh orang - orang yang menyelisihi
mereka untuk membantah mereka sendiri432.
d. Adapun alasan meriwayatkan dari orang - orang mubtadi' sama
artinya melariskan bid'ah, memuji muji (menyebut-nyebut mereka)
maka tidak seberapa efeknya jika dibandingkan mafsadah apabila
meninggalkan meriwayatkan dari mereka meliputi terlepasnya separuh
dari sunan ( sunnah-sunnah) yang sebagiannya mereka bersendirian
dalam membawanya, dan sebagiannya di mutaba’ahi ,padahal mereka
telah memutqinkan dalam tahammul( mendengar) dan ada’
( menyampaikan).
Adapun dua madzhab sisanya ( pendapat kedua dan ketiga) maka
dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa tuntutan ihtiyath ( sikap
kehati-hatian) yang sangat di dalam menerima riwayat mubtadi' adalah
tidak bisa diterima kecuali dengan syarat-syarat berikut:
a. Jujur dapat dipercaya apa yang ia sampaikan yakni dengan tidak
menghalalkan dusta demi menolong madzhabnya .
b. Tidak menyeru kepada bid'ahnya .
c. Dzahir hadits yang diriwayatkan tidak mencocoki madzhab bid'ah .
Abu Ishaq Ibrahim bin Ya’qub Al Jurjaniy berkata :
ْ
‫ومنهم (يعني املبتدعة) زائغ عن الحق صدوق اللهجة قد جرى في الناس حديثه إذ‬
ّ ً ً
‫ فهههؤالء عنههدي ليس فيهم حيلههة إال أن يؤخههذ‬،‫كههان مخههذوال في بدعتههه مأمونهها في روايتههه‬
‫فيتهم عند ذلك‬ ّ ‫يقو به بدعته‬ ّ ‫من حديثهم ما ُي ْع َرف إذا لم‬

432 Rujukan sebelumnya halaman 201.

133
“ Di antara mereka ( kelompok mubtadi’ah) ada yang melenceng dari
kebenaran tetapi jujur lisannya. Haditsnya diriwayatkan oleh orang -
orang karena meskipun ia hina disebabkan bid'ahnya tapi dapat
dipercaya riwayatnya . Mereka ini menurutku tidak ada alasan lagi
selain diambil ( maksudnya diterima) hadits mereka yang ma'ruf
(tidak mungkar) apabila dengan hadits tersebut ia tidak menguatkan
bid'ahnya yang membuat ia dicurigai ketika itu”433.
Al Haafidz Ibnu Hajar juga mentaujih pensyaratan ini ketika
mengatakan:
ٌ ّ ّ
‫وما قاله (يعني الجوزجاني) متجه؛ ألن العلة التي لها ُر َّد حديث الداعية واردة فيما‬
‫إذا كان ظاهر املروي يوافق مذهب املبتدع ولو لم يكن داعية‬

“ Apa yang ia katakan ( yakni Al Jurjaaniy) adalah yang muttajih ( pas


arahnya) karena illat (alasan) yang dengannya hadits orang yang
menyeru (bid'ah)ditolak adalah timbul ketika dzahir yang
diriwayatkan sependapat dengan madzhab bid'ah tersebut meskipun
tidak menyerunya”434 .
Akan tetapi dengan melakukan mumarasah (bergelut dengan) uslub-
uslub dzawil intiqa’ ( ahli ilmu yang selektif dalam memilah-milah
rawi ) dari kalangan para imam memberikan penegasan bahwa ibrah
di dalam riwayat adalah kejujuran rawi, amanahnya,dan ketsiqahan
dengan agamanya dan akhlaqnya. Sebagaimana orang yang
melakukan tatabu’ ( penelitian) terhadap keadaan-keadaan para rawi
(kadang) melihat banyak kalangan ahli bid'ah mereka adalah tempat
rujukan yang tsiqah lagi menenangkan meskipun mereka
meriwayatkan sesuatu yang menyepakati pendapat mereka. Dan ia
juga melihat tidak sedikit dari mereka tidak ditsiqahkan apapun yang
diriwayatkannya435.
Hal itu diperjelas lagi dengan berikut ini:

433 Ahwaalu Ar Rijaal halaman 32, dan lihat Lisaanul Miizan 1/11.
434 Nuzhatun Nadzaar halaman 51.
435 Al Ba'its Al Hatsiits halaman 84.

134
a. Perkataan Al Haafidz Ibnu Katsiir :
ّ ّ
‫ ألنهم يرون‬،‫ أقبل شهادة أهل األهواء إال الخطابية من الرافضة‬:‫وقد قال الشافعي‬
‫الشهادة بالزور ملوافقيهم‬

“ Telah berkata As Syafi'iy : aku menerima persaksian ahli ahwa


kecuali Al Katthabiyah dari kalangan Rafidhah. Karena mereka
memandang boleh persaksian palsu dengan orang yang sependapat
dengan mereka”.
As Syafi'iy tidak membedakan di nash perkataannya ini antara orang
yang menyeru – bid'ah – dan yang lainnya . Terus apa perbedaan di
dalam makna antara keduanya? Dan ini Al Bukhaary telah
mengeluarkan yang diriwayatkan Imran bin Hatthan Al Khaarijiy
penyanjung Abdurrahman bin Muljam pembunuh 'Ali radhiallaahu
'anhu , orang ini adalah pembesar tokoh dalam menyeru bid'ah “436.
Dan terlebih lagi telah datang riwayat di Al Bukhaary dari jalan Yahya
bin Abi Katsiir dari Imran bin Hatthan dan bahwa Yahya mendengar
darinya di Yamamah ketika ia melarikan diri dari Al Hajjaj , waktu ia
memburunya untuk dibunuh karena statusnya termasuk di antara da’i-
da’i khawarij437.
b. Perkataan Al Haafidz Ad Dzahaby :
ُّ َ
ِ ‫ كيف ساغ توثيق مبتدع وحد الثقة العدالة‬: ‫لقائل أن يقول‬
‫واإلتقان؟ فكيف‬
ً
‫ فبدعههة صههغرى‬:‫ وجوابههه أن البدعههة على ضههربين‬.‫يكههون عههدال من هههو صههاحب بدعههة؟‬
‫ فهههذا كثههير في التههابعين وتههابعيهم مههع الههدين‬،‫ أو كالتشيع بال غلههو وال تحههرق‬،‫كغلو التشيع‬
‫ وهههذه مفسههدة‬،‫ فلههو ُر َّد حههديث هههؤالء لههذهب جملههة من اآلثههار النبويههة‬،‫والورع والصدق‬
‫ي‬/‫ والحههط على أبي بكههر وعمههر ه رضهه‬،‫ ثم بدعههة كههبرى كههالرفض الكامههل والغلههو فيههه‬.‫ّبينة‬
ً
‫ وأيضهها فمهها أستحضههر‬.‫ فهذا النوع ال يحتج بهم وال كرامة‬،‫هللا عنهما ه والدعاء إلى ذلك‬

436 Ikhtishar Uluumil Hadits halaman 83.


437 Al Bukhaary mengeluarkan hadits riwayat ‘Imran bin Hatthan satu hadits saja di
dalam mutaaba’aat. Hadyu As Saariy halaman 433.

135
ً ً ً
‫ و التقيههة و النفههاق‬،‫اآلن في هذا الضههرب رجال صههادقا و ال مأمونهها بههل الكههذب شههعارهم‬
ّ
‫ فالش ههيعي الغ ههالي في زم ههان‬. ‫ فكي ههف ُيقب ه ُهل نق ه ُهل من ه ههذا حال ههه ؟ حاش هها وكال‬، ‫دث ههارهم‬
َّ
‫السههلف و ُهع ْر ِفهم هههو من تكلم في عثمههان والزبههير وطلحههة ومعاويههة وطائفههة ممن حههارب‬
َّ
‫ والغههالي في زماننهها و ُع ْر ِفنهها هههو الههذي ُيك هف ر هههؤالء‬.‫لسبهم‬
ّ ‫ي هللا عنه ه وتعرض‬/‫عليا ه رض‬
ً
‫ فهذا ضال مفتر‬،‫السادة ويتبرأ من الشيخين أيضا‬

“ Orang berhak berkata : Bagaimana boleh mentsiqahkan mubtadi'


padahal batasan definisi tsiqah adalah 'adaalah ( ketaqwaan) dan
kemutqinan ? Maka jawabnya : bid'ah ada dua : bid'ah shughra ( kecil)
seperti ghuluw tasyayyu’ atau tasyayyu’ dengan tanpa ghuluw dan
berapi-api, dan ini tidak sedikit dari kalangan tabi'iin dan tabi’ut
tabi'iin dengan ( maksudnya di sisi lain mereka) berhias dengan
agama ,wara,dan jujur . Seandainya hadits mereka ini ditolak tentu
akan habis sebagian besar dari atsar-atsar nabawi. Dan ini adalah
mafsadah yang nyata.
Kemudian bid'ah kubra seperti pemikiran rafdh ( rafidhah) yang total
dan ghuluw padanya,melecehkan Abu Bakar, Umar radhiallaahu
'anhuma dan menyeru kepada bid'ah tersebut, maka jenis yang seperti
ini tidak dijadikan hujjah dan tidak ada karamah.
Juga aku tidak bisa mengingat pada masa sekarang dari golongan
semacam ini seseorang yang jujur dan dapat dipercaya, bahkan dusta
adalah syi’ar mereka taqiyah dan kenifaqan adalah pakaian
mereka ,terus bagaimana bisa diterima penukilan orang yang seperti
ini ? Sekali kali tidak.
Orang syi’ah yang ghuluw di zaman salaf dahulu dan di 'urf mereka
adalah orang yang berbicara menjelek-jelekkan 'Utsman dan Az
Zubair dan Thalhah dan Mu’awiyah dan kelompok yang memerangi
'Ali radhiallaahu 'anhu dan mencela mereka. Sedangkan orang syi’ah
yang ghuluw di zaman sekarang dan di 'urf kita saat ini mereka adalah
yang mengkafirkan mereka para pembesar tadi dan berlepas diri dari

136
Syaikhaini (Abu Bakar dan Umar radhiallaahu 'anhuma) juga, orang
seperti ini adalah sesat dan pendusta”438.
c. Perkataan Al Haafidz Ibnu Hajar :
ً ً ّ ‫التشيع في عرف املتقدمين هو اعتقاد تفضيل‬
‫ وأن عليا كان مصيبا‬،‫علي على عثمان‬
‫ وأن مخالفههه مخطئ مههع تقههديم الشههيخين وتفضههيلهما وربمهها اعتقههد بعضهههم‬،‫في حروبههه‬
ً ً ً ً ً
‫أن عليا أفضل الخلق بعد رسول هللا وإذا كان معتقد ذلك ورعا َد ِّينهها صههادقا مجتهههدا‬
ّ ‫ فال‬،
‫ وأمهها التشههيع في عههرف املتههأخرين فهههو‬.‫ترد روايته بهذا ال سههيما إن كهان غههير داعية‬
‫ي الغالي وال كرامة‬/‫ فال تقبل رواية الرافض‬،‫الرفض املحض‬

“ Tasyayyu’ di 'urf orang mutaqaddimin adalah meyakini keutamaan


'Ali di atas 'Utsman , dan bahwa 'Ali adalah yang benar di dalam
perang-perangnya (pemerangan) dan bahwa yang menyelisihinya
adalah keliru . Disisi lain mereka masih mengedepankan Asy
Syaikhany ( Abu Bakar dan Umar radhiallaahu 'anhuma ) dan
mendahulukan keduanya , dan tidak banyak dari mereka yang
meyakini bahwa 'Ali adalah semulia-mulia makhluq setelah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. Dan bila yang meyakini
seperti itu adalah bentuk wara’ dan dalam rangka tadayyun (keyakinan
beragama) dan berijtihad , maka tidak ditolak riwayatnya dengan
alasan seperti ini lebih lagi jika tidak menyeru kepada bid'ahnya “.
Adapun tasyayyu’ di 'urf orang - orang mutaaakhiriin maka adalah
murni rafdh (penolakan) , sebab itu tidak diterima riwayat orang
rafidhah yang ghuluw dan tidak ada karaamah”439.
Syaikh Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah rahimahullah
ta'aala telah menyebutkan taujih yang teliti untuk semisal ruang
masalah ini, ia berkata :
ّ ‫إذا وجدنا بعضه األئمهة الكهبار من أمثال البهخاري ومسلم لم‬
‫يتقيده فيمنه أخرج لهم‬
ّ ‫في كتاب ههه ببعضه القواع ههد ف ههذلكه العتب هاهرات ظه ههرت لهم‬
‫رجحته ج ههانب الص ههدق على‬
438 Miizaanul I'tidal 1/5,6.
439 Tahdziibut Tahdziib 1/94.

137
‫وإذا تعههارض كالم الناقههد وكالم صههاحبي الصههحيحين فيمن‬.‫الكذبه والبراءة علىه الهتهمةه‬
‫ ق ه ّهدم كالمهم هها و اعتبارهم هها لل ههرواي على كالم‬، ‫أخ ههرج لهم الش ههيخان من أه ههل الب ههدع‬
‫غيرهما ألنهما أعرف بالرجال من غيرهما‬

“ Jika kita dapati sebagian imam-imam besar semisal Al Bukhaary dan


Muslim tidak terkungkung dengan kaedah ini di rawi-rawi yang ia
keluarkan haditsnya di kitabnya maka itu adalah karena sebab i'tibar
yang tampak menurut mereka lebih rajih berpihak ke sisi kejujuran
dari pada dusta dan baro`ah ( berlepas) dari tuhmah ( tuduhan). Jika
saling bertentangan antara perkataan naqid (pakar kritikus) hadits
dengan penyusun shahiihain perihal orang - orang yang dikeluarkan
haditsnya oleh Asy Syaikhany dari kalangan ahli bid'ah, maka
didahulukan perkataan dan i'tibar terhadap rawi yang dipertimbangkan
keduanya di atas kalam selainnya . Karena keduanya adalah lebih
kenal dengan rawi-rawi hadits daripada yang lainnya”440.
Dan semoga saja i'tibar – i'tibar yang ia maksudkan adalah sebagai
berikut:
a. Tuduhan terhadap rawi dengan bid'ah adalah sebatas prasangka.
Karena Abdul Warits bin Sa’ad At Tanuriy Al Bashriy pernah dituduh
dengan keyakinan qadar karena ia memuji 'Amr bin ‘Ubaid ketika
mengatakan :

441 ّ ‫لوال أنني أعلم أنه صدوق ما‬


‫حدثت عنه‬

“ jika bukan karena aku mengetahui ia adalah shaduuq tentu aku tidak
menyampaikan hadits darinya”.
Berkata Al Bukhaary :

440 Al Washith Fi Uluumi Wa Musthalahi Al Hadits halaman 396.


441 Hadyu As Saariy halaman 422.

138
ٌ
‫مكذوب على أبي وما سمعت منه يقول في القدر‬ :‫قال عبد الصمد بن عبد الوارث‬
ً
‫قط شيئا‬

“Berkata Abdu As Shamad bin Abdul Al Warits : Dusta yang


dinisbahkan kepada ayahku, aku sama sekali tidak mendengar dari
beliau berkata kaitannya dalam keyakinan qadar ( qadariyah)
sesuatupun “442.
b. Nukilan bid'ah yang disematkan masih diperselisihkan
ketsabitannya dinisbahkan kepada rawi tersebut . Said bin Abdul
Aziiz At Tanuukhiy pernah menjarh Hisan bin ‘Athiyah Al
Muhaaribiy karena qoul dalam masalah qadar ,dan Al Auzaa’iy
mengingkarinya443 .
c. Nukilan penisbahan bid'ah tsabit disematkan ke rawi hanya telah
sah rujuknya dari bid'ah dan bertaubat . Telah sah rujuknya Bisyr bin
As Sariy Al Bashriy dari akidah jahmiyyah444.
d. Rawi tersebut memandang bid'ah tertentu yang ia yakini dan ia
tidak mengatakannya lebih lagi menyeru kepada keyakinannya .
Abdullah bin 'Amr bin Abi Al Hajjaj berkeyakinan qadar , Abu Dawud
berkata :

‫لكنه كان ال يتكلم فيه‬

“ Hanya ia tidak pernah bicara menyinggung masalah ini”445.


e. Rawi tersebut tidak menyeru kepada bid'ahnya . Abdul Al A’la bin
Abdil Al A’la Al Bashariy As Saamiy dan Hisyam bin Abi Abdillah
Ad Dastawa`iy dan Yahya bin Hamzah Al Hadhramiy mereka semua
meyakini keyakinan qadar namun tidak menyeru kepadanya446.

442 Hadyu As Saariy halaman 422, dan lihat juga At Taarikh Al Kabiir 6/118.
443 Hadyu As Saariy halaman 396.
444 Siyar A'laam An Nubala 9/333, Hadyu As Saariy halaman 393.
445 Hadyu As Saariy halaman 415.
446 Hadyu As Saariy halaman : 416, 448, 451.

139
f. Rawi-rawi yag dikeluarkan oleh para imam selain model yang
sebelumnya adalah bersandar dengan yang ma'ruf pada mereka dari
kejujuran dan amanah. Sebagaimana dikatakan oleh Al Haafidz Ad
Dzahaby :

‫أبان بن تغلب الكوفي شيعي جلد لكنه صدوق فلنا صدقه وعليه بدعته‬

“ Aban bin Taghliib Al Kuufiy seorang syi’ah tulen akan tetapi ia


shaduuq , maka bagi kami kejujurannya dan tanggungannya
bid'ahnya”447.
g. Rawi-rawi yang diposisikan letak riwayatnya ke dalam mutaba’at
dan syawahid tidak di ushul , atau tidak dikeluarkan haditsnya kecuali
maqrun ( digandengi dengan rawi)yang lain sebagaimana Al Bukhaary
mengeluarkan hadits Abbad bin Ya’qub ( Ar Rawaajiniy Al Kuufiy)
yang diletakkan secara maqrun448.
Dan berkata Ibnu Khuzaimah :
ّ ‫حدثنا الثقة في روايته املتهم في دينه‬
‫عباد بن يعقوب‬

“ Telah berkata kepada kami tsiqah di dalam riwayatnya tertuduh di


dalam agamanya Abbad bin Ya’qub”449.

447 Miizaanul I'tidal 1/5.


448 Berkata Ibnu Hajar :
َ
ُ ‫بالغ‬
‫ يستحق الترك‬:‫ابن حبان فقال‬ ،‫ حديثه في البخاري مقرون‬،‫ي‬/‫صدوق رافض‬
“ Shaduuq Rafidhiy haditsnya di Al Bukhaary maqruun “. -Terhadapnya -Ibnu
Hibban berlebihan dengan mengatakan : berhak ditinggalkan”. Taqriibu At
Tahdziib halaman 291.
449 Tahdziibu Al Kamaal 14/177. akan tetapi Ibnu Khuzaimah telah ruju’ dari
tahdits ( menyampaikan hadits ) darinya . Al Khatib telah meriwayatkan dengan
sanadnya darinya bahwa ia pernah ditanya mengenai hadits yang diriwayatkan
Abban bin Ya'qub , kemudian ia menahan diri dari manyampaikannya
kemudian ia mengatakan :
ُُ ّ ‫ واآلن فٍإني أرى ّأال‬،‫أخذت عنه بشريطة‬
ُ
‫ لغل ّوه‬،‫أحدث عنه‬ ‫قد كنت‬
“Dulu aku mengambil hadits darinya dengan satu syarat dan sekarang aku
mempertimbangkan untuk tidak menyampaikan hadits darinya karenya
ghuluwnya “. Al Kifaayah halaman 209-210.

140
‫‪Al Haafidz Ad Dzahaby telah menukilkan dari Al Haafidz‬‬
‫‪Muhammad Al Barqiy perkataannya :‬‬

‫قلت ليحيى ابن معين‪ :‬أرأيت من ُيرمى بالقدر يكتب حديثه؟ قال‪ :‬نعم‪ ،‬قد كان قتادة و‬
‫هشام الدستوائي‪ ،‬و سعيد بن أبي عروبة‪ ،‬وعبد الوارث ه و ذكر جماعة ه يقولون بالقدر‬
‫‪ ،‬و هم ثقات‪ ،‬يكتب حديثهم ما لم يدعوا إلى ش‪/‬يء‪.‬‬

‫‪“Aku berkata kepada Yahya Bin Ma'in : apa pandanganmu mengenai‬‬


‫‪orang yang dilempari tuduhan dengan keyakinan qadariyah , ditulis‬‬
‫‪haditsnya ? Ia berkata : ya , Qatadah , Hisyam Ad Dastawa`iy, Sa'id‬‬
‫‪bin Abi ‘Uruubah dan Abdul Warits -dan ia menyebutkan beberapa‬‬
‫‪orang - mereka semua mengatakan keyakinan qadariyah , dan mereka‬‬
‫‪adalah tsiqat ditulis haditsnya selama tidak menyeru kepada apapun”.‬‬
‫‪Berkata Ad Dzahaby :‬‬
‫ُ‬
‫هذه مسألة كبيرة ‪ ،‬وهي‪ :‬القدري و املعتزلي والجهمي و الرافض‪/‬ي‪ ،‬إذا ُع ِل َم صدقه في‬
‫ً‬
‫الحديث وتقواه‪ ،‬ولم يكن داعيهها إلى بدعتههه‪ ،‬فالههذي عليههه أكههثر العلمههاء قبههول روايتههه ‪،‬‬
‫ّ‬
‫الحف اظ إلى‬
‫والعمل بحديثههه‪ ،‬وتههرددوا في الداعيههة‪ ،‬هههل يؤخههذ عنههه ؟ فههذهب كثههير من ه‬
‫تجنب حديثه‪ ،‬وهجرانه‪ ،‬وقههال بعضهههم‪ :‬إذا علمنهها صهدقه وكههان داعيههة‪ ،‬ووجههدنا عنههده‬
‫ّ‬ ‫ّ‬
‫سههنة تفه ّهرد بههها ‪ ،‬فكيههف يسههوغ لنهها تههرك تلههك السههنة؟ فجميههع تصههرفات أئمههة الحههديث‬
‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫ُ ْ ُ‬
‫اإلسههالم‪ ،‬و لم تبح دمههه ‪ ،‬فههٍإن‬ ‫َه‬
‫خروج ه من دائههرة ِ‬ ‫بدعتهه‬
‫ه‬ ‫هتهؤ ِذن بههأن املبتههدع إذا لم ت ِب ْح‬
‫قبههول مهها رواه سههائغ‪ .‬وهههذه املسههألة لم تتههبرهن لي كمهها ينبغي‪ ،‬و الههذي اتضههح لي منههها أن‬
‫من دخههل في بدعههة ‪ ،‬و لم ُي َهع ّهد من رؤوسههها ‪ ،‬و ال أمعن فيههها ُيقبههل حديثههه كمهها مثههل‬
‫اإلسالم لصدقهم وحفظهم‬
‫الحافظ أبو زكريا ب أولئك املذكورين ‪ ،‬وحديثهم في كتب ِ‬
‫‪“ Ini adalah masalah yang besar, yakni : qadariy, mu’taziliy, jahmiy,‬‬
‫‪dan rafidhiy, jika diketahui jujurnya di dalam perkara hadits dan‬‬
‫‪taqwanya ,tidak menyeru kepada bid'ahnya , maka yang dipegang oleh‬‬
‫‪kebanyakan ulama adalah diterima riwayat mereka,dan diamalkan‬‬
‫‪haditsnya . Dan mereka bingung dalam perkara rawi yang menyeru‬‬

‫‪141‬‬
kepada bid'ahnya ,apakah diambil hadits darinya? Kebanyakan
huffadz berpendapat menghindar dari hadits -haditsnya ,menghajrnya .
Dan sebagian mereka berkata : jika mengetahui jujurnya dan ia
menyeru ( mengajak) dan didapati padanya sunnah yang ia
bersendirian dengan itu , maka bagaimana boleh bagi kami
meninggalkan sunnah tersebut ? Seluruh tasharrufat para imam hadits
memberikan pengetahuan bahwa seorang mubtadi' jika bid'ahnya tidak
bisa mengeluarkan dari lingkupan islam, tidak menghalalkan
darahnya, maka penerimaan riwayatnya adalah diizinkan.
Masalah ini belum mebuktikan bagiku sebagaimana semestinya , dan
yang semakin jelas menurutku adalah orang yang terjerumus ke
dalam bid'ah dan tidak tergolong para pembesarnya dan juga tidak
perhatian di dalam bid'ahnya sebagaimana yang dipermisalkan oleh Al
Haafidz Zakariya dengan mereka-mereka yang tadi disebutkan. Dan
hadits mereka ini di kitab-kitab islam adalah karena kejujurannya dan
dhabt hafalan mereka”450.
Adapun orang yang dikafirkan dengan sebab bid'ahnya maka berkata
Al Haafidz Ibnu Katsiir:

‫ال إشكال في ّرد روايته‬

“Tidak ada isykal di dalam menolak riwayatnya”451.


Inilah yang paling dekat dipilih. Sungguhpun begitu, Al Haafidz Ibnu
Hajar menghikayatkan khilaf dalam masalah tersebut, ia berkata
ketika menunjuk perkara bid'ah mukaffirah :
ً ْ
‫ إن كان ال يعتقد ِح َّل الكذب‬:‫ وقيل‬.‫ ُيقبل مطلقا‬:‫ وقيل‬.‫الجمهور‬ ُ َ
‫صاحبها‬ ‫ال َيق َب ُل‬
َ ّ
‫مكف ر ببدعت ههه؛ ألن ك ههل طائف ههة هت َّهد ِعي أن‬ ّ ‫ أن ههه ال ي ه‬:‫ والتحقيق‬.‫لنص ههرة مقالت ههه ُقبه َهل‬
‫هرد ك ههل ه‬ ِ
ّ
‫ فلهو أخهذ ذلهك على اإلطالق السهتلزم تكفهير‬،‫فتكفر مخالفيهها‬ ‫ وقد تبهالغ ه‬،‫مخالفيها مبتدعة‬
ً ً ً ُ
‫فاملعتمد أن الذي ترد روايته من أنكر أمرا متواترا من الشرع معلوما‬. ‫جميع الطوائف‬

450 Siyar A'laam An Nubala 7/153-154.


451 Ikhtishar Uluumil Hadits halaman 83.

142
‫فأمهها من لم يكن به ههذه الص ههفة وانضههم‬.‫ وكههذا من اعتق ههد عكسه‬،‫من الههدين بالضههرورة‬
‫إلى ذلك ضبطه ملا يرويه مع ورعه وتقواه فال مانع من قبوله‬

“Pelakunya tidak diterima oleh jumhur dan ada yang mengatakan :


diterima secara mutlak, dan ada pendapat lain: jika tidak meyakini
menghalalkan dusta untuk menolong madzhabnya maka diterima.
Dan tahqiqnya : Bahwa tidaklah ditolak setiap orang yang dikafirkan
dengan sebab bid'ahnya , karena setiap kelompok mengeklaim bahwa
yang menyelisihinya adalah mubtadi' dan kadang berlebih-lebihan
dalam mengkafirkan golongan yang menyelisihinya seandainya itu di
ambil secara mutlak maka melazimkan paksa mengkafirkan seluruh
kelompok tadi.
Dan yang mu’tamad : rawi yang ditolak riwayatnya adalah yang
mengingkari perkara mutawatir di dalam syara’ yang diketahui secara
dharurah ( tidak ada perdebatan) , demikian juga orang yang
meyakini kebalikannya.
Adapun orang yang keadaannya tidak seperti ini ditambah lagi ia
adalah dhabt terhadap yang ia riwayatkan dibarengi sikap wara’ dan
taqwanya maka tidak ada penghalang di dalam menerimanya”452.

Dia juga berkata :

‫ ه وكذا من‬2.‫قوله‬ َ
ِ ‫الكفر صريح‬ُ ‫ ه من كان‬1:‫الذي يظهر أن الذي ُي ْحكم عليه بالكفر‬
‫قول ه ُه‬
‫ وأمهها من لم يلتزمههه وناضههل عنههه فٍإنههه ال‬.‫وع ِرض عليههه فالتزمه‬ َ )‫كههان (الكفه ُهر‬
‫الزم ِ ه‬
ً
‫ ولو كان الالزم كفرا‬،‫يكون كافرا‬

“Dan yang tampak bahwa orang yang divonis dengan kekafiran


adalah :
1. Orang yang kekafiran tersebut adalah jelas dari perkataannya.

452 Nuzhatun Nadzaar halaman 50.

143
2. Demikian pula halnya orang yang kekafiran tersebut adalah lazim
dari perkataannya dan dimintai pendapat mengenai itu dan ia
beriltizam itu ( maksudnya mengamini kelaziman kufur tersebut ).
Adapun orang yang tidak beriltizam dan ia bersikukuh tidak mau
mengakui maka ia tidaklah kafir ,meskipun kelazimannya adalah
kekufuran”453.
Berkata As Sakhawiy :

‫وينبغي حمله على غير القطعي ليوافق كالمه األول‬

“ Patut dibawa perkataannya454 ke makna yang tidak qat’iy supaya


bisa dikompromikan dengan perkataannya yang pertama”455.

Sisi Yang Ke Tiga: ‫ الفسق‬Kefasikan

Dan yang dimaksudkan dengan ‫( فاسق‬orang faasiq) orang yang


diketahui melakukan kabiirah456 (dosa besar) atau terus-terusan
melakukan dosa kecil457.
Seorang rawi yang tampak kefasikannya maka haditsnya adalah
ditolak. Tidak ada bedanya apakah kefasikannnya adalah disebabkan
453 Fathul Mughiits 1/333, Majmu’ Fataawa 20/2017, dan Al Qawaa’id Al Mutslaa
Fiy Shifaatillaahi Wa Asma`ihi Al Husna halaman 12-13.
454 Maksudnya membawa makna kalam yang terakhir tadi nomor 2.
455 Fathul Mughiits 1/333.
456 Termasuk dosa besar adalah berdusta atas Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
dengan dalih perkataan beliau :
ً َّ ‫من كذب‬
‫علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬
“ Siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaknya ia mengambil tempat
duduknya di neraka”
hanya sja disendirikan di dalam penyebutan di sisi bagian ke lima karena cacat
dengan sebab itu pada rawi adalah yang paling parah di dalam bidang ilmu
hadits ini ( periwayatan hadits ) . lihat Nuzhatun Nadzaar halaman 44.

457 Fathul Mughiits 1/287.

144
perbuatan atau disebabkan perkataan458. Dan dinamai haditsnya
dengan istilah mungkar menurut pendapat orang yang tidak
mensyaratkan di dalam istilah mungkar terjadinya mukhaalafah
( penyelisihan) 459karena mungkar dimutlakkan untuk dua hal:
1. Hadits yang bersendirian rawi dha'if dalam meriwayatkan, yang
(dha'ifnya) tidak muhtamal (mengandung kemungkinan lain) -
demikian adalah- sebab kefasikan ( rawi )nya atau begitu parah
kesalahannya, atau banyak lupa460.
2. hadits yang diriwayatkan seorang dha'if yang menyelisihi rawi
yang lebih tsiqah darinya atau menyelisihi jama’ah dari kalangan
tsiqah461

Sisi Ke Empat: ‫ التهمبذكلاب ة بالكذب‬Tertuduh


Berdusta

Tuduhan dusta yang disematkan pada rawi memusat dua kondisi:


1. Ketika seorang rawi bersendirian dalam meriwayatkan sesuatu
menyelisihi ushuluddien dan kaidah-kaidah agama yang bersifat
umum 462pada situasi tidak ada di dalam sanad orang lain yang
dicurigai dengan tuduhan seperti itu selain dirinya. Berkata Al Haafidz
Ad Dzahaby :

‫اإلسالم الهروي‬
ِ ‫ ال أعرفه لكن روى عنه شيخ‬،‫أحمد بن محمد بن أحمد بن يحيى‬
ً ً
‫ ورواته سواه ثقات فهو املتهم به‬،‫خبرا موضوعا‬

“ Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Yahya , aku tidak


mengenalnya namun meriwayatkan darinya Syaikhul Islam Al
458 Nuzhatun Nadzaar halaman 44.
459 Rujukan sebelumnya halaman 45.
460 Rujukan sebelumnya halaman 45
461 Rujukan sebelumnya halaman 35.
462 Nuzhatun Nadzaar halaman 44.

145
Harawiy khabar palsu dan rawi-rawi selainnya adalah tsiqah maka ia
lah yang terindikasi463 perkara ini464”.
2. Ma'ruf pada dirinya berdusta di dalam perkataannya meskipun
belum pernah tampak darinya berdusta di hadits nabawiy465. Hadits
rawi yang tertuduh berdusta dinamakan matruuk466.

Sisi Ke Lima : ‫ الكذب‬Dusta

Yang dimaksud dengan dusta di hadits nabawiy adalah : seorang rawi


meriwayatkan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sesuatu yang
tidak beliau katakan ( dan tidak beliau lakukan dan tidak beliau
taqrirkan) dengan sengaja467.

Dan ‫ ( الكذاب‬Al Kaddzab ) adalah orang yang berdusta atas Nabi


shallallaahu 'alaihi wasallam dengan sengaja walaupun hanya sekali.
Dan hadits al kaddzab dinamakan ‫( املوضوع‬al maudhu')468 .

463 Memalsukan hadits .


464 Miizaanul I'tidal 1/129.
465 Nuzhatun Nadzaar halaman 44.
466 Lihat rujukan sebelumnya halaman 45.
467 Nuzhatun Nadzaar halaman 43-44.
468 Putusan terhadap hadits kaddzab (pendusta ) dengan wadhe’( palsu) adalah
melalui jalur dzan ( prasangka) kuat tidak dengan qath’iy ( tegas pasti) karena
kadang seorang pendusta juga jujur , akan tetapi ahli ilmu yang menggeluti
hadits mereka memiliki naluri yang kuat untuk membedakannya. Nuzhatun
Nadzaar halaman 44.

146
Hukum Riwayat Orang Yang Taubat Dari
Berdusta Dengan Sengaja469 Di Dalam
Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
Wasallam

Ulama telah berselisih di dalam penerimaan riwayat orang yang telah


bertaubat dari berdusta di hadits nabawiy menjadi dua pendapat :
1. Perkataan Imam Ahmad ,Abu Bakar Al Humaidiy dan Abu Bakar
As Shairafiy 470:
469 Berkata As Sakhawiy :
ً
‫ وأما من كذب عليه في فضائل األعمال معتقدا‬. ‫ويلتحق بالعمد من أخطأ وصمم بعد بيان ذلك له ممن يثق بعلمه مجرد عناد‬
ً
‫ وكذا من كذب دفعا لضرر يلحقه‬.‫ فالظاهر ه كمها قال بعض املتأخرين ه قبول رواياته‬،‫أن هذا ال يضرثم عرف ضرره فتاب‬
‫من عدو وتاب منه‬
“Dan diikutkan dalam jenis al’amd ( sengaja) orang yang keliru dan menulikan
telinga setelah dijelaskan kepadanya oleh orang yang bisa dipegang ilmunya –
sekedar menolak ( tanpa landasan argumen)- . Adapun orang yang berdusta
atas beliau di dalam fadhilah- fadhilah amal dengan keyakinan bahwa ini tidak
memadharatkan kemudian ia sadar madharatnya kemudian bertaubat, maka
yang dzahir – sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang - orang belakangan –
maka diterima riwayatnya . Demikian juga halnya dengan orang - orang
berdusta karena berupaya menolak kemadharatan yang bisa saja mengenainya
dari musuhnya dan kemudian ia bertaubat atas perbuatan tersebut. Fathul
Mughiits 1/335.
470 Berkata As Shairafiy : َ
‫كل من أسقطنا خبره من أهل النقل بكذب وجدناه عليه لم ن ُع ْد لقبوله بتوبة تظهر‬

“Setiap yang kami campakkan khabarnya dari kalangan ahli naql karena sebab dusta
yang kami dapatkan atasnya , kami masih belum menganggap dengan taubat
yang tampak untuk menerima(khabar)nya”.
Dzahir perkataannya adalah mutlak, tidak ada bedanya apakah dustanya di hadits
nabawiy atau pada yang lain. Lihat 'Uluumul Hadits 231.
Tetapi Al ‘Iraqi berkata :
ّ
‫باملحدث فيما رأيته في كتابه‬ ‫ وقد قيده‬.)‫ (من أهل النقل‬:‫الظاهر أن الصيرفي إنما أراد الكذب في الحديث بدليل قوله‬
ّ
‫ تعمههدت الكههذب فهههو كههاذب في األول‬:‫ "وليس ُيطعن على املحههدث إال أن يقههول‬:‫املسههمى به (الههدالئل واألعالم) فقههال‬
‫وال يقبل خبره بعد ذلك‬
“ Dan yang dzahir As Shairafiy hanya memaksudkan dusta di dalam hadits dengan
dalil perkataannya : “Dari kalangan ahli naql “. dan ia membatasi cakupan
mutlak perkataannya dengan muhaddits di yang aku lihat di kitabnya yang

147
ً
‫ال تقبل روايته أبدا وإن حسنت توبته‬

“ Tidak diterima riwayatnya selamanya meskipun baik taubatnya”471.


Berkata An Nawawy :
ً ً ً ً
‫يوجه بأن ذلك ُج ِع َل تغليظا و زجرا بليغا عن‬
ّ ‫ و يجوز أن‬. ‫دليال ملذهب هؤالء‬ ‫و لم أر‬
ً ً
‫ فٍإنههه يصههير شههرعا مسههتمرا إلى يههوم القيامههة بخالف‬،‫الكههذب عليههه لعظم مفسههدته‬
‫ فٍإن مفسدتهما قاصرة ليست عامة‬,‫الكذب على غيره والشهادة‬

“ Aku tidak melihat dalil madzhab mereka ini . Dan bisa jadi sisi
alasannya adalah karena demikian itu dijadikan sebagai tindakan
taghlidz dan zajr secara serius dari berdusta atas Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam karena begitu besarnya mafsadah. Karena akibatnya
adalah menjadi syariat yang terus menerus sampai hari qiyamah
berbeda dengan berdusta dan bersaksi atas selain beliau , karena
mafsadahnya terbatas dan tidak meluas”472.
2. Pendapat Abu Zakariya An Nawawy : diterima riwayatnya jika
taubatnya benar . Berkata An Nawawy :

‫ القطع‬: ‫ و املختار‬. ‫وهذا الذي ذكره هؤالء األئمة ضعيف مخالف للقواعد الشرعية‬
‫ وهي‬.‫بصه ّهحة توبتههه في هههذا وقبههول رواياتههه بعههدها إذا صههحت توبتههه بشههروطها املعروفة‬
‫اإل قالع عن املعصههية و النههدم على فعلههها و العههزم على أن ال يعههود إليههها فهههذا هههو‬
ِ
ً
‫ و‬، ‫ وقههد أجمعههوا على صههحة روايههة من كههان كههافرا فأسههلم‬.‫الجههاري على قواعههد الشههرع‬
‫ وأجمعههوا على قبههول شهههادته وال فههرق بين الشهههادة‬.‫أكههثر الصههحابة كههانوا بهههذه الصههفة‬
‫والرواية في هذا‬

bernama “ Ad Dala`il Wal A’lam” ia berkata : “Tidaklah dicap cacat pada


muhaddits kecuali ia berkata : Aku telah sengaja berdusta , maka ia adalah
berdusta pada pertama kali dan tidak diterima khabarnya setelah itu”. Taqyiid
wal Iidhah 151.

471 'Uluumul Hadits halaman 231.


472 Syarah An Nawawy Li Shahiih Muslim 1/70.

148
“ Pendapat yang disebutkan oleh mereka ini 473 adalah dha'if
menyelisihi kaidah-kaidah syar’iyyah, dan yang mukhtar (terpilih)
adalah tegas di dalam keabsahan taubatnya di dalam masalah ini dan
diterima riwayatnya setelah itu jika telah sah taubatnya dengan
memenuhi syarat-syaratnya yang ma'ruf dikenal. Yakni menghindari
maksiat, menyesali perbuatannya dan bertekat tidak kembali
mengulangi perbuatan tersebut dan inilah yang berjalan sesuai dengan
kaidah syara' .
Mereka telah bersepakat sahnya riwayatnya orang yang kafir
kemudian masuk islam , dan kebanyakan sahabat mereka latar
belakangnya seperti demikian , mereka juga bersepakat diterima
persaksiannya dan tidak ada perbedaan antara persaksian dan
periwayatan di dalam masalah ini”474.
Dan perkataan An Nawawy ini memberikan faidah bahwa difahami
dari kalam para imam adalah tidak diterima taubat orang yang
berdusta di hadits nabawiy , dan itu menyelisihi yang datang dari
Imam Ahmad , karena ia menegaskan menerima taubatnya di dalam
perkara antara ia dengan Allah ta'aala475 .
Akan tetapi fokus perselisihan di sini adalah penerimaan riwayatnya
setelah bertaubat . Dan yang dzahir adalah diterima sebagaimana yang
dikatakan As Shan’aniy :

‫ال وجه لرد رواية الكذاب في الحديث بعد صحة توبته إذ بعد صحتها قد اجتمعت‬
‫ فالقياس قبوله‬،‫فيه شروط الرواية‬

“ Tidak ada sisi alasan apapun untuk menolak orang yang pernah
berdusta di dalam hadits (atas nama Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam) setelah sah taubatnya karena setelah sah taubatnya

473 Pemilik pendapat pertama.


474 Syarah An Nawawy Li Shahiih Muslim 1/70.
475 Fathul Mughiits 1/335.

149
terkumpul padanya kriteria syarat periwayatan, dan (ditinjau secara)
qiyas adalah diterima”476.

476 Taudhiihul Afkaar 2/243.

150
Fasal Ke Tiga

Sisi-Sisi Yang Khusus Berhubungan


Dengan Dhabt

Adalah berhubungan dengan dhabt secara khusus. Dari bagian


tersebut mencakup dhabt shadr 477 dan dhabt kitab478 dan perkara
spesifik pada setiap masing-masing dari keduanya.

1.Bagian Yang Berhubungan Dengan Dhabt Shadr


Dan Dhabt Kitab Secara Bersamaan
Adapun yang mencakup dhabt shadr dan dhabt kitab secara bersamaan
maka cuma satu , yaitu:
Tasaahul (bermudah-mudah menyepelekan) dalam mendengar hadits (
tahammul) atau menyampaikannya ( ada’), dan itu semisal tidak
peduli dengan sambil tiduran di majlis sima’( mendengar hadits ).
Maka orang yang dikenal dengan tingkah laku seperti itu tidak
diterima riwayatnya.

Di Antara Kaidah-Kaidah Masalah Ini


1. Tidaklah ngantuk ringan yang tidak merusak memahami
pembicaraan berdampak madharat pada tahammul dan ada’ , lebih lagi
bagi orang yang cerdas . Al Haafidz Abu Al Hajjaj Al Mizziy dulu
kadang mengantuk ketika memperdengarkan – riwayat – dan ia
mengoreksi kekeliruan orang yang membaca, menyalahkan dan
bersegera membantahnya.
2. Kadang didapati di dalam memperdengarkam hadits ( sima’) ada
teguran perhatian terhadap ngantuknya orang yang mendengar atau

477 Hafalan dada.


478 Menjaga di kitab catatan.

151
orang yang memperdengarkan - riwayat -. Kadang itu dilakukan di
haknya orang yang tidak diketahui keadaannya atau ia dikenal tidak
tidak faham.

2.Bagian yang Berhubungan Dengan Dhabt Shadr


( Hafalan Dada -Maksudnya Di Luar Kepala- )
Sedangkan yang khusus di dalam dhabt shadr ( hafalan dada-
maksudnya di luar kepala ) maka ada lima sisi pembahasan:

1. ‫ سوء الحفظ‬buruk hafalan.

2. ‫ كثرة املخالفة‬banyak menyelisihi.

3. ‫ كثرة الوهم‬banyak keraguan.

4. ‫ شدة الغفلة‬sangat pelupa.

5. ‫ فحش الغلط‬parah dalam kekeliruan.

Sisi Yang Pertama : ‫ سوظفحلا ء الحفظ‬Buruk Hafalan


Tidak dapat ditentukan sisi rajih mana yang benar pada riwayat rawi
dan mana yang salah. Buruk hafalan terbagi dua :
1. Buruk hafalan yang senantiasa dialami oleh rawi. Maka di atas
acuan ini tegak hukum terhadap haditsnya . Dan ini senilai yang
ditentukan oleh penunjukan jarh dan ta'dil dan juga yang lain. Kadang
didapati penunjukan qarinah yang menuntut diterima riwayatnya , dan
kadang menuntut tadh'iif .

Itu diperjelas dengan bahwa orang shaduuq ( ‫ )صدوق‬yang sayyi`ul


hifdz ( ‫يء الحفظ‬/‫ )س‬maka pada haditsnya ada dha’fun ( kedha’ifan) 479.

479 Kata ‫حديثه ضعف‬ ‫“ في‬fi haditsihi dha’fun” maksudnya tidak bisa dijadikan hujjah
kecuali di atas kelayyinan , akan tetapi tidak bisa dihukumi bahwa ia adalah
dha'if . Karena hukum vonis dha'if butuh kepada indikasi yang menguatkan

152
Bisa hilang kedha’ifannya ketika statusnya adalah orang yang atsbat (
paling tsabt/ kokoh) dari kalangan para rawi yang meriwayatkan dari
syaikh tertentu, asalkan riwayatnya datang melalui jalur syaikh
tersebut. Karena lamanya ia melakukan mulazamah dan pengetahuan
mutqinnya terhadap haditsnya. Dan semakin bertambah dha'if jika ia
termasuk dari yang mendengar dari syaikhnya yang mukhtalith
( bercampur hafalannya) setelah mengalami ikhtilath480.
2. Buruk hafalan karena sebab tak terduga yang menimpa rawi, bisa
jadi karena kelanjutan usianya , atau karena hilangnya penglihatan
( kebutaan), atau karena kitab-kitabnya terbakar yang mana
sebelumnya ia jadikan sandaran ,setelah itu ia rujuk dengan bersandar
pada ingatannya dan buruklah hafalannya 481. Maka ini lah yang
kemudian dikenal dengan ikhtilath482.
Rawi yang Mukhtalith diterima haditsnya yang ia sampaikan sebelum
terjadi ikhtilath. Dan tidak diterima hadits rawi yang meriwayatkan
darinya setelah terjadi ikhtilath , dan juga rawi yang tidak bisa
dipastikan persoalannya sehingga tidak diketahui apakah ia
mengambil hadits darinya sebelum ikhtilath atau sesudahnya 483. Maka
ini terkuatkan dengan mutaba’ah atau syahid sehingga dengan itu
status haditsnya terangkat menjadi hasan lighairihi484.
Di antara dhabit-dhabit pada permasalahan ikhtilath adalah :
1- Penyusun shahiihain485 tidak mengeluarkn hadits -hadits dari
riwayat orang - orang mukhtalith kecuali di atas penerapan intiqa
( penyaringan yang ketat) di dua keadaan:

kedha’ifannya.
480 Maksudnya semenjak mengalami kepikunan yang membuatnya lupa dan
mencampur aduk hadits karena sebab itu.
481 Nuzhatun Nadzaar halaman 51.
482 Ikhtilath adalah rusaknya akal dan ketidak serasian antara perkataan dan
perbuatan , fathul Mughiits 3/331.cetakan As Salafiyah.
483 Lihat 'Uluumul Hadits karangan Ibnu Shalah halaman 594.
484 Nuzhatun Nadzaar halaman 51-52.
485 Al Bukhaary dan Muslim .

153
a. Datang dari jalan rawi yang mendengar mereka sebelum ikhtilath.
b. Datang melalui jalur rawi yang mendengar dari mereka setelah
ikhtilath tetapi di situasi yang banyak dari rawi-rawi saling bersepakat,
atau disepakati riwayat mereka oleh orang - orang tsiqah lagi tsabt,
sebagaimana hal demikian adalah yang dikeluarkan di dalam
mutaaba’at , atau di kondisi hadits rawi tersebut disebutkan dalam
keadaan maqrun dengan yang lainnya.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar ketika mentaujih ( menjelaskan arah
pengompromian) perihal hadits yang diriwayatkan Al Bukhaary dari
jalur Sa'id bin Abi ‘Uruubah dari Qatadah bin Di’aamah:

‫وأما ما أخرجه البخاري من حديثه عن قتادة فأكثره من رواية من سمع منه قبل‬ ّ
ً
،‫ كمحمههد بن عبههد هللا األنصههاري‬،‫االختالط وأخرج عمن سمع منههه بعههد االختالط قليال‬
‫ فههٍإذا أخههرج من حههديث هههؤالء انتقى منههه مهها توافقههوا‬.‫ وابن أبي عههدي‬،‫وروح بن عبههادة‬
‫عليه‬

“ Adapun apa dikeluarkan oleh Al Bukhaary di hadits yang


diriwayatkan olehnya dari dari Qatadah maka kebanyakannya adalah
dari riwayat orang yang mendengar mereka sebelum mengalami
ikhtilath dan ia mengeluarkan hadits dari orang yang ia mendengar
darinya setelah mengalami ikhtilath adalah sedikit, seperti Muhammad
bin Abdullah Al Anshaariy, Rauh bin ‘Ubadah ,dan Ibnu Abi ‘Adiy.
Dan jika mengeluarkan dari hadits mereka, maka ia melakukan
intiqa’( memilah-milah ) mana hadits yang mereka cocoki ”486.
Ia juga menjelaskan sisi alasan Al Bukhaary mengeluarkan hadits
Suhail bin Abi Shalih As Sammaan :

‫ كالهما عن‬،‫له في البخاري حديث واحد في الجهاد مقرون بيحيى بن سعيد األنصهاري‬
‫عياش عن أبي سعيد وذكر له حديثين آخرين متابعة في الدعوات‬ّ ‫النعمان بن أبي‬

486 Hadyu As Saariy halaman 406.

154
“ Miliknya di- shahiih - Al Bukhaary ada satu hadits pada- bab- Jihad
dengan status maqrun ( disandingkan penyebutan namanya di sanad)
dengan Yahya bin Sa'id Al Anshariy. Keduanya dari Nu’man bin Abi
‘Ayyasy dari Abu Sa'id. Dan ia menyebutkan riwayat miliknya dua
hadits lain berstatus mutaba’aat di kitab Ad Da’awaat ”487.
2- Status seorang rawi diketahui sebagai mukhtalith atau yang berubah
hafalannya yang tidak menyampaikan hadits ketika ikhtilath atau
berubah hafalannya kadang diketahui dengan beberapa indikasi
berikut:
a. Di dihalangi oleh anak-anaknya atau sebagian muridnya dari
menyampaikan hadits . Di antara contoh kasus seperti demikian
adalah Jarir bin Hazim Al Azdiy yang mengalami ikhtilath , yang
mana anak-anaknya menghijabinya ( menutupnya )sehingga
seorangpun tidak mendengar hadits darinya ketika ikhtilath488.
B Gejala perubahan hafalan terjadi ketika menjelang wafat . Ahmad
bin Abi Khaitsamah pernah berkata :
ّ
‫ أنكرنا عفان (بن مسلم الصفار) في صفر أليام خلون منه‬:‫سمعت أبي ويحيى يقوالن‬
‫ ومات بعد أيام‬،‫سنة تسع عشرة ومائتين‬

“ Aku pernah mendengar ayahku dan Yahya mengatakan : “ Kami


mengingkari ‘Affan bin Muslim As Shaffar di -bulan- Sofar dalam
beberapa hari yang kosong dari keberadaannya tahun dua ratus
sembilan belas dan ia wafat setelah berlalu beberapa hari”489.
Berkata Ad Dzahaby :

‫تغير يوجد في مرض املوت فليس بقادح في الثقة فٍإن غالب الناس يعتريهم في املرض‬ ّ ‫كل‬

‫ وإنمه هها املحه ههذور أن يقه ههع‬.‫ َوي ِت ُّم لهم وقت السه ههياق وقبل ههه أش ههد من ذلك‬،‫الح ههاد نح ههو ذله ههك‬

487 Rujukan sebelumnya halaman 418.


488 Miizaanul I'tidal 1/392.
489 Tarikh Bagdad 12/277.

155
‫االختالط بالثقههة فيحههدث في حههال اختالطههه بمهها يضههطرب في إسههناده أو متنههه فيخههالف‬
‫فيه‬

“ Setiap perubahan yang didapati ketika sakit menjelang kematian


tidak mencacat di dalam ketsiqahan . Karena umumnya orang ketika
sakit keras ditimpa kondisi seperti demikian, dan selesai mereka
ketika waktu siyaq ( sakaratul maut) dan sebelumnya adalah yang
lebih parah dari itu.
Hanya saja yang ditahdzir ( dijarh) adalah ketika ikhtilath terjadi pada
orang tsiqah dan ia menyampaikan hadits ketika ikhtilath tersebut
dengan suatu ( riwayat ) yang guncang ( mudhtarib) pada isnad atau
matannya sehingga dirinya menyelisihi490 di riwayat tadi “.
mengetahui orang - orang yang mendengar hadits dari orang - orang
yang yang ikhtilath hafalannya sebelum itu atau setelahnya bisa
dengan bantuan buku-buku yang mengulas khusus dalam masalah itu .
Di antaranya :
a. Al Ightibath Bima’rifati Man Rumiya Bil Ikhtilath 491 susunan
Burhanu ddien Al Halabiy -cucu Ibnu Al ‘Ajmiy wafat 841- .
b. Al Kaukab An Nayyirat Fi Ma’rifati Man Ikhtalatha Min Ar Ruwaat
At Tsiqat492 susunan Abu Al Barakaat Muhammad bin Ahmad bin Al
Kayyal wafat tahun 939 H.

490 Rawi-rawi yang lain. Siyar A'laam An Nubala 10/254, dan Ad Dzahaby
merajihkan tahun wafat ‘Affan bin Muslim adalah 220 H.
491 Dicetak bersama Majmu Rasaa`il Al Kamaaliyah Fil Hadits jild 2.
492 Buku ini ditahqiq oleh Abdul Qayyum ‘Abdu RabbinNabiy di risalahnya
dalam rangka meraih predikat magister , telah diterbitkan oleh Markas Bahats
Al ‘Ilmiy di Universitas Umul Qura. Sang muhaqqiq memberikan perhatian
khusus dalam melakukan istidrak terhadap penyusun buku dan menyebutkan
banyak dari nama-nama yang luput disebutkan dari kalangan rawi-rawi yang
mendengar hadits orang - orang mukhtalith sebelum atau sesudah mengalami
campur aduk hafalan, dia menambahkan dua golongan yang disisipkan, satu
diantaranya : menyebutkan sebanyak tiga puluh delapan nama dari kalangan
mukhtalithin yang dulunya tsiqah yang tidak disebutkan oleh Ibnu Al Kayyal ,
sedangkan yang lain menyebutkan tiga belas nama rawi-rawi yang mukhtalith
dari kalangan dhu’afa` ( rawi-rawi dha'if ).

156
Sisi Kedua : Sering Menyelisihi Riwayat (Katsratul
Mukhaalafah: ‫) كثرةفلاخملا ة المخالفبذكلاب ة‬
Yang dimaksud dengan mukhaalafah ( ‫ )املخالفة‬adalah seorang rawi
menyelisihi rawi yang lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi jama'ah
dari kalangan tsiqat.
Riwayat yang sering terdapat padanya penyelisihan terhadap yang lain
dihukumi sekadar kedudukan yang dituntut oleh kaidah-kaidah
mustalah hadits , rinsiannya adalah sebagai berikut:
1. jika status mukhaalafah ( penyelisihan terhadap riwayat lain) adalah
secara keseluruhan dalam hal makna yakni terjadi pertentangan makna
antara dua riwayat , maka itu adalah syaadz ( ‫ )الشاذ‬. Dengan ketentuan
rawi tersebut berstatus tsiqah atau shaduq. Dan adalah mungkar (
‫)املنكر‬jika rawi tersebut adalah dha'if 493.

2. jika mukhaalafah ( penyelisihan terhadap riwayat lain) adalah


berupa perbedaan dalam alur sanad maka itu disebut mudraj isnad (
‫)مدرج االسناد‬.

3. jika berupa dengan merubah mauquf dan sejenisnya ke status


marfu’ maka itu adalah mudraj matan (‫) مدرج املتن‬494.

4. jika berbentuk mendahulukan atau mengakhirkan maka disebut


maqlub ( ‫)مقلوب‬.

5 jika berupa menambah nama rawi di dalam sanad di sisi lain ada
penegasan jelas mendengar di jalur yang sanadnya kurang ( pendek)
di tempat tambahan maka itu disebut dengan maziid fi muttashilil
asaaniid (‫)مزيد في متصل االساند‬.

493 Nuzhatun Nadzaar halaman 36.


494 Rujukan sebelumnya halaman 46.

157
6. jika berkaitan dengan penggantian rawi dan tidak ada murajjih
( indikasi yang menguatan) satu dari kedua riwayat tadi dengan yang
lain maka disebut dengan muttharib (‫)مضطرب‬.

7. jika terjadi dengan berubah huruf atau banyak hurufnya berubah


namun gambaran khat ( guratan tulisan) masih sama di dalam teks
hadits , maka ada dua rincian:
a. jika berkaitan dengan titik huruf maka namanya mushahhaf (
‫)مصحف‬.

b. jika berkaitan dengan dengan syakel ( harakat) maka disebut


muharraf ( ‫)محرف‬495.

Sisi Ke Tiga : Banyak Melakukan Wahm Atau


Kekeliruan (‫)كثرةفلاخملا ة الوهم‬
Yang dimaksud dengan wahm adalah seorang rawi meriwayatkan
secara keliru dan ragu-ragu sehingga ia memaushulkan sanad yang
mursal dan memarfu’kan atsar yang mauquf dan sejenisnya496.
Diketahui tejadi wahm adalah dengan mengumpulkan seluruh jalur
periwayatan dan membandingkannya : antara yang maushul dan yang
mursal, yang marfu’ dan yang mauquf , antara tautsiq rawi-rawi yang
menukilkan dan sisi-sisi keda’ifan mereka . Dan jika dari riwayat-
riwayat tadi telah ada yang nampak keliru maka ia adalah mu’allal (
‫)املعلل‬497.

495 Nuzhatun Nadzaar 47.


496 Rujukan sebelumnya halaman 44,45.
497 Nuzhatun Nadzaar 44,46.

158
Sisi Ke Empat: Sangat Pelupa ( Syiddatul Ghaflah
‫)شدةفلاخملا ة الغفلبذكلاب ة‬
Ghaflah ( ‫ ) الغفلة‬adalah tidak cerdas dari segi seorang rawi tidak
memiliki ingatan dan ketelitian yang digunakan membedakan mana
yang benar dari yang salah di riwayat-riwayatnya.
Kadang lupa seorang rawi sangat parah hingga ketika diuraikan
kepadanya beberapa hadits, ia kemudian mengatakan bahwa itu semua
adalah hadits -hadits yang pernah didengarkanya . Tidakan seperti itu
dikenal dengan talqin. Yaitu ketika seorang rawi mengikut dengan apa
yang ditalqinkan kepadanya ,sama statusnya biarpun status hadits
tersebut termasuk dari haditsnya atau tidak.

Perbedaan Antara Wahm ‫ الوهم‬Dan Ghaflah ‫الغفلبذكلاب ة‬


Wahm ‫ الوهم‬adalah jenis kekeliruan dan dan hampir-hampir tidak ada
satupun dari kalangan para hafidz mutqin - sekalipun- yang selamat
dari ini , lebih lagi orang yang berada di bawah mereka tingkatannya .
Dan mencederai dhabt rawi ketika itu sering terjadi. Sehingga tidak
diterima riwayatnya ketika tidak meriwayatkan dari asal ( buku
catatan haditsnya) yang shahiih498. Berbeda dengan wahm yang sedikit
maka efeknya hanya sebatas pada hadits yang terdapat wahm padanya.

Sedangkan ghaflah ‫ الغفلة‬adalah merupakan sifat yang lazim pada


pemiliknya. Dan orang yang parah ghaflahnya ( lupa atau
kepikunannya) haditsnya disebut dengan mungkar ( ‫)منكر‬499.

498 'Uluumul Hadits 236.


499 Nuzhatun Nadzaar 45.

159
Sisi Ke Lima: Parah Kekeliruannya ( Fuhsyul
Ghalath : ‫)فحطلغلا ش الغلط‬
Yang dimaksud dengan Fuhsyul Ghalath ( ‫ ) فحش الغلط‬adalah kondisi
dimana kekeliruan rawi lebih parah jumlahnya dibanding sisi tepat
( benar) pada riwayatnya . Dan kondisi ini mengeluarkannya dari
dijadikan i'tibar mutaba’at sehingga tidak bisa menguatkan riwayat
lain dan tidak bisa terkuatkan dengan riwayat lain. Dan riwayat yang
ia bersendirian dengannya disebut dengan mungkar ( ‫)منكر‬
sebagaimana itu adalah kondisi riwayat orang yang dzahir
kefasikannya dan parah lupanya500.

2. Bagian Yang Berhubungan Dengan Dhabt Kitab

Adapun yang khusus berkaitan dengan dhabt kitab maka hanya


terdapat satu sisi pembahasan yakni : tasaahul dalam meriwayatkan
hadits dari furu’ tanpa melakukan muqaabalah dengan ashl.
Riwayat dari fare’ 501(mufrad: furu)yang tidak mendapatkan
muqaabalah adalah tempat perselisihan, terbagi jadi tiga pendapat:
1. Qadhiy ‘Iyadh tegas melarang meriwayatkan ketika tidak dilakukan
muqabalah secara mutlak502.
2. Abu Ishaq Al Isfira’ainiy pernah ditanya perihal apa boleh hal
seperti itu . Dan ia membolehkannya503.
3. sebagian imam berpendapat boleh dengan beberapa syarat:
Abu Bakar Al Isma’iliy , dan Abu Bakar Al Barqaniy mensyaratkan
rawi tersebut harus menjelaskan ketika menyampaikan hadits bahwa
ia tidak mencocokkannya dengan kitab ashl. Dan berkata sebagaimana
500 Nuzhatun Nadzaar 45.
501 Maksudnya murid syaikh.
502 Al Ilma’ halaman 158-159.
503 'Uluumul Hadits 312.

160
dikatakan Al Barqaaniy : “Telah mengkhabarkan kepada kami Fulan
dan aku tidak mencocokkannya dengan Ashl “504.
Abu Bakar Al Khathib menambahkan syarat lain yakni rawi tersebut
telah menuqilkan dari ashl yang mu'tabar505 .
Ibnu Shalah menambahkan syarat yang ke tiga yakni seorang yang
menuqilkan nuskhah adalah fare’ dari ashl yang shahiih: nuqilannya
sedikit kelirunya506.

504 Al Kifaayah 352-353, 'Uluumul Hadits 312.


505 Rujukan sebelumnya
506 'Uluumul Hadits 312.

161
Fasal Empat

Sisi-Sisi Yang Tidak Berhubungan


Dengan 'Adaalah ( Ketaqwaan) Dan
Dhabt

Bagian Pertama: Hal-Hal Yang Tidak Berkaitan


Dengan 'adaalah ( Ketaqwaan) Dan Dhabt Secara
Galib.
Ada tiga :

1. ‫ التدليس‬Tadlis 507.

2. ‫اإلرسال‬
ِ ‫ كثرة‬Katsratul irsal (banyak memursalkan hadits).
3. ‫ كثرة الرواية عن املجهولين واملتروكين‬Katsratu riwayah ‘anil majhuuliin
wal matruukiin ( banyak meriwayatkan hadits dari orang - orang yang
tidak dikenal dan orang - orang yang matruk).

507 Akan segera datang keterangannya. Ibnu Shalah menghikayatkan pendapat


sebagian ahli hadits dan fuqaha yang menilai tadlis sebagai bentuk sebab jarh
atas rawi , dan bahwa mereka mengatakan ‘ tidak diterima riwayatnya di
keadaan apapun baik ia menegaskan mendengar atau tidak’.
Kemudian beliau memilih merinci dengan kesimpulan: menerima riwayat yang
ditegaskan mendengar oleh mudallis dan berbeda dengan riwayat yang tidak
tegas mendengar ia mengungkapkan, lihat 'Uluumul Hadits 171.
Tadlis dii'tibarkan jarh karena karena unsur tuhmah( kecurigaan) dan penipuan yang
terkandung padanya. Yaitu ketika berpaling dari mengungkapkan jelas kepada
yang muhtamal. Demikian pula unsur berkenyang-kenyang dengan sesuatu yang
tidak diberikan kepadanya , yaitu ketika mengelabuhi seolah mendengar berita
yang padahal tidak ia dengar , seolah ia meriwayatkan secara uluw padahal
hadits yang disisinya adalah nuzul. Lihat fathul Mughiits 1/180.

162
Sisi Pertama: ‫ التدليس‬Tadlis
Dan ia terbagi tiga:

1.Tadlis Isnad ‫اإلسناد‬


ِ ‫تدليس‬
Yaitu seorang rawi meriwayatkan dari orang yang ia pernah bertemu
dengannya namun tidak pernah mendengar hadits darinya , ia
menyampaikannya dengan ungkapan yang mengandung
508
kemungkinan dibawa ke makna mendengar langsung atau tidak ,
ً
seperti mengatakan : ‫ ( عن فالن‬dari Fulan) atau ‫ “ ( أن فالنا قال‬bahwa
Fulan berkata :”).

2. Tadlis Taswiyah ‫تدليس التسوية‬


Yakni seorang rawi mudallis meriwayatkan hadits dengan menegaskan
bahwa ia mendengarkan dari syaikhnya -langsung- lantas ia
509
membuang rawi dha'if yang terletak antara dua rawi tsiqah di dalam
sanad, yang mana keduanya pernah saling bertemu. Dan -mudallisnya
bukan yang pertama dari dua rawi tsiqah tadi -. Kemudian si mudallis
tadi mendatangkan lafadz yang muhtamal (multi makna dari sudut
pendengar) seolah rawi pertama -dari dua rawi tsiqah- tadi mendengar
dari yang lain510 sehingga sanadnya terlihat sempurna: tsiqah semua
rawi-rawinya511.
508 Lihat Ta’rif Ahli Taqdis halaman 16. Ibnu Shalah mengi’tibarkan riwayat rawi
dari orang yang sezaman dengannya namun tidak pernah bertemu dengan
mengelabuhi bahwa ia seolah bertemu dengannya dan mendengar darinya
sebagai bagian dari tadlis isnad. Dan itu adalah irsal khafiy , lihat 'Uluumul
Hadits halaman 165, Ta’rif Ahli Taqdiis halaman 16 An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni
Shalah 2/ 614-615.
509 Ibnu Hajar berpendapat bahwa tadlis taswiyah tidak khusus pada dengan
model memutus rawi dha'if . Lihat An Nukat 2/ 621.
510 Lihat fathul Mughiits 1/190.
511 Tadlis taswiyah dii’tibarkan sebagai jenis tadlis yang paling buruk , karena
kaidah diterimanya riwayat mu'an'an tidak cukup mengungkap model tadlis
seperti ini. Karena dua syarat hukum tersambungnya riwayat mu'an'an (yakni
kemungkinan bertemu dan status rawi tidak mudallis ) tampak sempurna di
dzahir keadaan sanad tersebut .

163
3. Tadlis Syuyukh ‫تدليس الشيوخ‬
Seorang rawi meriwayatkan dari seorang syaikh sebuah hadits yang ia
dengar darinya , dia menamai syaikh tersebut , menguniyahinya ,
menisbahinya atau menyifatinya dengan sesuatu yang tidak makruf
disematkan padanya , dengan tujuan supaya tidak dikenal512.
Dampak dari dua jenis – tadlis yang pertama - adalah jelas di dalam
kesimpulan tidak bersambungnya isnad yang mu’an’an 513 dan yang
semodelnya .
Dan dampak model yang ketiga berhubungan pada terhasilkannya
ketetapan atas syaikh dengan kemajhulan.
Berkata Ibnu Daqiiq Al `Ied :
ً
‫مجهوال فيسقط العمل بالحديث لكون‬ ‫فٍإنه (يعني التدليس) قد َي ْخفى ويصير الراوي‬
ً ً ً
..‫الراوي مجهوال عند السامع مع كونه عدال معروفا في نفس األمر‬

“ Karena kadang tadlis samar , dan rawi – yang ditadlis – menjadi


majhuul. Ujungnya gugur mengamalkan hadits karena status rawi –
hadits – adalah majhuul dari sudut pandang pendengar hadits, padahal
statusnya adalah ‘adil dan dikenal pada kenyataannya”514.

Beberapa Kaidah Berkaitan Dengan Tadlis

Dan termasuk dari kaidah-kaidah dalam pembaha-


san tadlis yang pertama :
Al Haafidz Shalaahuddin Al ‘Allaa`iy membagi rawi-rawi mudallis
menjadi lima tingkatan. Dan faidah dalam- mengetahui - pembagian
ini adalah – berdampak- pada putusan hukum atas hadits yang

512 Lihat 'Uluumul Hadits halaman 167.


513 Lihat rujukan sebelumnya halaman 152. Maksudnya mu'an'an adalah seorang
rawi mengatakan : “ dari Fulan dari Fulan “ jika dalam bahasa Arab : ‫عن فالن عن فالن‬
huruf jarr ‘an ( ‫ ) عن‬inilah yang kemudian dijadikan acuan istilah ‫ معنعن‬mu'an'an .
514 Al Iqtirah Fy Bayaani Al Isthilah halaman 214.

164
diriwayatkan mudallis jika tidak mentashrih ( menegaskan )
mendengar menurut kekhususan hukum pada masing-masing
tingkatan :
Tingkatan pertama, rawi yang tidak tersifati dengan tadlis kecuali
sangat jarang sekali yang mana sepatutnya tidak perlu diperhitungkan
-sebagai catatan perhatian- pada hak mereka . Seperti Yahya bin Sa'id
Al Anshariy, Hisyam bin ‘Urwah dan Musa bin ‘Uqbah.
Tingkatan yang ke dua , rawi-rawi yang tadlisnya ditoleransi oleh
para imam , dan mereka mengeluarkan haditsnya di shahiih meskipun
tidak -dalam meriwayatkan hadits – tidak mentashrih ( menegaskan )
dengan mendengar . Seperti itu adalah karena keimamannya dan
jarangnya melakukan tadlis pada sisi apa yang ia riwayatkan. Semisal
At Tsauriy 515 . Atau rawi yang tidak melakukan tadlis kecuali dari
tsiqah. Semisal Sufyan bin ‘Uyainah .
Tingkatan yang ke tiga , rawi yang sering melakukan tsdlis dan apa
yang ia riwayatkan dari hadits -hadits tidak dijadikan hujjah oleh para
imam kecuali dengan – menyampaikan- ungkapan penegasan
( tashrih) mendengar langsung , di antara mereka ada yang menolak
haditsnya secara mutlak dan ada yang secara mutlak menerimanya.
Semisal Abu Az Zubair Muhammad bin Muslim Al Makkiy.
Tingkatan yang ke empat, rawi yang telah disepakati oleh para imam
tidak dipakai haditsnya sebagai hujjah kecuali mengungkapkan secara
tegas ia mendengar karena seringnya ia melakukan tadlis dari rawi-

515 Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :


ّ
‫ ولكن له نقد وذوق وال عبرة بقول من‬،‫ متفق عليه مع أنه كان يدلس عن الضعفاء‬،‫الحج ة الثبت‬ ‫سفيان بن سعيد‬
‫ يدلس ويكتب عن الكذابين‬:‫قال‬
“ Sufyan bin Sa'id adalah al hujjah at tsabt yang disepakati meskipun ia pernah
melakukan tadlis dari rawi-rawi dha'if . Namun begitu, ia punya naqd ( kritikan) dan
dzauq (perasa) . Dan tidak perlu diambil perhatian dengan orang yang mengatakan :
‘ Ia melakukan tadlis dan menulis dari orang - orang kaddzaabiin ( banyak berdusta
dalam meriwayatkan hadits / pemalsu hadits). Miizaanul I'tidal 2/169.

165
rawi dha'if dan tidak dikenal ( majhuul) , semisal Baqiyah bin Al
Walid.
Tingkatan yang ke lima, rawi yang didha'ifkan dengan alasan lain
selain tadlis. Maka haditsnya adalah tertolak meskipun mengungkap
kan dengan tegas ia mendengar kecuali kecuali pada rawi yang
dha’ifnya sedikit dan ditautsiq. Seperti Abdullah bin Luhai’ah516.

Kaidah ke dua, riwayat rawi mudallis dihukumi


bersambung meskipun datang dalam bentuk
mu'an'an pada dua keadaan:
a. Jika datang dari jalur ahli kritik dan tahqiq hadits perihal
mendengarnya mudallis yang melakukan ‘an’anah tadi di riwayat-
riwayat yang datang melalui jalur mereka. Dan di antara contoh untuk
itu :
1- Perkataan Syu'bah :

‫ وقتادة‬،‫الس ِب ْي ِعي‬
َّ ‫ وأبي إسحاق‬،‫ األعمش‬:‫كفيتكم تدليس ثالثة‬

“ Aku telah mencukupkan kalian dari tadlisnya tiga orang Al A’masy ,


Abu Ishaq As Saabi’iy dan Qatadah”.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :

‫ أنها إذا جاءت من طريق شعبة دلت‬،‫فهذه قاعدة جيدة في أحاديث هؤالء الثالثة‬
‫على السماع‬

“ Ini adalah kaidah yang bagus mengenai hadits -hadits tiga orang
ini : jika datang dari jalur Syu'bah maka itu menunjukkan mereka
mendengar langsung”517.

516 Lihat Jami’u At Tahshiil halaman 113, Ta’rifu Ahli Taqdis Bimaratibi Al
Maushufina Bi At Tadlis halaman 13-14.
517 Ta’rifu Ahli Taqdis Bimaratibi Al Maushufina Bi At Tadlis halaman 59.

166
2- Riwayat Laits bin Sa’ed dari Abu Az Zubair dari Jabir . Laits
tidaklah mendengar dari Abu Az Zuabair kecuali yang didengarnya
langsung dari Jabir. Sa'id bin Abi Maryam pernah berkata :

‫ أسمعت هذا كله من جابر؟‬:‫ جئت أبا الزبير فدفع لي كتابين فسألته‬:‫حدثنا الليث قال‬
َ َ
‫ فهأ ْعل َم لي‬،‫هأع ِل ْم لي على مها سهمعت منهه‬
ْ ‫ ف‬:‫ قهال‬.‫ فيه ما سههمعت وفيهه مها لم أسهمع‬،‫ ال‬:‫قال‬

‫على هذا الذي عندي‬

“ Telah berkata kepada kami Al Laits ia berkata : Aku pernah


mendatangi Abu Az Zubair kemudian ia memberikan kepadaku dua
buku , aku bertanya kepadanya : Apakah engkau mendengar ini semua
dari Jabir ? Ia berkata: tidak , di situ ada yang kudengar langsung dan
di situ ada yang belum aku dengar -langsung - . ia berkata ( Laits) :
beritahukan kepadaku yang engkau mendengarkannya dari dia -
langsung- ! Kemudian ia memberi tahuku yang ada padaku ini”518.
3- Yahya Al Qatthan tidak meriwayatkan dari Zuhair bin Mu’awiyah
dari Abu Ishaq As Saabi’iy kecuali yang dari Abu Ishaq
mendengarkannya langsung dari syaikh-syaikhnya .
Berkata Al Isma’iliy :
ّ
‫ى أن يأخذ عن زهير ما ليس بسماع ألبي إسحاق‬/‫القطان ال يرض‬

“ Al Qatthan tidak ridha mengambil dari Zuhair hadits yang tidak


bersumber dari mendengarnya Abu Ishaq sendiri”519.
Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :
ّ
‫وكأنه عرف ذلك باالستقراء من صنيع القطان أو بالتصريح من قوله‬

“ Dan seolah ia tahu akan hal itu dengan istiqra’ dari sepak terjang Al
Qatthan atau penegasan dari perkataannya “520.

518 Rujukan sebelumnya halaman 59.


519 Fathul Baary 1/258,dan lihat juga An Nukat 2/ 631, fathul Mughiits 1/ 183.
520 Rujukan sebelumnya di tempat halaman yang telah disebutkan juga
sebelumnya.

167
4- Riwayat Yahya Al Qatthan dari Sufayan At Tsauriy ( meskipun
Sufyan sedikit sekali melakukan tadlis521 ).
b. Jika riwayat tersebut adalah dari rawi yang si mudallis tadi banyak
meriwayatkan hadits darinya , di antara contoh dalam hal ini adalah
yang disebutkan oleh Al Haafidz Ad Dzahaby di dalam biografi Al
A’masy :
ّ ّ
‫ ومتى‬،‫ (حدثنا) فال كالم‬:‫ فمتى قال‬،‫وربما دلس عن ضعيف وال ُي ْد َرى به‬ ّ ‫يدلس‬ ‫وهو‬
ّ َ َ َ
)‫ (عن) تط َّرق إليه احتمال التدليس إال في شيوخ له أكههثر عنهم كههٍإبراهيم (النخعي‬:‫قال‬
‫ ف ه ههٍإن روايت ه ههه عن ه ه ههذا الص ه ههنف‬،‫وأبي وائ ه ههل (ش ه ههقيق بن س ه ههلمة) وأبي ص ه ههالح الس ه ه ّهمان‬
‫محمولة على االتصال‬

“ Ia melakukan tadlis dan kadang melakukannya dari rawi dha'if dan


tidak dikenal identitasnya, semasih ia berkata ‘ telah berkata kepada
kami ‘ ( ‫ ) حدثنا‬maka tidak ada masalah yang dibincangkan untuk itu,
dan jika ia berkata : ‘dari’ ( ‫ )عن‬maka terjadi padanya kemungkinan ia
melakukan tadlis . Kecuali pada syaikh-syaikhnya yang ia banyak
mengambil -riwayat -darinya seperti Ibrahim An Nakha’iy , Abu Wa`il
( Syaqiiq bin Salamah) , Abu Shalih As Samman , maka riwayatnya
dari rawi-rawi seperti ini dibawa kepada ittishal522.

Kaidah ke tiga : beberapa kemungkinan yang


perlu diperhatikan berkaitan dengan hadits rawi-
rawi mudallis yang datang di kitab shahiihain
dengan kondisi mu'an'an :
a. Datang dalam bentuk ungkapan tegas mendengar ( ‫)التصريح بالسماع‬
di tempat lain di kitab shahiih itu sendiri, atau di kitab shahiih yang
lain , atau di salah satu dari dawaawin sunnah yang lain seperti kitab-
kitab sunan , musnad, mu’jam, ajza’ dan yang lainnya523.
521 Lihat fathul Mughiits 1/183-184.
522 Ittishal maksudnya bersambung. Lihat kalam ini di Miizaanul I'tidal 2/ 224.
523 Lihat fathul Mughiits 1/ 183- 184.

168
b. Status si mudallis masuk dalam dua tingkatan dari urutan awal
( pertama, ke dua) di jajaran maratib mudallisin524.
c. Riwayat tersebut dari jalur sebagian nuqad (kritikus) yang mereka
melakukan tahqiq terhadap ihwal mendengarnya rawi yang melakukan
‘an’anah terhadap riwayat tersebut525.
d. Riwayat mudallis tersebut berasal dari salah satu syaikh-syaikhnya
yang ia banyak mengambil hadits dari mereka.
e. riwayat yang tertadlis tadi datang dalam kondisi disebutkan bersama
riwayat rawi lain ( maqrun) atau disebutkan di dalam mutaba’at dan
syawahid .
f. Kemungkinan Asy Syaikhany ( Al Bukhaary dan Muslim ) telah
melihat jalur lain yang tegas ungkapannya menunjukkan
mendengar526, hanya saja mereka berdua berpaling karena meringkas

524 Lihat rujukan sebelumnya 1/ 183- 184.


525 Lihat fathul Mughiits 1/183.
526Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :

‫عما وقع في الصحيحين من حديث املدلس‬ ّ ‫ وسألته‬:‫وفي أسئلة اإلمام تقي الدين السبكي للحافظ أبي الحجاج ا ِمل ّزي‬
ِ ِ
ّ ّ
‫ وإال ففيهمهها أحههاديث‬،‫ كههذا يقولههون ومهها فيهه إال تحسههين الظن بهمهها‬:‫ فقههال‬.‫ إنهما اطلعهها على اتصههالها؟‬:‫ هل نقول‬.‫معنعنا‬
‫من رواية املدلسين ما توجد من غير تلك الطريق التي في الصحيح‬

“ Dan di antara pertanyaan yang diutarakan oleh Imam Taqiyuddien As Subukiy


kepada Abu Al Hajjaj Al Mizziy : ‘ dan aku bertanya kepadanya tentang yang
terdapat di shahiihain dari hadits mudallis yang mu'an'an , akankah kita katakan
bahwa keduanya telah merlihat sisi ittishalnya ( bersambungnya)? Ia berkata :
seperti itu yang mereka katakan , dan tidaklah demikian kecuali bentuk berbaik
sangka pada perkara keduanya , meskipun begitu , di keduanya ada beberapa hadits
dari riwayat mudallisin yang ternyata didapati jalur lain selain jalur yang di shahiih
tersebut “.

Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :

‫ فيحمل كالمهم هنا على ما كان‬،‫ وليست األحاديث التي في الصحيحين بالعنعنة عن املدلسين كلها في االحتجاج‬:‫قلت‬
‫ وك ه ههذلك‬.‫ أم ه هها م ه هها كه ههان في املتابع ه ههات فيحتم ه ههل أن يك ه ههون حص ه ههل التس ه ههامح في تخريجه ه هها كغيرها‬.‫منه ه هها في االحتج ه ههاج فقط‬
‫ بل هم على مراتب‬،‫املدلسون الذين خرج حديثهم في الصحيحين ليسوا في مرتبة واحدة في ذلك‬

169
dengan riwayat tersebut atau karena bukan menurut syarat mereka.
Karena keduanya telah melakukan intiqa’(sortase) kitab shahiih
mereka dari ratusan ribu hadits -hadits .

Kitab-kitab yang paling penting dijadikan rujukan


mengetahui tingkatan-tingkatan mudallis
1. Ta’rifu Ahli Taqdis Bimaratibi Al Maushufina Bi At Tadlis susunan
Al Haafidz Ibnu Hajar ( wafat 852 H ).
Al Haafidz Ibnu Hajar terinspirasi terhadap pembagian Al ‘Alla`iy
terhadap tingkatan-tingkatan mudallisiin ( rawi-rawi yang melakukan
tadlis) di kitabnya Jami’u At Tahshiil fi Ahkaami Al Maraasiil sebagai
pondasi mengumpulkan nama-nama mereka , sehingga beliau
mengurutkan bagian kitabnya seperti itu , yakni ia menyebutkan di
setiap tingkatan nama-nama rawi yang pantas diletakkan di tingkatan
tersebut . Dan keseluruhan mereka yang disebutkan mencapai 152
rawi mudallis.
Namun ijtihadnya di dalam menggolongkan mereka (rawi-rawi
mudallis ) tidak sama dengan yang di bukunya An Nukat ‘Alaa Kitab
Ibni Shalah , sementara itu adalah kitab yang lebih akhir disusun dari
pada kitabnya Ta’riifu Ahli Taqdiis tadi527.
Contohnya , dia menyebutkan Sulaiman bin Mihran Al A’masy di
tingkatan ke dua di kitabnya Ta’riifu Ahli Taqdiis 528, namun ia

“Aku katakan : Tidaklah hadits -hadits yang terdapat di shahiihain dengan bentuk
mu'an'an dari mudallis semuanya disebutkan di kategori dipakai ihtijaj . Maka kalam
mereka ini dibawa ke riwayat-riwayat mu'an'an di kategori ihtijaj saja. Adapun
berhubungan dengan mutaaba’at maka mengandung ihtimal karena sikap tasaamuh
(berlunak-lunak menyaring) dalam mengeluarkannya seperti kasus riwayat-riwayat
di kategori serupa yang lain. Seperti itu pula rawi-rawi mudallis yang hadits -hadits
mereka dikeluarkan di shahiihain tidaklah mereka dalam satu tingkatan bahkan
mereka bertingkat-tingkat”. An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni Shalah 2/636.

527 Lihat rujukan sebelumnya 2/650.


528 Lihat halaman 33.

170
menyebutkan di tingkatan ke tiga di kitabnya An Nukat ‘Alaa Kitab
Ibni Shalah529 .
2. Ittihaafi Dzawi Ar Rusukh Biman Rumiya Bi At Tadliis Min Asy
Syuyukh susunan Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshariy dan
kitab tersebut tersusun menurut huruf dan menghimpun isi yang yang
terdapat di tiga risalah yang membahas nama rawi-rawi mudallis
susunan Al Haafidz Ibnu Hajar , Burhanudien Al Halabiy, dan As
Suyuthiy dan Jumlah mereka yang terkumpul padanya ( 161) rawi
mudallis.

Sisi Ke Tiga, Katsratul Irsaal ( ‫ ) كثرةفلاخملا ة االرسال‬Banyak


Memursalkan Hadits
Memursalkan hadits ada dua jenis cara, yakni :

irsal dzahir ( jalliy / ‫ )ارسال الظاهر الجلي‬dan irsal khafiy ( ‫) ارسال خفي‬.

Yang paling pertama diketahui dengan tidak terungkapnya keadaan


sezaman (‫ )املعاصرة‬antara dua rawi 530, sedangakan yang ke dua
diketahui diketahui tidak pernah bertemu ( ‫ ) اللقاء‬meskipun sezaman (
‫) املعاصرة‬531.

Bolehkan bersengaja dalam memursalkan hadits ?

Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :


ً ّ ‫ال يخلو املرسل أن يكون شيخ من أرسل الذي‬
‫ ه‬2 .‫ ه عدال عنده وعند غيره‬1 :‫حدث به‬ ِ
ً
‫ ه أو غه َهير عههدل عنههده‬4 .‫ ه أو عههدال عنههده ال عنههد غههيره‬3 .‫أو غه َهير عههدل عنههده وعنههد غههيره‬

529 Lihat di 2/640.


530 Lihat An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni Shalah 2/ 623, fathul Mughiits 1/ 133,
177,178.
531 Rujukan sebelumnya .

171
ً
.‫ ممن ههوع بال خالف‬:‫ الث ههاني‬.‫ ج ههائز بال خالف‬:‫ األول‬:‫ ه ههذه أربع ههة أقس ههام‬.‫ع ههدال عن ههد غ ههيره‬
‫وكل من الثالث والرابع يحتمل الجواز وعدمههه وتههردده بينهمهها بحسههب األسههباب الحاملههة‬
‫عليه‬

“ Orang yang memursalkan hadits tidak lepas keadaan syaikhnya rawi


yang memursalkan, yang mengatakan hadits tadi dari keadaan
berikut :
1. Adil menurutnya dan menurut lainnya.
2. Tidak adil menurutnya dan juga menurut lainnya.
3. Adil menurutnya tidak menurut yang lain .
4. Tidak adil menurutnya dan adil menurut yang lainnya.
Empat keadaan ini , yang pertama adalah boleh dengan tanpa khilaf.
Kedua terlarang dengan tanpa khilaf. Sedangkan masing-masing dari
tiga dan empat kadang boleh dan kadang tidak . Hukum keadaannya
berkisar antara keduanya bergantung pada sebab-sebab
532
pendorongnya “.

Sebab-Sebab Seorang Rawi Memursalkan Hadits

Pendorong seorang rawi yag tidak meriwayatkan kecuali dari seorang


yang tsiqah memursalkan hadits adalah terdapat beberapa sebab :
1. Keadaan dimana ia mendengar hadits dari jama'ah tsiqah dan
shahiih menurutnya dan ia memursalkannya karena bersandar pada
keshahiihan hadits yang diriwayatkan olehnya dari syaikh-syaikhnya.
2. Ia lupa dengan orang yang menyampaikan hadits tersebut dia
hanya tahu matannya dan ia menyebutkannya secara mursal karena
(asas) asal manhaj periwayatan yang ditempuhnya adalah tidak
menyimpan hadits kecuali dari seorang tsiqah.

532 An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni Shalah 2/ 557.

172
3. Ia memaksudkan mengatakan suatu hadits dengan menyebutkan
hadits tersebut dalam konteks mudzakarah atau berfatwa sehingga ia
hanya menyebutkan matan , karena yang dimaksudkan dalam kondisi
seperti itu bukanlah sanad , terlebih lagi ketika yang mendengar
adalah tahu dengan yang sedang duduk di hadapannya karena
kemsyhurannya atau karena yang lain dari sebab – sebab .
Adapun orang yang memursalkan hadits dari siapapun maka kadang
pendorongnya melakukan tindakan irsal tadi adalah karena dha'ifnya
orang yang menyampaikan hadits kepadanya, tetapi seperti ini
memaksakan cacat pada pelakunya karena dampaknya yakni sikap
khiyanat533.

Hadits - hadits mursal yang diriwayatkan para rawi


ditinjau dari sisi kekuatannya bertingkat-tingkat ,
dengan rincian sebagai berikut:

1. Yang paling tinggi adalah : mursal sahabat yang tsabit ( valid )


sima’nya 534( pernah mendengarnya ) .
533 Rujukan sebelumnya 2/ 555.
534 Berkata Ibnu Shalah :
‫ مثل ما يرويه ابن عباس وغيره‬.‫ مرسل الصحابي‬:‫يسمى في أصول الفقه‬ َّ ‫لم َن ُع ْد في أنواع املرسل ونحوه ما‬
‫من أح ههداث الص ههحابة عن رس ههول هللا ه ه ه ولم يس ههمعوه من ههه؛ ألن ذل ههك في حكم املوص ههول املس ههند؛ ألن‬
‫ والجهالة بالصحابي غير قادحة؛ ألن الصحابة كلهم عدول‬،‫روايتهم عن الصحابة‬
“ Kami tidak menganggap ke dalam jenis-jenis mursal dan yang
semaknanya yakni: riwayat yang diberi nama di bidang ushul fiqh
dengan sebutan mursal shahabiy , seperti yang diriwayatkan Ibnu
Abbas dan yang lain dari berita-berita shahabat dari Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam yang mereka tidak mendengarkan langsung dari
beliau shallallaahu 'alaihi wasallam . Karena hal itu berada di hukum
maushul musnad, karena riwayat mereka adalah dari shahabat,
sedangkan jahalah pada identitas shahabat tidaklah
mencederai( ghairu qaadihah) karena shahabat seluruhnya adalah ‘adil
“. 'Uluumul Hadits 141-142.

173
2 Kemudian mursal shahabat yang pernah melihat saja tetapi tidak
tsabit sima’nya ( riwayat pernah mendengarnya).
3. Mursalnya orang - orang mukhadram535 .
4. Mursalnya rawi-rawi mutqin seperti Sa'id bin Al Musayyib .
5. Mursalnya rawi yang ia pilih-pilih dalam di dalam menentukan
syaikh , seperti As Sya’biy dan Mujahid .
6. Kemudian mursal orang yang mengambil hadits dari setiap orang
seperti Al Hasan
Sedangkan mursal shigar tabi'iin seperti Qotadah , Az Zuhriy dan
Humaid At Thawiil maka umum kebanyakan riwayat mereka berasal
dari tabi'iin 536.
Kitab-kitab penting di dalam mengetahui rawi-rawi yang
memursalkan hadits :
1. Al Maraasiil susunan Abdurrahman bin Abi Hatim .

Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :

‫ أما من ال يمكنه ذلك فحكم حديثه حكم غيره من املخضرمين الذين لم يسمعوا‬.‫إنما َي ْعنون بذلك من أمكنه التحمل والسماع‬
‫من النب‬
“ Hanya yang mereka maksudkan dengan itu adalah orang yang
memungkinkan bagi dirinya melakukan tahammul dan sima’ , adapun
yang tidak memungkinkan itu maka hukum haditsnya adalah seperti
yang lain seperti orang - orang mukhadramun yang tidak mendengar
dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam “. An Nukat 'Alaa Kitabi Ibni
Shalah 2/ 541.

535 Orang – orang muslim yang pernah hidup di masa jahiliyah sezaman dengan
masa kenabian namun tidak masuk dalam jajaran kalangan sahabat karena tidak
pernah melihat dan mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam . Mereka
adalah termasuk dalam jajaran tabi'iin kubbar ( tabi’in generasi pertama).
Wallaahu a’lam.
536 Lihat fathul Mughiits 1/152.

174
2. Jami’u At Tahshiil fiy Ahkaami Al Maraasiil , susunan Al Haafidz
Shalahuddien Al ‘Allaa`iy.

Sisi Ke Tiga: Banyak Mengambil Riwayat Dari


Rawi-Rawi Majhuul Dan Matruk

Hal seperti itu dianggap sebagai kritikan atas rawi karena alasan-
alasan berikut.
1. Karena tidak komitmen dengan memilih-milih syaikh.
2. Tidak mantab di dalam pengetahuannya akan rawi-rawi majhuul.
3. Tidak terdapatnya faidah mengambil riwayat dari orang - orang
matruuk dalam konteks tujuan menguatkan riwayat- riwayat .
Sedangkan tidak pilah-pilah dalam meriwayatkan hadits
mendampakkan pengaruh pada beberapa hal di antaranya :
1. Dirajihkannya mursal rawi yang melakukan seleksi syaikh daripada
yang tidak melakukan seleksi syaikh, sebagaimana telah terdahulu
penjelasannya.
2. Rawi tersebut kadang bisa dicurigai berdusta ketika dia berbanyak-
banyak meriwayatkan dari orang - orang yang tidak didapati
biografinya di kitab nama-nama rawi , sebagaimana yang menimpa
Muhammad bin ‘Umar Al Waqidiy537.

Yang Bisa Terkuatkan Dari Riwayat-Riwayat Yang


Dha'if

Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar :

537 Lihat Al Mujatama’ Al Madaniy Fi ‘Ahdi An Nubuwwah halaman 44.

175
ُ
‫يء الحفههظ بمعتههبر ه كههأن يكههون فوقههه أو مثلههه ال دونههه ه وكههذا املختلههط‬/‫ومههتى توبههع السهه‬
َّ
،‫واإلسههناد املرسههل وكههذا املدلس إذا لم ُيعههرف املحههذوف منههه‬ ِ ‫ واملسههتور‬،‫الههذي لم يتمههيز‬
ً
‫ ألن‬.‫ بل وصفه بههذلك باعتبههار املجمههوع من املته ِهابع واملته َهابع‬،‫صار حديثهم حسنا ال لذاته‬
ً
‫ ف ههٍإذا‬،‫م ههع ك ههل واح ههد منهم احتم ههال ك ههون روايت ههه ص ههوابا أو غ ههير ص ههواب على ح ههد س ههواء‬
‫ رجح أحه ه ههد الجه ه ههانبين من االحتمه ه ههالين‬،‫جه ه ههاءت من املعته ه ههبرين روايه ه ههة موافقه ه ههة ألحه ه ههدهم‬
‫ ف ههارتقى من درجههة التوق ههف إلى درجههة‬،‫ودل ذل ههك على أن الحههديث محفههوظ‬ ّ ‫املذكورين‬
‫ ومه ههع ارتقائه ههه إلى درجه ههة القبه ههول فهه ههو منحه ههط عن رتبه ههة الحسه ههن‬.‫القبه ههول ه ه وهللا أعلم ه ه‬
ّ ّ ،‫لذاته‬
‫وربما توقف بعضهم عن إطالق اسم الحسن عليه‬

“ Ketika seorang sayi`ul hifdzi ( buruk hafalan) dimutaba’ahi dengan


rawi yang mu'tabar - seperti rawi yang tingkatan hafalannya di
atasnya, atau semisalnya dan tidak di bawah tingkatannya – demikian
juga seorang yang berubah hafalannya ( mukhtalith) yang tidak bisa
membedakan , dan rawi mastur dan juga isnad yang mursal, demikian
pula rawi mudallis yag tidak diketahui siapa yang dibuang di dalam
sanad, maka haditsnya menjadi hasan , tidak berstatus secara dzatnya
namun sifat tersebut disimpulkan secara keseluruhan meliputi mutabi’
dan mutaaba’ . Karena pada setiap masing-masing dari mereka
memiliki kemungkinan status riwayatnya adalah benar atau tidak
benar secara sama . Jika datang riwayat dari rawi-rawi mu'tabar yang
sama dengan apa yang mereka riwayatkan , maka menjadi rajihlah
salah satu sisi kemungkinan tadi yang disebutkan , dan itu
menunjukkan bahwa hadits tersebut adalah dihafal , maka
terangkatlah dari status didiamkan ( tawaqquf) ke derajat diterima
( qabul) – wallalu a’lam.
Namun begitu, meskipun terangkat ke derajat qabul ( diterima)
tetaplah ia di bawah tingkatan hasan lidzatihi, dan kadang sebagiam
mereka tawaqquf dari memutlakkan nama hasan terhadap riwayat
tersebut”538.

538 Nuzhatun Nadzaar 51-52.

176
Dan riwayat dha'if di dalam dhabt hanya terkuatkan dengan tiga syarat
yakni:
1. Dha'ifnya tidak terlalu.
2. terdukung dengan mutaba’ah atau syahid semisal atau yang lebih
kuat darinya.
3. tidak menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah atau jama'ah tsiqah.

177
BAB KE TIGA

Ungkapan-Ungkapan Yang Muncul Di


Dalam Jarh Dan Ta'diil

Pada bab ini ada dua fasal :

Fasal pertama : makna-makna dari sebagian


beberapa ungkapan jarh dan ta'dil.

Fasal ke dua: tingkatan kedudukan lafadz-lafadz


jarh dan ta'dil.

178
Fasal Pertama :

Makna - Makna Dari Beberapa Di


Antara Ungkapan Jarh Dan Ta'dil.

Para a`immah jarh dan ta'dil mereka menempuh dua metode


( manhaj) di dalam memperlihatkan jarh rawi-rawi dan tautsiq
terhadap mereka, yaitu:
1. Dengan lafadz-lafadz.
2. Gerakan ( isyarat) .

Pertama: Dengan lafadz-lafadz


Lafadz-lafadz jarh dan ta'dil ada yang di antaranya masyhuur familier
sering digunakan, ada yang tidak banyak -dipakai-. Lafadz-lafadz
yang familier sering digunakan ada yang istilah umum, dan
sebagiannya khusus pada sebagian para imam.
Dan di antara istilah-istilah umum dipakai sebagai tautsiiq dengan
lafadz-lafadz adalah :

1. ‫ ( ثقة‬tsiqah) yakni adil dhabt539, dan makna ini adalah pemutlakkan


yang masyhuur . Dan kadang lafadz ‫ ( ثقة‬tsiqah) juga dimutlakkan
kepada selain makna ini , di antaranya:
a. sebagian mereka kadang mereka memutlakkan sifat dengan sebutan
‫ ( ثقة‬tsiqah) ditujukan kepada rawi yang diterima meskipun tidak
dhabt540 .
b. Kadang diinginkan dengan lafadz tersebut: konsistensi yang sampai
kepada yang mentsiqahkan dari hadits seorang rawi, dan bukan vonis
539 Lihat Al Ba'its Al Hatsiits halaman 77.
540 Fathul Mughiits 1/ 369.

179
‫‪hukum di haknya rawi tersebut bahwa statusnya adalah pada tingkatan‬‬
‫‪tersebut 541.‬‬

‫‪ ( tsiqah) kadang‬ثقة ‪Di antara yang menunjukkan bahwa kalimat‬‬


‫‪datang tidak sebagaimana maknanya yang masyhur dikenal; adalah‬‬
‫‪dua perkara yang disebutkan Syaikh Abdurrahman Al Mu’allimiy‬‬
‫‪rahimahullah ta'aala , yakni :‬‬

‫األول‪ :‬أن جماعة من األئمة يجمعون بينها وبين التضعيف‪.‬الثاني‪ :‬أن أئمة الحديث ال‬
‫يقتصههرون على الكالم فيمن طههالت مجالسههتهم لههه وتمكنت معههرفتهم بههه‪ ،‬بههل قههد يتكلم‬
‫ً‬ ‫ً‬ ‫ً‬ ‫ً‬
‫أح ههدهم فيمن لقي ههه م ههرة واح ههدة وس ههمع من ههه مجلس هها واح ههدا أو ح ههديثا واح ههدا‪ ،‬وفيمن‬
‫عاصههره ولم يلقههه ولكنههه بلغههه شهه‪/‬يء من حديثههه‪ ،‬وفيمن كههان قبلههه بمه ّهدة قههد تبلههغ مئههات‬
‫الس ههنين إذا بلغ ههه ش هه‪ /‬يء من حديثه ههه‪ ،‬ومنهم من يج ههاوز ذل ههك‪ ،‬ف ههابن حب ههان ق ههد ي ههذكر في‬
‫الثق ههات من يج ههد البخ ههاري س ههماه في تاريخ ههه من الق ههدماء وإن لم يع ههرف مهها روى وعمن‬
‫ّ‬
‫روى ومن روى عنه ههه‪ ،‬ولكن ابن حبه ههان يتشه ههدد وربمه هها تعنت فيمن وجه ههد في روايته ههه مه هها‬
‫ً‬ ‫ً‬
‫اسههتنكره‪ ،‬وإن كههان الرجههل معروفهها مكههثرا‪ .‬والعجلي قههريب منههه في توثيههق املجاهيههل من‬
‫القههدماء‪ ،‬وكههذلك ابن سههعد وابن معين‪ ،‬والنسههائي‪ ،‬وآخههرون غههيرهم يوثقههون من كههان‬
‫من التههابعين وأتبههاعهم إذا وجههدوا روايههة أحههدهم مسههتقيمة بههأن يك ههون لههه فيم هها يههروي‬
‫ّ‬ ‫ّ‬
‫مت ه ههابع أو ش ه ههاهد وإن لم يه ههرو عن ه ههه إال واح ه ههد ولم يبلغهم عن ه ههه إال حه ههديث واحد‪ ...‬ومن‬
‫َّ‬ ‫ُ ّ‬
‫تقدمه حتى َيط ِل َع على عه ّهدة أح ههاديث لههه تكههون مسههتقيمة‪ ،‬وتكههثر‬ ‫وثق من ّ‬
‫األئمة من ال ي ِ‬
‫حههتى يغلب على ظنههه أن االستق ههامة كههانت ملكههة لههذلك ال هراوي‪ .‬وهههذا كلههه يههدل على أن‬
‫ُج َّل اعتمادهم في التوثيق والجرح إنما هو على سير حديث الراوي‬

‫‪Pertama: jama'ah dari kalangan para imam mereka menggabungkan‬‬


‫‪lafadz tersebut dengan tadh'iif542 .‬‬
‫‪Kedua : para imam-imam hadits mereka tidak sebatas hanya‬‬
‫‪membicarakan orang yang mereka lama melakukan mujaalasah di‬‬
‫‪541 At Tankiil 1/ 369.‬‬
‫‪542 Rujukan sebelumnya 1/ 69.‬‬

‫‪180‬‬
depannya dan kenal betul saja . Bahkan kadang salah satu dari
mereka kadang membicarakan orang yang ia temui sekali saja,
mendengar darinya di satu majlis dan satu hadits saja, dan
membicarakan orang yang sezaman dengannya meskipun tidak
pernah bertemu , hanyasaja sampai kepadanya sedikit dari hadits -
hadits yang diriwayatkannya , dan membicarakan orang yang telah
ada sebelum dia dengan jarak waktu yang kadang sampai ratusan
tahun , yaitu ketika sampai kepadanya beberapa dari haditsnya , dan di
antara mereka ada yang lebih lama lagi. Ibnu Hibban kadang
menyebutkan di dalam kitab At Tsiqat orang yang ia jumpai Al
Bukhaary menamainya di dalam tarikhnya dari generasi qudama
( mutaqaddimin ) meskipun tidak tahu apa yang diriwayatkan olehnya,
dari mana meriwayatkan , dan siapa yang meriwayatkan darinya.
Namun Ibnu Hibban ia tasyaddud dan kadang ta’annut pada orang
yang mendapati di riwayatnya sesuatu yang ia ingkari ( merasa aneh
dengannya) , yang pada hal orang tersebut adalah ma'ruf muktsir
(berbanyak-banyak meriwayatkan hadits).
Sedangkan Al ‘Ijliy dekat dengan dengan dia di dalam mentautsiq
rawi-rawi majhuul ( tidak dikenal) dari kalangan qudama
( mutaqaddimin ) , demikian pula Ibnu Sa'ed , Ibnu Ma'iin , An Nasaa'i
dan yang lain selain mereka , mereka mentautsiq orang yang ada di
generasi tabi'iin dan tabi’ut tabi'iin jika mendapati riwayat salah satu
dari mereka istiqamah ( tidak berubah-ubah), seperti hadits yang ia
riwayatkan mempunyai mutabi’ atau syahid meskipun tidak
meriwayatkan darinya kecuali seorang dan tidak sampai mereka
darinya kecuali satu hadits saja... Dan dari kalangan para imam ada
yang tidak mentautsiq orang yang mendahului ( sebelum mereka)
mereka sampai ia mendapati beberapa hadits riwayatnya istiqamah
( tidak berubah-ubah), dan berbilang banyak sampai kuat dugaannya
bahwa istiqamah ( tidak berubah-ubah dalam menyampaikan hadits )
merupakan malakah ( karakteristik ) yang melekat pada rawi tersebut .
Dan ini semua menunjukkan bahwa sebagian besar sandaran mereka

181
di dalam mentautsiq dan menjarh hanya berdasar pada hasil
menjelajahi hadits si rawi “543.
Dan tidak ada pertentangan antara yang telah lalu disebutkan dari
pengelompokan Ibnu Ma'iin dan An Nasaa'i ke dalam jajaran para
imam mutasyaddidin dan antara yang disebutkan Al Mu’allimiy di sini
dan itu karena dua perkara , yaitu:
1-Tasyaddud adalah asal di dalam manhaj keduanya.
2- Bahwa tautsiq terhadap orang yang tidak datang darinya kecuali
sebuah hadits riwayatnya yang dikuatkan mutabi’ atau syahid adalah -
maksudnya- menghukumi maqbul hadits tersebut karena wujud satu
dari keduanya ( mutaba’ah dan syahid). Jadi tidak melazimkan artinya
ia mentsiqahkan rawi tersebut pada seluruh apa yang ia bersendirian
meriwayatkannya dalam artian tersematkan padanya tautsiq mutlak
yang itu merupakan titik poin ajang tasyaddud tadi.

2. ‫ ( ثقة ثقة‬tsiqatun tsiqatun). Berkata As Sakhawiy :

‫ وعلى هذا فما زاد على‬،‫التأكيد الحاصل بالتكرار فيه زيادة على الكالم الخالي منه‬
ً
‫ "ثق ه ههة م ه ههأمون ثبت ّه ه‬:‫ كق ه ههول ابن س ه ههعد في شه ه ههعبة‬،‫م ه ههرتين مثال يك ه ههون أعلى منه ه هها‬
‫حج ه ة‬
‫صاحب حديث‬

“ Bentuk ta’kid ( penegasan) yang dihasilkan dari mengulang lafadz,


padanya terdapat faidah melebihi makna kalimat yang kosong dari
pengulangan tersebut. Atas dasar itu , lafadz yang diulang lebih dari
dua kali misalnya, maka itu lebih tinggi lagi derajat (kedudukannya)
nya daripada dua kali. Seperti perkataan Ibnu Sa'ed di dalam
mengomentari Syu'bah : “Tsiqatun ( tsiqah) , ma’muun( bisa
dipercaya) , tsabtun ( kokoh) , hujjatun ( hujjah), shohibu haditsin
( periwayat hadits)“544.
543 At Tankil 1/ 66- 67.
544 Dan nash ungkapan Ibnu Sa'ed :
‫كان ثقة مؤمونا ثبتا صاحب حديث حجة‬
“ Ia adalah tsiqah, ma’mun , tsabt , shahibu hadits , hujjah”.

182
Ia berkata :

‫ "حدثنا عمرو بن دينار وكان ثقة ثقة‬:‫وأكثر ما وقفنا عليه من ذلك قول ابن عيينة‬
ََ
‫بتسع مرات" وكأنه سكت النقطاع نف ِسه‬

“Terbanyak yang pernah kami temui dalam model seperti ini adalah
perkataan Ibnu ‘Uyainah: telah berkata kepada kami 'Amru bin Dinar
dan ia adalah tsqatun,tsiqatun sebanyak sembilan kali”, dan seolah ia
terdiam karena putus nafasnya”545.

3 . Perkataan ‫كانه مصحف‬546 (kaannahu mushaf ), sebuah kinayah untuk


mengungkapkan kekuatan hafalan dan kemutqinan547.

4. ‫ ( حافط‬hafidz) dan ‫ ( ضابط‬dhaabith) , keduanya tidak cukup di


dalam tautsiiq jika tidak dibarengkan dengan lafadz ‫‘ ( عدل‬adl) .
Karena hifdz (hafalan) dan dhabt (kesungguhan dalam menjaga detail
hafalan) kadang didapati dengan tanpa ‘adaalah , dan kadang didapati
‘adaalah dengan tanpa keduanya dan kadang digabungkan dengan
keduanya 548.
Di antara contoh dalam hal itu adalah Abu Ayub Sulaiman bin Dawud
Asy Syadzakwaniy adalah termasuk dari kalangan pembesar tokoh di
dalam hafalan hanya ia tertuduh meminum anggur dan tertuduh
memalsukan hadits sampai Al Bukhaary berkata :

‫هو أضعف عندي من كل ضعيف‬

“ Dia menurutku yang paling dha'if dari seluruh rawi-rawi dha'if “549.
Hanya Ibnu Shalah berkata ketinya menyebutkan lafadz-lafadz
martabat ( tingkatan) pertama dari tingkatan ta'dil:

545 Fathul Mughiits 1/ 363.


546 Artinya: “seolah ia adalah mushaf”.
547 Lihat Tahdziibut Tahdziib 10/ 115.
548 Lihat fathul Mughiits 1/ 364.
549 Lihat Tadzkiratul Huffadz 2/ 488, Miizaanul I'tidal 2/ 205, fathul Mughiits
1/364.

183
‫وكذا إذا قيل في العدل إنه حافظ أو ضابط‬

“ Seperti ini apabila dikatakan di haknya orang ‘adil bahwa ia adalah


hafidz atau dhabith”550 .
Dan maksudnya bahwa dua lafadz tadi ketika kondisi seperti itu
adalah dimutlakkan di haknya seorang yang ma’lum ( diketahui)
'adaalah ( ketaqwaan) nya.
Berkata As Sakhawiy :
ْ ً
‫اإلتقان) كذلك قياسا على الضبط إذ هما متقاربان ال‬
ِ ( ‫الظاهر أن مجرد الوصف به‬
‫اإلتقان على الضبط سوى إشعاره بمزيد الضبط‬
ِ ‫يزيد‬
“ Dan yang tampak, menyifati dengan kemutqinan adalah seperti itu
juga. Hal itu diqiyaskan dengan dhabt karena keduanya berdekatan
(makna) yang mana kemutqinan tidak melebihi dhabt dalam
kandungan makna kecuali isy’ar (dima’lumatkan) bahwa demikian
lebih dari dhabt 551“.

5. ‫( حجة‬hujjah) adalah tingkatan tautsiq yang lebih kuat nilainya


daripada lafadz tsiqah ‫ ثقة‬. Dan demikian ditunjukkan dengan :

a. Al Aajuriy pernah bertanya kepada Abu Dawud perihal Sulaiman


bin Binti Syarahbiil , ia berkata :
ّ
‫الحجة أحمد بن‬ ّ ‫ هو‬:‫ قلت‬:‫ قال اآلجري‬.‫ثقة يخطئ كما يخطئ الناس‬
:‫حجة؟ فقال‬
‫حنبل‬

“ Tsiqatun yukhthi’( kadang salah) sebagaimana umumnya manusia


melakukan kesalahan . Berkata Al Aajuriy : aku berkata : dia hujjah?
Ia berkata : Al Hujjah adalah Ahmad bin Hanbal “552.

550 'Uluumul Hadits 237.


551 Fathul Mughiits 1/364.
552 Rujukan sebelumnya 1/ 365.

184
b. Perkataan 'Utsman bin Abi Syaibah mengomentari seorang Ahmad
bin Abdullah bin Yunus :

‫ثقة وليس بحجة‬

“ Tsiqah dan bukan hujjah”553.


c. Perkataan Ibnu Ma'iin mengenai Muhammad bin Ishaq :

‫ثقة و ليس بحجة‬

“ Tsiqah dan bukan hujjah”554.

6. ‫( صدوق‬shaduuq) adalah pensifatan dengan shidq ( kejujuran /


kebenaran perkataan)dengan ungkapan mubaalaghah (melebih-
lebihkan)555 dan ia tingkatan di bawah tsiqah ( ‫ ) ثقة‬. Berkata Ibnu
Shalah :

‫ حدثنا أبو‬:‫حدث فقال‬ ّ ‫ومشهور عن عبد الرحمن بن مهدي القدوة في هذا الشأن أنه‬ ٌ
َ
:‫ ك ههان ص ههدوقا وك ههان مأمون هها وك ههان خ ِّيههرا ه ه وفي رواية‬:‫ أك ههان ثق ههة؟ فق ههال‬:‫ فقي ههل له‬.‫خل ههدة‬
‫(كان خيارا)ه الثقة شعبة وسفيان‬

“Dan telah masyhur dari Abdurrahman bin Mahdiy sebagai panutan di


dalam perkara ini. Ia menyampaikan hadits dan mengatakan : telah
berkata kepada kami Abu Khaldah 556, dikatakan kepadanya : apakah
ia tsiqah ? Ia berkata : adalah ia shaduuq, adalah ia ma’mun ( bisa
dipercaya) adalah sangat baik -dan di riwayat lain : yang terbaik- ,
Tsiqah adalah Syu’bah, dan Sufyan”557.
Ibnu Mahdiy mensifati Abu Khaldah dengan sebutan yang
melazimkan diterima – riwayatnya – kemudian ia menyebut bahwa

553 Fathul Mughiits 1/365.


554 Rujukan sebelumnya .
555 Fathul Mughiits 1/ 365- 366.
556 Ia adalah Khalid bin Dinar At Tamimiy As Sa’diy . Lihat Al Istighatsah Fi
Ma’rifatil Masyhuurin Min Hamalatil ‘ilmi Bil Kuna 1/ 601.
557 'Uluumul Hadits 238.

185
lafadz ini ( tsiqah) adalah dikatakan di hak semisal Syu'bah dan
Sufyan558.

7. ‫( محله الصدق‬mahalluhu as shidqu) adalah lafadz yang menunjukkan


bahwa penyandangnya tempat dan tingkatannya adalah kemutlakan di
dalam kejujuran559.

8. ‫( مقارب الحديث‬muqaaribul hadits) dengan harakat kasrah (muqaarib)


merupakan isim fa’il . Maksudnya bahwa haditsnya adalah mendekati
hadits rawi-rawi lain560 dari kalangan tsiqah561. Dengan harakat fathah
(muqaarabul) adalah isim maf’ul . Maksudnya haditsnya disamai oleh
hadits rawi lain562 . Dan makna yang diinginkan dengan lafadz ini:
rawi tersebut mendekati orang - orang ( rawi-rawi ) di dalam
haditsnya dan orang - orang (rawi-rawi) mendekatinya. Maksudnya
haditsnya tidak syadz dan tidak pula mungkar563.
Di antara contoh hal itu yang diriwayatkan At Tirmidzy , ia berkata :
ً َّ ‫إسماعيل بن رافع قد‬
‫ وسمعت محمدا ه يعني‬،‫ضعفه بعض أصحاب الحديث‬
‫ هو ثقة مقارب الحديث‬:‫البخاري ه يقول‬

“Ismail bin Raafi’ didha'ifkan oleh sebagian ashabul hadits , dan aku
mendengar Muhammad -yakni Al Bukhaary - berkata : ia tsiqah
muqaarubul hadits “564.

558 Lihat Syarhu At Tabshirah Wa At Tadzkirah 2/9.


559 Tadriibu Ar Raawiy 1/ 345.
560 Taqyiid wal Iidhah 162.
561 Fathul Mughiits 1/ 366.
562 Taqyiid wal Iidhah 162.
563 Fathul Mughiits 1/ 367.
564 Sunan At Tirmidzy , kitab fadhail jihad, bab ma ja`a fiy fadhlil muraabith 4/
189. dan lihat fathul Mughiits 1/ 367.

186
9. ‫ ثبت‬dengan sukun muwahhadah 565
. Maksudnya tsaabit (tetap tidak
goyah) hati, lisan dan kitabnya dan juga hujjah566.

10. ‫ ( ال بأس به‬la ba’sa bih) dan juga ‫ ( ليس به بأس‬laisa bihi ba’sun)
adalah dua lafadz setingkat ‫( صدوق‬shaduuq)567 . Berkata As
Shan’aniy :

‫فٍإن قيل إنه ينبغي أن يكون (ال بأس به) أبلغ من (ليس به بأس) لعراقة (ال) في‬
‫ به ه ههأن في العبه ه ههارة األخه ه ههرى قه ه ههوة من حيث وقه ه ههوع النكه ه ههرة في سه ه ههياق النفي‬:‫ أجيب‬.‫النفي‬
‫فساوت األولى في الجملة‬

“Jika dikatakan bahwa semestinya laa ba’sa bih adalah lebih gamblang
dari kata laisa bihi ba’sun karena mendalamnya – huruf -la ( ‫ ) ال‬di
dalam penafian. Maka dijawab : bahwa di ungkapan lafadz yang lain
568
juga ada kekuatan dari tinjauan terletaknya nakirah di konteks
peniadaan , jadi tidak ada beda dengan yang pertama secara garis
besar”569.
11. Berkata Ibnu Shalah :

)‫ (ال بأس به‬:‫ (فالن ما أعلم به بأسا) هو في التعديل دون قولهم‬...‫قولهم‬

565 Dengan disukun huruf yang bertitik satu. Maksudnya huruf ba’ dari kata tsabtun
( ‫) ثبت‬
566 Rujukan sebelumnya 1/ 364, berkata As Sakhawiy :
ُ ْ
‫ ألنه كالحجة عند الشخص لسماعه وسماع‬،‫وأما بالفتح فما ُيث ِبت فيه املحدث مسموعه مع أسماء املشاركين له فيه‬
."‫غيره‬
“ Adapun dengan huruf fathah maka adalah sesuatu yang seorang muhaddits
menetapkan yang didengarnya di dalamnya bersama dengan nama-nama orang
yang berserikat mendengarnya , karena ia seperti hujjah menurut muhaddits tadi
karena mendengarnya bersama dengan yang lain.
567 Lihat fathul Mughiits 1/365.
568 Maksudnya “laisa bihi ba’sun”
569 Taudhiihul Afkaar 2/ 265.

187
“ Perkataan mereka : fulan aku tidak tahu padanya bahaya, di dalam
ta'dil adalah berada di bawah tingkatan perkataan mereka; laa ba’sa
bih”570.
Berkata Al ‘Iraqiy :

‫(أرجو أنه ال بأس به) نظير (ما أعلم به بأسا) أو األولى أرفع ألنه ال يلزم من عدم‬
‫العلم حصول الرجاء بذلك‬

“Aku berharap ia tidak ada bahaya padanya” adalah sepadan dengan “


aku tidak tahu padanya bahaya” atau ungkapan yang pertama adalah
paling tinggi karena kertidak tahuan tidak melazimkan terhasilkan
harapan -tidak ada bahaya- padanya”571.

12. ‫ صالح‬572( shaalih) dan ‫ ( صالح الحديث‬shaalihul hadits 573) Ibnu Hajar
: menyebutkan bahwa :

‫ أما حيث أريد بها الصالحية‬،‫عادة األئمة إطالق الصالحية حيث يريدون بها الديانة‬
‫في الحديث فيقيدونها به‬

“ Kebiasaan para imam mereka memutlakkan shalahiyah (keshalihan)


adalah memaksudkan diyaanah ( agama) ,adapun ketika lafadz tadi
diinginkan untuk keshalihan dalam hadits maka mereka membatasinya
dengan batasan hadits “574.

13. ‫ ( الى الصدق ما هو‬ila as shidq maa huwa) maksudnya tidak jauh dia
dari kejujuran /kebenaran575.

570 'Uluumul Hadits 240.


571 Syarhu At Tabshirah Wa At Tadzkirah 2/6.
572 Artinya seorang yang shalih.
573 Artinya shaalih haditsnya .
574 Maksudnya seperti contoh lafadz “shalihul hadits” di atas. Lihat An Nukat
'Alaa Kitabi Ibni Shalah 2/ 680, fathul Mughiits 1/ 200.
575 Maksudnya dalam menyampaikan hadits wallahu a’lam _pent.lihat rujukan
sebelumnya 1/ 366.

188
14. ‫( ش ههيخ‬syaikh ) adalah berada di tingkatan ke tiga di urutan ta'dil
menurut Ibnu Abi Haatim , ditulis haditsnya dan ditinjau kembali576.
Berkata Abu Al Hasan bin Al Qatthan :
ٌ
‫ هذا ليس‬،)‫ (شيخ‬: ‫قول أبي حاتم وقد سئل عنه ه يعني عبد الحميد ابن محمود ه‬...
‫ وإنم هها ه ههو إخب ههار بأن ههه ليس من أعالم أه ههل العلم وإنم هها ه ههو ش ههيخ وقعت ل ههه‬،‫بتض ههعيف‬
َ ُ
‫روايات أ ِخذت عنه‬

“ ... Perkataan Abu Hatim -dan ia pernah ditanya tentang identitasnya


( yakni Abdul Hamid bin Mahmud)- : “ia syaikh”. Lafadz ini bukan
ungkapan tadh'iif , itu sebatas mengabarkan bahwa dia 577bukan
termasuk dari tokoh-tokoh ahli ilmu hanya saja seorang syaikh yang
sampai kepadanya dan diambil darinya riwayat-riwayat “578.
Akan tetapi berkata Al Haafidz Ad Dzahaby:
ً
‫ ولكنها أيضا ما هي عبارة توثيق‬...‫ ليس هو عبارة جرح‬،)‫ (شيخ‬: ‫قوله ه يعني أبا حاتم ه‬
ّ ‫وباالستقراء يلوح لك ّأنه ليس‬
‫بحجة‬

“ Perkataannya -yakni Abu Hatim - “syaikh” bukanlah ia ungkapan


untuk jarh ... akan tetapi juga bukan merupakan ungkapan tautsiq .
Dan dengan melakukan istiqra’ akan tampak padamu bahwa ia bukan
hujjah”579.

Istilah-Istilah Khusus Milik Sebagian A`Immah Di


Dalam Tautsiq Dengan Menggunakan Lafadz

576 Al Jarh wat Ta'diil 2/ 37.


577 Yang disemati ungkapan pensifatan “syaikh”. Dalam koteks kalimat di atas
adalah Abdul Hamid bin Mahmud.

578 Nailul Authar 3/ 218.


579 Miizaanul I'tidal 2/ 385.

189
1. Berkata Ibnu Shalah :

‫ كان عبد الرحمن بن مهدي ربما جرى ذكر‬:‫وجاء عن أبي جعفر أحمد بن سنان قال‬
‫ رجل صالح الحديث‬:‫ فيقول‬.‫ وهو رجل صدوق‬،‫حديث الرجل فيه ضعف‬

“ Dan datang dari Abu Ja’far Ahmad bin Sinan ia berkata : adalah
Abdurrahman bin Mahdiy kadang terjadi dia menyebutkan hadits
seseorang yang pada ada kedha’ifan , yang ia adalah orang yang
shaduuq , dan ia mengatakan : shalihul hadits “580.
Berkata As Sakhawiy :

‫ي أنها ه يعني صالح الحديث ه هي والوصف بصدوق عند ابن مهدي سواء‬/‫وهذا يقتض‬

“ ini menarik kesimpulan bahwa lafadz tersebut – yakni shalihul


hadits – dan penyifatan ‘shaduuq ‘menurut Ibnu Mahdiy adalah
sama”581.
2. Berkata Ibnu Ma'iin :

‫ ليس به بأس فهو ثقة‬:‫إذا قلت‬

“ Jika aku mengatakan : laisa bihi ba’sun maka ia adalah tsiqah”582.


Tetapi itu tidak menyimpulkan kesamaan makna lafadz . Berkata Al
‘Iraaqiy:

‫ (ثقة) حتى يلزم منه التساوي بين‬:‫ (ليس به بأس) كقولي‬:‫ إن قولي‬:‫لم يقل ابن معين‬
‫ وللثقه ههة م ه هراتب فه ههالتعبير عنه ههه‬،‫ إن من قه ههال فيه ههه هه ههذا فهه ههو ثقه ههة‬:‫ إنمه هها قه ههال‬،‫اللفظين‬
‫ (ثقة) أرفع من التعبير عنه بأنه (ال بأس به) وإن اشتركا في مطلق الثقة‬:‫بقولهم‬

“ Ibnu Ma'iin tidak mengatakan : Perkataanku ‘ laisa bihi ba’sun ‘


adalah seperti perkataanku ‘ tsiqah’, sehingga melazimkan keduanya
sama dalam makna lafadz. Hanya saja ia mengatakan bahwa orang

580 'Uluumul Hadits 239.


581 Fathul Mughiits 1/ 366.
582 'Uluumul Hadits 238, dan lihat juga Lisaanul Miizan 1/13.

190
yang ia mengatakan seperti itu maka ia adalah tsiqah ,padahal tsiqah
sendiri beberapa tingkatan, sedangkan mengungkapkan dengan
perkataan mereka : ‘tsiqah’ adalah lebih tinggi dari pada me-
ngungkapkan dengan ‘ la ba’sa bih ‘ meskipun berserikat di di bawah
mutlak lafadz tsiqah”583.
Sekasus dalam lafadz ini juga apa yang datang dari Abdurrahman bin
Ibrahim ( Duhaim) ketika ditanya Abu Zur'ah :

‫ ِول َم ال‬:‫ فقلت‬:‫ قال أبو زرعة‬،)‫ (ال بأس به‬:‫ما تقول في علي بن حوشب الفزاري؟ فقال‬
ّ
‫ قد قلت لك إنه ثقة‬:‫تقول (ثقة) وال تعلم إال خيرا؟ قال‬

“Apa yang akan engkau katakan mengenai 'Ali bin Hausyab Al


Fazaariy ? Ia berkata : ‘laa ba’sa bih’ , berkata Abu Zur'ah : maka aku
katakan : kenapa engkau tidak mengatakan ‘tsiqah’ sedangkan engkau
tidak mengetahui -padanya- kecuali kebaikan? Ia berkata : aku sudah
mengatakan kepadamu ia ‘tsiqah”584.
3. Berkata Al Makkiy bin ‘Abdan :

‫ أكتب عنه‬:‫سألت مسلم بن الحجاج عن أبي األزهر (أحمد بن األزهر) فقال‬

“ Aku pernah bertanya kepada Muslim bin Al Hajjaj mengenai Abu Al


Azhar ( Ahmad bin Al Azhar ), ia berkata : Aku menulis darinya .
Berkata Al Haakim :

‫هذا رسم مسلم في الثقات‬

“ Ini adalah kebiasaan Muslim di dalam585 rawi-rawi tsiqah” 586.

583 Syarhu At Tabshirah Wa At Tadzkirah 2/7, lihat juga Tahqiq At Tarikh li Ibni
Ma'iin Biriwayati Ad Dawariy 1/113.
584 Tarikh Abi Zur'ah Ad Dimasyqiy 1/ 395.dan lihat juga Syarhu At Tabshirah Wa
At Tadzkirah 2/ 7-8.
585 Maksudnya di dalam mensifati.
586 Tahdziibul Kamaal 1/ 258, dan lihat Hasyiyah Ar Raf’u Wat Takmiil halaman
149.

191
Istilah-Istilah Umum Dalam Mengungkapkan Jarh
Dengan Lafadz

1. ‫ ( ليس بقوي‬laisa biqawiyyin) , meniadakan kekuatan secara mutlak


meskipun tidak menetapkan kedha’ifan secara mutlak587, dan
perkataan ‫ ( ليس بالقوي‬laisa bil qawiy) maksudnya meniadakannya
dari kategori tingkatan sempurna di kekuatan588 -hafalan/ dhabt _pent-.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :

‫ (ليس‬:‫عدة‬ ّ ‫ وهذا النسائي قد قال في‬،‫ (ليس بالقوي) واحتج به‬:‫وقد قيل في جماعات‬
ْ
...)‫ قولنه ه ه هها (ليس به ه ه ههالقوي ليس بجه ه ه ههرح ُمف ِس ه ه ه هد‬:‫ قه ه ه ههال‬.‫به ه ه ههالقوي) ويخه ه ه ههرج لهم في كتابه‬
‫ (ليس ب ههالقوي) يري ههد به هها أن ه ههذا الش ههيخ لم يبل ههغ درج ههة‬:‫وباالس ههتقراء إذا ق ههال أب ههو ح ههاتم‬
‫القوي الثبت‬

“Kadang dikatakan pada jama’ah rawi: (( laisa bil qawiy)),padahal ia


dijadikah hujjah. Dan An Nasaa'i telah berkata tidak sesekali saja
lafadz 589: (( laisa bil qawiy ))yang mana ia mengeluarkan hadits
mereka di kitabnya “. Ia berkata :”Perkataan kami : ((laisa bil qawiy ))
bukanlah jarh yang merusak”590... Dan dengan istiqra’, jika Abu Hatim
berkata : (( laisa bil qawiy )), maksudnya dengan lafadz itu adalah
bahwa syaikh tersebut tidak tidak sampai pada derajat kuat tsabt591”.

2. ‫( للضعف ما هو‬lid dha’fi ma huwa) maksudnya tidak jauh dari


dha'if592.

3. ‫ ( تغير بأخرة‬tghayyara bi aakharah) rusak dhabt dan hafalannya di


akhir umur dan akhir perkaranya.
587 At Tankiil 1/ 232.
588 Rujukan sebelumnya.
589 Mensifati rawi-rawi
590 Al Mauqidzah halaman 82.
591 Rujukan sebelumnya halaman 83.
592 Fathul Mughiits 1/374.

192
Lafadz ini telah datang dengan model bermacam-macam, yaitu:

a. ‫( تغير بأخرة‬taghayyara bi aakhirihi) dengan mad hamzah , kasrah


kha’ dan ra’ , dan setelahnya dhamir ( kata ganti ) gha’ib.

b. ‫ ( تغير بأخره‬taghayyara bi aakhirah) dengan mad hamzah, kasrah


kha’, fatkah ra’ dan setelahnya ta’ marbuthah593.

c. ‫ تغير بأخرة‬594( taghayyara bi akharah) dengan fathah hamzah dan kha’


dan ra’ dan setelahnya ta’ marbuthah.

4. ‫( تعرف و تنكر‬ta’rifu wa tunkiru) dengan shighah khithab595 bagi


mufrad596 dan mudzakkar597 ) maksudnya : kadang datang sesekali
dengan berita-berita mungkar dan sesekali kadang membawa berita-
berita yang masyhuur598.

5. ‫ ( نزكوه‬dengan fathah nun dan za’: nazakuuh) maksudnya mereka


mencacatnya dengan celaan599 .

6. ‫ ( روى مناكر‬rawaa manaakir) atau maksudnya meriwayatkan hadits -


hadits mungkar . Dan tidak melazimkan dari lafadz ini disimpulkan
tertolak riwayat-riwayat rawi tersebut seluruhnya, demikian adalah
karena beberapa alasan berikut:
a. Ungkapan tersebut memberitahukan bahwa itu bukan pensifatan
yang selalu lazim pada semua riwayat-riwayatnya600 . Berkata Ibnu
Daqiq Al ‘Ied :

593 Lihat Al Qawa’idu fi 'Uluumil Hadits susunan At Tahaanawiy halaman 249


hamisy 3.
594 Berubah hafalannya secara lambat laun.
595 Seperti kamu, kalian, kau.
596 Mufrad sendirian atau tunggal.
597 Laki-laki .
598 Tadriibu Ar Raawiy 1/350.
599 Fathul Mughiits 1/ 374.
600 Rujukan sebelumnya 1/375.

193
‫ ي بمج ههرده ت ههرك روايت ههه ح ههتى تك ههثر املن ههاكير في روايت ههه و‬/‫ (روى من ههاكير) ال يقتض هه‬:‫ق ههولهم‬
‫ (منكه ه ههر الح ه ههديث) ؛ ألن (منك ه ههر الحه ه ههديث) وصه ه ههف في الرج ه ههل‬:‫ينتهي إلى أن يقه ه ههال فيه‬
601
‫ي الديمومة‬/‫ والعبارة األخرى ال تقتض‬،‫يستحق به الترك لحديثه‬

“ Perkataan mereka ( rawaa manaakir) tidaklah menyimpulkan dengan


sebatas hanya lafadz itu: ditinggalkan riwayatnya , sampai memang
riwayat-riwayat mungkar tersebut membanyak dan berakhir sampai
dikatakan (( mungkarul hadits )) . karena (( mungkarul hadits )) adalah
pensifatan pada seorang rawi yang dengannya pantas ditinggalkan
haditsnya . Dan ungkapan lain-dari ini - tidak menyimpulkan keterus-
terusan.
b. Imam Ahmad pernah berkata ihwal Muhammad bin Ibrahim At
Taimiy :

‫يروي أحاديث مناكير‬

“ Ia meriwayatkan hadits -hadits mungkar”.


Dan tidak melazimkan dari sebab itu ditolak riwayat-riwayatnya ,
bahkan ia adalah diantara deretan rawi-rawi yang disepakati Asy
Syaikhany dan darinya-lah sumber .hadits :

‫إنما األعمال بالنيات‬

“ Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat-niatnya


“602.
Terlebih lagi Imam Ahmad dan jama'ah dari kalangan ahli hadits
mereka memutlakkan kata mungkar (‫ )املنكر‬untuk hadits fard603 yang
tidak memiliki mutaabi’604 .

601 Fathul Mughiits 1/ 375.


602 Rujukan sebelumnya .
603 Ghaarib.
604 Hadyu As Saariy halaman 437.

194
c. Lafadz tersebut kadang digunakan untuk tsiqah jika meriwayatkan
hadits -hadits mungkar tersebut dari rawi-rawi dha'if . Di antaranya Al
Haakim pernah bertanya kepada Ad Daruquthny mengenai Sulaiman
bin Binti Syarahbil , ia berkata ‫(( ثقة‬tsiqah)) , berkata Al Haakim :
ّ :‫ قال‬.‫ أليس عنده مناكير؟‬:‫قلت‬
ّ ،‫يحدث بها عن قوم ضعفاء‬
‫فأما هو فهو ثقة‬

“Aku berkata : tidakkah pada dia: riwayat-riwayat mungkar? Ia


berkata: ia menyampaikan riwayat-riwayat tersebut dari kaum yang
dha'if , adapun dia, ia adalah tsiqah”605.

7. ‫ ( واه بمرة‬waahin bi606 marrah) maksudnya satu kata –yakni rapuh


atau lemah- yang tidak ada keraguan pada kata tersebut 607.

8. ‫ ( ليس بثقة وال مأمون‬laisa bi tsiqatin wa laa ma’muunin) lafadz yang


menegaskan secara jelas merupakan jarh yang amat sangat. Jika
dikatakan : ‘laisa bi tsiqatin’ (( ‫ ))ليس بثقة‬maka yang terbenak pertama
kali adalah jarh yang sangat keras , namun jika disana ada sesuatu
yang menunjukkan bahwa lafadz tersebut dipakai kepada makna lain
maka dibawa ke makna tersebut 608.

9. ‫ ( يسرق الحديث‬yasriqul hadits : mencuri hadits ) yaitu ketika seorang


muhaddits bersendirian di dalam dalam meriwayatkan hadits
kemudian datang si pencuri ini dan mengeklaim bahwa ia berserikat
bersama si muhaddits tadi mendengar hadits tersebut dari syaikh-
nya_pent- . Atau hadits tersebut dikenal diriwayatkan oleh seorang
rawi kemudian ia menambahkan hadits tersebut dinisbahkannya
kepada rawi lainnya dari para rawi yang berserikat dalam
609
tabaqatnya .
605 Su`alaat Al Haakim An Naisaburiy Li Ad Daruquthny halaman 217-218. Dan
lihat fathul Mughiits 1/ 285.
606 Huruf ba’ di lafadz tersebut adalah zaa’idah .
607 Maksudnya sangan lemah sekali dan tidak ada pengecualian. Fathul Mughiits 1/
373, dan lihat Tadriibu Ar Raawiy 1/ 350.
608 At Tankiil halaman 70.
609 Fathul Mughiits 1/372.

195
Al Haafidz Ad Dzahaby menyebutkan bahwa kelakuan itu lebih
ringan daripada memalsukan hadits atau mengarang hadits dalam
dosa610.

10. ‫ ( متروك‬matruuk)

a. Berkata Ahmad bin Shalih :


َ
)‫ (فالن ضعيف‬:‫ قد يقال‬.‫ال ُيترك حديث الرجل حتى َي ْجت ِم َع الجميع على ترك حديثه‬
ّ
ُ
‫الجميع على ترك حديثه‬ ‫ إال أن ُي ْج ِم َع‬،‫ (فالن متروك) فال‬:‫فأما أن يقال‬

“Tidak ditinggalkan di hadits seorang rawi sampai semuanya sepakat


dalam meninggalkan haditsnya . Dan kadang dikatakan ( fulan dha'if )
, adapun kemudian dikatakan (fulan matruuk ) maka tidak bisa .
Kecuali semuanya bersepakat meninggalkan haditsnya “611.
b. Berkata Ibnul Mahdiy :

‫ إذا روى عن املعروفين ما ال يعرفه‬: ‫ َم ْن الذي يترك حديثه ؟ قال‬: ‫قيل لشعبة‬
ُ ُ ُ
‫ط ِهر َح حديثههه وإذا اتهم بالكههذب هط ِهر َح‬
‫ وإذا أكههثر الغلههط ه‬، ‫املعروفههون فههأكثر هط ِهر َح حديثههه‬
ُ ً ً ً
‫ وأمهها‬، ‫ وإذا روى حديثا غلطا مجتمعا عليه فلم يتهم نفسه عليه ط ِر َح حديثه‬، ‫حديثه‬
‫غير ذلك فارو عنه‬

“ Pernah dikatakan kepada Syu’bah: siapa yang ditinggalkan


haditsnya ? Ia berkata : jika ia meriwayatkan dari orang - orang yang
ma'ruf dikenal hadits -hadits yang tidak dikenal oleh orang - orang
yang dikenal ( ma'rufuun)612 dan semakin memperbanyak , maka
dibuang haditsnya . Dan jika semakin memperbanyak kesalahan maka
dibuang haditsnya , jika dituduh berdusta maka dibuang haditsnya ,
jika meriwayatkan hadits yang keliru yang disepakati kesalahannya
dan ia tidak mencurigai dirinya sebab hadits tersebut maka dibuang

610 Rujukan sebelumnya.


611 'Uluumul Hadits 240.
612 Maksudnya para rawi-rawi hadits yang terkenal di dalam bidangnya.

196
haditsnya. Adapun selain itu maka aku meriwayatkan hadits
darinya”613.

Adapun perkataan mereka : ‫ ( تركه فالن‬tarokahu fulan) 614


maka tidak
memberikan kesimpulan dari ungkapan tersebut bahwa rawi tersebut
ditinggalkan secara mutlak – haditsnya _pent-.
Demikian karena alasan berikut:
a. Kemungkinan imam tadi meninggalkan rawi tersebut karena sebab
syubhat yang tidak mewajibkan jarh615 .
b. Karena ungkapan tersebut kadang digunakan bukan untuk makna
meninggalkan secara istilah - ahli hadits - yang ma'ruf . 'Ali bin Al
Madiniy pernah berkata mengenai ‘Atha’ bin Abi Rabaah :

‫ وقيس بن سعد‬،‫ تركه ابن جريج‬،‫كان عطاء اختلط بأخرة‬

“ Adalah ‘Atha’ id berubah hafalannya lamban laun , dan ditinggalkan


oleh Ibnu Juraij dan Qais bin Sa’ed”.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
ّ
‫ وكانا‬،‫حواسه‬ ‫ (تركه هذان) الترك العرفي ولكنه كبر و ضعفت‬: ‫علي بقوله‬ ٌ ‫لم َي ْعن‬
َّ ّ ّ ََ
)‫ (تركاه‬:‫قد تكفيا منه وتفقها وأكثرا عنه فبطال فهذا مراده بقوله‬

“ Tidaklah 'Ali dengan perkataannya (ditinggalkan mereka berdua)


memaksudkan itu meninggalkan secara 'urf , tetapi , ia telah menua ,
dan melemah indranya , dan keduanya telah merasa cukup dan merasa
sudah banyak mengambil fiqh dan berbanyak-banyak mengambil
darinya . Kemudian mereka berdua membatalkannya 616. inilah

613 Lisaanul Miizan 1/12, dan lihat fathul Mughiits 1/ 350.


614 Maksudnya ia ditinggalkan -haditsnya -oleh fulan.
615 Lihat Manjmu' Al Fatawa 24/ 439-350 , Hasyiyah Ar Raf'u Wa At Takmiil
halaman 141.
616 Membatalkan menulis hadits darinya.

197
maksudnya dengan perkataannya: mereka berdua
meninggalkannya”617.
Ia berkata di tempat lain :
ّ
ٌ ‫وإال فعطاء‬ َّ
‫ي‬/‫ثبت َر ِض‬ ،‫ بل عنى أنهما بطال الكتابة عنه‬،‫لم َي ْعن الترك االصطالحي‬

“ Tidaklah ia memaksudkan “meninggalkan” adalah secara makna


istilah , bahkan ia memaksudkan bahwa keduanya membatalkan
menulis hadits darinya. Jika tidak , maka “Atha’ adalah tsabtun
radhiyyun”618.

11. ‫ ( متهم بالكذب‬muttahamun bil kadzibi) -tertuduh berdusta-. Lafadz


ini dimutlakkan untuk rawi pada dua keadaan , yakni:
a. Jika ia bersendirian dengan membawa riwayat yang menyelisihi
ushul dien ( agama) dan kaidah-kaidahnya yang bersifat umum, dan
tidak ada di dalam isnad rawi lain yang dituduh dengan riwayat
tersebut selain dirinya.
b. jika diketahui pada dirinya pernah berdusta di perkataannya
meskipun tidak ketahuan dusta pada hadits nabawi.

12. ‫ ( كذاب‬kaddzaab). Adalah pemutlakan yang masyhur untuk lafadz


tersebut adalah mengarah kepada orang yang berdusta atas nama Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam meskipun sekali saja619.
Di sana ada pemutlakan lain , berkata ibnu waziir :
َ
‫ومن لطيف علم هذا الباب أن ُي ْعل َم أن لفظة (كذاب) قد ُيطلقها كثير من املتعنتين‬
‫تعم ه د ذل ه ههك وال ت ه ه ّهبين أن‬
‫في الج ه ههرح على من يهم ويخطئ في حديث ه ههه وإن لم يت ه ه ّهبين أن ه ههه ّه ه‬
‫ وهذا يدل على أن هههذا اللفههظ من جملههة األلفههاظ‬...‫خطأه أكثر من صوابه وال مثله‬
َ
‫ ولهههذا أطلقههه كثههير من الثقههات على جماعههة من الرفعههاء‬،‫املطلقههة الههتي لم ُيف َّسه ر سههببها‬

617 Siyar A'laam An Nubala 5/ 87.


618 Tsabit haditsnya lagi diridhai. Miizaanul I'tidal 3/70.
619 Telah berlalu penjelasannya.

198
َْ َ
‫ فاحذر أن تغت َّر بذلك في حق من قيل فيه من الثقههات‬، ‫من أهل الصدق و األمانة‬
ً
‫ و يحتههاج إلى‬، ‫ فالكذب في الحقيقة اللغوية ينطلق على الههوهم والعمههد معهها‬، ‫الرفعاء‬
ّ
‫تفسير إال أن يدل على التعمد قرينة صحيحة‬

“ Di antara yang termasuk sesuatu yang samar dalam ilmu di bab ini
perlu diketahuinya bahwa lafadz ( kaddzab ) kadang dimutlakkan oleh
rawi-rawi yang ta’annut di dalam menjarh orang yang melakukan
wahm dan keliru di dalam haditsnya , meskipun tidak jelas bahwa
apakah ia sengaja melakukan demikian dan meskipun tidak jelas apa
kesalahan-kesalahannya lebih banyak dari benarnya dan atau
semisalnya . Dan ini menunjukkan bahwa lafadz ini adalah termasuk
dari sederetan lafadz-lafadz yang mutlak yang belum bisa dijelaskan
sebabnya . Oleh karena itulah kadang dimutlakkan oleh tidak sedikit
dari orang - orang tsiqah dinisbahkan untuk jama'ah orang- orang
mulia dari kalangan ahli shidq dan amanah . Maka berhati-hatilah agar
tidak tertipu penisbahan lafadz tersebut di hak orang - orang yang
dikatakan padanya masuk jajaran rawi-rawi tsiqah lagi mulia. Karena
kidzb ( ‫ )الكذب‬secara haqiqat lughawiyah adalah juga berlaku untuk
wahm dan kesengajaan secara bersamaan. Dan ini butuh kepada
penjelasan, kecuali qarinah yang shahiih mengarahkan penunjukannya
kepada unsur kesengajaan”620.
13. A`immah juga memakai di dalam tadh'iif nisbiy beberapa
ungkapan. Di antaranya :

‫فالن أوثق منه‬

“ Fulan lebih tsiqah dari dia”,


dan :

‫ليس مثل فالن‬

620 Ar Raudh Al Baasim halaman 82, dan lihat Hasyiyah ArRaf’u wa At Takmiil
halaman 167.

199
“ Dan ia tidak semisal fulan”
dan :
ّ ‫فالن أحب‬
‫إلي منه‬

“ Fulan lebih ku sukai dari pada dia”621.


Berbeda dengan perkataan mereka :

‫غيره أوثق منه‬

“ Selainnya lebih tsiqah dari dia”, maka itu merupakan kinayah untuk
menjarh rawi , karena lafadz seperti itu adalah membandingkan
keutamaan antara dirinya dan antara rawi yang mubham yang tidak
jelas identitasnya dibarengi dengan mengutamakan mubham tadi dari
dirinya. Maka ungkapan seperti itu pas di dalam penggambarannya
menunjukkan pengutamaan terhadap seluruh rawi daripada dia , dan
karena ini ia merupakan jarh mutlak622.

Istilah-Istilah Khusus Milik Sebagian A`Immah Di


Dalam Jarh Dengan Menggunakan Lafadz

1. Berkata As Sakhawiy :
ً
‫ "يا‬: ‫ فقال لي‬. ‫ فالن كذاب‬:‫ سمعني الشافعي يوما وأنا أقول‬: ‫ُر ّ ِوينا عن املزني قال‬
ّ ُ ‫إبراهيم ُأ ْك‬
)‫يء‬/‫ (حديثه ليس بش‬: ‫ ولكن قل‬، ‫ كذاب‬: ‫ ال تقل‬، ‫س ألفاظك أحسنها‬

“ Diriwayatkan kepada kami dari Al Muzaniy, ia berkata : As Syafi'iy


pernah mendengarku ketika aku berkata : Fulan kaddzab ( pendusta) ,
maka ia berkata : Wahai Ibrahim sandangilah lafadz-lafadzmu dengan
yang terbaik, jangan kamu mengatakan : kaddzab , tapi katakanlah :
haditsuhu laisa bisyai’ “ .

621 Hasyiyah Ar Raf'u wa At Takmiil halaman 180-181.


622 Rujukan sebelumnya .

200
Ini memberikan kesimpulan bahwa lafadz tersebut dimanapun kamu
jumpai di kalam As Syafi'iy623 maka itu statusnya berada pada
tingkatan pertama 624, dan itu merupakan yang paling parah dari
tingkatan -tingkatan jarh.
2. Berkata Abdullah bin Ahmad :

)‫ (كذا وكذا‬:‫سألت أبي عن يونس بن أبي إسحاق قال‬

“ Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang Yunus bin Abi Ishaq , ia
berkata : kadza wa kadza “.
Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
ً
‫ وهي باالستقراء‬،‫هذه العبارة يستعملها عبد هللا بن أحمد كثيرا فيما يجيبه به والده‬
‫عمن فيه ِل ْين‬
ّ ‫كناية‬

“ Ungkapan ini dipakai oleh Abdullah bin Ahmad secara sering di


dalam jawaban yang diuraikan kepadanya oleh ayahnya , dan dengan
istiqra' itu merupakan kinayah untuk orang yang padanya layyin625.

3. ‫ ( منكر الحديث‬mungkarul hadits) . Merupakan lafadz yang berbeda-


beda maksudnya tergantung istilah orang yang mengatakan.
Diantaranya:
a. Yang disebutkan oleh Al Haafidz Ibnu Hajar bahwa :
ْ
‫ عرف ذلك‬،‫اإلمام أحمد على من ُيغ ِرب على أقرانه بالحديث‬ ُ
ِ ‫هذه اللفظة يطلقها‬
‫باالستقراء من حاله‬

“ lafadz ini dimutlakkan oleh Imam Ahmad untuk rawi yang


mendatangkan riwayat-riwayat yang gharib kepada aqrannya .

623 Maksudnya ungkapan dengan lafadz : ‫يء‬/‫ حديثه ليس بش‬.


624 Fathul Mughiits 1/ 373.
625 Kelembekan atau kedha’ifan. Miizaanul I'tidal 4/ 483.

201
Demikian itu diketahui dengan melakukan istiqra' terhadap
keadaanya”626.
b. Al Bukhaary menegaskan istilahnya ketika mengatakan :
َ
‫ (منكر الحديث) فال ت ِحل الرواية عنه‬:‫من قلت فيه‬

“ Orang yang kukatakan tentangnya dengan ‘mungkarul hadits’ maka


tidak halal meriwayatkan darinya”627.
c. As Sakhawiy menukilkan dari Al Iraaqiy perkataannya :
ً ً
‫ لكونه روى حديثا واحد‬،‫كثيرا ما يطلقون املنكر على الراوي‬

“Banyak dimutlakkan oleh mereka kata mungkar terhadap rawi karena


meriwayatkan hanya satu hadits “628.
d. Berkata Ibnu Daqiq Al ‘Ied :

‫( ُمنكر الحديث) وصف في الرجل يستحق به الترك لحديثه‬

“ ‘... mungkarul hadits‘ adalah pensifatan untuk seseorang yang pantas


dengan itu ditinggalkan haditsnya “629.
4. Di antara istilah Ibnu Ma'iin.
a. Berkata Ibnu Ma'iin :

‫ ال تكتب حديثه‬،‫ (هو ضعيف) فليس بثقة‬:‫إذا قلت‬

“ Jika kukatakan ‘ ia dha'if ‘ maka tidaklah ia tsiqah , jangan tulis


haditsnya! “630.
b. Jika ia berkata :

‫يكتب حديثه‬

626 Hadyu As Saariy 453.


627 Miizaanul I'tidal 1/6, lihat Lisaanul Miizan 1/20.
628 Fathul Mughiits 1/375.
629 Rujukan sebelumnya 1/ 375.
630 'Uluumul Hadits 238.

202
‘Ditulis haditsnya ‘, maka yang diinginkannya adalah bahwa rawi
tersebut termasuk dari jajaran rawi-rawi dha'if yang ditulis haditsnya
631
.
c. Jika ia berkata : laisa bisyai’ maka yang diinginkan adalah bahwa
hadits rawi tersebut adalah sedikit632. Dan kadang diinginkan dengan
ungkapan itu jarh yang keras633 , yang mana itu bisa diketahui dengan
melakukan tatabbu’ terhadap perkataan perkataannya dan juga
perkataan-perkataan para a`immah yang lain ketika mengomentari
rawi tersebut . Jika rawi yang dikatakan Ibnu Ma'iin dengan ‘laisa
bisyai’ ‘ adalah sedikit haditsnya dan ternyata orang tersebut
ditsiqahkan olehnya di dalam riwayat-riwayat lain atau ditautsiq oleh
a`immah maka jelaslah kalimat Ibnu Ma'iin tadi dibawa ke makna
sedikit haditsnya dan bukan jarh.
Adapun jika kita dapati dari seorang rawi seperti Abu Al ‘Athuuf Al
Jarraah bin Al Minhaal , yang Ibnu Ma'iin berkata mengenainya ‘ laisa
bisyai’ , dan di sisi lain para imam juga bersepakat menjarhnya dengan
jarh yang keras maka itu adalah qarinah yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud oleh Ibnu Ma'iin adalah yang mencocoki maksud para
a`immah tadi634.
5. Di antara istilah-istilah Al Bukhaary :
a. Berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :

‫البخاري قد يطلق على الشيخ (ليس بالقوي) ويريد أنه ضعيف‬

“ Al Bukhaary kadang memutlakkan sifat kepada syaikh dengan ‘ laisa


bil qawiy ‘ dan ia memaksudkan bahwa syaikh tersebut adalah
dha'if635 .
b. Telah dahulu perkataan Al Bukhaary :

631 Al Kaamil Fi Dhu'afaai Ar Rijaal 1/ 242-243.


632 Hadyu As Saariy halaman 421.
633 Lihat Thali’atuAt Tankiil halaman 55.
634 Rujukan sebelumnya .
635 Al Mauqidzah halaman 83.

203
َ
‫ (منكر الحديث) فال ت ِح ُّل الرواية عنه‬:‫من قلت فيه‬

“Siapa yang kukatakan ‘mungkarul hadits ‘ maka tidak halal


meriwayatkan darinya”636.
c. Berkata Ad Dzahaby :

‫ وعلمنا‬،‫ (سكتوا عنه) ظاهرها أنهم ما تعرضهوا له بجرح وال تعديل‬:‫قول البخاري‬
)‫مقصده بهها باالستقراء أنها بمعنى (تركوه‬

“ Perkataan Al Bukhaary : ‘ sakatuu ‘anhu’ ( mereka mendiamkannya)


, dzahirnya menunjukkan bahwa mereka tidak memberikan komentar
untuk rawi tersebut dengan jarh atau tidak pula ta'dil . Dan kita telah
tahu maksudnya dengan melakukan istiqra' bahwa kalimat itu
maknanya adalah ‘ orang - orang meninggalkannya’637.
Berkata Ibnu Katsiir :

‫البخاري إذا قال في الرجل (سكتوا عنه) أو (فيه نظر) فٍإنه يكون في أدنى املنازل وأردئها‬
‫عنده ولكنه لطيف العبارة في التجريح‬

“ Al Bukhaary jika mengatakan mengenai orang bahwa ‘ mereka


mendiamkannya’ atau ‘ fiihi nadzar’638 maka artinya rawi tadi di
berada pada tingkatan paling rendah dan paling buruk menurutnya.
Akan tetapi itu adalah paling lembutnya ungkapan di dalam tajrih 639.

d. Perkataannya ‫ ‘ فيه نظر‬fiihi nadzar’640 adalah berkonsekuensi cela


di kejujuran rawi 641pada kebanyakan kebiasaannya. Berkata Al
Haafidz Ad Dzahaby di dalam terjemah biografi Abdullah bin Dawud
Al Wasithiy :

636 Lihat di halaman sebelumnya.


637 Al Mauqidzah halaman 83.
638 Artinya’ padanya perlu tinjauan lagi’.
639 Ikhtishar Uluumil Hadits halaman 89.
640 Padanya perlu lihat lagi.
641 At Tankiil 1/205.

204
ً ّ
‫ (فيه نظر) وال يقول هذا إال فيمن ّيتهمه غالبا‬:‫قد قال البخاري‬

“ Telah berkata Al Bukhaary : ‘fiihi nadzar ‘ia tidak mengatakan ini


kecuali pada orang yang ia ‘tuduh’ secara kebanyakan -
642
kebiasaannya_pent-” .
Ia berkata di biografi 'Utsman bin Fa`id :
ّ َ
‫ ق َّل أن يكون عند البخاري رجل فيه نظر إال وهو‬:‫وقال في ترجمة عثمان بن فائد‬
ّ
‫متهم‬

“ Jarang sekali orang yang menurut Al Bukhaary ‘ fiihi nadzar’


kecuali ia ‘tertuduh’”643.
Ia juga berkata :
ً ّ
‫ فهو عنده أسوأ حاال‬،‫ (فيه نظر) بمعنى أنه متهم أو ليس بثقة‬:‫وكذا عادته إذا قال‬
‫من الضعيف‬

“Demikian pula kebiasaannya ketika mengatakan ‫ ‘ في ل ل ل لله نظر‬fiihi


nadzar’, maksudnya orang tersebut adalah ‘ tertuduh’ atau tidak tsiqah
. Rawi tersebut menurutnya adalah yang lebih buruk keadaannya dari
pada dha'if “644.
Dan perkataan Al Haafidz Ad Dzahaby di atas adalah detail sekali ,
ً
karena ia membatasi tempat yang pertama dengan perkataannya : ‫‘ غالبا‬
َ
kebanyakan 645
‘ dan di tempat yang kedua : ‫ “ لق َّل أن يكللون‬jarang sekali
terjadi”. Dan di tempat ke tiga : ‫ ‘ متهم أو ليس بثقة‬tertuduh’ atau tidak
tsiqah”.
Hal ini juga dibenarkan dengan bahwa beberapa dari rawi-rawi
kadang dikatakan oleh Al Bukhaary mengenai masing-masing mereka
642 Miizaanul I'tidal 2/416.
643 Rujukan sebelumnya 3/ 52.
644 Al Mauqidzah halaman 83.
645 Ghaaliban.

205
‘fiihi nadzar’ sedangkan keadaan mereka masih diperselisihkan di
dalam jarh dan ta'dil, kadang ta'dil bagi mereka datang dari para imam
mutasyaddid , sebagaimana datang juga tadh'iif atas mereka ,hanya
saja dari sisi dhabt bukan dari sisi 'adaalah ( ketaqwaan). Di antara
mereka:
1- Harb bin Suraij bin Al Mundzir Al Munqariy646.
2- Yahya bin Sulaim Abu Balj Al Fazaariy Al Wasithiy647.

646 Berikut perkataan para a`immah mengenai rawi ini :


a. Berkata Abu Al Waliid At Thayaalisiy :
ً
‫ ولم أسمع منه شيئا‬،‫كان جارنا لم يكن به بأس‬
“ Dulu ia adalah tetangga kami dan tidak ada padanya bencana “.
b. Berkata Ibnu Ma'iin :
‫ثقة‬
“ Tsiqah”.
c. Berkata Imam Ahmad :
‫ليس به بأس‬
“ Tidak ada padanya bencana” .
d. Berkata Abu Hatim :
ْ
‫ ُين ِكر عن الثقات‬،‫ليس بقوي‬
“ laisa biqawiyyin ( tidak merupakan rawi kuat) meriwayatkan mungkar dari rawi-
rawi tsiqah “.
e. Berkata Ibnu Hibban :
ً
‫يخطئ كثيرا حتى خرج عن حد االحتجاج به إذا انفرد‬
“ Melakukan kesalahan sering sampai ia keluar dari batas bisa dijadikan hujjah jika
bersendirian”.
f. Berkata Ibnu 'Adiy :
‫ وأرجو أنه ال بأس به‬،‫ وكأن حديثه غرائب وأفرادات‬،‫ليس بكثير الحديث‬
“ Bukan orang yang banyak haditsnya , dan seolah haditsnya banyak sesuatu yang
janggal-janggal dan dan hadits -hadits fard, dan kau berharap tidak ada bencana
padanya”.
g. Berkata Ad Daruquthny :
‫صالح‬
“ Shaalih”.
Lihat Tahdziibu Al Kamaal 5/ 523, dan Tahdziibut Tahdziib 12/ 47.

647 Berikut perkataan para a`immah mengenai rawi ini :


a. Berkata Yazid bin Harun :
ً
ّ ‫جارا لنا وكان يتخذ الحمام يستأنس‬ ْ
‫بهن وكان يذكر هللا تعالى كثير‬ ‫قد رأيت أبا َبلج وكان‬

206
e. Perkataannya: ‫(في حديث ه ه ههه نظر‬fi haditsihi nadzar)648 memberikan
pengertian bahwa rawi tersebut secara pribadinya adalah shalih649
hanya saja yang kurang ada pada haditsnya karena lupa, atau
buruknya hafalan650.
6. Istilah-istilah Abu Hatim :

“ Sungguh aku pernah melihat Abu Balj dan dulu ia adalah tetangga kami , ia
memelihara beberapa burung merpati dan menyukainya , dan ia banyak
berdzikir kepada Allah “.
b. Berkata Ibnu Sa'ed , Ibnu Ma'iin , An Nasaa'i , Ad Daruquthny :
‫ثقة‬
“ Tsiqah”
c. Berkata Imam Ahmad :
ً
‫روى حديثا منكر‬
“ Ia pernah meriwayatkan hadits mungkar”.
d. Berkata Al Juzajaaniy , dan Abu Al Fath Al Azdiy :
‫كان ثقة‬
“ Ia adalah tsiqah”.
e. Berkata Abu Hatim :
‫صالح الحديث ال بأس به‬
“ shalihul hadits tiada bencana padanya”.
f. Berkata Ya'qub bin Sufyan :
‫كوفي ال بأس به‬
“ Ia adalah seorang Kufiy ( nisbah ke Kufah) tidak ada bencana padanya “.
g. Disebutkan Ibnu Hibban di At Tsiqaat dan ia berkata :
‫يخطئ‬
“ Dia melakukan kesalahan”.
h. Ibnu 'Abdil Barr dan Ibnu Al Jauziy menuqilkan bahwa Ibnu Ma'iin telah
mendha'ifkannya “.
lihat Tahdziibut Tahdziib 12/47.
648 Artinya : Pada haditsnya perlu tinjauan.
649 Ini adalah kesimpulan dari pembedaan antara dua lafadz ‫ ( فيه نظر‬pada rawi
ini perlu tinjauan) dan ‫ ( في حديثه نظر‬pada haditsnya perlu tinjauan) .
Akan tetapi berkata Al Haafidz Ad Dzahaby :
‫ فالن (في حديثه نظر) فهو متهم واه‬:‫ إذا قلت‬:)‫قال (البخاري‬
“ Telah berkata Al Bukhaary : jika aku katakan bahwa fulan: ‫ ( في حديث لله نظر‬pada
haditsnya perlu tinjauan) maka ia adalah tertuduh lagi wahin ( lemah)”.

207
a. Perkataannya ‫ ( فالن ال يحتج به‬fulanu la yuhtajju bihi)651. Berkata
Abdurrahman bin Abi Hatim :

‫ إبراهيم بن مهاجر ليس بقوي هو وحصين بن عبد الرحمن وعطاء‬:‫سمعت أبي يقول‬
‫ يكتب ح ههديثهم وال‬،‫ محلهم عن ههدنا مح ههل الص ههدق‬،‫بن الس ههائب ق هريب بعض هههم من بعض‬
ً
‫ ك ههانوا قوم هها ال يحفظ ههون‬:‫ (ال يحتج بح ههديثهم)؟ ق ههال‬:‫ م هها مع ههنى‬:‫ قلت ألبي‬.‫يحتج بح ههديثهم‬
‫ ترى في أحاديثهم اضطرابا ما شئت‬،‫فيحدثون بما ال يحفظون فيغلطون‬

“ Aku pernah mendengar ayahku mengatakan : Ibrahim bin Muhaajir


laisa biqawiyyin . Dia bersama Husain bin Abdurrahman dan Atha’ bin
As Sa`ib antara mereka dengan sebagian yang lain adalah dekat
tingkatannya , tempatnya menurut kami adalah mahallu as shidq 652
ditulis haditsnya dan tidak bisa haditsnya dijadikan hujjah. Aku
berkata kepada ayahku : apa makna tidak bisa haditsnya dijadikan
hujjah? Ia berkata : dulu mereka adalah kaum yang tidak menghafal
kemudian mereka menyampaikan sesuatu yang tidak mereka hafal
sehingga mereka melakukan kesalahan, lihatlah pada haditsnya
terdapat keguncangan jika engkau menghendaki”653.
Berkata Ibnu Taimiyah :

Siyar A'laam An Nubala 12/441.


Adapun perkataannya : ‫( في إسناده نظر‬di dalam sanadnya perlu tinjauan ), Al
Bukhaary telah memperbanyak menggunakan lafadz ini di Tarikh Al Kabir -nya .
Ibnu 'Adiy menyebutkan perkataan Al Bukhaary mengenai Aus bin Abdillah Ar
Rib’iy ‫( في إسناده نظر‬di dalam sanadnya perlu tinjauan ) . Berkata Ibnu 'Adiy :
‫ وعائشة وغيرهما ال ألنه ضعيف عنده‬،‫يريد أنه لم يسمع من مثل ابن مسعود‬
“ Ia memaksudkan bahwa ia tidak mendengar dari semisal Ibnu Mas’ud , Aisyah,
dan selainnya dan bukan karena ia adalah dha'if menurutnya”. Al Kaamil Fi
Dhu'afaai Ar Rijaal 1/401, dan lihat juga Hadyu As Saariy halaman 392.

650 At Tankiil 1/ 205.


651 Artinya “fulan tidak bisa dijadikan hujjah”.
652 Telah diulas pada pembahasan mengenai lafadz ini di halaman sebelumnya.
653 Al Jarh wat Ta'diil 2/ 133.

208
‫ (يكتب حديثه وال يحتج به) فأبو حاتم يقول مثههل هههذا في كثههير من‬:‫وأما قول أبي حاتم‬
‫والحج ة في اص ههطالحه ليس‬‫ّه‬ ،‫ وذل ههك أن ش ههرطه في التع ههديل ص ههعب‬،‫رج ههال الص ههحيحين‬
ّ ‫هو‬
‫الحجة في اصطالح جمهور أهل العلم‬

“ Adapun perkataan Abu Hatim : ‘ ditulis haditsnya dan tidak


dijadikan hujjah haditsnya ‘. Abu Hatim mengatakan sifat semisal ini
di tidak sedikit rawi-rawi yang terdapat di shahiihain. Demikian
terjadi karena syaratnya di dalam ta'dil begitu sulit dan hujjah 654 di
istilahnya bukanlah dengan hujjah di istilahnya jumhur ahli ilmu655.

b. Perkataannya : ‫ ( يكتب حديثه‬yuktabu haditsuhu)656. Berkata Al


Haafidz Ad Dzahaby ;

‫قول أبي حاتم هذا ليس بصيغة توثيق وال هو بصيغة إهدار‬

“ Perkataan Abu Hatim ini bukanlah sighah tautsiq juga bukan shighah
ihdar 657“.
Ia juga berkata :
ّ ‫ ليس هو‬:‫ أي‬.)‫ (يكتب حديثه‬:‫قوله‬
‫بحجة‬

“ Perkataannya ‘ yuktabu haditsuhu’ maksudnya ‘ Tidaklah ia


hujjah’658.
7. Istilah-istilah Ad Daruquthny :
a. Berkata Hamzah As Sahmiy :

654 Maksudnya : hujjah yang dipegang di dalam menetapkan syarat-syarat di


istilahnya .
655 Manjmu' Al Fatawa 24/ 350, dan lihat juga Hasyiyah Ar Raf'u wa At Takmiil
144.
656 Artinya ‘Ditulis haditsnya ‘.
657 Ihdar (‫ ) اهدار‬artinya membuang dengan sia-sia. Miizaanul I'tidal 4/ 345.
658 Rujukan sebelumnya 2/ 385.

209
َ
‫ ال‬:‫ قههال‬.‫ (فالن ل ِّين) أيش تريههد بههه؟‬:‫ إذا قلت‬:‫س ههألت أبهها الحسههن الههدارقطني قلت لهه‬
ُ ً ً
‫يء ال ُي ْس ِقط عن العدالة‬/‫يكون ساقطا متروك الحديث ولكن يكون مجروحا بش‬

“ Aku pernah bertanya kepada Abu Al Hasan Ad Daruquthny , aku


berkata kepadanya : jika engkau mengatakan ‘ fulan layyin ‘ apa yang
engkau maksudkan dengan sifat tersebut ? Ia berkata : tidak jatuh,
tidak ditinggalkan haditsnya , hanya saja ia terjarh dengan sebab yang
tidak menjatuhkan dari 'adaalah ( ketaqwaan) “659.

b. Perkataannya : ‫ ( فالن أعور بين عميان‬fulan a’waru baina ‘umyan)660


maksudnya adalah rawi tersebut meskipun padanya ada sisi dha'if
tertentu ia adalah lebih baik keadaannya dari pada orang yang
bersamanya dari rawi-rawi dha'if di dalam sanad661.

c. Perkataan: ‫ ( فالن يعتبر به‬fulan yu’tabaru bihi)662 maksudnya ia


termasuk dari jajaran rawi-rawi dha'if hanya saja bisa dijadikan i'tibar
haditsnya 663. Dan perkataan : ‫ ( فالن ال يعتبر به‬fulan la yu’tabaru
bihi)664 maksudnya adalah ia dha'if sekali tidak lolos masuk dalam
kriteria rawi yang haditsnya bisa dijadikan i'tibar 665.

Lafadz - Lafadz Yang Sedikit Sekali Atau Sangat


Jarang Digunakan666

659 Sualaat Hamzah bin Yusuf As Sahmiy li Ad Daruquthny halaman 72, dan lihat
juga 'Uluumul Hadits halaman 239.
660 Artinya: “Fulan adalah orang yang buta sebelah di antara para tuna netra”.
661 At Tankiil 1/361.
662 Artinya : “ Fulan bisa diambil i'tibar”.
663 Ikhtishar Uluumil Hadits halaman 50.
664 Artinya : “ Fulan tidak bisa dijadikan i'tibar “.
665 Rujukan sebelumnya .
666 Lihat lafadz-lafadz ini di kitab Syarah Alfadzut Tajriih An Naadirah Aw
Qalilatul Isti’mal milik Doktor Sa’diy Al Haasyimiy .

210
Adapun lafadz-lafadz yang sedikit sekali atau jarang dipakai , maka di
antaranya :

1. ‫ ( امليزان‬almiizan ) adalah kinayah untuk menggambarkan kekuatan


hafalan dan dhabt667 . Berkata At Tsauriy :

‫حدثني امليزان عبد امللك بن أبي سليمان‬

“ Telah berkata kepadaku Al Mizaan Abdul Malik bin Abi Sulaiman


“.
Berkata Ibnu Al Mubaarak :

‫عبد امللك ميزان‬

“ Abdul Malik adalah mizan”668.

2. ‫ ( سداد من عيش‬sidadun min ‘aisyin)669. Berkata Al Jauhariy :


ُ
‫ ما ت َس ُّد به‬:‫ و(أصبت به ِسدادا من عيش) أي‬،)‫وأما قولهم (فيه ِسداد من َعوز‬
َّ َ
‫الخلة‬

“ adapun perkataan mereka : fihi sidadun min ‘auzin’ 670dan ushibbat


bihi sidaadun min ‘aisyin671yakni sesuatu yang dipakai untuk
menggenapi kekurangan “672.
Pemutlakan lafadz ini atas rawi menunjukkan bahwa ia berada pada
tingkatan paling rendah di antara tingkatan-tingkatan tautsiq .

667 Lihat Hasyiyah Ar Raf'u wa At Takmiil halaman 157.


668 Tahdziibut Tahdziib 6/ 397.
669 Artinya penambal celah kekurangan hidup
670 Perkataan mereka maksudnya adalah perkataan orang Arab: ( ‫) ِسداد من َعوز‬
dengan mengkasrah huruf sin dan fathah huruf ‘ain dan di akhir kalimat dengan
za’ yang tertandai titik . Maksudnya adalah tambal kekurangan( kesempitan
kebutuhan).
671 Dituangkan padanya penambal celah kekurangan hidup.
672 Lihat An Nihaayah fi Ghariibul hadits Wal Atsar 2/ 353, Lisaanul ‘Arab 3/
207, kata kunci ‫س د د‬
ِ (sin dal dal) .

211
3. ‫ ( ك ههان فسال‬kaana faslan) dengan fathah huruf fa’ dan sukun huruf
sin , dan kata al faslu ( ‫ ) الفسل‬di dalam bahasa maknanya adalah
‫ ( الرذل‬ar radzlu: buruk ) ‫ ( النذل‬an nadzlu : rendah )673 yang tidak
punya muru’ah pada dirinya674.

4. ‫ ( ليس من جمال املحامل‬laisa min jimaalil mahaamil)675 . Kata ‫جمل‬


‫ ( املحامل‬jamalul mahamil ) 676
adalah unta yang kuat sekali yang ,
mampu mengangkat dua orang yang dengan ukuran sedang
mengarungi perjalanan yang jauh . Dan perkataan mereka : ‘ ‫ليس من‬
677

‫ ( جمه ههال املحامل‬laisa min jimaalil mahaamil)” adalah kinayah untuk


mengungkapkan kedha’ifan tetapi dha'if yang sedikit . Oleh karena itu
disebutkan oleh As Sakhawiy lafadz ungkapan ini di tingkatan di
bawah tautsiq di kategori tajrih678 .

5. ‫ ( ال يكتب عنه اال زحفا‬la yuktabu ‘anhu illa zahfan679) maksudnya ,


siapa yang ingin memaksakan diri menulis darinya maka tidak
mengapa seperti orang yang berjalan merangkak680.

6. ‫ ( مود‬mudun) dengan takhfiif681 maknanya adalah ‫ هالك‬haalik682


berasal dari perkataannya :
673 Kedua lafadz tersebut maknanya tidak berbeda yakni kerendahan atau
kehinaan.
674 Lisaanul ‘Arab 11/ 519, kata kunci ‫ ( ف س ل‬fa’, sin , lam).
675 Adalah bentuk jamak dari kata ( ‫ ) محمل‬dengan kasrah mim pertama , sukun
huruf ha’ , dan fathah huruf mim yang ke dua . Berkata Ibnu Sidah : ( Al
mihmal) adalah dua punuk atas unta yang digunakan memikul dua orang
dewasa dengan badan sedang di antara keduanya . Lihat Lisaanul ‘Arab 11/ 178.
676 Unta pemikul beban .
677 Lihat Syarhu Alfaadzi At Tajriih An Naadirah Aw Qaliilatul Isti’mal halaman
14.
678 Fathul Mughiits -makhthuth- 2/48.
679 Artinya : Tidak ditulis haditsnya kecuali dengan merangkak.
680 Hasyiyah Al Jarh wat Ta'diil milik Al Mu’allimiy 3/ 216.
681 Tidak bertasydid.
682 Binasa.

212
‫أودى فالن‬

“ Telah hancur fulan “, maksudnya jika ia telah binasa.

Dan kata ‫ ( مؤد‬muaddin) dengan tasydid dan hamzah , maknanya


bagus dalam menyampaikan hadits683.

7. ‫ ( هو على يدي عدل‬huwa ‘ala yaday ‘adlin) 684


maksudnya adalah
kinayah untuk menggambarkan seorang yang binasa , dan itu
merupakan tadh'iif yang sangat keras 685. Asal dari kalimat tersebut
adalah perumpamaan orang Arab ketika salah seorang tabaabi’ah
( raja-raja Yaman) jika ia menghendaki membunuh seseorang maka ia
menyerahkan kepada hakim dipegang oleh pengawalnya dan namanya
adalah ‘adl dari bani Sa’ad Al ‘Asyirah , dan orang yang dihadapkan
di depannya sudah pasti akan binasa686.

8.‫ ( يزرف في الحديث‬yazrafu fil hadits ) 687 berkata Abu Hatim :

‫يعني يكذب‬

“ yakni ia berdusta”688.

683 Telah berlalu penjelasannya.


684 Dia berada dikeputusan kedua tangan ‘adl . Al 'Iraqiy mengi’tibarkan lafadz ini
sebagai bentuk tautsiq terhadap rawi . As Sakhawiy menyebutkan dari syaiknya Ibnu
Hajar bahwa bahwa Al 'Iraqiy dulu ia mengucapkan ( melafadzkan) kalimat ini
seperti ini -dengan kasrah huruf dal pertama – sehingga lafadz tersebut adalah untuk
tunggal dan ia merafa’kan huruf lam dan mentanwinnya – dan itu membuat isykal
kepada Al Haafidz Ibnu Hajar kepastiannya: apakah itu benar bentuk tautsiq, Karena
perkataan Ibnu Abi Hatim di biografi Jabarah bin Mughlis : ‘dha'iful hadits’ , dan
juga perkataannya ketika anaknya bertanya mengenainya : “ ‫ ( هو على يدي عدل‬huwa
‘ala yaday ‘adlin)” dan ia menjadikan ungkapan ini di hak rawi yang ia dh’ifkan ,
kemudian nyatalah pilihan Ibnu Hajar bahwa itu adalah untuk menjarh keras setelah
ia menemukan asal muasal ungkapan tersebut menurut orang Arab. lihat Al Jarh
wat Ta'diil 2/ 550, fathul Mughiits 1/ 377- 378.
685 Rujukan sebelumnya 1/ 378.
686 Fathul Mughiits 1/378.
687 Maksudnya melompat di dalam hadits .
688 Al Jarh wat Ta'diil 7/ 271.

213
9. ‫ ( يثبج الحديث‬yatsbijul hadits ) 689
. adalah kinayah untuk pemalsuan
terhadap hadits690.

10. ‫ ( حاطب ليل‬haathibu lailin) 691


merupakan penggambaran tentang
tidak selektif dan juga tentang apa yang menjangkiti seorang rawi
muktsir692 dari tidak mutqin693.

Ke Dua , Gerakan-Gerakan Bahasa Tubuh

Sebagian ai`mmah mereka sengaja mengungkapkan694 dengan


gerakan-gerakan yang memberikan pesan putusan hukum-hukum
mereka terhadap sebagian rawi . Dan penjelasan maksud dari
gerakan-gerakan tersebut umumnya didapat dari dari jalur murid-
murid mereka tadi ( ai`mmah) karena hadir langsung pada majlis
ilmiyah mereka yang di sana lah itu kelihatan. Dan kadang itu ditafsir
oleh para hafidz yang mereka biasa melakukan tatabu’ dan istiqra'695.
1. Menggerak-gerakkan tangan . Berkata 'Ali bin Al Madiny :
ّ ّ َّ
‫ كأنه ال‬.‫ وذكر عمر بن الوليد الش ِني فقال بيده يحركها‬،‫سمعت يحيى بن سعيد‬
ّ
‫ إذا حههركت يههدك فقههد أهلكتههه‬:‫ مهها لههك؟ قلت‬:‫ فقههال‬،‫ فاسههترجعت أنهها‬:‫ قههال علي‬.‫يقويه‬
‫ ليس هو عندي ممن أعتمد عليه ولكنه ال بأس به‬:‫ قال‬.‫عندي‬

“ Aku pernah mendengar Yahya bin Sa'id , ia menyebut Umar bin Al


Waliid Asy Syaniy dan ia berkata dengan tangannya ia gerak-gerakkan
seolah ia menguatkannya . Berkata Ali : kemudian aku beristirja’ 696 ,
ia berkata : kenapa kamu ? Aku katakan : jika engkau gerak-gerakkan

689 Berbicara tidak karuan dalam menyampaikan hadits .


690 Syarhu Alfaadzi At Tajriih An Naadirah Aw Qaliilatul Isti’mal halaman 81.
691 Pemungut kayu bakar di malam hari.
692 Berlomba berbanyak-banyak dalam meriwayatkan hadits
693 Rujukan sebelumnya halaman 91.
694 Di dalam jarh dan ta'dil .
695 Syarhu Alfaadzi At Tajriih An Naadirah Aw Qaliilatul Isti’mal halaman 99.
696 Berkata ‘ inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un’.

214
tanganmu maka menurutku engkau telah membinasakannya697 . Ia
berkata : ia menurutku bukan di antara rawi-rawi yang aku jadikan
sandaran , namun ia tidak ada bencana dengannya (terjemahan dari
kalimat : ‘laa ba’sa bih’)”698.
2 . Menggerak-gerakkan kepala. Berkata Abdullah bin 'Ali bin Al
Madiny :
ّ ‫سئل أبي عن سويد األنباري‬
...‫يء‬/‫ ليس بش‬:‫فحرك رأسه وقال‬

“ Ayahku pernah ditanya ihwal Suwaid Al Anbaariy , kemudian ia


menggerak-gerakkan kepalanya seraya mengatakan: laisa bisyai’699
3. Memasamkan muka, 'Ali bin Al Madiny berkata:
ّ ‫سألت يحيى بن سعيد عن سيف بن وهب‬
‫ كان سيف‬:‫ وقال‬.‫فحمض يحيى وجهه‬
ً
‫هالكا من الهالكين‬

“ Aku pernah bertanya kepada Yahya bin Sa'id perihal Saif bin Wahb
kemudian Yahya memasamkan700 wajahnya, dan ia mengatakan:
adalah Saif binasa dan termasuk dari deretan orang - orang binasa
701
”.
4. Memuramkan wajah702, berkata Al Bardza’iy :

697 Menjarhnya dengan jarh yang sangat keras.


698 Al Jarh wat Ta'diil 6/ 139.
699 Artinya tidak ada nilai kedudukannya. Tarikh Al Bagdad 9/ 229.
700 Berkata Ibnul Mandzuur :
ّ ‫ في الغضب إذا فسد‬، ‫فالن حامض الفؤاد‬.
‫يء أول ما‬/‫ تنفر من الش‬:‫ ونفس حمضة‬،‫ وفؤاد حمض‬.‫وتغير عداوة‬
ّ :‫وتحمض الرجل‬
‫يء‬/‫يء إلى ش‬/‫تحول من ش‬ ّ .‫تسمعه‬
“... fulan muram hatinya, yakni ketika marah jika telah buruk dan berubah karena
bermusuhan , dan kata fu’ad hamidhun dan nafsun hamidhah : maksudnya menjauh
dari sesuatu semenjak pertama mendengarnya . Dan kata ‫( تمحض الرجل‬tamahhadha
ar rajulu) berubah rautnya dari dari satu keadaan ke keadaan lain. Lisanul ‘Arab kata
kunci ( ‫) م ح ض‬.275 /7 .
701 Rawi rawi yang hancur reputasinya di mata ahli hadits . Al Jarh wat Ta'diil 4/
275.

215
ّ
‫ فكلح وجهه وأساء الثناء عليه‬،‫ذكرت ألبي زرعة عمرو بن عثمان الكالبي‬

“ Aku kepada Abu Zur'ah pernah menyebutkan 'Amr bin 'Utsman Al


Kalaabiy , kemudian ia memuramkan wajahnya , dan pujian tersebut
memburukkannya”703.
5. Isyarat ke lisan, di antara contohnya, bahwa Al Bardza’iy pernah
bertanya kepada Abu Zur'ah mengenai Rabaah bin Abdillah , ia
berkata :
ّ
‫ أنه كذاب‬:‫ أي‬.‫ وأشار أبو زرعة بيده إلى لسانه‬:‫كان أحمد بن حنبل يقول‬

“Dulu Ahmad bin Hanbal pernah berkata dan Abu Zur'ah


mengisyaratkan tangannya ke lisannya :...“. maksudnya ia pendusta704.

702 ‫ الكلوح‬: maknanya adalah menampakkan kemuraman, lihat Lisaanul ‘Arab 2/


574, kata kunci ‫ ( ك ل ح‬kaf , lam , ha’).
703 Ad Dhu’afa’ 759.
704 Ajwibah Abi Zur'ah ‘Ala As’ilatil Bardza’iy 360.

216
Fasal Ke Dua

Tingkatan-Tingkatan Lafadz-Lafadz
Jarh Dan Ta'dil

Abdurrahman bin Abi Hatim memberikan perhatian khusus di dalam


membagi tingkatan-tingkatan jarh dan ta'dil , kemudian para ulama
setelahnya mereka mengikuti mengumpulkan lafadz-lafadz yang
masyhur tadi dan menyusunnya menjadi beberapa tingkatan, yang
dengan usaha itu semakin menjadi jelas-lah derajat kedudukan setiap
masing masing rawi. Dan di antara yang berbicara dalam masalah ini
adalah Ibnu Shalah , Ad Dzahaby , Al 'Iraqiy , As Sakhawiy. Masing-
masing mereka berbicara mengulas hal tersebut menurut ijtihadnya.
Al Haafidz Ibnu Hajar telah meletakkan di dalam mukadimah
kitabnya Taqriibu At Tahdziib susunan kerangka materi khusus untuk
tingkatan-tingkatan lafadz jarh dan ta'dil ini.

Tingkatan-Tingkatan Rawi Menurut Abu Hatim

Sedangkan Ibnu Abi Hatim ia menyebutkan pembagian secara garis


besar untuk tingkatan status rawi-rawi dan juga pembagian lain untuk
tingkatan lafadz-lafadz jarh dan ta'dil. Beliau berkata ketika membagi
tingkatan rawi-rawi secara garis besar :

:‫مراتب الرواة‬

217
‫َ‬ ‫َ‬
‫الج ْه ِهبهذ الناقههد للحههديث فهههذا الههذي ال ُي ه‬
‫ختلهف‬ ‫‪ 1‬ه فمنهم الثبت الحافظ الو ِر ع املتقن ِ‬
‫فيه ُويعتمد على جرحههه وتعديلههه ُويحتج بحديثههه وكالمههه في الرجههال‪ 2.‬ه ومنهم العههدل في‬
‫نفسههه الثبت في روايتههه الصههدوق في نقلههه اله َهو ِر ع في دينههه الحافههظ لحديثههه املتقن فيههه‪،‬‬
‫َّ‬
‫ف ههذلك الع ههدل ال ههذي ُيحتج بحديث ههه ُويوثق في نفسه‪ 3.‬ه ه ومنهم الص ههدوق ال ه َهو ِرع الثبت‬
‫ّ‬ ‫َ َ‬ ‫ً‬
‫النق اد ه فهههذا ُيحتج بحديثه‪ 4.‬ه ومنهم الصههدوق‬ ‫الههذي َي ِه ُم أحيانهها ه وقههد ق ِب هل ُهه الجهابههذة ه‬
‫اله َهو ِر ع املغفههل الغههالب عليههه الههوهم والخطههأ والغلههط والسهههو‪ ،‬فهههذا يكتب من حديثههه‬
‫الههترغيب والههترهيب والزهههد واآلداب‪ ،‬وال ُيحتج بحديثههه في الحالل والحههرام‪ 5.‬ه وخه ٌ‬
‫هامس‬
‫ّ‬
‫قد ألصق نفسه بهم ودل سها بينهم ممن ليس من أهل الصدق واألمانة‪ ،‬ومن قههد ظهههر‬
‫الكذب‪ ،‬فهذا يترك حديثه وتطرح روايته‬ ‫ُ‬ ‫للنقاد العلماء بالرجال أولي املعرفة منهم‬

‫‪* Urutan Tingkatan Para Rawi‬‬


‫َ‬
‫الو ِر ‪(al haafidz) ,‬الحافظ ‪(at tsabt) ,‬الثبت ‪1. Di antara mereka ada yang‬‬
‫الج ْه ِبذ‪(al mutqin),‬املتقن ‪(al wari’),‬ع‬
‫‪ (an naaqid‬الناقد للحديث ‪ِ (al jihbidz) ,‬‬
‫‪lil hadits) . Maka lafadz-lafadz ini adalah yang tidak ada lagi‬‬
‫‪perselisihan ,yang mana penyandangnya dijadikan sandaran di dalam‬‬
‫‪jarh dan ta'dil , dijadikan hujjah hadits ,dan juga perkataannya‬‬
‫‪mengenai rijaal (rawi-rawi hadits).‬‬

‫‪ (at‬الثبت في روايته ‪ (al‘adl jiwanya) ,‬العدل في نفسه ‪2. Di antara mereka :‬‬
‫‪ (as shaduuq di dalam di‬الصدوق في نقله ‪tsabt di dalam riwayatnya) ,‬‬
‫الحافظ ‪َ (al ware’ di dalam beragama),‬‬
‫الو ِر ع في دينه ‪dalam menuqil),‬‬
‫‪ (al haafidz lagi mutqin terhadap haditsnya), maka‬لحديث ل لله املتقن فيه‬
‫‪itulah al ‘adl yang dijadikan hujjah haditsnya dan ditautsiq.‬‬
‫الثبت الذي ‪َ al ware’,‬‬
‫الو ِرع ‪ as shaduuq ,‬الصدوق ‪3.Di antara mereka ada‬‬
‫ً‬
‫‪َ at tsabt yang kadang wahm‬ي ِه ُم أحيان للا‬ ‫‪705‬‬
‫‪, dan ia masih diterima oleh‬‬

‫‪705 Bimbang ragu-ragu.‬‬

‫‪218‬‬
para jahabidzah (pakar dalam ilmu ini)yang ia kritikus , maka ini bisa
dijadikan hujjah haditsnya .

َ al ware’ , ‫املغفل‬
4. Di antara mereka ada ‫ الصدوق‬as shaduuq , ‫الو ِر ع‬
‫ الغههالب عليههه الههوهم والخههط أ والغلههط و السهههو‬pelupa yang kebanyakan
kondisinya adalah membuat was-was ( ragu) , keliru, salah, lupa.
Maka mereka ini boleh ditulis dari haditsnya yang meliputi
hubungannya dengan : targhiib , tarhiib, zuhud, dan adab , dan ia tidak
bisa dijadikan hujjah haditsnya dalam perkara halal dan haram.
5. Dan jenis yang ke lima, memasukkan dan mentadlis dirinya ke
dalam kelompok mereka yang mana bukan dari kalangan ahli shidq
dan amanah , dan juga kalangan manusia yang telah tampak di
pandangan para kritikus (yang mereka berpengetahuan dengan rijal –
rawi-rawi -) yang mempunyai marifah tampak pada mereka dusta,
maka mereka ini ditinggalkan haditsnya dan dibuang riwayatnya “706.
Maka tingkatan yang pertama adalah yang khusus membicarakan
a`immah sedangkan sisanya untuk rawi-rawi selain mereka.

Tingkatan Lafadz-Lafadz Ta'dil Menurut Abu Hatim

Kemudian ia membagi lafadz-lafadz ta'dil menjadi empat urutan


tingkatan:

‫ ه وإذا قيل‬2.‫ فهو ممن ُيحتج بحديثه‬.)‫ أو (متقن ثبت‬،)‫ إنه (ثقة‬:‫ ه إذا قيل للواحد‬1
َ ْ َْ
‫ أو (ال بههأس به) فهههو ممن ُيكت ُب حديثههه ُوين ه‬،)‫ أو (محلههه الصههدق‬،)‫ إنههه (صههدوق‬:‫له‬
‫ظ ُهر‬

706 Mukadimah Al Jarh wat Ta'diil halaman 10.

219
َ ْ َْ
‫ فهههو باملنزلههة الثالثههة ُيكت ُب حديثههه ُوين ه‬.)‫ (شههيخ‬:‫ ه وإذا قيل‬3.‫فيههه وهي املنزلههة الثانية‬
‫ظ ُهر‬
َْ ّ
‫ فٍإنه ُيكت ُب حديثه لالعتبار‬.)‫ (صالح الحديث‬:‫ ه وإذا قيل‬4.‫فيه إال أنه دون الثانية‬

1. jika dikatakan mengenai salah satu rawi bahwa ia tsiqah atau


mutqin tsabt maka ia adalah di antara para rawi yang bisa dijadikan
hujjah haditsnya .

2. jika dikatakan : bahwa ia ‫( صدوق‬shaduuq) atau ‫محله الصدق‬


(mahalluhu as shidqu) atau ‫( ال به ههأس به‬laa ba’sa bih) maka ia adalah
diantara yang ditulis haditsnya dan perlu ditinjau , dan ia masuk ke
dalam kategori derajat yang kedua.

3. jika dikatakan ‫( شيخ‬syaikh) maka ia di kategori derajat tingkat ke


tiga , ditulis haditsnya dan ditinjau. Hanya saja tingkatan
kedudukannya berada di bawah derajat yang ke dua.

4. jika dikatakan ‫( صالح الحديث‬shaalihul hadits) , maka haditsnya


ditulis sebagai i'tibar 707.
Dan tidak ada kontradiksi antara antara yang disebutkannya di dalam
tingkatan rawi-rawi :
ّ َ َ ً َ ‫أن الصدوق‬
‫الو ِرع الثبت الذي َي ِه ُم أحيانا ه وقد ق ِبله الجهابذة النقاد ه ُيحتج بحديثه‬

” Antara mereka ada (as shaduuq) ,(al ware’), (at tsabt yang kadang
wahm) 708 , dan ia masih diterima oleh para jahabidzah (pakar dalam
ilmu ini)yang ia kritikus , maka ini bisa dijadikan hujjah haditsnya”
dan antara perkataannya :
َْ
‫ فههو ممن ُيكت ُب حديثه‬.)‫ أو (ال بأس به‬،)‫إذا قيهل له (صدوق) أو (محله الصدق‬
َ ْ
‫ُوينظ ُر فيه‬

707 Al Jarh wat Ta'diil 2/37.


708 Bimbang ragu-ragu.

220
“ jika dikatakan : bahwa ia shaduuq atau mahalluhu as shidqu atau laa
ba’sa bih maka ia adalah diantara yang ditulis haditsnya dan perlu
ditinjau”. Demikian adalah karena berikut ini:
1. Karena berhujjah dengan yang disebutkannya di tingkatan rawi-
rawi adalah tertaqyid- terkhususkan - dengan sifat rawi-rawi yang
diterima oleh pakar kritikus hadits .
2. Karena telah ditegaskan dengan jelas oleh beliau di tingkatan yang
pertama bisa dipakai berhujjah dan di dalam status rawi ‘ shaalihul
hadits ‘ yakni tingkatan ke empat , bahwa ia ditulis haditsnya sebagai
i'tibar. Jadi tersisa-lah dua tingkatan yakni: ke dua dan ke tiga, yang
merupakan butuh peninjauan kembali. Dan tidak ada keraguan, bahwa
rawi yang diterima oleh pakar kritikus hadits dari kalangan rawi-rawi
yang di tingkatan keduanya (dua dan tiga) adalah dalam rangka dibuat
berhujjah ( ihtijaj). Jadi rawi tersebut adalah diantara deretan yang
dijadikah hujjah haditsnya. Hanya saja diketahui mereka diterima
haditsnya sebagai hujjah adalah dengan melakukan tatabbu’
(penelitian) terhadap pendapat-pendapat ahli kritik para rawi:- di
dalam - tautsiq mereka atas rawi tersebut ,atau dari sisi tashih dan
tahsin terhadap hadits yang ia bersendirian meriwayatkan haditsnya.
3. Al Haafidz Ibnu Shalah telah memberikan catatan terhadap
keputusan hukum Ibnu Abi Hatim , yaitu di perkataan “ maka ia
adalah diantara yang ditulis haditsnya dan perlu ditinjau” :

‫فينظر في حديثه ُويختبر‬ ُ ‫هذا كما قال؛ ألن هذه العبارات ال ُت ْشع ُر بشريطة الضبط‬
ِ
ُ َ َ
‫ وإن لم ُي ْسه هت ْوف النظه ههر املعه ه ّ ِهرف لكه ههون ذله ههك املحه ه ّهدث في نفسه ههه‬...‫حه ههتى يعه ههرف ضه ههبطه‬
ً ً
‫ واحتجنهها إلى حههديث من حديثههه اعتبرنهها ذلههك الحههديث ونظرنهها هههل لههه‬،‫ضههابطا مطلقهها‬
‫أصل من رواية غيره؟‬

“Ini adalah sebagai mana yang ia katakan karena ungkapan-ungkapan


ini tidak memberikan isyarat pensyaratan dhabt sehingga perlu dilihat
di haditsnya dan perlu diuji sampai diketahui dhabtnya.

221
Dan jika tidak bisa sepenuhnya diupayakan peninjauan yang bisa
mengenalkan bahwa status muhaddis tersebut adalah seorang yang
dhabt mutlak , maka kita perlu kepada hadits yang berasal dari
haditsnya, kita i'tibar dan kita meninjau apakah haditsnya tersebut
mempunyai asal dari riwayat selain dia? “.709
Pernyataan ini memberikan faidah bahwa meninjau yang disebutkan
tadi adalah guna mengetahui kemutlakan dhabt rawi tadi, maksudnya
apa ia sempurna dhabtnya , atau lebih ringan dhabtnya sedikit tetapi
masih lolos bisa dijadikan hujjah . Dan hal itu bisa diketahui dengan
beberapa perkara , di anataranya:
1- Melakukan perbandingan antara riwayat - riwayatnya dengan
riwayat- riwayat rawi lain dari kalangan rawi-rawi tsiqah.
2- Penerimaan para pakar kritik hadits terhadap dirinya dengan
mentautsiqnya ,atau tashih atau tahsin terhadap hadits yang ia
bersendirian meriwayatkannya.
3- Rawi tersebut haditsnya dikeluarkan oleh Asy Syaikhany di dalam
ushul di shahiihnya.
4- Diketahuinya tidak meriwayatkan dari hafalannya, bahkan ia
bersandar kepada kitab.
Dan yang semisal itu dari antara qarinah-qarinah yang menguatkan
sisi ihtijaj ( bisa dijadikan hujjah riwayatnya di hak statusnya_pent).
Dan jika masih tidak bisa sepenuhnya diupayakan peninjauan yang
bisa menyimpulkan bahwa ia adalah seorang yang dhabt mutlak maka
kita tidak bisa menjadikannya hujjah sasuatupun dari haditsnya
kecuali memiliki asal dari hadits rawi selainnya.
Perkataan Ibnu Shalah memutuskan dua hal :
a. Melihat seluruh riwayat-riwayat rawi shaduuq tersebut untuk
mengetahui derajat dhabtnya .

709 'Uluumul Hadits halaman 238.

222
b. orang yang tidak sepenuhnya bisa diperhatikan dalam hal yang tadi
sudah disebutkan di haknya, maka ia harus melihat hadits apa saja
yang kita butuhkan dari hadits -haditsnya , apakah ia memiliki asal
dari hadits riwayat rawi-rawi lain atau tidak?

Tingkatan Jarh Menurut Abu Hatim


Ada empat :

1. Jika mereka menjawab mengenai status seorang rawi adalah ‫لين‬


‫ ( الح ههديث‬layyinul hadits ) maka ia adalah di antara rawi-rawi yang
ditulis haditsnya dan ditinjau lagi sebagai i'tibar .

2. jika mereka mengatakan ‫( ليس بقوي‬laisa biqawiyyin) maka berada


di manzilah ( kedudukan tingkatan) pertama ditulis haditsnya hanya ia
berada di bawahnya ( maksudnya tingkatan nomor satu)

3. Jika mereka mengatakan ‫( ضعيف الحديث‬dha'iful hadits)maka ia


berada di bawah tingkatan yang ke dua ,ia tidak dibuang haditsnya
bahkan dijadikan i'tibar.

4. Jika mereka mengatakan ‫( متروك الحديث‬matruukul hadits) atau ‫ذاهب‬


‫( الحه ههديث‬dzaahibul hadits ) atau ‫ ( الكه ههذاب‬kaddzaab) maka ia adalah
jatuh haditsnya tidak ditulis haditsnya dan ia berada di tingkatan jarh
yang ke empat710.
Pada pembagian ini, beliau menjadikan tiga tingkatan pertama sebagai
i'tibar akan tetapi satu dengan yang lain berbeda-beda kedudukan
tingkatan derajat dan kekuatannya. Sebagaimana telah menjadikan
‫( متروك‬matruuk), dan ‫( كذاب‬kaddzab) di dalam satu tingkatan derajat
karena berserikatnya dua lafadz jarh tadi di hukum tingkatan yang
disebut-sebut (laa yuktab haditsuhu: tidak ditulis haditsnya ). Hanya

710 Al Jarh wat Ta'diil 2/ 37.

223
saja diketahui bersama bahwa tingkatan rawi kaddzab adalah yang
paling rendah dan di atasnya ada ‫( متهم بالكذب‬muttahamun bil kadzib)
dan di atasnya ada matruuk.

Tambahan Ibnu Shalah Dari Lafadz-Lafadz Jarh


Dan Ta'dil
Ibnu Shalah menambahkan beberapa lafadz yang lain selain yang
disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim , dan rinciannya adalah sebagai
berikut:
1- Yang ia nashkan masuk ke dalam tingkatan pertama dari tingkatan-
tingkatan ta'dil yaitu ketika ia berkata :

Demikian pula jika seorang rawi dikatakan :‫( ثبت‬tsabt) atau ‫حجة‬
( hujjah) , dan demikian pula jika seorang yang ‘adl disifati dengan
‫( حافظ‬haafidzun ) atau ‫( ضابط‬dhaabithun)711.

2- Yang beliau sebutkan dari lafadz-lafadz yang bukan dari susunan


karangannya tapi susunan Al 'Iraqiy di kitabnya ‘ At Taqyiid Wal
Iidhah Lima Uthliqa Wa Ughliqa Min Kitaabi Ibni Shalah ‘ dan
rinciannya adalah sebagai berikut:
a. Lafadz-lafadz yang masuk dalam tingkatan ke empat dari tingkatan-
tingkatan tautsiq , yakni : ‫ ( فالن روى عنه الناس‬fulan rawa ‘anhu
annaas), ‫( فالن وسط‬fulaanun washthun), ‫( فالن مقارب الحديث‬fulan
muqaaribul hadits ), ‫ ( فالن ما أعلم به بأسا‬fulan ma a’lamu bihi ba’san).

b. lafadz-lafadz yang masuk jajaran tingkatan pertama dari tingkatan-


tingkatan jarh , yakni: ‫( فالن ليس بذاك‬fulan laisa bidzaka), ‫فالن فيه‬
‫ ( ض ه ههعف‬fulan fihi dha’fun), ‫( فالن في جديث ه ههه ض ه ههعف‬fulan fi haditsihi
dah’fun) .

711 'Uluumul Hadits 237.

224
Yang masuk di jajaran tingkatan ke dua: ‫( فالن ال يحتج به‬fulan la
yuhtajju bih),‫ ( فالن مضطرب الحديث‬fulan mudhtharibul hadits ).

Yang masuk jajaran tingkatan ke tiga : ‫يء‬/‫( فالن ال ش‬fulan laa syai’) ,
‫( فالن مجهول‬fulan majhuul)712.

Tingkatan Jarh Dan Ta'dil Menurut Al Haafidz Ad


Dzahaby

Al Haafidz Ad Dzahaby membagi tingkatan-tingkatan ta'dil menjadi


empat, dan tingkatan-tingkatan jarh menjadi lima bagian. Tetapi As
Sakhawiy menukilkan bahwa tingkatan-tingkatan jarh menurut Ad
Dzahaby ada enam dengan menambahkan tingkatan dha'if .
Berkata Ad Dzahaby di dalam lafadz-lafadz ta'dil :
“ Dan yang paling tinggi ungkapan menilai rawi-rawi yang diterima
haditsnya adalah :

1. ‫( ثبت حجة‬Tsabtun hujjatun), ‫( ثبت حافظ‬tsabtun haafidzun) , ‫ثفة متقن‬


(tsiqatun mutqinun), ‫( ثقة ثقة‬tsiqatun tsiqatun)’.

2. Kemudian ‫( ثقة‬tsiqatun).

3. Kemudian ‫ ( صدوق‬shaduuqun) dan ‫ ( ال بأس به‬laa ba’sa bih), dan


‫ ( ليس به بأس‬laisa bihi ba’sun).

4. Kemudian ‫محله الصدق‬ ( mahalluhu as shidqu), ‫جيد الحديث‬


( jayyidul hadits ), ‫صه ه ههالح الحه ه ههديث‬ ( shaalihul hadits ) ,‫شه ه ههيخ وسط‬

712 Lihat rujukan sebelumnya halaman 240, Taqyiid wal Iidhah halaman 161.

225
( syaikhun wasthun) , ‫ ( شههيخ حسههن الحههديث‬syaikhun hasanul hadits ) ,
‫ ( صدوق ان شاء هللا‬shaduuqun in syaa Allah), ‫ ( صويلح‬shuwailih) dan
yang semakna dengan itu713.
Kemudian beliau menyebutkan lafadz-lafadz jarh diawali dengan yang
paling keras kemudian tingkatan-tingkatan di bawahnya. Hanya saja
urutannya diawali dari yang paling ringan sebagai berikut :

1. ‫ ( يضعف‬Yudha’af) , ‫ ( فيه ضعف‬fihi dha’fun), ‫ ( قد ضعف‬qod


dhu’ifa ), ‫ ( ليس بقوي‬laisa bil qawiy), ‫ ( ليس بحجة‬laisa bi hujjatin) ,
‫ ( ليس بذاك‬laisa bidzaaka), ‫ ( تعرف و تنكر‬ta’rifu wa tunkiru), ‫فيه مقال‬
( fiihi maqaalun) , ‫ ( تكلم فيه‬tukullima fiihi) , ‫ ( لين‬layyinun) , ‫ يء‬/‫س هه‬
‫ ( الحفظ‬sayyiul hifdzi ) , ‫ ( ال يحتج به‬la yuhtajju bih), ‫اختل ههف فيه‬
( ukhtulifa fih), ‫ ( صدوق لكنه مبتدع‬shaduuq lakinnahu mubtadi’ ).

2. ‫ ( ضعيف‬Dha'if ), ‫ ( ضعيف الحديث‬dha'iful hadits) , ‫مضطربه‬


( mudhtharibuhu ) , ‫ ( منكره‬mungkaruhu) 714.

3. ‫ ( واه بمرة‬Waahin bi marrah) , ‫يء‬/‫ ( ليس بش‬laisa bisyai’), ‫ضعيف جدا‬


( dha'if jiddan), ‫ ( ضعفوه‬dha’afuuh) , ‫ ( ضعيف واهن‬dha'ifun waahinun)
, ‫ ( منكر الحديث‬mungkarul hadits ).

4. ‫ ( متروك‬Matruuk) , ‫ ( ليس بثقة‬laisa bitsiqatin) , ‫ ( سكتوا عنه‬sakatuu


‘anhu), ‫ ( ذاهب الحديث‬dzaahibul hadits ), ‫ ( فيه نظر‬fiihi nadzarun),‫هالك‬
( haalikun), ‫ ( ساقط‬saaqithun).

5. ‫ ( متهم بالكذب‬Muttahamun bil kadzib), ‫ ( متفق على تركه‬muttafaqun


‘alaa tarkihi) .

713 Miizaanul I'tidal 1/4.


714 Fathul Mughiits 1/376.

226
6. ‫ ( دج ه ههال‬Dajjaalun),‫ ( ك ه ههذاب‬kaddzaabun), ‫ ( وض ه ههاع‬waddha’un),‫يض ه هع‬
‫ ( الحديث‬yadha’ul hadits ) 715.

Pembagian ini adalah rinci sekali di dalam membatasi tingkatan


lafadz-lafadz . Sebagaimana di situ disaksikan pembedaan beliau
antara lafadz ‫( صدوق‬shaduuq ) dengan ‫ ( صدوق ان شاء هللا‬shaduuqun
in syaa Allah) , dan ‫( صدوق لكنه مبتدع‬shaduuqun lakinnahu mubtadi'').

Dan Al Haafidz Ad Dzahaby telah memutuskan hukum menurut yang


disebutkannya dari lafadz-lafadz jarh tadi dengan keterangan
perkataannya berikut:
ّ ّ ‫ونحو ذلك من العبارات التي‬
‫تدل بوضعها على اطراح الراوي باألصالة أو على‬
ّ ‫ أو على جواز أن ُي‬،‫ أو على التوقف فيه‬،‫ضعفه‬
‫حتج به مع ِل ٍين ّما فيه‬

“ Dan yang semisal itu dari ungkapan-ungkapan yang peletakan


lafadz-lafadznya dipakai untuk menunjukkan dibuangnya – riwayat -
rawi secara keseluruhan , atau menunjukkan kedh’ifannya, atau
tawaqquf mengenainya, atau bolehnya berhujjah dengannya meskipun
dengan kelayyinan yang terdapat pada dirinya”716.
Dan semoga saja yang ia maksudkan dengan perkataannya “ yang
peletakan lafadz-lafadznya dipakai untuk menunjukkan dibuangnya –
riwayat - rawi secara keseluruhan” adalah tiga tingkatan -paling
terakhir _pent- yakni ke empat, lima, dan enam. Dan perkataannya “
atau menunjukkan kedh’ifannya” adalah dua tingkatan ke dua dan ke
tiga. Dan perkataannya “ atau tawaqquf mengenainya, atau bolehnya
berhujjah dengannya meskipun dengan kelayyinan yang terdapat pada
dirinya” adalah tingkatan yang pertama . Demikian adalah karena
tidak sedikit terjadi di hak ahlinya ( penempat tingkatan tersebut) dari
tawaqquf ahli ilmu menghukumi mereka dengan dha'if secara mutlak.

715 Miizaanul I'tidal 1/4.


716 Miizaanul I'tidal 1/4.

227
Atau dari bolehnya berhujjah dengan – riwayat – mereka , karena
kedha’ifan mereka tidak sedikit ( tidak banyak).
Dan diketahui bahwa kebimbangan seringnya terjadi di haknya rawi
yang menempati tingkatan terakhir di dalam ta'dil dan yang paling
pertama di dalam jarh.

Yang Ditambahkan Al 'Iraqiy Di Pembagian Ad


Dzahaby , Dan Yang Di Selisihinya

Pertama tambahan-tambahan:
a. Di dalam tingkatan ta'dil :

1- Beliau menambahkan di tingkatan pertama perkataan mereka: ‫ثقة‬


‫ ( ثبت‬tsiqatun tsabtun).

2- Di tingkatan ke dua perkataan mereka ‫ ( مأمون‬ma’muunun), ‫خيار‬


( khiyaarun).

3- Di tingkatan ke empat perkataan mereka ‫ ( رووا عنه‬rawau ‘anhu), ‫الى‬


‫ ( الصدق ما هو‬ila as shidqi maa huwa) , ‫ ( شيخ‬syikhun), ‫( مقارب الحديث‬
muqaaribul hadits ), ‫ ( أرجوا أنه ال بأس به‬arjuu annahu laa ba’sa bih ), ‫ما‬
‫ ( أعلم به بأسا‬maa a’lamu bihi ba’san)717.

b. Dalam tingkatan jarh :

1- Beliau menambahkan di tingkatan pertama perkataan mereka ‫في‬


‫ ( حديثههه ضههعف‬fii haditsihi dha’fun) , ‫ ( ليس بههذاك القههوي‬laisa bidzaakal
qawiy) , ‫ ( ليس باملتين‬laisa bil Matiin) , ‫ ( ليس بعمدة‬laisa bi ‘umdatin) ,

717 Syarhu At Tabshirah Wa At Tadzkirah 2/ 603.

228
‫ي‬/‫ ( ليس باملرض‬laisa bil mardhiy), ‫ ( للضههعف مهها هو‬liddha’fi maa huwa) ,
‫( فيه خلف‬fiihi khulfun), ‫ ( طعنوا فيه‬tha’anuu fih), ‫مطعون فيه‬
( math’uunun fih) ,‫ ( لين الح ه ههديث‬layyinul hadits ) , ‫ ( في ه ههه لين‬fiihi
layyin) ,‫ ( تكلموا فيه‬takallamuu fih).

2- Menambahkan di tingkatan ke dua perkataan mereka ‫ ( واه‬waahin),


‫ ( حديثه منكر‬haditsuhu mungkarun).

3- Menambahkan di tingkatan ke tiga perkataan mereka ‫رد حديثه‬


( rudda haditsuhu), ‫ ( ردوا حديثه‬radduu haditsahu), ‫م ه ه ههردود الح ه ه ههديث‬
(marduudul hadits), ‫( طرح ه ه ه ه ههوا حديثه‬tharahuu haditsahu) , ‫مطه ه ه ه ههرح‬
( mutharrahun), ‫( مطرح الحديث‬mutharrahul hadits ), ‫ ( ارم به‬irmi bih), ‫ال‬
‫يء‬/‫ ( ش‬la syai’), ‫ ( ال يساوي شيئا‬la yusaawi syai’an).

4- Dan menambahkan tingkatan ke empat perkataan mereka ‫ذاهب‬


( dzaahibun), ‫ ( مههتروك الحههديث‬matruukul hadits ) , ‫ ( تركههوه‬tarakuuh) , ‫ال‬
‫ ( يعت ههبر به‬la yu’tabaru bih), ‫ ( ال يعت ههبر بحديثه‬la yu’tabaru bi haditsihi) ,
‫( ليس بالثقة‬laisa bit tsiqah), ‫( غير ثقة وال مأمون‬ghairu tsiqatin wala
ma’muunin).

5- Dan di tingkatan ke enam perkataan mereka ‫ ( يكذب‬yakdzibu),‫وضع‬


‫ ( حديثا‬wadha’a haditsan)718

Kedua: perbedaan perbedaan.

1. Beliau menyebutkan ‫ ( ال يحتج به‬la yuhtajju bih) dan ‫ضعفوه‬


( dha’afuuh) di dalam tingkatan ke dua di tingkatan jarh , disisi lain
keduanya merupakan dua lafadz yang berbeda tingkatannya

718 Lihat Syarhu At Tabshirah Wa At Tadzkirah 2/ 11-12.

229
kedudukannya menurut Ad Dzahaby . ‫ ( ال يحتج به‬la yuhtajju bih) di
tingkatan ‫ ( فيه ضعف‬fiihi dha’fun) dan kata ‫( ضعفوه‬dha’afuuh) di
tingkatan ‫ ( ضعيف جدا‬dha'if jiddan).

2. beliau menyebutkan perkataan mereka ‫متهم باكذب او الوضع‬


( muttahamun bil kadzib – atau- bil wadhi’ ) di tingkatan ‫م ل للتروك‬
( matruuk)719 yang mana Ad Dzahaby menyendirikan di tingkatan
sendiri meskipun disepakati ditinggalkan .

Tingkatan Jarh Dan Ta'dil Menurut Al Haafidz Ibnu


Hajar

1 Para shahabat .

2. Nama-nama yang dikuatkan pujian atasnya dengan wajan af’al ‫أفعل‬


tafdhil sepereti ‫ ( أوثه ههق النه ههاس‬autsaqun naas)atau dengan mengulang
sifat secara lafadz seperti ‫ ( ثقة ثقة‬tsiqah-tsiqah), atau secara makna
seperti ‫( ثقة حافظ‬tsiqatun haafidzun) .

3. Rawi yang disendirikan dengan sifat seperti ‫ ( ثقة‬tsiqah), atau ‫متقن‬


( mutqin), ‫ ( ثبت‬tsabtun), atau ‫‘ ( عدل‬adlun).

4. Rawi yang sedikit lebih rendah dari tingkatan ke tiga: ‫صدوق‬


( shaduuqun),atau ‫ ( ال بههأس به‬laa ba’sa bih),atau ‫ ( ليس بههه بههأس‬laisa bihi
ba’sun).

719 Lihat rujukan sebelumnya 2/ 11-12.

230
5. Rawi yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan ke empat
sedikit :‫يء الحفظ‬/‫( صدوق س‬shaduuqun sayiul hifdz), ‫صدوق يهم‬
( shaduqun yahim) , atau ‫( له ه ههه أوهه ه ههام‬lahuu auhaamun), atau ‫يخطئ‬
(yukhthi’) atau ‫( تغههير بههأخرة‬taghayyara bi aakharah). Di-kategorikan di
tingkatan ini : rawi-rawi dituduh dengan kebid'ahan seperti tasyayyu’,
keyakinan qadar, nashab ( nashibiyah), irja’, dan tajahhum ( keyakinan
jahmiyah).
6. Rawi yang tidak memiliki hadits kecuali sedikit dan tidak tsabit
(tetap) bahwa dengan sebab tersebut ditinggalkan haditsnya : ‫مقبول‬
(maqbuul) dalam situasi dikuatkan mutabi’ dan jika tidak maka ‫لين‬
‫ ( الحديث‬layyinul hadits ).

7. Rawi yang meriwayatkan darinya lebih dari seorang sedangkan


keadaannya tidak mendapat rekomendasi tautsiiq : ‫ ( مستور‬mastuur)
atau, ‫ ( مجهول الحال‬majhuul hal).

8. Orang yang tidak didapai padanya tautsiq mu'tabar dan didapati


padanya pemutlakan lafadz (dha'if)meskipun tidak secara mufassar:
‫ ( ضعيف‬dha'iif).

9. Rawi tidak ada yang meriwayatkan darinya selain seorang saja dan
tidak mendapat rekomendasi tautsiq : ‫ ( مجهول‬majhuul).

10. Rawi yang tidak mendapat rekomendasi tautsiq sama sekali dan
justru didha’ifkan dengan sebab yang mencacat : ‫ ( متروك‬matruuk),
atau ‫ ( متروك الحديث‬matruukul hadits ),atau ‫ ( واهي الحديث‬waahiyul
hadits ), atau ‫ ( ساقط‬saaqith ).

11. Rawi yang tertuduh berdusta.

231
12. Orang yang disematkan padanya pemutlakan nama ‫ ( الك ه ههذب‬al
kadzib ) dan ‫ ( الوضع‬al wadhe’)720.

Tingkatan Lafadz-Lafadz Ta'dil Menurut As


Sakhawiy

Tingkatan yang pertama datang dengan shighah af’al : ‫أوثق الناس‬


(autsaqul khalq), ‫( أثبت الن ه ههاس‬atsbatun naas), ‫اص ه ههدق من أدركت من البشر‬
(asdaqu man adraktuhu minal basyar).

Diikutkan dalam kategori ini : ‫ ( اليه املنتهى في التثبت‬ilaihi al muntaha fi


attatsabbut), dan mengandung kemungkinan lafadz ini juga diikutkan:
‫ ( ال أعرف له نظيرا في الدنيا‬laa a’rifu lahuu nadziiran fid dunya).

Tingakatan ke dua: ‫( ال يسأل عن مثله‬la yus`alu ‘an mitslihi).

Tingkatan ke tiga : ‫( ثقة ثبت‬tsiqatun tsabtun) , ‫( ثبت حجة‬tsabtun


hujjatun) , ‫( ثقة ثقة‬tsiqatun-tsiqatun).

Tingkatan ke empat : ‫( ثقة‬tsiqatun), ‫( ثبت‬tsabtun), ‫كأنه مصحف‬


(kaannahu mushafun), ‫( متقن‬mutqinun), ‫( حجة‬hujjatun), demikian
juga jika seorang ‘adil dikomentari : ‫( حافظ ضابط‬haafidzun
dhaabithun).

Tingkatan ke lima : ‫( ليس به بأس‬laisa bihi ba’sun), ‫( ال بأس به‬la ba’sa


bih), ‫( صدوق‬shaduuqun), ‫( مأمون‬ma’muunun),‫( خيار‬khiyaarun).

Tingkatan ke enam : ‫ ( محله الصدق‬mahalluhu as shidqu ) , ‫رووا عنه‬


(rawau ‘anhu), ‫( روى النه ههاس عنه‬rawan naasu ‘anhu), ‫( يه ههروى عنه‬yurwa

720 Taqriibu At Tahdziib 74.

232
‘anhu), ‫( الى الصههدق مهها هو‬ila as shidqi maa huwa), ‫( شههيخ وسط‬syaikhun
wasthun), ‫( وسط‬wasthun), ‫( شيخ‬syaikhun), ‫( مقارب الحديث‬muqaaribul
hadits) , ‫( صالح الحديث‬shaalihul hadits) , ‫( يعتبر به‬yu’tabaru bih), ‫يكتب‬
‫( حديثه‬yuktabu haditsuhu), ‫( جيد الحديث‬jayyidul hadits) , ‫حسن الحديث‬
(hasanul hadits) ,‫( م ه ه ه هها أق ه ه ه ههرب حديثه‬maa aqraba haditsuhu),
‫ص ه ه ه ههويلح‬
(shuwailih) , ‫( صههدوق ان شههاء هللا‬shaduuqun in syaa Allah) , ‫أرجههو ان ليس‬
‫( به بأس‬arju an laisa bihi ba’sun)721.

Tingkatan Lafadz-Lafadz Jarh Menurut As


Sakhawiy

Tingakatan pertama: ‫( فيه مقال‬fiihi maqaaalun), ‫( فيه أدنى مقال‬fiihi


adnaa maqaalin), ‫( ضعف‬dhu’ifa), ‫( فيه ضعف‬fiihi dha’fun), ‫في حديثه‬
‫( ضههعف‬fi haditsihi dha’fun), ‫( تعرفههه و تنكههره‬ta’rifu wa tungkiruh), ‫ليس‬
‫( ب ه ههذاك‬laisa bidzaaka), ‫( ليس ب ه ههذاك الق ه ههوي‬laisa bidzaakal qawiy), ‫ليس‬
‫( ب ههاملتين‬laisa bil matiin), ‫( ليس ب ههالقوي‬laisa bil qawiy), ‫( ليس بحجة‬laisa
bihujjatin), ‫( ليس بعمدة‬laisa bi’umdatin), ‫( ليس بمأمون‬laisa
bima’muunin) 722
, ‫( ليس من ابل القباب‬laisa min ibilil qibaab), ‫ليس من‬
‫( جمههال املحامل‬laisa min jimaalil mahaamil), ‫( ليس من جمههازة املحامل‬laisa
min jammaazaati mahaamil) 723
, ‫ي‬/‫( ليس باملرض‬laisa bil mardhiy), ‫ليس‬
‫( يحمدونه‬laisa yahmaduunahu), ‫(ليس بالحافظ‬laisa bil haafidz) , ‫غه ههيره‬

721 Lihat fathul Mughiits 1/ 362- 368.


722 Jika yang dimaksud di sini adalah dari sisi 'adaalah ( ketaqwaan) maka
penggolongannya di tingkatan ini perlu ditinjau ulang.
723 Fathul Mughiits -makhthuth- 2/48.

233
‫( اوثق منه‬ghairuhu autsaq minhu), ‫يء‬/‫( في حديثه ش‬fii haditsihi syai’), ‫فالن‬
‫( مجهههول‬fulaanun majhuul) 724, ‫( فيههه جهالة‬fiihi jahaalatun), ‫ال ادري من هو‬
(laa adri man huwa), ‫( للضعف ما هو‬liddha’fi ma huwa) , ‫( فيه طعن‬fiihi
khulfun), ‫( طعنوا فيه‬tha’anuu fiih) , ‫( مطعون فيه‬math’uunun fiih), ‫نزكوه‬
(nazakuuh), ‫( س ه ه ههيئ الحفظ‬sayyiul hifdzi), ‫( لين‬layyinun), ‫لين الح ه ه ههديث‬
(layyinul hadits), ‫( في ه ههه لين‬fiihi layyin), ‫( تكلم ه ههوا فيه‬takallamuu fiih),
‫( سكتوا عنه‬sakatuu ‘anhu), ‫( فيه نظر‬fiihi nadzar) ( selain istilah Al
Bukhaary )

Tingakatan ke dua : ‫( ضعيف‬dha'if) ,‫( منكر الحديث‬mungkarul hadits) ,


‫( حديثه منكر‬haditsuhu mungkarun), ‫( له ما ينكر‬lahu maa yungkar), ‫له‬
‫( من ه ه ههاكر‬lahuu manaakir),‫( مض ه ه ههطرب الح ه ه ههديث‬mudhtharibul hadits) ,‫واه‬
(waahin),‫( ضعفوه‬dha’afuuhu), ‫( ال يحتج به‬laa yuhtajju bih).

Tingakatan ke tiga: ‫( رد حديثه‬rudda haditsuhu) , ‫( ردوا حديثه‬radduu


haditsahu) , ‫( مردود الحديث‬marduudul hadits) , ‫( ضعيف جدا‬dha'if
jiddan),‫واه بمرة‬ (waahin bi marratin), ‫( تالف‬taalifun), ‫طرحوا حديثه‬
(tharahuu haditsahu), ‫(ارم به‬irmi bih), ‫( مطه ه ههرح‬mutharrahun), ‫مطه ه ههرح‬
‫( الح ههديث‬mutharrahul hadits) , ‫(ال يكتب حديثه‬laa yuktab haditsuhu), ‫ال‬
‫( تحه ه ههل كتبه ه ههة حديثه‬la tahillu katbatu haditsihi), ‫(ال تحه ه ههل الروايه ه ههة عنه‬laa
tahillu ar riwayatu ‘anhu), ‫( ليس بشيئ‬laisa bisyai’), ‫( ال شيئ‬laa syai’), ‫ال‬
‫( يساوي فلسا‬laa yusaawi falasan), ‫( ال يساوي شيئا‬laa yusaawi syai`an).

724 Kata majhuul menurut Ibnu Hajar ada dua : ‫( مجهول الحال‬majhuul hal) dan ia
tingkatannya di atas ‫( ضعيف‬dha'if) , dan ‫( مجهول العين‬majhuul ‘ain) dan
tingkatannya berada di bawah ‫( ضعيف‬dha'if) dan di atas ‫( متروك‬matruk).

234
Tingakatan ke empat : ‫( يس ه ههرق الح ه ههديث‬yasriqul hadits), ‫متهم بالك ه ههذب‬
(muttahamun bil kadzib), ‫( متهم بالوضع‬muttahamun bil wadhe’), ‫سههاقط‬
(saaqithun), ‫( هالك‬haalikun), ‫( ذاهب‬dzaahibun), ‫ذاهب الحه ه ه ه ه ه ه ه ههديث‬
‫( مه ه ه ه ههتروك‬matruukun), ‫( مه ه ه ه ههتروك الحه ه ه ه ههديث‬matruukul
(dzaahibul hadits),
hadits), ‫( تركوه‬tarakuuh), ‫( مجمع على تركه‬mujma’un ‘alaa tarkihi), ‫هو على‬
‫( يدي عدل‬huwa ‘ala yadai ‘adlin), ‫( مود‬mudin), ‫( ال يعتبر به‬laa yu’tabaru
bih), ‫( ال يعتبر بحديثه‬laa yu’tabaru bihaditsihi), ‫ليس بثقة‬ (laisa
bitsiqatin),‫ليس بالثقة‬ (laisa bits tsiqah), ‫( غير ثقة وال مأمون‬ghairu
tsiqatin wa laa ma’muunin), ‫( سكتوا عنه‬sakatuu ‘anhu), ‫( فيه نظر‬fiihi
nadzarun) ( selain istilah Al Bukhaary ).

Tingakatan ke lima: ‫( كذاب‬kaddzaabun) , ‫( يضع الحديث‬yadha’ul


hadits) , ‫( يكذب‬yakdzibu), ‫( وضاع‬waddhaa’un), ‫( دجال‬dajjaalun), ‫وضع‬
‫( حديثا‬wadha’a haditsan).

Tingakatan ke enam: ‫( أكذب الناس‬akdzabun naas), ‫اليه املنتهى في الوضع‬


(ilaihi almuntaha fil wadhe’), ‫( ركن الكذب‬ruknul kadzib)725.

Hukum Tingkatan-Tingkatan Ta'dil Di Atas Menurut


As Sakhawiy

Berkata As Sakhawiy :
725 Lihat fathul Mughiits 1/ 371- 375. As Sakhawiy telah menyebutkan tambahan
untuk nadzam alfiyah Al 'Iraqiy tingkatan-tingkatan jarh diawali dengan
seburuk-buruk lafadz ‫( أكذب الناس‬akdzabun naas) dan menyebut bahwa yang
paling ansab ( pas) adalah mengurutkannya sebagaimana contoh yang
disebutkan di sini , dan supaya tingkatan dua bagian ini ( ta'dil dan tajrih ) bisa
tertata pada satu garis yang mana diawali dengan yang tertinggi dari ta'dil dan
akhirnya adalah yang paling tinggi dari tingkatan tajrih . Lihat fathul Mughiits
1/371.

235
‫وأم هها ال ههتي بع ههدها فٍإن ههه ال‬.‫ثم إن الحكم في أه ههل ه ههذه املراتب االحتج ههاج ب ههاألربع األولى منها‬
ّ ‫ُي‬
‫ به ههل ُيكتب حه ههديثهم‬،‫حتج بأحه ههد من أهلهه هها لكه ههون ألفاظهه هها ال تشه ههعر بشه ههريطة الضه ههبط‬
‫ وفي بعضهههم من‬،‫وأمهها السادسههة فههالحكم في أهلههها دون أهههل الههتي قبلههها‬. ..........‫ويختههبر‬
‫يكتب حديثه لالعتبار دون اختبار ضبطهم لوضوح أمرهم فيه‬

“ Kemudian hukum mengenai rawi-rawi yang berada tingkatan-


tingkatan ini adalah : berhujjah dengan yang di empat tingkatan
pertama. Adapun yang setelahnya maka tidak dijadikan hujjah
seorangpun dari rawi-rawi yang di tingkatan tersebut karena lafadz-
lafadz yang digunakan tidak memberikan petunjuk adanya
pensyaratan dhabt 726, maksimal adalah ditulis haditsnya dan di
duji....727
Adapun tingkatan yang ke enam maka hukum mengenai rawi-rawi
yang menempati tingkatan tersebut adalah di bawah rawi-rawi yang
menempati tingkatan sebelumnya. Pada sebagian mereka ada rawi-
rawi yang dicatat haditsnya sebagai i'tibar dengan tanpa perlu menguji
dhabt mereka karena gamblangnya perkara mereka”728.
Dan apa yang disebutkan oleh beliau rahimahullah ta'aala di tinjauan
tingkatan lima adalah diambil dari kalam Ibnu Shalah sebagaimana ia
menukilkannya setelah itu. Hanya saja kita mendapati para imam
mereka menghasankan hadits shaduuq sebagaimana itu di perkara
Muhammad bin 'Amr bin ‘Alqamah729, dan Muhammad bin Ishaq730,
dan yang sekedudukan dengannya.
Adapun tingkatan yang ke enam , maka yang tampak bahwa hukum
nya mengacu dengan yang di sekitar rawi tersebut dari indikasi-
indikasi di sekitar riwayat tersebut. Karena kadang seorang rawi

726 Pada lafadz-lafadz tersebut .


727 Dan yang terhapus di sini adalah dari perkataan Ibnu Shalah . Dan
penyebutannya telah berlalu. Halaman di kitab asli : 160.
728 Fathul Mughiits 1/ 368.
729 Miizaanul I'tidal 3/ 673.
730 Lihat Siyar A'laam An Nubala 7/ 41 , Fathul Baary 9/ 181.

236
adalah ‘ shaduuq yukhthi’’, tetapi ia adalah rawi yang paling tsiqah
ketika meriwayatkan dari syaikh -tertentu - tersebut karena lamanya
melakukan mulazamah, dan -banyaknya -pengetahuan terhadap hadits
-haditsnya sehingga ia terkuatkan dengan itu.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahullah :
ً ً ّ ً ُْ
‫ فأما املقبول إطالقا فال ُب َّد أن يكون مأمون‬.‫مقيدا‬ ‫الراوي إما تقبل روايته مطلقا أو‬
ُُ
‫الك ههذب باملظن ههة وش ههرط ذل ههك العدال ههة وخله ُّهوه عن األغه هراض والعقائ ههد الفاس ههدة ال ههتي‬
ُّ َ ُ
ِ ‫ وأن يك ههون م ههأمون الس هههو بالحف ههظ والض ههبط‬،‫يظن معه هها ج ههواز الوض ههع‬
‫وأم هها‬.‫واإلتق ههان‬
‫املقيد فيختلف باختالف القرائن ولكل حديث ذوق ويختص بنظر ليس لآلخر‬ َّ

“ Seorang rawi ia bisa jadi diterima riwayatnya secara mutlak atau


secara muqayyad , adapun maqbuul (diterima) secara mutlak maka
kriterianya harus aman dari berdusta secara dzan, dan harus ada dari
pensyaratan 'adaalah (ketaqwaan),dan harus terbebas dari berbagai
tujuan tujuan -duniawi – dan juga aqidah-aqidah yang rusak yang
memicu prasangka dengan sebab itu -baginya- boleh dusta.
Sedangkan secara muqayyad maka berbeda-beda seiring perbedaan
indikasi . Dan di setiap hadits ada rasa dan butuh perhatian khusus
yang tidak diberlakukan pada yang lain731.

Hukum Tingkatan-Tingkatan Jarh Di Atas Menurut


As Sakhawiy

Dua tingkatan yang pertama (pertama dan ke dua) bisa dikeluarkan


hadits -hadits yang diriwayatkannya sebagai i'tibar, maksudnya ia
lolos dalam mutaabaat dan syawaahid , karena sighah-sighah yang
terdapat di dua tingkatan tersebut (pertama dan ke dua) memaklumkan
bahwa rawi yang tersifati dengan itu (makusdnya sighah- sighah yang

731 Majmu’ Fatawa 18/ 47.

237
disebutkan di dua tingkatan pertama tadi) adalah lolos , dan tidak ada
bentuk munaafat (penyangkalan) terhadap nya 732.

Akan tetapi dikecualikan dari itu lafadz ‫( منكر الحديث‬mungkarul


hadits) karena hukum pada lafadz ini berbeda-beda tergantung maksud
istilah yang mengatakannya.
Adapun tingkatan yang ke empat , maka hadits rawi-rawi yang
menempati tingkatan tersebut tidak lulus sebagai i'tibar secara
mutlak733.

---####--

732 Kemungkinan di bawa ke kelaziman lafadz-lafadz tersebut.


733 Lihat fathul Mughiits 1/ 375.

238
DAFTAR ISI
KAIDAH-KAIDAH JARH DAN TA'DIL............................................1
Terjemahan :..........................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................2
BAB PERTAMA...................................................................................5
Hakikat Jarh Wat Ta’dil........................................................................5
FASAL PERTAMA...............................................................................5
Hakikat Jarh Wat Ta’dil.........................................................................5
Pengertian Jarh (‫)الجرح‬.....................................................................5
Pengertian Jarh (‫ )الجرح‬Secara Bahasa :......................................5
Pengertian Jarh (‫ )الجرح‬Secara Istilah :........................................6
Pengertian Ta’dil...............................................................................7
Ta’dil ( ‫ ) التعديل‬Secara Bahasa..................................................7
Ta’dil secara istilah......................................................................7
Penggunaan Kalimat Ta’dil Secara Istilah Bermakna Tautsiiq....8
Pengertian Dhabt ( ‫)الضبط‬.............................................................10
Yang Keluar Dari Deskripsi ‘adaalah Dan Pensyaratan Dhabt..10
Ketiga: Yang Keluar Dari Diskripsi Dhabt................................12
Beberapa Perkara Yang Membuat Seorang Rawi Dikritik Bukan
Dari Sisi ‘adaalah Dan Dhabt....................................................13
Asal Syar'iy Dalam I'tibar ‘adaalah Dan Dhabt Di Seleksi Rawi
...................................................................................................14
Adakah Syarat Yang Lain Selain 'Adaalah ( Ketaqwaan) Dan
Dhabt..........................................................................................19
Beberapa Indikasi Yang Membuktikan Ke’adaalahan Seseorang
...................................................................................................23
...................................................................................................23
Ketiga : jika seorang alim mengamalkan atau berfatwa putusan
yang menyepakati suatu hadits , apakah yang demikian itu
merupakan bentuk tashiih terhadap hadits tersebut dan sekaligus
ta'dil terhadap rawi-rawinya?.....................................................40
Yang Menunjukkan Dhabt Seorang Rawi..................................43
Syarat Syarat Yang Harus Dipenuhi Kriterianya Oleh Mu’adil
Dan Jaarih..................................................................................45
Diterimanya Jarh Dan Ta’dil Secara Mufassar Atau Mubham. .45

239
Catatan Mengenai Dhabt Tafsir Jarh..........................................49
Jawaban Ibnu Shalah Perihal Jarh-Jarh Yang Mubham Yang
Terdapat Di Dalam Kitab Jarh Wat Ta'dil..................................50
FASAL KE DUA.................................................................................53
Pertentangan Jarh Dan Ta'dil..........................................................53
Adapun Jika Jarh Dan Ta'dil Bertentangan Yang Mana Datang
Keduanya Dari Satu Orang Imam , Maka Ada Dua Keadaan :. 55
Keadaan yang pertama:..............................................................55
Keadaan yang ke dua :...............................................................56
Dan Di Antara Dhabt- Dhabt Perbedaan Di Jarh Dan Ta'dil :.. .58
Penjelasannya:...........................................................................74
BAB KE DUA.....................................................................................95
Segi-Segi Pencacatan Pada Rawi........................................................95
Fasal Pertama......................................................................................96
Sisi-Sisi Yang Berhubungan Dengan Jahaalah Rawi..........................96
Apakah Riwayat Majhuul Terkuatkan Dengan Mutaaba’ah....111
Di Antara Kaidah Berkaitan Dengan Pembahasan Jahaalah....112
Fasal Ke Dua:....................................................................................124
Sisi-Sisi Yang Berhubungan Dengan 'Adaalah ( Ketaqwaan) Rawi. 124
Sisi Yang Pertama : Menerabas Muru`ah.....................................124
Sisi Ke Dua : ‫ االبتداع‬Berbuat Bid'ah...........................................127
Pandangan Ulama Mengenai Hukum Riwayat Mubtadi’ ( Ahli
Bid'ah ).....................................................................................127
Sisi Yang Ke Tiga: ‫ الفسق‬Kefasikan...........................................144
Sisi Ke Empat: ‫ التهمبذكلاب ة بالكذب‬Tertuduh Berdusta........................145
Sisi Ke Lima : ‫ الكذب‬Dusta.........................................................146
Hukum Riwayat Orang Yang Taubat Dari Berdusta Dengan Sengaja
Di Dalam Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam.........147
Fasal Ke Tiga.....................................................................................151
Sisi-Sisi Yang Khusus Berhubungan Dengan Dhabt.........................151
1.Bagian Yang Berhubungan Dengan Dhabt Shadr Dan Dhabt
Kitab Secara Bersamaan..........................................................151
Di Antara Kaidah-Kaidah Masalah Ini....................................151
2.Bagian yang Berhubungan Dengan Dhabt Shadr ( Hafalan
Dada -Maksudnya Di Luar Kepala- )......................................152
Sisi Yang Pertama : ‫ سوظفحلا ء الحفظ‬Buruk Hafalan....................152

240
Sisi Kedua : Sering Menyelisihi Riwayat (Katsratul
Mukhaalafah: ‫) كثرةفلاخملا ة المخالفبذكلاب ة‬.................................................157
Sisi Ke Tiga : Banyak Melakukan Wahm Atau Kekeliruan ( ‫كثرةفلاخملا ة‬
‫)الوهم‬......................................................................................158
Sisi Ke Empat: Sangat Pelupa ( Syiddatul Ghaflah ‫ )شدةفلاخملا ة الغفلبذكلاب ة‬1
59
Perbedaan Antara Wahm ‫ الوهم‬Dan Ghaflah ‫الغفلبذكلاب ة‬..............159
Sisi Ke Lima: Parah Kekeliruannya ( Fuhsyul Ghalath : ‫فحطلغلا ش‬
‫)الغلط‬.......................................................................................160
2. Bagian Yang Berhubungan Dengan Dhabt Kitab................160
Fasal Empat.......................................................................................162
Sisi-Sisi Yang Tidak Berhubungan Dengan 'Adaalah ( Ketaqwaan)
Dan Dhabt.........................................................................................162
Bagian Pertama: Hal-Hal Yang Tidak Berkaitan Dengan 'adaalah
( Ketaqwaan) Dan Dhabt Secara Galib....................................162
Sisi Pertama: ‫ التدليس‬Tadlis....................................................163
1.Tadlis Isnad ‫تدليس اإلِسناد‬....................................................163
2. Tadlis Taswiyah ‫تدليس التسويبذكلاب ة‬...........................................163
3. Tadlis Syuyukh ‫تدليس الشيوخ‬.............................................164
Beberapa Kaidah Berkaitan Dengan Tadlis.............................164
Dan termasuk dari kaidah-kaidah dalam pembaha- san tadlis
yang pertama :..........................................................................164
Kaidah ke dua, riwayat rawi mudallis dihukumi bersambung
meskipun datang dalam bentuk mu'an'an pada dua keadaan:. .166
Kaidah ke tiga : beberapa kemungkinan yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan hadits rawi-rawi mudallis yang datang di kitab
shahiihain dengan kondisi mu'an'an :......................................168
Kitab-kitab yang paling penting dijadikan rujukan mengetahui
tingkatan-tingkatan mudallis....................................................170
Sisi Ke Tiga, Katsratul Irsaal ( ‫ ) كثرةفلاخملا ة االرسال‬Banyak
Memursalkan Hadits................................................................171
Bolehkan bersengaja dalam memursalkan hadits ?.................171
Sebab-Sebab Seorang Rawi Memursalkan Hadits...................172

241
Hadits - hadits mursal yang diriwayatkan para rawi ditinjau dari
sisi kekuatannya bertingkat-tingkat , dengan rincian sebagai
berikut:.....................................................................................173
Sisi Ke Tiga: Banyak Mengambil Riwayat Dari Rawi-Rawi
Majhuul Dan Matruk...............................................................175
Yang Bisa Terkuatkan Dari Riwayat-Riwayat Yang Dha'if.....175
BAB KE TIGA..................................................................................178
Ungkapan-Ungkapan Yang Muncul Di Dalam Jarh Dan Ta'diil.......178
Pada bab ini ada dua fasal :......................................................178
Fasal pertama : makna-makna dari sebagian beberapa ungkapan
jarh dan ta'dil............................................................................178
Fasal ke dua: tingkatan kedudukan lafadz-lafadz jarh dan ta'dil.
.................................................................................................178
Fasal Pertama :..................................................................................179
Makna - Makna Dari Beberapa Di Antara Ungkapan Jarh Dan Ta'dil.
...........................................................................................................179
Pertama: Dengan lafadz-lafadz................................................179
Istilah-Istilah Khusus Milik Sebagian A`Immah Di Dalam
Tautsiq Dengan Menggunakan Lafadz....................................189
Istilah-Istilah Umum Dalam Mengungkapkan Jarh Dengan
Lafadz......................................................................................192
Istilah-Istilah Khusus Milik Sebagian A`Immah Di Dalam Jarh
Dengan Menggunakan Lafadz.................................................200
Lafadz - Lafadz Yang Sedikit Sekali Atau Sangat Jarang
Digunakan................................................................................210
Ke Dua , Gerakan-Gerakan Bahasa Tubuh..............................214
Fasal Ke Dua.....................................................................................217
Tingkatan-Tingkatan Lafadz-Lafadz Jarh Dan Ta'dil.......................217
Tingkatan-Tingkatan Rawi Menurut Abu Hatim.....................217
Tingkatan Lafadz-Lafadz Ta'dil Menurut Abu Hatim..............219
.................................................................................................219
Tingkatan Jarh Menurut Abu Hatim........................................223
Tambahan Ibnu Shalah Dari Lafadz-Lafadz Jarh Dan Ta'dil...224
Tingkatan Jarh Dan Ta'dil Menurut Al Haafidz Ad Dzahaby. .225
Yang Ditambahkan Al 'Iraqiy Di Pembagian Ad Dzahaby , Dan
Yang Di Selisihinya.................................................................228
Tingkatan Jarh Dan Ta'dil Menurut Al Haafidz Ibnu Hajar.....230
Tingkatan Lafadz-Lafadz Ta'dil Menurut As Sakhawiy..........232
Tingkatan Lafadz-Lafadz Jarh Menurut As Sakhawiy............233

242
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ta'dil Di Atas Menurut As
Sakhawiy..................................................................................235
Hukum Tingkatan-Tingkatan Jarh Di Atas Menurut As
Sakhawiy..................................................................................237
DAFTAR ISI.....................................................................................239
CATATAN.........................................................................................244

243
CATATAN
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
244
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
245

Anda mungkin juga menyukai